Kekudusan adalah untuk semua orang

Sewaktu saya tinggal di Filipina tahun 1999 yang lalu, saya pertama kali mengenal EWTN (Eternal Word Television Network– yang berpusat di Alabama, Amerika) melalui kabel TV. Acara yang menarik perhatian saya adalah sebuah ‘talk show’ dari seorang biarawati yang namanya Mother Angelica. Pertama-tama saya menonton hanya karena ingin tahu, apakah kiranya ada sesuatu yang menarik jika seorang suster berbicara di depan kamera. Anggapan saya ini ternyata keliru, sebab program talk show ini ternyata sungguh sangat luar biasa. Melalui penampilannya yang sederhana, dengan bahasa sehari-hari, Mother Angelica menyampaikan pesan-pesan Injil yang sangat mengena di hati. Saya masih ingat slogan yang selalu ditampilkan sebelum acara dimulai, “Everyone is called to be holy. Don’t miss the opportunity!” (Setiap orang dipanggil untuk menjadi kudus. Jangan lewatkan kesempatan ini!) Sejak saat itu, saya mencari tahu bagaimana caranya untuk hidup kudus, yang kemudian saya ketahui sebagai seruan dari Yesus sendiri yang diserukan kembali oleh Gereja kepada semua orang, yang menjadi salah satu fokus utama dalam Konsili Vatikan II.[1] Ternyata, panggilan hidup untuk hidup kudus ini merupakan sesuatu yang sangat penting, karena sesungguhnya, hanya dengan hidup dalam kekudusan inilah kita dapat menemukan kebahagiaan sejati. Hanya dengan hidup kudus dalam kasih inilah kita menemukan arti hidup kita yang sesungguhnya!

 

Mengikuti perintah Allah

Pertama-tama, Kitab Suci mengajarkan pada kita bahwa untuk hidup kudus, kita perlu mengikuti perintah Allah sebab perintah Allah itu kudus (Rom 7:12, 13:10). Perintah ini mencakup kita hidup di dalam iman, harapan dan kasih, terutama perintah untuk mengasihi Allah di atas segalanya dan mengasihi sesama (Mat 22: 37-39; Mrk 12:30), dengan cara ini kita dapat menjadi kudus dan tak bercela di hadapan Tuhan (Fil 1:10, 1 Tes 3:12). Dalam hal ini mengasihi artinya menjadikan kasih sebagai sesuatu yang utama dalam hidup kita. Kemanapun kita pergi kita harus ingat bahwa kita adalah alat Tuhan untuk menyampaikan kasihNya kepada orang-orang yang kita jumpai. Dengan kasih ini, kita belajar untuk selalu menaruh belas kasihan dan menyebarkan kebaikan. Kita juga harus berjuang untuk selalu rendah hati dan lemah lembut, sabar dalam menganggung segala sesuatu yang Tuhan izinkan terjadi di dalam hidup kita. Perjuangan untuk hidup kudus ini juga melibatkan perhatian pada sesama yang sedang susah dan menderita, sebab Kristus telah memberi teladan dengan wafatNya menanggung dosa-dosa kita, sehingga kitapun selayaknya saling menanggung beban dan saling mengampuni seperti Tuhan yang telah lebih dahulu mengampuni kita (Kol 3:12).

Menanggalkan manusia lama: ‘aku yang dulu sudah mati’

Kedua, untuk hidup kudus kita perlu menanggalkan diri kita yang lama –berikut dengan segala dosa dan kebiasaan negatif, untuk hidup sebagai manusia baru di dalam Roh Kudus dan hidup di dalam rasa hormat pada Tuhan (2Kor 7:1) sehingga kita dapat memiliki buah-buah Roh (Gal 5:22-24). Meninggalkan manusia lama adalah konsekuensi dari pembaptisan kita. Misalnya saja, kalau kita dulu terobsesi dengan pekerjaan, kecanduan nonton TV, ‘shopping’, gossip, atau merokok, maka jika mau dengan sungguh-sungguh menjadi manusia baru, kita harus berjuang untuk meninggalkan kebiasaan tersebut, dan mengalihkan waktu atau dana yang dulu tersalurkan untuk kebiasaan itu kepada hal-hal yang dapat memuliakan Tuhan. Kalau kita dulunya melakukan segala sesuatu dengan banyak mengeluh dan ‘komplain’, sekarang kita melakukannya dengan suka cita, karena kita melakukan segala sesuatunya dengan motivasi untuk mengasihi Tuhan, seperti yang diajarkan oleh Santa Teresia Kanak-kanak Yesus. Dengan sendirinya, keinginan hidup kudus ini mengarahkan kita pada hal-hal surgawi yang sifatnya kekal, bukan pada hal-hal dunia yang sifatnya sementara (Kol 3:2). Dengan melaksanakan semua ini, kita dapat hidup di dalam kebenaran dan bertumbuh di dalam kekudusan untuk menjadi semakin serupa dengan Allah (Ef 4:22-24).

