Pengantar
Tema bulan Liturgi Nasional 2007 adalah Liturgi dan Ekonomi. Sebuah tema yang menarik dan menantang untuk didiskusikan. Apa hubungannya Liturgi sebagai perayaan umat beriman kepada Allah dengan urusan uang, harta benda singkatnya ekonomi yang lebih menyangkut urusan keduniawian? Salah satu kaitan antara liturgi dan ekonomi adalah persoalan stips (stipendium) dan iura stolae dalam perayaan misa. Pertanyaan kadang muncul perihal stips dan iura stolae seperti, mengapa umat harus memberi stips atau iura stolae? Kemana uang yang diberikan umat ketika Imam merayakan ibadat ilahi dan diberi stips atau iura stolae? Mengapa umat harus memberi derma sebagai balas jasa kepada imam yang merayakan peribadatan ilahi? Apa hubungannya liturgi sebagai perayaan iman umat kepada Allah dengan uang (ekonomi) dalam hal ini stips dan iura stolae? Agar kita memiliki pemahaman yang benar tentang hal itu berikut penjelasannya dari sudut hukum gereja dan semoga bermanfaat.
Pengertian Stips dan Iura Stolae
Istilah yang lazim digunakan dalam kodeks (KHK, 1983) yang dimaksudkan dengan stips (stipendium) adalah: sumbangan suka rela umat beriman dalam bentuk uang kepada seorang imam dengan permintaan agar dirayakan satu atau sejumlah Misa untuk ujud/intensi dari penderma. Stips merupakan balas jasa dari penghargaan suka rela bagi sang imam yang telah melayani suatu kebutuhan umat beriman. Tapi bukan kewajiban umat dan imam pun tidak berhak menuntut.
Sedangkan Iura stolae adalah: sumbangan umat beriman kepada seorang imam yang melaksanakan perayaan sakramen (misalnya: baptis, perkawinan) atau melakukan suatu pelayanan pastoral lainnya seperti pemberkatan rumah. Namun karena sudah “salah kaprah” kedua pengertian tersebut disamakan saja, sehingga istilah tersebut juga lazim disebut stipendium. Perlu diperjelas lagi bagi kita pemahaman tentang stipendium maupun iura stolae adalah berbeda dengan persembahan (oblationes) dan derma (alms. donation), kolekte (collection).
Persembahan (oblationes) adalah pemberiaan suka rela dari umat beriman kepada Allah dalam perayaan peribadatan ilahi dalam bentuk natura (roti, anggur, beras, makanan, dll.) maupun dalam bentuk uang. Pemberian dalam bentuk uang yang dikumpulkan disebut kolekte. Maka kalau ada umat yang mengumpulkan sewaktu perayaan atau yang meletakkan uang dalam amplop di atas meja altar dengan tidak menyebut intensinya itu bukan iura stolae, atau stipendium melainkan kolekte persembahan yang harus dipakai untuk kepentingan Gereja atau paroki. Karena itu, imam tidak berhak mengambilnya untuk kepentingan pribadi.
Makna stips Misa
Sejarah kebiasaan memberi stipendium pada perayaan Misa sudah lama dipraktekan dalam Gereja, bahkan usianya sejak kehidupan Gereja itu sendiri. Meskipun nama dan penafsirannya berubah-ubah selaras dengan perkembangan jaman, tetapi intinya tetap sama yakni bahwa stipendium Misa adalah persembahan dari umat sebagai ungkapan pemberian diri umat kepada Gereja.
Menelusuri makna stipendium, baik KHK tahun 1917 dan KHK tahun 1983 menggunakan kata yang sama meskipun konteksnya berbeda. Dalam kodeks KHK 1917, berbicara tentang stipendium diberi judul: de oblate ad Missae celebrationem stipe, sedangkan kodeks KHK 1983 dengan judul lebih singkat stipendium Missae. Kata stipendium dalam KHK 1917, berasal dari kata Latin stips (stipis) yang berarti derma, sedekah, gaji, dan dari kata pendare berarti membayar derma atau gaji. Berbeda dengan KHK 1983, kata stips digabungkan dengan kata kerja offere yang berarti menghaturkan, memberi, mempersembahkan. Paduan kata stips dan offere berarti memberi derma. Dengan demikian makna kata stipendium dalam kodeks 1983 mempunyai arti baru lebih bernuansa rohani/spiritual bila dibandingkan dengan kodeks yang lama.
Aturan kodeks tentang stipendium dan iura stolae
Kitab Hukum Kanonik menegaskan perihal stipendium sebagai suatu kebiasaan/tradisi yang teruji dan merayakan misa sesuai dengan intensi/maksud tertentu dari penderma. Kanon 945, § 1: “Sesuai dengan kebiasaan Gereja yang teruji, imam yang merayakan Misa atau berkonselebrasi boleh menerima stips yang dipersembahkan agar mengaplikasikan Misa untuk intensi tertentu”. Jelas di sini nampak unsur kewajiban dari imam untuk merayakan misa sesuai dengan intensinya. Imam tidak boleh tidak merayakan misa tanpa intensi yang dituntun sesuai dengan maksud dari penderma. Namun demikian imam janganlah memiliki semangat untuk mencari stipendium sampai melupakan tugas pelayanan kepada umat. Demikian juga imam hendaknya melayani semua orang dalam merayakan ekaristi meskipun tanpa stips (stipendium). Hal itu ditegaskan dalam kanon 945, § 2: “Sangat dianjurkan agar para imam merayakan misa untuk intensi umat beriman kristiani, terutama yang miskin, juga tanpa menerima stips”. Kerap kita mendengar keluhan umat bahwa ada imam yang tidak rela melayani umat tertentu karena secara ekonomis kelihatan tidak mampu memberi stipendium. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat hidup seorang imam yang dipanggil oleh Tuhan menjadi imam untuk melayani umat-Nya.
Kitab hukum kanonik juga menyatakan larangan imam menuntut umatnya dalam hal stipendium dalam pelayanan kepada umat secara tegas dinyatakan dalam kan. 848: “Pelayan sakramen tidak boleh menuntut apa-apa bagi pelayanannya selain persembahan (oblationes) yang telah ditetapkan oleh otoritas yang berwenang, tetapi selalu harus dijaga agar orang yang miskin jangan sampai tidak mendapat bantuan sakramen-sakramen karena kemiskinannya”.
Tujuan orang memberi derma dalam bentuk stipendium adalah bagi kesejahteraan Gereja dan penghidupan para pelayannya. Selain itu, umat diajak untuk bertanggungjawab secara ekonomis atas perkembangan hidup Gereja dan para pelayanannya. Kanon 946 menyatakan: “Umat beriman kristiani, dengan menghaturkan stips agar misa diaplikasikan bagi intensinya, membantu kesejahteraan Gereja dan dengan persembahan itu berpartisipasi dalam usaha Gereja mendukung para pelayan dan karyanya”.
Norma-norma dasar
1. Menjauhkan segala bentuk perdagangan stipendium misa
Tidak jarang penerimaan stips atau iura stolae disalahgunakan oleh imam untuk diperdagangkan. Maka kodeks melarang tindakan imam yang dengan sengaja melakukan perdagangan Misa untuk mencari stips. Dengan kata lain imam itu kemana-mana merayakan Misa untuk mendapatkan uang. Pelarangan tersebut didasarkan pada kanon 947 menegaskan: “Hendaknya dijauhkan sama sekali segala kesan perdagangan atau jual beli stips Misa”. Dengan pernyataan itu kodeks mau menegaskan bahwa umat beriman agar tetap menaruh hormat pada ekaristi sebagai tindakan ilahi dan memandangnya sebagai hadiah cuma-cuma dari Allah. Apa yang diberikan secara cuma-cuma hendaknya dikembalikan dengan cuma-cuma. Dengan demikian derma atau stips misa harus dianggap sebagai persembahan bebas dari umat beriman.
Perdagangan stipendium misa bisa diartikan dalam berbagai tindakan seperti:
merayakan misa kalau ada stipendium,
menghimpun sekian banyak stipendium dalam satu misa,
menugaskan imam lain mengaplikasikan misa bagi stipendium di bawah standar tertentu,
menolak permintaan orang miskin yang tidak bisa memberikan stipendium.
