[Dari Katolisitas: tanya jawab ini adalah kelanjutan dari tanya jawab ini, silakan klik. Namun karena penjabarannya yang panjang, kami pisahkan dalam topik tersendiri]
Pertanyaan:
Shaloom Bu Inggrid,
Terima kasih atas jawabannya, tp mau iseng2 tanya, mungkin jawabannya tidak akan ada yang tau.
Dulu saya dibilang kalau karena Adam dan Hawa makan buah tsb, jadi manusia jatuh ke dalam dosa, karena mereka dulu tak tercemar oleh dosa
Jadi andaikan mereka tidak makan, tetapi udah ada pikiran mau menyamai Tuhan apakah mereka tetap diusir dr Taman Eden karena mereka sudah tercemar dosa…
Terima Kasih
Jawaban:
Shalom Leo,
Nampaknya kita tidak dapat memisahkan sama sekali hal memakan buah dan keinginan untuk menyamai Tuhan. Sebab dengan memakan buah itu, Adam dan Hawa menyatakan ketiadaktaatannya kepada Tuhan; atau hal memakan buah itu merupakan simbol dari ketidaktaatan mereka.
Berikut ini adalah jawaban dari Dr. Lawrence Feingold STL, pembimbing Teologis situs ini, dan saya sertakan terjemahannya di sampingnya:
Jawaban dari Dr. Lawrence Feingold STL tentang dosa asal | Terjemahan oleh Ingrid Listiati, MTS |
We can only speculate here using theological principles, and thus we cannot claim a certainty. However, I would answer as follows.
Genesis 1-3 are history, but a history that is archaic and symbolic, in accordance with the mentality of more earlier or more primitive cultures. Thus it is not necessary to take the account of the original sin literalistically. We can see eating of the fruit of the tree of the fruit of the knowledge of good and evil as a symbol of man seeking to make himself like God in a way that he cannot be: seeking to free himself from God’s dominion over good and evil. Thus the essence of the original sin was precisely seeking to be God in a way in which a creature cannot be. No creature can have dominion over good and evil, for that belongs to God alone as the Creator and the Final End. He alone is the eternal moral law. The question that you asked seemed to separate the eating of the tree of the knowledge of good and evil, and desiring to be God (or better: desiring to be like God in a way that a creature cannot be–determining good and evil autonomously). I would say that the original sin was precisely the desiring to be morally autonomous. This desire was expressed or represented as eating of the fruit of the tree of knowledge of good and evil. In other words, we can distinguish the essence of the original sin (desiring moral autonomy), and the symbolic form in which this was represented. I have a section on John Paul II’s interpretation of the original sin which might be helpful here. I wrote: John Paul II gave a profound interpretation of the nature of the original sin in his encyclical of 1986, Dominum et vivificantem, on the role of the Holy Spirit in the life of the Church. In the second part of this encyclical he makes a brief analysis of the nature of the original sin of Adam and its paradigmatic value as a deliberate rejection of the truth of God’s Word and the goodness of His Law as an expression of His loving Providence. He writes: “This original disobedience presupposes a rejection, or at least a turning away from the truth contained in the Word of God, who creates the world. . . . He is the Word who is also the eternal law, the source of every law which regulates the world and especially human acts.”(Dominum et vivificantem 33) The original sin, and every sin, is a rejection of the Word of God, the Logos, who is also God’s eternal law. The original sin, and every sin, is thus a rejection of Christ, the Logos, and a disbelief in the Logos as Eternal Law. John Paul II writes: The rejection expresses itself in practice as ‘disobedience,’ in an act committed as an effect of the temptation which comes from the ‘father of lies.’ Therefore, at the root of human sin is the lie which is a radical rejection of the truth contained in the Word of the Father, through whom is expressed the loving omnipotence of the Creator. (Dominum et vivificantem 33) In Dominum et vivificantem 36, John Paul II further develops the notion of the original sin as a refusal to respect the limitation of the human condition as a creature, subject to the eternal law of God. This law is a law of love, leading man to realize his beatitude through the perfection of his personality in perfect self-giving to neighbor and to God. The devil inspires man with a suspicion against the goodness of God and the gift of the eternal wisdom manifested in the law of God. The Pope writes: The “image of God,” consisting in rationality and freedom, expresses the greatness and dignity of the human subject, who is a person. But this personal subject is also always a creature: in his existence and essence he depends on the Creator. According to the Book of Genesis, “the tree of the knowledge of good and evil” was to express and constantly remind man of the “limit” impassable for a created being. God’s prohibition is to be understood in this sense: the Creator forbids man and woman to eat of the fruit of the tree of the knowledge of good and evil. The words of the enticement, that is to say the temptation, as formulated in the sacred text, are an inducement to transgress this prohibition-that is to say, to go beyond that “limit”: “When you eat of it your eyes will be opened, and you will be like God [“like gods”], knowing good and evil.” “Disobedience” means precisely going beyond that limit, which remains impassable to the will and the freedom of man as a created being. For God the Creator is the one definitive source of the moral order in the world created by him. Man cannot decide by himself what is good and what is evil-cannot “know good and evil, like God.” In the created world God indeed remains the first and sovereign source for deciding about good and evil, through the intimate truth of being, which is the reflection of the Word, the eternal Son, consubstantial with the Father. |
Kita hanya dapat memperkirakan di sini dengan menggunakan prisnip- prinsip teologis, dan karena itu kita tidak dapat mengklaim pasti benar. Namun demikian, saya akan menjawab demikian:
