Para ahli Kitab Suci memperkirakan bahwa kitab Tobit ini ditulis sekitar 250-150 BC, tentang suatu kisah yang terjadi di sekitar abad 8-7 SM.
1. Tobit hidup pada zaman Raja Asyur yang mana?
Dewasa ini ada sejumlah ahli Kitab Suci yang meragukan historisitas kitab Tobit. Sebab dikatakan di kitab Tobit, bahwa Salmaneser, Raja Assyria/ Asyur (727-722) menguasai suku-suku Israel Utara, termasuk suku Naftali (lih. Tob 1:2; 2 Raj 17:5-6), namun menurut para ahli tersebut, deportasi suku Naftali terjadi di zaman Raja Asyur yang bernama Tiglat Pileser III, (734) sebagaimana disebutkan dalam 2 Raj 15:29.
Terdapat sedikitnya dua argumen yang dapat menjawab keberatan ini. Pertama-tama, banyak ahli Kitab Suci tidak mempunyai kata sepakat tentang kapankah suku Naftali dideportasi. Nyatanya dalam sejarah dapat terjadi bahwa proses deportasi/ penawanan berlangsung dalam jangka waktu yang lama (beberapa ahli menyatakan bahkan dalam jangka waktu 65 tahun). Jangka waktu yang lama ini menjadi solusi untuk menjawab raja yang mana yang menawan suku-suku utara Israel. Artinya, bahwa proses deportasi dapat terjadi di masa pemerintahan kedua raja tersebut.
Argumen yang lain disampaikan dalam A Catholic Commentary on Holy Scripture (CCHS), ed. Dom Orchard OSB. Dituliskan di sana bahwa nama raja dalam kitab Tobit adalah “Enemessarus”, sebagaimana tertulis dalam beberapa varian Kitab Septuaginta. Tulisan “Enemessarus” adalah kebalikan dari huruf Asyur “Sarru-ukin” (catatan: mengingat bahwa cara menulis alphabet Asyur adalah dari kanan ke kiri, maka kemungkinan nama raja yang dimaksud adalah nama berdasarkan alphabet yang dibaca dari arah sebaliknya). “Sarru-ukin” ini adalah huruf Asyur dari raja Sargon II, yang memerintah di tahun 721 sampai 705. Maka Salmanaser dalam kitab Tobit 1:2 adalah Raja Sargon II. Solusi ini memberikan jawaban yang lebih masuk akal, sebab deportasi suku Naftali dapat terjadi di masa pemerintahan Raja Sargon II, setelah penguasaan daerah Samaria. Meskipun sudah pernah terjadi deportasi/ masa penawanan suku Naftali di masa sebelumnya, tetapi tetap terbuka kemungkinan bahwa proses deportasi tersebut berlanjut sampai pada masa Raja Sargon II.
Argumen yang diberikan CCHS ini menyelesaikan keberatan lainnya yang tertulis dalam versi Vulgate, bahwa Raja Sanherib adalah anak dari Raja Salmaneser. Para ahli sejarah mengatakan bahwa Raja Sanherib (704-681) adalah anak dari Raja Sargon II (721-705). Dengan melihat bahwa Salmaneser ini mengacu kepada Raja Sargon II, maka tidak ada kontradiksi antara fakta sejarah dengan yang disampaikan dalam kitab Tobit 1:18; dan juga dengan Tob 1:21-22, yang menyebutkan bahwa Tobit juga mengalami masa pemerintahan Raja Sanherib dan pada saat raja itu dibunuh oleh putera-puteranya, dan kemudian salah satu puteranya, Esarhadon, menjadi raja (lih. Tob 1:21-22).
Berikut ini adalah urutan nama Raja Asyur yang menjadi latar belakang deskripsi kitab Tobit (diambil dari buku Chronological Background Charts of the Old Testament, karangan John Walton, (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1994), p. 65)
Tiglat Pileser III (745-727 SM)
Shalmaneser V (727-722 SM)
Sargon II (721-705 SM)
Sennacherib/ Sanherib (704-681 SM)
Esarhaddon (681-669)
2. Apakah Tobit hidup di zaman setelah kematian Raja Solomo (997 SM)?
Dengan penjelasan point 1, maka nampaknya orang-orang yang menghubungkan deportasi Neftali dengan pemberontakan suku-suku Israel Utara yang terjadi setelah kematian Salomo tahun 997 SM, itu menjadi tidak kuat. Argumen ini terlalu jauh menghubungkan dua peristiwa yang tidak berhubungan, yaitu perpecahan bangsa Israel, dengan deportasi suku Naftali di abad 8-7 SM yang dilakukan oleh Raja Asyur, yang sudah jelas disebut namanya di dalam Kitab itu sendiri. Tentu saja, dengan asumsi alokasi kisah Tobit dalam jangka waktu sejarah yang tidak tepat, akan menghasilkan banyak pertanyaan- pertanyaan lain yang sepertinya menjadi tidak cocok, seperti sepertinya tentang umur Tobit. (Dengan asumsi tersebut, Tobit sepertinya berumur lebih dari 257 tahun, padahal ditulis di Tob 14:2 bahwa Tobit wafat di usia 112 tahun). Orang-orang ini kemudian menyimpulkan bahwa kitab Tobit tidak otentik, karena tidak sesuai dengan data sejarah. Padahal sebenarnya, asumsi mereka sendiri yang tidak akurat, karena tidak tepat dalam menghubungkan apa yang tertulis dalam Kitab Tobit, dengan fakta sejarah yang ada.
