Konsili Trente (1545-1563) adalah Konsili para Uskup yang diadakan dengan tujuan utama memberikan ketetapan definisi ajaran Gereja Katolik, untuk menanggapi ajaran-ajaran yang menyimpang yang terjadi pada masa itu yang dipelopori oleh Martin Luther, dan tujuan selanjutnya adalah untuk menetapkan reformasi yang menyeluruh dalam kehidupan di dalam Gereja dengan penetapan dekrit untuk membuang bermacam bentuk pelanggaran. Keseluruhan teksnya dapat dibaca di link ini, silakan klik.
Selain meneguhkan kembali Kanon Kitab Suci yang terdiri dari 73 Kitab (46 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru sebagaimana telah ditetapkan sejak tahun 382), Gereja Katolik menetapkan definisi ajaran-ajaran pokok yang penting lainnya, antara lain:
1) Tentang Justifikasi (Pembenaran)
Konsili Trente menetapkan ajaran tentang justifikasi untuk meluruskan ajaran Luther yang mengatakan bahwa justifikasi diperoleh hanya karena iman saja (Salvation by faith alone/ sola fide), di mana iman dipisahkan dari perbuatan kasih. Konsili menekankan bahwa iman yang menyelamatkan tidak terpisahkan dari kasih karunia dan perbuatan kasih (lih. Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, lih. Kanon 7 dan 11; Denz 821).
Ajaran ini adalah untuk menanggapi ajaran Luther yang mengajarkan bahwa seseorang diselamatkan hanya oleh iman saja, walaupun tanpa pertobatan dan perbuatan baik, sebagaimana diajarkan kepada muridnya Melancthon, “…Be a sinner, and let your sins be strong, but let your trust in Christ be stronger…. No sin can separate us from Him, even if we were to kill or commit adultery thousands of times each day…” (suratnya kepada Melancthon tanggal August 1, 1521, (translated by Erika Bullmann Flores for Project Wittenberg); online at http://www.iclnet.org/pub/resources/text/wittenberg/luther/letsinsbe.txt , lihat nomor 13)
Di sini terlihat adanya perbedaan mendasar antara ajaran Luther dengan ajaran Gereja Katolik, yaitu bahwa menurut Luther keselamatan manusia diperoleh hanya karena karya Kristus saja tanpa melibatkan manusia, sedangkan menurut Gereja Katolik, keselamatan manusia diperoleh karena kasih Allah yang disambut oleh manusia yang mau bekerja sama dengan-Nya dalam karya keselamatan-Nya itu, yang ditunjukkan dengan pertobatan, Baptisan, dan perbuatan baik dengan melaksanakan perintah Tuhan.
Demikianlah Konsili Trente mengajarkan:
“Mereka yang telah mempunyai sikap batin (disposisi) terhadap keadilan, ketika bangkit dan dibantu oleh rahmat ilahi, menerima iman melalui pendengaran, mereka digerakkan secara bebas kepada Tuhan, percaya bahwa apa yang telah dijanjikan dan diwahyukan secara ilahi, secara khusus bahwa pendosa dibenarkan oleh Tuhan melalui rahmat-Nya, melalui penebusan yang ada di dalam Kristus Yesus; dan ketika memahami dirinya sebagai pendosa, mereka, dengan berbalik dari ketakutan akan keadilan ilahi…, kepada belas kasihan Tuhan, dibangkitkan kepada pengharapan, percaya bahwa Tuhan akan mengampuni mereka demi Kristus; dan mereka mulai mengasihi Dia sebagai mata air segala keadilan, dan karena itu mereka menolak dosa dengan kebencian dan kejijikan, yaitu dengan pertobatan yang harus mereka lakukan sebelum Baptisan, dan akhirnya ketika mereka memutuskan untuk menerima Baptisan, untuk memulai kehidupan baru dan memelihara perintah-perintah Tuhan.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, bab 6)
Disposisi ini atau persiapan ini diikuti oleh justifikasi itu sendiri, yang bukan hanya adalah penghapusan dosa, tetapi juga pengudusan dan pembaharuan manusia dari dalam melalui penerimaan karunia Allah yang cuma-cuma dan karena itu seorang yang tidak benar menjadi benar; dan dari musuh menjadi sahabat; bahwa ia akan menjadi ahli waris bagi pengharapan akan hidup kekal.
Penyebab-penyebab justifikasi ini adalah:
Penyebab yang final (final cause) adalah kemuliaan dari Tuhan dan dari Kristus dan kehidupan kekal; Penyebab yang menghasilkannya (efficient cause) adalah Tuhan yang berbelas kasih yang membasuh dan menguduskan dengan Roh Kudus…., penyebab yang berjasa (meritorious cause) adalah … Tuhan Yesus Kristus,… yang memperoleh bagi kita justifikasi dengan Sengsara yang kudus di kayu salib …; penyebab yang menjadi sarananya (instrument cause) adalah sakramen Baptis, yang adalah sakramen iman, … penyebab resmi (formal cause) yang satu-satunya adalah keadilan Allah, …yang dengannya Ia membuat kita benar, bahwa yang dengannya kita dikaruniai olehnya, diperbaharui di dalam jiwa dan pikiran dan tidak hanya disebut [‘benar’], namun kita sungguh benar, dengan menerima keadilan di dalam kita, setiap orang sesuai dengan ukurannya, yang dibagikan oleh Roh Kudus kepada setiap orang seturut kehendak-Nya, dan menurut sikap batin dan kerjasamanya.
