Pendahuluan
Teman kuliah sekelas saya ada yang lulusan sekolah pendeta, sebelum menjadi seorang Katolik. Ketika saya bertanya apa yang membuatnya menjadi Katolik, dia menjawab, “…. many things, but I should say, first and foremost, is the Church teaching regarding Marriage” (Banyak hal, namun yang terutama, adalah ajaran Gereja tentang Perkawinan). Ia adalah satu dari banyak orang -termasuk di antaranya adalah Kimberly dan Scott Hahn- yang melihat kebenaran ajaran Gereja Katolik melalui pengajaran hal Perkawinan.
Ini adalah sesuatu yang layak kita renungkan, karena sebagai orang Katolik, kita mungkin pernah mendengar ada orang mempertanyakan, mengapa Gereja Katolik menentang perceraian, aborsi dan kontrasepsi, mengapa Gereja umumnya tidak dapat memberikan sakramen Perkawinan (lagi) kepada wanita dan pria yang sudah pernah menerima sakramen Perkawinan sebelumnya, atau singkatnya, mengapa disiplin mengenai perkawinan begitu ‘keras’ di dalam Gereja Katolik. Agar kita dapat memahaminya, mari bersama kita melihat bagaimana Tuhan menghendaki Perkawinan sebagai persatuan antara suami dan istri, dan sebagai tanda perjanjian ilahi bahwa Ia menyertai umat-Nya.
Sakramen Perkawinan menurut Kitab Suci
Dari awal penciptaan dunia, Allah menciptakan manusia pertama, laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa), menurut citra Allah (Kej 1:26-27). Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam agar laki-laki itu mendapatkan teman ‘penolong’ yang sepadan dengannya (Kej 2:20), sehingga mereka akhirnya dapat bersatu menjadi satu ‘daging’ (Kej 2:24). Jadi persatuan laki-laki dan perempuan telah direncanakan oleh Allah sejak awal mula, sesuai dengan perintahnya kepada mereka, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu….” (Kej 1:28).
Walaupun dalam Perjanjian Lama perkawinan monogami (satu suami dan satu istri) tidak selalu diterapkan karena kelemahan manusia, kita dapat melihat bahwa perkawinan monogami adalah yang dimaksudkan Allah bagi manusia sejak semula. Hal ini ditegaskan kembali oleh pengajaran Yesus, yaitu: “Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Mat 19:5), dan bahwa laki-laki dan perempuan yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (lih. Mat 19:5-6, Mrk 10:7-9). Yesus menegaskan surat cerai pada jaman Perjanjian Lama itu diizinkan oleh nabi Musa karena ketegaran hati umat Israel, namun tidak demikian yang menjadi rencana Allah pada awalnya (Mat 19:8). Allah menghendaki kesetiaan dalam perkawinan, sebab Ia membenci perceraian (lih. Mal 2:15,16).
Jadi, perkawinan antara pria dan wanita berkaitan dengan penciptaan manusia menurut citra Allah. Allah adalah Kasih (1 Yoh 4:8,16), dan karena kasih yang sempurna tidak pernah ditujukan pada diri sendiri melainkan pada pribadi yang lain, maka kita mengenal Allah yang tidak terisolasi sendiri, melainkan Allah Esa yang merupakan komunitas Tiga Pribadi, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus (Trinitas). Kasih yang timbal balik, setia, dan total tanpa batas antara Allah Bapa dengan Yesus Sang Putera ‘menghasilkan’ Roh Kudus. Walaupun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa hubungan antara Allah Bapa dan Putera itu seperti hubungan suami dengan istri. Kasih di dalam diri Trinitas merupakan misteri yang dalamnya tak terselami, namun misteri ini direncanakan Allah untuk digambarkan dalam hubungan suami dan istri, agar dunia dapat sedikit menyelami misteri kasih-Nya. Maksudnya adalah, manusia diciptakan sesuai gambaran Allah sendiri untuk dapat menggambarkan kasih Allah itu.
Kasih Allah, yang terlihat jelas dalam diri Trinitas, adalah kasih yang bebas (tak ada paksaan), setia, menyeluruh/ total, dan menghasilkan buah. Lihatlah Yesus, yang mengasihi Bapa dengan kasih tak terbatas, atas kehendak bebas-Nya menjelma menjadi manusia, wafat di salib untuk melaksanakan rencana Bapa menyelamatkan manusia. Allah Bapa mengasihi Yesus dengan menyertaiNya dan memuliakan-Nya; dan setelah Yesus naik ke surga, Allah Bapa dan Yesus mengutus Roh KudusNya. Kasih inilah yang direncanakan Allah untuk digambarkan oleh kasih manusia, secara khusus di dalam perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Perkawinan juga direncanakan Allah sebagai gambaran akan hubungan kasih-Nya dengan umat-Nya. Pada Perjanjian Lama, kita dapat membaca bagaimana Allah menjadikan Yerusalem (bangsa Israel) sebagai istri-Nya (Yeh 16:3-14; Yes 54:6-dst; 62:4-dst; Yer 2:2; Hos 2:19; Kid 1-dst) untuk menggambarkan kesetiaanNya kepada umat manusia.
Pada Perjanjian Baru, Yesus sendiri menyempurnakan nilai perkawinan ini dengan mengangkatnya menjadi gambaran akan hubungan kasih-Nya kepada Gereja-Nya (Ef 5:32). Ia sendiri mengasihi Gereja-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya baginya untuk menguduskannya (Ef 5:25). Maka para suami dipanggil untuk mengasihi, berkorban dan menguduskan istrinya, sesuai dengan teladan yang diberikan oleh Yesus kepada Gereja-Nya; dan para istri dipanggil untuk menaati suaminya yang disebut sebagai ‘kepala istri’ (Ef 5:23), seperti Gereja sebagai anggota Tubuh Kristus dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala.