Meniru Allah

Ketiga, kita perlu selalu berusaha untuk ‘meniru’ Allah yang kudus dan sempurna (1Pet 1:15-16; Mat 5:48) melalui teladan Kristus untuk kita terapkan di dalam perkataan, pikiran dan perbuatan kita. Kita memang perlu berjuang keras untuk menerapkan hal ini sebab memang tidak mudah untuk hidup kudus dewasa ini dengan adanya banyak godaan dunia yang menarik kita untuk melakukan dosa. Dari majalah sampai iklan, dari pengaruh budaya sampai kebiasaan, semua dapat membujuk kita kepada kesenangan yang semu, yang datang tidak ada habisnya. Rasul Yohanes menyebut ada tiga godaan utama di dalam hidup di dunia, yaitu keinginan daging, keinginan mata serta keangkuhan hidup (1Yoh 2:15) yang menyebabkan orang jatuh dalam dosa seksual, mengejar kekayaan, dan menjadi sombong. Oleh karena itu, untuk hidup kudus, Injil menasehatkan kita untuk mengembangkan tiga pola hidup Injili yaitu, kesucian (chastity), kemiskinan (poverty) dan ketaatan (obedience) yang bertentangan dengan ketiga pola hidup duniawi tersebut. Penerapan ketiga nasehat Injil ini dapat kita lihat sendiri di dalam hidup Kristus, yang merupakan intisari dari pengajaran utama-Nya yang dikenal sebagai Delapan Sabda Bahagia (Mat 5: 3-12). Semasa hidupNya di dunia, Kristus memiliki kelemahlembutan dan kesucian hati; Ia hidup miskin, Ia taat pada kebenaran sampai wafat di salib.[2] Karena itu, jika kita sungguh mau seperti Yesus – seperti yang sering kita nyanyikan di persekutuan doa: Ku… mau s’perti-Mu Yesus- kita pun harus mengikuti pola hidupNya, yang mencerminkan kerendahan hati. Dengan mengikuti teladan Yesus ini, kita berjalan menuju kekudusan.[3]

Semua orang dipanggil untuk hidup kudus

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana kita harus menerapkan ketiga nasehat tersebut, apakah harus dengan menjadi biarawan/ biarawati? Jawabannya adalah kita semua dipanggil untuk melaksanakan ketiga nasehat tersebut menurut status hidup kita. Tentu bagi kaum religius penerapan nasehat tersebut sungguh terlihat sangat jelas, dengan mempersembahkan seluruh hidup mereka, dengan hidup secara selibat untuk mengabdi Tuhan dan sesama. Dalam hal ini, mereka patut mensyukuri karunia tersebut, dan menjalani kehidupan panggilan mereka dengan suka cita, sebab di dalam diri merekalah Tuhan menghadirkan pola hidup Kristus secara terus menerus di dalam Gereja, dan dengan demikian menyatakan keagungan Kerajaan Allah.[4] Namun bagi kita kaum awam, kitapun dapat melaksanakan ketiga nasehat itu dengan derajat yang berbeda, sesuai dengan keadaan kita masing-masing. Misalnya, kesucian di dalam pernikahan ditandai dengan kesetiaan kepada pasangan;[5] kemiskinan dapat diartikan dengan hidup sederhana dan ketidak-terikatan dengan kekayaan ataupun materi; ketaatan dapat diartikan dengan tunduk kepada atasan kita, atau di dalam keluarga: istri tunduk pada suami, suami tunduk pada perintah Tuhan untuk mengasihi istri, dan anak-anak tunduk pada orang tua (lih. Kol 3:18-20, 22). Di atas segalanya, ketaatan diartikan sebagai taat kepada kebenaran yang dinyatakan Allah dengan hidup saleh dan adil (righteous). Untuk menerapkan hal-hal ini diperlukan kerendahan hati untuk selalu mengubah diri ke arah yang lebih baik sesuai dengan perintah Tuhan.

Kita semua juga bertumbuh di dalam kekudusan jika kita menerima dengan iman segala sesuatu yang diberikan oleh Allah, dan apabila kita bekerja sama dengan-Nya untuk melakukan kehendak-Nya di dunia ini[6] yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kita sesuai dengan panggilan hidup kita (lihat artikel: Refleksi Praktis Tentang Kekudusan). Contohnya, para pasangan Kristen dipanggil untuk menjadi contoh bagi dunia atas kasih seumur hidup, yang tak mengenal lelah dan bosan, serta kasih yang murah hati dan selalu terbuka pada anugerah kehidupan anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Para suami dan istri menjadi cerminan bagaimana Kristus mengasihi mempelai-Nya, yaitu Gereja, dengan mengorbankan nyawa baginya.[7] Para janda dan mereka yang tidak menikah juga dapat menyumbangkan kekudusan pada Gereja dengan mendukung tugas-tugas misi Gereja. Para pekerja dapat berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan masyarakat dengan cara saling menanggung beban dan mengasihi satu sama lain. Juga orang-orang miskin, sakit, dan menderita dipanggil juga untuk hidup kudus, karena mereka secara khusus dipersatukan dengan Kristus yang menderita sengsara untuk menyelamatkan dunia.[8]

Pengajaran dari Para Kudus

Menurut Santo Fransiskus de Sales[9], hidup kudus diawali dengan pemurnian dari dosa (pertobatan) melalui pengakuan dosa. Tahap selanjutnya adalah dengan pemurnian suara hati, sehingga kita dapat memiliki rasa penyesalan yang sungguh dan membuat niat yang teguh untuk memperbaiki diri. Dalam hal ini pemeriksaan batin memainkan peranan yang penting untuk membantu kita mengenali kehadiran Tuhan di dalam hati kita. Kesadaran ini mengantar kita pada tahap berikutnya yaitu, doa, meditasi, membaca dan merenungkan Firman Tuhan, melakukan perbuatan-perbuatan kasih, menyangkal diri, mengikuti retret, dan menerima sakramen-sakramen dari Gereja, terutama sakramen Tobat dan Ekaristi. Perlu diingat bahwa Gereja adalah tanda kehadiran Tuhan melalui liturgi dan sakramen-sakramen, sebab di dalamnya Kristus sendiri yang bertindak melalui perantaraan manusia, dalam hal ini adalah para imam-Nya. Dari semua itu, kehadiran Kristus yang paling sempurna dan mendalam adalah di dalam Sakramen Ekaristi, karena di dalam Ekaristi, Allah menyatakan kehendakNya, yaitu, Tubuh Yesus Kristus dipersembahkan dan kita semua dikuduskan dan disempurnakan (lih. Ibr 10:10,14)[10] Dalam hal ini, kita meyakini bahwa oleh karena kekudusan adalah karunia Tuhan; maka untuk menjadi kudus, kita harus mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri, yang dikaruniakan kepada Gereja-Nya di dalam Ekaristi.