Sebab meskipun tak seorangpun dapat menjadi benar kecuali ia yang menerima jasa Sengsara Tuhan Yesus Kristus, namun ini terjadi di dalam pembenaran orang berdosa itu, ketika oleh jasa Sengsara yang kudus itu, kasih Tuhan dicurahkan oleh Roh Kudus di dalam hati mereka yang dibenarkan dan tinggal di dalamnya; ketika melalui Yesus Kristus… orang itu menerima bersamaan dengan penghapusan dosa, semua ini: iman, pengharapan dan kasih, yang ditanamkan pada saat yang sama.”
“Sebab iman, kalau tidak disertai dengan pengharapan dan cinta kasih yang ditambahkan kepadanya, tidak dapat mempersatukan seseorang secara sempurna dengan Kristus, ataupun membuatnya sebagai anggota yang hidup dari tubuh-Nya. Untuk alasan ini adalah sungguh benar dikatakan bahwa “iman tanpa perbuatan adalah mati”, dan tidak ada gunanya, dan “di dalam Kristus tidak ada sunat ataupun tidak bersunat, namun, iman yang bekerja oleh kasih.”
Iman ini, sesuai dengan Tradisi apostolik, yang diminta oleh para katekumen kepada Gereja sebelum sakramen Baptis, ketika mereka mereka memohon “iman yang mengaruniakan kehidupan kekal”, yang tanpa pengharapan dan kasih iman tak dapat berdaya guna.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, bab 7)
2) Tentang iman yang membawa kepada keselamatan
Dari Dekrit tentang Justifikasi (lih. bab 7), Konsili Trente mengajarkan bahwa iman yang menyelamatkan adalah iman yang bekerja dalam kesatuan dalam pengharapan dan kasih. Iman ini bukan hasil kerja perbuatan manusia, tetapi karena kasih karunia ilahi melalui Yesus Kristus.
Kan. 1. “Barang siapa berkata bahwa manusia dapat dibenarkan di hadapan Tuhan oleh perbuatannya sendiri, entah dilakukannya dengan kekuatan kodratinya atau melalui ajaran hukum-hukum (taurat) tanpa karunia rahmat ilahi melalui Yesus Kristus, biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan. 1)
Selanjutnya, Konsili Trente juga menyampaikan ajaran untuk meluruskan ajaran Luther yang mengatakan bahwa agar seseorang diselamatkan ia harus mempunyai keyakinan yang mutlak akan pembenaran dirinya di dalam Kristus. Menurut Luther, pembenaran diri seseorang harus menjadi artikel iman, di mana ia tak boleh ragu. Inilah disebut Luther sebagai “fiducial faith“, seseorang harus yakin bahwa ia selamat, baru ia dapat selamat. Sehingga menurut pandangannya, iman yang dimaksud di sini adalah iman diri sendiri akan keselamatan, bukannya iman akan ajaran-ajaran yang dinyatakan dengan tidak mungkin salah oleh Gereja, yaitu iman yang sesuai dengan Tradisi Apostolik. Oleh karena itu bagi Gereja Katolik, justifikasi (pembenaran) ini diberikan atas dasar iman yang sifatnya obyektif dan bukan subyektif, dan justifikasi ini adalah karunia ilahi yang diterima dalam pengharapan (sebab tak seorangpun dapat dengan yakin mengetahui bahwa dirinya tak akan jatuh dalam dosa ataupun tak akan gagal dalam mempertahankan rahmat Baptisannya sampai akhir hidupnya), dan bukan sesuatu yang dapat diklaim sendiri sebagai sesuatu yang pasti absolut diberikan kepadanya hanya karena diri sendiri yakin akan menerimanya, bahkan jika ia tidak bertobat dan tidak teguh berbuat kasih.
Konsili Trente mengajarkan:
Kan. 12. “Barang siapa berkata bahwa iman yang membenarkan, adalah tiada lain selain dari keyakinan dalam kerahiman ilahi yang menghapus dosa-dosa demi Kristus, atau bahwa keyakinan ini saja yang membuat kita dibenarkan: biarlah ia menjadi anathema “(Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan. 12).
Kan. 14. “Barang siapa berkata bahwa manusia diampuni dosanya dan dibenarkan, karena ia percaya dengan yakin bahwa ia diampuni dan dibenarkan, atau bahwa tak seorangpun dapat dibenarkan kecuali ia yang percaya bahwa dirinya sendiri dibenarkan; dan bahwa hanya dengan iman sedemikian, pengampunan dan pembenaran diperoleh, biarlah ia menjadi anathema” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan. 14).
