Harus diakui terdapat dua pandangan dalam hal Injil apakah yang pertama dituliskan. Yang pertama adalah perkiraan  bahwa Injil Matius adalah yang pertama kali dituliskan dan yang kedua adalah Injil Markus.  Tinjauan yang lebih mendetail tentang kedua pandangan ini mungkin dapat kami tuliskan di artikel terpisah di waktu yang akan datang. Namun sekilas saja perbedaannya kami tuliskan berikut ini; dan mengapa kami di Katolisitas lebih cenderung berpegang kepada Tradisi Gereja awal, yaitu Injil yang pertama dituliskan adalah Injil Matius. Menurut kesaksian para Bapa Gereja di abad- abad awal (terutama St. Papias, Irenaeus dan St. Klemens dari Aleksandria), Injil yang pertama dituliskan adalah Injil Matius. Dalam Against the Heresies, buku III, bab 1, 1, St. Irenaeus (+202) menuliskan bahwa yang menuliskan Injil pertama kali adalah Matius, lalu kemudian diikuti oleh Markus yang adalah murid Petrus dan Lukas yang adalah pembantu Paulus. Baru terakhir Yohanes Rasul menuliskan Injilnya di Efesus. Pandangan ini kemudian juga dikenal dengan sebutan Augustinian Hypothesis.

Namun ada juga Bapa Gereja yang menuliskan bahwa kemungkinan dua Injil pertama adalah Injil Matius dan Lukas, dan Injil Markus ada di urutan ketiga. Sedangkan teantang teori bahwa Injil Markus sebagai Injil pertama itu baru muncul di abad ke-19. Berikut ini adalah ulasan yang antara lain disarikan dari buku The Gospel of Jesus, oleh William Farmer, (Kentucky:Westminster/ John Knox Press), p. 3-38, 146-160:

1. Two Gospel Hypothesis

St.Klemens menuliskan seperti dikutip oleh Eusebius dari Caesarea:
“….. di dalam buku yang sama [Hypotyposeis 6], Klemens telah menyisipkan sebuah tradisi dari para pemuka jemaat di abad- abad awal tentang urutan Injil- injil sebagai berikut: ia mengatakan bahwa Injil- injil yang pertama- tama dituliskan adalah Injil- injil yang menuliskan silsilah Yesus dan bahwa Injil menurut Markus terbentuk dengan cara sebagai berikut:….” (Eusebius, Ecclesiastical History 6.14.5-7)

Maka menurut St. Klemens, kedua Injil yang ditulis pertama kali adalah Injil Matius dan Lukas. Pandangan ini dikenal dengan Two Gospel Hypothesis. Selanjutnya, menurut St. Klemens, Injil Markus dan Yohanes secara kronologis ditulis sesudah Injil Matius dan Lukas. Dengan demikian diperkirakan bahwa Injil Matius itu ditulis sebelum tahun 50-an AD: Eusebius, Theophlact, Euthymius Zigabenus dan Nicephorus Callistus, memperkirakan Injil ini ditulis sekitar tahun 38-45. Sedangkan Lukas dan Markus sekitar 62-68 AD (dituliskan hampir bersamaan), dan Yohanes tahun 90-100 AD.

2. Two Source Hypothesis

Sedangkan menurut beberapa ahli Kitab Suci di abad ke-19 dan 20 (seperti C.G Wilke, C.H Weisse, Heinrich Holtzmann, Helmut Koester- James Robinson), Injil yang pertama ditulis adalah Injil Markus. Pandangan ini tidak terlepas dari gerakan Kulturkampf di Jerman pada tahun 1871-1878 yang dipelopori oleh Penasehat Kekaisaran Jerman, Otto von Bismarck. Bismarck saat itu menentang otoritas Paus, dan memimpin negara Jerman untuk melepaskan diri dari pengaruh ajaran/ otoritas Paus di Roma. Hal ini juga mempengaruhi cara pandang dalam hal Teologi, sehingga para ahli Kitab Suci di Jerman kemudian menyusun sendiri hipotesa mereka, terlepas dari tradisi Gereja yang telah berabad- abad dikenal. Termasuk di sini adalah mereka menentang bahwa Injil Matius dan Lukas dituliskan lebih dahulu daripada Injil Markus dan Yohanes. Memang terdapat studi yang cukup detail tentang hal ini, yang membuat para ahli Jerman ini sampai pada kesimpulan, bahwa sumber pertama kitab Injil adalah Injil Markus dan apa yang disebut “Q” (atau dikenal sebagai the Synoptic Sayings Source). Harap diketahui bahwa, “Q” itu bukanlah Injil, namun yang konon hanya berupa kumpulan perkataan Yesus, semacam injil Thomas, yang juga tidak diakui Gereja sebagai kitab Injil kanonik. [Catatan: Q ini sebenarnya adalah teks Injil Matius yang dikutip oleh Lukas, namun tidak dikutip oleh Markus. Namun karena para ahli alkitab Jerman ini tidak mengakui keutamaan Injil Matius, maka mereka berasumsi bahwa Lukas mengutip suatu sumber lain yang kemudian dikenal sebagai “Q”]. Karena keterbatasan waktu, tidak dapat kami jabarkan di sini studi banding ayat- ayat antara ketiga Injil Sinoptik dan hipotesa Q pada saat ini, kemungkinan di waktu yang akan datang, dapat kami bahas dengan lebih mendetail.

3. Apakah bedanya?

Sebenarnya Injil Matius dan Lukas yang pertama dituliskan, menuliskan beberapa pokok ajaran Kristus, yang tidak tertulis dalam Injil Markus, dan ajaran- ajaran ini adalah ajaran yang sungguh sangat penting, yaitu: Doa Bapa kami, Perjamuan Kudus, Pembenaran karena iman, kesaksian penting dari para wanita, komitmen/ perhatian Tuhan yang istimewa ditujukan kepada mereka yang miskin, dan kunci- kunci Kerajaan Surga yang dipercayakan kepada Petrus.

Pandangan bahwa Injil Matius yang pertama ditulis, akan memperjelas posisi ajaran ini sebagai ajaran- ajaran Kristus yang penting dan utama, sehingga melahirkan para orang kudus dan para martir yang rela mengobankan diri mereka demi iman, demi memperkenalkan iman mereka kepada orang lain, dan demi membela hak orang- orang miskin. Demikian pula, ajaran ini menumbuhkan penghormatan kepada otoritas Gereja yaitu Rasul Petrus dan para penerus mereka, karena kepada merekalah Kristus mempercayakan kuasa kepimpinan Gereja di dunia.

4. Apa pandangan umum yang ada sekarang, dan apakah yang dikatakan Vatikan?

Professor Helmut Koester pernah mengatakan:

“Yang paling mencengangkan dari injil Thomas adalah kebungkamannya dalam hal kematian Yesus dan kebangkitan-Nya- kunci dari pewartaan Rasul Paulus. Tetapi injil Thomas tidak sendirian dalam hal ini, Q (the Synoptic Sayings Source)… juga tidak menganggap kematian Yesus dan kebangkitan-Nya sebagai bagian dari pesan Kristiani. Injil Thomas dan Q menentang pandangan jemaat awal bahwa kematian dan kebangkitan Yesus merupakan titik pusat iman Kristen. Kedua dokumen itu hanya menganggap yang terpenting adalah perkataan Yesus, dan hanya perkataan Yesus saja.” (Helmut Koester, seperti dikutip oleh William Farmer, The Gospel of Jesus, oleh William Farmer, (Kentucky:Westminster/ John Knox Press), p. 3)

Membaca pernyataan ini saja seseorang dapat bertanya, “Bagaimana mungkin, injil apokrif Thomas (dokumen di akhir abad 2-abad 4) dan hipotesa Q yang baru lahir di abad ke 19, dapat lebih dipercaya daripada kanon Injil Perjanjian Baru atas kesaksian para saksi yang diajar oleh para rasul sendiri?” Namun adalah fakta dewasa ini, bahwa aliran Koester- Robinson (yang mengajarkan hipotesa bahwa Injil Markus ditulis lebih dulu dari Injil Matius dan Lukas) terus aktif dalam menyebarkan pengaruhnya, dan banyak pula mempengaruhi para ahli Kitab Suci, baik di kalangan Protestan maupun Katolik.

Di atas semua itu, perlulah kita ketahui jawaban yang dikeluarkan oleh Biblical Commission, (Komisi Kitab Suci di Vatikan), pada tanggal 19 Juni 1911, point 50 a-g (seperti dikutip dalam A Catholic Commentary on Holy Scripture, ed, Dom Orchard, p. 852):

1. Rasul Matius adalah sungguh pengarang Injil yang memakai namanya [Injil Matius].
2. Tradisi cukup banyak yang menunjukkan bahwa Matius menulis sebelum para pengarang Injil yang lain dan dituliskan dalam bahasa Palestina- Yahudi.
3. Tanggal penulisan Injil Matius tidak melampaui tahun kejatuhan Yerusalem (tahun 70 AD) dan tradisi dipenuhi dengan terbaik jika kita menempatkan hal itu sebelum kedatangan Paulus ke Roma (60 AD).
4. Matius tidak hanya menyusun sebuah koleksi perkataan- perkataan Yesus, tetapi sebuah Injil dalam arti yang sesungguhnya.
5. Injil Matius versi Yunani yang ada, adalah sama secara substantial dengan yang original [yang asli dalam bahasa Palestina- Yahudi]. Ini adalah kesimpulan sah dari kenyataan bahwa teks Yunani [Injil Matius] telah dinyatakan sebagai teks kanonik oleh para Bapa Gereja dan para penulis gerejawi, dan oleh Gereja awal itu sendiri.

