Dari Katolisitas:

Terima kasih kepada Anastasius yang telah menyumbangkan terjemahan ini. Terjemahan berikut sudah diedit oleh Katolisitas, walaupun tetap merupakan un-official translation, dari dokumen tersebut. Mohon diketahui pembaca, bahwa ke 80 butir pernyataan- pernyataan di bawah ini adalah ajaran yang dinyatakan salah oleh Paus Pius IX.

[[[Dear Katolisitas,

Dalam kesempatan ini, saya hendak menyumbangkan sebuah terjemahan dari “Syllabus Errorum”. Semoga dokumen ini dapat bermanfaat bagi para pembaca setia, saudara-saudara terkasih seiman dalam Kristus dan GerejaNya.

Dokumen diambil dan diterjemahkan dari http://www.papalencyclicals.net/Pius09/p9syll.htm

Salam dan doa

Anastasius]]]

“SYLLABUS ERRORUM”
IKHTISAR KESALAHAN-KESALAHAN YANG DIKECAM OLEH PAUS PIUS IX

I. PANTEISME, NATURALISME DAN RASIONALISME ABSOLUT

1. Tidaklah ada Sosok Ilahi yang Tertinggi, Maha Bijak dan Penyelenggara, yang lain dari alam semesta, dan Allah adalah sama dengan asal segala sesuatu, dan maka dari itu, dapat berubah-ubah. Sebagai akibatnya, Allah dibentuk di dalam manusia dan di dalam dunia, serta segala sesuatu adalah Allah dan memiliki subsistensi dasar Allah, dan Allah adalah satu dan sesuatu yang sama dengan dunia dan maka dari itu [juga], roh dengan materi, paksaan dengan kebebasan, kebaikan dengan kejahatan, keadilan dengan ketidakadilan. – Allocutio “Maxima Quidem,” 9 Juni 1862.

2. Segala perbuatan Allah atas manusia dan dunia adalah untuk diabaikan. – Ibid.

3. Akal budi manusia, tanpa mengacu kepada Allah sama sekali, adalah satu-satunya pemegang kebenaran dan kesalahan, dan atas kebaikan dan kejahatan; ia menjadi hukum bagi dirinya sendiri, dan mencukupi, oleh kekuatan alaminya, untuk menjaga kesejahteraan manusia dan negara- negara. – Ibid.

4. Seluruh kebenaran dalam agama beranjak dari kekuatan alami akal budi manusia; maka akal budi adalah sebuah standar tertinggi di mana melaluinya manusia dapat dan harus mencapai pengetahuan seluruh kebenaran akan segala hal. – Ibid. dan Ensiklik “Qui Pluribus”, 9 November 1846, dll.

5. Pewahyuan Ilahi tidaklah sempurna, dan maka dari itu menjadi subyek untuk sebuah kemajuan yang berkelanjutan dan tak tentu sesuai dengan perkembangan akal budi manusia. – Ibid.

6. Iman kepada Kristus adalah bertentangan dengan akal budi manusia dan pewahyuan Ilahi bukan hanya saja tidak berguna melainkan juga melukai kesempurnaan manusia. – Ibid.

7. Nubuat- nubuat dan mukjizat-mukjizat yang muncul dan tertulis dalam Kitab Suci adalah karangan fiksi para penyair, dan misteri iman Kristen adalah hasil dari investigasi filosofis. Dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terisikan rekaan-rekaan mistis, dan Yesus Kristus sendiri adalah sebuah mitos.

II. RASIONALISME MODERAT

8. Sebagaimana akal budi manusia ditempatkan pada tingkat yang setara dengan agama, maka teologi haruslah diperlakukan dengan cara yang sama dengan ilmu-ilmu filosofis. – Allocutio “Singulari Quadam”, 9 Desember 1854.

9. Seluruh dogma dalam agama Kristen adalah sasaran secara tak pandang bulu bagi ilmu-ilmu alam atau filsafat, dan akal budi manusia, yang tercerahi satu-satunya dengan cara historis, adalah mampu, oleh kekuatan alaminya dan prinsip-prinsipnya, untuk mencapai ilmu sejati, bahkan tentang dogma-dogma yang sulit dimengerti; asalkan hanya dogma- dogma tersebut diajukan kepada akal budi sendiri sebagai obyeknya. – Surat kepada Uskup Agung Munich, “Gravissimas inter,” 11 Desember 1862, dan “Tuas Libenter,” 21 Desember, 1863.

10. Sebagaimana filsuf adalah sesuatu, dan filsafat adalah hal lainnya, maka adalah hak dan kewajiban bagi filsuf untuk tunduk kepada otoritas yang telah ia buktikan sebagai benar; tetapi filsafat tidak dapat atau tidak seharusnya tunduk pada otoritas apapun. – Ibid., 11 Desember 1862.

11. Gereja tidak hanya harus untuk tidak akan pernah menjatuhkan penghakiman kepada filsafat, melainkan juga harus mentoleransi kesalahan-kesalahan filsafat, dan membiarkannya mengoreksi dirinya sendiri. – Ibid., 21 Desember 1863.

12. Dekrit-dekrit Tahta Apostolik dan Konggregasi-konggregasi Roma merintangi perkembangan sejati dari ilmu pengetahuan. – Ibid.

13. Metode-metode dan prinsip-prinsip yang mana digunakan oleh para doktor skolastik kuno untuk mengolah teologi sudah tidak lagi cocok untuk kebutuhan jaman kita dan tidak cocok bagi perkembangan keilmuan. – Ibid.