Kan. 16. “Barang siapa berkata bahwa ia akan dapat, pasti dengan kepastian yang absolut dan tidak mungkin salah, memiliki karunia keteguhan iman (the gift of perseverance) sampai kesudahannya, kecuali ia mengetahui hal ini melalui wahyu yang khusus: biarlah ia menjadi anathema (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan. 16).
3) Tentang kehendak bebas pada manusia
Konsili Trente mengajarkan walaupun pembenaran diberikan kepada manusia karena rahmat kasih karunia Allah, namun rahmat ini tidak meniadakan kehendak bebas manusia. Memang setelah kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa, seluruh manusia jatuh dalam dosa, namun ini tidak membuatnya rusak sedemikian rupa sampai tidak lagi mempunyai kehendak bebas dan kemampuan untuk berbuat kebaikan. Bahwa rahmat Allah-lah yang memampukan manusia berbuat kebaikan itu benar, tetapi tetap ada kerjasama dari pihak manusia. Konsili mengajarkan:
“Kan 5. Barang siapa berkata bahwa setelah dosa Adam, kehendak bebas manusia telah hilang dan rusak, atau hanya tinggal nama saja, memang seperti gelar tanpa kenyataan, sebuah fiksi, bahkan, dibawa masuk ke dalam Gereja oleh iblis: biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, kan. 5)
Ajaran ini adalah untuk meluruskan ajaran Luther yang mengatakan, “Ia (manusia) seluruhnya rusak sehingga adalah mustahil baginya untuk melakukan perbuatan baik. Dosa adalah kodratnya; ia (manusia) tidak bisa tidak melakukannya. Manusia dapat berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi baik, namun setiap perbuatannya tidak dapat dipungkiri adalah buruk; ia berbuat dosa sesering menarik nafas.” (Commentary on the Psalms 50, Wittenberg III, p. 518. Quoted in Patrick O’ Hare, The Facts about Luther, TAN, 1987, p.99-100)
Di sini nampak Luther mengabaikan adanya perbedaan antara dosa berat (mortal sin), dosa ringan (venial sin) dan concupiscentia (kecondongan terhadap dosa). Pengabaian batasan antara ketiganya ini membuat Luther sampai pada kesimpulan ini, yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Menurut Luther, setelah manusia menerima justifikasi, ia diselubungi kebenaran Kristus namun sebenarnya di balik selubung itu, ia tetap adalah pendosa yang telah seluruhnya rusak. Sedangkan menurut ajaran Gereja Katolik, seseorang yang sudah dibaptis dan karena itu menerima justifikasi, telah dihapuskan dosa-dosanya, dan dijadikan kudus oleh Allah. Namun demikian karena pengaruh dosa Adam, manusia tetap mempunyai concupiscentia (kecondongan terhadap dosa), walaupun concupiscentia ini sendiri bukan dosa. Consupiscentia tetap ada pada orang-orang yang sudah dibaptis, agar melalui perjuangannya untuk mengalahkan kecondongan ini, mereka dapat membuktikan kasihnya kepada Tuhan, dan membuat imannya menjadi hidup dan menyelamatkan.
4). Tentang Double- Predestination
Dengan prinsip adanya peran kehendak bebas manusia dalam proses pembenaran manusia, Gereja Katolik tidak mengajarkan ajaran tentang double-predestination, yaitu bahwa Allah sejak awal mula, secara aktif sudah mentakdirkan sebagian umat manusia ke surga dan sebagian lagi ke neraka. Ajaran yang mengabaikan/ menolak adanya kehendak bebas manusia, akhirnya dapat sampai pada kesimpulan yang salah, bahwa pada akhirnya, dosa dan perbuatan jahat asalnya juga dari Allah. Betapa ini merupakan ajaran yang keliru.
Konsili Trente mengajarkan:
“Kan 6. Barangsiapa mengatakan bahwa adalah bukan kuasa manusia sendiri untuk berbuat jahat, melainkan bahwa Allah yang telah mengakibatkan perbuatan jahat seperti halnya perbuatan baik, tidak hanya dalam hal mengizinkannya, tetapi juga mendatangkannya dari diri-Nya sendiri, sehingga pengkhianatan Yudas tidak lain adalah karya perbuatan-Nya seperti pada penggilan kepada Rasul Paulus: biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan 6.)
“Kan 17. Barang siapa mengatakan bahwa rahmat pembenaran dibagikan hanya kepada mereka yang ditakdirkan untuk hidup, tetapi bahwa orang-orang lainnya dipanggil dan memang dipanggil untuk menerima bukan rahmat, seperti seolah mereka oleh kuasa ilahi ditakdirkan untuk menjadi jahat, biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan 17.)