Kesatuan antara Kristus dan Gereja-Nya ini menjadi inti dari setiap sakramen karena sakramen pada dasarnya membawa manusia ke dalam persatuan yang mendalam dengan Allah. Puncak persatuan kita dengan Allah di dunia ini dicapai melalui Ekaristi, saat kita menyambut Kristus sendiri, bersatu denganNya menjadi ‘satu daging’. Pemahaman arti Perkawinan dan kesatuan antara Allah dan manusia ini menjadi sangat penting, karena dengan demikian kita dapat semakin menghayati iman kita.
Melihat keagungan makna perkawinan ini tidaklah berarti bahwa semua orang dipanggil untuk hidup menikah. Kehidupan selibat demi Kerajaan Allah bahkan merupakan kesempurnaan perwujudan gambaran kasih Allah yang bebas, setia, total dan menghasilkan banyak buah (lih Mat 19:12,29). Oleh kehendak bebasnya, mereka menunjukkan kesetiaan dan pengorbanan mereka yang total kepada Allah, sehingga dihasilkanlah banyak buah, yaitu semakin bertambahnya anak-anak angkat Allah yang tergabung di dalam Gereja melalui Pembaptisan, dan tumbuh berkembangnya mereka melalui sakramen-sakramen dan pengajaran Gereja.
Akhirnya, akhir jaman-pun digambarkan sebagai “perjamuan kawin Anak Domba” (Why 19:7-9). Artinya, tujuan akhir hidup manusia adalah persatuan dengan Tuhan. Misteri persatuan ini disingkapkan sedemikian oleh Sakramen Perkawinan, yang membawa dua akibat: pertama, agar kita semakin mengagumi kasih Allah dan memperoleh gambaran akan kasih Allah Tritunggal, dan kedua, agar kita mengambil bagian dalam perwujudan kasih Allah itu, seturut dengan panggilan hidup kita masing-masing.
Makna Sakramen Perkawinan
Melihat dasar Alkitabiah ini maka sakramen Perkawinan dapat diartikan sebagai persatuan antara pria dan wanita yang terikat hukum untuk hidup bersama seumur hidup.[1] Katekismus Gereja Katolik menegaskan persatuan seumur hidup antara pria dan wanita yang telah dibaptis ini, sifatnya terarah pada kesejahteraan suami-istri, pada kelahiran dan pendidikan anak. (KGK 1601) Hal ini berkaitan dengan gambaran kasih Allah yang bebas (tanpa paksaan), setia, menyeluruh dan ‘berbuah’.
Hubungan kasih ini menjadikan pria dan wanita menjadi ‘karunia‘ satu bagi yang lainnya, yang secara mendalam diwujudkan di dalam hubungan suami-istri. Jadi, jika dalam Pembaptisan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan air, atau Penguatan dengan pengurapan minyak, namun di dalam Perkawinan, rahmat Tuhan dinyatakan dengan pasangan itu sendiri. Inilah artinya sakramen perkawinan: suami adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi istrinya, dan istri adalah tanda rahmat kehadiran Tuhan bagi suaminya. Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang tak terpisahkan seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari suami selalu merenungkan: “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku?” demikian juga, istri merenungkan, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada suamiku?”
Sakramen Perkawinan juga mengangkat hubungan kasih antara suami dengan istri, untuk mengambil bagian di dalam salah satu perbuatan Tuhan yang ajaib, yaitu penciptaan manusia. Dengan demikian, persatuan suami dengan istri menjadi tanda akan kehadiran Allah sendiri, jika di dalam persatuan itu mereka bekerjasama dengan Tuhan untuk mendatangkan kehidupan bagi manusia yang baru, yang tubuh dan jiwanya diciptakan atas kehendak Allah. Dalam hal ini penciptaan manusia berbeda dengan hewan dan tumbuhan, karena hanya manusia yang diciptakan Tuhan seturut kehendakNya dengan mengaruniakan jiwa yang kekal (‘immortal’). Sedangkan hewan dan tumbuhan tidak mempunyai jiwa yang kekal seperti manusia. Jadi peran serta manusia dalam penciptaan manusia baru adalah merupakan partisipasi yang sangat luhur, karena dapat mendatangkan jiwa manusia yang baru, yang diinginkan oleh Allah.
Kemudian, setelah kelahiran anak, sang suami dan istri menjalankan peran sebagai orang tua, untuk memelihara dan mendidik anak mereka. Dengan demikian mereka menjadi gambaran terbatas dari kasih Tuhan yang tak terbatas: dalam hal pemeliharaan/ pengasuhan (God’s maternity) dan pendidikan/ pengaturan (God’s paternity) terhadap manusia. Di sini kita lihat betapa Allah menciptakan manusia sungguh-sungguh sesuai dengan citra-Nya. Selain diciptakan sebagai mahluk spiritual yang berkehendak bebas, dan karena itu merupakan mahluk tertinggi dibandingkan dengan hewan dan tumbuhan, selanjutnya, manusia dikehendaki Allah untuk ikut ambil bagian di dalam pekerjaan tangan-Nya, yaitu: penciptaan, pemeliharaan dan pengaturan manusia yang lain.
Setiap kali kita merenungkan dalamnya arti Perkawinan sebagai gambaran kasih Allah sendiri, kita perlu bersyukur dan tertunduk kagum. Begitu dalamnya kasih Allah pada kita manusia, betapa tak terukurnya rencanaNya bagi kita. Melalui Perkawinan kita dibawa untuk memahami misteri kasih-Nya, dan mengambil bagian di dalam misteri itu. Di dalam Perkawinan kita belajar dari Kristus, untuk memberikan diri kita (self-giving) kepada orang lain, yaitu kepada pasangan kita dan anak-anak yang dipercayakan kepada kita. Dengan demikian, kita menemukan arti hidup kita, dan tak dapat dipungkiri, inilah yang disebut ‘kebahagiaan’, dan dalam ikatan kasih yang tulus dan total ini, masing-masing anggota keluarga menguduskan satu sama lain.