14. Filsafat haruslah diperlakukan tanpa menyinggung pewahyuan adikodrati. – Ibid.

III. INDIFFERENTISME, LATITUDINARIANISME

15. Setiap manusia bebas untuk memeluk dan mengakui agama yang, dituntun oleh terang akal budi, ia akan anggap benar. – Allocutio “Maksima Quidem,” 9 Juni 1862; Damnatio “Multiplices Inter,” 10 Juni 1851.

16. Manusia dapat, dalam ketaatan pada setiap agama apa pun, menemukan jalan keselamatan kekal, dan sampai pada keselamatan kekal. – Ensiklik “Qui Pluribus,” 9 November 1846.

17. Setidaknya terdapat suatu harapan yang memadai akan keselamatan kekal bagi semua yang tidak secara penuh berada dalam Gereja Kristus yang sejati. – Ensiklik “Quanto Conficiamur,” 10 Agustus 1863, dll.

18. Protestantisme ialah tidak lebih dari suatu bentuk lain dari agama Kristen sejati yang sama, di mana dalam bentuknya akan berkenan bagi Allah sama seperti di dalam Gereja Katolik. – Ensiklik “Noscitis,” 8 Desember 1849.

IV. SOSIALISME, KOMUNISME, KELOMPOK RAHASIA, KELOMPOK/ SOSIETAS BIBLIKA, KELOMPOK IMAM LIBERAL [KLERIKO-LIBERAL]

Hama-hama semacam ini sudah cukup dikutuk dengan istilah-istilah yang terburuk dalam Ensiklik “Qui Pluribus,” 9 November 1846, Allocutio “Quibus quantisque,” 20 April 1849, Ensiklik “Noscitis et Nobiscum,” 8 Desember 1849, Allocutio “Singulari Quadam,” 9 Desember 1854, Ensiklik “Quanto Conficiamur,” 10 Agustus 1863.

V. BERBAGAI KESALAHAN MENGENAI GEREJA DAN HAK-HAKNYA

19. Gereja bukanlah suatu lembaga yang sejati dan sempurna, yang sepenuhnya bebas – pula ia tidak memiliki hak-hak yang sesuai dan terus menerus bagi dirinya sendiri, yang dianugerahkan kepadanya oleh sang Pendiri Ilahi; melainkan merupakan bagian dari kekuasaan sipil untuk menentukan apa- apa saja yang menjadi hak- hak Gereja, dan batas-batas di mana ia [Gereja] dapat menjalankan hak-hak tersebut. – Allocutio “Singulari Quadam,” 9 Desember 1854, dll.

20. Kekuasaan Gerejawi hendaknya tidak menggunakan otoritasnya tanpa ijin dan persetujuan dari pemerintah sipil. – Allocution “Meminit unusquisque,” 30 September 1861.

21. Gereja tidak memiliki kekuatan untuk menentukan secara dogmatis bahwa agama Gereja Katolik adalah satu-satunya agama yang benar. – Damnatio “Multiplices inter,” 10 Juni 1851.

22. Kewajiban yang olehnya para guru-guru Katolik dan para pengarang Katolik terikat dengan ketat terbatas pada hal-hal yang mengacu kepada kepercayaan universal sebagai dogma-dogma iman oleh keputusan yang tidak dapat salah (infallible judgement) Gereja. – Surat kepada Uskup Agung Munich, “Tuas libenter,” 21 Desember 1863.

23. Para Uskup Roma dan Konsili-konsili Ekumenis telah melangkah keluar dari batas-batas kekuasaan mereka, telah merampas hak-hak para pangeran, dan bahkan telah salah dalam mengajarkan iman dan moral. – Damnatio “Multiplices inter,” 10 Juni 1851.

24. Gereja tidak memiliki kekuasaan untuk menggunakan kekuatan, pula ia tidak memiliki kuasa duniawi, langsung atau tidak langsung. – Surat Apostolik “Ad Apostolicae, 22 Agustus 1851.

25. Di samping kekuasaan yang telah melekat di dalam episkopat, kekuasaan duniawi lainnya telah dihubungkan kepada Gereja oleh otoritas sipil, yang diberikan secara eksplisit atau secara tak terucapkan, sehingga karena itu dapat dibatalkan oleh otoritas sipil kapan pun bila dirasa pantas. – Ibid.

26. Gereja tidak memiliki hak alami dan sah untuk mendapatkan dan memiliki hak milik. – Allocutio “Nunquam fore,” 15 Desember 1856; Ensiklik “Incredibili,” 7 September 1863.

27. Penggembalaan suci Gereja dan Uskup Roma harus dipisahkan secara absolut dari setiap tanggung jawab dan kekuasaan atas urusan-urusan duniawi. – Allocutio “Maxima quidem,” 9 Juni 1862.

28. Adalah tidak sah bagi para Uskup untuk menerbitkan, sekalipun surat-surat Apostolik tanpa ijin dari pemerintah. – Allocutio “Nunquam fore,” 15 Desember 1856.

29. Pemberian dari Uskup Roma hendaknya dianggap nihil, kecuali telah diberikan melalui pemerintahan sipil. – Ibid.

30. Kekebalan Gereja beserta para pejabat gerejawi didapatkannya dari hukum sipil. – Damnatio “Multiplices inter,” 10 Juni 1851.

31. Forum atau tribunal gerejawi oleh klerus bagi masalah-masalah duniawi, baik sipil atau kriminal,dari kaum klerik, hendaknya dengan segala cara ditiadakan, sekalipun tanpa meminta nasihat serta melawan protes Tahta Suci. – Allocutio “Nunquam fore,” 15 Desember 1856; Allocutio “Acerbissimum,” 27 September 1852.

