Pertanyaan :
Terima kasih saya bisa mengerti secara teori penjelasan ibu, bagi saya agak kasihan posisi dokter dalam konteks tersebut kalau dijawab seperti di atas. Dan inilah yang sering membingungkan saya: antara sebuah teori dan praktek di lapangan. Dokter melakukan tugasnya dan selama proses belajar bertahun-tahun menjadi dokter, KB non alami juga termasuk materi bagi seorang calon dokter karena itu adalah materi umum kedokteran. Dan ketika dia bekerja di sebuah rumah sakit (Katolik atau non Katolik), apakah dokter bisa menolak jika ada pasien yang datang kepadanya minta KB non alami? Pasien yang datang kepada dokter dari berbagai macam keyakinan, dan pasien sekarang tahu ada begitu banyak metode KB, pasien juga tahu bahwa dokter belajar KB non alami.
Teman saya dokter selalu merasa bersalah, kalau dia melakukan KB non alami yg diminta pasien, dia tahu kalau ajaran Katolik tidak membolehkan itu, dan justru di situlah problemnya. Apakah dia harus meninggalkan pekerjaan dokternya yg dia pelajari bertahun-tahun dengan penuh penderitaan? Bukankah sebenarnya ajaran moral bukan untuk mempersalahkan tetapi membantu orang untuk hidup baik? Terima kasih atas share jawabannya
-Feliz-
Jawaban :
Shalom Feliz,
Terima kasih atas tanggapannya lebih lanjut. Kita semua tentu setuju bahwa ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan manusia pada dasarnya dan pertama-tama adalah ilmu yang bertujuan untuk menyejahterakan hidup manusia, bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari gangguan kesehatan yang membahayakan hidupnya, dan dikembangkan terus untuk memberikan kualitas hidup yang lebih baik kepada manusia melalui penanganan kesehatan yang baik. Seorang dokter yang mempelajari dengan sungguh-sungguh apakah sebenarnya KB non alami itu (untuk selanjutnya KB non alami akan saya sebut dengan istilah “kontrasepsi” karena bekerja dengan cara menghalangi konsepsi, yaitu pembuahan awal terbentuknya embrio manusia), mempelajari dengan seksama bagaimana cara kerjanya, dan apa saja dampaknya secara keseluruhan kepada tubuh manusia, tentu akan bertindak sangat hati-hati. Bahkan jika kesehatan pasien yang sungguh-sungguh menjadi perhatian dan tujuan utama pekerjaannya, seorang dokter dari hati nuraninya yang terdalam tidak akan memilih alat kontrasepsi sebagai sarana KB bagi para pasiennya. Apalagi kalau dokter itu adalah seorang Katolik, yang dengan pengetahuan akan terang pengajaran Gereja Katolik mengenai pengaturan kelahiran, akan dengan sungguh-sungguh menghindari pemasangan alat kontrasepsi, karena sangat jelas ditegaskan oleh ajaran Gereja, mengenai larangan pemakaian kontrasepsi. Kami sudah menjelaskan di jawaban sebelumnya, alasan Gereja melarang pemakaian alat kontrasepsi, yang menghancurkan kehidupan embrio di usianya yang sangat awal. Selain itu, kontrasepsi mengingkari prinsip union dalam relasi suami isteri yang tidak bisa dilepaskan dari aspek prokreasi yaitu terbuka terhadap kemungkinan terbentuknya kehidupan yang diciptakan Allah Bapa, melalui hubungan seksual yang kudus dan penuh kasih penghargaan di antara suami dan istri. Dan dengan kapasitasnya sebagai seorang dokter Katolik, ajaran Gereja mengenai KB alami sebagai sarana pengaturan kelahiran yang tidak menyalahi prinsip union dan prokreasi serta tidak membunuh kehidupan, dapat menjadi perhatian utamanya untuk dipelajari sungguh-sungguh dan disajikan kepada pasien sebagai sarana memenuhi kebutuhan mereka terhadap sarana KB. Apalagi KB alamiah tidak memerlukan biaya apapun dan tidak mempunyai efek samping negatif kepada tubuh manusia, khususnya wanita.
Ajaran Gereja yang adalah amanat Allah Bapa pencipta kehidupan tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan kelestarian kehidupan, namun justru akan semakin memuliakan hidup dan menopangnya dengan kekuatan yang kudus dan bersifat tahan lama. Ajaran sejati tentang kehidupan tidak akan melawan kehidupan dan membuatnya lebih buruk atau lebih susah, tetapi justru akan mengangkat derajat dan martabatnya kepada keadaan yang mulia seperti yang dirancang sedemikian indah sejak semula oleh Penciptanya. Dan persis seperti itulah pelaksanaan dan akibat-akibat dari ajaran Gereja mengenai kehidupan dan keluarga berencana, jika kita melakukannya dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu saya sangat tertarik dengan kalimat Anda sebagai berikut: Bukankah sebenarnya ajaran moral bukan untuk mempersalahkan tetapi membantu orang untuk hidup baik? Untuk menanggapi pernyataan Saudara ini, perkenankan saya menterjemahkan sebuah artikel yang diambil dari sumber ini :
Namun sebelum saya memulai, adalah penting untuk mengingat latar belakang yang pertama kali mendasari keputusan Gereja melarang pemakaian alat kontrasepsi, yaitu karena Gereja pertama-tama hendak tunduk sepenuhnya kepada Pencipta Kehidupan, yang adalah pemegang tunggal otoritas akan kehidupan manusia, melalui Firman-Nya dalam Mzm 139:13 Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku dan dalam Mzm 139:16 : mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya. Kedua ayat ini melahirkan iman Gereja Katolik bahwa dalam stage yang paling awal sejak bertemunya sel telur dengan sperma di dalam tubuh wanita, Tuhan telah menciptakan kehidupan dan membuatnya terus berkembang melalui tahapan selanjutnya. Tetapi adalah bukan suatu kebetulan, bahwa perkembangan sejarah dan perjalanan hidup manusia di dunia ternyata menunjukkan kepada kita fakta-fakta kebenaran yang sulit terbantahkan bahwa ajaran Gereja mengenai KB alamiah dan persatuan cinta sejati yang terbuka kepada kehidupan antara suami dan istri ternyata memang membuat keseluruhan sendi-sendi hidup keluarga dan masyarakat secara utuh menjadi lebih baik jasmani dan rohani, lebih mulia, dan sesuai dengan martabatnya yang mula-mula dari Tuhan. Setelah alat-alat kontrasepsi berkembang sebegitu rupa dalam dunia modern ini untuk memenuhi kebutuhan pengaturan kelahiran manusia, inilah fakta-fakta dari dunia penelitian kedokteran mengenai alat-alat kontrasepsi yang semuanya adalah zat dan benda tambahan yang dimasukkan atau dipasangkan kepada tubuh wanita dan pria, terutama wanita. Pada saat saya menterjemahkan secara bebas artikel di bawah ini, terngiang dalam benak saya prinsip yang pernah diajarkan oleh St Agustinus, bahwa jika kamu berontak melawan alam, maka alam akan berontak melawan kamu. Inilah artikel mengenai efek-efek samping pemakaian kontrasepsi yang saya terjemahkan secara bebas dari sumber yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Efek Negatif Penggunaan Berbagai Metode Kontrasepsi
Pil KB – mengandung kombinasi dua tipe hormon artifisial yang disebut estrogens dan progestins. Cara kerjanya adalah menghambat ovulasi, menghambat transportasi sperma, dan mengubah sifat permukaan dari dinding rahim, sehingga kalaupun pembuahan berhasil terjadi, hasil pembuahan itu akan gugur karena tidak mendapat nutrisi yang cukup dari dinding rahim tempatnya menempel untuk pertama kali (atau dengan kata lain terjadi aborsi dini).
Efek samping yang merugikan kesehatan: Pil KB meningkatkan resiko kanker panyudara menjadi 40 % lebih tinggi jika diminum sebelum seorang wanita melahirkan bayi pertamanya, dan resiko itu meningkat menjadi 70 % bila pil itu digunakan selama empat tahun atau lebih sebelum wanita melahirkan anak pertamanya. Efek negatif lain adalah tekanan darah tinggi, pembekuan darah, stroke, serangan jantung, depresi, kenaikan berat badan, dan migren. Beberapa wanita yang berhenti minum pil KB ternyata siklus haidnya tidak kunjung kembali, sampai selama setahun bahkan lebih. Walau pil KB mengurangi resiko kanker rahim dan kanker indung telur, ia meningkatkan resiko kanker payudara, kanker liver, dan kanker leher rahim. Studi juga menunjukkan bahwa virus AIDS menular lebih mudah pada wanita yang mengkonsumsi pil KB, jika suaminya mengidap HIV.
Suntik KB – Biasa dikenal dengan Depo Provera, suatu hormon progestine yang bekerja perlahan, disuntikkan di otot setiap tiga bulan sekali. Cara kerjanya adalah dengan mengurangi ovulasi, dengan menghambat transportasi sperma dan mengubah sifat permukaan dinding rahim.
Susuk KB – Atau dikenal dengan istilah Norplant, juga suatu hormon progestin yang dimasukkan dalam tabung kecil terbuat dari semacam bahan karet yang ditanam di bawah kulit untuk jangka waktu sampai dengan lima tahun.
Baik suntik maupun susuk dapat mengakibatkan aborsi dini bila pembuahan tetap berhasil terjadi. Hal itu terjadi akibat perubahan fisik dinding rahim sehingga tidak lagi mampu memberi nutrisi yang cukup untuk embrio dapat menempel dan tumbuh. Aborsi yang tidak disadari oleh wanita pemakai Norplant ini dapat terjadi lebih dari satu kali dalam setahun karena rata rata wanita berovulasi dalam lebih dari 40 % siklus suburnya saat memakai Norplant. Depo Provera mungkin menghasilkan efek yang sama karena bahannya sama-sama hormon jenis progestin. Efek negatif kepada kesehatan: penelitian menunjukkan, wanita yang memakai Depo-Provera selama dua tahun atau lebih sebelum usia 25 tahun mempunyai resiko lebih tinggi 190 % untuk menderita kanker payudara. Selain itu Depo Provera mengurangi kepadatan massa tulang dan memperburuk kadar kolesterol. Sebuah studi menunjukkan wanita yang menerima suntikan progestin selama lima tahun mengalami peningkatan resiko sebanyak 430 % untuk menderita kanker leher rahim. Tingkat resiko tertular HIV juga meningkat 240 %. Di Amerika lebih dari 50 ribu wanita terlibat dalam aksi menuntut secara hukum melawan produsen Norplant, dengan mengeluhkan berbagai efek samping yang mereka alami seperti perdarahan yang tak teratur dan nyeri otot.