5) Tentang Transubstansiasi
Konsili Trente juga meneguhkan ajaran tentang kehadiran Kristus yang nyata dalam rupa roti dan anggur dalam Ekaristi (Transubstantiation), yaitu bahwa di dalam konsekrasi, keseluruhan substansi roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Ajaran ini adalah untuk meluruskan ajaran Luther yang mengatakan bahwa di dalam tubuh dan darah Kristus, hadir Tuhan Yesus bersama-sama dengan substansi roti dan anggur (dikenal dengan istilah consubstantiation). Konsili juga meluruskan paham yang mengatakan bahwa Tuhan Yesus hadir di dalam sakramen hanya sebagai simbol, atau hanya hadir akibat keyakinan pribadi, atau bahwa Yesus dikurbankan secara berkali-kali.
Konsili Trente mengajarkan:
Kan. 2, [menyatakan bahwa Consubstantiation sebagai doktrin yang keliru]: “Barang siapa berkata bahwa substansi roti dan anggur tetap ada di dalam sakramen Ekaristi yang kudus, bersamaan dengan Tubuh dan Darah Yesus, dan menolak perubahan yang ajaib dan tunggal menjadi keseluruhan substansi roti menjadi Tubuh Kristus dan keseluruhan anggur menjadi Darah Yesus, dan rupa luar dari roti dan anggur saja yang tertinggal, seperti yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi: biarlah dia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Sesi 13, Kan.2)
Kan. 4, [menentang bahwa kehadiran Yesus disebabkan oleh keyakinan pribadi]: “Barang siapa berkata bahwa setelah konsekrasi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus tidak hadir di dalam sakramen Ekaristi, tetapi hanya hadir di dalam efek sakramen pada saat itu diterima, dan tidak sebelumnya atau sesudahnya; dan bahwa Tubuh Yesus yang nyata tidak tetap tinggal dalam Hosti yang telah dikonsekrasikan, atau di dalam partikel-partikelnya yang disimpan atau ditinggalkan setelah komuni: biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Sesi 13, Kan. 4)
Kan 1: “Barangsiapa menolak bahwa di dalam sakramen Ekaristi Kudus terkandung sungguh-sungguh, benar-benar, dan secara substansial, Tubuh dan Darah, bersama dengan Jiwa dan ke-Allahan Tuhan Yesus Kristus dan karena itu keseluruhan Kristus, tetapi mengatakan bahwa Ia ada di dalamnya hanya dalam simbol, atau gambaran atau kekuatan, biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Sesi 13, Kan. 1)
Kan. 2 “Kurbannya adalah satu dan sama; Pribadi yang sama mempersembahkannya dengan pelayanan para imam-Nya, Ia yang mempersembahkan Diri-Nya di salib, hanya saja cara mempersembahkannya saja yang berbeda.” Maka kurban Misa adalah sama dengan kurban salib Yesus di Golgota, sebab kurban itu menyangkut Pribadi yang sama, yang dikurbankan oleh Imam Agung yang sama, yaitu Yesus Kristus, melalui pelayanan sakramental dari para imam-Nya yang ditahbiskan dan bertindak dalam nama Kristus/ ‘in persona Christi.’ (Konsili Trente, Sesi 22, Kan. 2, DS 1743)
Selanjutnya, Konsili Trente juga menetapkan adanya ketentuan pembaharuan, secara khusus, pembaharuan kehidupan religius para rohaniwan/ rohaniwati, tugas dan wewenang uskup untuk memimpin umat dalam keuskupannya, hal ordinasi para imam, hal pengaturan pemilihan Uskup dan Kardinal, ketentuan dalam kotbah/ homili, dan juga ketentuan tentang indulgensi. Khusus tentang Indulgensi, Konsili meneguhkan kembali ajaran tersebut, hanya saja mengingatkan para Uskup agar dapat menghilangkan apapun bentuk penyimpangan dalam hal pelaksanaannya.