Kitab Kejadian 1-3 adalah kisah sejarah, namun merupakan sejarah yang archaik dan simbolis, sesuai dengan mentalitas dari budaya- budaya yang lebih awal atau yang lebih primitif. Karena itu, tidaklah perlu untuk menangkap kejadian tentang dosa asal dengan cara literalistik. Kita dapat melihat hal memakan buah pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan yang buruk sebagai simbol dari manusia yang ingin menjadikan dirinya sendiri sebagai Tuhan dengan cara yang tidak dapat dilakukannya: [yaitu] menghendaki untuk membebaskan dirinya sendiri dari kuasa Tuhan atas hal baik dan yang buruk. Maka hakekat dari dosa asal tepatnya adalah menghendaki untuk menjadi Tuhan dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh mahluk ciptaan. Tak ada mahluk ciptaan yang mempunyai kuasa atas hal yang baik dan buruk, sebab kuasa itu adalah milik Tuhan saja sebagai Pencipta dan Tujuan Akhir. Ia sendiri adalah Sang hukum moral yang kekal. Pertanyaan yang Anda ajukan sepertinya memisahkan antara hal memakan buah pohon pengetahuan baik dan buruk dengan keinginan untuk menjadi Tuhan (atau: keinginan untuk menjadi seperti Tuhan dengan cara yang tak dapat dilakukan oleh mahluk ciptaan– yaitu menentukan hal yang baik dan buruk, secara otonom, terlepas dari Tuhan). Saya katakan bahwa dosa asal adalah kehendak untuk menjadi otonom secara moral. Kehendak ini dinyatakan atau dilambangkan sebagai memakan buah dari pohon pengetahuan akan hal yang baik dan buruk. Dengan kata lain, kita dapat membedakan hakekat dosa asal (yaitu menghendaki otonomi moral) dan bentuk simbolis yang melambangkannya [yaitu makan buah pohon tersebut]. Saya mempunyai secuplik tulisan tentang interpretasi Paus Yohanes Paulus II tentang dosa asal, yang mungkin dapat membantu di sini, demikian saya menuliskannya: Paus Yohanes Paulus II memberikan interpretasi yang mendalam tentang kodrat dosa asal dalam surat ensikliknya tahun 1986, Dominum et vivificantem, tentang peran Roh Kudus dalam kehidupan Gereja. Di bagian kedua dari surat ensiklik ini, ia membuat analisa singkat tentang kodrat dosa asal Adam dan nilai maknanya sebagai penolakan yang disengaja akan kebenaran Sabda Tuhan dan kebaikan Hukum-Nya sebagai sebuah pernyataan Penyelenggaraan-Nya yang penuh kasih. Paus menulis, “Ketidaktaan awal ini didahului oleh sebuah penolakan, atau setidaknya sebuah pengingkaran dari kebenaran yang terkandung di dalam Sabda Allah yang menciptakan dunia… Ia adalah Sang Sabda yang juga adalah hukum yang kekal, sumber dari setiap hukum yang mengatur dunia dan secara khusus perbuatan- perbuatan manusia” (Dominum et vivificantem 33) Dosa asal dan setiap dosa, adalah penolakan akan Sabda Tuhan, Sang Logos, yang adalah hukum Tuhan yang kekal. Dosa asal dan setiap dosa adalah penolakan terhadap Kristus, Sang Logos, dan ketidakpercayaan akan Sang Logos sebagai Hukum yang kekal. Paus menulis: Penolakan menyatakan dirinya di dalam kehidupan sehari- hari sebagai ‘ketidaktaatan’, di dalam sebuah tindakan yang dilakukan sebagai akibat dari godaan yang datang dari ‘bapa segala kebohongan’ [Iblis]. Oleh karena itu, akar dari dosa manusia adalah kebohongan yang adalah penolakan radikal akan kebenaran yang terkandung di dalam Sabda Allah Bapa, yang melaluinya dinyatakan kemahakuasaan Sang Pencipta yang penuh kasih. (Dominum et vivificantem 33) Di dalam Dominum et vivificantem 36, Paus Yohanes Paulus II selanjutnya mengembangkan pandangan bahwa dosa asal adalah penolakan untuk menghormati batasan keadaan manusia sebagai mahluk ciptaan, yang tunduk kepada hukum Tuhan yang kekal. Hukum ini adalah hukum kasih, yang memimpin manusia untuk menyadari kebahagiaan akhirnya melalui penyempurnaan kepribadiannya di dalam hal pemberian diri yang sempurna kepada sesama dan kepada Tuhan. Iblis mendorong manusia dengan kecurigaan melawan kebaikan Tuhan dan karunia kebijaksanaan kekal yang dinyatakan di dalam hukum Tuhan. Paus menulis: “Gambaran Tuhan” yang terdapat di dalam kemampuan akal budi dan kehendak bebas, menyatakan kebesaran dan martabat manusia, yang adalah seorang pribadi. Namun tokoh pribadi ini juga selalu adalah mahluk ciptaan: di dalam keberadaannya dan hakekatnya, ia tergantung kepada Sang Pencipta. Menurut Kitab Kejadian, ‘pohon pengetahuan akan yang baik dan buruk’ adalah untuk mengekspresikan dan mengingatkan manusia secara terus menerus tentang batasan yang tak dapat diseberangi oleh seorang mahluk ciptaan. Larangan Tuhan harus dipahami dalam arti ini: Sang Pencipta melarang manusia laki-laki dan perempuan untuk makan buah pohon pengetahuan tentang hal yang baik dan buruk. Kata- kata bujukan yaitu godaan, seperti yang dirumuskan di dalam teks suci adalah rayuan untuk melanggar larangan ini- yaitu, untuk melanggar “batas” itu: “Ketika kamu memakannya, matamu akan terbuka dan kamu akan menjadi seperti Tuhan, dengan mengetahui hal- hal yang baik dan buruk.” “Ketidaktaatan” berarti melampaui batas itu, yang tetap tak terseberangi bagi kehendak dan kebebasan manusia sebagai mahluk yang diciptakan. Sebab Tuhan Pencipta adalah satu-satunya sumber yang definitif akan keteraturan moral di dunia yang diciptakan oleh-Nya. Manusia tidak dapat memutuskan sendiri apa yang baik dan apa yang buruk -manusia tidak dapat “mengetahui hal yang baik dan buruk seperti Tuhan.” Di dunia yang diciptakan, sungguh Tuhan tetaplah menjadi sumber yang pertama dan agung untuk memutuskan tentang hal yang baik dan buruk, melalui kebenaran yang intim, yang adalah permenungan Sang Sabda, Putera Allah yang kekal, yang sehakekat dengan Allah Bapa. |
Jadi nampaknya pengandaiannya yang kurang tepat, ya, Leo. Sebab kejadian memakan buah pohon pengetahuan itu adalah simbol dari penolakan Adam dan Hawa untuk taat kepada Tuhan. Maka saya ingin merevisi dan melengkapi apa yang sudah saya katakan sebelumnya, bahwa memang umumnya dosa dimulai di pikiran dahulu baru kemudian setelah dikunyah- kunyah diwujudkan dalam perbuatan. Namun di kisah terjadinya dosa asal ini tidak dibedakan antara dosa di pikiran dahulu baru kemudian diwujudkan dalam perbuatan, sebab secara keseluruhan kejadian memakan buah tersebut adalah simbol yang menggambarkan ketidaktaatan Adam dan Hawa karena mereka ingin menjadi seperti Tuhan, dengan menentukan sendiri bagi mereka apa yang baik dan yang buruk (secara moral), tanpa mengindahkan kehendak Tuhan Pencipta mereka.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam Damai Dalam Kristus.
