Tanggal 15 Oktober 2012 yang lalu Sekretaris Negara Vatikan mengeluarkan surat dalam Sinode para Uskup yang meminta perhatian kepada para Kardinal, Uskup Agung dan Uskup tentang pentingnya disiplin mengenakan busana gerejawi (jubah atau kemeja ber-collar) sebagaimana ditulis dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, Kan. 284, dan dijelaskan dalam surat Paus Yohanes Paulus II kepada Kardinal Vikaris Jenderal Keuskupan Roma, tanggal 8 September 1982.
“Dalam Ketaatan pada Tugas Sebagai Panutan”
Dari Vatikan, 15 Oktober 2012
Yang terhormat Para Yang Utama Kardinal/Para Yang Mulia Uskup Agung dan Uskup,
dengan surat ini saya ingin meminta perhatian Anda tentang pentingnya disiplin mengenai pemakaian sehari-hari busana gerejawi (jubah atau kemeja ber-collar) dan busana religius, sebagaimana diamanatkan oleh norma-norma untuk hal ini [Kanon 284] dan sesuai dengan alasan-alasan yang diilustrasikan dan dijelaskan secara lengkap pada masanya oleh Beato Yohanes Paulus II dalam suratnya kepada Kardinal Vikaris Jendral Keuskupan Roma, tertanggal 8 September 1982.
Pada waktu di mana semua orang secara khusus dipanggil untuk memperbarui kesadaran dan konsistensi dengan identitasnya, atas permintaan yang terhormat [Catatan: artinya, atas permintaan Paus] saya datang untuk meminta Yang Utama Kardinal dan Yang Mulia Uskup Agung dan Uskup untuk memastikan kepatuhan pada aturan di atas bagi para imam dan religius yang bekerja pada Dikasterium/Tribunal/Kantor/Vikariat [=Keuskupan Roma], memperhatikan kewajiban untuk mengenakan, secara reguler dan dengan bermartabat, jubah yang benar, dalam setiap musim, di antaranya dalam mematuhi tugas sebagai panutan [Catatan: frase ini aslinya dicetak miring] yang merupakan kewajiban bagi mereka yang memberikan layanan kepada penerus Petrus.
Contoh yang sangat baik dari mereka yang, dimeterai dengan martabat uskup, setia pada pemakaian setiap hari jubah yang sesuai bagi mereka, selama jam kerja, menjadi dorongan yang eksplisit bagi semua, termasuk bagi Para Uskup dan bagi semua yang mengunjungi Kuria Romawi dan Kota Vatikan.
Pada kesempatan ini, lebih lanjut, di antaranya untuk menghindari ketidakpastian dan untuk memastikan keseragaman, hendaknya diingat bahwa pemakaian “abito piano” diwajibkan untuk partisipasi dalam setiap acara di mana Bapa Suci hadir, dan juga untuk Rapat-Rapat Pleno dan Biasa, Rapat-Rapat Antardikasterium, Resepsi Kunjungan “ad limina” dan berbagai tugas resmi dari Takhta Suci.
Sambil bersyukur atas kerjasamanya, saya dengan gembira menggunakan kesempatan ini untuk menyatakan penghargaan dari lubuk hati yang paling dalam bagi Para Yang Utama/Mulia yang terhormat.
Sungguh mengabdi dalam Tuhan,
+ Tarcisio Card. Bertone
Sekretaris Negarahttp://tradisikatolik.blogspot.com/2012/12/vatikan-larang-imam-pakai-busana-awam.html
Mungkin ada sejumlah orang bertanya, mengapa sampai dikeluarkan himbauan/ ketentuan ini? Apakah sebelumnya memang tidak ada ketentuan demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita pertama-tama mengacu kepada ketentuan Hukum Kanonik dan penjelasannya ((Cf. The Code of Canon Law, The Text and Commentary, The Canon Law Society of America, ed. James A. Coriden, Theological Publication Bangalore, India, 2001, p. 219-221)):
Kan. 284 Para klerikus hendaknya mengenakan pakaian gerejawi yang pantas, menurut norma-norma yang dikeluarkan Konferensi para Uskup dan kebiasaan setempat yang legitim.