Ada banyak macam lagi hormon artifisial pencegah kehamilan yang beredar di pasaran dalam berbagai bentuk seperti plester KB, aneka jenis pil, dan injeksi bulanan, yang semuanya bekerja berdasarkan prinsip yang sama dengan yang terkandung dalam pil KB sehingga juga memberikan efek negatif yang kurang lebih sama. Semua kontrasepsi hormonal juga dapat mengakibatkan kondisi ketidaksuburan (infertilitas) yang berkepanjangan setelah pemakaian kontrasepsi itu dihentikan, sehingga membuat pasangan yang ingin punya anak lagi atau sudah memutuskan untuk siap punya anak, menjadi sulit punya anak.
Metode KB dengan penghalang (barrier method)
Kondom – mempunyai catatan angka kegagalan antara 10 – 30 % karena robek atau bocor dalam pemakaian, juga karena cacat produksi, atau kerusakan akibat proses pengepakan, pengiriman, dan penyimpanan di dalam suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin.
Efek samping yang merugikan kesehatan : kondom tidak cukup mencegah penularan virus AIDS. Penelitian dengan mikroskop elektron menunjukkan bahwa rata-rata kondom memiliki lubang pori sebesar 50 kali lebih besar daripada partikel virus HIV.
Metode-metode KB dengan penghalang seperti diafragma (penghalang sperma yang dimasukkan dalam vagina), kondom, serta metode penarikan penis keluar dari vagina saat ejakulasi, memang tidak mengakibatkan aborsi dini. Namun sebuah penelitian menunjukkan metode-metode itu meningkatkan resiko terjadinya pre-eklamsia (komplikasi kehamilan yang disertai naiknya tekanan darah, penahanan cairan, dan kerusakan ginjal) yang dapat membawa pada keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang lama, bahkan koma. Studi menunjukkan bahwa paparan sperma pada wanita mempunyai peran melindungi kehamilan dari pre eklamsia.
Spermisida – zat pembunuh sperma yang umumnya dijual dalam bentuk gel atau terkandung dalam suatu spons vagina. Toxic Shock Syndrome (sindroma kejang karena keracunan) dihubungkan dengan pemakaian spons spermisida. Seorang peneliti mengamati bhw pasangan yang menggunakan spermisida, dalam sebulan setelah pembuahan terjadi, menerima resiko dua kali lipat melahirkan bayi yang cacat, dan dua kali lipat resiko keguguran.
IUD / intra uterine device – alat berbentuk huruf “T” ini dibuat dari bahan plastik keras, kadang mengandung tembaga atau zat hormon kontrasepsi. Dokter memasukkan alat ini ke dalam rahim wanita. Cara kerjanya adalah dengan mengiritasi dinding rahim dan menghalangi transportasi sperma.
Ketika terjadi pembuahan pada wanita dengan posisi IUD terpasang, alat ini dapat mencegah implantasi embrio dalam rahim, atau menghancurkan embrio yang baru terbentuk akibat racun tembaga dari IUD tersebut, atau melalui penyerangan oleh sistem imun tubuh ibu, sehingga terjadi aborsi dini.
Efek samping yang merugikan kesehatan: pemakaian IUD dapat menimbulkan perforasi rahim yang di kemudian hari bisa mengakibatkan pengangkatan rahim. Juga infeksi, semisal abses (bengkak) pada saluran tuba dan indung telur. Pemakaian IUD juga dikaitkan dengan meningkatnya resiko PID (Pelvic Inflammatory Disease) yaitu radang rongga panggul dan kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik adalah keadaan di mana embrio janin tidak menempel di dinding rahim seperti seharusnya, tetapi di tempat lain yang abnormal, biasanya di saluran tuba falopii. Wanita yang memakai IUD selama tiga tahun atau lebih mempunyai resiko dua kali lebih besar untuk mengalami kehamilan di tuba falopii dibandingkan wanita yang tidak pernah memakai IUD. Pemakai jangka panjang bahkan masih terus mengalami peningkatan resiko terjadinya kehamilan ektopik bertahun-tahun setelah IUD dilepas. Di Amerika, kehamilan ektopik masih merupakan penyebab utama kematian bayi pada saat dilahirkan. Efek lain IUD adalah nyeri punggung, kram, dyspareunia (sakit saat bersanggama), dysmenorrhea (nyeri haid), dan ketidaksuburan (infertility).
Sterilisasi permanen : ligasi tuba dan vasektomi – Suatu tindakan operatif sebagai langkah sterilisasi secara permanen sehingga seseorang tidak pernah bisa berketurunan lagi. Ligasi tuba adalah menutup saluran tuba falopii pada wanita. Vasectomi adalah tindakan menutup saluran vas deferens (saluran tempat keluarnya sperma) dengan cara mengikat pipa saluran itu, atau kadang dengan cara memotong, membakar, atau mengangkat sebagian dari saluran itu.
Efek samping bagi kesehatan: Ligasi tuba tidak selalu berhasil mencegah kehamilan. Ketika pembuahan tetap terjadi, kemungkinannya lebih besar untuk terjadi kehamilan ektopik, yang merupakan penyebab utama kematian wanita hamil. Tambahan pula, wanita yang menjalani ligasi tuba bisa mengalami komplikasi dari proses anestesi atau pembedahannya. Komplikasinya misalnya perlubangan pada kandung kemih, perdarahan, dan bahkan berhentinya detak jantung setelah proses penggelembungan rongga perut dengan karbondioksida. Beberapa wanita juga sesekali mengalami perdarahan vagina yang berhubungan dengan nyeri yang akut di perut bagian bawah. Efek lain adalah mengurangi kenikmatan seksual, melemahkan gairah seksual, dan memperbesar resiko rahim harus diangkat seluruhnya (hysterectomy) setelah menjalani ligasi tuba. Oleh karenanya, penyesalan yang dalam setelah menjalani sterilisasi cukup umum ditemukan.
Sekitar 50% pria yang menjalani vasektomi menanggung resiko tubuhnya lantas membentuk antibodi anti-sperma. Artinya, tubuh mereka akan menganggap bahwa spermanya sendiri adalah zat asing yang harus dilumpuhkan. Hal ini meningkatkan resiko penyakit-penyakit auto imun. Beberapa penelitian menunjukkan pria yang menjalani vasektomi menghadapi resiko lebih besar untuk mengidap kanker prostat, terutama setelah 15 sampai 20 tahun sesudah vasektomi, walau sebuah studi lain tidak menemukan hubungan itu.
Perencanaan KB secara alami (KB alamiah)
Perencanaan kelahiran secara alami (KB alami) adalah metode yang sepenuhnya alami di mana suami istri dapat mengatur kesuburan mereka. Wanita dapat menentukan kapan masa suburnya dengan mengamati lendir kesuburan yang keluar dari vagina. Badan kesehatan dunia WHO telah menemukan angka kegagalan metode KB alamiah ini hanya sebesar 0.3 % – 3 %, tingkat keberhasilan yang kurang-lebih sama dengan yang dicapai oleh KB non alami (kontrasepsi) kecuali sterilisasi. KB alami tidak membutuhkan biaya apapun dan tidak menimbulkan peningkatan resiko terhadap penyakit kanker. Di Amerika, pasangan dengan KB alami yang mengalami perceraian hanya 5 %, jauh lebih kecil dari prosentase pasangan dengan kontrasepsi yang bercerai yaitu sekitar 50 %.
Lebih lanjut mengenai metode KB alamiah yaitu Metode Creighton, dapat Anda pelajari dalam artikel yang ditulis Ingrid Listiati,
silahkan klik di sini
————————————————————————————————————–
Semua fakta tentang efek negatif alat kontrasepsi di atas adalah hukum alam, bukan hukum Gereja, tetapi di sini kita bisa melihat bahwa hukum Tuhan yang dikaruniakanNya melalui Gereja-Nya tidak mungkin dan tidak bisa bertentangan dengan hukum alam dan manusia, yang diciptakanNya penuh cinta dan kecermatan yang mengagumkan sejak semula.
Di samping efek negatif yang mengganggu kesehatan secara fisik, pemakaian kontrasepsi juga mempertaruhkan kesehatan mental suami istri dan kesehatan perkawinan secara keseluruhan. Masih ditambah lagi dengan akibat-akibat sosial pada generasi muda karena pemakaian kontrasepsi di masyarakat bisa diakses oleh siapa saja, baik pasangan yang menikah maupun yang belum, yang notabene adalah kaum muda. Akibat-akibat yang harus ‘dibayar’ oleh seluruh sendi masyarakat manusia, karena keluarga adalah sel masyarakat terkecil yang membentuk sendi dasar kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dan akibat-akibat negatif yang berdampak pada kehidupan sosial dan mengancam keharmonisan pernikahan itu ternyata sudah dinubuatkan oleh Paus Paulus VI saat beliau menulis ensiklik anti penggunaan KB non alami dalam Humanae Vitae, sebelum semua fakta itu benar-benar terjadi seperti yang kita lihat di jaman ini. Yaitu naiknya angka perceraian dan ketidaksetiaan dalam perkawinan, makin maraknya pergaulan bebas, makin tingginya jumlah kehamilan di luar nikah dan angka penyebaran penyakit menular karena hubungan seksual bebas, juga pemerosotan moral pada suami istri karena pasangan tidak terlatih untuk mengendalikan diri. Mental kontraseptif juga membiasakan suami untuk tidak menghargai kesehatan mental dan fisik istrinya. Maka kontrasepsi tidak hanya kontra kehidupan, tetapi juga kontra cinta kasih sejati dan kontra kesehatan perempuan (Kimberly Hahn dalam bukunya, Live-giving Love). Semua akibat tersebut jelas tidak membawa kita kepada kesejahteraan fisik dan moral manusia. Anda dapat membacanya secara lebih mendetil dan lugas dalam artikel yang pernah ditulis oleh Ingrid Listiati yaitu dalam “Perkawinan Katolik vs Perkawinan Dunia,
dan mengenai “Kemurnian di Dalam Perkawinan”,
Demikianlah jawaban yang dapat saya sharingkan kepada Anda, semoga menjadi masukan yang berguna bagi Anda dan teman Anda. Tentu teman Anda tidak perlu meninggalkan pekerjaannya sebagai dokter. Justru dengan pengetahuan yang mendalam mengenai ajaran Gereja dan latar belakang pengajarannya, serta akibat-akibat dari kontrasepsi yang ternyata berpotensi besar untuk merusak kesehatan fisik dan mental masyarakat serta kesucian pernikahan, teman Anda mempunyai kesempatan dan keyakinan untuk berdiri teguh kepada panggilannya akan kehidupan dan akan Tuhan Sang Pencipta. Ia dapat mulai terjun dalam perjuangan mendidik masyarakat untuk mengenali indahnya metode KB alamiah yang sehat, murah, cukup akurat dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, dan tentu saja tanpa efek samping yang merugikan kesehatan. Mensejahterakan manusia baik secara fisik maupun mental. Memang di dalam dunia yang serba egosentris dan berorientasikan kemudahan dan kenikmatan sesaat ini, perjuangan itu tentu berat, tetapi bukan tidak mungkin, apalagi bila mengandalkan kerahiman Tuhan yang tidak pernah meninggalkan anak-anakNya. Kami ikut berdoa bagi teman Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Triastuti – katolisitas.org
Ini sebuah kasus nyata: ada seorang yang menikah dengan ODHA, menikah secara Katolik tanpa paksaan. Mengingat sang istri sorang ODHA mereka sepakat untuk tidak mau memiliki kuturunan dan memakai alat kontrasepsi kondom.