Selanjutnya, Santo Alfonsus Ligouri[11] mengajarkan bahwa di atas segalanya, kita harus berusaha untuk mencari kesamaan dengan kehendak Tuhan, yaitu dengan menjadikan kehendak-Nya kehendak kita sendiri. Dengan melakukan kehendakNya dengan sukacita, baik di dalam kelimpahan maupun di dalam kesulitan, kita sungguh memuliakan Tuhan. Inilah yang menjadi kesempurnaan kita, dan harus menjadi tujuan dari segala keinginan, tindakan, doa, dan meditasi kita. Dengan bertindak sesuai dengan pengertian ini, kita dikuduskan dan menikmati damai di dalam hidup ini. Juga, dengan melaksanakan kehendak Tuhan, kita mengikuti jejak Kristus yang dengan taat kepada Bapa rela wafat di kayu salib bagi manusia. Dengan mengikut teladan Yesus inilah, kita ikut berpartisipasi di dalam kekudusan-Nya untuk mendatangkan keselamatan bagi dunia.

Kesimpulan

Jadi, kekudusan itu adalah karunia yang awalnya diberikan pada waktu kita dibaptis, yaitu pada saat kita meninggalkan manusia lama dan mengenakan Kristus. Selanjutnya kekudusan harus kita perjuangkan dan tingkatkan dengan tindakan kasih kepada Tuhan dan sesama, yang disertai dengan kemurnian hati, pola hidup sederhana -yaitu tidak mengikatkan diri pada kekayaan- juga diikuti ketaatan dan kesalehan; dan semuanya itu didasari oleh kerendahan hati. Jika kita terus menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari, dengan rahmat yang kita terima dari Ekaristi dan sakramen lainnya, maka kita akan bertumbuh di dalam kekudusan. Tuhan kita memang Allah yang Maha Baik. Jika Dia memanggil kita untuk menjadi kudus, Dia juga menyediakan bagi kita jalan menuju kekudusan itu, yang memang harus ditempuh dengan perjuangan, namun Tuhan akan terus mendampingi dan memberi kekuatan, damai dan suka cita yang tidak bisa diberikan oleh dunia ini. Sekarang tergantung kita masing-masing, maukah kita menempuh jalan itu?


[1] Seruan untuk hidup kudus diajarkan oleh Kristus, yang mengatakan, “Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu di sorga adalah sempurna,” Kesempurnaan yang dimaksud ini adalah kekudusan karena pengajaran ini adalah pengulangan dari pengajaran yang disampaikan oleh Musa di kitab Imamat, yaitu “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus (Im 19:2) dan di kitab Ulangan, “Haruslah engkau hidup dengan tidak bercela di hadapan Tuhan..”(Ul 18:13)

Lihat Lumen Gentium bab V, Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, tentang Panggilan kepada Semua Orang kepada Kekudusan di dalam Gereja.

[2] Lihat Joseph Ratzinger, Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth, (Double Day, New York, 2007), p. 74, “The Beatitudes present a sort of veiled interior biography of Jesus, a kind of a portrait of His figure. He who has no place to lay His head (Mt 8:20) is truly poor, He who can say…I am meek and lowly in heart (Mt 11:28-29) is truly meek; He is the one who is pure of heart and so unceasingly beholds God. He is the peacemaker, He is the one who (obediently) suffers for God’s sake.

[3] Lihat Lumen Gentium 39, Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Kekudusan itu dengan aneka cara terungkapkan pada masing-masing orang, yang dalam corak hidupnya menuju kesempurnaan cinta kasih dengan memberi teladan baik kepada sesama. Secara khas pula nampak dalam penghayatan nasehat-nasehat, yang lazim disebut “nasehat Injil”. Penghayatan nasehat-nasehat itu atas dorongan Roh Kudus ditempuh oleh orang banyak kristiani, entah secara perorangan, entah dalam corak atau status hidup yang disahkan oleh Gereja, serta menyajikan dan harus menyajikan di dunia ini kesaksian dan teladan yang ulung tentang kesucian itu.”

Lihat pula Lumen Gentium 42, yang menyatakan, “Maka semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka. Oleh karena itu hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan-keinginan hati dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan dirintangi karena menggunakan hal-hal duniawi dan melekat pada kekayaan melawan semangat kemiskinan menurut Injil. Itulah maksud nasehat Rasul (Paulus): orang yang menggunakan barang dunia ini jangan sampai berhenti di situ: sebab berlalulah dunia seperti yang kita kenal sekarang (lih. 1Kor 7:31).

[4] Lihat Lumen Gentium 44, ibid., “Corak hidup, yang dikenakan oleh Putera Allah ketika Ia memasuki dunia ini untuk melaksanakan kehendak Bapa, dan yang dikemukakan-Nya kepada para murid yang mengikuti-Nya, yang diteladan dari lebih dekat oleh status religius, dan senantiasa dihadirkan dalam Gereja. Akhirnya status itu juga secara istimewa menampilkan keunggulan Kerajaan Allah melampaui segalanya yang serba duniawi, dan menampakkan betapa pentingnya Kerajaan itu. Selain itu juga memperlihatkan kepada semua orang keagungan mahabesar kekuatan Kristus yang meraja dan daya Roh Kudus yang tak terbatas, yang berkarya secara mengagumkan dalam Gereja.”