Sehubungan dengan permohonan misa tanpa stipendium oleh orang miskin, imam hendaknya memperhatikan isi kodeks kanon 945, § 2 yang menetapkan: “Sangat dianjurkan agar para imam merayakan misa untuk intensi umat beriman kristiani terutama orang miskin, juga tanpa stips”.
2. Jumlah misa dan stipendium
Untuk memahami norma tentang jumlah misa dan stipendium maka kita merujuk pada kanon 948 yang menyatakan: “Jika untuk masing-masing intensi telah dipersembahkan dan diterima stips, meksipun kecil, maka misa harus diaplikasikan masing-masing untuk intensi mereka”.
Kanon ini merupakan prinsip dasar bahwa jumlah misa yang dipersembahkan harus selaras dengan jumlah stipendium yang diterima. Norma kanon tersebut tidak mengijinkan akumulasi banyak persembahan dan melarang setiap imam menitipkan satu intensi lain. Sebagai contoh: penderma memberikan uang Rp. 100.000,- untuk 10 kali misa maka misa dengan ujud itu harus dipersembahkan sesuai dengan permintaan yakni misa sebanyak 10 kali. Setiap hari minggu imam (Pastor Paroki) wajib mempersebahkan misa pro popolo (misa untuk umat di Paroki). Pada saat itu tanpa alasan yang jelas imam tersebut tidak boleh mengaplikasikan intensi misa yang kedua dan ketiga.
3. Kewajiban mengaplikasikan misa
Kan 949, KHK 1983 menyatakan bahwa : “Yang terbebani kewajiban merayakan misa dan menghaplikasikannya bagi intensi mereka yang telah memberikan stips tetap terikat kewajiban itu meskipun tanpa kesalahannya stips yang di terima itu hilang”. Kanon ini menggarsibawahi kewajiban seorang imam merayakan misa kalau dia belum mengaplikasikan misa bagi stipendium yang telah diterima. Jika stipendium itu hilang karena kecurian atau kebakaran maka imam tetap terikat kewajiban mengaplikasikan Misa. Sedangkan imam yang berada dalam kesulitan fisik dan moril memenuhi kewajiban tersebut, hendaknya mengirimkan seluruh stipendium kepada rekan imam lain untuk merayakan misa, atau kepada Ordinaris setempat yang bisa mengaplikasikan bagi ujud tersebut. Seorang imam yang telah menerima pesan misa tidak diperkenankan mengembalikan uang stips kepada pendermanya. Dia harus mengaplikasikan misa bagi ujud dari penderma itu.
4. Penentuan jumlah misa
Kodeks menetapkan tentang penentuan jumlah misa dalam kanon 950: “Jika sejumlah uang dipersembahkan untuk aplikasi misa tanpa disebut jumlah misa yang harus dirayakan, jumlah ini diperhitungkan menurut ketentuan hal stips di tempat, dimana pemberi persembahan bertempat tinggal, kecuali maskudnya harus diandaikan lain secara legitim”. Sebagai prinsip dasar jumlah misa yang dirayakan mengikuti ketentuan stipendium dari keuskupan setempat dimana imam berkarya (misalnya Keuskupan Denpasar menetapkan 1 kali misa stips sebesar Rp. 20.000,-).
5. Stipendium yang dapat menjadi milik imam
Larangan untuk mengambil stips misa lebih dari satu setiap hari adalah suatu disiplin tua yang bertujuan mencegah setiap bentuk kerakusan klerikal. Tentang hal itu kodeks menentukan norma sebagai berikut:
Kanon 951 § 1: “Imam yang pada hari yang sama merayakan beberapa misa, dapat mengaplikasikan setiap misa bagi intensi untuk stips dipersembahkan, tetapi dengan ketentuan bahwa kecuali pada hari raya Natal, hanya satu stips. Misa boleh menjadi miliknya sedang yang lain diperuntukkan bagi tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh Ordinaris, dengan tetap dizinkan sekadar retribusi atas dasar ekstrinsik.
§ 2: Imam yang pada hari yang sama berkonselebrasi misa kedua, tidak boleh menerima stips untuk itu atas dasar apapun”.
Dari pernyataan di atas kan 951, § 1, menunjukkan bahwa:
seorang imam karena tuntutan pastoral dalam sehari dapat merayakan lenih dari satu misa untuk intensi/ujud yang berbeda, namun hanya satu stips yang boleh menjadi miliknya. Sedangkan yang lainnya harus dengan jujur diserahkan untuk kepentingan gereja lainnya misalnya kepentingan seminari, karya karitatif, DHT dll.
jika pada hari raya Natal seorang imam merayakan tiga misa dengan tiga ujud yang berbeda maka ketiga stips tersebut menjadi miliknya.
Sedangkan pada kan 951, § 2 : melarang imam menerima stips kalau pada hari yang sama dia ikut konselebrasi misa kedua. Pernyataan ini mengandung dua konsekuensi:
Seorang imam dizinkan menerima stips kalau misa konselebrasi itu adalah satu-satunya misa yang dirayakan pada hari itu. Ia tidak berhak menerima stips kalau ia ikut konselebrasi lagi pada misa berikutnya.
Kalau pada misa konselebrasi seorang imam menjadi konselebran utama dan kemudian pada hari yang sama dia merayakan satu kali misa lagi, maka imam tersebut boleh menerima stips untuk setiap misa kendati cuma satu stips untuk dirinya dan yang lain dipergunakan untuk maksud yang ditetapkan oleh Ordinaris. Contoh: Imam A pada hari yang sama mengaplikasikan dua/tiga misa untuk ujud yang berbeda. Maka imam A hanya berhak mendapat satu stips, sedangkan yang lainnya diperuntukkan bagi kepentingan paroki atau seturut petunjuk Ordinaris setempat.
Norma-norma yang melengkapi
1. Siapa yang berwenang menentukan jumlah stips?
Kanon 952,
§ 1: Konsili provinsi atau pertemuan para uskup se-provinsi berwenang menentukan lewat dekret bagi seluruh provinsi, besarnya stips yang harus dipersembahkan untuk perayaan dan aplikasi misa dan imam tidak boleh menuntut jumlah yang lebih besar; tetapi ia boleh menerima stips lebih besar yang dipersembahkan secara sukarela dari pada yang ditetapkan untuk aplikasi misa, juga stips yang lebih kecil.
§ 2: Jika tidak ada dekret semacam itu, hendaknya ditaati kebiasaan yang berlaku di keuskupan.
§ 3: Jika anggota-anggota tarekat religius manapun harus taat pada dekret tersebut atau kebiasaan setempat yang disebut dalam § 1 dan § 2.
Apa maksud dari kanon ini? Kanon 952 menetapkan tiga hal berikut ini:
Otoritas yang berkompeten menentukan jumlah stips misa adalah para uskup dalam satu provinsi gerejawi. Mereka menetapkan hal itu dalam pertemuan para uskup (konsili provinsi atau pertemuan pastoral). Hasil pertemuan itu dikeluarkan dalam bentuk dekret yang bersifat bagi semua keuskupan dan provinsi tersebut,
Apabila penetapan bersama itu tidak ada, maka Uskup diosesan berwenang membuat ketetapan sendiri yang hanya mengikat warga keuskupannya dan para imam hendaknya mentaati ketetapan itu,
Para imam tidak diperkenankan meminta jumlah stips yang lebih besar dari ketetapan umum dan menolak menerima stips yang jumlahnya kecil.
Namun mereka tidak dilarang menerima stips yang jumlahnya lebih besar yang diberikan secara spontan dan sukarela. Dalam situasi pastoral tertentu dan luar biasa, pastor paroki bisa menetapkan jumlah stips yang lebih besar, tetapi sangat jarang karena harus dikonsultasikan dengan Uskup dan umat terkait.