Pandangan Vatikan ini kemudian mendapat peneguhan setelah beberapa ahli Kitab Suci Jerman di abad ke 20, seperti Hans Herbert Stoldt, dan Eta Linnemann, yang kemudian mempertanyakan keabsahan Two Source Hypothesis, karena kurangnya bukti yang dapat menyatakan bahwa Injil Markus merupakan Injil yang pertama dituliskan.

5. Kesimpulan

Melihat kenyataan di atas, kami di Katolisitas memilih untuk berpegang kepada tulisan para Bapa Gereja dan apa yang dinyatakan oleh pihak Vatikan [daripada berpegang kepada hipotesa para ahli Kitab suci di abad 19]: bahwa Injil yang pertama ditulis adalah Injil Matius.

Konsili Vatikan II juga menyatakan urutan Injil demikian:
“Selalu dan di mana-mana Gereja mempertahankan dan tetap berpandangan, bahwa keempat Injil berasal dari para rasul. Sebab apa yang atas perintah Kristus diwartakan oleh para rasul, kemudian dengan ilham Roh ilahi diteruskan secara tertulis kepada kita oleh mereka dan orang-orang kerasulan, sebagai dasar iman, yakni Injil dalam keempat bentuknya menurut Matius, Markus, Lukas dan Yohanes”  (Dei Verbum, 18)

18 COMMENTS

  1. Shalom
    secara umum, para ahli PB sepakat: Injil yang terpendek, itu yang tertua oleh karena penulis Injil yang terkemudian cenderung memberi penjelasan yang lebih urai dari sumber pertama dengan maksud supaya pembaca lebih mengerti lebih jelas, lebih teratur (mis.Lk 1:1-3) jadi, kesimpulan: Injil Markus merupakan injil yang tertua,karena Injil Markuslah yang terpendek.

    [dari katolisitas: Kalau yang pertama dasarnya adalah yang paling pendek, maka menurut saya ini adalah argumentasi yang lemah. Karena bisa saja yang pertama adalah yang panjang, kemudian diringkas]

  2. Salam sejahtera……
    Saya Dimas siswa Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang. Saya mendapat tugas dari romo pembimbing, untuk mencari bagaimana kondisi lingkungan serta tujuan penulisan Injil Matius. Saya mohon bantuannya, karena referensi saya begitu terbatas. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih….

    • Shalom Dimas,

      Terima kasih telah menjawab panggilan Tuhan untuk belajar di Seminari Menengah Mertoyudan. Kami minta maaf, bahwa kami tidak dapat memberikan jawaban yang mendetail, karena kalau hal ini menjadi bagian dari tugas, anda harus mencoba untuk mencarinya. Proses pencarian ini sesungguhnya sangat baik dan indah. Cobalah melihat siapa yang mengarang Injil Matius, tahun berapa, ditujukan kepada siapa, dll. Anda coba mencari di internet dan juga di situs ini – silakan klik. Injil Matius adalah Injil yang pertama ditulis, seperti yang dipaparkan di sini – silakan klik. Namun mungkin hal ini dapat menjadi bahan diskusi yang cukup panjang. Injil ini ditulis untuk umat Kristen Yahudi dan kemungkinan ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aram. Coba anda melihat Injil Matius dalam konteks Kerajaan Allah, baik merupakan panggilan pertobatan, dimensi ekklesiologi, serta eskatologi. Selamat mengerjakan tugas.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  3. Shalom, salah satu sifat sebuah ilmu adalah terbuka. Saya membaca buku tafsir injil Matius karangan Stefan Leks, yang mengungkapkan apa yang saya katakan, dan kalau saya mendengar beberapa imam yang baru pulang studi dari Roma, kebanyakan mereka mengajarkan serupa bahwa Markuslah yang pertama. Apakah ini bisa menjadi indikasi bahwa ajaran / penemuan terbaru memang menunjuk bahwa Markus ditulis lebih dahulu? Apa yang ditulis saudara Maximillian Reinhart merupakan ceramah belum terlalu lama, maka kalau dalam ilmu-ilmu modern ada jurnal ilmiah, maka, sebagai sebuah ilmu, penelitian terhadap Kitab Suci juga pasti akan mengikuti perkembangan ilmu-ilmu modern. Salam

    • Shalom Feliz,

      Mungkin benar, jika sifat sebuah ilmu adalah terbuka, namun dalam hal Teologi, nampaknya sikap keterbukaan ini juga harus disertai dengan pertimbangan pengajaran yang telah diturunkan sejak awal mula. Ini sebenarnya prinsip yang selalu dipegang oleh Gereja Katolik, sehingga dalam Konsili Vatikan II, selain diadakan semangat pembaharuan untuk masa depan (Aggiornamento), juga diadakan peninjauan/ melihat kembali ke masa yang lalu untuk mempertahankan tradisi yang baik yang sudah berakar sebelumnya (Ressourcement).

      Berpegang kepada prinsip ini, kami di Katolisitas tetap berpegang bahwa Injil Matius merupakan Injil yang pertama ditulis, dengan dasar pemikiran seperti yang telah kami sampaikan di atas. Jika anda mengetahui, silakan anda sampaikan inti dasar- dasarnya mengapa anda berpikiran bahwa Injil Markus adalah yang pertama ditulis; sebab hasil studi yang pernah kami baca tentang teori ini, tidak cukup meyakinkan kami bahwa Injil Markus adalah yang pertama dituliskan. Itulah sebabnya kami tetap berpegang kepada pandangan yang sudah lama berakar dari Tradisi Suci, bahwa Injil Matius-lah yang pertama kali ditulis.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

  4. Terima kasih infonya mengenai adanya berbagai sumber tentang penulisan Injil. Seperti beberapa teman, saya juga pernah mendengar dari beberapa romo yang meyakini bahwa Injil Markus adalah yang tertua. Penjelasan yang pernah saya dapatkan adalah, mengapa ada bagian yang dalam Matius ada, tetapi dalam Markus tidak ada? Penjelasannya adalah: kalau Injil Markus yang tertua, maka Matius dan Lukas menjadikan Markus sebagai sumber penulisan dan menambahkan sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing. Bagaimana dengan pendapat ini? Mohon klarifikasi. Terimakasih

    • Shalom Feliz,

      Kami telah menyampaikan argumentasi mengapa kami mempercayai bahwa Injil Matiuslah yang ditulis terlebih dahulu, seperti yang dituliskan di tanya jawab di atas. Kalau seseorang percaya bahwa Injil Markus yang ditulis terlebih dahulu dengan dasar bahwa karena Injil Markuslah yang tertua dan Injil Matius dan Lukas menjadikan Markus sebagai sumber tulisan dan kemudian menambahkan yang lain, maka saya rasa alasan ini kurang kuat. Di satu sisi, dengan argumen yang sama, maka saya dapat juga mengatakan bahwa Matiuslah yang tertua dan Markus kemudian meringkasnya, sehingga dia hanya menampilkan bagian-bagian tertentu. Saya rasa, dua argumentasi seperti itu sama-sama kurang mempunyai dasar yang kuat.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  5. Dear Pak Stef dan Bu Inggrid,

    Saya sedang mencari-cari tentang gambar wajah dari 4 penulis Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) tetapi sulit untuk menemukan mana yang benar, karena terkadang mereka dilambangkan dengan 4 buah simbol (Lion, Calf, Angel/Human, Eagle) dan penerapan untuk ke empatnya terkadang berbeda, mengacu ke sini: http://catholic-resources.org/Art/Evangelists_Symbols.htm

    Dan yang ingin saya tanyakan manakah yang diterima oleh Gereja Katolik pada sekarang ini? Apakah semuanya diterima? Kalau boleh saya juga ingin tahu gambaran wajah untuk ke 4 penulis Injil tersebut.

    Terima Kasih.

    • Sepanjang pengetahuan saya, Gereja Katolik tidak pernah secara resmi mengeluarkan pernyataan keempat lambang maupun gambar wajah dari ke-empat penulis Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes). Maka link yang anda sebutkan di atas, juga pada dasarnya merupakan tulisan yang merangkum beberapa pendapat/ pandangan mengenai hal ini. Adapun adanya perbedaan pandangan dalam hal ini tidak mempengaruhi ajaran iman Katolik. Dapat dilihat di link tersebut, bahwa pandangan/ interpretasi St. Ireaneus, St. Agustinus dan St. Hieronimus (St. Jerome) juga tidak sama. Agaknya, dalam hal ini Gereja memberikan kebebasan untuk menginterpretasikan lambang- lambang tersebut.
      Demikian juga dengan gambar ke-empat pengarang Injil, silakan anda search di google dengan kata kunci: ‘pictures of the four Gospel writers’, dan anda akan memperoleh beberapa macam gambar yang menggambarkan wajah keempat pengarang Injil.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan, Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. Sepertinya hal ini (mana Injil yg pertama) adalah salah satu contoh tradisi (dengan “t” kecil) . Sehingga masing-masing akademisi boleh memegang keyakinan akalbudinya.