[5] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Para suami-isteri dan orang tua kristiani wajib, menurut cara hidup mereka, dengan cinta yang setia seumur hidup saling mendukung dalam rahmat….”

[6] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Jadi semua orang beriman kristiani dalam kondisi-kondisi hidup mereka, dalam tugas-tugas serta keadaan mereka, dan melalui itu semua, dari hari ke hari akan makin dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala-sesuatu dari tangan Bapa di sorga, dan bekerja sama dengan kehendak ilahi, dengan menampakkan dalam tugas sehari-hari kepada semua orang cinta kasih Allah terhadap dunia.”

[7] Lihat Lumen Gentium 41, ibid ., “(Para suami- isteri dan orang tua kristiani) meresapkan ajaran kristiani maupun keutamaan-keutamaan Injil di hati keturunan, yang penuh kasih mereka terima dari Allah. Sebab dengan demikian mereka memberi teladan cinta kasih yang tak kenal lelah dan penuh kerelaan kepada semua orang, memberi contoh kepada persaudaraan kasih, dan menjadi saksi serta pendukung kesuburan Bunda Gereja. Mereka menjadi tanda pun sekaligus ikut serta dalam cinta kasih Kristus terhadap Mempelai-Nya, sehingga Ia menyerahkan diri untuknya.”

[8] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Khususnya hendaklah mereka yang ditimpa oleh kemiskinan, kelemahan, penyakit dan pelbagai kesukaran, atau menanggung penganiayaan demi kebenaran – merekalah, yang dalam Injil dinyatakan bahagia oleh Tuhan, dan yang “Allah, sumber segala rahmat, yang dalam Kristus Yesus telah memanggil kita ke dalam kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan dan mengokohkan, sesudah mereka menderita seketika lamanya” (1Ptr 5:10), – hendaklah mereka semua mengetahui, bahwa mereka dipersatukan dengan Kristus yang menderita sengsara demi keselamatan dunia.”

[9] Ringkasan dari buku karangan St. Francis de Sales, An Introduction of the Devout Life, (TAN Books and Publishers, Inc., Rockford, Illinois, USA), 1994.

[10] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1364, “Apabila Gereja merayakan Ekaristi, ia mengenangkan Paska Kristus; Paska ini dihadirkan. Kurban yang dibawakan Kristus satu kali untuk selama-lamanya, selalu tinggal berhasil guna.” Penghadiran kembali ini tidak berarti bahwa Yesus disalibkan kembali, karena memang Ia telah disalibkan satu kali saja, seperti perkataan Rasul Paulus (Rom 6:10). Jadi yang dihadirkan adalah kurban Kristus yang satu dan sama, (lihat Katekismus 1367) yang dimungkinkan karena Kristus adalah Allah yang tidak terbatas oleh waktu. Hanya cara-nya yang berbeda, yaitu … “Kristus yang sama itu hadir dan dikurbankan secara tidak berdarah… yang mengurbankan diri sendiri di kayu salib secara berdarah satu kali untuk selama-lamanya (Konsili Trente: DS 1743).

“Setiap kali korban salib yang di dalamnya dipersembahkan Kristus, Anak Domba Paska, dirayakan di altar, terlaksanalah karya penebusan kita.” (Lumen Gentium 3)

[11] Ringkasan dari buku karangan St. Alphonsus de Liguori, Uniformity with God’s Will, (TAN Books and Publishers, Inc., Rockford, Illinois, USA), 1977.

23 COMMENTS

  1. Syalom Stefanus dan Inggrid,

    Saya mau bertanya, setelah kita diselamatkan oleh Tuhan Yesus melalui kematianNYA disalib, apa tugas pokok kita di dunia ?

    Terimakasih.

  2. Yth. Bp. Stef dan Ibu Inggrid,

    Maaf, apabila sharing dan pertanyaan saya terlalu naif. Ketika saya membicarakan masalah menuju panggilan hidup yang kudus bersama-sama teman, ada muncul kebimbangan dalam diri saya.

    1. Membaca riwayat hidup orang kudus saya menemukan kenyataan bahwa untuk menikmati hidup yang kudus mereka selalu mengalami masa-masa berat di awal-awal panggilannya. Hidupnya penuh dengan perjuangan iman. Kekudusan bagi mereka dinikmati tidak karena kekudusan ini jatuh dari langit begitu saja. Tetapi ada perjuangan batin dalam hidup mereka.

    Jika hidup kekudusan itu diperjuangkan oleh kebanyakan orang saat ini, apakah tidak mungkin itu bisa dicapai? Apakah kekudusan itu harus ditempuh dengan kehidupan yang berliku-liku terlebih dahulu?

    2. Menurut bapak dan ibu, bagaimana menyelaraskan hidup yang kudus dengan perjuangan hidup untuk mengusahakan kesejahteraan dalam keluarga?

    Saya melihat banyak orang yang sejahtera hidup keluarganya, walaupun mereka jarang pergi beribadah. Bahkan di lingkungan saya banyak orang-orang sukses dan sejahtera hidupnya walaupun mereka kurang perhatian bahkan mereka mungkin tidak tahu bagaimana memelihara imannya. Apalagi berpikir untuk meraih hidup yang kudus.

    Bagaimana menurut pengasuh http://www.katolisitas.org mengenai sharing dan pertanyaan saya. Terima kasih sebelumnya dan semoga Tuhan memberkati.

    • Shalom Timotius,

      1. Hidup kudus dapat dicapai?

      Jika kita membaca riwayat banyak orang kudus, dapat kita lihat suatu benang merah, yaitu bahwa kekudusan itu bukan hal yang mudah untuk dicapai. Anda benar, bahwa hidup kudus mensyaratkan perjuangan.