Semoga bisa memahami apa yang aku tanyakan.
Malaikatpun diberikan free will oleh Allah untuk menerima atau menolak Allah.
bagi yang menerima Allah, maka berdiam di sorga dan yang menolak Allah, dilepas ke bumi.
Kata penolakan berkonotasi tidak bagus, apakah semua yang tidak bagus itu berasal dari iblis (termasuk Adam dan Hawa yang menolak taat dan patuh kepada Allah) – sementara saat itu saja sesungguhnya belum ada iblis?
Semoga ada pencerahan penjelasan yang membumi, terima kasih.
Max.
Shalom Maximillian Reinhart,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang kehendak bebas. Manusia dapat menolak perintah Allah bukan hanya karena godaan setan, namun terutama karena manusia secara salah menggunakan kehendak bebas, yaitu ketika manusia menempatkan diri sendiri sebagai parameter kebenaran. Dalam kondisi inilah, maka manusia jatuh ke dalam dosa, yaitu dosa kesombongan. Setan dapat menggoda, namun, manusia tetap bertangungjawab untuk memberikan jawaban akhir: apakah manusia mau berkata ya terhadap dosa, atau menolak dosa. Semoga keterangan ini dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom,
Saya pernah mendengar dari pengajar agama saya kalau cerita Adam dan Hawa hingga Nuh hanya kisah semata, tidak terjadi secara historis melainkan hanya merupakan suatu refleksi iman dari sang penulis Kitab. Sementara tulisan yang terbukti secara historis mulai dari Abraham, benarkah itu?
Terima Kasih ^^
Monica
[Dari Katolisitas: Pertanyaan serupa sudah pernah ditanyakan dan dijawab di sini, silakan klik]
Syaloom Bu Inggrid,
Saya hanya paham sedikit dr penjelasan teologis di atas, Karena sulit sekali berpikir kalau makan buah pengetahuan itu hanya simbol (maklum dr kecil saya dijelaskan Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa karena makan (literally) buah pengetahuan baik dan buruk). Dan juga karena ada pohon kehidupan yang dapat membuat manusia hidup selama-lamanya, apakah itu simbolis juga?
Yang saya tangkap adalah pada saat Adam dan Hawa yang dalam keadaan penuh rahmat yang pikirannya sejalan dengan Allah (dibuktikan dengan menamakan seluruh binatang di dunia tanpas salah) pas digoda dan terbersit pikiran ingin menyamai Allah, sebenarnya makan tidak makan sudah pasti di usir, karena tidak sepantasnya mereka berpikir seperti itu. Apakah betul seperti itu?
Oya waktu itu saya ada pertanyaan mengenai apakah dengan Tuhan tidak mengijinkan manusia makan pohon kehidupan supaya tidak hidup selama2 nya merupakan karena Tuhan ingin agar kita selamat, jadi selama kita masi mempunyai daging kita bisa di selamatkan, tp ketika kita berwujud roh sudah tidak ada lagi kesempatan, seperti malaikat yg tidak bs diselamatkan karena mereka roh, dan oleh karena itu api penyucian tidak ada, karena kita Roh tidak bs di sucikan lg. Ini adalah teologi Protestan yg wkt itu teman saya challenge ke saya. Mgkn sudah di jawab, tetapi saya tidak tau, maaf.
Terima Kasih
Damai KRistus
Shalom Leo,
Kami tidak mengatakan bahwa hal makan buah dalam perikop Adam dan Hawa hanya simbol semata dan tidak terjadi, tetapi kami mengatakan bahwa hal memakan buah pohon pengetahuan tersebut mengandung makna simbolis yang tidak sesederhana untuk diartikan hanya sebagai “memakan buah”. Sebab makan buah di sini merupakan suatu bentuk nyata dari ketidaktaatan Adam dan Hawa, sehingga tidak dapat diandaikan apakah mungkin Adam dan Hawa hanya berpikir saja namun tidak melakukan, sebab hal ketidaktaatan mereka memang tidak hanya di pikiran tetapi justru sudah dinyatakan dengan perbuatan. Oleh karena itu asumsi Anda bahwa ada kemungkinan bagi Adam dan Hawa untuk berpikir menyamai Allah namun tidak makan buah dan tetap diusir dari taman Eden, menjadi tidak relevan dalam kisah Adam dan Hawa.