32. Kekebalan personal yang mana para klerus dibebaskan dari wajib militer dan pengabdian dalam ketentaraan, dapat dibatalkan tanpa pelanggaran hak asasi ataupun persamaan. Pembatalan tersebut dilakukan atas dasar perkembangan sipil, secara khusus dalam sebuah masyarakat yang tersusun dalam sebuah model pemerintahan liberal. – Surat kepada Uskup Monreale “Singularis nobisque,” 29 September 1864.

33. Tidaklah terkait secara khusus kepada kekuasaan yurisdiksi gerejawi oleh hak, yang tepat dan melekat [sebagai pembawaan], untuk membimbing pengajaran atas pertanyaan-pertanyaan teologis. – Surat kepada Uskup Agung Munich, “Tuas libenter,” 21 Desember 1863.

34. Pengajaran oleh mereka, yang membandingkan Uskup yang Berkuasa dengan seorang pangeran, bebas dan berlaku dalam Gereja universal, adalah sebuah doktrin yang berlaku di Abad Pertengahan. – Surat Apostolik “Ad Apostolicae,” 22 Agustus 1851.

35. Tidak ada yang mencegah dekrit dari sebuah konsili umum, atau Undang-undang atas seluruh bangsa, untuk menggantikan pontifikat tertinggi dari uskup dan kota Roma kepada uskup lainnya serta kota lainnya. – Ibid.

36. Ketetapan dari sebuah sidang nasional tidak menerima apapun perdebatan selanjutnya, dan otoritas sipil dapat menggunakan prinsip ini sebagai dasar setiap tindakannya. – Ibid.

37. Gereja-gereja Nasional, terlepaskan dari otoritas Uskup Roma dan samasekali terpisahkan, dapat didirikan. – Allocutio “Multis gravibusque,” 17 Desember 1860.

38. Para Uskup Roma telah, oleh kepemimpinan mereka yang terlalu sewenang-wenang, menyumbangkan perpisahan Gereja atas Timur dan Barat. – Surat Apostolik “Ad Apostolicae,” 22 Agustus 1851.

VI. KESALAHAN-KESALAHAN MENGENAI MASYARAKAT SIPIL, BAIK DALAM LINGKUPNYA MAUPUN DALAM RELASINYA TERHADAP GEREJA.

39. Negara, sebagai asal dan sumber segala hak, memiliki semacam hak yang tidak terkekang oleh pembatasan apapun. – Allocutio “Maxima quidem,” 9 Juni 1862.

40. Ajaran Gereja Katolik bertentangan dengan kesejahteraan dan minat masyarakat. – Ensiklik “Qui pluribus,” 9 November 1846; Allocutio “Quibus quantisque,” 20 April 1849.

41. Pemerintahan sipil, sekalipun berada di tangan kekuasaan kafir, memiliki hak dengan kuasa negatif secara tak langsung atas permasalahan-permasalahan religius. Maka dari itu ia tidak hanya memiliki hak yaitu apa yang disebut sebagai “exsequatur,” melainkan juga dengan apa yang disebut “appellatio ab abusu.” – Surat Apostolik “Ad Apostolicae,” 22 Agustus 1851.

42. Dalam masalah pertentangan hukum yang dibuat oleh kedua kekuasaan, maka hukum sipil yang menang. – Ibid.

43. Penguasa sekuler memiliki otoritas untuk membatalkan, mendeklarasikan atau menihilkan kesepakatan-kesepakatan mulia yang secara umum disebut sebagai konkordat, yang dibuat dengan Tahta Apostolik, dengan mengingat penggunaan hak terhadap kekebalan gerejawi, tanpa persetujuan dari Tahta Apostolik serta tanpa memperdulikan protes-protesnya. – Allocutio “Multis gravibusque,” 17 Desember 1860; Allocutio “In consistoriali,” 1 November 1850.

44. Otoritas sipil boleh ikut campur dalam berbagai permasalahan yang berhubungan dengan agama, moralitas dan pengaturan rohani: maka, ia dapat menjatuhkan ketentuan dalam hal instruksi-instruksi yang dikeluarkan untuk tuntunan moral, sejalan dengan misi mereka, oleh para gembala Gereja. Lebih jauh lagi, ia memiliki hak untuk membuat keputusan tentang masalah administrasi sakramen-sakramen ilahi, serta disposisi yang diperlukan untuk menerimanya. – Allocutio “In consistoriali,” 1 November 1850, dan “Maxima quidem,” 9 Juni 1862.

45. Keseluruhan pengaturan atas sekolah-sekolah negeri yang mana para pemuda dari sebuah negara Kristen dididik, kecuali (hingga batasan tertentu) dalam kasus seminari-seminari keuskupan, dapat dan harus tunduk pada kekuasaan sipil, dan menjadi bagiannya sehingga tidak ada otoritas lainnya yang dapat diakui sebagai memiliki hak untuk mencampuri dalam hal displin sekolah-sekolah tersebut, tata susunan pelajaran, penganugerahan gelar-gelar, di dalam pilihan atau persetujuan para guru. – Allocutio “Quibus luctuosissimis,” 5 September 1851, dan “In consistoriali,” 1 November 1850.

46. Lebih daripada itu, sekalipun pula dalam seminari-seminari gerejawi, metode-metode pembelajaran yang akan diambil adalah urusan otoritas sipil. – Allocutio “Nunquam fore,” 15 Desember 1856.