      Maka, sebagaimana seorang murid yang ingin lulus harus belajar dengan sungguh-sungguh dan menyelesaikan soal-soal ujian, demikian pula seseorang yang ingin memperoleh mahkota kehidupan, harus bertahan dalam pencobaan dan terbukti tahan uji. Sebab dikatakan, “Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” (Yak 1:12)

      Demikianlah, maka pertumbuhan sering tidak terpisahkan dari ujian iman. Soal apakah untuk menjadi kudus harus menempuh hidup berliku-liku atau tidak, itu sepertinya berbeda pada setiap orang, namun yang jelas, akan ada saatnya, ujian iman itu datang. Dan orang yang berharap bahwa keteguhan iman diperoleh begitu saja tanpa perjuangan, nampaknya mengharapkan sesuatu yang tidak realistis, sebab sabda Tuhan tidak mengajarkan demikian. Namun demikian, kita tidak perlu berkecil hati, sebab kita percaya, Tuhan mengasihi kita, dan akan memberikan segala sesuatunya sesuai dengan kekuatan kita, dan Ia akan menjadikan segala sesuatunya indah pada waktu-Nya.

      Maka kekudusan adalah sesuatu yang perlu kita perjuangkan selama kita hidup di dunia ini. Soal tercapai atau tidak, bukan kita yang menilai, tetapi Allah. Bagian kita adalah berjuang, sedangkan Allah-lah yang menopang dan kelak menyatakan apakah kita sudah melakukan bagian kita. Kita tidak boleh menganggap diri sudah kuat (atau sudah kudus), sebab justru pada saat itu, kita dapat jatuh (1 Kor 10:12). Demikianlah kita belajar dari teladan para orang kudus yang hidup dalam kerendahan hati, perjuangan untuk mematikan keinginan daging (kaul kemurnian), keinginan mata (kaul kemiskinan) dan kesombongan (kaul ketaatan).

      Tentang panggilan untuk hidup kudus ini, yang ditujukan kepada semua orang, merupakan salah satu pesan utama dari Konsili Vatikan II. Untuk membacanya, silakan klik di sini.

      2. Bagaimana menyelaraskan panggilan hidup kudus dengan perjuangan mengusahakan kesejahteraan keluarga?

      Penting di sini untuk didefinisikan, apakah itu ‘kesejahteraan keluarga’. Sebab jika yang dimaksudkan hanya terbatas pada kesejahteraan jasmani, maka mungkin terjadi ketidaksesuaian dengan pertumbuhan iman. Karena iman yang sejati baru dapat bertumbuh jika hati kita terpaut kepada Tuhan dan kita tidak terikat oleh kekayaan, kecantikan, hawa nafsu dan nama baik. Di sinilah relevan untuk diusahakan kebajikan kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan, walau dengan wujud yang berbeda dengan kaul para religius.

      Dunia sekitar kita ini memang cenderung menjadi materialistis. Orang mengejar kesuksesan materi, dan menganggapnya sebagai tolok ukur kebahagiaan. Namun, seseorang yang merenungkan sabda Tuhan, akan mengetahui bahwa hal ini tidak benar. Manusia adalah mahluk yang rohani, selain jasmani. Dan karena itu, manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan yang sejati, jika itu tidak melibatkan kebahagiaan jiwanya yang rohani.

      Tentang hal ini, silakan klik di sini.

      Namun roda kehidupan setiap orang tidak berputar secara seragam. Ada saat-saat yang berbeda bagi setiap orang untuk menemukan tujuan hidup dan jati dirinya. Jika saat itu sudah terjadi pada kita, adalah bagian kita untuk terus bekerja sama dengan rahmat Tuhan, supaya bersama Dia, kita mengalami penyingkapan rencana keselamatan Allah bagi kita, yang akan mencapai kesempurnaannya di Surga kelak.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Terima kasih atas tanggapan anda. Ada yang perlu saya konfirmasi lagi sebagai berikut:
        1. Anda menulis, “….manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan yang sejati, jika itu tidak melibatkan kebahagiaan jiwanya yang rohani”.

        Menurut saya pernyataan ini mengandaikan bahwa kebutuhan jasmani untuk sejahtera dan kebutuhan rohani untuk kebahagiaan sejati harus dilakukan secara bersama, ya sejahtera, ya hidup dalam kekudusan. Bisakah terjadi sekaligus? Kesejahteraan ekonomi seringkali diperjuangkan melalui perbuatan-perbuatan yang bertolak belakang dengan nilai-nilai moralitas (korupsi, penipuan, penggelapan, dll) Jelas ini tidak sesuai dengan kekudusan.

        Akibatnya banyak orang2 kelas menengah dan atas yang sudah mapan memiliki pemikiran bahwa kehidupan jasmani (mengejar kesejahteraan ekonomi) lebih penting untuk saat ini dari pada hidup dalam kekudusan. Mumpung masih ada kesempatan. Soal hidup kudus adalah urusan nanti, setelah pensiun, misalnya.

        Terhadap kondisi seperti ini saya hanya berpikir apakah ini soal pilihan waktu dan skala prioritas dalam memaknai tujuan dan makna hidup kita? Maksudnya, untuk hidup yang masih berjalan ini harus mendahulukan salah satunya, yakni mengejar kekudusan.

        Bagaimana anda menanggapi menganai kondisi seperti ini?