Jadi secara garis besar, sakramen perkawinan mempunyai tujuan untuk mempersatukan suami istri, menjadikan suami istri dapat mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah, dan akhirnya dengan sakramen perkawinan ini suami dan istri dapat saling menguduskan, sampai kepada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan sejati dalam Kerajaan Surga.
Syarat Perkawinan Katolik yang sah
Sebelum mencapai kebahagiaan perkawinan, perlulah kita ketahui beberapa syarat untuk menjadikan Perkawinan sebagai perjanjian yang sah, baru kemudian kita melihat apa yang menjadi ciri-cirinya.
Syarat pertama Perkawinan Katolik yang sah adalah perjanjian Perkawinan yang diikat oleh seorang pria dan wanita yang telah dibaptis, dan kesepakatan ini dibuat dengan bebas dan sukarela, dalam arti tidak ada paksaan, dan tidak dihalangi oleh hukum kodrat atau Gereja.[2] Kesepakatan kedua mempelai ini merupakan syarat mutlak untuk perjanjian Perkawinan; sebab jika kesepakatan ini tidak ada, maka tidak ada perkawinan. (KGK 1626) Kesepakatan di sini berarti tindakan manusiawi untuk saling menyerahkan diri dan menerima pasangan, dan kesepakatan ini harus bebas dari paksaan atau rasa takut yang hebat yang datang dari luar. (KGK 1628) Jika kebebasan ini tidak ada, maka perkawinan dikatakan tidak sah.
Syarat kedua adalah kesepakatan ini diajukan dan diterima oleh imam atau diakon yang bertugas atas nama Gereja untuk memimpin upacara Perkawinan dan untuk memberi berkat Gereja. Oleh karena kesatuan mempelai dengan Gereja ini, maka sakramen Perkawinan diadakan di dalam liturgi resmi Gereja, dan setelah diresmikan pasangan tersebut masuk ke dalam status Gereja, yang terikat dengan hak dan kewajiban suami istri dan terhadap anak-anak di dalam Gereja. Juga dalam peresmian Perkawinan, kehadiran para saksi adalah mutlak perlu. (KGK 1631)
Syarat ketiga adalah, mengingat pentingnya kesepakatan yang bebas dan bertanggung jawab, maka perjanjian Perawinan ini harus didahului oleh persiapan menjelang Perkawinan. (KGK 1632) Persiapan ini mencakup pengajaran tentang martabat kasih suami-istri, tentang peran masing-masing dan pelaksanaannya.
Beberapa syarat penting di atas, terutama syarat pertama, mendasari pihak Gereja menentukan suatu sah atau tidaknya perkawinan. Lebih lanjut tentang sah atau tidaknya perkawinan, pembatalan perkawinan (‘annulment‘) dan mengenai perkawinan campur (antara pasangan yang berbeda agama) akan dibahas pada artikel yang terpisah.
Ciri-ciri Perkawinan Katolik
Sebagai penggambaran persatuan ilahi antara Kristus dengan Gereja-Nya, Perkawinan Katolik mempunyai tiga ciri yang khas, yaitu (1) ikatan yang terus berlangsung seumur hidup, (2) ikatan monogami, yaitu satu suami, dan satu istri, dan (3) ikatan yang tidak terceraikan.[3] Sifat terakhir inilah yang menjadi ciri utama perkawinan Katolik. Di dalam ikatan Perkawinan ini, suami dan istri yang telah dibaptis menyatakan kesepakatan mereka, untuk saling memberi dan saling menerima, dan Allah sendiri memeteraikan kesepakatan ini. Perjanjian suami istri ini digabungkan dengan perjanjian Allah dengan manusia, dan karena itu cinta kasih suami istri diangkat ke dalam cinta kasih Ilahi. (KGK 1639) Atas dasar inilah, maka Perkawinan Katolik yang sudah diresmikan dan dilaksanakan tidak dapat diceraikan. Ikatan perkawinan yang diperoleh dari keputusan bebas suami istri, dan telah dilaksanakan, tidak dapat ditarik kembali. Gereja tidak berkuasa untuk mengubah penetapan kebijaksanaan Allah ini. (KGK 1640)
Karena janji penyertaan Allah ini, dari ikatan perkawinan tercurahlah juga berkat-berkat Tuhan yang juga menjadi persyaratan perkawinan, yaitu berkat untuk menjadikan perkawinan tak terceraikan, berkat kesetiaan untuk saling memberikan diri seutuhnya, dan berkat keterbukaan terhadap kesuburan akan kelahiran keturunan.[4] Kristus-lah sumber rahmat dan berkat ini. Yesus sendiri, melalui sakramen Perkawinan, menyambut pasangan suami istri. Ia tinggal bersama-sama mereka untuk memberi kekuatan di saat-saat yang sulit, untuk memanggul salib, bangun setelah jatuh, saling mengasihi dan mengampuni.
Maka, apa yang dianggap mustahil oleh dunia, yaitu setia seumur hidup kepada seorang manusia, menjadi mungkin di dalam Perkawinan yang mengikutsertakan Allah sebagai pemersatu. Ini merupakan kesaksian Kabar Gembira yang terpenting akan kasih Allah yang tetap kepada manusia, dan bahwa para suami dan istri mengambil bagian di dalam kasih ini. Betapa kita sendiri menyaksikan bahwa mereka yang mengandalkan Tuhan dalam perjuangan untuk saling setia di tengah kesulitan dan cobaan, sungguh menerima penyertaan dan pertolonganNya pada waktunya. Hanya kita patut bertanya, sudahkah kita mengandalkan Dia?