Demikian sekilas terjemahannya:
“Karena kuasa memberikan indulgensi disampaikan oleh Kristus kepada Gereja, dan Gereja bahkan sedari awal menggunakan kuasa yang diberikan kepadanya secara ilahi, maka Konsili kudus mengajarkan dan memerintahkan bahwa penggunaan indulgensi, yang sangat berguna bagi umat Kristiani dan disetujui oleh otoritas konsili-konsili kudus, adalah untuk dipertahankan di dalam Gereja, dan otoritas tersebut menyatakan anathema, kepada mereka yang menyatakan bahwa indulgensi tidak ada gunanya ataupun menolak bahwa Gereja memiliki kuasa untuk memberikannya. Bagaimanapun, dengan memberikan indulgensi, otoritas Gereja menghendaki bahwa sesuai dengan kebiasaan kuno dan yang disetujui dalam Gereja, kelayakan/ moderasi diterapkan, jika tidak, disiplin gerejawi dengan begitu besar telah diperlemah. Tetapi dengan menghendaki adanya perbaikan, bahwa penyimpangan yang terkait dengan hal-hal itu yang karenanya istilah besar indulgensi telah dihujat oleh para heretik, otoritas konsili menetapkan secara umum dengan dekrit ini bahwa semua kejahatan yang simpang siur di dalamnya yang telah menjadi sumber yang marak terhadap pelanggaran di antara umat Kristiani, seluruhnya dihilangkan. Penyimpangan-penyimpangan lain tentang hal ini yang timbul dari tahyul, ketidaktahuan, ketidakhormatan, atau bentuk apapun dari sumber lainnya, karena oleh alasan banyaknya korupsi di tempat-tempat dan provinsi di mana hal-hal itu terjadi, hal tersebut tidak dapat dengan mudah dilarang secara individual, otoritas konsili memerintahkan semua uskup agar dengan rajin membuat catatan, masing-masing di gerejanya dan melaporkan kepada sinoda provinsi selanjutnya, sehingga setelah diperiksa oleh uskup-uskup yang lain juga hal-hal tersebut dapat diteruskan kepada Paus, yang otoritas dan kebijaksanaannya diordinasikan bagi kebaikan seluruh Gereja; oleh karena itu, karunia indulgensi yang kudus dapat dibagikan kepada semua umat beriman dengan cara yang saleh, suci dan tanpa korupsi.” (Konsili Trente, Sesi 15, Bab 21)
Salam Kasih mba.
Tentang keutamaan keuskupan roma memimpin gereja universal, apakah perkembangan gereja-gereja di dunia ini(katolik,protestan)termasuk ajarannya menjadi urusan Paus sebagai otoritas tertinggi gereja? atau hanya gereja katolik roma-kah yang dipimpin oleh Bapak Paus? apakah tindakan nyata yang harus kita perbuat untuk meluruskan kekeliruan tersebut?
Untuk sementara,itu dulu pertanyaan saya mba. mohon pencerahannya, terimakasih.
Tuhan memberkati.
Shalom Febri,
Kita membaca dalam Kitab Suci, bahwa Tuhan Yesus mendirikan Gereja-Nya -hanya satu Gereja- di atas Rasul Petrus (lih. Mat 16:16-19). Sebelum Yesus menjalani sengsara-Nya, Ia mendoakan para murid-Nya dan semua orang yang menjadi percaya karena pemberitaan para murid-Nya -yaitu kita semua- agar menjadi satu (lih. Yoh 17:20-22). Maka kita ketahui bahwa sesungguhnya Tuhan Yesus menghendaki agar Gereja-Nya menjadi satu di bawah kepemimpinan Rasul Petrus dan para penerusnya, sebab Ia juga menghendaki agar Gereja-Nya bertahan hingga akhir zaman (lih. Mat 28:19-20). Gereja ini yang ada sejak zaman para Rasul sampai sekarang, yang dipimpin oleh Rasul Petrus dan para penerusnya, adalah Gereja Katolik.
Nah, bahwa kemudian dalam sejarah Gereja, terdapat kelompok-kelompok yang memisahkan diri dari kesatuan Gereja Katolik, memang bukan sesuatu yang ideal sebagaimana yang dikehendaki oleh Kristus. Faktor kelemahan manusia-lah yang mengakibatkan perpecahan ini dapat terjadi. Fakta bahwa ada sebagian umat Kristiani yang tidak mengakui kepemimpinan Bapa Paus, tidak menyurutkan otoritas kepemimpinan Paus sebagai wakil Kristus di dunia ini. Namun sebagaimana Kristus tidak memaksa semua orang untuk menaati-Nya, demikian pula Paus tidak memaksa semua orang untuk taat kepada kepemimpinannya. Tetapi mereka yang dengan tulus membiarkan diri dipimpin oleh Roh Kudus, akan dapat menerima otoritas kepemimpinan Paus, karena percaya bahwa Tuhan Yesus memang menghendaki demikian.
Maka sebagai pemimpin Gereja universal di dunia, yang dilakukan oleh Paus pertama-tama adalah mengajar ajaran iman dan moral sebagaimana telah diajarkan oleh para pendahulunya, dan dengan demikian ia meneruskan ajaran Kristus dan para rasul kepada generasi umat manusia yang dipimpinnya pada masa itu. Ajaran iman dan moral ini sesungguhnya bersifat universal, dan ditujukan kepada mereka yang berkehendak baik, yang bagi Gereja (dalam hal ini Gereja Katolik) bersifat mengikat.
Karena Paus hanya meneruskan ajaran Kristus dan para Rasul yang diterima oleh para pendahulunya, maka Paus tidak mempunyai kepentingan untuk mengajar ajaran lain yang tidak bersumber pada ajaran para pendahulunya tersebut. Maka jika ada ajaran lain yang menyimpang dari ajaran Kristus dan para Rasul, yang berkembang oleh sebab pemberitaan sekelompok orang, yang bahkan mengaku dirinya sebagai kelompok Kristen, maka hal ini bukan kewenangan Paus. Yang dilakukan oleh Paus adalah, jika dianggap perlu, menyatakan kembali secara definitif ajaran yang benar, dan jika yang menyebarkan ajaran itu adalah anggotanya (umat Katolik), maka otoritas Gereja dapat memperingatkannya. Namun jika yang melakukannya sedari awal adalah bukan anggota Gereja Katolik, maka bukan bagian kewenangan Gereja Katolik untuk menegurnya.