        Terima kasih atas tanggapannya dan saya berdoa untuk pelayanan anda dan pak Stef. GBU

        • Shalom Timotius,

          Adalah keliru jika orang berpikir bahwa kekudusan adalah sesuatu yang baru perlu diusahakan ketika usia sudah tua, atau bertobat nanti saja kalau sudah pensiun. Sebab sejujurnya, setiap orang tidak pernah tahu kapankah saat ia dipanggil Tuhan. Dengan mentalitas macam ini, dapat terjadi orang tersebut wafat dalam keadaan belum sempat bertobat, dan karena itu, kehilangan keselamatannya.

          Maka, kekudusan itu bukan pilihan, tetapi keharusan, bagi seseorang yang berharap masuk Surga (1 Ptr 1:16, Im 19:2; Mat 5:48).

          Tentang topik kekudusan, silakan Anda membaca artikel di atas, yaitu bahwa Semua orang dipanggil untuk hidup kudus, silakan klik (pertanyaan Anda baru saja kami pindahkan di bawah artikel ini), dan juga beberapa artikel terkait lainnya:

          Apa itu Kekudusan?
          Kerendahan Hati: Dasar dan Jalan menuju Kekudusan
          Refleksi Praktis tentang Kekudusan

          Kekudusan itu sendiri adalah sebuah proses, yang dimulai dari sebuah langkah sederhana, yaitu menginginkannya. Kalau seseorang ingin masuk Surga, dan sungguh memahami apa yang diinginkannya, maka ia sebenarnya sudah mempunyai langkah awal ini. Langkah berikutnya adalah sedikit demi sedikit, melangkah bersama Kristus untuk mewujudkannya. Maka kekudusan ini melibatkan perjuangan, yang belum kita ketahui apakah kita pasti berhasil konsisten sampai akhir hidup kita. Namun yang jelas adalah bagian kita untuk mulai mengusahakannya sejak sekarang.

          Ajakan untuk hidup kudus kepada semua orang ini merupakan salah satu pesan utama dari Konsili Vatikan II, yang teks lengkapnya (Lumen Gentium bab 5) dapat dibaca di sini, silakan klik. Maka Gereja mengajarkan bahwa ajaran Kristus tentang kekudusan ini justru harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar Gereja dapat menjadi terang dan garam dunia. Jika ajaran ini tidak kita lakukan maka kita menjadi seumpama garam yang menjadi tidak asin lagi. Tentang ini Yesus berkata, “Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.” (Mat 5:13)

          Akhirnya, mari mengingat perkataan Yesus ini, “Janganlah kamu mengumpulkan harta di bumi; di bumi ngengat dan karat merusakkannya dan pencuri membongkar serta mencurinya. Tetapi kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada….” (Mat 6:19-21).

          Marilah kita tanyakan kepada diri kita sendiri, sejauh mana kita telah berusaha mengumpulkan harta di sorga? “O, Tuhan Yesus, bantulah aku untuk mengumpulkannya, sedikit demi sedikit, mulai dari sekarang.”

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Terima kasih banyak atas tanggapan anda yang mencerahkan, bu Inggrid. GBU

  3. Shalom Bu Ingrid,

    Saya memikirkan beberapa hal mengenai pekerjaan manusia. Lalu, jika kita bandingkan dengan perintah Kristus bahwa dengan meninggalkan segalanya dan mengikut Dia adalah salah satu syarat masuk ke dalam kehidupan yang kekal. Apakah jika demikian halnya, itu berarti jika kita melakukan pekerjaan yang bersifat “duniawi”, atau dengan kata lain tidak menjadi rohaniwan atau religius seperti suster/bruder/romo kita belum dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga?

    Lalu, bagaimana dengan orang yang tidak menerima Tahbisan Suci tetapi tidak hendak menikah berlawanan dengan ajaran Gereja Katolik? Dalam arti, jika tidak menikah maka kita harus sepenuhnya pula, tidak setengah-setengah, maka kita perlu menerima Tahbisan Suci? Atau boleh tidak menikah walaupun tidak menerima Tahbisan Suci?

    Kemudian yang terakhir, bagaimana dengan perkumpulan seperti PRK (Penebar Ragi Kristus) yang terdiri dari wanita yang tidak menikah, berkaul seperti suster, tetapi boleh mencari nafkah dan menyumbangkan dedikasinya bagi masyarakat? Adakah dokumen Gereja Katolik yang mengatur hal tersebut secara eksplisit?

    Terima Kasih.

    Shalom,

    Monica

    • Shalom Monica,

      Semua orang dipanggil untuk hidup kudus, dan bahwa kekudusan yang mengantar kita kepada kehidupan kekal, bukan hanya milik para imam dan biarawan/ biarawati.

      Silakan anda membaca beberapa artikel berikut ini:

      Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus
      Apa itu Kekudusan?

      Dokumen Gereja yang menyebutkan tentang Panggilan kepada semua orang untuk hidup Kudus, tertulis secara eksplisit dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium, Bab V: Panggilan Umum untuk Kesucian dalam Gereja, nomor 39-42. Tentang peran awam dalam Gereja, ditulis di paragraf no. 30-38. Silakan anda membaca dokumen itu di sini, silakan klik.

      Jadi tidak semua orang memang harus menjadi para tertahbis/ biarawan ataupun biarawati. Semua orang dalam segala jenis panggilan hidupnya dapat bertumbuh dalam kekudusan untuk sampai kepada kehidupan yang kekal. Namun bagi yang terpanggil untuk melayani Tuhan secara khusus dan hidup selibat demi Kerajaan Allah, tentu saja mereka mengambil bagian yang lebih menyerupai kehidupan Kristus dan para rasul yang tidak menikah, yang memusatkan perhatiannya untuk perkara Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam Mat 19:12, 1 Kor 7:7; 32-34.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  4. Shalom, katolisitas.org

    Saya ingin bertanya sebagai berikut:
    Bagaimana dan apa saja langkah-langkah untuk hidup kudus, dari keadaan kita yang berdosa, hingga mendapatkan penghapusan siksa/konsekuensi dosa?