47. Teori terbaik dari masyarakat sipil mensyaratkan bahwa sekolah-sekolah populer terbuka bagi anak-anak dari segala golongan, dan secara umum, seluruh institusi negeri yang dimaksudkan untuk surat-surat instruksi dan ilmu-ilmu filosofis serta untuk membawakan pendidikan bagi generasi muda, haruslah dibebaskan dari segala otoritas gerejawi, kontrol dan keturutsertaannya, dan haruslah secara penuh tunduk kepada kekuasaan sipil dan politik atas kepuasan para penguasa, dan mengikuti standar suara terbanyak pada jamannya. – Surat kepada Uskup Agung Freiburg, “Cum non sine,” 14 Juli 1864.

48. Umat Katolik boleh menerima sistem pendidikan bagi generasi muda tanpa terhubung dengan iman Katolik dan kekuasaan Gereja, dan yang menganggap pengetahuan akan hal-hal natural, dan hanya atau setidaknya secara mendasar, akhir dari kehidupan sosial di dunia. – Ibid.

49. Kekuasaan sipil boleh menghalangi para prelat Gereja dan umat beriman dari berinteraksi secara bebas dan timbal-balik dengan Uskup Roma. – Allocutio “Maxima quidem,” 9 Juni 1862.

50. Otoritas awam dari dirinya sendiri memiliki hak untuk mengajukan uskup-uskup, dan boleh meminta mereka untuk mengambil alih administrasi keuskupan sebelum mereka menerima institusi kanonik dan Surat-surat Apostolik dari Tahta Suci. – Allocutio “Nunquam fore,” 15 Desember 1856.

51. Dan lebih lanjut lagi, pemerintahan awam memiliki hak untuk melepaskan para Uskup dari fungsi pastoral mereka dan tidak terikat untuk mematuhi Uskup Roma dalam hal-hal tersebut yang berkaitan dengan institusi keuskupan dan penunjukan para Uskup. – Allocutio “Acerbissimum,” 27 September 1852. Damnatio “Multiplices inter,” 10 Juni 1851.

52. Pemerintah dapat, oleh haknya sendiri, mengubah usia yang ditetapkan oleh Gereja untuk pengikraran religius bagi para wanita dan pria; dan boleh mensyaratkan seluruh ordo religius untuk tidak menerima siapa pun untuk mengambil kaul-kaul agung tanpa seijinnya. – Allocutio “Nunquam fore,” 15 Juli 1856.

53. Hukum-hukum yang disusun bagi perlindungan ordo religius dan berkenaan dengan hak-haknya serta tugas-tugasnya seharusnya ditiadakan; tidak, bahkan, pemerintah sipil boleh memberikan bantuannya kepada semuanya yang hendak menolak kewajiban yang telah mereka ambil dalam sebuah kehidupan religius, serta untuk membatalkan kaul mereka. Pemerintah dapat pula menekan ordo religius yang telah disebutkan tadi, sebagaimana juga persekutuan gereja-gereja serta penghidupan sederhana dari Gereja, demikian pula terhadap hak-hak gerejawi [‘advowson‘] dan merampas harta milik mereka beserta pendapatannya untuk administrasi dan kepuasan kekuasaan sipil. – Allocutio “Acerbissimum,” 27 September 1852; “Probe memineritis,” 22 Januari 1855; “Cuma saepe,” 26 Juli 1855.

54. Para Raja dan pangeran tidak hanya bebas dari yurisdiksi Gereja, melainkan lebih berkuasa atas Gereja dalam memutuskan perkara yurisdiksi. – Damnatio “Multiplices inter,” 10 Juni 1851.

55. Gereja haruslah dipisahkan dari negara, dan negara dari Gereja. – Allocutio “Acerbissimum,” 27 September 1852.

VII. KESALAHAN-KESALAHAN MENGENAI DASAR DAN ETIKA KRISTIANI

56. Hukum-hukum moral tidak membutuhkan persetujuan Ilahi, dan pula tidaklah perlu bagi hukum-hukum manusia untuk dibuat dengan penyesuaian terhadap hukum alam dan memperoleh kuasa yang mengikat dari Allah. – Allocutio “Maxima quidem,” 9 Juni 1862.

57. Ilmu akan hal-hal filosofis dan moral dan juga hukum-hukum sipil bisa dan seharusnya tetap terpisahkan dari otoritas Ilahi dan Gerejawi. – Ibid.

58. Tidak ada kekuasaan yang dapat diakui selain dari apa yang ada dalam materi, serta seluruh kebenaran dan kebaikan dari moralitas haruslah ditempatkan dalam penimbunan dan peningkatan kekayaan melalui berbagai cara dan pemenuhan hasrat. – Ibid; Ensiklik “Quanto conficiamur,” 10 Agustus 1863.

59. Hak terdapat dalam kebenaran materi. Seluruh kewajiban manusia adalah ungkapan kosong, dan seluruh kebenaran manusia memiliki kekuatan hak. – Allocutio “Maxima quidem,” 9 Juni 1862.

60. Otoritas adalah tidak lain dari urutan dan penjumlahan total dari kekuatan-kekuatan materi. – Ibid.

61. Ketidakadilan dalam sebuah tindakan ketika berhasil terjadi tidaklah melukai kesucian hak. – Allocutio “Jamdudum cernimus,” 18 Maret 1861.

62. Prinsip tidak mencampuri (non-intervention), sebagaimana hal itu disebut, haruslah dinyatakan dan diperhatikan. – Allocutio “Novos et ante,” 28 September 1860.