2. Tidak mampu menyelesaikan kewajiban misa dan norma mengalihkannya kepada orang lain
Perihal ketidakmampuan seorang imam menyelesaikan sejumlah intensi misa yang harus dirayakan dalam setahun, kodeks memberikan rambu-rambu normatif sebagaimana tertulis dalam kanon 953: “Tak seorang pun boleh menerima sekian banyak stips Misa untuk diaplikasikan sendiri, yang tidak dapat ia selesaikan dalam satu tahun”. Demikian juga kodeks memberikan norma pelengkap dalam hal mengalihakan kewajibannya kepada imam lain. Jalan keluar bagi imam yang tidak mampu memenuhi kewajibannya maka ada dua kemungkinan yang dapat ditempuh. Pertama, dia tidak boleh menerima stips baru sampai beban misa setahun belum terpenuhi. Kedua, imam bersangkutan boleh mentransfer seluruh stips kepada imam lain yang dikenal dan dipercaya (bdk. Kan. 955, § 1: “Yang bermaksud menyerahkannya kepada orang lain perayaan misa yang harus diaplikasikan, hendaknya segera menyerahkannya kepada imam-imam yang dapat diterimanya, asal ia merasa pasti bahwa mereka itu dapat dipercaya; seluruh stips yang telah diterima harus diserahkan, kecuali nyata dengan pasti bahwa kelebihan diatas jumlah uang yang ditetapkan dalam keuskupan itu diberikan atas dasar pribadinya; ia juga wajib mengusahakan perayaan misa-misa itu sampai ia menerima kesaksian mengenai kesanggupan serta stips yang sudah diterima”). Kalau imam tersebut berhalangan maka beban misa harus diserahkan kepada Ordinaris (bdk. Kan. 956).
3. Tempat dan waktu perayaan
Kanon 954, memberi norma pelengkap tentang tempat dan waktu perayaan. Prinsip dasarnya adalah setiap imam harus menghormati keinginan penderma. Jika penderma tidak menentukan tempat perayaan maka imam yang menerima stips bisa mengaplikasikan misa di Gereja atau tempat ibadat yang disukainya.
4. Waktu perayaan
Perihal waktu mengaplikasikan misa, menurut kanon 955, § 2 harus dihitung dari hari menerima stips. Jadi misa harus dipersembahkan dihitung sejak hari imam menerima kesanggupan akan mempersembahkannya. Menurut kanon 202, § 1 yang dimaksud dengan hari dimengerti sebagai jangka waktu yang terdiri dari duapuluh empat jam dihitung terus menerus mulai dari tengah malam kecuali dengan jelas ditentukan lain.
Penutup
Uang sangat dibutuhkan oleh kita semua termasuk Gereja, karena dengan memiliki uang kegiatan dapat berjalan dan sarana pendukung dapat terbangun bagi kelancaran karya pastoral. Tapi uang juga dapat menimbulkan konflik, jika tidak diatur dengan baik. Maka hal pengaturan uang menyangkut stips (stipendium) dan iura stolae dalam hubungannya dengan liturgi, telah diatur dalam kitab hukum kanonik 1983, dengan tujuan tidak terjadi penyalahgunaan dan demi kebaikan publik. Untuk itu wajib bagi seorang imam jika menerima sejumlah stips dari penderma: membuat catatan pribadi, hendaknya di setiap paroki tersedia buku stipendium paroki dan pihak otoritas yang berwenang (Ordinaris) mengawasi beban misa yang telah dilaksanakan (bdk. Kan. 958, § 2) dengan memeriksa buku tersebut. Semoga tulisan sederhana ini memperluas wawasan dan pengetahuan kita tentang stips dan iura stoale dalam kaitannya dengan liturgi ekaristi (misa).
Sumber bacaan:
Seri Kuria keuskupan Denpasar, Apakah pastor tukang nagih stipendium misa? No. 13/Nop. 2005.
CODEX IURUS CANONICI, Pii V Pontificis Maximi iussu digestus, Benedicti Papae XV Actoritate Pomulgatus, Romae, Typis Polyglottis Vaticanis, 1917, AAS, 9 (1917-II), 5-5521.
CODEX IURUS CANONICI, Auctoritate Ioannis Pauli PP. II promulgatus, AAS, 75 (1983-II), 1-318.
Nuovo Dizionario di Diritto Canonico, a Cura di Carlos Salvador, Velasio De Paolis, Gianfranco Ghirlanda, Edizione San Paolo, Torino 1993.
Harmoko yth,
Paroki sebenarnya sebuah realitas institusi publik (sipil) yang bersifat rohani. Karena paroki merupakan komunitas umat beriman kristiani yang berada di masyarakat. Maka pendirian paroki diakui bukan saja oleh Gereja Lokal (Keuskupan) melainkan juga secara sipil di depan publik sebagai badan hukum yang berhak memiliki harta benda, mengelola, mengalihkan, membeli seluruh aset harta benda bergerak maupun tidak bergerak (bdk Kan 1280-1284, 515). Jadi sebuah persekutuan/komunitas beriman yang di bawah pelayanan seorang pastor menjadi sebuah paroki dengan sendirinya harus mandiri. Mandiri dalam hal pelayanan rohani oleh pastor paroki dengan rekannya, mandiri secara ekonomi, mandiri karena jumlah dan kehadiran umat beriman yang tetap (stabil) dengan teritorial yang jelas. Itulah dasarnya. Dasar yuridis dan teologisnya ada di dalam Lumen Gentium dan KHK 1983. Umat yang berada di wilayah paroki memiliki kewajiban berpartisipasi aktif terlibat dalam kegiatan paroki (mandiri). Entah dengan 3T-nya atau menurut saya dengan WTR-nya: waktu, talenta karunia/ketrampilan umat dan rejeki yang dipersembahkan pada Gereja.
salam
Rm Wanta
Shalom Andreas,
Stewardship menurut Dictionary.com, artinya adalah:
1. the position and duties of a steward, a person who acts as the surrogate of another or others, especially by managing property, financial affairs, an estate, etc.
2. the responsible overseeing and protection of something considered worth caring for and preserving: New regulatory changes will result in better stewardship of lands that are crucial for open space and wildlife habitat.
Sehingga kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia, artinya adalah ‘pengelolaan’. Kita semua dipercaya oleh Tuhan sebagai pengelola talenta yang dikaruniakan-Nya kepada kita, entah waktu, bakat maupun rejeki. Dasar biblisnya adalah perumpamaan tentang talenta (Mat 25:14-30) ataupun uang mina (Luk 19:12-27); dan juga bahwa kita akan dimintai pertanggungjawaban atas segala yang dipercayakan kepada kita (lih. Luk 12:48).
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Andreas,
Sebagai umat Katolik, kita berkewajiban menyumbang untuk kebutuhan material Gereja, hal ini diajarkan dalam Katekismus dan Kitab Hukum Kanonik:
KGK 2043 Perintah kelima… Umat beriman juga berkewajiban menyumbangkan untuk kebutuhan material Gereja sesuai dengan kemampuannya (bdk. KHK Kan. 222)
KHK Kan 222
§ 1 Kaum beriman kristiani terikat kewajiban untuk membantu memenuhi kebutuhan Gereja, agar tersedia baginya yang perlu untuk ibadat ilahi, karya kerasulan dan amal-kasih serta sustentasi yang wajar para pelayan.
§ 2 Mereka juga terikat kewajiban untuk memajukan keadilan sosial dan juga, mengingat perintah Tuhan, membantu orang-orang miskin dengan penghasilannya sendiri.
Kan 1260 Gereja mempunyai hak asli untuk menuntut dari umat beriman kristiani apa yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuannya yang khas. (The Church has an innate right to require from the Christian faithful those things which are necessary for the purposes proper to it.)
Kan 1262 Umat beriman hendaknya mendukung Gereja dengan bantuan-bantuan yang diminta dan menurut norma-norma yang dikeluarkan oleh Konferensi para Uskup.
Sedangkan dasar biblis (Kitab Suci) dari persembahan ini adalah, ajaran bahwa Gereja terdiri dari banyak anggota tetapi satu Tubuh (lih. 1 Kor 12:12-31), yaitu satu Tubuh Kristus, maka setiap anggota harus saling memperhatikan satu sama lain dalam kesatuan dengan Kristus. Sebab sebagai sesama anggota Kristus kita harus saling tolong menolong dalam menanggung beban (lih. Gal 6:2). Artinya, anggota yang kuat selayaknya menopang yang lemah. Rasul Paulus mengajarkan bahwa sebagai anggota jemaat, kita harus memberi dari hasil pekerjaan kita, yaitu “Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” (Kis 20:35). Demikianlah, Rasul Paulus berterima kasih kepada jemaat di Filipi yang dengan murah hati memberi, menyumbang untuk pengabaran Injil (lih. Flp 4:10-20).