    • Shalom Fxe,

      Walaupun hal keutamaan Injil Matius bukan merupakan pengajaran yang bersifat infallible, namun bukan berarti bahwa pengajaran ini tidak benar, ataupun tidak mempunyai dasar yang kuat. Sebaliknya, justru keutamaan Injil Matius diajarkan oleh para Bapa Gereja sejak abad- abad awal, sehingga mempunyai akar yang kuat dalam tradisi Gereja secara umum.

      Berikut ini adalah tanggapan dari penasehat Teologis situs Katolisitas, Dr. Lawrence Feingold, S.T.L, tentang keutamaan Injil Matius. Kami sertakan jawabannya dalam bahasa Inggris, dan terjemahannya kami sertakan tepat di sebelah-nya)

      On Matthean Primacy

      (by Dr. Lawrence Feingold STL)

      The reasons for holding Matthean primacy are exceedingly strong, in my view. The first most important reason for holding Matthean primacy is that our earliest historical documents on the authorship of the Gospels all imply that Matthew wrote his Gospel first. We see this from St. Irenaeus, Clement of Alexandria, Origen, St. Jerome, and St. Augustine, among others.

       

      The second reason is that since our earliest sources tell us that Matthew wrote in the language of the Jews. It makes perfect sense that the first Gospel would have been written in Hebrew or Aramaic, for the Church’s first effort of evangelization—in her first quarter century of existence—was directed primarily to the Jews in Israel.[1] The Gospel of Matthew would thus be a record of the first apostolic preaching in Israel. Papias also seems to infer that at first there was no official translation of Matthew into Greek, but that one already existed in Papias’s time. Our canonical Greek Gospel of Matthew would thus be a translation that was officially adopted by the Church in the latter part of the first century, as Greek became her predominant language.

       

       

      St. Irenaeus writes: “Matthew also published a gospel in writing among the Hebrews in their own language, while Peter and Paul were preaching the gospel and founding the church in Rome. But after their departure, Mark, the disciple and interpreter of Peter, also transmitted to us in writing what Peter used to preach. And Luke, Paul’s associate, also set down in a book the gospel that Paul used to preach. Later, John, the Lord’s disciple—the one who lay on his lap—also set out the gospel while living at Ephesus in Asia Minor.”[2]

       

       

      Origen, disciple of Clement of Alexandria, active in the first half of the third century, and the greatest Scripture scholar of his time, writes:

      "I accept the traditional view of the four gospels which alone are undeniably authentic in the Church of God on earth. First to be written was that of the one-time tax collector who became an apostle of Jesus Christ—Matthew; it was published for believers of Jewish origin, and was composed in Aramaic. Next came that of Mark, who followed Peter’s instructions in writing it, and who in Peter’s general epistle was acknowledge as his son [1 Pt 5:13]. . . . Next came that of Luke, who wrote for Gentile converts the gospel praised by Paul. Last of all came John’s.[3]

       

       

      In other words, according to Origen, the chronological order in which the Gospels were written, corresponds to their order in our Bibles: Matthew, Mark, Luke, and John. Origen, like Papias and St. Irenaeus, confirms that Matthew was written by the Apostle who had been a publican, and was written first in Hebrew (or Aramaic). Furthermore, he claims that this view was already traditional in the Church.

       

       

      St. Augustine repeats the testimony of his predecessors: “So these four evangelists, well-known throughout the entire world…are regarded to have written in this order: first Matthew, then Mark, third Luke, and last John. Hence, there is one order to them in learning and preaching, and another in writing.”[4]

       

      With regard to Matthean primacy there are two texts of the PBC. The first is from June 19, 1911, no. 2:

      “Should the verdict of tradition be considered to give adequate support to the statement that Matthew wrote before the other Evangelists and wrote the first Gospel in the native language then used by the Jews of Palestine for whom the work was intended? Answer: In the affirmative to both parts.”

       

       

       

      The second is from June 26, 1912, no. 5:

      “As regards the chronological order of the Gospels is it right to depart from the opinion supported by the very ancient and constant testimony of tradition, which avers that after Matthew, who before all the others wrote his Gospel in his native tongue, Mark was the second in order, and Luke the third to write? Or on the other hand is opposition to be found between this opinion and that which asserts the second and third Gospels to have been written before the Greek version of the first Gospel? Answer: In the negative to both parts.”

       

      The decrees of the Pontifical Biblical Commission are certainly not infallible teachings. This is evident because the language is lacking which would indicate the Pope’s intention to teach definitively and bind all the faithful of the Church. Normally this is done by saying that a teaching must be firmly held by all the faithful. Otherwise, it can be done by using the word “definitive” or “define.” Furthermore, the Pope does not give new infallible teachings through documents of the PBC or of the Holy Office (now the CDF). No reputable theologian would hold that these decrees were meant to be infallible. Nor is this implied by Pius X’s Praestantia Scripturae, which gave a severe punishment for disobedience. This is a disciplinary measure.

       

       

       

       

      However, the decrees of the PBC in the first part of the 20th century are part of the ordinary magisterium of the Church, to which the faithful must give religious submission of mind and will. However, it can be argued that the decrees did not intend to bind scholars with regard to future findings of archeology and research. Thus they only state conclusions on the basis of the Church’s historical knowledge at the time of the writing of the decrees. However, I don’t think that anything has been brought forward since that time that would cause one to change this verdict. I think that these responses of the PBC are perfectly reasonable and that they should be followed by theologians.

       

       

      [1] See George Howard, The Gospel of Matthew according to a Primitive Hebrew Text (Macon, GA: Mercer Univ. Press, 1987).

      [2] Against Heresies 3.1.1, in Ante-Nicene Fathers (Peabody, NY: Hendrickson, 1994), 1:414.

      [3] Commentary in Matthew I, quoted in Eusebius, History of the Church 6.25.3-6, p. 265.

      [4] Augustine, De Consensu Evangelistarum (c. 400), 1.3.

      Tentang Keutamaan Injil Matius

      (oleh Dr. Lawrence Feingold STL)

      Alasan- alasan untuk memegang keutamaan Injil Matius adalah sangat kuat, menurut pandangan saya. Alasan pertama yang terpenting untuk memegang keutamaan Injil Matius adalah bahwa dokumen-dokumen sejarah yang terawal tentang pengarang Injil, semuanya menuliskan bahwa Matius menuliskan Injil yang pertama. Kita melihat hal ini dari [tulisan] St. Irenaeus, Klemens dari Alexandria, Origen, St. Hieronimus (Jerome), St. Agustinus dan lain- lain.

      Alasan kedua adalah karena sumber- sumber terawal menyatakan bahwa Matius menulis [Injilnya] dalam bahasa Ibrani. Ini masuk akal, sebab Injil yang pertama memang harus ditulis dalam bahasa Ibrani atau Aram, sebab upaya evangelisasi Gereja di dua puluh lima tahun pertama keberadaannya adalah ditujukan pertama- tama untuk kaum Yahudi di Israel.[1] Maka Injil Matius menjadi rekaman dari pengajaran apostolik yang pertama di Israel. Papias [murid Rasul Yohanes] juga nampaknya menyimpulkan bahwa pada awalnya tidak ada terjemahan yang resmi dari Injil Matius ke bahasa Yunani, namun terjemahan itu sudah ada di jaman Papias. Maka Injil kanonik Matius dalam bahasa Yunani yang kita kenal adalah terjemahan dari teks yang telah secara resmi diambil oleh Gereja di akhir abad pertama, setelah bahasa Yunani menjadi bahasa yang dominan di Gereja.

      St. Irenaeus menulis, "Matius juga menerbitkan sebuah Injil secara tertulis di antara kaum Yahudi di dalam bahasa mereka, sedangkan Petrus dan Paulus memberitakan Injil dan mendirikan Gereja di Roma. Tetapi setelah keberangkatan mereka, Markus, murid dan penerjemah Petrus, juga menurunkan kepada kita secara tertulis apa yang biasanya dikhotbahkan oleh Petrus. Dan Lukas, pembantu Paulus, juga menuliskan sebuah kitab Injil tentang apa yang biasanya dikhotbahkan Paulus. Kemudian, Yohanes, murid Tuhan- yang bersandar di pangkuan-Nya- juga menuliskan Injil ketika tinggal di Efesus, Asia Kecil."[2]

      Origen, murid Klemens dari Alexandria, yang aktif di awal abad ketiga, dan ahli Kitab Suci yang terbesar di jamannya, menulis:

      "Saya menerima pandangan tradisional tentang ke-empat Injil yang dengan sendirinya tak dapat disangkal, otentik di dalam Gereja Tuhan di bumi. Pertama [Injil itu] dituliskan oleh seseorang yang pernah menjadi pemungut cukai, yang kemudian menjadi seorang rasul Yesus Kristus– [yaitu] Matius; Injil itu dibuat untuk orang- orang percaya berkebangsaan Yahudi, dan ditulis dalam bahasa Aram. Selanjutnya adalah Markus, yang memenuhi perintah Petrus untuk menuliskannya, dan yang di dalam surat Rasul Petrus dikenal sebagai anaknya [1 Pt 5:13]… Selanjutnya adalah Lukas, yang menulis untuk umat non- Yahudi Injil yang dipuji oleh Paulus. Terakhir dari semua adalah Injil Yohanes.[3]

      Dengan kata lain, menurut Origen, urutan kronologis tentang penulisan Injil, sesuai dengan urutannya di Kitab Suci kita: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Origen, seperti juga Papias dan St. Irenaeus, menegaskan bahwa Injil Matius ditulis oleh Rasul yang tadinya adalah seorang pemungut cukai, dan pertama kali ditulis dalam bahasa Ibrani (atau Aram). Selanjutnya, ia mengklaim bahwa pandangan ini sudah merupakan pandangan tradisional di dalam Gereja.