Pertanyaan: Bagaimana pandangan Gereja tentang kasus ini?
Shalom JA Lebert,
Pertama-tama, perlu diketahui bahwa doktrin/ ajaran Gereja Katolik tidaklah didasarkan dari kasus per kasus, tetapi dari prinsip kebenaran yang umum bagi semua orang. Dari prinsip itulah kemudian orang menyikapi kasus per kasus, berdasarkan prinsip umum yang diajarkan Gereja.
Maka hal perkawinan ODHA (Orang dengan HIV/Aids) memang tidak diatur secara langsung oleh hukum Gereja Katolik. Namun demikian, kita mengetahui prinsipnya bahwa jika orang menikah tanpa menghendaki adanya keturunan, maka sejak awalnya apa yang menjadi tujuan perkawinannya tidaklah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Gereja. Gereja mengajarkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk kebahagiaan/ kesejahteraan pasangan, namun juga untuk melahirkan keturunan dan mendidik mereka menurut ajaran iman; dan dengan demikian pasangan bersama-sama berjuang untuk saling menguduskan. Orang yang dengan kehendak bebasnya memilih untuk menikah dengan ODHA, mestinya sudah menerima adanya resiko tertular penyakit tersebut. Sebab fakta yang terjadi menunjukkan bahwa tetap ada resiko penularan tersebut, walaupun sudah menggunakan kondom.
Selain itu, jika orang memisahkan kedua tujuan perkawinan, dan memilih hanya salah satu saja, maka akan terjadi degradasi (penurunan/ peremehan) makna perkawinan dan seksualitas, yang akan berpengaruh terhadap kelanggengan perkawinan itu sendiri. Maka Gereja tidak pernah memandang bahwa kondom merupakan solusi bagi masalah pertempuran melawan AIDS. Inilah yang disampaikan oleh Paus Benediktus XVI, klik di sini, dan klik di sini. Di sana, Paus menyatakan bahwa yang terpenting adalah semacam ‘re-formasi mental’ tentang kekudusan makna perkawinan, yang diawali dengan langkah pertobatan, sehingga kemudian orang dapat dengan bijak dan bertanggungjawab melakukan apa yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom katolisitas,
Terima kasih atas informasinya. Pertanyaan saya,
1. Termasuk dosa apa jika suami istri menggunakan alat Kontrasepsi? Apakah sama untuk semua jenis alat kontrasepsi?
Saya pernah dengar dari taman saya bahwa dia menggunakan cara buang sperma di luar sebagai cara agar tidak terjadi kehamilan. Cara ini tidak saya temukan dalam artikel katolisitas. Pertanyaan saya,
2. Bagaimana sikap Gereja mengenai metode ini?
Sekian dan terima kasih!
[Dari Katolisitas: Jika suami dan istri sudah mengetahui bahwa penggunaan alat kontrasepsi itu dilarang oleh Gereja, namun dengan penuh kesadaran mereka tetap melakukannya juga, maka ini termasuk dosa berat, sebab kriteria dosa berat adalah:(1) Menyangkut kategori dosa yang tidak ringan, (2) tahu bahwa itu adalah sesuatu yang salah, dan (3) walaupun tahu itu salah, secara sadar memilih melakukan dosa tersebut. Dengan kata lain seseorang menempatkan dan memilih dengan sadar keinginan atau kesenangan pribadi di atas hukum Tuhan.
Coitus interruptus tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Tentang hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik].
Salam Katolisitas!
Salam Selamat Natal dan Tahun baru buat team Katolisitas.org
Salam buat Ibu Inggrid dan pak Stef,
Saya, dalam link ini ingin mengemukakan keluhan dan permasalahan yang sangat saya hati-hati dan masih ragu-ragu untuk memutuskan, dan mungkin ibu dan pa Stef bisa menanggapinya serta memberi arahan kepada saya agar tidak salah memilh dan presepsi.
Situasi:
Kami menikah tahun akhir 2008, dan sudah dikarunia 1 orang anak dan satu lagi masih dalam kandungan ibu.
Pada anak pertama dikandung, istri saya selalu muntah, muntah, selalu lemas, sampai pada tiga bulan.
stelah 3 bulan, sakitnya hilang lagi sampai melahirkan anaknya pertama. dan menuju anak yang kedua, istri sakit lebih dari itu, sampai 4 bulan lebih baru saktinya hilang sedikit demi sedikit, dan lebih parah dari yang pertama.
Yang menjadi kebingunan saya, bahwa Istri saya mengatakan untuk masuk ke KB, atau ikut proses yang lain agar tidak dapat mengandung lagi. oleh karena itu, dengan keragu-raguan saya, saya sertakan permasalah keluarga saya ke web ini agar memberi arahan sesuai dengan ajaran Gereja katolik Roma keputusan yang saya ambil tidak menyimpang dari ajaran moral Gereja Katolik Roma.
Tolong komentar ibu? Apakah saya menolak keinginan istriya, ataukah saya harus menolak permintaan, artinya istri saya tetap mengandung jika kita mendambakan anak lagi. Mohon tanggapan ibu dan pak Stef?
salam buat ibu,
dari Aquilino Amaral
Shalom Aquilino Amaral,
Gereja Katolik tidak memperbolehkan penggunaan alat kontrasepsi (KB buatan). Silakan membaca alasannya di artikel Humanae itu benar, silakan klik, dan Kemurnian dalam perkawinan, silakan klik, secara khusus, seperti yang disebutkan dalam surat ensiklik Bapa Paus Paulus VI, Humanae Vitae 14.
Yang diperbolehkan oleh Gereja pada pasangan yang karena alasan yang dapat dipertanggungjawabkan ingin membatasi jumlah anak, adalah KB alamiah. Untuk metoda KB alamiah ini, silakan menerapkan metoda Creighton, silakan klik.
Agaknya hal sakit/ penderitaan ibu dalam mengandung dan melahirkan tidak terpisahkan dari pengorbanan seorang ibu. Memang hal ini dapat terjadi dalam kehidupan seorang perempuan, namun ini bukanlah alasan untuk menggunakan alat kontrasepsi, yang pada dasarnya sudah menolak kehidupan dan karena itu menentang hakekat kasih suami istri. Sebab hakekat kasih suami istri dalam perkawinan Katolik mengandung dua aspek: 1) kebahagiaan suami istri (union) dan 2) terbuka terhadap kemungkinan kehidupan baru yang Tuhan dapat berikan melalui hubungan kasih suami istri (pro-creation). Silakan membaca makna perkawinan Katolik dalam artikel- artikel perkawinan di situs ini, dan bicarakanlah secara terbuka dengan istri Anda. Semoga Anda berdua dapat melaksanakan apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik dalam hal perkawinan, demi kebahagiaan keluarga Anda sendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan, Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom pengasuh Katolisitas
Saya membaca sebuah artikel dari Sesawi.net
http://www.sesawi.net/2011/12/08/biarawati-katolik-disarankan-minum-pil-kb/
Dalam artikel itu memang disebutkan bahwa Gereja Katolik menentang pemakaian kontrasepsi dengan dikeluarkannya surat ensiklik Paus Paulus VI “Humanae Vitae”
Mohon tanggapan dari pengasuh mengenai artikel tersebut.
Pertanyaan saya:
1.Benarkah ada pernyataan dalam dokumen Humanae Vitae yang menyebutkan/menyiratkan bahwa ” gereja tidak melarang konsumsi obat yang memiliki efek kontrasepsi jika diperlukan untuk menyembuhkan penyakit”
[Dari Katolisitas: digabungkan]
Berikut ini saya sampaikan Dokumen Humanae Viate No 15
Lawful Therapeutic Means
15. On the other hand, the Church does not consider at all illicit the use of those therapeutic means necessary to cure bodily diseases, even if a foreseeable impediment to procreation should result there from—provided such impediment is not directly intended for any motive whatsoever. (19)
Apakah ini yang menjadikan dasar penulis artikel itu menyebutkan bahwa “pengobatan lain2 dengan obat-obatan tertentu yang mempunyai efek kontrasepsi diijinkan?
2. Jika memang ada, apakah itu tidak akan menimbulkan efek salah tafsir dari Umat Katolik sehingga mereka (pasangan suami istri) bisa menggunakan pernyataan itu untuk mengkonsumsi obat-obatan tertentu (tanpa menderita sakit) dengan tujuan melakukan kontrasepsi Non Alami?
Teriring salam dan doa
Servus Dei et proximi
Shalom Servus Dei,
Nampaknya perlu dipahami makna kata, “to cure bodily disease“. Sebab yang dibicarakan di sana adalah untuk pengobatan penyakit, dan bukan untuk pencegahan penyakit, apalagi jika sesungguhnya masih perlu dipertanyakan sejauh mana akurasi hasil penelitian dari kedua dokter Australia itu. Sebab dari informasi yang juga ada di internet mengatakan sebaliknya, yaitu bahwa pemakaian pil KB tersebut justru meningkatkan resiko kanker panyudara menjadi 40 % lebih tinggi jika diminum sebelum seorang wanita melahirkan bayi pertamanya, dan resiko itu meningkat menjadi 70 % bila pil itu digunakan selama empat tahun atau lebih sebelum wanita melahirkan anak pertamanya, sebagaimana kami sertakan ulasannya di atas, silakan klik. Maka jika kita memposisikan secara obyektif, nampaknya pemakaian pil KB, juga bukannya tanpa resiko; atau bahwa sesungguhnya kedua kondisi (mengkonsumsi pil dan tidak mengkonsumsi pil) juga sama- sama mempunyai resiko.