Sedangkan mengapa Allah mengusir Adam dan Hawa dan tidak menghendaki mereka memakan juga buah pohon kehidupan adalah karena mereka telah menanggung hukuman/ penderitaan di dunia, dan Tuhan dalam belas kasihan-Nya tidak menghendaki bahwa penderitaan mereka menjadi tetap selamanya (perpetual).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syaloom Bu Inggrid,
Terima kasih atas jawabannya dan kesabaran, sekarang saya sudah lebih jelas dalam ttg kisah Adam dan Hawa memakan buah pohon dan pengetahuan.
Mengenai ttg kenapa Tuhan tidak menghendaki manusia utk tidak makan buah kehidupan, gereja Katolik tidak mengajarkan selama kita masih mempunyai daging kita bisa diselamatkan, tapi ketika kita berwujud roh sudah tidak ada lagi kesempatan, seperti malaikat yg tidak bisa diselamatkan karena mereka roh?
Apakah ada dasar dari pengajaran itu?
Terima kasih
Shalom Leo,
Terus terang, argumen itu dasarnya adalah asumsi yang sulit diketahui kebenarannya, sebab sekali Tuhan sudah menciptakan manusia sebagai manusia, maka tidak mungkin manusia tersebut diubah menjadi malaikat (mahluk rohani tanpa tubuh). Oleh karena itu, pernyataan yang disebutkan teman Anda itu, sepertinya adalah dua kenyataan terpisah, namun tidak berhubungan. Sebab: 1) Benar bahwa manusia yang terdiri dari tubuh dan jiwa diselamatkan oleh Allah melalui Kristus. Manusia sebagai mahluk rohani yang mempunyai tubuh tidak mempunyai pengetahuan yang sempurna akan Allah, karena keterbatasan tubuhnya sehingga pengetahuan yang diperolehnya juga terbatas, sehingga Allah perlu mewahyukan Diri-Nya kepada manusia di dalam Kristus agar manusia dapat sampai kepada pengenalan akan Allah. 2) Benar juga bahwa malaikat sebagai mahluk rohani yang murni (tanpa mempunyai tubuh), sudah diberi pengetahuan sempurna akan Allah, namun sebagian dari mereka memilih untuk menolak Allah; sehingga dalam keadaan menolak Allah, sebagian dari para malaikat itu sudah tidak dapat diselamatkan oleh Tuhan.
Namun demikian, tidaklah dapat langsung disimpulkan bahwa kalau manusia memakan pohon kehidupan artinya manusia kemudian berubah menjadi roh (malaikat). Sudah sejak awal, manusia diciptakan sebagai mahluk rohani (jadi juga mempunyai jiwa rohani), hanya saja, manusia mempunyai tubuh, sehingga tidak sama dengan malaikat yang adalah mahluk yang murni rohani (tanpa tubuh). Tidak ada di dalam ayat itu yang mengatakan bahwa manusia dengan memakan buah pohon itu maka tubuhnya akan sirna dan hanya menjadi mahluk rohani tanpa tubuh. Itu adalah asumsi dari suatu interpretasi, yang tidak langsung dapat disimpulkan dari teks.
Selanjutnya benar bahwa setelah kematian, jiwa yang rohani akan meninggalkan tubuh/ terpisah dari tubuh. Setelah kematian memang tidak ada lagi kesempatan bagi seseorang untuk berbuat baik sebagai tanda imannya. Maka hal berbuat baik dan mengejar kekudusan memang hanya dapat dilakukan di saat kita masih hidup di dunia ini, dan segera setelah kita beralih dari dunia ini kita akan diadili sesuai dengan perbuatan kita (1 Pet 1:17).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom Ingrid
Setelah kematian memang tidak ada lagi kesempatan bagi seseorang untuk berbuat baik sebagai tanda imannya. Maka hal berbuat baik dan mengejar kekudusan memang hanya dapat dilakukan di saat kita masih hidup di dunia ini, dan segera setelah kita beralih dari dunia ini kita akan diadili sesuai dengan perbuatan kita (1 Pet 1:17).
Pertanyannya :
Jika sudah mati , sudah tidak ada lagi kesempatan untuk berbuat baik, lalu apakah doa-doa yang dipanjatkan kepada orang-orang sudah mati ini bisa merubah mereka menjadi baik atau menyelamatkan mereka ?
Seperti yang ditulis oleh sdr Leo :
jadi selama kita masih mempunyai daging kita bisa di selamatkan, tp ketika kita berwujud roh sudah tidak ada lagi kesempatan, seperti malaikat yg tidak bs diselamatkan karena mereka roh, dan oleh karena itu api penyucian tidak ada, karena kita Roh tidak bs di sucikan lg. Ini adalah teologi Protestan yg wkt itu teman saya challenge ke saya.
Bagaimana penjelasan dari Ingrid
Terima kasih
mac
Shalom Machmud,
Maksud pernyataan saya: “Setelah kematian memang tidak ada lagi kesempatan bagi seseorang untuk berbuat baik sebagai tanda imannya. Maka hal berbuat baik dan mengejar kekudusan memang hanya dapat dilakukan di saat kita masih hidup di dunia ini, dan segera setelah kita beralih dari dunia ini kita akan diadili sesuai dengan perbuatan kita (1 Pet 1:17), adalah:
1) Setelah orang meninggal, ia sudah tidak dapat lagi melakukan perbuatan kasih sebagaimana dapat dilakukan oleh orang yang masih hidup, yang dapat diperhitungkan untuk keselamatannya. Artinya, kita akan diadili menurut perbuatan kita, sejak kita lahir sampai sesaat sebelum meninggal dunia, dan itulah yang diperhitungkan dalam penghakiman Tuhan. Sebab dikatakan, “manusia mati satu kali saja lalu dihakimi” (Ibr 9:27).