Dengan demikian, sebagai pemegang otoritas tertinggi Gereja di dunia, selaku wakil Kristus, Paus memang bertugas untuk terus mengembangkan dan membina Gereja, namun dalam melakukan tugas ini, berlakulah azas cinta kasih yang tidak memaksa. Paus, dan sesungguhnya, kita semua sebagai anggota Gereja Katolik, memang bertugas untuk mengusahakan persatuan Gereja, dan untuk hal ini kita perlu mendoakannya, sebab sungguh diperlukan campur tangan Roh Kudus dalam hal ini, untuk menggerakkan hati semua pemimpin gereja (yang lebih tepat disebut persekutuan gerejawi), agar dapat dengan kerendahan hati menaati kehendak Kristus sejak awal mula, yaitu agar Gereja-Nya bersatu di bawah kepemimpinan Petrus dan para penerusnya, yaitu Bapa Paus. Silakan untuk selanjutnya membaca dokumen Konsili Vatikan II tentang Dekrit tentang Ekumenisme, Unitatis Redintegratio, silakan klik di sini.
Mari kita berdoa agar apa yang menjadi kehendak Kristus terpenuhi:
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
PS: Silakan jika Anda tertarik akan topik ini, untuk membaca artikel seri tentang Keutamaan Petrus berikut ini:
Keutamaan Petrus 1: Menurut Kitab Suci
Keutamaan Petrus 2: Bukti sejarah tentang keberadaan Rasul Petrus di Roma
Keutamaan Petrus 3: Tanggapan terhadap mereka yang menentang keberadaan Petrus di Roma
Keutamaan Petrus 4: Menurut dokumen paling awal Gereja
Keutamaan Petrus 5: Dalam Gereja di Lima Abad Pertama
Tentang ‘Petros’ dan ‘Petra’
betul, sungguh riskan menyekolahkan anak di tempat yang tidak pas.
saya sendiri pernah digoda oleh tetangga agar anak saya yang masih umur 5 tahun belajar di sekolah kristen nonkatolik, dengan alasan mutunya bagus, anak cepat membaca, cepat pintar inggris dsb.
saya sama sekali tidak tergoda dengan semua keunggulan yg disebutkan.
saya lebih mengutamakan nilai nilai Katolik. untuk itu saya sekolahkan anak di TK yang diasuh oleh para suster SDY. kita memang harus pandai pandai menentukan skala prioritas. dan urusan iman / keyakinan saya tempatkan di urutan 1.
Setuju, begitu juga prinsip saya.
Dahulu sewaktu perekonomian keluarga kami sedang guncang, suami ingin memasukkan anak ke sekolah negeri, dengan alasan biaya lebih murah (bahkan gratis), tetapi hal ini tidak saya setujui, bahkan saya sampai meminjam uang dari anggota keluarga saya yang lain demi menyekolahkan anak-anak ke sekolah Katolik (walaupun bukan sekolah unggulan), dengan pertimbangan bahwa pendidikan iman Katolik di sekolah negeri pasti sangat kurang jadi mereka tidak akan mendapatkan pendidikan Iman yang cukup.
Sekarang ini semua anak saya sekolahkan di sekolah Katolik untuk menjaga pendidikan Iman mereka, karena menurut saya pendidikan iman adalah prioritas nomor 1.
[Dari Katolisitas: Terima kasih atas kesaksian ini. Sungguh adalah sesuatu yang baik keputusan Anda untuk menyekolahkan anak-anak Anda di sekolah Katolik. Semoga Tuhan senantiasa memberkati Anda sekeluarga].
Dear Katolisitas…
Saya mau bertanya ttg Pope Pius’s Creed…
Saya ada baca tulisan2 di page Protestan yg mengatakan bhw krn credo tersebut telah membuat terjadinya peperangan yg menelan korban jutaan manusia ?
Bagaimanakah kisah sebenarnya ?
Terima kasih…
Salam Damai…
Shalom Antonius S.
Teks Credo dari Paus Pius IV (klik di sini) sesungguhnya tidak memuat sesuatu pernyataan yang baru bagi pernyataan iman Katolik. Yang disebut di sana sesungguhnya adalah Credo/ syahadat panjang, lalu ditambah beberapa point yang memang merupakan prinsip ajaran iman Katolik:
– Pernyataan untuk membaca Kitab Suci dalam terang Tradisi Suci (ajaran Bapa Gereja)
– Pengakuan akan ketujuh sakramen yang diinstitusikan oleh Kristus: Baptisan, Penguatan, Ekaristi, Pengakuan dosa, Pengurapan orang sakit, Tahbisan suci dan Perkawinan suci, dan bahwa sakramen Baptisan, Penguatan dan Tahbisan suci tidak dapat diulangi.
