Harga diriku memang seharusnya sudah dibeli total oleh Darah Kristus. Namun, terkadang masih terasa terlalu mahal untuk papaku sendiri.

Papa saya bukan tipe papa idaman seperti yang digambarkan di film-film. Secara positif, beliau sebenarnya adalah orang yang bertanggungjawab dalam pekerjaan. Namun, kadang terlalu serius dalam pekerjaan hingga lupa keluarga. Kepalanya lebih keras dari karang. Pola pikirnya masih agak kuno dan kental dengan budaya Tionghoa. Dipadukan dengan temperamen yang lebih labil dari Gunung Merapi, lengkap sudah kombinasi maut kepribadiannya. Ketika beliau “meledak”, orang tidak bersalah turut menjadi korban.

Aku mencoba mengupayakan ketaatan pada orangtuaku sebagai salah satu usaha menjalani pertobatan di masa retret agung ini. Tantangan ini cukup sulit, karena jiwa mudaku berusaha menolak untuk memiliki kepatuhan total. Namun, termotivasi oleh dorongan-Nya, dan menurutku akan membantu dalam melatih pemurnian panggilan, aku bertekad melakukannya : melatih diriku untuk patuh pada orangtuaku dan tidak membantah.

Awalnya, aku masih bersemangat dan berusaha menerima beliau apa adanya. Aku masih bisa menyemangati diri untuk lebih mengubah diri daripada berusaha mengubah orang lain. Lama-kelamaan, stok kesabaran habis juga. Suatu hari, sikap sinis dan nada menyindir yang lama dipendam tertumpah. Kata-kataku menjadi tidak sopan. Aku membantah apa yang ia perintahkan padaku karena aku merasa caraku lebih benar. Syukurlah, Mama memintaku mengirimkan sesuatu. Ada kesempatan menjauh sebentar dari sumber kemarahan. Selama perjalanan, aku merenungkan apa yang sudah kuperbuat tadi. Akhirnya, timbul penyesalan karena aku gagal memenuhi janji pada Kristus untuk taat pada orangtuaku.

Akupun bertekad untuk meminta maaf pada papaku. Sepulang mengantarkan barang, papaku sudah bersikap seolah tidak ada apa-apa. Memang biasanya juga begitu. Kata maaf terasa mulai menggantung di ujung bibir, terbersit niat untuk tidak perlu meminta maaf. Toh tadi memang bukan salahku dan papa juga kelihatan sudah tidak mempermasalahkan. Syukur pada Allah, rahmat-Nya lebih kuat dari harga diriku sehingga aku akhirnya meminta maaf. Aku bersyukur bahwa Tuhan menguatkanku agar janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahku (lih. Ef 4:26).

Perjuanganku untuk bertobat di masa Prapaskah ini memang tidak mulus. Tidak jarang aku terjatuh dan gagal. Tapi, Allah senantiasa menetesiku dengan rahmat-Nya yang manis, menguatkanku untuk bangkit, dan memberi kesempatan untuk memintal kembali gulali yang sudah kurusak sendiri. Aku mau memintal kembali gulaliku. Kali ini, akan kucoba untuk memberi lebih banyak taburan rasa “kerendahan hati”. Tidak ada waktu yang lebih tepat untuk mulai melatih kerendahan hati selain sekarang. Semoga di masa Prapaskah ini, Allah membentukku menjadi pribadi yang lebih baik. Sebagai panutan, aku ingin gulaliku semanis gulali Beata Teresa dari Kalkuta yang berkata :

Kerendahan hati adalah ibu dari semua kebajikan: kemurnian, kasih, dan ketaatan. Dalam kerendahan hatilah cinta kita menjadi nyata, setia, dan bersemangat.

2 COMMENTS

  1. Di zaman moden ini kerendahan hati merupakan sesuatu hal yang langka. Namun kita sebagai umat Katolik hendaknya selalu mengedepankan hal kebajikan untuk kepentingan sesama. Kebajikan itu datangnya dari orang yang selalu rendah hati. Baiklah itu mas Ioanes, karena kita mengawalinya dari keluarga. Apalagi dengan seorang ayah yang dalam Kitab Suci dikatakan bahwa Bapaklah yang memberikan berkat, dan kutukan Ibu mencabut segala berkat yang diberikan oleh seorang Bapak. Maka marilah dalam masa tobat ini kita menyadari serta menyesali segala kekeliruan kita agar kitapun menjadi berkat bagi orang lain. TUHAN YESUS MEMBERKATI

  2. Shalom mas Ioannes Wirawan.
    Membaca tulisan anda membuat aku tidak menjadi putus asa karena ternyata bahwa bukan hanya aku yang masih selalu gagal mewujudkan pertobatan dalam masa prapaskah ini. Saya berjanji pada Yesus dan pada diri sendiri akan meniru kerendahan hatinya sehingga berkenan turun dari tempat yang mulia ke dunia manusia berdosa karena kasihnya. Selama masa prapaskah ini saya ingin melatih diri untuk rendah hati, dengan mengendalikan egoku sehingga dapat lebih mencintaiNya dan mencintai sesama, bukan hanya mencintai diri sendiri. Setiap hari permohonanku hanyalah kekuatan dan kemampuan dari Bapa agar aku dapat mengatasi kelaparan egoku akan kemegahan, penghormatan, penghargaan, kekaguman dari orang lain. Mohon bantua doa juga dari teman-teman di katolisitas, semoga aku tidak putus asa dalam perjuanganku. Trimakasih Tuhan memberkati.

Comments are closed.