Menurut sejarah, ketentuan umum tentang busana kaum klerik mengandung dua aspek, yaitu pembedaan dan kelayakan, dengan memberikan penjelasan spesifiknya menurut norma dan kebiasaan setempat. Kitab Hukum Kanonik 1917 (kan. 136) merumuskan secara umum, “habitus ecclesiasticus decens“, maksudnya: 1) “ecclesiasticus“, artinya busana tersebut harus dapat dibedakan dalam hal bentuk maupun warna, dengan busana sekular; 2) “decens” artinya layak/ cocok digunakan oleh jabatan klerikus, tidak mewah, tetapi juga tidak serampangan. “Habitus” di sini mencakup jubah maupun busana untuk digunakan sehari-hari. “Kebiasaan yang legitim dan ketentuan-ketentuan dari Ordinaris lokal adalah yang menjadi norma-norma umum bagi hal pembedaan dan penyesuaian, dan hal-hal tersebut menentukan gaya dari busana yang hendaknya digunakan.” ((B. Ganter, Clerical Attire: A Historical Synopsis and a Commentary, CanLawStud 361 (Washington: Catholic University of America, 1955) O. Pontal, AC 17 (1973), 769-796)).
Hukum partikular di Amerika Serikat yang ditetapkan oleh Dekrit Baltimore II dan III (no.77) bahwa jubah harus digunakan di gereja dan pastoran: sedangkan di luar, digunakan kemeja hitam. Pada jubah maupun kemeja hitam tersebut, digunakan Roman collar (kerah Romawi). Ketentuan ini tetap berlaku setelah promulgasi KHK 1917. Sedangkan di Indonesia, menurut keterangan Rm. Bosco da Cunha, sekretaris KWI, yang telah dikeluarkan oleh KWI adalah ketentuan pakaian imam/ jubah untuk upacara konselebrasi, namun KWI belum mengeluarkan ketentuan spesifik tentang busana imam di luar upacara liturgis ataupun di tengah khalayak ramai.
Perlu diketahui bahwa hal busana gerejawi ini memang lebih mengarah kepada ketentuan disipliner daripada doktrinal, sehingga memang dimungkinkan adanya penyesuaian sehubungan dengan tuntutan zaman dan keadaan Gereja setempat. Namun demikian, secara obyektif dapat diakui bahwa hal ketentuan busana gerejawi ini erat berhubungan dengan citra kaum klerik, khususnya para imam. Keseriusan kewajiban dalam hal mengenakan busana gerejawi dapat dilihat dari penerapan sangsi bagi pelanggarannya. KHK 1917, Kan. 136, §3 menetapkan sangsi dikeluarkannya secara otomatis dari status klerikus bagi siapapun dari Ordo minor yang menolak untuk menggunakan busana gerejawi selama sebulan, sesudah diberikan peringatan oleh Ordinaris lokal. KHK tersebut (Kan 188, 7) juga mengatakan bahwa semua jabatan gerejawi menjadi kosong secara otomatis dengan pengunduran diri, ketika seorang klerik, tanpa alasan yang dapat dibenarkan, tidak mengenakan busana gerejawi menurut otoritasnya sendiri, dan tidak kembali mengenakannya dalam waktu sebulan setelah memperoleh peringatan dari Ordinaris.