Sakramen Perkawinan menurut para Bapa Gereja
Ajaran para Bapa Gereja mendasari pengajaran Gereja tentang Perkawinan. Sejak jaman Kristen awal, Perkawinan merupakan gambaran dari kasih Kristus kepada GerejaNya, sehingga ia bersifat seumur hidup, monogami, dan tak terceraikan.
- The Shepherd of Hermas (80): Mengajarkan jika seorang suami mendapati istrinya berzinah, dan istrinya itu tidak bertobat, maka sang suami dapat berpisah dengan istrinya, namun suami itu tidak boleh menikah lagi. Jika ia menikah lagi, maka ia sendiri berzinah.”Lalu apakah yang dilakukan seorang suami, jika istrinya tetap dalam disposisi ini [perzinahan]? Biarlah ia [suaminya] menceraikan dia, dan biarlah suaminya tetap sendiri. Tetapi jika ia menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan yang lain, ia juga berbuat zinah.” (The Shepherd of Hermas, 4:1:6)
- St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[5] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
- St. Yustinus Martyr (151): “Yesus berkata begini: “Barangsiapa melihat dan menginginkan seorang wanita, ia telah berbuat zinah di dalam hatinya di hadapan Tuhan.” Dan, “Barangsiapa kawin dengan seseorang yang telah dicerikan suaminya, berbuat zinah.” Menurut Guru kita, seperti mereka yang berdosa karena perkawinan kedua…, demikianlah juga mereka berdosa karena melihat dengan nafsu kepada seorang wanita. Ia menentang bukan saja mereka yang telah berbuat zinah namun mereka yang ingin berbuat zinah; sebab bukan hanya perbuatan kita yang nyata bagi Tuhan tetapi bahkan pikiran kita (St. Justin Martyr, First Apology 15)
- St. Ignatius dari Antiokhia (35-110), dalam suratnya kepada St. Polycarpus, mengajarkan kesetiaan antara suami istri, dan bahwa suami harus mengasihi istrinya seperti Tuhan Yesus mengasihi Gereja-Nya.[6] Perkawinan sebagai lambang persatuan antara Kristus dan Gereja ditekankan kembali oleh St. Leo Agung (440-461).
- Tertullianus (155-222) mengajarkan bahwa perkawinan yang diberkati Tuhan dapat menjadi perkawinan yang berhasil, meskipun menghadapi kesulitan dan tantangan, sebab perkawinan tersebut telah menerima dukungan rahmat ilahi.[7] “Bagaimana saya mau melukiskan kebahagiaan Perkawinan, yang dipersatukan oleh Gereja, dikukuhkan dengan persembahan, dimeteraikan dengan berkat, diwartakan oleh para malaikat dan disahkan oleh Bapa?….” Pasangan itu mempunyai satu harapan, satu cara hidup, satu Mereka yang adalah anak-anak dari satu Bapa, dan satu Tuhan. Mereka tak terpisahkan dalam jiwa dan raga, sebab mereka menjadi satu daging dan satu roh.[8] Karena persatuan ini, maka seseorang tidak dapat menikah lagi selagi pasangan terdahulu masih hidup, sebab jika demikian ia berzinah.
- St. Klemens dari Aleksandria (150-216):
Mengajarkan maksud ajaran Yesus pada ayat Mat 5:32, 19:9, “Setiap orang yang menceraikan istrinya kecuali karena zinah…” Zinah di sini artinya adalah perkawinan antara mereka yang sudah pernah menikah namun bercerai, padahal pasangannya yang terdahulu itu belum meninggal.[9] (Jadi, dalam hal ini, Yesus mengakui perkawinan yang pertama sebagai yang sah, dan perkawinan kedua itulah yang harusnya diceraikan agar pihak yang pernah menikah secara sah dapat kembali kepada pasangan terdahulu).”Maka bahwa Kitab Suci menasihati perkawinan, dan tidak pernah mengizinkan lepasnya ikatan tersebut, telah nyata dalam hukum: ‘Kamu tidak dapat menceraikan istrimu, kecuali karena alasan zinah.’ Dan dianggap sebagai perzinahan, perkawinan dari sebuah pasangan, di mana pihak yang diceraikan oleh salah satu dari pasangan itu, masih hidup. ‘Barangsiapa menceraikan istrinya, berbuat zinah,’ …; sebab ‘barangsiapa menceraikan istrinya, ia… memaksa istrinya itu untuk melakukan perzinahan. Tidak saja ia [suaminya yang terdahulu] yang menceraikannya menjadi sebab dari hal ini, tetapi juga ia [pria yang kemudian mengawininya] yang mengambil wanita itu, dengan memberikan kepadanya kesempatan untuk berbuat dosa; sebab jika ia tidak mengambilnya, wanita itu akan kembali kepada suaminya.’ (St. Clement of Alexandria, The Stromata 2:23) - Athenagoras (133-190) dan Theophilus dari Antiokia(169-183), keduanya mengajarkan monogami, bahwa seseorang harus menikah hanya sekali, karena ini yang dikehendaki Allah yang pada awalnya telah menciptakan seorang pria dan seorang wanita, dan yang menciptakan persatuan daging dengan daging untuk membentuk bangsa umat manusia.[10]
- Origen (185-254) mengajarkan bahwa Tuhanlah yang mempersatukan sehingga suami dan istri bukan lagi dua melainkan ‘satu daging’. Pada mereka yang telah dipersatukan Allah terdapat ‘karunia’, sehingga Perkawinan menurut Sabda Tuhan adalah ‘karunia’, sama seperti kehidupan selibat adalah karunia.[11]“Seperti seorang wanita adalah pezinah, meskipun nampaknya ia menikah dengan seorang pria, sementara suaminya yang terdahulu masih hidup, maka pria itu yang sepertinya telah menikahi wanita yang telah bercerai itu, sesungguhnya tidak menikahinya, tetapi, menurut pernyataan Penyelamat kita, ia berbuat zinah dengan wanita itu.” (Origen, Commentaries on Matthew 14:24)