Maka argumen ini keliru, sebab deportasi suku Naftali tidak terjadi pada pemberontakan suku-suku utara Israel di zaman setelah kematian Raja Salomo (sekitar abad 10 SM), tetapi terjadi di sekitar dua sampai tiga abad sesudahnya, yaitu di zaman Raja Asyur yang bernama Salmaneser (Enemesarrus), sebagaimana dicatat dalam Kitab Tobit itu, yang mengacu kepada Raja Sargon II. Pada zaman Raja Salmaneser itulah (sekitar abad 8-7 SM), Tobit dideportasi dari kampung halamannya di Tisbe (di daerah Galilea) ke Niniwe. Nenek Tobit yang bernama Debora, telah mengajar Tobit sejak ia masih kanak-kanak, untuk mentaati hukum Taurat. Maka meskipun seluruh suku Naftali menyembah Baal dan patung banteng emas yang telah dibuat oleh Raja Yeroboam di Dan, Tobit tetap setia berziarah ke Yerusalem.
3. Kitab Tobit tidak historis karena mencatat hal-hal supernatural?
Selanjutnya, para ahli Kitab Suci yang beraliran rationalis menolak kitab Tobit, karena melihat bahwa di kitab tersebut dicatat hal-hal yang sifatnya supernatural, seperti adanya malaikat, setan, mukjizat, nubuat, dst. Para rasionalis tersebut menganggap hal-hal ini sebagai tahyul sebab tak dapat dibuktikan secara empiris ataupun secara ilmiah; oleh karena itu mereka meragukan historisitas kitab Tobit. Namun sejujurnya, dalam seluruh Kitab Suci hal-hal yang sifatnya supernatural ini (adanya malaikat, setan, mukjizat, nubuat) disebutkan di banyak ayat dan kitab-kitab lainnya dalam Kitab Suci, dan bukan hanya dalam Kitab Tobit. Maka adalah sesuatu yang tidak konsisten, jika kitab Tobit ditolak karena menyebutkan tentang hal-hal ini; sebab jika prinsip ini yang dipakai, seseorang dapat sampai pada keputusan untuk menolak hampir keseluruhan Kitab Suci.
Akhirnya, mari kita melihat juga bahwa Kitab Tobit ini sudah sejak awal tergabung dalam Kitab Septuaginta (sekarang dikenal sebagai bagian dari kitab-kitab Deuterokanonika), dan sudah diterima oleh Gereja sejak abad- abad awal sebagai Kitab yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Gereja Katolik menerima kitab Tobit (dan kitab-kitab Deuterokanonika lainnya), karena memang kitab-kitab tersebut tergabung dan menjadi kesatuan dengan kitab-kitab Perjanjian Lama.
Selanjutnya tentang kitab-kitab Deuterokanonika, silakan membaca di artikel-artikel berikut ini:
Apakah Deuterokanonika tidak termasuk Alkitab?
Menjawab keberatan tentang Septuaginta dan Deuterokanonika
Perkenalan dengan Kitab Suci (bagian-2)
Tentang kitab-kitab Deuterokanonika
Jika kita buka Tobit 14…mengapa tidak ada ayat 1 ?
Terimakasih atas atensinya
Salam
[Dari Katolisitas: Tob 14:1: Demikianlah Tobit mengakhiri lagu pujiannya. (Dalam bahasa Inggris: Here Tobit ended his words of praise (RSV)]
Sdri menulis:
Maka argumen ini keliru, sebab deportasi suku Naftali tidak terjadi pada pemberontakan suku-suku utara Israel di zaman setelah kematian Raja Salomo (sekitar abad 10 SM), tetapi terjadi di sekitar dua sampai tiga abad sesudahnya, yaitu di zaman Raja Asyur yang bernama Salmaneser (Enemesarrus), sebagaimana dicatat dalam Kitab Tobit itu, yang mengacu kepada Raja Sargon II.
Kita anggap semua pakar sejarah dan para ahli memang benar, walaupun masih berupa teori/kemungkinan2. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Tobit 1:4 mengatakan bahwa Tobit juga menyaksikan pemberontakan suku-suku utara Israel di zaman setelah kematian Raja Salomo? Sedangkan pemberontakan ini juga di catat di Alkitab di 1Raj 11:7-13, 1Raj 12:26-33 ? Dari sini berarti kitab Tobit dari segi isinya bertentangan bukan?
salam,
Shalom Kevin,
Tidak juga. Sebab pemberontakan suku-suku Utara Israel (termasuk Naftali) terhadap keluarga Daud dan keturunannya, dan terhadap Yerusalem, itu terjadi tidak hanya pada setelah zaman Raja Salomo, tetapi juga pada abad-abad berikutnya. Ini jelas terlihat dari banyaknya perang/ pertikaian yang terus menerus antara suku Yehuda dan suku Israel (suku-suku utara) yang terjadi di banyak generasi sesudah Raja Salomo, sebagaimana dicatat di kitab Raja-Raja dan kitab Tawarikh. Maka tidak ada yang bertentangan di sini, sebab memang pemberontakan suku-suku Utara itu terjadi terus bahkan sampai abad di masa Tobit hidup yaitu sekitar abad 8-7 SM.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Comments are closed.