Dengan ketentuan ini, maka sesungguhnya adalah hak Gereja, jika memang kebutuhan mensyaratkan, untuk meminta sumbangan kepada umat. Namun memang perlu didiskusikan dengan imam dan dewan paroki tersebut tentang detail dan teknis pelaksanaannya, agar dapat disetujui oleh Uskup, namun tidak membebani umat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
maaf sebelumnya,sbg umat Katolik sy kecewa, rupanya penilaian sy terhadap Pastor terlalu tinggi, dlm segi materi rupanya para imam sama saja dgn para pendeta, sekali lg maaf atas kekecewaan sy
Ekaristi adalah pemberian diri Kristus seutuhnya bagi umat manusia secara cuma cuma, maka sangat tdk cocok unsur uang msk dlm perayaan Ekaristi, karena jk msh melekat dgn unsur uang Ekaristi bisa kehilangan makna yg merupakan pemberian GRATIS dari Tuhan. Gereja sdh berhasil menjauhkan unsur uang dr sakramen Tobat & Minyak suci, kini saatnya Gereja menjauhkan unsur uang dr Sakramen Ekaristi ,terutama melalui praktek pemberian stipedium dan uang untuk intensi misa.” Stipedium & uang intensi Misa bukanlah satu” nya sumber penghidupan para Pastor. Tanpa dua hal itu ,Pastor tak akan mati kelaparan,jadi,jgn takut” tegas Pastor Marini.( tulisan ini adalah kutipan wawancara majalah Hidup dgn Pastor Marini Fransesco SX, tahbisan Imam pd 18-10-1965 di Parma ,Italia, beliau pernah menjabat Superior Jenderal SX periode 1989-2001, Beliau jg pernah mengajardi STF Driyakara Jakarta. “Org hrs rugi dlm mewartakan injil, jika beruntung perlu dipertanyakan maksud pewartaannya, segala sesuatu memang sedang diperdagangkan, tetapi jangan dgn Iman ! ” tegasnya.(hidup 7-4-2013 edsi 14. Romo memang manusia , tetapi beliau ” sdh melepaskan “sebagian” kemanusiannya begitu mereka menerima Imamatnya, ingat Yesus jg manusia tetapi dia jg Tuhan. Jadi bila Pastor merasa lebih besar kemanusiaannya mereka tdk layak mengampuni dosa manusia(krn mereka jg manusia).gbu
Shalom Kent,
Sebenarnya kita tidak perlu kecewa dengan para pastor bahkan kita harus bangga bahwa Gereja Katolik mempunyai pastor-pastor yang sungguh memberikan diri mereka sepenuhnya kepada Tuhan dan Gereja. Pastor tidak akan menjadi kaya dengan menerima stipendium. Di Singapore stipendium berkisar S$ 20, di Amerika sekitar US$ 10, di Indonesia daerah Bali sekitar Rp 20,000. Dalam peraturan seorang Romo hanya dapat menerima 1 stipendium setiap hari, kecuali hari Natal. Jadi, silakan menghitung sendiri total stipendium yang didapatkan seorang pastor dengan merayakan perayaan Ekaristi. Stipendium bukannya membayar Ekaristi namun, memberikan apa yang memang menjadi bagian dari seorang pastor. Dalam Perjanjian Lama, para imam juga mendapatkan bagian dari kurban bakaran. Silakan melihat kitab Imamat. Jadi, sesungguhnya seorang pastor, secara materi tidak dapat dibandingkan dengan seorang pendeta. Apalagi seorang pastor tidak mempunyai istri dan anak, sehingga pengeluarannya sesungguhnya sangat minimal. Mari kita menempatkan segala sesuatu secara proporsional.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear katolisitas
sy ingn melakukan silih jg sekaligus menolong sodara2 sy dg srg intensi misa utk pembebasan jiwa di api penyucian.sy prnh 2x meminta bantuan intensi misa tp untuk pembebasan jiwa2 di api penyucian.intensi pertama sy tdk disebutkn diawal misa spti yg lain,misalnya ‘intensi misa kali ini utk arwah x ato ucpn syukur/ulg tahun dll…’tdk ada tp saat konsekrasi mmg disebutkn tp koq berubah jd api pencucian?
kmd yg ke-2,utk intensi yg sama,diawal jg tdk disebutkn cm begini ‘intensi misa kali ini utk…(hening)kita doakn intensi kita masing2,saat konsekrasipun tdk diucpkn intensi misa sy.
pertanyaan saya
1.salah pengucapan api penyucian(mjd api pencucian) apkh intesi sy diterima?
2.intensi yg ke-2 sy g disebutkn,apkh jg msh diterima Tuhan walo tdk disebutkn?
3.apkh intensi misa hrs umum spti yg lain,misal utk arwah x ato ucpn syukur?ap utk pembebasan jiwa di api penyucian tdk diperbolehkn?(pdhl sy jg berniat intesi misa utk pertobatan org berdosa)
4.apa mungkin para romo ada yg tdk mengetahui ttg api penyucian krn saat menyerahkn dn kmd dibaca romo,ekspresinya romo spti bingung.
tp walopun tdk dibacakn,sy akn ttp melakukan intensi misa utk pembebasan jiwa di api penyucian krn sy yakin Tuhan mengetahui niat sy.
terima kasih
Shalom Maria,
Sementara menunggu jawaban Rm Boli, berikut ini saya sampaikan tanggapan tentang pertanyaan Anda. Jika nanti jawaban Romo Boli berbeda dengan jawaban ini, silakan mengacu kepada jawaban Rm Boli, sebab beliaulah yang ahli dalam hal ini.
Pertama-tama perlu kita sadari bersama bahwa Tuhan adalah Allah yang Maha Tahu, Ia memahami segala sesuatu, termasuk segala intensi permohonan yang ada dalam hati kita. Maka Allah tetap dapat menerima meskipun ada ketidaksempurnaan pengucapan nama ataupun istilah tertentu dalam doa-doa kita. Menurut Fr. Edward McNamara, profesor liturgi di universitas Regina Apostolorum, Roma, tidak ada persyaratan untuk menyebutkan intensi Misa Kudus (silakan membaca teks selengkapnya di link ini, silakan klik). Namun demikian, jika orang/ anggota keluarga yang memohon mengharapkan agar intensinya disebutkan, maka adalah baik jika imam selebran menyebutkan nama orang yang untuknya Misa dipersembahkan, seperti pada bagian awal Misa atau sebagai intensi doa umat. Nama orang yang didoakan ini tidak untuk disebut pada Doa Syukur Agung, kekecualian hanya pada Misa Arwah, Misa pada hari kematian dan peringatan hari kematian.
Atas prinsip ini berikut ini adalah tanggapan kami:
1. Tuhan telah mengetahui intensi Misa yang diajukan oleh pemohon, maka intensi tidak menjadi batal ataupun mubazir, jika ada salah pengucapan, misalnya ‘Api Penyucian’ disebutkan sebagai ‘Api Pencucian’. Allah memahami maksud sesungguhnya dari si pemohon.
2. Intensi Misa yang tidak diucapkan oleh Imam tetap diterima oleh Tuhan.
3. Intensi Misa dapat merupakan doa-doa untuk keselamatan arwah, doa syukur, maupun doa permohonan lainnya. Maka dapat saja jika Anda mengajukan intensi doa untuk pertobatan orang berdosa, hanya saja untuk alasan etika, adalah lebih bijaksana untuk tidak mengumumkan secara publik nama orang tersebut, agar tidak mencemarkan nama orang yang bersangkutan. Intensi Misa dapat ditujukan untuk siapapun (yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal), namun istilah “Misa dipersembahkan untuk ….” umumnya berkaitan dengan Misa arwah.