Setelah Konsili Vatikan II, terdapat perubahan yang signifikan dalam hal ketentuan busana bagi kaum klerik. Konsili Konferensi para Uskup di Italia, April 1966, memberikan persetujuan bagi para imam ketika di luar gereja dan lembaga-lembaga gerejawi untuk mengenakan kemeja hitam atau abu-abu tua dengan Roman collar, [jadi tak harus selalu memakai jubah]. Konsili Uskup-uskup Spanyol juga memberikan persetujuan serupa, sehingga membuat ketentuan ini menjadi kebiasaan umum di seluruh dunia. Prefek Kongregasi Suci bagi para Uskup dalam surat tertanggal 27 Januari 1976 ditujukan kepada para perwakilan kepausan di seluruh dunia mengakui, “Dalam rangka memenuhi perubahan tuntutan dalam hal pakaian [busana imam], Tahta Suci telah memberikan kuasa kepada konferensi para Uskup untuk mempresentasikan di negara-negara mereka, perubahan-perubahan, yang disadari oleh semua, dalam hal gaya busana gerejawi.” ((CLD 8, 124-125)). Ia menyadari bahwa adalah layak bagi kaum klerik dan kaum religius untuk mengenakan pakaian yang sesuai dengan keadaan, seperti contohnya, pada saat berekreasi atau berolah raga.
KHK 1983 mengulangi apa yang ditetapkan dalam KHK 1917, Konferensi para Uskup (bukan Ordinaris lokal) yang menetapkan norma-norma tentang busana gerejawi. Namun jauh dari inisiatif atau tindakan eksplisit dari konferensi para Uskup, kaum klerik di seluruh dunia telah mengenakan busana awam, entah sepenuhnya, atau dalam banyak kesempatan. Didorong atas keinginan yang tulus untuk berkomunikasi dengan orang banyak, mereka menghapuskan tanda “profesionalisme” seorang imam- terutama Roman collar– yang mungkin dianggap sebagai barrier/ penghalang atau sebagai tanda/ klaim akan hal-hak istimewa sebagai imam.
Kemungkinan atas dasar keprihatinan bahwa semakin banyak imam tidak lagi mengenakan busana gerejawi di luar gereja, maka pada tanggal 8 September 1982, Paus Yohanes Paulus II menulis kepada wakil kepausan Roma (papal vicar of Rome) untuk menuliskan norma-norma tentang penggunaan busana klerik dan religius di keuskupan Roma. Paus mengakui bahwa terdapat motivasi-motivasi keadaan sejarah, lingkungan, psikologis dan sosial yang dapat mengusulkan hal-hal sebaliknya dari pemakaian busana gerejawi, namun terdapat motivasi-motivasi kodrati yang sama pentingnya, yang mendukung pemakaian busana gerejawi tersebut. Menurut Paus, argumen-argumen yang menantang pemakaian busana gerejawi bagi kaum klerik, nampak lebih bersifat manusiawi daripada gerejawi. Dalam pandangan Paus, tanda yang membedakan [antara klerik dan awam] adalah penting, “tidak hanya sebab pembedaan itu memberikan kontribusi positif terhadap kepantasan imam dalam bertingkah laku, atau di dalam pelaksanaan pelayanannya, tetapi di atas semua itu, sebab pembedaan itu memberikan bukti di dalam komunitas gerejawi, tentang kesaksian publik bahwa setiap imam seharusnya mempertahankan identitasnya sendiri, sebagai milik Allah yang istimewa (special belonging to God).” Di kota-kota sekular modern, di mana “rasa akan kesakralan menjadi sedemikian lemahnya”, membutuhkan tanda yang berharga yang ditampakkan oleh busana religius.” Surat dari Paus Yohanes Paulus II inilah yang dijadikan referensi dan ditegaskan kembali maksudnya dan penerapannya oleh Kardinal Bertone, bulan Oktober 2012 yang lalu.
Tanggal 1 Oktober 1982, Wakil Roma, Kardinal Poletti, mengeluarkan norma-norma: “sejak saat ini, kewajiban mengenakan busana gerejawi bagi imam-imam diocesan maupun religius yang tinggal di Diocesan Roma diteguhkan dengan segala kekuatannya.” Bagi imam diocesan, busana tersebut dapat berupa jubah atau kemeja klerik berwarna gelap dengan Roman collar, sedangkan untuk imam dari komunitas religius mengenakan habit yang ditentukan oleh institut mereka atau busana klerik mereka. Ketentuan ini berlaku juga untuk para seminarian ketika mereka menerima ritus penerimaan kandidat, sampai menjadi imam dan juga bagi para pelajar religius sejak profesi religius mereka. Norma ini disetujui oleh Paus pada tanggap 27 September 1982.