63. Adalah sah secara hukum untuk menolak kesetiaan kepada para pangeran yang sah serta sekalipun pula untuk memberontak terhadap mereka. – Ensiklik “Qui pluribus,” 9 November 1864; Allocutio “Quibusque vestrum,” 4 Oktober 1847; “Noscitis et Nobiscum,” 8 Desember 1849; Surat Apostolik “Cum Catholica.”

64. Pelanggaran atas setiap kaul agung, sebagaimana juga setiap tindakan terkutuk … ‘flagetitious’… yang menjijikkan terhadap hukum abadi, bukan hanya tidak dapat dipersalahkan melainkan juga sah secara hukum dan bermanfaat bagi sebuah penghargaan tertinggi ketika hal tersebut dilakukan melalui kecintaan kepada negara. – Allocutio “Quibus quantisque,” 20 April 1849.

VIII. KESALAHAN-KESALAHAN MENGENAI PERKAWINAN KRISTEN

65. Ajaran bahwa Kristus telah mengangkat pernikahan menjadi sebuah sakramen yang bermartabat sama sekali tidak dapat ditoleransi. – Surat Apostolik “Ad Apostolicae,” 22 Agustus 1851.

66. Sakramen Perkawinan hanyalah suatu pelengkap atas kontrak serta terpisahkan darinya, dan sakramen itu sendiri terdiri dari pemberkatan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan saja. – Ibid.

67. Oleh hukum kodrat, ikatan perkawinan tidaklah tidak terpisahkan, dan pada beberapa kasus perceraian secara layak dapat disahkan oleh otoritas sipil. – Ibid.; Allocutio “Acerbissimum,” 27 September 1852.

68. Gereja tidak memiliki kuasa untuk menentukan halangan-halangan yang membatalkan atas perkawinan, tetapi kuasa tersebut dimiliki oleh otoritas sipil yang mana halangan-halangan yang ada tersebut akan disingkirkan. – Damnatio “Multiplices inter,” 10 juni 1851.

69. Pada abad kegelapan, Gereja memulai menentukan halangan-halangan yang membatalkan perkawinan, bukan oleh hak yang ia miliki sendiri, melainkan dengan menggunakan kekuasaan yang dipinjamnya dari Negara. – Surat Apostolik “Ad Apostolicae,” 22 Agustus 1851.

70. Kanon-kanon dari Konsili Trente, yang meng-anathema mereka yang berani menolak hak Gereja dalam menentukan halangan-halangan, adalah tidak dogmatis atau haruslah dipahami sebagai rujukan atas kekuasaan yang dipinjam. – Ibid.

71. Forma pemberkatan perkawinan yang dirumuskan oleh Konsili Trente, yang dalam derita pembatalan, tidaklah mengikat dalam kasus-kasus di mana hukum sipil merumuskan forma yang lain, dan menyatakan bahwa ketika forma yang baru ini digunakan maka perkawinan tersebut sah.

72. Bonifasius VIII adalah yang pertama yang menyatakan bahwa kaul kemurnian yang diucapkan saat pentahbisan menyebabkan pembatalan perkawinan. – Ibid.

73. Dalam kekuatan sebuah kontrak sipil semata-mata, adalah mungkin terdapat sebuah perkawinan sejati di antara umat Kristiani, dan adalah salah untuk mengatakan bahwa kontrak perkawinan di antara umat Kristiani selalu merupakan sakramen, atau juga bahwa tidak akan ada kontrak jika sakramen tersebut ditangguhkan. – Ibid.; Surat kepada Raja Sardinia, 9 September 1852; Allocutio “Acerbissimum,” 27 September 1852, “Multis gravibusque,” 17 Desember 1860.

74. Perkara-perkara perkawinan dan pertunangan adalah sejatinya urusan pengadilan sipil. – Ensiklik “Qui pluribus,” 9 November 1846; Damnatio “Multiplices inter,” 10 Juni 1851, “Ad Apostolicae,” 22 Agustus 1851; Allocutio “Acerbissimum,” 27 September 1852.

IX. KESALAHAN-KESALAHAN MENGENAI KEKUASAAN SIPIL ATAS KEPAUSAN

75. Putra-putri Kristiani dan Gereja Katolik terpecah di antara mereka sendiri mengenai keselarasan akan kekuasaan duniawi dengan kekuasaan spiritual. – “Ad Apostolicae,” 22 Agustus 1851.

76. Penghapusan kekuasaan duniawi yang dimiliki oleh Tahta Apostolik akan memberikan kebebasan dan kemakmuran tertinggi bagi Gereja. – Allocutio “Quibus quantisque,” 20 April 1849, “Si semper antea,” 20 Mei 1850.

X. KESALAHAN-KESALAHAN YANG MERUJUK PADA LIBERALISME MODERN

77. Pada masa sekarang sudah tidak lagi baik untuk diinginkan bahwa agama Katolik haruslah ditetapkan sebagai satu-satunya agama negara dengan mengecualikan segala bentuk ibadah lain. – Allocutio “Nemo vestrum,” 26 Juli 1855.

78. Oleh sebab itu maka telah ditetapkan secara bijak oleh hukum di beberapa negara-negara Katolik, bahwa orang-orang yang datang dan tinggal di sana harus/ wajib menikmati pelaksanaan secara publik ibadah khas mereka. – Allocutio “Acerbissimum,” 27 September 1852.

79. Lebih daripada itu, adalah salah bahwa kebebasan sipil atas semua bentuk ibadah, dan kekuasaan penuh yang diberikan kepada semuanya, atas keterbukaan dan secara umum memanifestasikan berbagai pendapat apapun serta ide-ide, yang akan lebih memberikan kemudahan untuk mengkorupsi moral dan akhlak manusia, dan untuk menyebarkan hama indifferentisme. – Allocutio “Nunquam fore,” 15 Desember 1856.