Sejujurnya, kita tidak mengetahui dengan pasti apakah seseorang yang sudah wafat yang ingin kita doakan itu berada di Api Penyucian, Surga atau neraka. Oleh karena itu umumnya istilah yang digunakan adalah “mendoakan keselamatan jiwa/ istirahat kekal bagi Sdr/i ….. (nama)”. Kita menerima dengan kerendahan hati, bahwa Tuhanlah yang akan memutuskan dengan adil tentang tujuan akhir hidup seseorang; apakah ia akan masuk Surga atau neraka, atau jika ia perlu dimurnikan terlebih dahulu dalam Api Penyucian. Maka hal pembebasan jiwa-jiwa dari Api Penyucian adalah sepenuhnya hak Tuhan, berdasarkan keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Kita dapat memohon keselamatan kekal kepada jiwa-jiwa yang telah mendahului kita, namun pada akhirnya Tuhan-lah yang memutuskan tentang hal itu.
4. Nampaknya jika Romo menunjukkan ekspresi ‘bingung’ terhadap intensi Anda (yaitu pembebasan jiwa-jiwa (atau jika Anda menyebut namanya) di Api Penyucian), itu adalah karena memang penulisan intensi sedemikian tidak umum. Jadi bukan berarti bahwa Romo tidak tahu tentang adanya Api Penyucian. Ekspresi Romo tersebut kemungkinan berkaitan dengan fakta: 1) Walaupun memang kita berharap bahwa para kerabat kita yang wafat, setidak-tidaknya masuk Api Penyucian (jika dipandang oleh Tuhan, mereka belum sempurna untuk masuk Surga), namun ada baiknya kita tidak menyebutkan seolah-olah kita tahu persis bahwa mereka itu sekarang ada di Api Penyucian. Maka sebaiknya yang kita sebut adalah “mohon istirahat kekal/ keselamatan kekal” pada Sdr/i….. ” 2) Jika Imam tidak menyebutkan lagi intensi mendoakan jiwa-jiwa di Api Penyucian (jika Anda mengajukan secara umum, tanpa nama), itu disebabkan karena tanpa dimintakan secara khusus, Gereja sudah selalu mendoakan jiwa-jiwa yang di Api Penyucian, sebagaimana sudah disebutkan dalam Doa Syukur Agung, yaitu mendoakan semua orang yang telah mendahului kita/ yang telah meninggal dunia. Jiwa-jiwa yang masih dapat didoakan setelah meninggal dunia adalah jiwa-jiwa yang berada di Api Penyucian, sebab mereka yang sudah berada di Surga tidak membutuhkan doa-doa kita, sedangkan yang berada di neraka, tidak dapat lagi didoakan.
Mendoakan jiwa-jiwa di Api Penyucian adalah sesuatu yang baik, dan oleh karena itu Anda tentu tetap dapat melakukannya, baik dalam Misa Kudus maupun dalam doa-doa pribadi. Tidak mengapa jika intensi Anda tersebut tidak secara khusus disebutkan dalam Misa, sebab secara umum sudah didoakan dalam Misa tersebut, dan Tuhan pasti mendengarkannya dan mengabulkannya pada waktu-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Salam, Maria,
sebelum Vatikan II biasanya imam sendiri mengetahui dalam hati intensi Misa dan tidak mengucapkannya secara lantang. Sesudah Vatikan II ada kecenderungan untuk mengucapkannya secara lantang agar dapat diketahui umat dan turut mendoakannya. Hanya saya belum menemukan satu pedoman yang mengharuskannya. Dari pengalamanku sebagai imam, ada juga intensi yang kuucapkan dalam hati saja dan saya yakin Tuhan mendengarkannya. Bila ada intensi yang bertentangan dengan ajaran Gereja, imam tidak boleh mendoakannya, misalnya berdoa dengan isi kutukan bagi orang lain. Sampai sekarang Gereja masih mengajarkan bahwa ada tempat penantian (tempat penyucian) dan manusia yang masih hidup bisa mendoakan arwah yang masih menantikan kebahagiaan kekal itu. Imam pemimpin Ekaristi yang mempunyai pandangan teologis tertentu yang membimbangkan adanya tempat penyucian, tidak dapat begitu saja menerapkan pandangannya itu dalam Ekaristi dengan mendiamkan (tidak mendoakan) intensi umat bagi arwah di tempat penyucian. Dalam perayaan Ekaristi, imam diminta untuk mengikuti panndangan Gereja (sentire cum Ecclesia) dan bukan mengikuti pandangannya sendiri yang bertentangan dengan pandangan Gereja.
Tks dan doa. Gbu.
Rm Boli.
syalommm..
“mohon bantuannya.. besok saya dpat jadwal membawakan ibadat sabda dalam sebuah pertemuan komunitas mahasiswa. saya berencana membawakan materi “keuangan Gereja katolik”. mohon bantuan info nya tentang :
1. kolekte tiap minggu (berapa untuk paroki, ke keuskupan, vatikan)
2. iuara stola, Stipendium (apakah untuk pastor atau ke paroki)
trimakasih
[dari katolisitas: Silakan melihat artikel ini – silakan klik]
Innocentius Yth
Kolekte hari raya tertentu seperti Minggu Panggilan semuanya untuk Vatikan, kolekte hari Minggu biasa untuk paroki, namun ada ketentuan 10 persen ke keuskupan, ada juga yang 5 persen saja. Iura stolae untuk pastor yang bersangkutan namun diberikan ke kas pastoran untuk biaya hidup (living cost para pastor)
salam
Rm Wanta
Shalom Katolisitas,
Dalam perayaan ekaristi saya selalu dengar beberapa istilah seperti iure stolae, stipendium dan intensi. Saya mau tahu apa perbedaan antara iure stolae, stipendium dan intensi.
Sekian dan terima kasih!
[dari katolisitas: Silakan membaca artikel di atas – silakan klik]
Terima kasih Romo, walaupun jawaban Romo belum terlalu memuaskan. Saya melihat keganjilan dari jawaban Romo karena seharusnya KHK juga mempunyai teori manakala hal-hal yang seharusnya dibuat, tetapi dalam praktek tidak dibuat, karena posisi KHK merupakan yang tertinggi (untuk seluruh gereja di dunia), sedangkan ordinaris wilayah di bawahnya (apakah cara berpikir saya salah?) saya mencoba melihat posisi KHK seperti Undang-undang dasar, lalu di bawahnya ada undang-undang daerah, atau peraturan pemerintah, dan sebagainya. Kalau KHK tidak mempunyai teori mengenai sanksi, sepertinya mustahil ordinaris wilayah akan membuat sanksi karena tidak memiliki landasan teori. Salam dan terima kasih
Feliz Yth
Pemikiran anda tidak sama dengan para penulis KHK 1983. Tidak perlu semua hal yang kecil diatur dalam KHK. Uskup memiliki kewenangan membuat aturan dan hukum partikular sendiri untuk keuskupannya sesuai kewenangannya. Mengatur membuat pedoman pengelolaan keuangan dan pengaturan harta benda gereja. KHK mengatur yg universal. Jadi soal aturan penggunaan stips/iurae stolae diserahkan pada para uskup diosesan untuk gereja lokalnya masing-masing. Harap maklum
salam
Rm Wanta
Terima kasih romo atas jawabannya, saya akan mencoba memaklumi dan saya semakin mengerti mengapa Tuhan Yesus dahulu sering mengkritik para ahli kitab dan para pejabat agama Yahudi yang begitu taat dengan hukum Yahudi tetapi seringkali memberi beban berat kepada umatnya dan lebih jelek lagi mereka sendiri berlindung dalam hukum. Selama hukum tidak mengatur, berarti tidak bisa disalahkan. Tetapi Tuhan yang mahabesar itu mengetahui segalanya.