Melihat ketentuan ini, mari kita melihat secara obyektif, bahwa ketentuan busana gerejawi bagi para imam memang bukan merupakan hal mutlak harus, yaitu bahwa kemanapun dan di manapun para klerik itu harus memakai jubah atau kemeja dengan Roman collar (Konferensi para Uskup dapat memutuskan tentang hal ini sesuai dengan keadaan negaranya). Namun sebaliknya, bukan berarti bahwa jika tidak mutlak, maka ketentuan ini dapat diabaikan begitu saja. Nampaknya surat yang dikeluarkan oleh Kardinal Bertone di atas, yang mengacu kepada surat dari Paus Yohanes Paulus II, bermaksud mengajak para imam untuk kembali mengingat panggilan mereka sebagai imam, yang telah dikonsekrasikan menjadi milik Allah sendiri. Agar dengan mengenakan busana gerejawi, para klerik semakin dapat semakin menghayati panggilan mereka yang mulia ini dan bersikap yang sesuai/ berpadanan dengan panggilan mereka. Busana gerejawi memang hanya tanda sederhana, akan kehadiran dan kekudusan Allah di tengah umat-Nya, yang dengan cara-Nya sendiri berkenan menguduskan para pelayan-Nya, agar mereka dapat menjadi alat Tuhan untuk menguduskan umat-Nya.
Selanjutnya tentang mengapa Imam perlu memakai Roman Collar, silakan klik di sini.
menarik artikelnya GBU
Halo Caecilia,
Saya ingin menambahkan sedikit saja bahwa benar yang dikatakan oleh ibu Ingrid bahwa masalah busana itu sifatnya disipliner saja atau istilah biaranya itu habit. Di beberapa negara Eropa yang saya kunjungi dan juga keuskupan saya sekarang di Perth memiliki beberapa kongregasi biarawati yang mereka tidak pakai kerudung. Pertama kali melihat memang aneh di mata. Beneran ini suster nih? Koq keliatan rambutnya? Seperti yang ibu Ingrid bilang juga terkadang mengenakan busana yang tradisional juga malah menyulitkan komunikasi.
Ada seorang teman saya orang Swedia yang pindah ke Katolik dari Lutheran karena ngobrol dengan seorang pria waktu liburan di Perancis. Dari ngobrol panjang lebar satu hari itu dia memutuskan dalam hati untuk menjadi Katolik. Kemudian baru dia tahu si pria itu romo. Akhir ceritanya mungkin berbeda kalau teman saya ini sudah tahu dari awal lawan bicaranya itu romo. Lalu saya tanya, emang kalian ngobrol apa sih? Ternyata teman saya cuma diceritain secara mendalam soal St. Theresia Lisieux. Mengagumkan.
Salam,
Edwin ST
[Tambahan: Walaupun memang busana Imam bersifat disipliner, namun sungguh baik kalau imam juga memakai busana imam.]
Dulu setiap surat ada AMDG-nya apakah= SDK(Salam Dalam Kristus)?