- Konsili Elvira (300):
“Demikianlah para wanita yang telah meninggalkan suami mereka tanpa sebab sebelumnya, dan telah menyatukan diri dengan orang lain, tidak dapat menerima Komuni saat wafatnya” (Kanon 8)….”Dengan demikian, seorang wanita yang beriman, yang telah meninggalkan suami yang telah berbuat zinah, dan menikah dengan orang lain, maka perkawinan wanita yang sedemikian dilarang. Jika toh ia telah menikah, ia tidak dapat menerima Komuni, kecuali jika suami yang telah ditinggalkannya telah meninggal dunia.” (Kanon 9). - St. Yohanes Krisostomus (347-407), menjelaskan bahwa di dalam ayat, “Apa yang telah dipersatukan Tuhan, janganlah diceraikan manusia” (Mat 19:6), artinya adalah bahwa seorang suami haruslah tinggal dengan istrinya selamanya, dan jangan meninggalkan atau memutuskan dia.[12]
- St. Ambrosius dari Milan (387- 389): “Tak seorangpun diizinkan untuk bersetubuh dengan seorang wanita, selain dengan istrinya sendiri. Hak perkawinan telah diberikan kepadamu untuk alasan ini; supaya kamu tidak jatuh ke dalam dosa dengan wanita asing. ‘Jika kamu terikat dengan seorang wanita, jangan bercerai; sebab kamu tidak diizinkan untuk menikah dengan orang lain, selagi istrimu masih hidup.” (St. Ambrosius, Abraham 1:7:59)”Dengarkanlah hukum Tuhan, yang bahkan mereka yang mengajarkannya harus juga mematuhinya: “Apa yang dipersatukan Allah, jangan diceraikan manusia” (Commentary on Luke 8:5)
- St. Hieronimus (396): “… Sepanjang suami masih hidup,… meskipun ia berzinah.. atau terikat kepada berbagai kejahatan, jika ia [sang istri] meninggalkannya karena perbuatan jahatnya, ia [suaminya itu] tetaplah adalah suaminya dan ia [sang istri] tidak dapat menikah dengan orang lain.” (St. Jerome, Letters 55:3).
- St. Paus Innocentius I (408): “Praktek ini dilakukan oleh semua: tentang seorang wanita, yang dianggap sebagai orang yang berbuat zinah jika ia menikah kedua kalinya sementara suaminya masih hidup, dan izin untuk melakukan penitensi tidak diberikan kepadanya sampai salah satu dari pria itu meninggal dunia.” (Pope Innocentius I, Letters 2:13:15).
- St. Agustinus (354-430), berkat Perkawinan adalah: keturunan, kesetiaan, ikatan sakramen. Ikatan sakramen ini sifatnya tetap selamanya, yang tidak dapat dihilangkan oleh perceraian atau zinah, maka harus dijaga oleh suami dan istri dengan sikap bahu-membahu dan dengan kemurnian.[13]“Seorang wanita tidak menjadi istri suami berikutnya, jika masih menjadi istri dari suami yang terdahulu. Ia tidak lagi menjadi istrinya, jika suaminya itu meninggal dunia, dan bukan jika ia [suaminya] berbuat zinah. Maka, seorang pasangan secara hukum boleh dilepaskan, pada kasus perzinahan, tetapi ikatan untuk tidak menikah lagi, tetap berlaku. Itulah mengapa, seorang laki-laki berbuat zinah, jika ia menikahi seorang wanita yang telah dilepaskan [oleh suaminya], justru karena alasan perzinahan ini.” (St. Augustine, Adulterous Marriages 2:4:4)”Tak diragukan lagi hakekat perkawinan adalah ikatan ini, sehingga ketika seorang laki-laki dan perempuan telah dipersatukan dalam perkawinan, mereka harus tetap tidak terpisahkan sepanjang hidup mereka, atau tidak boleh bagi salah satu pihak dipisahkan dari yang lain, kecuali karena alasan perzinahan. Sebab ini dilestarikan dalam kasus Kristus dan Gereja…, sehingga tidak ada perceraian, tidak ada perpisahan selamanya.” (St. Augustine, (Marriage and Concupiscence 1:10:11)
Kesimpulan
Sejak awal mula Allah menghendaki persatuan antara pria dan wanita, yang diwujudkan secara mendalam di dalam Perkawinan. Perkawinan ini dimaksudkan Allah untuk menggambarkan kasih-Nya, yaitu kasih dalam kehidupan-Nya sendiri sebagai Allah Tritunggal, dan kasih-Nya kepada manusia yang tak pernah berubah. Keluhuran Perkawinan juga dinyatakan oleh Kristus, yang mengangkat nilai Perkawinan dengan menjadikannya gambaran akan kasih-Nya kepada Gereja-Nya. Karena itu Perkawinan Katolik bersifat tetap seumur hidup, setia, monogami, dan terbuka terhadap kelahiran baru. Dengan memiliki ciri-ciri yang demikian, Perkawinan merupakan ‘sakramen’, yaitu tanda kehadiran Allah di dunia, sebab sesungguhnya Allah menggabungkan kasih suami istri dengan kasihNya sendiri kepada umat manusia. Jadi tepat jika dikatakan bahwa sakramen Perkawinan melibatkan tiga pihak, yaitu, suami, istri dan di atas segalanya, Kristus sendiri. “Marriage takes three to make a go… and when Christ is at the center, it will prevail until the end, and even now on earth, receive a foretaste of the wedding feast of the Lamb!”