Kami di katolisitas.org, tidak dalam kompetensi untuk memberi konfirmasi apakah kesimpulan penelitian Dr Kara Britt dan Roger Short cukup akurat dalam hal kedokteran.
Sekarang mari kita lihat teksnya dari Humanae Vitae:
“15. On the other hand, the Church does not consider at all illicit the use of those therapeutic means necessary to cure bodily diseases, even if a foreseeable impediment to procreation should result there from—provided such impediment is not directly intended for any motive whatsoever.“
Terjemahannya:
15. “Di lain pihak, Gereja tidak menganggap bahwa penggunaan cara-cara terapi yang perlu untuk menyembuhkan penyakit- penyakit tubuh sebagai tidak licit [tidak diizinkan] sama sekali, bahkan jika diperkirakan dapat menghasilkan halangan prokreasi karenanya- asalkan halangan tersebut tidak dimaksudkan secara langsung untuk motif apapun.”
Maka penerapan dari pernyataan ini adalah misalnya seorang wanita sudah sakit kanker kandungan, maka cara untuk mengobati yang dianjurkan dokter umumnya adalah dengan dioperasi (hysterectomy) dan diberi kemoterapi, sehingga otomatis akibatnya adalah ia tidak dapat lagi mengandung dan melahirkan. Nah, cara pengobatan seperti ini diperbolehkan oleh Gereja, karena tujuan utamanya adalah untuk mengobati wanita itu, dan bukannya dengan secara langsung dan sengaja untuk membuatnya menjadi infertil (tidak bisa mempunyai anak).
Nah keadaan akan menjadi berbeda, kalau keadaannya bukan untuk mengobati, tetapi sebagai usaha pencegahan, yang juga belum tentu terbukti kebenarannya apakah demikian. Sebab yang diizinkan dalam dokumen adalah untuk pengobatan/ cure dan bukan untuk pencegahan/ prevention. Kita ketahui kalau disebut pengobatan/ cure, itu adalah langkah yang diambil setelah terjadi suatu penyakit, dan pencegahan dilakukan sebelum penyakit. Yang diizinkan di dalam Humanae Vitae adalah sebagai pengobatan dan bukan pencegahan; apalagi kita tidak dapat mengetahui dengan pasti, apakah konsumsi pil KB tersebut pasti dijamin efektif mencegah penyakit kanker rahim, kanker payudara dst. pada wanita yang tidak menikah/ tidak melahirkan.
Dengan demikian, konsumsi pil KB sebagai alat kontrasepsi non-alamiah, tetap tidak dapat dibenarkan, karena dalam keadaan ini sang wanitanya tidak sakit apa- apa. Penggunaan pil KB banyak yang secara prinsip bersifat abortif dan ini secara eksplisit dilarang oleh Gereja Katolik. Hal larangan penggunaan alat kontrasepsi untuk alasan apapun, sudah disebutkan secara eksplisit dalam Humanae Vitae 14, sebagai berikut:
14. “Oleh karena itu, Kami mendasarkan perkataan Kami atas prinsip- prinsip pertama dari kemanusiaan dan ajaran Kristiani tentang perkawinan ketika Kami diharuskan sekali lagi untuk menyatakan bahwa pemutusan secara langsung dari proses pembuahan/ generatif yang sudah dimulai, dan di atas semua itu semua tindakan aborsi, bahkan untuk alasan- alasan terapi, sama sekali tidak termasuk sebagai cara- cara yang dapat dibenarkan untuk pengaturan jumlah anak- anak. Demikian juga untuk ditolak, seperti telah ditegaskan berkali- kali oleh Magisterium Gereja, adalah sterilisasi langsung, baik di pihak laki- laki maupun perempuan, baik bersifat permanen/ tetap selamanya atau sementara.
Juga tidak termasuk adalah segala perbuatan, baik sebelum, pada saat, ataupun sesudah hubungan seksual, yang secara khusus dimaksudkan untuk mencegah kelahiran/prokreasi, apakah sebagai tujuan ataukah sebagai cara.
Juga tidak perlu dipertanyakan, sebagai pembenaran bagi hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif, bahwa kejahatan yang lebih kecil adalah untuk dipilih jika dibandingkan dengan kejahatan yang lebih besar, atau bahwa suatu hubungan seksual adalah untuk digabungkan dengan tindakan prokreasi dari kejadian lampau ataupun yang akan datang sebagai satu kesatuan, dan untuk dinilai memenuhi syarat dengan kebaikan moral seperti ini. Walaupun benar, bahwa seringkali dibenarkan untuk mentolerir kejahatan moral yang lebih kecil untuk menghindari kejahatan yang lebih besar ataupun untuk mendorong kebaikan yang lebih besar, adalah tidak pernah dibenarkan, bahkan untuk alasan- alasan yang besar, untuk melakukan kejahatan agar kebaikan dapat dihasilkan darinya- dengan perkataan lain, untuk melakukan sesuatu secara langsung dengan sengaja, yang dengan sendirinya secara kodrati bertentangan dengan hukum moral, dan karena itu harus dinilai sebagai sesuatu yang tidak layak bagi manusia, meskipun maksudnya adalah untuk melindungi ataupun memajukan kesejahteraan individu, keluarga ataupun masyarakat secara umum. Akibatnya, adalah sebuah kesalahan serius untuk menganggap bahwa sebuah kehidupan berkeluarga yang tidak menjalani hubungan- hubungan normal dapat membenarkan hubungan seksual yang secara sengaja bersifat kontraseptif dan karena itu salah secara mendasar.”
Selanjutnya silakan membaca tentang topik terkait di situs ini, yaitu mengapa Humanae Vitae itu benar!, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom Bu Ingrid
Hasil bincang2 saya dengan beberapa orang temang (salah satunya dokter) dapat disimpulkan begini
1. Menurut teman saya yg menjadi dokter: Referensi medis tersebut tidak bisa dipertanggung jawabkan, jadi pernyataan bahwa PIL KB bisa digunakan sebagai obat untuk mencegah CA, tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena sebetulnya masih ada obat2 lain yg bisa dipakai untuk mencegah CA.
2. Berdasarkan catatan medis (dari 2 sumber yang saya pakai) penyebab CA Servik itu salah satunya karena kawin muda dan punya banyak anak. Ini berbeda dari pernyataan tulisan di artikel itu.
3. Penulis menyebutkan bahwa Gereja Katolik sebenarnya juga tidak melarang penggunaan obat yg berakibat kontrasepsi (referensi ?) Jika mengacu kepada HV No 15 yang dijelaskan Bu Ingrid bahwa kata CURE (mengobati) bukan PREVENT (mencegah) ini jelas bertentangan dengan maksud dalam dokumen diatas.
Teriring salam dan doaku
Shalom Servus Dei,
1. Setuju, bahwa ada banyak cara untuk mencegah CA, dan agaknya terlalu tergesa- gesa untuk menyimpulkan bahwa pil KB dapat mencegah CA.
2. Anda mengatakan, “Berdasarkan catatan medis (dari 2 sumber yang saya pakai) penyebab CA Servik itu salah satunya karena kawin muda dan punya banyak anak. Ini berbeda dari pernyataan tulisan di artikel itu.”
Mohon penjelasan, “artikel itu” yang Anda maksud itu artikel yang mana? Sebab dalam artikel tentang Efek- efek negatif kontrasepsi yang ada di situs kami, memang kami mengutip informasi yang kami peroleh dari internet, yang juga kemungkinan berdasarkan hasil survey kedokteran. Kami tidak berkompeten untuk menilai penelitian kedokteran yang mana yang lebih benar, apakah yang di internet yang kami kutip itu, ataukah yang dari teman Anda; tetapi marilah kita terima saja bahwa di lapangan ada survey yang menyatakan adanya korelasi antara pemakaian pil KB dengan kanker cervix. Perihal bahwa kanker cervix juga dapat disebabkan oleh hal lain (yaitu kawin muda dan punya anak banyak) bisa jadi memang benar juga, namun kami tidak dalam posisi menentukan kemungkinan mana yang lebih besar.
3. Anda mengatakan, “Penulis menyebutkan bahwa Gereja Katolik sebenarnya juga tidak melarang penggunaan obat yg berakibat kontrasepsi (referensi ?) Jika mengacu kepada HV No 15 yang dijelaskan Bu Ingrid bahwa kata CURE (mengobati) bukan PREVENT (mencegah) ini jelas bertentangan dengan maksud dalam dokumen di atas.“
Silakan ditanyakan kepada Penulis yang Anda maksud, penjelasan yang lebih rinci tentang pernyataannya. Bagi kami di Katolisitas, kami hanya mengacu kepada yang jelas tertera di dalam Humanae Vitae 14 dan 15, yaitu adalah: 1) pemakaian alat kontrasepsi tidak termasuk sebagai cara yang dapat dibenarkan untuk pengaturan kelahiran; 2) namun di lain pihak, cara-cara terapi untuk pengobatan suatu penyakit yang secara tidak langsung dapat mengakibatkan halangan prokreasi, masih dapat diperbolehkan, dengan catatan, kondisi infertilitas tersebut bukan menjadi tujuan/ motif utama untuk diadakan terapi tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom Bu Ingrid..
2 referensi yang saya pakai adalah:
1. Wikipedia : http://id.wikipedia.org/wiki/Kanker_leher_rahim#cite_note-Lusa-3 sebagai referensi metode pengobatan kanker
2. http://www.lusa.web.id/kanker-leher-rahim-ca-cerviks/
Namun hal itu hanya sebagai pembanding biasa secara medis (sudah dikonfirmasi dengan teman saya yang seorang dokter)
Jadi 2 referensi itu hanya sebagai wacana medis saja, tidak ada kaitan dengan Iman Katolik
[Dari Katolisitas: digabungkan]
Bu Ingrid yang baik,
Artikel yang saya maksud adalah artikel di sesawi.net.
Terima kasih
Teriring salam dan doaku
[Dari Katolisitas: Terima kasih atas klarifikasinya, dan penjelasannya. Teriring juga doa dari kami]
Saya mau bertanya apa efek sampingnya kalau wanita baru 17 tahun sudah melakukan hubungan intim, tapi untuk mencegah kehamilan dia meminum PIL KB, dan 1 bulan haid tidak teratur ( 1 bln 2x haid ). Mohon dijawab.