[Dari Katolisitas: AMDG artinya Ad Majorem Dei Gloriam, Demi Kemuliaan Allah yang lebih besar. Istilah ini diajarkan oleh St. Ignatius dari Loyola, pendiri Ordo Serikat Yesus]
Kuman disebrang lautan tampak, sedang gajah dimuka mata tak tampak. Apakah yg sy dengar dan baca ini sesuai pepatah diatas? Seorang romo bercerita : saya diundang panitya suatu perayaan.Turun mobil saya langsung bergabung dengan mereka. Singkat kata panitya menunggu-nunggu romo yang sudah datang agak lama, kebetulan yg ditugasi ga kenal romo, dia hanya percaya/tahu romo pakai jobah ato collar.Romo senyum-senyum,panitya cemas, sy ikut prihatin. Beberapa tahun setelah itu romo yang lain bercerita yang hampir mirip dengan kejadian diatas.Romonya senyum2,orang yg mencarinya mungkin malu, saya ikut prihatin. Yang ini lebih seru : Seorang romo membersih kan kolam, ada seorang bos datang membawa barang bantuan.Karena barangnya agak banyak yang diturunkan sopir, bos itu minta tolong kepada orang yang membersihkan kolam.Setelah selesai membantu dengan senang hati, (romo)/orang ditanya bos : Dimana romo kepala yayasan ? Orang itu tidak menjawab, langsung masuk. Setelah beberapa saat dia keluar lagi dengan pakaian yang rapi. Romo dapat pahala karena membantu dengan senang, bos saya rasa malu,merasa bersalah, sedih dan merasa berdosa, saya sendiri hanya bisa prihatin. Saya berharap naaantti :Romo yg sedang ikut maraton/sepeda santai/ngepel/membersihkan kolam ikan, kepasar dll,memakai tanda seorang pastor. sy tidak tahu apa collar, mungkin yg dipakai pendeta dileher itu, tebak saya. sy ingin yg kecil-kecil yang baik dikerjakan gereja, maka secara akumulasi hasil semoga indah.KV ingin memperbaiki gereja,tapi yg saya rasa di negeri kita ini gereja semakin ga menentu,sejajar dengan negara ini yang katanya semakin mengkawatirkan/rusak.Hidup memang tidak mudah, saaangat sukar. saya dengan istri komit,kalo bekerja dipikir dan dirasakan, kalao masih salah ya berserah, memang orang lemah.
[Dari Katolisitas: Apa yang dituliskan biarlah menjadi masukan bagi para imam, dan biarlah pihak yang berwewenang dalam otoritas Gereja (KWI) yang memutuskan, tentang ketentuan busana para imam di Indonesia]
Shalom Katolisitas
Beberapa tahun yg lalu sahabat saya yang kristen non katholik bertanya kepada saya,mengapa ada perbedaan dlm cara berpakaian antara suster dengan pastur?
Kalo suster kemanapun mereka pergi pasti mengenakan seragam suster dan semua orang yang melihat akan langsung tahu kalo mereka adalah biarawati.
Tapi kalo pastur kok tdk selalu pakai jubah?
Waktu itu saya tdk tahu bagaimana harus menjawab,saya bilang tdk tahu.
Saya kemudian menyampaikan pertanyaan sahabat saya tsb ke Pastur paroki saya. Jawaban beliau adalah memang dulu Pastur selalu mengenakan jubah,tapi karena dirasa ruang gerak pastur menjadi kurang bebas dg mengenakan jubah maka menjadi seperti sekarang ini (pastur mengenakan pakaian biasa).
Jawaban tsb saya sampaikan ke sahabat saya,dia hanya mengangguk (entah dia sdh merasa puas dg jwbn itu atau tdk saya tdk tahu)
Yang ingin saya tanyakan,apakah memang sudah benar jawaban itu,atau adakah alasan lain?
Mohon maaf jika pertanyaan saya agak sedikit nyleneh.
Mohon maaf juga apabila pertanyaan saya sdh pernah dibahas sebelumnya.
Salam dan Doa,
Berkah Dalem
Shalom Caecilia,
Silakan untuk terlebih dahulu membaca artikel di atas, silakan klik.
Sebenarnya hal pakaian imam lebih mengarah kepada masalah disipliner daripada masalah doktrinal, maka dapat terjadi penyesuaian, sesuai dengan apa yang dipandang layak dan sesuai dengan kebiasaan dan kebijaksanaan Gereja setempat. Diperlukan kajian yang lebih menyeluruh oleh pihak yang berwewenang dalam hal ini, untuk memutuskan/ mengeluarkan ketentuan tentang busana imam, sehubungan dengan keadaan masyarakat, budaya, iklim, dst. Sejujurnya Katolisitas tidak mempunyai wewenang apapun dalam hal ini, maka yang kami sampaikan di sini adalah fakta dari apa yang pernah ditentukan oleh Gereja tentang busana imam ini, dan apakah prinsip dasarnya.