– Pengakuan akan segala ketetapan konsili Trente, tentang dosa asal dan justifikasi.
– Pengakuan akan ajaran Transubstansiasi: kehadiran Kristus yang nyata dalam Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan Tuhan Yesus Kristus dalam rupa roti dan anggur, maupaun dalam salah satu rupa saja.
– Pengakuan akan adanya Api Penyucian, dan bahwa jiwa-jiwa di sana dapat dibantu dengan dukungan doa-doa silih dari umat beriman; dan penghormatan akan para kudus di surga.
– Tetap menghormati gambar-gambar Kristus, Bunda Maria dan para orang kudus.
– Tetap mengakui kuasa indulgensi, yang diberikan Kristus kepada Gereja, dan penggunaannya sangatlah berguna bagi umat beriman.
– Menjunjung tinggi semua hukum Gereja dan konsili, terutama Konsili Trente, secara khusus tentang keutamaan Paus dan ajarannya yang tidak mungkin salah. Turut menolak semua ajaran sesat yang dikecam oleh Gereja.
Maka sesungguhnya, tidak ada yang baru yang patut dipermasalahkan dengan teks Credo Paus Pius IV ini, sebab praktis hanya pengucapan Credo/ syahadat yang sudah dikenal, ditambah dengan butir-butir ajaran iman sebagaimana ditegaskan secara khusus dalam Konsili Trente. Para pengikut Luther dan kemudian para pendiri gereja Protestan, memang tidak setuju dengan hasil Konsili Trente, sehingga wajarlah jika mereka juga menolak Credo yang diajarkan oleh Paus Pius IV ini. Silakan membaca sekilas di sini, bagaimana para Uskup dan Paus dalam Konsili Trente meluruskan ajaran Luther, silakan klik. Bahwa ada perbedaan paham yang semakin jelas antara umat Katolik dan Luther dan para pengikutnya, setelah pernyataan Konsili Trente, itu memang nampaknya demikian; namun kalau disebutkan bahwa Credo Paus Pius IV kemudian menyebabkan “peperangan yang menelan korban jutaan manusia” nampaknya terlalu berlebihan. Sumber manakah yang mengatakan demikian?
Jika yang dimaksud adalah pembantaian kaum Huguenot di Paris, itu sudah pernah dibahas sekilas di sini, silakan klik. Pembunuhan tersebut tidak ada kaitannya dengan Credo ataupun dengan Paus, tetapi merupakan pertentangan politik internal di Perancis. Lagipula data sejarah menyebutkan bahwa jumlah orang yang wafat melalui peristiwa tersebut adalah 786 orang, dan bukan beribu atau berjuta orang.
Ada baiknya, jika Anda mengutip suatu pernyataan, silakan sertakan sumbernya juga, supaya kemudian dapat diperiksa kebenarannya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
shallom pak stef dan bu inggrid begini pak bu… saya punya anak dan sekolah disekolah kristen protestan dan dari buku tersebut saya ada membaca sebuah bacaan kalau sesudah tahun 1000 M para paus mulai menentang campur tangan para kaisar dan raja atas gereja dan kalau Paus Innocentius 3 itu memandang para raja atau kaisar hanya sebagai wakil gereja dalam mengurus hal-hal duniawi sehingga mereka harus taat pada pemerintahan paus
selain itu saya juga mau bertanya tentang kepatriakan Gereja perdana, dulunya kan kepatriakan gereja perdana itu ada 3 dengan urutan Roma, Antiokhia dan alexandria lalu kapan yerusalem dan konstantinopel dibentuk?
betulkah dulunya seluruh kepatriakan gereja perdana itu dibawah kepemimpinan paus roma? apakah sampai sekarang 5 kepatriakan yang terdiri dari roma, antiokhia, alexandria, yerusalem dan konstantinopel masih dipimpin oleh paus roma?
selain itu saya juga mau bertanya tentang konsili vatikan ke 2 yang latar belakangnya adalah dilakukan oleh Luther untuk mendorong gereja katolik roma untuk menata dirinya. awalnya gerakan pembaruan didalam gereja katolik roma bertujuan untuk melawan gerakan reformasi sehingga disebut kontra-reformasi. pembaruan yang sangat penting itu terjadi di konsili vatikan ke 2 betulkan itu semua pak stef dan bu inggrid?
terima kasih
Shalom Pricila,
1. Paus Innocentius III
Tentang Paus Innocentius III, dan pertentangan apakah yang terjadi di masa kepemimpinannya, sudah pernah sekilas ditulis di sini, silakan klik, lihat point 8. Yang menjadi perhatian Paus bukan hal pemerintahan sekular, namun hal maraknya penyebaran ajaran sesat di zamannya, sehingga ia membuat kebijakan untuk melawan para pengajar sesat tersebut, demi mempertahankan ajaran iman yang benar.
2. Tentang kepatriarkh-an
Sekilas tentang sejarah kepatriarkh-an, silakan klik di sini.