Shalom Rendi,
Sebenarnya, efek samping yang terbesar bagi seorang remaja putri yang baru berusia 17 tahun dan sudah melakukan hubungan seksual dan meminum pil KB untuk mencegah kehamilan, tidak saja merupakan efek negatif dari segi jasmani, namun terlebih dari segi rohani. Sebab cepat atau lambat akan datang penyesalan akan apa yang telah diperbuatnya, terutama jika kemudian pasangannya kemudian meninggalkannya. Survey di Amerika banyak yang menyatakan besarnya prosentase pasangan yang telah melakukan hubungan di usia belia (17 tahun ke bawah) kemudian juga tidak menikah dengan pasangannya itu. Jika menikah sekalipun, maka ada banyak masalah yang kemudian terjadi dalam kehidupan rumah tangga mereka, dan tak jarang kemudian bercerai, karena sebenarnya mereka tidak benar- benar saling mengenal dan mengasihi, sebab mereka lebih terdorong mencari kesenangan diri sendiri dalam masa ‘petualangan’ mereka dalam hal seksualitas. Kemurnian (chastity) mungkin menjadi sesuatu yang sulit dipertahankan oleh banyak anak muda sekarang ini, namun bukan karena sulit, lalu dapat diabaikan. Justru Sabda Tuhan mengajarkan kita untuk melaksanakannya, demi kebaikan kita sendiri, agar sedini mungkin kita diajar untuk mengendalikan diri, menomorsatukan kehendak Tuhan yang membuahkan kebahagiaan sejati, daripada kesenangan sesaat yang membuahkan banyak masalah di masa mendatang. Maraknya seks bebas pranikah memang merupakan hal yang memprihatinkan, dan harusnya menjadi perhatian para orang tua, guru di sekolah dan katekis di paroki, untuk bersama memikirkan pencegahannya. Besarlah tanggung jawab orang tua untuk memulai pendidikan iman anak sejak dini dan pendampingan di masa remaja, agar anak- anak tidak terjerumus ke pergaulan yang tidak sehat. Sebab umumnya masalah seks bebas ini terjadi karena kurangnya pendidikan iman di dalam keluarga.
Selanjutnya, perlu dipahami juga tentang efek pil KB. Pada masa yang lalu pil KB dibuat dengan kandungan kadar hormon tertentu yang berfungsi mencegah ovulasi, namun kini banyak pil KB yang mengurangi kadar tambahan hormon tersebut (kemungkinan untuk menghindari besarnya efek negatif jika dimakan dalam jangka waktu lama), sehingga dengan demikian ovulasi masih dimungkinkan untuk terjadi. Jika ovulasi terjadi, maka masih dapat terjadi pembuahan oleh sel sperma. Hanya saja karena tambahan hormon tersebut tidak cukup untuk mengakibatkan penebalan dinding uterus, maka zygote yang sudah terbentuk akibat pembuahan sel telur dan sel sperma itu tidak dapat menempel pada dinding uterus tersebut. Dengan demikian pil KB ini bersifat abortif, artinya membunuh zygote tersebut, karena tidak dapat menempel di dinding uterus dan bertumbuh dengan normal sebagai janin manusia. Dalam kondisi ini, fungsi pil KB menjadi hampir sama dengan morning pill (pil yang diminum sehari setelah berhubungan) yang sifatnya abortif/ meluruhkan janin. Sayangnya banyak perempuan yang menggunakannya tidak mengetahui cara kerja pil ini, atau mungkin memilih untuk mengacuhkannya.
Seorang perempuan umumnya memiliki hati nurani yang cukup peka akan apa yang dilakukannya, terutama jika ini berhubungan dengan tubuhnya sendiri. Jadi tidak mengherankan, jika terjadi haid yang tidak normal, iapun sesungguhnya dapat menyadari akan apakah ada sesuatu yang telah dilakukannya, sehingga mengakibatkan ini terjadi. Jika ia mengetahui bahwa pil itu sesungguhnya bersifat abortif, maka jika hati nuraninya masih jernih, maka ia mengetahui bahwa ia sudah melakukan kesalahan besar. Ada banyak kasus yang menunjukkan bahwa wanita- wanita yang pernah melakukan aborsi mempunyai luka batin yang sangat dalam, dan diperlukan waktu yang cukup panjang untuk menyembuhkannya. Sebab, biar bagaimanapun zygote/ embrio itu adalah manusia, dan telah memiliki jiwa manusia; sehingga peluruhannya sama dengan pembunuhan. Dalam kondisi normal, umumnya tidak ada wanita atau ibu yang berkehendak membunuh buah tubuhnya sendiri.
Di samping itu, hubungan seksual sebelum pernikahan juga membawa dampak yang tidak baik bagi perkawinannya, entah jika dia menikah dengan pasangannya itu, atau dengan orang lain. Fakta statistik juga menunjukkan bahwa pasangan yang telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah akan mempunyai resiko perceraian yang lebih tinggi daripada mereka yang menjaga keperawanannya sampai ke jenjang perkawinan. Maka efek negatif secara rohani inilah yang perlu diperhatikan, di samping fakta lain bahwa pil KB ini juga dapat menimbulkan efek negatif secara jasmani, dengan mengakibatkan perubahan keseimbangan hormonal dalam tubuh, sehingga dapat mengakibatkan perdarahan (haid dua kali/ atau lebih dalam sebulan). Jika ini terus terjadi, tentu tidak baik bagi tubuh wanita itu, apalagi jika hal ini terjadi di usia yang relatif muda. Dapat terjadi para wanita yang sering mengkonsumsi pil KB akan sulit mendapatkan keturunan di saat mereka mengharapkannya di waktu mendatang. Atau bahkan jika pil KB dikonsumsi sejak usia remaja, maka itu akan memperbesar resiko kanker di masa tuanya, terutama kanker payudara, kanker liver dan kanker leher rahim, seperti telah disebutkan di atas. Walaupun tidak dapat dikatakan bahwa wanita yang menderita kanker payudara atau kanker rahim pasti dulunya mengkonsumsi pil KB atau pernah melakukan aborsi, namun data statistik menunjukkan bahwa wanita yang mengkonsumsi pil KB dan pernah melakukan aborsi mempunyai resiko yang lebih besar terhadap kanker tersebut.
Melihat keadaan ini, maka jika anda mengenal wanita muda itu, silakan anda memberitahukan kepadanya, atas dasar kasih, agar jangan ia mengulangi kesalahan/ dosa yang serius ini. Jangan biarkan ia semakin terjerumus dalam perasaan bersalah atau sebaliknya menjadi tidak peduli akan kesehatan rohani maupun jasmaninya sendiri. Tubuh kita adalah bait Allah (lih. 1 Kor 3:16; 6:19-20), sehingga sudah selayaknya kita memperlakukannya sebagai milik Allah dan bukan demi kesenangan sendiri, yang bahkan membawa dampak yang buruk baik secara rohani maupun jasmani. Semoga dengan kerendahan hati ia mau mengakui dosanya di hadapan Tuhan dalam sakramen Pengakuan Dosa, dan dengan rahmat Tuhan yang diterimanya, ia mampu meninggalkan kehidupannya yang lama untuk hidup baru di dalam Kristus dan melaksanakan kehendak-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih Kristus..
Bu, mungkin keadaan jaman sekarang jauh berbeda dengan keadaan jaman dulu dimana orang cenderung tidak individualis dan materialistis. Bahkan kecenderungan inipun terjadi di gereja saat ini..
Kesulitan hidup berumah tangga sekarang lebih dikarenakan tuntutan (ekonomi) yang terus meningkat dan beban hidup yang berat menjadi pertimbangan utama untuk memiliki anak. Orangtua harus berpikir matang untuk memberikan kehidupan yang layak untuk anak2 mereka dan bukan hanya sekedar memberikan mereka “hidup”.
Harapan orangtua untuk mensejahterakan keluarga semakin diperberat oleh regulasi yang mempersulit keluarga agar bisa hidup sejahtera dan layak. Biaya kesehatan dan pendidikan yang tinggi menjadi salah satunya.
Bahkan di banyak tempat gereja pun terkesan menarik diri dan menutup mata terhadap hal-hal demikian. Banyak ditemui sekolah-sekolah Katolik yang tidak mau tahu mengenai kesulitan keuangan keluarga Katolik sehingga akhirnya memilih masuk sekolah negeri dan convert ke agama lain.
Dalam beberapa diskusi warung kopi yang sering muncul adalah karena pihak2, dalam hal ini gereja dan negara seakan tidak peduli terhadap kelangsungan sebuah keluarga maka banyak keluarga Katolik mengambil jalan ber-KB agar mereka dapat tetap hidup dengan memberikan kehidupan yang sedikit lebih layak dan cukup kepada anak mereka sebagai bentuk tanggungjawab sebagai orang tua meskipun mereka tahu bahwa ber-KB adalah tindakan yang dilarang dan berdosa.
Saya pribadi yang telah dikaruniai 3 orang anak karena dulu tidak ber-KB, berterimakasih atas karunia ini…kerepotan2 dalam keluarga kami membuat kami semakin belajar menyerupai Yesus dalam hal kesabaran dan cinta kasih..sekarang saya ber-KB karena kuatir tidak dapat mencukupi kebutuhan mereka (anak-anak) khususnya dalam hal pendidikan dan kesehatan di tengah kesulitan hidup sekarang ini..
Mohon ampun Tuhan, Mohon ampun Yesus, tambahkanlah iman kami dan ampunilah kami orang berdosa…
Shalom Stefanus,
Banyak orang mengatakan bahwa hidup adalah suatu proses pembelajaran bagi kita untuk menjadi orang yang lebih baik. Saya percaya ini berlaku juga untuk anda dan saya. Jika kita telah mengetahui ajaran yang benar tentang perkawinan Katolik, maka kita diundang untuk menanggapinya dengan ketaatan iman. Beberapa dasar ajaran Katolik tentang perkawinan dapat anda baca di artikel- artikel ini:
Indah dan Dalamnya makna Perkawinan Katolik
Kemurnian dalam Perkawinan
Humanae itu Benar!
Dengarlah Seruan Familiaris Consortio yang telah berusia 30 tahun
Gereja Katolik bukannya menutup mata akan problema keluarga dewasa ini untuk membesarkan dan mendidik anak- anak. Maka Gereja Katolik memperbolehkan pembatasan jumlah anak, jika itu didukung oleh rasa tanggungjawab, demi kelangsungan hidup dan pendidikan anak; namun pelaksanaannya harus secara alamiah (KB Alamiah). Salah satu metodanya yang cukup akurat, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
Adalah suatu fakta yang memprihatinkan bahwa memang kini situasi di negara kita seolah tidak mendukung pasangan suami istri untuk mempunyai anak lebih dari dua orang. Namun demikian dalam kesulitan ini kita tetap percaya pertolongan Tuhan tidak akan pernah terlambat. Ada banyak kesaksian tentang para orang tua yang berjuang untuk membesarkan anak- anak, yang juga memperoleh jalannya sendiri dari Tuhan. Asalkan pihak orang tua bertekun melaksanakan bagian mereka, bekerja dan mendidik anak- anak, maka Tuhan juga dapat membuka jalan untuk memelihara mereka hari demi hari.