      St. Agustinus mengulangi kembali kesaksian para pendahulunya: "Maka para penulis Injil ini, yang terkenal di seluruh dunia … dianggap telah menulis dengan urutan: pertama- tama adalah Matius, lalu Markus, ketiga Lukas dan terakhir Yohanes. Sehingga, terdapat satu keteraturan pada mereka dalam hal pembelajaran dan khotbah/ pemberitaan dan juga dalam hal tulisan."[4]

      Tentang keutamaan Injil Matius, terdapat dua teks dari PBC (Pontifical Biblical Commission). Yang pertama adalah tertanggal 19 Juni 1911, no.2:

      "Apakah keputusan tradisi harus dianggap memberikan dukungan yang cukup kepada pernyataan bahwa Matius menulis sebelum para penulis Injil dalam bahasa asli yang digunakan oleh kaum Yahudi di Palestina yang kepada mereka karya tersebut ditujukan?
      Jawaban: Ya, untuk kedua bagian pertanyaan [Matius adalah penulis Injil pertama, dan Injilnya ditulis dalam bahasa Ibrani dan ditujukan kepada kaum Yahudi]

      Kedua adalah pernyataan tanggal 26 Juni 1912 no.5:

      "Tentang urutan kronologis dari Injil, apakah benar untuk meninggalkan pandangan yang didukung oleh kesaksian tradisi yang sangat kuno dan konstan, yang menegaskan bahwa setelah Matius, yang sebelum semua yang lain menuliskan Injilnya dalam bahasa aslinya, Markus adalah urutan kedua, dan Lukas yang ketiga? Atau di sisi lain, apakah ada pendapat lain yang bertentangan, yang ditemukan antara pendapat ini dan pendapat bahwa Injil yang kedua dan ketiga telah ditulis sebelum versi Yunani dari Injil yang pertama? Jawaban: Tidak, pada kedua pertanyaan.

      Dekrit dari PBC (the Pontifical Biblical Commission) memang bukan pengajaran infallible. Ini nyata sebab bahasa [yang digunakannya] kurang memadai untuk mengindikasikan maksud Paus untuk mengajar secara definitif yang mengikat semua umat beriman di Gereja. Umumnya, hal ini dilakukan dengan mengatakan bahwa suatu ajaran harus dipegang dengan kuat oleh semua umat beriman. Jika tidak demikian, hal itu dinyatakan dengan menggunakan kata, "definitif" atau "mendefinisikan/ menentukan." Selanjutnya, Paus tidak memberikan ajaran baru yang infallible melalui dokumen- dokumen PBC atau dari Tahta Suci (sekarang disebut CDF/ Congregation of Doctrine of the Faith). Tidak ada teolog yang reputable yang mengatakan bahwa dekrit ini dimaksudkan sebagai ajaran infallible. Demikian juga Paus Pius X tidak mengajarkan ini [keutamaan Matius sebagai infallible], dalam Praestantia Scripturae, yang memberikan hukuman yang berat bagi ketidaktaatan [terhadap pengajaran PBC]. Ini adalah ukuran disipliner.

      Namun demikian, dekrit PBC di dalam awal abad ke 20 adalah bagian dari Magisterium ordinaris Gereja, yang kepadanya umat beriman harus memberikan ketaatan religius baik dalam akal budi maupun kehendak. Namun, dapat didiskusikan pula bahwa dekrit ini tidak dimaksudkan untuk mengikat para ahli dalam hal penemuan- penemuan di masa mendatang tentang arkeologis dan penelitian. Oleh karena itu, mereka [Magisterium] hanya dapat menyatakan kesimpulan atas dasar pengetahuan sejarah Gereja pada saat penulisan dekrit. Walaupun begitu, saya tidak berpikir bahwa ada sesuatu yang telah ditemukan sejak saat itu [saat PBC mengeluarkan ajaran tentang keutamaan Injil Matius] yang dapat membuat seseorang mengubah keputusan ini. Saya berpikir bahwa tanggapan- tanggpan PBC adalah sungguh masuk akal dan karenanya seharusnya diikuti oleh para teolog.

      [1] Lihat George Howard, The Gospel of Matthew according to a Primitive Hebrew Text (Macon, GA: Mercer Univ. Press, 1987).

      [2] Against Heresies 3.1.1, in Ante-Nicene Fathers (Peabody, NY: Hendrickson, 1994), 1:414.

      [3] Commentary in Matthew I, quoted in Eusebius, History of the Church 6.25.3-6, p. 265.

      [4] Augustine, De Consensu Evangelistarum (c. 400), 1.3.

      Berdasarkan penjabaran di atas, maka kita ketahui bahwa keutamaan Injil Matius mempunyai akar yang kuat dalam tradisi Gereja, karena telah berabad- abad diajarkan oleh para Bapa Gereja. Dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku umum, yaitu: jika terdapat konsensus yang benar antara para Bapa Gereja dalam hal iman dan moral secara definitif, maka ajaran tersebut harus dianggap sebagai sesuatu yang menjadi bagian dari Tradisi, maka menurut kami di Katolisitas, inilah yang terjadi pada keutamaan Injil Matius. Namun demikian, pada akhirnya Magisterium Gerejalah yang berhak menentukan hal ini. Sejauh ini memang pernyataan yang paling jelas disampaikan adalah melalui PBC, seperti telah disampaikan di atas, walaupun tidak bersifat mengikat dan infallible.

      Sebagai kesimpulan, kami di Katolisitas berpegang kepada keutamaan Injil Matius, pertama- tama karena para saksi mata yaitu Bapa Gereja yang hidup paling dekat dengan masa penulisan Injil (Papias, St. Klemens dan St Irenaeus), memberikan kesaksian demikian. Sedangkan paham keutamaan Injil Markus baru dimulai di abad ke-19, itupun lahirnya dari hipotesa para ahli Kitab Suci non- Katolik dan peristiwa ini berkaitan dengan fakta sejarah Kulturkampf di Jerman, yang menolak otoritas Paus dan ajarannya (seperti telah disebutkan dalam artikel di atas). Bagi kami, kenyataan ini secara obyektif menunjukkan bahwa keutamaan Injil Matius lebih berakar dalam tradisi Gereja Katolik, dibandingkan dengan paham keutamaan Injil Markus.

      Demikian, semoga uraian di atas berguna bagi kita semua, untuk memberikan persetujuan akal budi kepada pandangan yang lebih berakar atas pengajaran para Bapa Gereja.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Dear Katolisitas;
        Dua quotes berikut:
        “Walaupun hal keutamaan Injil Matius bukan merupakan pengajaran yang bersifat infallible, namun bukan berarti bahwa pengajaran ini tidak benar, ataupun tidak mempunyai dasar yang kuat.”
        dan …
        “However, the decrees of the PBC in the first part of the 20th century are part of the ORDINARY MAGISTERIUM of the Church, to which the faithful must give religious submission of mind and will.”

        Saya ingin berdiskusi lebih lanjut sbb.:
        Maka ajaran dari ranah “Ordinary Magisterium” tidak selalu infallible teaching, namun ada juga yang non-infallible tetapi saya istilahkan “authoritative” sehingga tetap menuntut submission of mind & will.

        Hal ini berbeda dgn ajaran2 dari ranah “Extraordinary Magisterium” yang biasanya menggunakan kata-kata yg definitif dan intend to binding (ex-cathedra) shg kita bisa menilai langsung bahwa ajaran tsb infallible, maka:
        Bagaimana kita menilai mana ajaran2 “Ordinary Magisterium” yang infallible dan mana yang authoritative (non-infallible)? Apakah ukuran-ukuran yang digunankan untuk menentukan infalibilitas tsb? Apakah mesti ada “anonimous consensus” seperti yang Anda sebutkan?
        Bukankah sebagian besar ajaran Iman Katolik berada dalam ranah “Ordinary Magisterium” yang sangat luas ini, dimana meliputi ajaran2 para Bapa Gereja, para Uskup dan Paus sepanjang sejarah, sedangkan sebagian kecil saja ajaran yang dinyatakan infallible secara “Extraordinary Magisterium” / ex-cathedra.
        Maka, wisdom untuk menetukan infalibilitas dalam “Ordinary Magisterium” kelihatannya menjadi sangat penting.
        Demikian pertanyaan saya, terima kasih banyak Katolisitas. Semoga Tuhan memberkati kita.

        • Shalom Fxe,

          Terima kasih atas pertanyaan yang bagus ini.

          1. Tentang Extraordinary dan Ordinary Magisterium.

          Ya, benar pandangan anda, bahwa pengajaran Ordinary Magisterium (Magisterium biasa) dapat bersifat infallible, atau authoritative tetapi non-infallible. Berikut ini definisi dalam KHK tentang Magisterium, Ordinary Magisterium (Magisterium secara biasa) ataupun Extraordinary Magisterium (Magisterium secara luar biasa/ dimaklumkan secara meriah) :

          KHK 749

          § 1 Berdasarkan jabatannya Paus memiliki ketidak- dapat-sesatan (infallibilitas) dalam Magisterium, apabila selaku Gembala dan Pengajar tertinggi seluruh kaum beriman, yang bertugas untuk meneguhkan iman saudara-saudaranya, memaklumkan secara definitif bahwa suatu ajaran di bidang iman atau di bidang moral harus diterima.