    Terima Kasih,
    Tuhan memberkati.

    • Shalom Yohanes,
      Terima kasih atas pertanyaannya tentang kekudusan. Langkah-langkah untuk hidup kudus dapat dilihat pada refleksi praktis tentang kekudusan di sini – silakan klik serta tanya jawab ini – silakan klik. Langkah awal dalam menerapkan kekudusan adalah menyadari bahwa kita adalah orang berdosa dan tanpa bantuan rahmat Allah kita tidak akan berhasil dalam perjuangan kita untuk hidup kudus. Untuk mendapatkan penghapusan siksa dosa, maka anda dapat membaca artikel tentang indulgensi di sini – silakan klik. Penghapusan siksa dosa dapat berlangsung di dunia ini maupun di Api Penyucian. Oleh karena itu, pada waktu kita menghadapi penderitaan dan kesulitan dan harus memanggul salib, maka kita harus memanggul salib bersama Kristus. Dengan demikian, kasih kita kepada Kristus akan semakin dimurnikan. Mari kita bersama-sama berjuang untuk mencapai tujuan akhir kita, yaitu Sorga.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,stef – katolisitas.org

  5. Salam Kenal,
    saya ingin sharing beberapa kasus:
    1.Apa benar perkawinan secara KATOLIK tidak dapat bercerai..tapi jika dua hati sudah tidak ada kecocokkan lagi dengan segala cara sudah dicoba apa boleh bercerai?

    2.Dalam dunia kerja selalu jika sukses selalu ada hambatan, gimana solusinya.

    terima kasih

    Salam

    • Shalom Agus,
      Terima kasih atas pertanyannya. Berikut ini adalah jawaban yang dapat saya berikan:
      1) Pertanyaan pertama telah dijawab oleh Romo Wanta di sini (silakan klik).
      2) Pertanyaan tentang kesuksesan dalam pekerjaan: Tentu saja setiap kesuksesan harus diperjuangkan. Namun perjuangan kita tidak boleh menghalalkan cara-cara yang bertentangan dengan hukum-hukum Kristus. Bukankah hambatan akan senantiasa ada, baik di dalam pekerjaan, keluarga, kehidupan spiritual, dll? Namun, hambatan adalah kesuksesan yang tertunda. Oleh karena itu, teruslah berjuang secara cerdik, namun tulus seperti merpati (lih. Mt 10:16). Kita juga harus melakukan introspeksi, apakah hambatan-hambatan tersebut dikarenakan oleh kesalahan-kesalahan yang kita buat. Pada saat yang bersamaan, berdoalah agar Tuhan memberikan rahmat. Namun yang terpenting adalah kita tidak kehilangan fokus kita sebagai seorang Kristen, yaitu mendapatkan keselamatan kekal. Semua kesuksesan di dunia ini bersifat sementara dan akan kita tinggalkan kalau kita meninggal. Namun, kehidupan kekal adalah kehidupan yang tanpa akhir. Oleh karena itu, perjuangan akan keselamatan kekal harus lebih utama daripada hal-hal duniawi. Tentu saja, kalau kita diberikan tanggung jawab, anak dan istri, kita juga harus mencukupi kebutuhan hidup mereka.
      Semoga jawaban singkat ini dapat membantu.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

  6. Romo, saya berpendapat bahwa dalam dagang kita harus jujur. Ada pedagang beras yang tentunya menjual berbagai macam beras dengan harga yang berbeda pula tergantung kualitas. Nah, ada beras yang tidak laku-laku. Daripada berbau dan berkutu maka beras itu dicampur dengan yang berkualitas baik dan menjualnya dengan harga yang berkualitas baik. Tentunya konsumen rugi. Saya tidak setuju dengannya tapi dia bilang” Kalau dagang dengan memakai etika yang tidak untung-untung. Kita harus tahu bagaimana caranya agar dapat untung. Tidak usah terlalu jujur. Rugi nanti, demikian katanya. Saya berpendapat kalau tujuannya baik (mencari untung) tetapi caranya salah ya menjadi salah bahkan bisa ke dosa. Tetapi kalau dipikir-pikir pendapatnya benar juga. Bagaimana pendapat Romo? Terima kash

    • Shalom Antonius,

      Terima kasih atas pertanyaannya tentang aplikasi kekudusan dalam kehidupan sehari-hari. Saya akan mencoba menjawabnya. Untuk mengatakan bahwa suatu tindakan termasuk tindakan yang secara moral baik atau tidak, ada tiga hal yang perlu dilihat:

      1) Objek moral (moral object), yang merupakan objek fisik yang berupa tujuan yang terdekat (proximate end) dari sesuatu perbuatan tertentu (sifat dasar perbuatan) di dalam terang akal sehat.

      2) Keadaan (circumstances) yaitu keadaan di luar perbuatan tersebut, tetapi yang berhubungan erat dengan perbuatan tersebut, seperti kapan dilakukan, di mana, oleh siapa, berapa banyak, bagaimana dilakukannya, dan dengan bantuan apa.

      3) Maksud/tujuan (intention) yaitu tujuan yang lebih tinggi yang menjadi akhir dari perbuatan tersebut.
      Selanjutnya, St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa “Evil results from any single defect, but good from the complete cause,” Artinya, jika satu saja dari ketiga hal itu tidak dipenuhi dengan baik/ sesuai dengan akal sehat, maka perbuatan dikatakan sebagai kejahatan; dan karenanya merupakan ‘dosa’, sedangkan perbuatan yang baik harus memenuhi syarat ketiga hal di atas. Dasar ini dapat kita pakai untuk menilai semua perbuatan, apakah itu dapat dikatakan perbuatan baik/ bermoral atau tidak/ dosa.