[1] Lihat The Roman Catechism (Catechism of Trent), Part 2, The Sacrament, Matrimony, The Definition of Matrimony.
[2] Lihat KGK 1625. Hukum kodrat atau ketetapan Gereja yang dapat menghalangi perkawinan misalnya adalah perkawinan antar saudara kandung, perkawinan anak-anak dibawah umur, ataupun perkawinan yang melibatkan satu atau keduanya masih terikat perkawinan yang sah dengan pasangan terdahulu.
[3] Lihat Catechism of Trent, Ibid., Marriage is Indissoluble by Divine Law, Unity of Marriage and Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1638, 1605, 1614, 1615, 1640, 1641, 1643, 1644, 1659
[4] Lihat Ibid., Three Blessings of Marriage. Lihat juga KGK 1641, 1642, 1644, 1646, 1648.
[5] Lihat St. Ignatius of Antioch, Letter to St. Polycarp, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966), p. 438
[6] Lihat St. Ignatius of Antioch, Letter to St. Polycarp, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, The Teaching of the Church Fathers, (Ignatius Press, San Francisco, 2002, reprint 1966), p. 438
[7] Lihat Tertullian, To His Wife, Bk 2:7, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438
[8] Lihat Tertullian, ux 2,9, seperti dikutip KGK 1642.
[9] Lihat St. Clement of Alexandria, Christ the Educator, Bk. 2, Chap.23, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.442.
[10] Lihat Athenagoras, A Plea for Christian, Ch. 33, St Theohilus of Antioch, To Autolycus, Bk 3:15, seperti dikutip oleh John Willis, S.J, Ibid., p.445.
[11] Lihat Origen, Commentary on Mathew, Bk 14, Chap 16, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.
[12] Lihat St. John Chrysostom, Homilies on St. Matthew, 62:1, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 439.
[13] Lihat St. Augustine, On Marriage and Concupiscence, Bk 1, Ch. II, seperti dikutip oleh John Willis, S.J., Ibid., p. 438
Selamat malam, bu Ingrid… Saya telah menikah secara katolik, sepuluh tahun yang lalu Saya ingin menikah lagi (mengikrarkan janji suci lagi, saling mengalungkan rosario lagi, saling tukar cincin lagi) dengan ISTRI YANG SAMA. Bolehkah ? Terima kasih. [Dari Katolisitas: Yang umumnya dilakukan adalah pembaharuan janji perkawinan, umumnya dapat dilakukan dalam Misa yang dikhususkan untuk keluarga (jika ada di paroki Anda) atau di acara tertentu khusus untuk keluarga/ pasangan suami istri. Namun jika tidak ada, yang dapat Anda lakukan adalah meminta kepada Romo paroki untuk mendoakan Anda dan pasangan Anda. Hal tukar cincin merupakan tindakan simbolis dalam Misa pemberkatan Perkawinan, yang… Read more »
Shalom
Saya mau bertanya.
Saya lahir dari orang tua yang tidak menikah secara katolik. Dulu mama saya adalah seorang budha, sedangkan papa saya seorang katolik ‘KTP’ (meskipun katanya dulu tidak). Puji Tuhan mama saya telah menjadi katolik sekitar 13 tahun yang lalu.
Yang mau saya tanyakan. Yang saya tahu,jika seorang katolik belum menikah secara katolik/menerima sakramen pernikahan, ia telah melakukan dosa karena sama dengan perzinahan. Apa benar?
Dan seharusnya ada hukuman berupa tidak boleh mengikuti ekaristi hingga menerima sakramen pernikahan. Apa benar?
Lalu bagaimana dengan saya dan saudara saya? apa juga tidak boleh ikut Misa?
Mohon bantuannya
Terima kasih
Gbu
Tata Yth Perkawinan orang tuamu otomatis menjadi sah dan sakramen jika mamamu menjadi Katolik dan papamu sudah Katolik sebelumnya meskipun menurut kamu KTP saja. Namun sudah pernah menerima Sakramen Baptis. Karena itu tidak perlu peneguhan perkawinan lagi, secara otomatis perkawinan yang dulu tidak sah menjadi sah, jika ingin dibarui disegarkan dapat dengan Misa pembaruan perkawinan secara Katolik. Benar bahwa perkawinan yang tidak sah dari orang Katolik tidak bisa menerima komuni karena perkawinannya belum sah kanonik. Jika sekarang sudah dibaptis tidak berlaku lagi hukuman itu. Anda bisa dibaptis dan komuni asalkan mengikuti pelajaran terlebih dahulu, Anda boleh Misa dengan saudaramu. salam… Read more »
Syalom bpk dan ibu di katolisitas. Sy mau mnt info tentang teks janji ulang tahun perkawinan. Adakah teks yg berisi doa dari anak buat orgtua dan sebaliknya ? Kami membutuhkannya, tq.Gb