3. Tentang kepemimpinan Paus di Roma.
Ya, sejarah mencatat adanya keutamaan Uskup Roma (Paus) sejak jemaat perdana. Silakan membaca artikel seri Keutamaan Paus, silakan klik di artikel berikut ini:
Keutamaan Petrus 1: Menurut Kitab Suci
Keutamaan Petrus 2: Bukti sejarah tentang keberadaan Rasul Petrus di Roma
Keutamaan Petrus 3: Tanggapan terhadap mereka yang menentang keberadaan Petrus di Roma
Keutamaan Petrus 4: Menurut dokumen paling awal Gereja
Keutamaan Petrus 5: Dalam Gereja di Lima Abad Pertama
Tentang ‘Petros’ dan ‘Petra’
Catatan sejarah membuktikan akan adanya keutamaan keuskupan Roma dalam memimpin seluruh Gereja (Gereja universal) baik Gereja-gereja Barat (Latin) maupun Gereja-gereja Timur, sejak abad-abad awal.
4. Konsili Vatikan II diadakan sebagai gerakan pembaharuan untuk melawan gerakan reformasi Protestan?
Tidak. Martin Luther hidup di tahun 1483-1546. Tahun 1517 Luther menuliskan protesnya di dalam pernyataan 95 theses, dan sekilas tentang hal ini sudah pernah ditulis di sini, silakan klik. Yang disampaikan oleh Luther adalah pernyataan-pernyataan pribadinya sehubungan dengan beberapa point pengajaran Gereja, namun 41 dari pernyataannya itu keliru. Maka Paus melalui Bulla Exsurge Domine meminta Luther untuk menarik kembali ke-41 pernyataan yang salah tersebut. Namun Luther menolak untuk menarik pernyataannya, sehingga akhirnya Paus Leo X mengeluarkan pernyataan eks-komunikasi terhadap Luther di tahun 1521. Sekilas pembahasan tentang hal ini sudah pernah ditulis di sini, silakan klik.
Konsili para uskup yang diadakan lebih dekat dengan zaman Luther/ Reformasi Protestan adalah Konsili Trente (1545-1563)- bukannya Konsili Vatikan II yang baru diadakan empat abad sesudahnya (1962-1965). Tujuan utama diadakannya Konsili Trente ini adalah memberikan ketetapan definisi ajaran Gereja untuk menanggapi ajaran-ajaran yang menyimpang yang dipelopori oleh Luther dan tujuan selanjutnya adalah untuk menetapkan reformasi yang menyeluruh dalam kehidupan di dalam Gereja dengan penetapan dekrit untuk membuang bermacam bentuk pelanggaran. Sekilas tentang beberapa point penting yang ditentukan oleh Konsili Trente, klik di sini. Sedangkan untuk keseluruhan teks dokumen Konsili Trente, dapat dibaca di link ini, silakan klik.
Konsili Vatikan II tidak ada hubungannya dengan Luther. Konsili Vatikan II diprakarsai oleh Paus Yohanes XXIII, dengan maksud untuk meningkatkan kobaran semangat umat Katolik dan untuk melayani kebutuhan umat Kristiani. Untuk mencapai hal ini maka penekanannya yang disampaikan adalah panggilan kepada para uskup, imam dan semua orang kepada kekudusan, dan diberikannya instruksi yang efektif tentang iman dan moral kepada kaum awam, pendidikan kepada anak-anak, singkatnya, apa yang harus dilakukan Gereja terhadap tantangan zaman (Aggionamento), tanpa mengabaikan kekayaan Tradisi masa lalu (Ressourcement).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Sungguh berbahaya, jika menyekolahkan anak kita di sekolah kristen non
Katolik, hati-hati bu Pricilla, ajaran agama yg diberikan menyesatkan.
Saya baru menyadari, mengapa semua umat kristen non katolik selalu memojokan Katolik di setiap kesempatan, rupanya memang sdh diajarkan sejak disekolah
sungguh malang nasib mereka. Semoga Tuhan mengampuni mereka ya.
[Dari Katolisitas: Sesungguhnya memang orang tua Katolik mempunyai tugas dan hak yang utama untuk mendidik anak-anak secara Katolik. Adalah suatu resiko yang harus diambil, jika orang tua memutuskan untuk menyekolahkan anak-anak di sekolah non- Katolik, antara lain menghadapi fakta bahwa akan ada kemungkinan anak-anak memperoleh informasi yang tidak kondusif untuk pertumbuhan iman Katolik. Di sini orang tua mempunyai peran kunci untuk mengarahkan anak kembali kepada ajaran iman Katolik. Silakan disikapi dengan bijaksana, entah dengan memindahkan anak ke sekolah Katolik, ataupun dengan mempertahankan anak bersekolah di sana, dengan memberi bekal penjelasan yang memadai akan ajaran iman Katolik, sehingga anak tidak mudah menjadi goyah/ bimbang].
Comments are closed.