2) Jika seseorang wafat dalam keadaan rahmat, namun ditemukan belum sempurna untuk dapat masuk Surga, ia masih perlu dimurnikan dalam Api Penyucian. Dalam kondisi ini, jiwanya membutuhkan doa- doa kita agar ia dapat disempurnakan dalam kasih dan segera beralih dari masa pemurnian itu menuju ke Surga.
Izinkan saya mengutip ajaran St. Thomas Aquinas untuk menjawab pertanyaan serupa, yaitu: Apakah orang yang sudah wafat dapat terbantu oleh perbuatan kasih orang- orang yang masih hidup? (Summa Theologica, Supplement q.71, a.2):
“…. 2 Makabe 12:45: “Dari sebab itu maka disuruhnyalah mengadakan korban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka.” Namun hal ini tidak ada gunanya jika hal ini tidak membantu mereka. Maka perbuatan mempersembahkan kurban penebus salah (kurban silih) yang dilakukan oleh orang- orang yang masih hidup berguna bagi mereka yang sudah wafat.
Selanjutnya, St. Agustinus berkata (De Cure pro Mort. i), “Tidak remeh kuasa Gereja, saat ia dengan jelas menyetujui kebiasaan di mana penghormatan terhadap orang yang meninggal memperoleh tempat dalam doa-doa yang diajukan oleh para imam kepada Tuhan di altar-Nya.” Kebiasaan ini dilakukan oleh para rasul sendiri menurut St. Yohanes Damaskus di dalam khotbah tentang kurban penebus salah kepada jiwa- jiwa orang yang telah wafat [De his qui in fide dormierunt, 3, di mana ia mengatakan: “…. para murid Sang Penyelamat dan para Rasul-Nya yang suci menentukan penghormatan bagi mereka yang telah meninggal dalam iman, yang dihasilkan dari Misteri-misteri yang mengagungkan dan memberi kehidupan.” Hal ini juga diteguhkan oleh otoritas Dionysius (Hier. Eccl.), ketika ia menyebutkan tentang ritus Gereja Awal di dalam mendoakan jiwa- jiwa orang- orang yang sudah meninggal, dan selanjutnya menyebutkan bahwa kurban silih yang dilakukan oleh orang- orang yang masih hidup berguna bagi yang telah meninggal. Karena itu kita harus percaya ini tanpa ragu- ragu.
…. Kasih, yang merupakan ikatan bagi para anggota Gereja, tidak saja melingkupi orang- orang yang masih hidup, tetapi juga mereka yang meninggal di dalam kasih. Sebab kasih adalah kehidupan jiwa, bahkan karena jiwa adalah kehidupan bagi tubuh, tidak mempunyai akhir: “Kasih tidak berkesudahan” (1 Kor 13:8). Lagipula, orang yang sudah meninggal tetap hidup di dalam kenangan mereka yang masih hidup: oleh karena itu intensi dari mereka yang masih hidup dapat ditujukan bagi mereka…. Namun demikian, kita tidak percaya bahwa kurban silih tersebut dapat mengubah status mereka dari status yang tidak bahagia [di neraka] menjadi bahagia [di surga] atau sebaliknya; tetapi hal itu berguna bagi pengurangan hukuman atau sejenisnya yang tidak melibatkan perubahan status jiwa-jiwa orang yang sudah meninggal tersebut.”
Selanjutnya, St. Thomas mengajarkan bahwa kurban silih itu berguna bagi mereka yang di Api Penyucian, namun bagi mereka yang sudah di surga tidak memerlukan kurban ini:
….. St. Agustinus mengatakan (Enchiridion cx): “Kurban penebus salah berguna bagi mereka yang tidak terlalu baik atau tidak terlalu buruk.”… Mereka adalah jiwa- jiwa yang dimurnikan di Api Penyucian. (lih. ST, Supplement q.71, a.6). Kurban silih secara kodrati mengacu kepada pemberian semacam bantuan, yang tidak diterapkan kepada seseorang yang tidak bersalah: sebab tak seorangpun pantas untuk dibantu kecuali jika ia memerlukan bantuan. Oleh karena itu, karena semua orang kudus di surga bebas dari semua kebutuhan, karena telah dipenuhi dengan kelimpahan rumah Tuhan (Mzm 35:10), mereka tidak pantas/perlu untuk dibantu dengan kurban silih.