salam
setelah membaca tnya jwb diatas, sy agak se7 dg sdr Feliz ttg rawannya stips krn di daerah sy, smg, umat yg mengadakan ibadat lingkungan dn mendtgkn pastor PASTIlah seorg yg mampu krn mampu memberi uang saku ato segala fasilitasnya. Jadi menurut dr pengalaman di daerah sy, kehadiran seorg Pastor adl hal istimewa tp sy tdk ingin mempermasalahkn hal tsb krn apa yg dilakukan oleh seorang pastor baik maupun buruk adl tanggung jwb org tsb dg Tuhan krn tentunya pastor lbh mengerti ttg baik dn buruk. Jika sy ingin intensi misa utk arwah ayah dn nenek sy, bagaimana crnya? Apakah amplopnya diserahkan langsung ke romo ato melalui pengurus gereja? Kira2 minimnya brp y? Krn sy tdk tau maka sy asumsikan 20rb. Jujur, bagi sy itu bkn minim tp krn sy ingin ayah dn nenek sy damai dn bhgia mk sy mulai nabung dr sedikit. Klo mw ujud misanya utk jiwa2 di api penyucian bisa g? Krn yg sy tau intensi misa mencantumkn nm, apa bisa klo tdk tnpa nm tp diglobal spti jiwa2 di api penyucian? Terima kasih
Maria dan Feliz yth
KHK 1983 adalah Undang Undang universal Gereja, buku VI bicara tentang Hukum Acara Pidana, jadi ada sangsi bagi siapa saja yang melanggar hukum. Uskup selaku wakil rasul Kristus dengan kewenangannya dapat membuat dan memberlakukan Hukum partikular yang tidak bertentangan dengan hukum universal, bahkan Konferensi Uskup dapat membuat Hukum nasional bagi umat -Nya. Soal Stips Konferensi dan Uskup Diosesan dapat mengaturnya secara detil dengan merujuk KHK 1983. Gereja Katolik Indonesia belum memiliki peraturan tentang hal ini secara nasional, tetapi Uskup masing masing sudah ada yang memiliki. Mohon maaf jangan berpikir negatif terhadap Imam dan Uskup seperti yang anda katakan seperti para ahli taurat atau orang farisi, yang pandai membuat hukum dan memberikan beban pada umat. Saya kurang setuju akan pernyataan anda. Jelas saya katakan ada aturan dan sangsi. Anda katakan mustahil Ordinaris membuat sangsi tidak benar. Landasannya ada buku VI,KHK 1983. Pedoman Hidup Imam KWI 2010. Jika ada kasus imam yang salah menggunakan stips silakan disampaikan pada pihak yang berwenang.
Stips adalah sumbangan sukarela umat (stips: derma pendare:membayar derma). Jadi boleh saja Rp. 20.000.- Mau diberikan langsung lebih baik, kalau lewat pengurus Gereja juga baik asalkan nanti disampaikan kepada romo yang memimpin misa arwah. Dalam aturan dan kebiasaan pastoran ada buku stips yang diisi oleh rama yang merayakan misa. Jadi terkontrol, ingat Feliz dan Maria dan siapa saja yang membaca komentar ini, imam dilarang memperbanyak intensi untuk dapat stips dengan mencari sejumlah stips demi kepentingan diri. Misa diperuntukan umat bukan diperdagangkan demikian umat jangan memberi iming-iming sehingga membuat imam lupa akan kewajiban dan tanggungjawabnya dalam mempersembahkan misa. Dalam meminta intensi misa tidak perlu mencantumkan nama anda kecuali nama yang didoakan baik untuk arwah maupun yang masih hidup. Jadi silakan menulis nama jiwa yang akan didoakan dalam misa dan persembahan bebas mau berapa silakan. Norma hukum besaran stips ditentukan oleh Uskup setempat atau nasional oleh Konferensi para uskup.
Semoga anda memahami. Terimakasih.
salam
Rm Wanta
Yth. Romo Wanta
apakah hukum gereja juga mengatur sanksi jika ada pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh seorang imam berkenaan dengan penyalahgunaan stipendium? Terima kasih atas infonya
Gust yth
Pelanggaran atas penyalahgunaan stipendium tidak diatur khusus dalam KHK yang mengatur secara universal. Aturan penggunaan dan sanksi bagi penyalahgunaan stipendium dapat diatur dalam aturan keuskupan (lex specialis) dimana Uskup berhak untuk mengatur penggunaan stips.
salam
Rm Wanta
terima kasih romo, atas infonya
Maaf Romo, saya mau bertanya lagi. Saya belajar tentang sumber daya manusia, di sana ada istilah compensasi dan benefit. Menurut saya, stipendium adalah bagian dari compensasi dan benefit walaupun hukum gereja sudah memberi arti baru supaya tidak menonjolkan segi materinya, tetapi hakikatnya tetap sama sebagai balas jasa. Dahulu para imam tugasnya benar-benar hanya melayani umat sehingga dia hidup dari pemberian umat atau stipendium, iura stolae, tetapi ketika organisasi gereja sudah lebih baik, maka dibuat uang saku dan stipendium dianggap sebagai tambahan (apakah cara berpikir ini benar Romo?) Di zaman sekarang para imam pun bekerja di lembaga-lembaga seperti sekolah, rumah sakit, atau organisasi sosial lainnya. Apakah hukum gereja juga mengatur itu semua? Bagaimana dengan para pengurus paroki yang awam? Apakah hukum gereja juga mengatur compensasi dan benefit bagi para pelayan tersebut? Ataukah mereka harus benar-benar melayani tanpa imbalan? Sejauh saya tahu para pengurus paroki tidak mendapat imbalan apapun bahkan uang transportpun tidak. Mohon pencerahannya Romo supaya saya mendapat cara berpikir yang benar dan bisa membantu mengingatkan manakala ada hal yang kurang baik dalam sebuah paroki atau organisasi gereja. Mohon maaf kalau ada kata yang kurang berkenan. Salam
Feliz Yth
Saya senang anda semangat bertanya, itu tanda baik. Setiap pekerja di pastoran selalu mendapat gaji kecuali karena dia memang menyatakan tidak mau dan kerja volunteer. Gaji pekerja paroki ada yang diatur oleh keuskupan dan ada pedomannya sendiri. Maaf iura stolae atau stips bukan compensasi dan benefit. Kami para imam tidak melayani untuk dapat benefit, kalaupun ada, imam itu tidak benar dalam melayani. Iura itu dari iure hak, stolae adalah lambang kuasa jabatan imamat dengan stolae saya atas nama Tuhan dan Gereja melaksanakan tugas pelayanan rohani. Dia mempersembahkan dan membawa korban jemaat pada Allah dan hidup dari pelayanan persembahan/korban dan tugas sakramen lain kepada Allah. Dalam PL, imam berhak atas apa yang dipersembahkan oleh umat kepada Allah.
salam
Rm Wanta
Terima kasih Romo, jadi uang bukan tujuan, tetapi pelayanannya. Semoga imam2 tetap berjalan seperti yang Romo katakan.
Berarti pandangan yang mengatakan imam tidak mempunyai apa-apa kurang benar ya Romo? Karena menurut Romo, seorang imam mempunyai hak atas pelayanannya. Dan kalau coba dikalkulasi yang didapat seorang imam bisa lebih besar dari UMR untuk standard kota.
Sekarang cukup banyak awam yang juga melayani umat secara rohani dengan kebangunan rohani. Apakah dia juga punya hak atas pelayanannya?
Mungkin karena data dan perhitungan maka teman saya pernah mengajak saya untuk pelayanan dan dia bercerita, dia bisa hidup dari pelayanan kepada jemaat. Guru saya dahulu juga pernah menyentil tentang invest yang enak saat ini di pelayanan. Realitas ini sedang menggejala, bagaimana gereja Katolik mengantisipasi dampak-dampaknya bagi pelayanan?
Feliz Yth
Saya mohon anda membaca buku-buku ttg imam seperti Imam Di Ambang Batas, Imam Diosesan Akar Tunggang Gereja Lokal, Imam Jantung Hati Yesus dll, carilah di Obor atau Kanisius, dengan cara itu anda akan paham. Soal stips bisa dibaca di majalah Liturgia dari KWI silakan datang di kantor kami Jl. Cut Meutia 10, Jakarta Pusat. Bisa bertemu dengan saya dan bisa diskusi panjang lebar welcome. Setiap umat beriman memiliki hak dan kewajiban termasuk imam. Imam memiliki sesuatu karena karunia Tuhan dan jabatan berkat tahbisan. Soal KRK biasanya tidak untuk imam per se, tapi ada tim sendiri entah KTM karismatik dll. Rama mungkin dapat stips saya kurang tahu hal itu. Juga soal hasil stips melebihi standar UMR tergantung di mana dia berada. Saya juga kurang tahu UMR tiap kota di Indonesia, mohon tanya yang ajaran agar saya bisa jawab.