Salam Florensia, Ada dalam “Tata Perayaan Perkawinan”, KWI 2011, hlm 189 dst. Rumusannya sebagai berikut: PEMBAHARUAN KESEPAKATAN PERKAWINAN Imam: Lewat janji setia yang pernah diucapkan di hadapan Tuhan, (sakramen) perkawinan telah mengikat Bapak dan Ibu dalam hubungan yang abadi. Kini pada perayaan ulang tahun perkawinan Anda, perbaharuilah janji setia satu sama lain itu. Berdoalah kepada Tuhan, agar janji Anda dikuatkan oleh rahmat ilahi. Suami (bapak): Terpujilah Engkau Tuhan karena kemurahan-Mu, saya telah menerima (Nama) menjadi isteri saya. Isteri (Ibu): Terpujilah Engkau Tuhan karena kemurahan-Mu, saya telah menerima (Nama) menjadi suami saya. Bapak-Ibu Bersama-sama: Terpujilah Engkau ya Tuhan, sebab Engkau setia… Read more »
Dear Katolisitas, Saya ingin menanyakan beberapa hal. Saya memiliki keponakan dari pihak suami yg menikah tetapi ibunya tidak merestui pernikahannya. Di saat pemberkatan pernikahannya, ibunya tidak hadir dan pada saat itu saya sebagai tantenya disuruh keluarga untuk menandatangani surat persetujuan atas nama ibunya. Apakah ini dibolehkan? Di surat itu tertulis nama ibunya tetapi saya yg menandatangani. [Dari Katolisitas: SIlakan menggunakan ‘prudence’/ kebijaksanaan untuk menyikapi hal ini. Sudahkah Anda berdialog dengan ibu dari keponakan Anda itu, mengapa ia tidak merestui perkawinan itu? Jika Anda tahu alasannya, apakah masuk akal, atau tidak? Menandatangani surat atas nama ibunya, tentu mengisyaratkan seolah ibunya setuju… Read more »
Shalom, Saya sedang mengalami masalah dengan perkawinan saya, istri saya menyatakan jatuh cinta lagi dengan mantan pacarnya (cinta pertamanya dulu). Memang awal mula dari masalah ini adalah saya yang kurang perhatian, sering bersikap kasar dan lain sebagainya yang sering kali menyakiti perasaan istri saya. Sering kali memang ketika timbul masalah, saya berjanji untuk berubah, namun saya selalu mengulang kembali kesalahan2 saya tersebut. Sebelum saya mengetahui peristiwa di atas, pada saat saya berdoa pribadi, saya tersadar sendiri akan kesalahan saya selama ini dan akhirnya berkomitmen untuk memperbaiki semua kesalahan saya. Barulah kabar itu muncul dari mulut istri saya sendiri. Saya sudah… Read more »
Shalom Maximus, Penyesalan dan pertobatan Anda, baik di hadapan Tuhan maupun di hadapan istri Anda atas kelalaian Anda di masa lalu sungguh patut dihargai dan disyukuri serta terus dipertahankan. Demikian juga upaya Anda untuk mencoba mempertahankan perkawinan Anda adalah sangatlah baik. Namun tantangan yang dihadapi memang tidak mudah karena istri Anda menyatakan ingin berpisah dengan Anda untuk bersama orang lain. Tetapi ada banyak hal yang masih dapat Anda lakukan, terutama dengan mengandalkan pertolongan Tuhan. Semoga rahmat Tuhan yang selalu Anda mohon dalam doa-doa Anda menyirami hati istri Anda dan membuatnya merenungkan kembali keinginannya untuk berpisah serta mengurungkan niatnya itu. Janganlah… Read more »
Syalom Ibu, saya ada permasalah. Saat ini saya dan partner saya sudah menjalin hub.selama 8 bulan dan kami merencanakan lanjut ke jenjang perkawinan secara Katolik. kebetulan partner saya ini sedang proses pengukuhan kembali krn sblm nya pernah menikah (cerai mati) di Protestan krn dulu di tolak oleh gereja Katolik. Namun ada kendala dari pihak keluarga saya mengenai hub kami ini. mulai dari alasan yg logis spt takut saya susah (krn partner sdh pny 3 anak) smp alasan berbau mistis (saya dituduh diguna2). bagaimana cara saya meyakinkan keluarga saya ini, krn berulang kali saya berusaha bicara baik2 dari hati ke hati,… Read more »
Shalom Sally, Ada beberapa istilah yang Anda tuliskan yang kurang kami pahami maksudnya. Apakah yang Anda maksudkan dengan proses pengukuhan kembali, apakah maksudnya pengukuhan menjadi Katolik? Dan apakah cerai mati artinya bercerai karena istri pasangan Anda telah meninggal? Lalu apa yang Anda maksud dengan ditolak oleh Gereja Katolik? Mengenai kendala yang Anda hadapi dari keluarga saat ini, sangat baik dalam hal ini untuk memupuk kesabaran dan kerendahan hati di pihak Anda, untuk memahami sikap keluarga Anda yang tidak menunjukkan dukungan kepada rencana perkawinan Anda dengan pasangan Anda ini. Mungkin baik jika Anda menunjukkan sikap kepada keluarga, bahwa Anda ingin mengerti… Read more »
saya senang bisa membaca artikel ini tiap hari, ada 1 hal yg mengganjal hidup saya setelah diceraikan oleh istri krn selingkuh. saya kawin melalui pemberkatan di katedral jakarta. apakah dgn kawin lg akan menambah dosa? karena saya telah berjanji di atas alkitab utk “…hidup bersama hingga maut memisahkan kita”. saya tau apa yg telah disatukan Tuhan tdk dpt dipisahkan oleh manusia. mohon bantuan nasehat supaya saya bisa maju bersama Tuhan.