          § 2 Ketidak-dapat-sesatan dalam Magisterium dimiliki pula oleh Kolegium para Uskup, apabila para Uskup, tergabung dalam Konsili Ekumenis, melaksanakan tugas mengajar dan selaku pengajar dan hakim iman dan moral, menetapkan bagi seluruh Gereja bahwa suatu ajaran di bidang iman atau moral harus diterima secara definitif; ataupun apabila mereka, tersebar di seluruh dunia, namun memelihara ikatan persekutuan antara mereka dan dengan pengganti Petrus, mengajarkan secara otentik, bersama dengan Uskup Roma itu, sesuatu dari iman atau dari moral dan mereka seia-sekata bahwa ajaran itu harus diterima secara definitif.

          § 3 Tiada satu ajaran pun dianggap sudah ditetapkan secara tak- dapat-sesat [infallible], kecuali hal itu nyata dengan pasti.

          KHK 750

          § 1 Dengan sikap iman ilahi dan katolik harus diimani semuanya yang terkandung dalam sabda Allah, yang ditulis atau yang ditradisikan, yaitu dalam khazanah iman yang satu yang dipercayakan kepada Gereja, dan sekaligus sebagai yang diwahyukan Allah dikemukakan entah oleh Magisterium Gereja secara meriah, entah oleh Magisterium Gereja secara biasa dan umum; adapun khazanah iman itu menjadi nyata dari kesepakatan orang-orang beriman kristiani di bawah bimbingan Magisterium yang suci; maka semua harus menghindari ajaran apapun yang bertentangan dengan itu.

          § 2 Dengan teguh harus juga dipeluk dan dipertahankan semua dan setiap hal yang menyangkut ajaran iman atau moral yang dikemukakan secara definitif oleh Magisterium Gereja, yaitu hal-hal yang dituntut untuk menjaga tanpa cela dan menerangkan dengan setia khazanah iman tersebut. Maka dari itu adalah melawan ajaran Gereja Katolik orang yang menolak proposisi yang harus dipegang secara definitif tersebut.

          Dengan pengertian ini maka berikut ini saya terjemahkan dan sesuaikan tabel dari Wikipedia, yang mengambil sumber dari Lumen Gentium, 25, KHK Kann 749-754, dan Archbishop Michael Sheehan, Apologetics and Catholic Doctrine, St. Austin Press, 2001:

          Pengajar

          Tingkatan
          Magisterium:

          Derajat kepastian (level of certitude) Persetujuan yang disyaratkan
          1. Paus sebagai penerus Rasul Petrus, “ex cathedra“, mengajar secara definitif, universal,
          tentang iman dan moral
          Extraordinary (dan ajaran universal Gereja)

          Tidak dapat sesat (Infallible)

          Persetujuan penuh dalam hal iman (Full Assent of Faith)
          2. Para uskup dalam persatuan dengan Paus, menetapkan doktrin di Konsili Umum, definitif, universal, tentang iman dan moral Extraordinary (dan ajaran universal Gereja) Infallible Persetujuan penuh dalam hal iman (Full Assent of Faith)Full Assent of Faith
          3. Para Uskup, mengajarkan secara definitif, walaupun terpencar, namun dalam kesatuan suara dengan Paus dan dalam kesatuan dengannya, definitif, universal tentang iman dan moral Ordinary dan ajaran universal Gereja Infallible Persetujuan penuh dalam hal iman (Full Assent of Faith)
          4. Paus Ordinary Authoritative but noninfallible Ketaatan religius dari akal budi dan kehendak
          5. Para Uskup Ordinary Authoritative but noninfallible Ketaatan religius dari akal budi dan kehendak
          6. Para Teolog Magisterium cathedrae magistralis (menurut Thomas Aquinas, Quodlibet III, 9 ad 3) Neither authoritative nor infallible Diperbolehkan adanya ketidaksetujuan/ perbedaan argumen yang sah (menurut tradisi Quaestiones Disputatae)
          7. Para imam Ordinary Tidak ada kuasa Magisterium

          Pengajaran tentang Keutamaan Injil Matius, seperti yang secara resmi dikeluarkan oleh Pontifical Biblical Commission pada tanggal 19 Juni 1911 tersebut termasuk bagian dari pengajaran Paus Pius X, karena dikeluarkan dengan persetujuan Paus Pius X. [Jadi di tabel di atas, termasuk katagori nomor 4]. Melalui Motu Proprio Praestantia Scripturae, Paus Pius X mengajarkan bahwa kita harus taat kepada pengajaran yang disampaikan oleh PBC (Pontifical Biblical Commission), seperti kita menaati dekrit- dekrit yang disetujui oleh Paus:

          “Wherefore We find it necessary to declare and to expressly prescribe, and by this Our act We do declare and decree that all are bound in conscience to submit to the decisions of the Biblical Commission relating to doctrine, which have been given in the past and which shall be given in the future, in the same way as to the decrees of the Roman congregations approved by the Pontiff; nor can all those escape the note of disobedience or temerity, and consequently of grave sin, who in speech or writing contradict such decisions, and this besides the scandal they give and the other reasons for which they may be responsible before God for other temerities and errors which generally go with such contradictions.”

          Oleh sebab itu, maka walaupun tidak infallible, pengajaran tentang keutamaan Injil Matius memiliki tingkatan authoritative, artinya tetap mensyaratkan ketaatan akal budi dan kehendak. Namun demikian, kami di Katolisitas memegang keutamaan Injil Matius bukan semata karena ketaatan kepada ajaran PBC ini, tetapi juga karena fakta/bukti tertulis sepanjang sejarah Gereja menunjukkan bahwa keutamaan Injil Matius ini lebih berakar kuat dari tradisi pengajaran para Bapa Gereja, daripada paham keutamaan Injil Markus.

          2. Bagaimana membedakan antara ajaran yang infallible dan non- infallible

          Sebenarnya, perlu dipahami dahulu ajaran disebut infallible atau non- infallible pertama- tama tergantung dari ciri- ciri pengajarannya itu sendiri, dan bukan semata tergantung dari siapa yang memberikannya ataupun bagaimana cara pemberiannya (Extraordinary atau ordinary magisterium). Mungkin ada baiknya kita lihat dulu definisi keduanya:

          Extraordinary Magisterium (Magisterium luar biasa) adalah Bapa Paus ketika mengajar ‘ex- cathedra‘, dan para Uskup Gereja Katolik ketika tergabung dalam Konsili. Sedangkan Ordinary Magisterium adalah para uskup Gereja Katolik dan peran mereka sebagai pengajar. Ketika para Uskup secara seia sekata mengajarkan ajaran dalam kesatuan dengan ajaran Bapa Paus, mereka disebut sebagai ‘Ordinary and universal Magisterium’ (Magisterium biasa dan umum)

          Maka, extraordinary maupun ordinary itu hanya menunjukkan bagaimana caranya ajaran itu disampaikan dan oleh siapa, tetapi perihal apakah ajaran itu infallible atau non-infallible, kita mengacu kepada katagori Credenda (lih. KHK 750, §1), Tenenda (lih. KHK 750, §2), Obsequium (lih. KHK Kann. 752, 753), dan Servandi, (KHK Kan. 754) seperti pernah saya sampaikan pada jawaban saya terdahulu di sini, silakan klik.

          Pemahaman bahwa ada dua katagori ini (dari segi bagaimana/ siapa yang mengeluarkan pengajaran, dan tingkatan pengajaran itu sendiri), membantu kita memahami beberapa fakta:

          a. Paus pada saat menyatakan pengajaran ex-cathedra (Magisterium luar biasa), pasti ajarannya bersifat infallible.
          b. Paus yang mengajar tidak dalam pernyataan ex-cathedra, (pemaklumannya tidak secara meriah/ luar biasa), juga dapat mengajarkan pengajaran infallible, asalkan ia mengajar secara definitif tentang iman dan moral dalam kapasitasnya sebagai penerus rasul Petrus, yang berlaku untuk Gereja Universal.
          c. Tidak semua ajaran Paus bersifat infallible, sebab infallibilitas suatu ajaran hanya terjadi jika ajaran tersebut dikeluarkan secara definitif dari Paus selaku penerus Rasul Petrus, tentang iman dan moral, dan berlaku untuk Gereja universal. Jadi di luar hal pengajaran iman dan moral, pengajaran Bapa Paus non-infallible.

          d. Jika di Konsili ada uskup A yang menyuarakan suatu pengajaran, tetapi tidak dalam kesatuan suara dengan pengajaran kolese para uskup lainnya dan Bapa Paus, maka pengajaran uskup A tersebut non-infallible (walaupun disuarakan pada saat Konsili).
          e. Uskup yang mengajarkan suatu ajaran di keuskupannya, di luar waktu konsili, tentang iman dan moral, dan dalam kesatuan dengan ajaran kolese para Uskup sedunia dan ajaran Bapa Paus, maka ajarannya bersifat infallible.
          f. Jika ada Uskup yang mengajarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran kolese para uskup dan Bapa Paus, tentang iman dan moral, maka ajarannya non-infallible.
          g. Dokumen Gereja hasil Konsili, surat ensiklik/ ekshortasi apostolik Bapa Paus tidak otomatis semuanya infallible. Suatu pengajaran dinyatakan infallible jika dipenuhi syarat seperti disebutkan pada point c.

