Hujan sangat lebat, pada tanggal 01 November 2013, membuat Jakarta membisu. Genangan air sepanjang jalan menghambat langkah orang untuk mencapai tujuan. Kejengkelan, keresahan, bahkan kemarahan menyatu di kalbu. Kepasrahan merupakan satu-satunya jalan agar  tetap tenang karena tiada yang bisa mengubah keadaan. Terlambat dalam Misa Jumat Pertama hari itu diterima sebagai suatu  hal yang wajar karena semua mengalami hal yang sama.

Kejengkelan dan keresahan  teredam seketika  ketika aku menengok seorang bapak yang sakitnya sangat parah setelah selesai merayakan Misa Jumat Pertama di sebuah komunitas pukul 22.00.  Penyakitnya telah menggerogoti tubuhnya sampai badannya tinggal tulang dibalut kulit. Ia menderita kanker hidung bertahun-tahun lamanya sehingga telah merusak inderanya.  Namun, ketika mendengarkan suara  rombonganku,  ia langsung keluar kamarnya.  Ia dengan kaki menjijit berjalan perlahan menuju kamar tamu sambil menyapa setiap orang: “Selamat malam everybody”.  Aku kaget karena aku pikir bahwa ia sudah tergeletak dan tak berdaya.

Aku berusaha mengajak bicara kepadanya, tetapi tidak ada reaksi darinya. Ia kemudian menunjuk telinganya  untuk menyatakan bahwa ia sudah tidak bisa lagi mendengar. Setelah diam sejenak, ia menyampaikan kata-kata yang menguatkan hati : “Biar telingaku tidak mendengar, tetapi hatiku tidak pernah tuli. Aku masih dapat mendengar sapaan cinta Tuhan yang menegarkan hati. Aku masih bisa mendengar peneguhan Tuhan yang membangkitkan harapan yang kian kosong ini. Aku tidak akan pernah berhenti  berharap selagi nafasku ada”.  

Pernyataannya ini menunjukkan kedalaman hidup rohaninya. Kedalaman hidup rohaninya itu mengingatkan akan Sabda Tuhan yang sangat indah : “Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus nama-Nya: Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk” (Yesaya 57:15).

Setelah menyatakan isi hatinya, ia langsung duduk dengan sikap doa. Rupanya didoakan merupakan kerinduannya dalam situasinya yang berat. Sakramen Perminyakan Suci diterimanya dan ternyata melegakannya. Setiap lirik lagu rohani dihayatinya sebagai  penghiburan Tuhan yang menguatkan hidupnya. Ia pun tersenyum di tengah pergumulannya karena kuk yang menindihnya teralu berat telah diambil Tuhan dan pasung yang membelenggunya telah dilepaskanNya.

Pergumulannya menjadi cermin wajah kita. Wajah kita terbentang banyak cerita. Senyum ceria dan tawa ria bisa hancur dalam sekejap  oleh deraian air mata. Wajah muram menjadi ungkapan hati terluka karena menahan sengsara. Mengadu pada Sang Pencipta  membuat kita tetap bahagia. Bahagia bukan berarti segalanya sempurna, tetapi mau melihat semuanya secara sempurna. Karena itu, daripada terus menerus memikirkan hal-hal buruk yang telah menimpa, kita lebih baik mensyukuri hal-hal indah yang telah menghiasi hidup kita.  Itulah jalan menggoreskan cerita abadi tentang kebahagiaan di dalam wajah kita.

 

Tuhan Memberkati

Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC.