Pertanyaan:
Yth. Sdr. Ingrid Listiati.
Ada seorang imam beberapa bulan tidak kelihatan dan kabar terakhir imam tersebut melepaskan jubahnya/keluar dan menikah. Sebelum menikah imam tersebut memberikan sakramen-2. Pertanyaan saya :
Jika seorang imam berada dalam keadaan dosa berat, dapatkah ia tetap mempersembahkan Misa dan memberikan pelayanan sakramen-sakramen? Apakah sakramen-sakramen yang ia rayakan tetap mendatangkan rahmat?
Terima kasih atas pencerahannya. – Julius
Jawaban:
Shalom Julius,
Di dalam sakramen, kita percaya yang bertindak adalah Kristus, melalui imam, maka, nilai sakramen tidak berubah walaupun dipersembahkan oleh imam yang berdosa. Berikut ini saya sertakan kutipan dari St. Thomas Aquinas dalam Summa Theologica III, q.82, a.5 & a.6, mengenai efek sakramen Ekaristi yang dipersembahkan oleh imam yang jahat/ berdosa (Ajaran ini dapat diterapkan juga untuk melihat efek sakramen yang lain).
- St. Thomas yang mengutip St. Agustinus, mengatakan, bahwa: “Di dalam Gereja Katolik, dalam misteri Tubuh dan Darah Tuhan Yesus, tidak ada yang lebih yang dilakukan oleh imam yang baik (kudus), tidak ada yang kurang jika dilakukan oleh imam yang jahat (tidak kudus), sebab bukan karena jasa imam maka rahmat sakramen itu diperoleh, tetapi karena kuasa perkataan Yesus sendiri (yang diucapkan oleh imam tersebut), dan karena kuasa Roh Kudus”.
- St. Thomas mengingatkan bahwa memang Kristus memiliki pelayan yang baik dan yang jahat (lih. Mat 24:45). Namun demikian, tidak berarti bahwa imam tidak perlu bertobat; malah sebaliknya, sebab seperti kata Paus Gelasius, …tidak seorangpun boleh menghampiri sakramen tersebut kecuali dengan hati nurani yang bersih.
- Selanjutnya, St. Thomas mengatakan bahwa di dalam Misa terdapat dua hal, pertama hal sakramen dan hal doa. Dalam hal efek sakramen, tidak ada bedanya antara apakah dipersembahkan oleh pastor yang baik atau yang jahat/ berdosa. Namun dalam hal doa akan membawa efek yang berbeda. Sebab di dalam doa, imam itu menjalankan dua fungsi, pertama sebagai perantara yang mendoakan umat, dan sebagai wakil umat (Gereja). Nah dalam peran yang pertama sebagai perantara ini, maka imam yang baik (kudus) akan mendatangkan buah yang lebih limpah daripada imam yang berdosa, namun dari peran kedua, doa dari imam yang berdosapun tetap dapat berbuah, karena ia mewakili umat yang berdosa. Namun demikian, doa pribadi imam yang berdosa (tidak kudus) tersebut tidak menghasilkan buah, karena menurut Ams 28:9: “Siapa memalingkan telinganya untuk tidak mendengarkan hukum, juga doanya adalah kekejian.”
Selanjutnya, Kitab Hukum Kanonik Gereja can.916, menyatakan bahwa sebenarnya, imam yang berdosa berat dilarang mempersembahkan misa tanpa mengaku dosa sebelumnya, kecuali jika ada alasan yang sungguh dapat dipertanggungjawabkan, dan jika tidak ada kesempatan untuk mengaku dosa; dalam hal ini imam itu harus mengingat bahwa ia harus melakukan tindakan pertobatan, termasuk di dalamnya ketetapan hati untuk mengaku dosa secepat mungkin.
Jadi, imampun harus mengaku dosa.
Dalam kasus di atas, maka sakramen-sakramen yang dirayakan imam tersebut sebelum ia meninggalkan statusnya sebagai imam, tetap berlaku dan mendatangkan rahmat, sebab, sekali lagi, rahmat Kristus tersebut diberikan bukan atas jasa imam tersebut, tetapi atas kuasa Kristus sendiri dan kuasa Roh Kudus. Hal ini akan semakin membuat kita tunduk dan bersyukur, bahwa Tuhan selalu menepati janji-Nya, dan kuasa-Nya melebihi hambatan dari manusia (dalam hal ini imamNya).
Namun, setelah imam tersebut melepaskan status imamnya karena menikah, ia tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sebagai imam dan menerimakan sakramen-sakramen. Hal ini dituliskan di dalam Kitab Hukum Kanonik cann. 194, 292. Namun perlu juga diketahui, bahwa sekali diberikan, Sakramen Tahbisan Suci tidak pernah dapat dikatakan ‘invalid’/ tidak sah(can 290), sebab Tahbisan suci memberikan materai pada jiwa imam itu (seperti halnya Permandian dan Penguatan), maka sering kita mendengar istilah sekali imam tetap imam di mata Tuhan. Jika imam itu menikah, maka yang ditinggalkan adalah status-nya sebagai imam, namun meterai dalam jiwa imam tersebut tetap ada. Maka tak mengherankan, jika para imam yang meninggalkan status imam mereka, dapat merasakan kehilangan yang sulit untuk dilukiskan.
Mari kita melihat kepada kasus di atas secara lebih rinci. Jika imam tersebut menikah diam-diam, sehingga tidak ada seorangpun yang tahu, dan tidak dapat tahu, maka jika antara waktu itu sampai surat resmi pencabutan ‘faculty’ imam tersebut oleh uskup setempat dikeluarkan, maka jika imam itu memberikan sakramen, misalnya pernikahan, dan pengakuan dosa, maka sakramen tersebut masih dapat dianggap sah. Hal ini disebutkan sebagai “Ecclesia supplet” dalam can. 144; yaitu Gereja memberikan kuasa eksekutif pada seseorang imam yang sesungguhnya telah kehilangan/ tidak memiliki kuasa tersebut pada keadaan yang terbatas. Namun perlu diingat bahwa kejadian ini sangatlah langka, (dan canon ini ada sesungguhnya untuk melindungi kepentingan umat) dan hanya berlaku jika tidak ada orang yang tahu dan tidak ada orang yang dapat tahu bahwa imam itu telah menikah. Jika ada satu orang saja yang tahu dari paroki/ komunitas, maka Ecclesia supplet tidak berlaku. Dengan demikian, umat yang menerima sakramen pernikahan itu misalnya, dapat meminta konfirmasi kepada pihak keuskupan untuk mengesahkan perkawinan tersebut, demikian pula yang mengaku dosa, dapat mengaku dosa kembali kepada imam yang lain, karena sakramen yang ia terima dari imam yang keluar tersebut tidak sah.
Mari kita mendoakan para imam dalam doa pribadi kita setiap hari, agar Tuhan menjaga dan melindungi mereka, dan agar mereka dapat melaksanakan tugas panggilan hidup mereka dengan setia dan dengan suka cita; serta dapat menjadi teladan kekudusan buat kita semua.
Salam kasih dari https://katolisitas.org
Ingrid Listiati
Salam damai Kristus…
Saya mengerti setelah membaca uraian di atas…yang ingin saya tanyakan, apakah hal ini juga berlaku bagi imam yang melakukan persahabatan khusus dengan seorang wanita sampai tahap saling menyayangi dan lain-lain, namun belum sampai hubungan seksual?
Shalom Imelda,
Ya, keabsahan Sakramen Ekaristi tidak bergantung dari kekudusan imamnya, termasuk juga imam yang melakukan dosa berat. Namun, tentu saja, imam yang melakukan dosa berat sudah seharusnya memeriksa batinnya sendiri dan mengakukan dosa terlebih dahulu. Kalau umat beriman yang dalam kondisi dosa berat diharuskan mengaku dosa sebelum menyambut komuni, maka sudah seharusnya seorang imam juga melakukan hal yang sama dan bahkan lebih baik lagi. Kalau sang imam berada dalam kondisi dosa berat dan tetap mempersembahkan Misa, maka dia sendiri berdosa terhadap Tubuh dan Darah Kristus (lih. 1Kor 11:27). Dan sudah seharusnya imam tersebut harus memutuskan hubungan khusus dengan wanita, sama seperti seorang suami tidak boleh menjalin hubungan khusus dengan wanita lain selain istrinya. Anda dapat turut mendoakan imam tersebut setiap hari.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Yth. Sdr. Ingrid Listiati.
Ada seorang imam beberapa bulan tidak kelihatan dan kabar terakhir imam tersebut melepaskan jubahnya/keluar dan menikah. Sebelum menikah imam tersebut memberikan sakramen-2. Pertanyaan saya :
Jika seorang imam berada dalam keadaan dosa berat, dapatkah ia tetap mempersembahkan Misa dan memberikan pelayanan sakramen-sakramen? Apakah sakramen-sakramen yang ia rayakan tetap mendatangkan rahmat?
Terima kasih atas pencerahannya.
Shalom Julius,
Silakan melihat jawaban di atas – silakan klik.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Salom Ingrid Listiati.
Trima kasih atas tambahan penjelasan yang lengkap dan mudah dicerna.
Memang kita harus sering-sering mendoakan agar Tuhan tetap menjaga dan melindungi para imam agar tugas-tugas panggilan hidup dapat dilaksanakan dengan setia dan kudus. Tugas imam saat ini sangat berat, banyak sekali godaan-godaan dunia. Semuga para imam-imam muda tidak jatuh dalam godaan.
Semoga Tuhan selalu menyertai tugas-tugas Ingrid Listiati.
Comments are closed.