          Untuk mengetahui apa saja ajaran definitif dan infallible- Credenda dan Tenenda– dari Magisterium, silakan melihat daftar dogma di sini, silakan klik. Sedangkan prinsip ajaran Tenenda, silakan melihat prinsipnya dalam Ad tuendam fidem, oleh Paus Yohanes Paulus II, point 3, teks lengkapnya dapat dibaca di sini, silakan klik

          Menurut hemat saya, tidaklah terlalu penting untuk mengetahui suatu ajaran itu infallible atau authoritative, karena keduanya menyangkut pengajaran yang benar dan mensyaratkan ketaatan untuk menerimanya. Perbedaannya hanya, jika ajaran disebut infallible, maka ketaatan penuh harus diberikan dalam iman yang katolik, akan pengajaran yang dinyatakan sebagai diwahyukan oleh Tuhan. Artinya tanpa ketaatan terhadap ajaran tersebut sebenarnya kita bukan umat Katolik. Sedangkan pada pengajaran authoritative, maka kita harus taat dalam akal budi dan kehendak, tetapi kita mengetahui bahwa ajaran itu walaupun benar, tetapi tidak diwahyukan oleh Tuhan. Ketidaktaatan akan pengajaran ini memang bukan hal yang baik, tetapi tidak serta merta menjadikan seseorang tidak Katolik lagi.

          Yang mungkin masih dapat diperdebatkan adalah, jika suatu pengajaran masih dalam tahap diskusi antar para Teolog, yang belum didefinisikan oleh Magisterium, sebab dalam hal ini, masih diperbolehkan adanya perbedaan pandangan.

          3. Apakah kebanyakan pengajaran adalah dari Magisterium biasa?

          Jika extraordinary Magisterium diartikan sebagai pengajaran Paus ex- cathedra dan pengajaran pada konsili- konsili, maka memang pengajaran ini dapat langsung diketahui dengan membaca dokumennya (pengajaran definitif hasil konsili dapat dibaca dalam situs Vatican.va). Sedangkan pernyataan ex-cathedra Paus memang tidak banyak, contohnya seperti dicatat oleh Francis Sullivan, Creative Fidelity: Weighing and Interpreting Documents of the Magisterium, bab 6), ada tujuh hal kesemuanya infallible:

          a. “Tome to Flavian“, Pope Leo I, 449, on the two natures in Christ, received by the Council of Chalcedon;
          b. Letter of Pope Agatho, 680, on the two wills of Christ, received by the Third Council of Constantinople;
          c. Benedictus Deus, Pope Benedict XII, 1336, on the beatific vision of the just prior to final judgment;
          d. Cum occasione, Pope Innocent X, 1653, condemning five propositions of Jansen as heretical;
          e. Auctorem fidei, Pope Pius VI, 1794, condemning seven Jansenist propositions of the Synod of Pistoia as heretical;
          f. Ineffabilis Deus, Pope Pius IX, 1854, defining the Immaculate Conception;
          g. Munificentissimus Deus, Pope Pius XII, 1950, defining the Assumption of Mary.

          Sedangkan ajaran lainnya, yang walaupun tidak diumumkan secara ex-cathedra ataupun merupakan hasil konsili-konsili dapat juga merupakan pengajaran yang infallible, seperti pengajaran tentang ordinasi imam yang hanya diberikan kepada pria saja (dalam Ordinatio Sacerdotalis) oleh Paus Yohanes Paulus II, demikian juga beberapa pernyataan dalam Humanae Vitae, Evangelium Vitae, dan Katekismus Gereja Katolik maupun dokumen pengajaran para Paus, yang memenuhi syarat infalibilitas. Ajaran Magisterium biasa tersebut juga dapat merupakan pengajaran non-infallible, yang walaupun benar, tetapi tidak ‘divinely revealed‘/ diwahyukan oleh Tuhan.

          Jadi dengan demikian, diperlukan kejelian untuk menangkap apabila dalam ajaran Magisterium yang sifatnya ordinary/ biasa, seperti pernyataan pengajaran dalam Katekismus, surat- surat ensiklik, dekrit, surat apostolik, ekshortasi apostolik, deklarasi, motu proprio, dst, terdapat pernyataan- pernyataan yang infallible atau tidak, berdasarkan dari ketiga syarat infalibilitas, berdasarkan juga atas apakah dokumen tersebut memuat pengajaran yang sudah pernah dinyatakan infallible oleh Magisterium biasa (ordinary Magisterium) pada waktu- waktu sebelumnya.

          Demikian semoga uraian ini berguna.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Terima kasih bu Ingrid, penjelasan ini membantu pengertian saya tentang “government mechanism” di dalam Gereja.

            quote: “Menurut hemat saya, tidaklah terlalu penting untuk mengetahui suatu ajaran itu infallible atau authoritative, karena keduanya menyangkut pengajaran yang benar dan mensyaratkan ketaatan untuk menerimanya.”.
            Pada hemat saya authoritative-teaching berbeda dgn Credenda & Tenenda. Authoritative-teaching DAPAT BERUBAH di kemudian waktu. Walaupun saat mengeluarkan authoritative-teaching tsb Gereja meyakini kebenarannya berdasarkan pengetahuan yg dimiliki Gereja pada saat itu. Karena itu, menurut saya, ajaran ini meminta respon dari umat yang berbeda dibandingkan respon yang harus diberikan oleh umat pada ajaran infallible.

            Saya coba summary topik ini sbb:
            1) Dalam kehidupan Gereja sehari-hari yang biasa/wajar dan umum (ordinary condition), persekutuan para Uskup dan Paus menggembalakan umat dalam ranah Ordinary Magisterium.
            2) Dalam dinamika kehidupan Gereja yang terus berkembang, para Uskup dan Paus dapat mengeluarkan ajaran yang “authoritative but non-infallible” untuk menjawab kebutuhan2 umat yang terus berkembang (hal2 baru) yang berbeda (belum pernah ada) di waktu-waktu lampau. Dengan berjalannya waktu, authoritative-teaching ini dapat diubah atau ditetapkan menjadi infalible-teaching.
            3) Bila Gereja dalam situasi khusus (extraordinary condition), dimana umat membutuhkan, maka para Uskup dan Paus dapat membuat Extraordinary Magisterium misalnya berupa Konsili-konsili; untuk menjawab kebutuhan2 baru umat, untuk menetapkan suatu ajaran infallible, dll. Pada akhirnya, dalam keadaan lebih khusus, bila umat memerlukan, maka Gereja dapat berserah-diri pada Janji Kristus untuk menjaga GerejaNya dengan menyerahkan Kunci kepada penerus Rasul Petrus; untuk menyatakan secara Ex-Cathedra suatu kebenaran yang infalible. (Saya menganalogikan wewenang Ex-Cathedra Paus seperti hak veto yang dimiliki anggota tetap DK-PBB).
            Fakta historis selama 2000th, Paus jarang sekali menggunakan kuasa Ex-Cathedra ini. Kebanyakan tulisan merujuk ke Tome of Leo adalah ajaran Ex-Cathedra yang pertama, dilanjutkan beberapa ajaran lagi dalam list yg tidak panjang.

            Apakah “government mechanism” seperti diatas yang dimaksud aspek “kolegialitas” sebagai buah KV-2 untuk melengkapi aspek “supremacy of Pope” sebagai buah KV-1..?

            Ada pertanyaan yg belum terjawab:
            Bagaimana kita “saat ini” menilai suatu ajaran, apakah ajaran tsb infalelible ataukah authoritative? Kalau ajaran tsb pernah diajarkan secara definitif dalam konsili atau secara ex-cathedra (extra-ordinary magisterium) kita dapat langsung tahu bahwa ajaran tsb infallible. Tetapi bagaimana bila ajaran tsb berasal dari Ordinary Magisterium? Apa kriteria-kriteria untuk menilai aspek infalibilitasnya? Misalnya: apa kriteria yang digunakan sehingga Anda menganggap “Injil pertama ditulis Matius” adalah ajaran yang tidak infallible tetapi authoritative-teaching? Apakah ada kriteria tertentu yg tidak dipenuhi ajaran ini shg Anda tidak menganggapnya sbg infallible?

            Sekian dulu, semoga Tuhan memberkati kita.

          • Shalom Fxe,

            1. KV I: supremasi Paus; KV II: kolegialitas para Uskup?

            Nampaknya, summary yang anda buat benar. Namun saya ingin menambahkan di sini bahwa setiap ajaran Magisterium yang menyangkut hal iman dan moral, itu adalah ajaran yang authoritative. Sehingga bedanya di sini hanyalah, apakah ajaran itu infallible (seperti dalam Credenda dan Tenenda) atau tidak. Untuk syarat infalibilitas suatu pengajaran, sudah pernah dijabarkan di sini, silakan klik.