80. Uskup Roma dapat dan harus mendamaikan dirinya serta menerima kemajuan, liberalisme dan peradaban modern. – Allocutio “Jamdudum cernimus,” 18 Maret 1861.

Iman mengajarkan kita dan akal budi manusia menunjukkan bahwa terdapat sebuah tatanan ganda atas berbagai hal, dan kita haruslah membedakan antara dua kekuasaan di dunia ini, yang satu atas dasar kodrati yang mengurusi masalah sekuler dan perdamaian masyarakat, yang lainnya yaitu atas dasar adikodrati, yang memimpin Kota Allah, yaitu Gereja Kristus, yang telah diinstitusikan secara ilahi bagi seluruh jiwa dan keselamatan abadi…. Tugas dari kekuasaan ganda ini telah secara bijak tertata dalam suatu cara, bahwa kepada Allah diberikan apa yang milik Allah (Mat 22:21), dan karena Allah, berikan kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, yang adalah besar karena ia lebih kecil dari surga. Secara khusus Gereja tidak pernah melanggar perintah ilahi ini, Gereja, yang senantiasa dan di manapun memerintahkan umat beriman untuk menghormati, yang mana mereka harus tak boleh melanggarnya, terhadap otoritas tertinggi dan kepada hak-hak sekulernya…

. . . Saudara-saudara terhormat, kalian telah melihatnya dengan cukup jelas betapa kondisi umat Katolik begitu menyedihkan dan penuh mara bahaya di daerah-daerah Eropa yang telah kami sebutkan. Juga keadaan tidak lebih baik ataupun situasi lebih tenang di Amerika, di mana di beberapa daerah turut pula menampilkan sikap permusuhan terhadap umat Katolik di mana pemerintahnya nampak mengabaikan -melalui tindakan- tindakan mereka- iman Katolik yang mereka klaim secara terbuka. Pada kenyataannya, dalam beberapa tahun terakhir, sebuah perang yang ganas terhadap Gereja, institusi-institusinya dan hak-hak Tahta Apostolik tengah berkecamuk…. Saudara-saudara terhormat, adalah mengejutkan bahwa di jaman kita sebuah perang besar semacam itu tengah dikobarkan terhadap Gereja Katolik. Tetapi siapa pun yang mengetahui asal, harapan dan tujuan-tujuan sekte-sekte itu, entah mereka dinamai masonic atau menyandang nama lainnya, serta membandingkan mereka dengan asal dari sistem- sistem, dan luasnya halangan yang menyerang Gereja hampir di mana pun, tak dapat diragukan bahwa kemalangan yang ada saat ini haruslah diperhitungkan sebagai akibat tipu muslihat dan kelicikan sekte-sekte ini. Dari mereka pula bahwa sinagoga Setan, yang mengumpulkan bala tentaranya melawan Gereja Kristus, memperoleh kekuatannya. Para pendahulu kami di masa lampau, telah waspada bahkan sejak dari semula di Israel, telah mencela semua itu terhadap Raja-raja dan bangsa-bangsa, dan telah mengutuk mereka dari waktu ke waktu, juga pula Kami belumlah gagal dalam tugas ini. Barangsiapa ada yang mampu mencegah malapetaka yang mematikan ini, ia hanya dapat berhasil dengan iman yang lebih kepada para Gembala utama Gereja! Tetapi malapetaka ini, bagaikan angin meniup melewati celah-celah gua. . . menipu banyak orang dengan berbagai tipu daya licik, akhirnya telah tiba pada titik di mana ia muncul dengan penuh kekuatan dari tempat persembunyiannya dan jaya bagaikan tuan yang berkuasa. Karena perkumpulan dari para propagandis tersebut telah tumbuh begitu pesatnya, kelompok-kelompok terkutuk ini berpikir bahwa mereka telah menjadi penguasa dunia dan juga bahwa mereka telah hampir mencapai tujuannya -yang akan dicapai. Melalui pencapaian-pencapaian yang terkadang mereka dapatkan, dan hal itu adalah kekuasaan, di beberapa negara, mereka dengan berani mengubah pertolongan dari kekuasaan dan otoritas-otoritas yang telah mereka peroleh dengan mengusahakan agar Gereja Allah tunduk kepada perbudakan yang paling kejam, untuk meruntuhkan pondasi yang telah berdiri, untuk menodai nilai-nilainya yang luhur; dan lebih daripada itu, untuk menyerangnya dengan berbagai pukulan-pukulan, mengguncangnya, menggulingkannya, dan, jika mungkin, membuatnya sirna sepenuhnya dari muka bumi. Hal-hal yang demikian, Saudara-saudara Terhormat, berusahalah dengan segenap cara untuk melindungi umat yang telah dipercayakan kepadamu terhadap kebusukan yang ditularkan oleh sekte-sekte ini dan untuk melindunginya dari penderitaan abadi ke atas mereka, yang secara malang telah melibatkan diri ke dalam sekte-sekte ini. Perkenalkanlah dan lawanlah mereka yang, walau dalam derita, atau dalam perencanaan, penipuan, dengan tanpa takut menegaskan bahwa perkumpulan-perkumpulan gelap ini hanya bertujuan demi keuntungan perkumpulan itu, baik dalam kiprah dan saling menguntungkan antara mereka. Jelaskan kepada mereka dengan sering dan tanamkan secara mendalam pada jiwa mereka akan konstitusi-konstitusi Kepausan dalam perkara ini serta ajarlah mereka bahwa asosiasi-asosiasi masonic telah dikutuk oleh konstitusi-konstitusi ini tidak hanya di Eropa, melainkan juga di Amerika dan di mana pun mereka berada di seluruh dunia.