St. Thomas mengajarkan bahwa kurban silih yang dapat dilakukan untuk membantu jiwa- jiwa orang yang sudah meninggal tersebut adalah kurban Ekaristi, derma dan doa:
…. Kurban silih tersebut berguna bagi yang meninggal karena mereka disatukan dengan orang- orang yang masih hidup di dalam kasih, dan sejauh intensi orang- orang yang hidup ditujukan bagi yang sudah meninggal. Karena itu perbuatan yang terbaik ditujukan untuk membantu mereka yang meninggal, yang berkaitan dengan penyampaian kasih atau untuk mengarahkan intensi seseorang kepada yang lain. Sakramen Ekaristi pertama- tama adalah sakramen kasih, sebab merupakan sakramen kesatuan gerejawi, sebab sakramen Ekaristi mengandung Ia yaitu Kristus, yang di dalam-Nya seluruh Gereja dipersatukan dan digabungkan: Karena itu Ekaristi adalah sumber dan ikatan kasih. Lalu, yang teratas dari efek kasih adalah perbuatan derma, karena itu dalam hal kasih, kedua hal ini yaitu kurban Gereja dan perbuatan derma merupakan kurban silih bagi mereka yang telah meninggal. Tetapi dalam hal intensi yang ditujukan bagi yang meninggal, yang terutama dari kurban tersebut adalah doa, sebab doa secara kodrati mengacu kepada hubungan tidak hanya kepada orang yang berdoa, … tetapi kepada apa yang kita doakan. Oleh karena itu, ketiga hal ini dianggap sebagai cara- cara yang utama untuk menolong mereka yang telah meninggal dunia….” (lih. ST, Supplement q.71, a.9)
Selanjutnya tentang topik ini silakan membaca artikel Mengapa Kita Mendoakan Jiwa Orang yang Sudah Meninggal Dunia, dan tanya jawab di bawahnya, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom sdr. Leo
Tapi, sepengetahuan saya, Allah melarang Adam dan Hawa memakan buah dari pohon pengetahuan tentang baik dan jahat… klo mereka makan maka akibatnya mereka mati… Berarti konsekuensi dengan memakan buah itu adalah mati… tetapi Adam dan Hawa tetap kibulin sama iblis yang menyerupai ular yang iming2nya klo makan maka akan seperti Allah penciptanya… di sinilah ketidak taatan Adam dan Hawa, sehingga mereka di usir dari taman eden…
tapi ada yang masih menjadi pertanyaan saya… apakah yang dimaksud Allah dengan berkata “sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” mengartikan bahwa :
1. manusia sebelumnya memiliki kehidupan abadi di taman Eden dan akhirnya menjadi manusia fana yang dapat mati, atau;
2. Seharusnya mereka (Adam dan Hawa) benar-benar mati pada saat itu juga, tetapi karena cintaNya kepada ciptaanNya maka Allah hanya mengusir mereka keluar dari taman eden… dan kemudian mengutus PutraNya untuk menebus dosa asal tersebut; ataukah;
3. point 1 dan 2 adalah benar…
Salut ibu Inggrid dan Tim Katolisitas atas kerja kerasnya selama ini… klo saya tidak menemukan site ini mungkin saya sudah menjadi Protestan… Tapi puji Tuhan, maksudnya mau nyari sitenya Protestan buat belajar buat ngikut pacar eh malah mentok ke katolisitas.org… saya percaya ini adalah campur tangan Tuhan, bukan sekedar usaha saya… :)
Terima Kasih
Shalom Tri Handoyo,
1. Ya, benar, sebelum Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, mereka memiliki kehidupan yang tidak dapat mati (immortality). Menurut St. Thomas Aquinas, saat diciptakan Allah, Adam dan Hawa dikaruniai dengan rahmat pengudusan / “sanctifying grace” dan 4 jenis karunia yang disebut ‘preternatural gifts’ yaitu: 1) keabadian atau immortality, 2) tidak dapat menderita, 3) mempunyai pengetahuan akan Tuhan atau ‘infused knowledge’ dan 4) mempunyai berkat keutuhan atau ‘integrity’ maksudnya, adalah tunduknya nafsu kedagingan pada akal budi.
2. Pada saat Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, semua karunia itu hilang, mereka tidak lagi menjadi mahluk yang immortal tetapi mahluk yang mortal (dapat mati), walaupun memang matinya tidak saat itu juga. Tuhan juga tidak mengatakan bahwa pada saat mereka memakan buah pohon pengetahuan itu mereka akan mati seketika; yang dikatakan-Nya adalah, “pastilah engkau mati” (Kej 2:17), sebab sejak kejatuhan mereka ke dalam dosa itu, Adam dan Hawa memang menjadi mahluk yang mortal/ dapat mati.
Karena kasih Allah yang begitu besar, maka Allah mengutus Kristus untuk menebus kita manusia, dan untuk mengembalikan rahmat pengudusan (“sanctifying grace”) kepada manusia, sehingga manusia dapat dikuduskan dan bersatu kembali dengan Allah. Rahmat pengudusan itu kita peroleh di dalam Sakramen Baptis, dan ditambahkan melalui sakramen- sakramen lainnya. Namun keempat karunia ‘preternatural gifts’ yang lain itu tidak dikembalikan kepada manusia, sehingga memang setelah dibaptis, manusia tetap dapat meninggal dunia, tetap dapat menderita, tetap harus berjuang untuk bertumbuh dalam pengenalan akan Allah, dan tetap harus berjuang untuk mengalahkan keinginan daging. Kesadaran akan kekurangan kita dalam ke-empat hal ini malah merupakan perjuangan bagi manusia untuk bertumbuh di dalam kekudusan. Namun karena rahmat pengudusan dari Tuhan, kita manusia yang percaya kepada-Nya dapat memperoleh hidup kekal, setelah kematian tubuh kita; sementara kita menantikan kebangkitan badan di akhir zaman, saat Kristus membangkitkan tubuh kita, sehingga bersama- sama dengan Dia dan seluruh anggota Tubuh-Nya, kita memuliakan Allah di surga.
Demikian yang dapat saya sampaikan untuk pertanyaan Anda.
Mari bersama berjuang untuk bertumbuh di dalam pengenalan dan kasih akan Tuhan, di dalam Gereja Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bu Ingrid; sedikit nanya juga:
“…and desiring to be God (or better: desiring to be like God in a way that a creature cannot be–determining good and evil autonomously). I would say that the original sin was precisely the desiring to be morally autonomous.”
Pertanyaan:
apakah “suatu perbuatan” disebut baik / buruk karena dia memang baik / buruk di dalam dirinya sendiri (menuruti development of morality autonomy manusia), ataukah “suatu perbuatan” menjadi baik / buruk karena (tergantung pada) Tuhan yg menyatakan baik / buruk ?
misalnya: “membunuh orang” dipahami sebagai tindakan buruk di dalam dirinya sendiri, tetapi seandainya Tuhan yang menyuruh untuk “membunuh orang” apakah tindakan tsb menjadi tindakan yang baik? Bukankah alur pemikiran ini yg menjadi justifikasi para fanatik pelaku religiously suicide bomber, karena menyakini bahwa mereka disuruh membunuh oleh Allah…?
apakah tulisan tsb artinya “morality” sebatas “obedience” sudah cukup, sehingga manusia tidak perlu “developing their morality” untuk mempunyai “morality autonomy” ?