Shalom Vincentius Chou, Pada dasarnya, Gereja Katolik sangat menjunjung tinggi ikatan perkawinan, dan karena itu mengajarkan bahwa perkawinan hanya boleh diadakan sekali seumur hidup. Maka, seorang Katolik yang sudah sah menikah menurut hukum Gereja Katolik, ia tak dapat menikah lagi, meskipun ia dan pasangannya sudah cerai secara sipil. Dasarnya adalah perkataan Yesus sendiri dalam Mat 19:5-6. Ada kekecualian memang, jika ternyata perkawinan tersebut tidak sah sejak awal mula, maksudnya, tidak memenuhi syarat untuk disebut perkawinan menurut hukum Gereja Katolik. Secara umum, ada tiga hal yang menjadikan perkawinan itu tidak sah, dan tentang hal ini sudah pernah sekilas dibahas di sini,… Read more »
sayalom katolisitas… tampaknya kehidupan perkawinan orang katolik tak seindah sakramennya sendiri….. kenyataannya,, tak ada pasangan katolik yang benar2 bisa rujuk kembali apalagi bila masing2 sudah menikah lagi dengan orang lain dan kebanyakan pernikahan kedua tidak lagi secara katolik…. pejelasan dan saran ibu ingrid hanya menghibur tapi, bahkan romo sendiri tak bisa memberi solusi…. (lha wong romonya saja tidak menikah, kok mau ngasih solusi…????) lagi pula, untuk orang tua yang tidak mempermasalahkan agama anaknya, biasanya justru mendukung keputusan anaknya yang ingin bercerai dan menikah lagi tidak secara katolik…alias pindah agama… kalau orang tuanya sendiri tidak bisa membujuk anaknya…apalagi orang lain???? di… Read more »
Shalom Damay, Seharusnya Sakramen Perkawinan memberikan rahmat yang berlimpah sehingga pasangan suami istri dapat menjalankan kehidupan perkawinan dengan baik. Namun, manusia yang diberi kehendak bebas juga sudah seharusnya menggunakan kehendak bebasnya untuk menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuhan sebagai bukti kasih mereka kepada Tuhan. Namun, ada pasangan yang tidak memasuki kehidupan perkawinan tidak dengan sunguh-sungguh siap untuk menempuh kehidupan perkawinan seumur hidup. Dapat juga yang awalnya merasa siap, namun kemudian tidak tahan terhadap godaan-godaan yang muncul. Dengan demikian, ketidaksiapan ini dapat muncul sebelum memasuki perkawinan atau dalam perkawinan. Ada sebagian orang yang tidak melibatkan Gereja ketika mereka menghadapi permasalahan. Dan… Read more »
syalom katolisitas,,
terimakasih atas jawbannya…
dan, tidak mengubah pendapat saya bahwa memang gereja, tidak, TUHAN tidak mampu memberi solusi…
saya sendiri setuju dengan semua jawaban dari katolisitas, yang bagi saya seperti dokter yang memberi tips kesehatan tetapi tidak mampu mengobati ketika si pasien terlanjur sakit….
entahlah,,dari sekian banyak mujizat yang telah dibuat oleh Yesus, tak satupun yang dilakukan untuk kasus perceraian…tampaknya lebih mudah membangkitkan orang mati daripada mengusahakan rujuk bagi pasangan yang bercerai….
Shalom Damay, Tuhan menyelamatkan manusia dengan melibatkan manusianya itu sendiri. Sebab karunia iman yang diberikan oleh Tuhan, juga melibatkan tanggapan dari manusianya itu sendiri. Iman itu harus dijaga oleh orang yang bersangkutan, harus diwujudkan dalam perbuatan kasih, dan dimurnikan selalu dengan pertobatan yang terus menerus, sampai ia dipanggil Tuhan. Demikian juga dengan perkawinan. Agar bertahan, memang diperlukan rahmat Tuhan, tetapi juga harus diusahakan oleh pasangan yang bersangkutan. Kalau pasangan itu sendiri tidak mau, maka tidak ada yang dapat memberikan solusi atau memaksakan jalan keluar apapun kepada pasangan itu. Mengambil perumpamaan Anda: dokter memang memberikan tips kesehatan dan memberikan resep obat… Read more »
Dear Katolisitas saya saat ini sdg menjalin hub serius dg se2org dn berencana utk menikah tp kami beda kota. Sy smg dn pasangan jogja. Sy browsing di internet klo sama2 katolik, ngurusnya di pihak perempuan. Klo ngurusnya dipihak laki2 bisa tdk? Krn dg berbagai alsn akn lbh mudah diurus di paroki psngan sy dn jg krn kami berencana menikah di jogja. Klo bs bgmn prosedurnya? Kmd klo sakramen perkawinan tanpa misa perkawinan bisa tdk? Mksdnya diberkati sj tanpa koor dll. terima kasih [pesan di bawah ini digabungkan karena masih dalam topik yang sama dari pembaca yang sama:] Submitted on 2013/06/28… Read more »
Maria yth
Penyelidikan kanonik dapat dilaksanakan di masing-masing paroki asal, lalu saat pernikahan diteguhkan di salah satu paroki, berkas dokumen itu dikirim ke tempat paroki di mana pasangan akan diteguhkan perkawinan mereka. Kalau mengurusnya di tempat laki-laki juga bisa, tidak ada aturan mesti di tempat perempuan, itu hanya tradisi. Misa perkawinan biasanya dengan perjamuan kudus Ekaristi sebagai puncak iman kita. Namun karena sesuatu hal bisa dengan ibadat saja. Sayang sekali kalau perkawinan sekali dalam hidup hanya ibadat tanpa koor. Nada dasar liturgi perkawinan adalah sukacita, kegembiraan, maka jangan sia-siakan peluang itu, sebaiknya dengan Misa dan koor.
salam
Rm Wanta
Shalom Bu, mungkin hanya ingin mengoreksi tulisan sedikit: Tuhan menghendaki perkawinan yang sedemikian sejak masa penciptaan, dengan memberikan rasa ketertarikan antara pria dan wanita, yang harus diwujudkan di dalam kesetiaan yang (terpisahkan) seumur hidup; untuk menggambarkan kesetiaan kasih Allah yang tak terpisahkan dengan manusia, seperti ditunjukkan dengan sempurna oleh Kristus dan Gereja-Nya sebagai mempelai-Nya. Karena itu harusnya setiap hari pasangan suami istri selalu merenungkan, “Sudahkah hari ini aku menjadi tanda kasih Tuhan kepada istriku (suamiku)?”. kata dalam tanda kurung mungkin maksudnya (tak terpisahkan) kan bu ? biar enak dibaca sj hehe :D. trima kasih. [Dari Katolisitas: Maksudnya, baik suami maupun… Read more »