Kepada para Uskup Agung dan Uskup-uskup di Prusia berkenaan dengan situasi Gereja Katolik yang tengah menghadapi penganiayaan oleh pemerintahnya….

Tetapi walaupun mereka (para Uskup yang melawan penganiayaan) hendaknya dikagumi daripada dikasihani, penghinaan atas martabat episkopal, pelanggaran atas kemerdekaan dan hak-hak Gereja, perlakuan menyakitkan yang tidak hanya menekan keuskupan-keuskupan tersebut, melainkan juga yang lainnya di Kerajaan Prussia, mendorong Kami – yang berhutang kepada ofisi Apostolik yang dengannya Allah telah mempercayakan kepada kita meskipun kami tak cukup pantas- untuk melakukan protes atas hukum-hukum yang telah menghasilkan banyak kejahatan dan membuat satu rasa takut yang lebih besar; dan sejauh kami mampu untuk melakukan hal itu dengan otoritas suci hukum Ilahi, Kami menuntut bagi Gereja, kemerdekaan yang telah diinjak-injak oleh kekejaman sakrilegis. Itulah mengapa dengan surat ini kami bermaksud untuk melaksanakan tugas Kami dengan mengumumkan secara terbuka kepada semuanya yang tersangkut dengan permasalahan ini serta kepada seluruh dunia Katolik, bahwa hukum-hukum tersebutkan ini adalah batal dan tidak berlaku karena hukum-hukum tersebut sepenuhnya berlawanan dengan konstitusi Ilahi Gereja. Dalam kenyataannya, sehubungan dengan hal yang terkait dengan pelayanan suci, Tuhan Kita tidak menaruh para bangsawan abad ini untuk memimpin, melainkan Santo Petrus, yang kepadanya dipercayakan tugas tidak hanya untuk memberi makan domba-Nya, tetapi juga kambing-kambing; maka tidak ada kekuatan di dunia, seberapa pun kuatnya, dapat meruntuhkan ofisi pastoral yang kepadanya Roh Kudus telah menunjuk para Uskup untuk memberi makan Gereja Allah.

7 COMMENTS

  1. Shalom katolisitas.
    Setelah saya membaca Syllabus Errorum diatas ada hal yang kami ingin tanyakan :
    1. Berkaitan dengan pernyataan nomor 55. Gereja haruslah dipisahkan dari negara, dan negara dari Gereja. – Allocutio “Acerbissimum,” 27 September 1852. Apakah sikap Gereja sampai tetap tidak setuju dengan pemisahan negara dengan gereja, atau ini hanya berlaku untuk negara Vatikan?
    2. X. KESALAHAN-KESALAHAN YANG MERUJUK PADA LIBERALISME MODERN
    77. Pada masa sekarang sudah tidak lagi baik untuk diinginkan bahwa agama Katolik haruslah ditetapkan sebagai satu-satunya agama negara dengan mengecualikan segala bentuk ibadah lain. – Allocutio “Nemo vestrum,” 26 Juli 1855.
    78. Oleh sebab itu maka telah ditetapkan secara bijak oleh hukum di beberapa negara-negara Katolik, bahwa orang-orang yang datang dan tinggal di sana boleh menikmati pelaksanaan secara publik ibadah khas mereka. – Allocutio “Acerbissimum,” 27 September 1852.
    Apakah Gereja juga masih tidak setuju dengan kebebasan beragama dan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan. (seperti di Indonesia saat ini)? Tolong penjelasannya.

    • Shalom Frans,

      Yang Anda tanyakan sehubungan dengan Syllabus Errorum:

      27. The sacred ministers of the Church and the Roman pontiff are to be absolutely excluded from every charge and dominion over temporal affairs. — Allocution “Maxima quidem,” June 9, 1862.

      Maksudnya di sini adalah, kesalahan pandangan bahwa Paus ataupun pelayan Gereja (dalam hal ini Uskup dan imam) harus secara absolut tidak boleh mempunyai kuasa apapun untuk hal-hal temporal/ jasmani. Pandangan ini keliru, para pemimpin Gereja tersebut tidak dapat secara obsolut dipisahkan dengan hal-hal jasmani untuk mendukung karya pastoral mereka. Pendirian negara Vatikan (dan segala atributnya) diperlukan demi evangelisasi ke seluruh dunia yang dipimpin oleh Bapa Paus sebagai penerus Rasul Petrus. Demikian pula keuskupan dan paroki mempunyai hak untuk memiliki dan mengurus hal-hal temporal/ jasmani sehubungan dengan tugas penggembalaan umat.

      77. In the present day it is no longer expedient that the Catholic religion should be held as the only religion of the State, to the exclusion of all other forms of worship. — Allocution “Nemo vestrum,” July 26, 1855.

      Hal menjadikan agama Katolik sebagai agama negara, itu adalah keputusan negara yang bersangkutan atas dasar kehendak bebas manusia. Maka tidak seharusnya tentang hal ini dibatasi ataupun dianggap sebagai sesuatu yang tidak layak untuk diinginkan.