Namun demikian, tulisan anda juga dapat menjadi bahan masukan bagi para pembaca yang lain yang mungkin mempunyai kapasitas untuk memperbaiki pelayanan pendidikan anak secara Katolik; tentang bagaimana caranya agar sekolah- sekolah Katolik juga dapat menjangkau seluruh umat, terutama mereka yang dari segi ekonomi hidupnya pas- pas-an. Agaknya memang tidak sederhana masalah kontrasepsi ini, namun bukannya karena sulit maka boleh diabaikan saja. Justru karena sulit, namun penting bagi kebaikan keluarga maka kita umat Katolik harus berjuang untuk melaksanakannya. Semoga semakin banyak umat Katolik menyadari dalamnya makna perkawinan Katolik, dan berusaha melaksanakan ajaran Gereja tentang hal ini, demi kebahagiaan keluarga itu sendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam
Terima kasih kepada tim Katolisitas atas jawabannya. Ya memang aneh sih belum nikah dah mikir yang belum kejadian (he..he..) tapi hal tersebut dikarenakan teman2 kerja saya sebagian besar sudah berkeluarga jadi yang dibicarakan kebanyakan masalah2 keluarga, salah satunya ttg KB. Jujur, saya sebenarnya agak parno (takut) setelah mendengar keluhan2 mereka tentang penggunaan KB. Bahkan ada yang sampai mau punya anak lagi susah, padahal sudah copot suntik KB selama 2 th. Jadi mau tidak mau pikiran saya terbentuk dengan sendirinya, memikirkan hal2 apa yang akan saya lakukan nanti bila menikah, salah satunya alat KB, tapi tentunya saya ambil pelajaran atau hal positifnya dari masalah2 teman2 saya dan juga jawaban dari tim Katolisitas sebagai modal pengetahuan kelak bila saya nikah nanti.
Terima kasih.
[dari Katolisitas: syukurlah jika tanggapan dari kami dapat berguna bagi Anda. Sebagai umat Katolik dan setelah memahami penjelasan di dalam artikel yang kami sajikan, kami berharap bahwa keputusan Anda untuk kelak setelah menikah tidak menggunakan alat kontrasepsi adalah bukan hanya dan bukan pertama-tama karena efek sampingnya yang merugikan kesehatan, tetapi karena Anda memahami sepenuhnya mengapa Gereja melarangnya, yaitu demi terpenuhinya kesatuan suci suami dan istri yang terbuka kepada kemungkinan kelahiran baru, saling menghargai dalam cinta yang tulus antara suami dan istri, dan sebagai tanda cinta kasih kita kepada Allah dengan tidak merusak dengan cara apapun bakal kehidupan yang telah diciptakanNya. Teriring doa kami.]
Saya sangat tertarik membaca artikel ini. Namun sepertinya efek-efek negatif dari kontrasepsi lebih disorot dan terkesan dibesarkan dibandingkan dengan efek positif yang sama sekali tidak disorot. Metode alami memang yang terbaik dari sisi agama dan sisi kesehatan karena tidak ada efek samping bila dilaksanakan dengan benar. Namun melihat pengalaman yang terjadi di lapangan, tidaklah mudah untuk mengajarkan dan mempraktekkan KB alamiah. Karena waktu pasti terjadinya ovulasi yang menurut teori adalah lendiri serviknya lebih banyak, suhu tubuhnya meningkat, dsb itu tidaklah mudah untuk dikenali terutama pada wanita dengan panjang siklus menstruasi yang tidak sama tiap bulannya (waktu mensnya bisa maju atau mundur, tidak tetap 28 hari), apalagi untuk menahan keinginan seksual yang pada saat masa subur jelas meningkat. Bila metode itu bisa dikerjakan dengan benar memang baik, tetapi karena mengenali tanda-tanda dan mengerjakannya tidaklah mudah, angka kegagalannya juga tentunya lebih tinggi.
Nah.. yang saya ingin tanyakan, melihat fenomena bahwa penduduk indonesia saat ini makin banyak dan cenderung terus meningkat, padahal bila anda membandingkan dengan negara lain di sekitar Indonesia seperti Singapura dan Malaysia, jumlah penduduknya tidaklah sepadat Indonesia. Dan juga sangatlah jelas bahwa semakin banyak jumlah anak, semakin banyak yang harus diberi makan dan pendidikan, yang kemudian berimplikasi meningkatnya biaya kebutuhan hidup sementara penghasilan sulit untuk meningkat, sehingga angka kemiskinan semakin tinggi. Hal ini juga tak terlepas dari semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan maupun menjalankan usaha karena penduduk semakin banyak dan tingkat persaingan semakin tinggi dengan banyaknya penduduk. Cara untuk meningkatkan taraf hidup adalah dengan meningkatkan pendapatan atau mengurangi pengeluaran. Meningkatkan pendapatan lebih sulit dibandingkan mengurangi pengeluaran, yang tentunya juga salah satunya dengan cara mengurangi jumlah anak.
Pertanyaan saya:
1. Apakah berdosa bila dokter Katholik atau wanita Katholik mendukung KB atau melaksanakan KB selain metode alamiah? Misalnya dengan suntik, susuk, steril, dll, kecuali tentunya bukan aborsi, karena aborsi sudah jelas membunuh. Dengan metode yang lain, tujuan utamanya adalah kita mencegah terjadinya pembuahan. Yang bila terjadi pembuahan mungkin tidak bisa hidup karena tidak bisa menempel di dinding rahim seperti ulasan dalam artikel di atas. NAMUN BELUM TENTU TERJADI PEMBUAHAN KARENA TUJUAN UTAMA ALAT KONTRASEPSI ADALAH MENCEGAHNYA. Bila anda mempertimbangkan cost benefitnya serta kenyataan bahwa BELUM TENTU terjadi pembuahan, apakah itu sebuah dosa? Lalu apa yang disebut sebagai dosa?
2. Bagaimana cara yang benar bagi gereja Katholik / umat Katholik “mengkampanyekan” pengurangan jumlah penduduk? Ataukah karena Tuhan menyatakan “berkembangbiaklah dan isilah seluruh bumi” (maat saya tidak ingat kata-kata yang tepatnya) lalu gereja tidak mendukung pengurangan jumlah penduduk dan perbaikan taraf hidup/perekonomian. Karena saat ini perhatian terhadap anak-anak muda pun nampaknya masih sangat kurang terlihat dalam gereja. Banyak juga yang terjatuh dalam pergaulan bebas, dan married by accident.
Terima kasih untuk jawabannya.
Shalom Nicholas Edwin Handoyo,
Terima kasih untuk tanggapannya mengenai efek negatif kontrasepsi. Sebenarnya uraian mengenai efek negatif tersebut kami maksudkan untuk menanggapi pertanyaan sebelumnya dari Feliz, yang mengharapkan ajaran moral seharusnya dapat membantu orang untuk hidup baik. Penguraian efek kontrasepsi di atas bertujuan untuk memberikan konfirmasi, bahwa ajaran moral Gereja tidak bertentangan dengan cita-cita manusia untuk hidup baik. Karena larangan Gereja Katolik terhadap suami istri untuk menggunakan KB non alami (kontrasepsi) yang tujuan utamanya adalah untuk menjaga aspek persatuan suami isteri yang juga terbuka terhadap kemungkinan kehidupan manusia baru, ternyata juga melindungi kesehatan wanita dari berbagai efek negatif yang mungkin timbul pada pemakaian kontrasepsi.
Dalam konteks ajaran moral Gereja, segala sesuatu yang bersifat menolak kehidupan adalah bertentangan dengan prinsip Gereja yang menyayangi dan memelihara kehidupan. Dari namanya saja, kontrasepsi adalah kontra-konsepsi (menolak kehidupan), sehingga dipandang dari segi moral dan iman Katolik, adalah sudah tidak relevan lagi untuk membahas segi positifnya, kalau segi positif itu memang ada (dari sudut pandang kesehatan tubuh manusia). Prinsip ajaran Injil adalah menjunjung tinggi kehidupan (Gospel of Life). Mungkin baik bila bisa dibaca terlebih dahulu prinsip ajaran tentang mengapa kontrasepsi tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik dalam artikel “Humanae Vitae itu benar!” silakan klik.
Dalam konteks ilmu kesehatan tubuh manusia, menurut hemat saya penelitian mengenai efek kontrasepsi terhadap tubuh wanita pada mulanya tentu adalah penelitian yang netral, tidak khusus bertujuan untuk mencari efek negatifnya saja. Tetapi bahwa kemudian berdasarkan data yang didapat dari kejadian nyata, yang ditemukan adalah sebagian besar (bahkan hampir seluruhnya) adalah efek negatif terhadap tubuh, hal itu secara nalar sebenarnya tidak mengherankan, karena metode kontrasepsi memasukkan benda-benda asing ke dalam tubuh, termasuk juga berbagai hormon sintetis (artificial hormones) yang menginterupsi keseimbangan hormonal dan sistem biologi rutin manusia yang sudah diciptakan sedemikian rupa untuk keseimbangan fungsi-fungsi tubuh termasuk fungsi reproduksi. Maka secara nalar juga menjadi lumrah bila ternyata metode KB alamiah menjadi metode KB yang paling aman dari seluruh metode KB yang ada, karena tidak ada benda asing atau zat-zat kimiawi apapun yang dimasukkan ke tubuh yang berpotensi mengganggu keseimbangan ritme biologi tubuh yang sudah diatur sebegitu rapi oleh alam yaitu Sang Pencipta. Pil KB yang mungkin terlihat relatif ‘aman’ dari segi kedokteran, dan bahkan dipandang mengurangi resiko kanker indung telur dan kanker rahim, ternyata malah meningkatkan resiko kanker yang lain yaitu kanker payudara, kanker mulut rahim, dan kanker liver.”
Memang tidak kami pungkiri bahwa metode KB alamiah yaitu Metode Creighton, bukan metode yang menurut anggapan banyak orang, praktis dan simpel. Walaupun sebenarnya prinsipnya sederhana, yaitu menghindari hubungan seksual selama masa subur yang ditandai keluarnya lendir subur dan tiga hari sesudah masa puncak kesuburan itu. Metode Creighton memang memerlukan usaha dan kesabaran ekstra serta kedisiplinan, kesetiaan dan terutama, pengendalian diri, dari kedua belah pihak suami dan istri. Tetapi usaha, kesetiaan, dan kesabaran itu bukan tidak ada buahnya. Suami istri dapat saling belajar untuk kompak dalam kesetiaan demi mencapai tujuan kesejahteraan hidup bersama, dan tantangan yang dihadapi dan dilalui bersama itu dapat membuahkan relasi yang makin kokoh, menimbulkan peluang tumbuhnya cinta yang tulus dan tidak mementingkan kesenangan pribadi, tetapi sungguh-sungguh menjaga kepentingan pihak lain demi kebahagiaan bersama.