Kembali soal realitas pelayanan enak untuk hidup dengan invest segala, saya tidak bisa menjawab karena belum pernah mengalami. Apakah awam yang melayani dapat gaji ketika bertugas KRK atau PD Karismatik saya tidak yakin karena mereka bekerja dengan tulus tanpa honor. Sekali lagi mohon pertanyaan ttg ajaran Gereja kalau sudah kasuistik jawabnya kompleks.
Semoga semakin mendapat pencerahan.
salam
Rm Wanta
shalom pak stef & bu ingrid..
saya senang membaca artikel2 & tanya jwb yg ada di katolisitas.org, benar2 membantu pertumbuhan iman katolik saya.
pak, bu, saya ingin tanya tentang intensi misa. Apakah ada pengaturan bahwa intensi dalam misa hanya 1 ataukah bisa borongan? Di paroki saya, romo hanya memperbolehkan 1 intensi dalam 1 kali misa, kalau mau 2 atau lebih ya yang lain hanya di doakan saja. Sedangkan di paroki lain sering dibacakan intensi misa hari ini a, b, c, dstnya, buanyak sekali. Apakah ada bedanya antara intensi dan di doakan? apakah bedanya intensi cuma satu dengan yang borongan? Mohon pencerahan dari bp & ibu. Terimakasih banyak sebelumnya.
Zeska Yth
Aturannya setiap misa yang dirayakan oleh seorang Imam hanya boleh diambil satu intensinya saja namun tidak berarti tidak boleh mendoakannya dalam misa karena umat memohonnya. Bisa terjadi setiap Minggu banyak intensi misa, yang dimaksud mengambil satu saja adalah uang stipsnya bukan tidak boleh mendoakan intensi yang banyak itu. Seluruh uang intensi misa biasanya diserahkan ke Pastoran untuk dana solidaritas antar imam dan sosial, orang miskin dll., sesuai aturan keuskupan setempat.
salam
Rm Wanta
Romo Wanta yth,
Terimakasih Romo, untuk jawabannya.
Jawaban Romo “Aturannya setiap misa yang dirayakan oleh seorang Imam hanya boleh diambil satu intensinya saja namun tidak berarti tidak boleh mendoakannya dalam misa karena umat memohonnya.”
Berarti kalau Romo di paroki saya memberitahukan bahwa intensi misa hari ini untuk si A, kemudian untuk si B dan si C hanya di doakan; itu artinya stips yang diambil oleh Romo adalah dari si A sedangkan stips dari si B dan si C diserahkan ke Pastoran, gitu ya Romo? Kalau bobot dalam misanya tidak ada bedanya? antara yang intensi dan yang di doakan sama?
Selama ini saya mengartikan kalau intensi bobotnya lebih besar karena seluruh misa dipersembahkan untuk intensi tersebut, sedangkan yang di doakan itu hanya nunut. Bagaimana menurut Romo? (di luar jumlah stips, Romo..)
[dari Romo Wanta: Semua intensi dibacakan dan didoakan, semua dapat bobot yang sama.]
Terimakasih banyak Romo atas penjelasannya..
Romo Wanta dan Tim Katolisitas, Berkah Dalem.
Saya senang sekali menemukan situs ini karena sungguh meneguhkan dan mencerahkan iman Katolik saya. Meskipun cukup terlambat, berkaitan dengan tema Stipendium (melanjutkan pertanyaan sdr. zeska), saya ingin mengajukan pertanyaan: seringkali kita menemui pada Misa di beberapa tempat ziarah menerima bukan hanya 1, 2, 3 tetapi sampai puluhan bahkan ratusan intensi Misa (misalnya: di Gereja Ganjuran Bantul Yogyakarta, konon pada Misa prosesi agung bisa menerima 800 – 900 intensi Misa). Bagaimana mestinya Romo dan pengurus paroki setempat mesti menyikapi ‘membludaknya’ intensi Misa seperti itu? Apakah Romo pemimpin Misa tetap hanya mengambil 1 stips tetapi semua intensi lainnya harus tetap dibacakan dan didoakan? Tentu membutuhkan waktu yang sangat lama, bisa jadi lebih lama dari Misanya itu sendiri?
Ada istilah baru bagi saya yang cukup menarik “Kerakusan Klerikal”
Whats is this ?
Zenny Yth
Kerakusan klerikal adalah bentuk perbuatan yang tercela dan dosa karena mengumpulkan intensi misa untuk dirinya sendiri. Dalam aturan GK tidak diperkenankan seorang imam mengumpulkan intensi misa untuk dirinya yang melebihi kemampuannya untuk mengaplikasikan dalam Misa sehari hari.
salam
Rm Wanta
Rm. Wanta, saya sangat setuju dengan tulisan Romo, memang hukum gereja sudah mengatur semua dengan baik, tetapi seringkali dalam praktek masih ada celah. Bagaimana gereja mengontrol perilaku para imam supaya tidak terjadi kerakusan klerikal? Karena di kota-kota besar kecenderungan ini cukup tinggi. Bagaimana penerapan stipendium secara praktis di gereja atau paroki? Di beberapa keuskupan, stipendium dan semua iura stolae dikelola untuk kehidupan imam / biaya hidup, tetapi ada juga paroki yang membuat lain, biaya hidup diatur dari kolekte dan stipendium / iura stolae sebagai tambahan untuk pribadi imam tersebut. Padahal kalau membaca aturan stipendium seharusnya itu untuk hidup imam atau untuk makan-minum dan biaya hidup imam dalam melayani umat. Bagaimana menurut Romo?
Feliz Yth
Apa yang saya tulis adalah normatif yang sesungguhnya diterapkan di keuskupan masing-masing dan diapprove oleh konferensi para uskup untuk menjadi pedoman bagi semua imam. Tentang kebutuhan pokok dari imam tergantung dari aturan internal keuskupan. Misalnya di salah satu keuskupan, iura stolae dan stips dikumpulkan untuk karya karitatif orang miskin 15 %, untuk solidaritas antar imam 35%, untuk paroki setempat 15%, untuk imamnya sendiri 35%. Namun aturan partikular ini pun belum ada, bahkan 100% untuk imam tsb atau seluruhnya untuk paroki, untuk imam tsb diberi uang saku per-bulan yang ditentukan sendiri oleh pihak paroki. Tentang uang saku para imam juga ada ditentukan oleh pihak keuskupan masing-masing dan berbeda sesuai dengan kebijakan uskup setempat.
salam
Rm Wanta
Terima kasih Romo atas penjelasannya. Jadi sejauh saya tangkap dari penjelasan Romo, semuanya diserahkan pada kebijakan keuskupan yang memungkinkan berbeda-beda dari satu keuskupan ke keuskupan lain. Dan justru di situlah persoalan yang ingin saya tanyakan bagaimana gereja mengontrol pelaksanaan aturan yang baik itu karena situasi zaman berubah, dengan mobilitas yang tinggi, sehingga para imam yang tinggal di satu keuskupan / satu kota belum tentu dia bekerja di keuskupan tersebut (para imam yang berlibur (dalam atau luar negeri) atau tugas belajar atau bertugas di biara) sehingga tidak mengetahui aturan main dalam keuskupan tersebut. Sehingga dengan sendirinya akan menerima 100% dari stipendium / iura stolae dan dia bebas untuk menggunakannya. (Kalau di Eropa mungkin sudah dengan sistem bank sehingga pengontrolan lebih mudah, sementara di Asia, tergantung pada masing-masing pribadi), maka tidak heran korupsi di Asia masih cukup tinggi.