Shalom Fxe,
Terima kasih atas pertanyaan yang unik ini.
Nampaknya untuk menjawab hal ini, perlu diketahui terlebih dahulu apakah itu definisi dosa. Katekismus mengajarkan demikian:
KGK 1849 Dosa adalah satu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran, dan hati nurani yang baik; ia adalah satu kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Allah dan sesama atas dasar satu ketergantungan yang tidak normal kepada barang-barang tertentu. Ia melukai kodrat manusia dan solidaritas manusiawi. Ia didefinisikan sebagai “kata, perbuatan, atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi” (Agustinus, Faust. 22,27) Dikutip oleh Tomas Aqu., s. th. 1-2,71,6, obj. 1.
KGK 1850 Dosa adalah satu pelanggaran/ penghinaan terhadap Allah: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat” (Mzm 51:6). Dosa memberontak terhadap kasih Allah kepada kita dan membalikkan hati kita dari Dia. Seperti dosa perdana, ia adalah satu ketidaktaatan, satu pemberontakan terhadap Allah, oleh kehendak menjadi “seperti Allah” dan olehnya mengetahui dan menentukan apa yang baik dan apa yang jahat (Kej 3:5). Dengan demikian dosa adalah “cinta diri yang meningkat sampai menjadi penghinaan Allah” (Agustinus, civ. 14,28). Karena keangkuhan ini, maka dosa bertentangan penuh dengan ketaatan Yesus (Bdk. Flp 2:6-9). yang melaksanakan keselamatan.
Dengan demikian memang tolok ukur suatu perbuatan itu dosa atau tidak, adalah dari: 1) apakah perbuatan itu bertentangan atau tidak dengan akal budi, kebenaran dan hati nurani yang baik; 2) apakah perbuatan tersebut sesuai atau tidak dengan kehendak/ perintah Allah. Kedua aspek ini tidak dapat dipertentangkan, karena sudah pasti sejalan.
Nah sekarang mari kita lihat kasus- kasus pembunuhan di Perjanjian Lama yang sepertinya dilakukan karena ‘perintah Tuhan’. Untuk memahami maksud kisah- kisah sedemikian dalam Perjanjian Lama, kita harus melihat konteks keadaan sekitar kejadian itu. Sebab sesungguhnya Tuhan melarang pembunuhan, dan larangan untuk membunuh termasuk sebagai perintah kelima di dalam bilangan sepuluh perintah Allah (lih. Kel 20:13). Maka untuk memahami mengapa bangsa Israel menyerang kota- kota di sekitar tanah Kanaan (Tanah Perjanjian) (lih. Yos 6, Hak 3), kita perlu melihat sebenarnya mengapa Allah memerintahkan demikian melalui pemimpin mereka, dalam hal ini Yosua. Bangsa- bangsa di sekitar Kanaan adalah bangsa- bangsa yang menyembah berhala; mereka menyembah allah lain, yaitu Baal (lih. Hak 3). Perbuatan penyembahan berhala ini tidak berkenan di hadapan Tuhan, sehingga di banyak kesempatan Tuhan sendiri menghukum mereka karena dosa mereka ini, yang melanggar perintah pertama dalam kesepuluh perintah Allah (lih. Kel 20:3-5). Jika kita mengakui Allah sebagai Pencipta yang mempunyai hak atas segala ciptaan-Nya, maka kita akan dapat menerima, bahwa adalah hak Tuhan untuk menuntut keadilan atas pelanggaran manusia yang diciptakannya ini. Hal ini juga terjadi di dalam sejarah bangsa Israel sendiri yang dapat kita baca di sepanjang kisah Perjanjian Lama, sebab pada saat mereka berpaling dari Allah dan menyembah allah lain, maka Allah mengizinkan mereka jatuh/ dikalahkan oleh bangsa- bangsa lain. Memang sekilas terlihat keras didikan Allah ini, namun di sinilah kita melihat adanya prinsip ‘divine pedagogy‘ (didikan ilahi) yang dilakukan Allah secara bertahap di sepanjang sejarah manusia, dengan mempertimbangkan aspek perkembangan peradaban umat manusia. Tahapan ini juga terlihat dari bagaimana Allah pertama- tama menegakkan hukum keadilan pada umat-Nya dalam PL, agar dapat siap menerima hukum cinta kasih yang akan digenapi di dalam Kristus Putera-Nya dalam PB. Sebab hukum kasih baru dapat dilihat sebagai hukum yang sempurna, jika hukum keadilan dipahami terlebih dahulu. Selanjutnya tentang topik mengapa Allah terlihat kejam di dalam Perjanjian Lama, silakan klik di sini.
Jadi Allah mendidik umat pilihan-Nya secara bertahap bagaikan orang tua mendidik anak-Nya (di usia anak- anak diberi disiplin yang kuat; dan setelah dewasa diberi pengertian akan alasan- alasannya); demikianlah kita memahami kesinambungan didikan Allah yang dikisahkan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Di masa PL, Allah perlu berbicara secara langsung kepada para nabi-Nya untuk mendisiplinkan umat-Nya, dengan memberitahukan perbuatan mana yang benar dan salah di mata Tuhan. Setelah tahap ini, tahapan berikutnya adalah Allah memberitahukan kehendak-Nya di dalam hati nurani manusia (lih. Yeh 11:19, 36:36), sehingga dengan menggunakan akal budi dan suara hatinya itu, manusia dapat mengetahui kebenaran dan kehendak Tuhan; dan terdorong untuk mentaatinya dan hidup sesuai dengan perintah Tuhan itu. Katekismus mengajarkan,
KGK 1965 Hukum baru, hukum Injil adalah bentuk duniawi yang sempurna dari hukum ilahi yang kodrati dan yang diwahyukan. Itulah karya Kristus dan dinyatakan terutama dalam khotbah di bukit. Ia adalah juga karya Roh Kudus dan melalui Dia menjadi hukum batin dari kasih: “Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel…. Aku akan menaruh hukum-Ku dalam akal budi mereka dan menuliskannya dalam hati mereka, maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Ibr 8:8-10, Bdk. Yer 31:31-34).