Jika manusia memang sungguh ingin memecahkan masalah tanpa menimbulkan masalah baru dan dengan tulus ingin mencari solusi yang sungguh memberikan kesejahteraan lahir dan batin bagi masyarakat, maka selalu ada saja jalan lain yang lebih holistik (menyeluruh dan berakar) dalam menghadapi tantangan ledakan penduduk dan kemiskinan. Dan jalan yang menyeluruh serta mensejahterakan lahir batin itu yang pasti bukan dengan jalan mengaborsi bayi-bayi yang sudah hadir dalam rahim para ibu dengan metode kontrasepsi atau pengguguran kandungan. Penyelesaian secara holistik yang lebih menjanjikan – seperti yang diajarkan oleh Bapa Paus Benediktus XVI dalam surat ensikliknya Caritas in Veritate– adalah pembenahan di segala bidang, termasuk pembenahan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, penciptaan lapangan kerja, pemberantasan korupsi, dan keseriusan dalam menangani pendidikan. Memang dalam kehidupan ini, usaha-usaha yang lebih keras, membutuhkan kedisiplinan dan pengorbanan, biasanya yang akan membawa manusia kepada martabatnya yang utuh dan sejahtera lahir batin. Sedangkan usaha-usaha yang sifatnya egosentris, mudah, nikmat, dan jalan pintas, biasanya membawa manusia kepada penyelesaian semu yang sebetulnya merupakan pintu kepada masalah baru yang lebih berat.
Untuk menjawab pertanyaan Anda:
1. Pertanyaan ini sudah pernah kami jawab dalam link tanya jawab di sini, silahkan klik. Sekali lagi, alasan larangan Gereja Katolik mengenai KB non alami adalah pertama-tama karena hal itu melanggar prinsip penyatuan suami isteri (union) yang tidak terpisahkan dengan aspek keterbukaan kepada kemungkinan lahirnya kehidupan melalui penyatuan itu (prokreasi). Artikel-artikel ini dapat membantu memperjelas prinsip ini, yaitu mengenai kemurnian di dalam perkawinan, silahkan klik, dan tentang perkawanian Katolik vs perkawinan dunia, silahkan klik. Sehingga, lepas dari apakah metode kontrasepsi itu hanya bersifat mencegah terjadinya pembuahan, atau lebih-lebih (apalagi) yang bersifat menghancurkan pembuahan yang berhasil terjadi, pemakaian kontrasepsi melanggar prinsip pernikahan suci suami isteri yang dikuduskan lewat Sakramen Perkawinan.
2. Dengan melarang pemakaian kontrasepsi, tidak berarti Gereja tidak mendukung pengaturan jumlah penduduk dan peningkatan taraf hidup. Peningkatan martabat manusia termasuk peningkatan taraf hidup, adalah misi utama Gereja Katolik sepanjang jaman. Tidak akan pernah ada kebijakan apapun dari Gereja Katolik yang bertentangan dengan misi itu. Jika memang didasari oleh pertimbangan yang bertanggung jawab, Gereja menyetujui pengaturan kelahiran dalam keluarga, asalkan dengan cara-cara yang baik, penuh kasih dan kesabaran, tidak menghancurkan kehidupan, tidak melanggar prinsip union dan prokreasi suami istri, dan oleh karenanya Gereja menyarankan pemakaian metode KB alami, yang aman, sehat, serta mengandung banyak pembelajaran pengendalian diri dan penemuan kasih sejati. Di Amerika, negara di mana pergaulan seks bebas di antara kaum muda dan orang dewasa yang belum menikah resmi merupakan fenomena yang cukup marak, Gereja turut memberikan solusi yang konkrit dan terlibat secara nyata untuk mendampingi kaum muda. Misalnya lewat kampanye tentang chastity (kemurnian) yang dikenal dengan gerakan Purity Ring. Selanjutnya, Gereja Katolik di sana juga mempunyai program yang disebut Project Rachel dan Project Gabriel. Project Rachel adalah program pendampingan dan dukungan kepada para wanita yang mengalami kehamilan di luar nikah, kehamilan yang tidak diinginkan, kehamilan yang menyebabkan pengucilan sang calon ibu dari keluarganya, dan kasus-kasus yang sejenisnya. Mereka mendampingi para calon ibu ini dalam masa-masa kehamilannya yang penuh tekanan hingga mereka melahirkan dengan selamat dalam suasana penuh dukungan dan kasih sayang. Sedangkan Project Gabriel adalah program pendampingan anak-anak yang dilahirkan melalui hubungan-hubungan pra nikah, pendampingan ibu yang melahirkannya pula serta pengasuhan yang layak, sehingga anak-anak ini dapat tumbuh dengan optimal serta terpenuhi kebutuhan jasmani rohaninya. Di Indonesia, saya rasa kita dapat menilai sendiri bahwa gereja-gereja aktif melakukan pembinaan kaum muda lewat wadah-wadah OMK dengan pembinaan kerohanian dan pengajaran moral berdasarkan ajaran Kristus. Ada juga gerakan True Love Celebration yang dibina Rm Deshi Ramadhani, SJ yang mengajarkan pentingnya kemurnian dalam relasi pacaran maupun dalam rumah tangga. Semua itu menunjukkan usaha gereja untuk tidak meninggalkan umatnya khususnya orang muda, di dalam semakin permisifnya dunia pergaulan modern jaman ini.
Dan akhirnya, yang disebut dengan Gereja itu sebenarnya juga termasuk kita sendiri, para orangtua dan kepala keluarga. Sudah menjadi tugas kita sebagai orangtua, untuk juga memberikan teladan kehidupan kemurnian di dalam perkawinan kepada generasi muda dan kepada anak-anak kita, serta mengajarkan nilai-nilai moral yang diwariskan Kristus kepada kita semua, sehingga anak-anak kita tidak sampai terjerumus dalam pergaulan bebas atau married by accident seperti yang Anda contohkan. Juga menjadi panggilan kita semua, untuk selalu mengulurkan tangan semampu kita dan sesuai dengan kapasitas kita, untuk memberikan pertolongan atau pendampingan yang diperlukan sesama yang sedang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, bayi-bayi yang lahir dalam keadaan tidak diharapkan, anak-anak muda yang sedang kebingungan, atau keluarga-keluarga yang sedang terjerat dalam lingkaran kemiskinan.
Demikian tanggapan kami, semoga menjadi masukan yang berguna bagi Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Triastuti – katolisitas.org
Terima kasih Ibu Caecilia Triastuti dan Ibu Ingrid Listiati atas penjelasan.
Menjadi saya semakin paham, namun memang butuh kesadaran yang sungguh antara suami dan istri untuk penerapan hal ini di dalam hidup rumah tangga.
Sy masih berusaha menjelaskan hal ini kepada suami.
Semoga kehendak Tuhanlah yang terjadi dalam hidupku dan hidup rumah tanggaku.
[dari Katolisitas: Tuhan pasti membuka jalan dan melimpahkan berkat-Nya bagi anak-anak-Nya yang rindu untuk mengasihi Dia dengan segenap hati dan segenap daya dalam segala bidang kehidupan. Kiranya rahmat-Nya senantiasa menjaga Anda dan suami dalam cinta kasih sejati dan terus membimbing Anda berdua kepada kekudusan. Kami turut berdoa bagi Anda]
Dear Tim Katolisitas…
Saya sepenuhnya memahami alasan Gereja menolak alat2 KB dan dari tim katolisitas sudah jelaskan apa saja yang ditolak, namun saya punya pertanyaan bagaimana dgn “sanggama terputus”. Apa pendapat gereja tentang hal ini.
Terima kasih sebelumnya
Shalom Veronica,
Terima kasih untuk pertanyaan mengenai metode KB dengan sanggama terputus, yang diartikan sebagai pengeluaran sperma di luar vagina (dibuang) di saat terjadi ejakulasi. Seperti yang telah kami jelaskan dalam jawaban di atas dan dalam artikel-artikel yang berkaitan, penting bagi kita untuk memahami dengan jelas apa alasan Gereja Katolik menolak metode KB non alami / kontrasepsi. Ada dua alasan: yang pertama adalah karena KB non- alami melanggar penghargaan kepada kehidupan, yang terjadi sejak bertemunya sel telur dengan sperma, dan alasan yang kedua yang tak kalah pentingnya adalah karena KB non alami mengingkari dua prinsip dasar dalam pernikahan Katolik yang dikuduskan menjadi lambang cinta kasih Allah kepada mempelai-Nya (yaitu Gereja-Nya). Dua prinsip itu adalah aspek union (persatuan) dan prokreasi, yang keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain di dalam relasi suami dan istri. Aspek union (persatuan) dinyatakan dalam hubungan seksual yang penuh penghormatan, saling menghargai, dan saling memberi secara total. Karena hubungan seksual suami dan istri adalah karunia Allah yang suci dan kudus sebagai perwujudan cinta di antara mereka. Pemberian total di sini tidak dapat dan tidak boleh dilepaskan dari aspek yang satu lagi, yaitu aspek prokreasi, ialah aspek keterbukaan terhadap kemungkinan terbentuknya kehidupan yang dikaruniakan oleh Allah melalui hubungan seksual yang suci tersebut. Apabila sarana terjadinya kemungkinan kehidupan itu dihalangi dengan sengaja, baik dengan alat-alat, obat-obatan, atau ada yang dibuang, maka di sini prinsip prokreasi diingkari. Jika dilakukan KB non-alami, pemberian diri secara total juga lantas menjadi sesuatu yang dipertanyakan karena seolah kita mengatakan pada pasangan kita, ‘aku menyerahkan diriku sepenuhnya padamu, tetapi tidak kesuburanku’, atau ‘aku mencintai seluruh keberadaanmu, tapi aku tidak mau kesuburanmu’. Konsekuensi logisnya, secara keseluruhan, pasangan suami istri itu sebenarnya hanya menginginkan kenikmatan seksual saja tetapi tidak ingin memikul tanggung jawab yang menyertainya. Oleh karena itu, sanggama terputus menyalahi prinsip ini, sehingga tidak diperkenankan oleh Gereja Katolik. Mohon dicermati juga pandangan Gereja Katolik yang tercatat di dalam ajaran ensiklik Humanae Vitae bagian 14 sebagai berikut:
“Oleh karena itu, Kami mendasarkan perkataan Kami atas prinsip- prinsip pertama dari kemanusiaan dan ajaran Kristiani tentang perkawinan ketika Kami diharuskan sekali lagi untuk menyatakan bahwa pemutusan secara langsung dari proses pembuahan/ generatif yang sudah dimulai, dan di atas semua itu semua tindakan aborsi, bahkan untuk alasan- alasan terapi, sama sekali tidak termasuk sebagai cara- cara yang dapat dibenarkan untuk pengaturan jumlah anak- anak. Demikian juga untuk ditolak, seperti telah ditegaskan berkali- kali oleh Magisterium Gereja, adalah sterilisasi langsung, baik di pihak laki- laki maupun perempuan, baik bersifat permanen/ tetap selamanya atau sementara.