Feliz Yth
Gereja lokal adalah otonom maka uskup diberi kepercayaan penuh untuk memimpin, jemaat yg dipercayakan oleh Tuhan melalui Bapa Suci. Oleh karena semua aturan khusus menyangkut uang saku, iura stolae/stips adalah kewenangan uskup. Dalam KHK hal ini diatur oleh konferensi para uskup. Untuk Indonesia masih diatur oleh para uskup masing masing mengingat wilayah yang berbeda. Tidak bisa disamakan keuskupan misalnya Jakarta dengan Maumere. Yang penting soal hidup imam tiap keuskupan sudah mengaturnya. Setiap imam yang bekerja di luar keuskupannya harus melaporkan pada uskup setempat untuk mendapat yurisdiksi dan jika ada kontrak kerja dia akan mendapat hak yang sama seperti imam diosesan keuskupan tempat dia bekerja. Misal imam A ke keuskupan Z resmi dan sah bekerja dia akan mendapat penghidupan yang sama, tentu berbeda dengan tempat asal keuskupannya. Di Eropa juga tidak dengan sistem bank, dapatkah Anda memberi contoh tepatnya Eropa mana? Persoalan korupsi bukan karena sistem tapi karena orang yang menggunakan, menyalahgunakan kewenangan.
salam
Rm Wanta
Terima kasih Romo, sebelumnya saya minta maaf, saya tidak menyangkal aturan gereja yang sudah sangat baik dan dipikirkan matang-matang. Di Jerman, teman saya bilang, umat tidak memberi uang cash kepada imam sebagai stipendium tetapi bisa melalui cek, atau catatan khusus yang bisa diuangkan kemudian, atau memberikan kepada petugas gereja dan dibuat pencatatan, sehingga intinya ada sistem pencatatan. Sejauh saya pelajari, persoalan korupsi juga bisa menyangkut soal manipulasi data. Di Asia, tingkat korupsi tinggi karena pencatatannya lemah sehingga pengontrolan sulit dibuat.
Saya setuju tulisan Romo yang mengatakan persoalan korupsi adalah perbuatan perorangan yang menyalahgunakan wewenangnya tetapi justru di situlah persoalannya, bagaimana lembaga yang lebih tinggi (Uskup) bisa mengontrol personal / pribadi supaya tidak terjadi penyalahgunaan? di Indonesia, umat menyerahkan stipendium secara langsung kepada imam, (tanpa catatan apapun) dan umat tidak mengetahui untuk apa saja stipendium itu? Romo memang sudah menjelaskan prosentase yang harus dibuat oleh imam untuk penggunaan stipendium, tetapi siapa yang mengontrol? Apakah umat bisa mengontrol?
Minta maaf romo, terus terang saya pernah pergi ke daerah yang menurut banyak orang itu adalah daerah miskin, tetapi saya begitu terkejut ketika teman saya menunjukkan beberapa rumah bagus di antara rumah yang kurang bagus dan rumah bagus itu adalah milik imam. Dalam hati saya bertanya mengenai itu. di gereja, kami umat sering dimintai sumbangan untuk ini, itu, untuk membangun gereja di pedalaman, dll. Umat dengan gaji minimpun akan berusaha menyumbang atau memberi stipendium karena kami yakin, para imam masih jujur dalam menggunakan itu semua dan bukan mentransfer dana-dana untuk keluarga atau saudara-saudaranya (seperti yang banyak dibuat oleh para pejabat kita dengan KKN)
Sekali lagi minta maaf romo, ini beberapa pertanyaan yang sempat muncul ketika saya belajar sumber daya manusia, dan mencoba merefleksikan bagaimana buruh yang dengan gaji terendah pun harus membayar pajak kepada pemerintah, sebagai umat harus mengikuti aturan gereja dan sebagai orang tua harus membiayai anak dan keluarga. Seorang imam yang tidak menikah dan sebagai gembala seharusnya bisa memikirkan umat yang terpinggir dan menggunakan dana-dananya untuk membantu mereka sesuai yang Romo jelaskan dalam hukum gereja dengan sistem prosentase. Tetapi sekali lagi, siapa yang mengontrol? dan bagaimana gereja mengontrol sehingga penyalahgunaan wewenang bisa diminimalkan? Terima kasih dan sekali lagi minta maaf saya tidak bermaksud menyerang, hanya mohon klarifikasi dan mungkin ada anjuran dari Romo sehingga sebagai umat kami juga bisa membantu para imam agar tidak jatuh pada penyalahgunaan (seperti negara, aturan sudah ada dan dibuat bagus dengan undang-undang, tetapi dalam praktek tetap ada celah). Hukum gereja sudah mengatur dengan bagus, tetapi siapa yang mengontrol prakteknya di lapangan?
Tambahan info, teman saya di Philipina, baru saja bercerita ada beberapa uskup yang terkena masalah berkaitan dengan penggunaan mobil mewah karena kedekatan dengan penguasa. Zaman berubah sangat cepat, pendidikan dan tingkat kesadaran umat juga semakin tinggi, banyak umat yang bekerja di perusahaan, pemerintahan dengan sistem kontrol yang terbuka sehingga umat pun walau beragama Katolik akan mengkritisi juga lembaga gereja. Terima kasih dan salam
[dari Katolisitas: dua pertanyaan / sharing berikutnya di bawah ini kami gabungkan karena masih dalam satu topik pembahasan: ]
[pertanyaan kedua: Saya baru saja membaca buku tulisan P. Keltus Hekong dan Mgr. Dr. Benyamin Y Bria, Pr. Kalau membaca tulisan beliau berdua, sangat jelas sebenarnya seorang imam harus mencatat yang berkenaan dengan Misa dan Stip. Dengan adanya catatan, ordinaris wilayah akan mudah mengontrol sementara kalau tidak ada catatan maka tidak ada yang bisa dikontrol oleh otoritas karena ordinaris wilayah tidak setiap saat di samping imam yang bersangkutan (maaf saya membandingkan dengan organisasi lain yang memiliki standard tertentu dalam pencatatan sehingga mudah dalam pengontrolan suatu tugas, seperti kalau satpam ada catatan kejadian, dalam keuangan juga ada catatan dengan standard tertentu sehingga otoritas akan mudah melihat dan memberi arahan kepada imam yang bersangkutan manakala ada ketidakberesan). Apa ada konsekuensi bagi imam yang tidak melaporkan atau sengaja tidak membuat catatan? ]
[pertanyaan ketiga: Terima kasih Romo atas infonya, memang antara teori dan realitas terbentang jarak, jaraknya bisa dekat, bisa juga jauh. Segala sesuatu yang ditulis tentang martabat imam, tentunya akan baik, sama seperti kalau orang menulis tentang seorang pemimpin, pasti semuanya adalah yang ideal, tetapi dalam realitas apa yang ideal belum tentu bisa tercapai, banyak pemimpin yang hanya memikirkan diri dan keluarganya tetapi ada juga pemimpin yang sudah berusaha membenahi tetapi tetap dihujat.
Saya hanya sedikit memberi gambaran dari apa yang saya alami di tengah masyarakat, dan itu membuat saya bertanya lebih jauh antara teori dan praktek. Saya memposisikan semua aturan / hukum dibuat untuk kebaikan manusia. Kalau manusia sudah tahu apa yang seharusnya dibuat, hukum tidak diperlukan. Supaya para imam tetap dengan motivasi pelayanannya, maka seperti yang Romo katakan dibuat aturan supaya jangan ada kerakusan klerikal. Ini cara berpikir saya.
Tetapi manakala seperti yang Romo katakan, ada imam yang tidak benar, apa yang bisa dibuat? Dibiarkan saja? Kalau awam menegur sepertinya tidak bisa, karena soal status. Tetapi keuskupan juga tidak bisa mengetahui karena tidak ada catatan.
Padahal dalam KHK kanon 957 tertulis bahwa ordinaris wilayah dan religius mempunyai tugas dan kewajiban untuk mengawasi. Tetapi kalau tidak ada catatan bagaimana bisa diawasi dan dikontrol? Terima kasih Romo]
Feliz Yth
Secara teori pertanggungjawaban keuangan hasil iura stolae adalah benar. Namun sekali lagi manajemen kontrol dan laporan buku stips di setiap keuskupan harus dilakukan dan memang itu idealnya. Di sini kita bahas soal teori secara kanonis. Mudah mudahan prakteknya dijalankan, jika tidak, maka kewenangan pimpinan ordinaris wilayah Gereja lokal lah yang harus melakukan tindakan terhadap imamnya.
salam
Rm wanta
Terimakasih untuk saudara Felix, pertanyaan’y dan jawaban dari Romo wanta, Pr. cukup membantu saya untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan yang ada dibenak saya akan istilah –
“iure stolae, stipendium dan intensi. ” tadi saya menayakan hal diatas di Page Katholik menjawab hingga seorang teman sesama pengunjung memberikan saya link untuk mengunjungi site ini.
Salam .GBU
Comments are closed.