      Kita dapat menerapkannya dalam situasi pedagang beras yang mencampuradukan beras yang baik dan beras yang kurang baik untuk mendapatkan keuntungan yang lebih. Dapat dikatakan bahwa seluruh komponen, baik obyek moral, keadaan dan maksud adalah tidak baik. Obyek moralnya adalah tindakan penipuan, karena mencampurkan beras yang baik dan tidak baik, serta mengatakan bahwa beras tersebut baik dan bukan barang campuran. Keadaannya adalah menjual kepada konsumen, dan merugikan konsumen. Maksudnya juga tidak baik, karena mengejar keuntungan yang berlebihan. Mengejar keuntungan bukanlah tindakan yang tidak baik, karena dengan keuntungan, usaha dapat berkembang dan memberikan mata pencaharian bagi banyak karyawan. Namun tindakan yang mengejar keuntungan yang berlebihan dimotifasi oleh dosa keserahakan. Oleh karena itu, tindakan tersebut adalah berdosa.

      Memang tidak mudah untuk mengaplikasikan kekudusan dalam dunia ini. Namun, sebagai umat Allah, kita harus terus berusaha untuk bertindak sesuai dengan pengajaran Kristus. Semoga keterangan di atas dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

    • Antonius yth

      Prinsip ekonomi adalah saling menguntungkan baik pihak penjuang maupun pembeli. Ekonomi mengatur cara berdagang dengan baik. Sebagai orang Katolik tentu kita harus juga menggunakan etika Katolik dalam berdagang seperti yang anda katakan sendiri. Tujuan baik caranyapun harus baik bukan tujuan baik lalu menghalalkan segala cara yang tidak baik meski untuk tujuan baik tetap tidak baik. Maka kalau berdagang carilah kejujuran dan fair, ada keuntungan tapi tidak dengan cara memeras orang lain. Dengan prinsip ini maka keuntungan akan datang lagi. Banyak orang senang membeli produk anda jika adan memberi pelayanan secara baik dan wajar.

      salam
      Rm Wanta

  7. What a great addition to the online Catholic website.
    Great website…great article.
    Hope to learn a lot from this website

    • Terimakasih buat pesannya.
      Silakan memberikan masukan dan kritikan agar website ini dapat semakin berguna bagi banyak orang, terutama semakin memuliakan nama Tuhan.
      Shalom, stef & ing

      • Hi Stef & Ing, petang tadi saya dapat web ini dari boss di kantor. Tiba di rumah, setelah mandi saya buka, ternyata mengagumkan. Campur aduk rasanya, kagum-haru-gembira-bersyukur jadi satu. Luar biasa..Puji Tuhan muncul web Katolik yang bagus yg makin meneguhkan iman Katolik saya. Selamat untuk Anda berdua atas pelayanan ini.
        Content sangat bagus, sangat kental keKatolikannya, ilmiah, lugas, sekaligus sangat mendalam.
        Bagaimana kalau lay out artikel dibuat lebih eyecathcing? lay out artikel dibuat lebih variatif (atau dekoratif ya istilahnya…?), sehingga muncul kesan ‘lebih enteng’ – spy teenagers pun lebih tertarik mengunjungi web ini. shalom

        • Hi Nicola,
          Terimakasih buat masukan dan komentarnya. Kami memang mencoba agar setiap tulisan yang ada di website ini didasarkan pada pengajaran Gereja Katolik, karena apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik adalah sungguh benar dan indah.
          Mengenai perubahan layout, kami akan mempertimbangkannya agar menjadi lebih menarik. Semoga saja akan banyak anak muda datang dan mengalami sentuhan dari Kristus lewat website ini. Mohon doa agar website ini dapat membawa kemuliaan bagi nama Tuhan.

          Salam kasih dari
          katolisitas.org (stef & ing)

  8. wah ko tay, ci ingrid bagus nih artikelnya. makin memperjelas kalau susah sekali untuk menjalani hidup kudus hehe
    ngga, yg pasti artikel ini memperkuat kalau kita manusia memang harus hidup kudus dan ada cara untuk mencapai kekudusan itu sendiri. Dari semua yg diterangkan di atas, saya sudah pernah denger n nyoba, tp 1 yg susah adalah komitmen jadinya yah angot2an gt deh hehe tp the article is good n useful.thx GB

    • Hi Dion,
      Kita semua berjuang untuk hidup kudus. Kekudusan adalah suatu proses, yang terus-menerus harus dilakukan selama kita hidup. Memang susah, namun kita belajar dari para santa-santo, dimana mereka manusia biasa seperti kita, manun mereka berjuang dengan baik untuk hidup kudus. Terutama kita harus mencontoh Yesus sendiri dengan kekudusan-Nya terus melakukan kehendak Bapa di Surga. Salam kasih – stef & ing

      • Haleluya…., Tuhan Yesus memberkati kita semua

        Puji nama Tuhan, Allah dalam Tuhan kita Yesus Kristus yang luarbiasa baik bagi kita.hidup dalam kekudusan sangat perlu dan sebagai orang percaya kita wajib dan harus hidup kudus seperti Tuhan kudus.Hidup dalam daging akan menuai kebinasaan tetapi hidup dalam Roh Kudus akan menuai hidup yang kekal. Sampai Yesus datang kedua kalinya kita harus hidup sesuai FirmanNya, taat, setia, takut akan DIA sekarang sampai selama-lamanya. Haleluya…terpujilah Engkau Yesus…

Comments are closed.