Juga tidak termasuk adalah segala perbuatan, baik sebelum, pada saat, ataupun sesudah hubungan seksual, yang secara khusus dimaksudkan untuk mencegah kelahiran/prokreasi, apakah sebagai tujuan ataukah sebagai cara.”
Untuk lebih jelasnya, sanggama terputus yang merupakan salah satu tindakan sesudah hubungan seksual yang dimaksudkan mencegah kelahiran / prokreasi, baik sebagai tujuan atau sebagai cara, adalah juga cara yang tidak termasuk dapat dibenarkan oleh Gereja Katolik untuk pengaturan jumlah anak-anak.
Lebih khusus lagi untuk sanggama terputus, Kitab Suci Perjanjian Lama mencatat bahwa perbuatan tersebut tidak berkenan kepada Tuhan (lih. Kej 38 : 8 – 10).
Untuk mengatur kelahiran dan perencanaan keluarga, hanya metode KB alamiah yang diperkenankan oleh Gereja di mana hubungan seksual dilakukan secara berpantang selama masa subur istri, yang juga menyangkut penghargaan kepada tubuh pasangan dan latihan pengendalian diri. Tidak ada yang dibuang dalam KB alamiah. Sebab melalui metoda ini, terdapat waktu- waktu di mana suami istri memang berpantang, namun pada saat melakukan hubungan, hubungan dilakukan dengan melakukan pemberian diri yang total, tanpa ada yang dihalangi ataupun dibuang. Memang pelaksanaan KB alamiah melibatkan pengendalian diri dari kedua belah pihak, namun hal ini dapat mengantar suami istri kepada penemuan cinta yang sejati di antara keduanya yang tidak terbatas pada penyalurannya secara fisik dan seksual saja, sebab pasangan dapat belajar untuk saling mengasihi secara lebih tulus, sehingga keduanya dapat bertumbuh di dalam kekudusan. Semoga penjelasan ini menjawab pertanyaan Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan
Caecilia Triastuti dan Ingrid Listiati – katolisitas.org
salam
saya belum menikah, walaupun aneh tapi saya sdh memikirkan masa depan spti halnya alat kontrasepsi apa yg akan saya pakai krn dari pengalaman teman2 senior saya yg sdh punya anak, mereka sering punya keluhan2 dr efek negatif alat kontrasepsi dari berat badan yg naik sampai yg harus gonta ganti alat kontrasepsi krn tdk cocok. Saya orgnya risihan ato kurang nyaman bila ada benda asing dimasukkan ke dlm tubuh saya, jd saya tdk akan pakai alat kontrasepsi su2k ato kontrasepsi yg dimasukan lainnya. Saya takut jarum, jd suntik KB agak ragu. Minum pil? Saya paling males minum obat apalagi sampai jangka waktu lama, saya lebih senang obat2 herbal utk sy minum. Jadi sblm menikah saya sdh memikirkan alat kontrasepsi apa yg sy pilih. Saya Katolik jd saya ingin menjalankan pernikahan sy kelak berdasarkan ajaran Katolik yg benar dan untunglah Gereja Katolik menolak penggunaan alat kontrasepsi. Saya sdh baca artikel ttg KB alamiah, jujur sy pusing, mungkin krn blm menikah. Yang ingin sy tanyakan, saya sebelum haid saya pasti ada gejala2 spti misalnya payudara bengkak, badan gampang capek, sering ngantuk ato emosi nggak stabil, Kalau berdasarkan hal tersebut bisa tdk? Karena yg saya dengar dari tmn sy, seminggu sblm haid adalah masa tdk subur krn telur sdh matang dan tdk mungkin terjadi pembuahan. Haid saya tdk teratur (tglnya tdk pasti) tapi sy bisa mengenali gejala akan haid sperti yg saya sebutkan tadi atau dg basahnya alat kelamin saya (spti keputihan tp tdk berbau ato gatal), apa ini bisa jd patokan? Saya prnh mendengar teman sy mencoba KB alami dg sehabis hub si pria air maninya ato spermanya dibuang di luar jd tidak akan terjadi pembuahan, apakah cara ini bisa sbg alternatif?
Terima kasih
Shalom Maria,
Kehadiran anak secara alamiah adalah suatu karunia indah yang dinanti-nanti oleh sepasang suami istri yang saling mencintai, dan merupakan salah satu sumber kebahagiaan dalam pernikahan, sehingga anak sering disebut dengan istilah ‘buah hati’. Kerinduan alamiah pasangan suami istri akan kehadiran anak merupakan karunia Tuhan, yang menciptakan manusia dengan naluri dan kemampuan untuk berreproduksi dalam martabat yang luhur. Karena adalah kehendak-Nya (lih. Kej.1 : 28) supaya manusia beranak cucu dan bertambah banyak untuk memenuhi muka bumi dan menjadi mitra yang secitra dengan Dia dalam mengelola alam ciptaan-Nya yang luar biasa ini.
Karena itu, pikiran mengenai kontrasepsi (yang menolak kemungkinan kelahiran anak) di saat jenjang pernikahan pun belum ditapaki, memang sebuah pemikiran yang aneh, seperti yang Anda sendiri rasakan (dan tuliskan). Apalagi setelah Anda mendengar sendiri dari teman-teman Anda mengenai efek samping pemakaian kontrasepsi yang merugikan kesehatan. Dan di atas segalanya, iman Katolik Anda mengajarkan bahwa kontrasepsi bukan sebuah pilihan untuk dipertimbangkan, lagipula Anda memang ingin menjalani pernikahan berdasarkan ajaran Katolik yang benar. Maka waktu yang Anda miliki sebelum memasuki jenjang pernikahan justru dapat menjadi sebuah kesempatan untuk mempelajari baik-baik mengenai metode KB alamiah, sehingga kelak Anda dapat menerapkannya dengan baik sesuai dengan niat Anda untuk setia dengan ajaran moral Gereja Katolik. Metode KB alamiah yang dikenal dengan nama Metode Creighton, adalah metode yang sehat, cukup akurat, dan aman tanpa efek samping yang merugikan kesehatan. Selain sangat baik untuk mengatur jumlah kelahiran anak secara bertanggung jawab dalam pengendalian diri dan kasih penghargaan satu sama lain, KB alamiah juga sama baiknya untuk merencanakan kehamilan.
Tanda-tanda fisik yang mendahului masa haid tidak dapat dipakai sebagai patokan yang akurat untuk mengenali masa subur di dalam penerapan KB alamiah. Patokan yang lebih akurat untuk dipakai adalah sekresi lendir kesuburan melalui vagina yang terjadi di antara masa haid sampai masa haid berikutnya. Umumnya, menjelang haid seorang wanita akan mengalami masa kering, atau sekalipun ada sekresi cairan atau lendir dari vagina, sifatnya berbeda dengan lendir kesuburan. Sebaiknya Anda mempelajari kembali dengan lebih mendetil bagaimana mengenali lendir kesuburan dalam artikel mengenai KB metode Creighton, silahkan klik.
Membuang sperma di luar vagina (atau disebut sebagai sanggama terputus) pada saat hubungan suami istri, bukanlah KB alami, dan cara ini juga tidak sesuai dengan ajaran moral Gereja. Hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Di dalam KB alamiah, prinsipnya adalah menahan diri untuk tidak melakukan hubungan seksual selama masa subur istri, jika yang diinginkan adalah membatasi jumlah kelahiran. Namun pada saat dilakukan hubungan suami istri, yang terjadi adalah pemberian diri yang total antara suami dan istri, sehingga tidak ada yang dibuang.
Untuk mendapat penjelasan yang menyeluruh mengenai keindahan ajaran Gereja Katolik yang mendasari anjuran penerapan KB alamiah, silahkan membaca juga artikel-artikel terkait yaitu mengenai kemurnian di dalam perkawinan, silahkan klik, Humanae Vitae itu benar, silahkan klik, serta artikel perkawinan Katolik vs perkawinan dunia, silahkan klik.
Semoga hikmat dan kasih Tuhan senantiasa memimpin Anda dalam mempersiapkan dan menjalani kehidupan pernikahan Anda kelak, dalam kebahagiaan, damai sejahtera, dan kekudusan sesuai dengan kehendak-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Caecilia Triastuti dan Ingrid Listiati – katolisitas.org
Terima kasih saya bisa mengerti secara teori penjelasan ibu, bagi saya agak kasihan posisi dokter dalam konteks tersebut kalau dijawab seperti di atas. Dan inilah yang sering membingungkan saya: antara sebuah teori dan praktek di lapangan. Dokter melakukan tugasnya dan selama proses belajar bertahun-tahun menjadi dokter, KB non alami juga termasuk materi bagi seorang calon dokter karena itu adalah materi umum kedokteran. Dan ketika dia bekerja di sebuah rumah sakit (Katolik atau non Katolik), apakah dokter bisa menolak jika ada pasien yang datang kepadanya minta KB non alami? Pasien yang datang kepada dokter dari berbagai macam keyakinan, dan pasien sekarang tahu ada begitu banyak metode KB, pasien juga tahu bahwa dokter belajar KB non alami.
Teman saya dokter selalu merasa bersalah, kalau dia melakukan KB non alami yg diminta pasien, dia tahu kalau ajaran Katolik tidak membolehkan itu, dan justru di situlah problemnya. Apakah dia harus meninggalkan pekerjaan dokternya yg dia pelajari bertahun-tahun dengan penuh penderitaan? Bukankah sebenarnya ajaran moral bukan untuk mempersalahkan tetapi membantu orang untuk hidup baik? Terima kasih atas share jawabannya
[dari Katolisitas: jawaban untuk tanggapan Anda ini telah diuraikan di dalam artikel di atas, silahkan klik.]
Comments are closed.