Memang secara obyektif terdapat perbedaan secara kodrati antara aktivitas para imam dan biarawati. Para biarawati umumnya berkarya di biara, sekolah-sekolah, rumah sakit, atau di lingkungan yang relatif terbatas. Sedangkan, para imam banyak yang langsung terjun ke masyarakat (dapat sampai ke pelosok-pelosok), mengajar, aktif dalam kegiatan sosial dan kemasyarakatan, selain tugas-tugas pelayanan liturgi dan sakramen, dan tugas-tugas pastoral di paroki/ keuskupan. Tugas-tugas ini tak jarang mensyaratkan mobilitas yang tinggi. Dan dengan iklim tropis yang sangat menyengat di Indonesia sepanjang tahun, memang nampaknya ada alasan yang masuk akal mengapa penggunaan jubah di luar gereja menjadi tidak kondusif untuk aktivitas-aktivitas para imam. Belum lagi pandangan sejumlah orang, yang menganggap bahwa penggunaan jubah [yang secara obyektif memang sangat jelas menunjukkan karakter pembedaan dengan busana awam] dapat menjadi penghalang dialog/ komunikasi antara imam dengan kaum awam maupun dengan masyarakat yang berbeda agama/ kepercayaan, seperti yang ada di Indonesia ini.
Namun tentang penggunaan Roman collar, yang nampaknya cukup sederhana dan tak terlalu menyolok, sepertinya memang perlu diperhatikan atau dapat dipertimbangkan, baik oleh para imam maupun umatnya. Umat dapat mendukung, misalnya, dengan membelikan kemeja imam dengan collar, sesuatu yang positif untuk mengingatkan imam akan panggilan suci yang telah mereka jalani.
Akhirnya, terima kasih atas pertanyaan Anda, yang Anda anggap nyeleneh ini. Pertanyaan ini mungkin dapat menyentuh hati nurani para imam, agar tidak enggan menampilkan identitas mereka yang sesungguhnya, yaitu sebagai milik Allah dan pelayan Allah yang telah memberikan diri seutuhnya untuk Kerajaan Allah. Penggunaan busana imam ini dapat secara sederhana menjadi pengingat bagi mereka, agar menjaga kekudusan dan ketaatan mereka kepada Tuhan. Ya, kehadiran para imam perlu dikenali oleh dunia, justru karena dunia ini sungguh membutuhkan teladan dan panutan. So desperately.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shaloom bu Ingrid,
Terimakasih sekali atas tanggapan dan jawaban yang sangat bijak dan memuaskan menurut saya.
Bagi saya pribadi jika melihat Imam/Pastur yang memakai jubah atau dengan collar rasanya mereka punya aura yang berbeda dari orang2 awam.
Mungkin saya sedikit cerita,bahwa di Paroki atau Stasi2 di wilayah saya setiap hari raya Natal dan Paskah yang bertugas menjaga keamanan parkir adalah pemuda pemudi remaja Islam di sekitar gereja/stasi sebagai bentuk solidaritas antar umat beragama.
Karena mereka bukan orang katholik mereka pasti tidak tahu dan tidak kenal Romo/Pastur. Sewaktu Romo yang bertugas memimpin misa di Stasi datang,mereka meminta uang parkir ke Romo tersebut.
Panitia yang mengetahui hal tersebut lalu berlari2 memberi tahu petugas parkir bahwa yang datang adalah Romo,jadi tdk usah ditarik parkir saja.
Barangkali itu hanya cerita lucu saja,bisa jadi petugas parkir tersebut urung meminta uang parkir jika mereka tahu bahwa orang tsb adalah Pastur.
dan tentu saja bukan masalah biaya parkirnya,tapi mungkin pada pengenalan kepada kaum awam terhadap keberadaan seorang Imam (wakil Kristus) di tengah2 mereka.
Mohon maaf jika ada salah kata,terimakasih.
Berkah Dalem
Comments are closed.