            Nah, sekarang perihal pertanyaan anda tentang apakah Konsili Vatikan I (KVI) lebih menekankan supremasi Paus sedangkan Konsili Vatikan II (KV II) kepada aspek kolegialitas. Sebenarnya, jauh sebelum KV I dan KV II sudah berlaku supremasi Paus dan aspek kolegialitas antara para Uskup dan Paus. Paling jelas, hal ini terlihat dalam penentuan kanon Kitab Suci, yang pertama oleh Paus Damasus I (382) dan kemudian diteguhkan oleh Konsili Hippo (393) dan Carthage (397). Jadi KV I hanya merumuskannya dengan lebih jelas dalam suatu pernyataan, demikian juga dengan KV II. Bahwa KV I menuliskan secara definitif tentang infalibilitas Paus, itu tidak mengubah fakta, bahwa sebelum KV I supremasi Paus dan infalibilitas Paus sudah berlaku di dalam Gereja. Gereja Katolik hanya menuliskannya secara definitif pada KV I untuk menegaskan kembali apa yang selama itu diimani oleh Gereja, untuk menanggapi gerakan reformasi Protestan yang menentang supremasi Paus. Hal ini sama dengan ditetapkannya secara definitif ajaran tentang Ke-Tuhanan Yesus di konsili Nicea (325); bukan karena baru pada saat itu Yesus dinyatakan sebagai Tuhan oleh Gereja, tetapi pada saat itu Gereja menegaskan kembali pernyataan imannya sejak semula (dalam Credo) tentang ke-Allahan Yesus, untuk menanggapi ajaran sesat Arianisme (yang mengatakan Yesus bukan Tuhan) yang berkembang pada saat itu.

            Tentang teks dokumen KV I tentang supremasi dan infalibilitas Paus dapat dibaca di dokumen KVI, Session 3, Chap. 4, lihat secara khusus point 13 dan 14 dan Session IV, khususnya Chap. 3 dan 4, klik di link ini. Namun demikian KV I tidak bicara melulu tentang supremasi dan infalibilitas Paus tanpa menyinggung tentang aspek kolegialitas para Uskup. Hal kolegialitas sudah disebutkan dalam KV I di pembukaan Ses. 3:

            “But now it is our purpose to profess and declare from this chair of Peter before all eyes the saving teaching of Christ, and, by the power given us by God, to reject and condemn the contrary errors. This we shall do with the bishops of the whole world as our co-assessors and fellow-judges, gathered here as they are in the holy Spirit by our authority in this ecumenical council, and relying on the word of God in Scripture and Tradition as we have received it, religiously preserved and authentically expounded by the Catholic Church…

            Di Ses. IV, chap.3, no. 5:

            This power of the supreme pontiff by no means detracts from that ordinary and immediate power of episcopal jurisdiction, by which bishops, who have succeeded to the place of the apostles by appointment of the holy Spirit, tend and govern individually the particular flocks which have been assigned to them. On the contrary, this power of theirs is asserted, supported and defended by the supreme and universal pastor; for St Gregory the Great says: “My honour is the honour of the whole church. My honour is the steadfast strength of my brethren. Then do I receive true honour, when it is denied to none of those to whom honour is due.”

            Sedangkan untuk teks KV II yang menjelaskan ajaran tentang tugas Paus (disebut sebagai Iman Agung di Roma) dan para Uskup sebagai penerus para rasul dan aspek kolegialitas, ada dalam Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium, yaitu dari paragraf 19 sampai dengan 25, silakan klik di sini. Secara khusus penekanan kesatuan Dewan para Uskup (kolegialitas) dengan Paus disebut secara eksplisit dalam Lumen Gentium 22, 

            “Adapun Dewan atau Badan para Uskup hanyalah berwibawa bila bersatu dengan Imam Agung di Roma [Paus], pengganti Petrus, sebagai Kepalanya, dan selama kekuasaan Primatnya terhadap semua, baik para Gembala maupun para beriman, tetap berlaku seutuhnya. Sebab Imam Agung di Roma [Paus] berdasarkan tugasnya, yakni sebagai Wakil Kristus dan Gembala Gereja semesta, mempunyai kuasa penuh, tertinggi dan universal terhadap Gereja; dan kuasa itu selalu dapat dijalankannya dengan bebas. Sedangkan Badan para Uskup, yang menggantikan Dewan para Rasul dan tugas mengajar dan bimbingan pastoral, bahkan yang melestarikan Badan para Rasul, bersama dengan Imam Agung di Roma [Paus] selaku Kepalanya, dan tidak pernah tanpa Kepala itu, merupakan subjek kuasa tertinggi dan penuh juga terhadap Gereja (Lih. Risalah resmi ZINELLI, dalam KONSILI VATIKAN I: MANSI 52,11092C); tetapi kuasa itu hanyalah dapat dijalankan dengan persetujuan Imam Agung di Roma [Paus]…”

            2. Keutamaan Injil Matius

            Perihal Keutamaan Injil Matius (Injil Matius adalah Injil yang pertama dituliskan) seperti yang telah diajarkan oleh Bapa Gereja di abad- abad awal (St. Irenaeus, Klemens dari Alexandria, Origen, dst) bukan termasuk Credenda ataupun Tenenda. Yang menjadi point yang masih didiskusikan di antara para Teolog adalah apakah hal keutamaan Injil Matius tersebut mensyaratkan obsequium akal budi maupun kehendak atau tidak. Dengan kata lain, apakah hal keutamaan Injil Matius itu merupakan pengajaran Magisterium biasa (ordinary Magisterium) atau tidak?

            Seperti telah disebutkan di atas, tentang keutamaan Injil Matius, terdapat dua teks dari Pontifical Biblical Commission (PBC):

            1. Pernyataan PBC tanggal Juni 19, 1911, no.2

            “Apakah keputusan tradisi harus dianggap memberikan dukungan yang cukup kepada pernyataan bahwa Matius menulis sebelum para penulis Injil dalam bahasa asli yang digunakan oleh kaum Yahudi di Palestina yang kepada mereka karya tersebut ditujukan?
            Jawaban: Ya, untuk kedua bagian pertanyaan [Matius adalah penulis Injil pertama, dan Injilnya ditulis dalam bahasa Ibrani dan ditujukan kepada kaum Yahudi]

            2. Pernyataan PBC tanggal 26 Juni 1912 no.5:

            “Tentang urutan kronologis dari Injil, apakah benar untuk meninggalkan pandangan yang didukung oleh kesaksian tradisi yang sangat kuno dan konstan, yang menegaskan bahwa setelah Matius, yang sebelum semua yang lain menuliskan Injilnya dalam bahasa aslinya, Markus adalah urutan kedua, dan Lukas yang ketiga? Atau di sisi lain, apakah ada pendapat lain yang bertentangan, yang ditemukan antara pendapat ini dan pendapat bahwa Injil yang kedua dan ketiga telah ditulis sebelum versi Yunani dari Injil yang pertama? Jawaban: Tidak, pada kedua pertanyaan.”

            Dekrit ini cukup kuat, sebab didukung oleh Praesantia Scripturae, oleh Paus Pius X, yang mensyaratkan ketaatan terhadap keputusan PBC, dengan memberikan ketentuan disipliner. Namun demikian, dekrit dari PBC ini bukan pengajaran infallible. Ini terlihat jelas sebab bahasa yang digunakan tidak cukup kuat untuk meng-indikasikan maksud Paus untuk mengajar secara definitif dan mengikat semua umat beriman. Umumnya, pengajaran infallible disampaikan dengan suatu pernyataan bahwa ajaran tersebut harus dipegang dengan sangat kuat (firmly held) oleh semua umat beriman. Atau, dapat digunakan istilah/ kata “definitif” atau “menentukan/ mendefinisikan”. Juga, para Paus tidak memberikan pengajaran- pengajaran baru yang definitif melalui dokumen- dokumen PBC atau the Holy Office (sekarang CDF/ The Congregation for the Doctrine of the Faith)- melainkan melalui dokumen- dokumen resmi yang ditulisnya sendiri atau dokumen Konsili. Dengan demikian tidak ada teolog yang reputable akan menganggap bahwa dekrit- dekrit PBC ini dimaksudkan sebagai pengajaran infallible

            Namun demikian, dekrit PBC di awal abad ke- 20 tersebut dianggap sebagai bagian dari Magisterium biasa (ordinary Magisterium), yang kepadanya umat beriman harus memberikan ketaatan religius dalam hal akal budi dan kehendak. Walaupun begitu, dapat didiskusikan bahwa dekrit tersebut tidak dimaksudkan untuk mengikat para ahli Kitab Suci dalam hal penemuan- penemuan di masa mendatang dalam hal arkeologis dan penelitian. Oleh karena itu, pengajaran tersebut hanya menyatakan kesimpulan- kesimpulan atas dasar pengetahuan Gereja tentang sejarah pada saat penulisan dekrit- dekrit tersebut. Selanjutnya, pengajaran tersebut dengan hati- hati disampaikan untuk melibatkan kekecualian- kekecualian tertentu dan batasan- batasan terhadap klaim yang telah dibuat. Sebagai contoh, keutamaan Injil Matius tidak perlu berarti bahwa versi Yunani Injil Matius yang kanonik ditulis sebelum Injil Markus dan Lukas. Keutamaan Injil Matius hanya berarti bahwa versi asli Injil Matius (kemungkinan besar dalam bahasa Aram) dituliskan pertama kalinya.