Dengan demikian, manusia dengan akal budi dan hati nuraninya dapat mengenal hukum ilahi. Memang hati nurani sendiri juga dapat salah, jika tidak dibentuk oleh pengetahuan yang benar; oleh karena itu manusia juga bertanggungjawab dalam hal pembentukan hati nuraninya, seiring dengan pertumbuhan kedewasaan rohaninya. Dengan pemahaman ini kita mengetahui bahwa di zaman ini perbuatan membunuh ataupun mencelakakan orang lain dengan membawa nama Tuhan adalah perbuatan dosa, sebab: 1) perbuatan itu melawan akal budi, kebenaran dan hati nurani yang benar; 2) perbuatan itu melawan perintah Tuhan; 3) sebab konteks peradaban manusia sekarang (PB) tidak sama dengan peradaban manusia di zaman dulu (PL); sehingga kini dengan peradaban manusia yang sudah semakin baik, manusia harus sudah dapat menghargai kehidupan dan martabat sesama manusia dengan lebih baik.
Dengan prinsip ini, maka kita mengetahui bahwa Allah melalui tuntunan Roh Kudus-Nya dapat memberitahukan kepada manusia akan kehendak-Nya sehingga manusia dengan akal budi dan hati nuraninya dapat mengetahui akan apakah suatu perbuatan itu benar atau salah. Selanjutnya adalah tugas kita untuk terus memeriksa apakah suara hati nurani kita sudah sesuai dengan ajaran/perintah Tuhan. Dengan demikian, penilaian akan suatu perbuatan itu salah atau benar, sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari perintah Tuhan. Bagi kita umat Katolik, hal benar atau salah tentang iman dan moral kita ketahui melalui pengajaran Magisterium Gereja; yang mendasari pengajarannya atas Kitab Suci dan Tradisi Suci, sebagaimana dikehendaki oleh Allah. Maka kita mempunyai tanggung jawab di hadapan Tuhan untuk mengenal ajaran tersebut dan kemudian menaatinya, sebagai tanda bukti ketaatan kita kepada Tuhan.
Magisterium Gereja mengajarkan melalui Katekismus adanya tiga syarat agar suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan yang baik secara moral:
KGK 1755 Satu perbuatan baik dari segi moral mengandaikan bahwa baik obyek maupun maksud dan faktor-faktor situasional itu baik. Maksud buruk membuat suatu perbuatan menjadi buruk, juga apabila obyeknya sendiri adalah baik (seperti berdoa atau berpuasa “supaya dapat dilihat oleh orang lain”). Obyek yang dipilih dengan sendirinya dapat membuat suatu perbuatan menjadi buruk secara menyeluruh. Ada tingkah laku konkret seperti umpamanya percabulan itu tidak pernah boleh dipilih, karena di dalam memilihnya terdapat satu tindakan kehendak yang salah, artinya sesuatu yang buruk ditinjau dari segi moral.
KGK 1757 Obyek, maksud, dan situasi merupakan tiga “sumber” moralitas/ kesusilaan perbuatan manusia.
Ajaran Katekismus ini mengambil prinsip yang diajarkan oleh St. Thomas Aquinas, tentang prinsip untuk menentukan suatu perbuatan disebut baik atau buruk secara moral:
1) Objek moral (moral object), yang merupakan objek fisik yang berupa tujuan yang terdekat (proximate end) dari sesuatu perbuatan tertentu (sifat dasar perbuatan) di dalam terang akal sehat.
2) Keadaan (circumstances) yaitu keadaan di luar perbuatan tersebut, tetapi yang berhubungan erat dengan perbuatan tersebut, seperti kapan dilakukan, di mana, oleh siapa, berapa banyak, bagaimana dilakukannya, dan dengan bantuan apa.
3) Maksud/tujuan (intention) yaitu tujuan yang lebih tinggi yang menjadi akhir dari perbuatan tersebut.
Selanjutnya, St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa “Evil results from any single defect, but good from the complete cause,” (St. Thomas Aquinas, ST, II-I, q.18, a.4 quoting Dionysius, Div. Nom. IV). Artinya, jika satu saja dari ketiga hal itu tidak dipenuhi dengan baik/ sesuai dengan akal sehat, maka perbuatan dikatakan sebagai kejahatan; dan karenanya merupakan “dosa”, sedangkan perbuatan yang baik harus memenuhi syarat ketiga hal di atas. Dasar ini dapat kita pakai untuk menilai semua perbuatan, apakah itu dapat dikatakan perbuatan baik/ bermoral atau tidak/ dosa.
Demikianlah, kita mengetahui bahwa dalam menilai suatu perbuatan itu baik/ buruk secara moral, akal budi dan hati nurani kita berbicara, namun penilaian itu tidak terlepas dari kehendak/ perintah Tuhan. Maka Gereja Katolik tidak mengajarkan bahwa manusia mempunyai “moral autonomy” yang terlepas dari kehendak Tuhan. Bahwa moralitas manusia berkembang menjadi semakin baik, itu benar, namun semua itu terjadi juga karena tuntunan Allah di sepanjang sejarah manusia, yang mempersiapkan manusia untuk menerapkan hukum yang terutama, yaitu hukum kasih, sebagaimana diajarkan dan digenapi di dalam Kristus Tuhan kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.