      78. Hence it has been wisely decided by law, in some Catholic countries, that persons coming to reside therein shall enjoy the public exercise of their own peculiar worship. — Allocution “Acerbissimum,” Sept. 27, 1852.

      terjemahannya:
      78. Oleh sebab itu maka telah ditetapkan secara bijak oleh hukum di beberapa negara-negara Katolik, bahwa orang-orang yang datang dan tinggal di sana harus/ wajib menikmati pelaksanaan secara publik ibadah khas mereka. – Allocutio “Acerbissimum,” 27 September 1852.

      Para pendatang di negara-negara Katolik sesungguhnya tidak berhak menuntut pihak negara tuan rumah untuk memberikan pelaksanaan secara publik ibadah khas mereka seperti di tempat asalnya. Hal ini sesungguhnya masuk akal, seperti halnya jika kita bertamu di rumah seseorang, maka bukanlah hak kita untuk menuntut tuan rumah untuk dapat menyediakan segala sesuatu yang ada di rumah kita, agar tersedia di rumahnya. Konsekuensi yang sejalan dengan prinsip dasar ini adalah, umat Katolik pendatang juga tidak bisa menuntut diadakannya ibadah perayaan Ekaristi di alun-alun di sebuah negara Komunis, misalnya.

      Namun di negara Indonesia yang berazaskan Pancasila -dan dengan demikian beberapa agama diakui keberadaannya oleh negara, maka sudah selayaknya umat agama yang diakui tersebut diperbolehkan untuk menunaikan ibadah sesuai dengan ketentuan agamanya. Dengan demikian baru tercipta kehidupan warganegaranya, sesuai dengan azas Pancasila tersebut.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Shalom, Mohon penjelasannya:
    Ensiklik “Noscitis,” 8 Desember 1849. Pada butir 18 mengenai protestanisme, sebenarnya Ensiklik “Noscitis,” 8 Desember 1849 itu apa dan siapa yang membuatnya? Apakah ensiklik itu juga dibuat oleh Paus?

    Terima Kasih…

    • Shalom Monica,

      Surat Ensiklik Nostis et Nobiscum tanggal 8 Desember 1849 ditulis oleh Paus Pius IX. Di sana ditulis antara lain peringatan dari Bapa Paus kepada para Uskup agung dan Uskup di Italia agar waspada terhadap ajaran-ajaran yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Kondisi Italia pada saat itu memang agak kacau dengan berkembangnya pengaruh Sosialisme dan Komunisme di Eropa, demikian juga dengan pengaruh Protestantisme, yang salah satu prinsip ajarannya adalah bahwa Kitab Suci adalah untuk dimengerti sesuai dengan pemahaman pribadi. Prinsip ajaran ini tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, yang selalu menginterpretasikan Kitab Suci berdasarkan atas ajaran para Rasul dan para penerusnya (ini disebut Tradisi Suci) sebagaimana diajarkan oleh Gereja. Oleh karena itu, Paus menulis surat ensiklik Nostis et Nobiscum  (untuk membaca teks lengkapnya, silakan klik di sini) agar para pemimpin Gereja Katolik di Italia tidak terpengaruh dengan ajaran- ajaran yang menyimpang tersebut.

      Berikut ini adalah kutipan paragraf yang dimaksud, yang kemudian dikutip intinya oleh Syllabus Errorum pada point 18.

      6. You are aware indeed, that the goal of this most iniquitous plot is to drive people to overthrow the entire order of human affairs and to draw them over to the wicked theories of this Socialism and Communism, by confusing them with perverted teachings. But these enemies realize that they cannot hope for any agreement with the Catholic Church, which allows neither tampering with truths proposed by faith, nor adding any new human fictions to them. This is why they try to draw the Italian people over to Protestantism, which in their deceit they repeatedly declare to be only another form of the same true religion of Christ, thereby just as pleasing to God. Meanwhile they know full well that the chief principle of the Protestant tenets, i.e., that the holy scriptures are to be understood by the personal judgment of the individual, will greatly assist their impious cause. They are confident that they can first misuse the holy scriptures by wrong interpretation to spread their errors and claim God’s authority while doing it. Then they can cause men to call into doubt the common principles of justice and honor.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. Wow…, terima kasih banyak juga atas termuatnya dokumen-dokumen di atas. Mohon carikan ulasan atau jelaskan beberapa paham yang dikecam oleh Joseph Ratzinger (Paus Benediktus XVI) yang saya lihat tidak ada atau kurang disebut di atas, seperti: Marxisme, liberalisme, libertinisme, kolektivisme, individualisme radikal, mistisisme religius, agnotisisme. Terima kasih banyak. Glory…glory…..GK!

    • Salam Franz Zinger,
      Untuk saat ini, kami belum mempunyai terjemahan tentang paham-paham lain yang dikecam. Namun, semua yang anda inginkan sebenarnya tersebar di berbagai dokumen Gereja, seperti dokumen ajaran Sosial Gereja, mulai dari: Rerum Novarum, Quadragesimo Anno, Mater et Magistra, Pacem in Terris, Dignitatis Humanis, Gaudium et Spes, Populorum Progresio, Laborem exercens, Solicitudo Rei Socialis, Centesimus Annus, Caritas in Veritatis. Dan yang terberkati Paus Yohanes Paulus II dalam beberapa dokumen. Kalau anda masuk ke website vatican.va dan mencari dengan kata kunci “practical atheism” dan juga “practical materialism”, maka anda akan melihat ada begitu banyak dokumen yang berhubungan dengan yang anda minta. Semoga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  4. Terima Kasih Admin, atas dimuatnya Dokumen ini, Pro: Anastasius … Proficiat, saya amat menantikan dokumen2 terjemahan anda selanjutnya. Tuhan Yesus Memberkati.

Comments are closed.