            Demikian Fxe, semoga uraian di atas menjawab pertanyaan anda.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

  7. Shalom,
    Saya juga agak bingung tentang mana yang lebih dahulu (tua) antara Injil Markus atau Matius. Sewaktu kuliah dulu sekitar tahun 80-an selama 1 semester pelajaran agama Katolik diisi dengan pembahasan Injil Markus. Pastor yang mengajar juga mengatakan bahwa Injil Markus adalah yang tertua. Sekarang ini saya juga sedang ikut kursus KPKS (Kursus Pendalaman Kitab Suci) di Paroki sedang mulai membahas Injil Matius. Menurut guru/pengajar yang cukup ternama berasal dari LBI, juga dijelaskan hal yang sama. Beberapa teman berpendapat bahwa Injil Matius yang lebih tua.
    Sekarang ada penjelasannya bahwa Injil Matiuslah yang diakui resmi lebih tua dan saya berfikir bahwa mana yang lebih tua menjadi tidak terlalu penting.

    Terima kasih.
    Joseph S.

    • Shalom Joseph,

      Memang, sebenarnya jika kita berpegang kepada pemikiran bahwa kedua Injil baik Matius maupun Markus, ditulis atas inspirasi Roh Kudus, maka sesungguhnya tidak menjadi masalah Injil apakah yang dituliskan terlebih dahulu. Namun masalahnya timbul, jika ditarik suatu kesimpulan- kesimpulan yang diambil sebagai akibat dari pandangan bahwa Injil Markus ditulis lebih dahulu. Secara umum tanggapan yang mungkin muncul adalah anggapan seolah meremehkan/ menganggap keliru Tradisi Gereja, yang berpegang pada kesaksian para Bapa Gereja, yang menyatakan bahwa Injil Matius ditulis lebih dahulu daripada Injil- injil lainnya. Maka selanjutnya, ada kecenderungan dari kelompok yang berpegang kepada ‘two source hypothesis‘ tersebut untuk mengutamakan analisa ‘mencari sumber’ dengan memilah- milah ayat- daripada usaha memperhatikan maksud keseluruhan teks. Kecenderungan ini dapat mengarah kepada analisa- analisa yang mengedepankan ratio, untuk memilah- milah ayat, mana yang benar- benar terjadi, dan mana yang belum tentu terjadi. Kecenderungan ini dapat mengarah kepada mengaburkan faktor mukjizat dan nubuat yang tertulis dalam Kitab Suci. Hal ini terlihat dari pandangan banyak ahli Kitab Suci yang mengatakan bahwa Injil pertama baru ditulis sesudah tahun 70, yaitu setelah bait suci Yerusalem dihancurkan. Alasan umumnya adalah karena penjabaran yang ditulis di Injil perihal nubuat Yesus tentang kehancuran bait Allah di Yerusalem (Mat 24:1-2; Mrk13:1-2, Luk 21:5-6) adalah sangat detail, sehingga hanya mungkin dituliskan setelah kejadian tersebut terjadi. Pandangan ini sebetulnya mengecilkan peran kuasa nubuat dari Yesus sendiri. Bukankah Yesus yang adalah Tuhan, dapat saja mengatakan nubuat tentang sesuatu dengan jelas, meskipun kejadian itu baru terjadi puluhan tahun sesudahnya? Setidaknya, inilah pandangan para Bapa Gereja di abad awal, yaitu Eusebius, Thophylact, Euthymius Zigabenus, Nicephorus Callistus yang berpandangan bahwa Injil Matius adalah Injil yang pertama dituliskan, yaitu sekitar tahun 38-45 AD (sumber: klik di sini), atau setidak- tidaknya tahun 60-67 AD.

      Selanjutnya, ada contoh lain di mana sikap mengedepankan ratio di atas hal supernatural juga mempengaruhi interpretasi suatu perikop; misalnya pada mukjizat pergandaan roti, dikatakan kemungkinan bukan benar- benar terjadi pergandaan, tetapi komunitas yang saling berbagi makanan. Padahal mukjizat pergandaan roti ini adalah salah satu gambaran Ekaristi, dan semua penulis Injilpun menganggapnya penting, maka ditulis dalam ke-empat Injil (Mat 14:13-21, Mrk 6:32-44; Luk 9:10-17; Yoh 6:1-15). Jika ini tidak sungguh terjadi, atau hanya ‘community sharing‘, apakah yang istimewa dari peristiwa ini? Ada lagi contoh, tentang nabi Yunus, yang dikatakan kemungkinan belum tentu ditelan oleh ikan besar, karena bagaimana mungkin sudah ditelan tetapi masih hidup, dst. Padahal, bagaimana mungkin hal ini tidak sungguh terjadi, sebab Yesus sendiri mengacu kepada tanda Yunus ini sebagai nubuatan akan kematian-Nya dalam waktu tiga hari sebelum kebangkitan-Nya?

      Namun, faktanya para ahli Kitab Suci ada yang berpandangan pragmatis seperti ini, dan jika semakin ekstrim, dapat mengarah kepada pandangan Rudolf Bultmann, yang ujung- ujungnya dapat memisahkan Yesus menurut sejarah, dan Kristus yang kita imani, seolah keduanya tidak berhubungan. Tentu ini dapat menjurus kepada penghayatan iman yang keliru, sebab iman Katolik mengajarkan sebaliknya, yaitu Kristus yang kita imani sama dengan Yesus menurut sejarah. Selanjutnya tentang topik ini, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

      Maka hal membaca Kitab Suci dengan cara demikian, yang terlalu cepat mengandaikan bahwa ‘secara literal belum tentu terjadi’ ini tidak sesuai dengan cara membaca Kitab Suci yang diajarkan oleh Magisterium Gereja Katolik. Pontifical Biblical Commission (PBC) pada tahun 1994 pernah menuliskan secara jelas, bagaimana cara menginterpretasikan Alkitab, yang selengkapnya dapat dibaca di link ini, silakan klik. PBC mengajarkan agar dalam membaca Kitab Suci, pertama- tama kita harus menangkap arti literalnya terlebih dahulu, baru kemudian dapat pula dicari arti spiritualnya (arti alegoris, moral, anagogis). Tentang hal ini pernah dibahas di artikel ini, silakan klik. Tentang menangkap arti literal, yaitu arti yang ingin disampaikan penulis, adalah sangat mendasar dan penting, dan ini diajarkan oleh St. Thomas Aquinas (lih. Summa Theologica I, q.1, a.10). Arti literal ini tidak dapat dikacaukan dengan kaum literalist yang menerjemahkan teks, kata- per kata tanpa mau mengetahui konteksnya (misal: hendaklah pinggangmu tetap berikat (Luk 12:35), maksudnya bukan bahwa kita semua harus kemana- mana memakai ikat pinggang, tetapi itu maksudnya adalah ungkapan agar kita selalu bersiap sedia/ berjaga- jaga).

      Dengan demikian, pentinglah kita mempelajari arti literal Kitab Suci, seperti halnya dengan arti spiritualnya. Penting pulalah untuk memperhatikan apa yang diajarkan oleh Magisterium Gereja, karena merekalah yang diberi kuasa untuk mengajar kita semua dalam hal iman dan moral. Maka hal pandangan Injil mana yang lebih dulu dituliskan memang sekilas tidak berhubungan langsung dengan pengajaran iman, namun efeknya dapat mempengaruhi cara pandang kita terhadap ajaran Tradisi Suci dan cara menginterpretasikan Alkitab, dan hal- hal inilah yang berhubungan dengan penghayatan iman kita. Atas dasar inilah kami di katolisitas lebih condong untuk berpegang kepada pandangan bahwa Injil Matius lebih dahulu dituliskan, demi penghormatan kami atas apa yang telah diajarkan oleh Magisterium (melalui Pontifical Biblical Commission, 1911) seperti yang telah diuraikan di artikel di atas.

      Demikian tanggapan saya, semoga berguna.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  8. Dear Pak Stef dan Inggrid…

    INJIL PERTAMA yg ditulis adalah Injil MARKUS yg di tulis pada tahun 70 M atau 40 tahun sesudah Yesus wafat (sumber : ceramah Hortensius F. Manaaru,SSL (Sacred Scripture Licentiate), alumni Pontificium Biblicum, Roma, ceramah tanggal 22 Mei 2006, Forum Club Study Kitab Suci Semi Akademis, Gereja St. Herkulanus , Depok, diosis Bogor).
    ———————————————–
    Dengan tidak mengirangi rasa hormat mohon klarifikasi atas tulisan di bawah ini…
    ——————
    Maka, Tradisi Gereja Katolik, yang setia kepada Tradisi dari para rasul, menunjukkan bahwa INJIL PERTAMA dituliskan oleh MATIUS, berdasarkan kesaksian Bapa Gereja, terutama St. Irenaeus (180), yang menjadi murid St. Polykarpus yang adalah murid Rasul Yohanes. Dari sini saja kita ketahui bahwa kita memerlukan kesaksian/ ajaran para Bapa Gereja [yang kita kenal sebagai Tradisi Suci], untuk menentukan keotentikan Injil, yaitu Injil apa saja yang benar-benar otentik diilhami oleh Allah, mengingat pada saat itu beredar bermacam kitab injil, yang isinya bahkan tidak sesuai dengan ajaran Kristus.

    Jadi manakah yang benar dan manakah yang keliru…???

    Terima kasih
    Salam Damai Natal…

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

Comments are closed.