Membaca judul artikel ini bisa membuat kita berpikir dan bertanya. Apakah sebuah penderitaan itu memiliki makna sehingga ada semangat yang bisa dihidupi? Kata spiritualitas itu sendiri sudah menggelitik untuk diolah dan diperdalam, seolah-olah sudah menjadi konsumsi publik seperti harga kacang goreng yang bisa ditempatkan di mana-mana. Secara singkat, bagian pertama dari artikel ini akan memberikan gambaran karakter khas dari sebuah spiritualitas bercorak Katolik hingga tiba pada sebuah pemahaman pada kehidupan sebagai sebuah liturgi yang hidup dan berkenan kepada Allah.
Bagian kedua akan memperdalam mengenai makna derita – penderitaan. Ada begitu banyak pemahaman dan konsep. Dalam tulisan ini akan dilihat dan dikritisi arti penderitaan dari sudut pandang kesehatan.
Kitab Suci sebagai sebuah pedoman dasar kita, akan memberikan pengalaman-pengalaman tentang penderitaan yang direfleksikan dari sudut pandang kita tentang Allah. Bagaimana pergulatan para tokoh dalam Perjanjian Lama dan Baru menghadapi misteri penderitaan ini… bahkan Yesus pun, Putra Allah yang hidup, juga mengalami hal yang sama di atas kayu salib.
Sebagai penutup, akan diilustrasikan tentang tahap-tahap spiritualitas penderitaan yang dilalui oleh dua orang mistikus penderitaan: Chiara Badano dan Concetta Bertolli.
1. Spiritualitas
Berbicara tentang spiritualitas, kita bisa belajar memahami maknanya berangkat dari para Bapa Gereja hingga abad VI. Bagi mereka, kehidupan rohani berlindung di dalam bidang kehidupan interior. Pemahaman ini diteruskan oleh para pujangga kehidupan rohani pada abad keemasan Spanyol, seperti St. Theresa dari Avila, St. Ignasius dari Loyola dan St. Yohanes dari Salib. Mereka lebih menitikberatkan lika-liku afektif yang dialami manusia dalam kehidupan interior, terlebih doa.
Tidak mengherankan bila di zaman keemasan ini, mereka banyak memperkenalkan sebuah kehidupan di dalam Roh, sebuah formasi kehidupan rohani dalam bentuk praktek-praktek kesalehan, devosi, latihan rohani, doa dll. Apa yang mereka ajarkan itu berangkat dari praktek hidup sehari-hari dan kembali kepada praktek yang konkrit, atau dari praktek kehidupan jemaat beriman kepada pemahaman yang benar. Maka, ada kesatuan antara praksis dan teori di dalam tulisan-tulisan mereka, tidak sekedar sebuah diskursus teologis yang mengambil bentuk saintifik.
Dengan demikian, kata kunci unuk memahami kata spiritualitas adalah pengalaman religius. Apa artinya? Kita bisa berangkat dari sebuah pengalaman kita sendiri dalam memupuk kehidupan rohani, misalnya dengan berdoa. Kontak yang kita buat dengan realitas transenden, Yang Ilahi, apakah cukup dengan sebuah persepsi afektif? Adakah sesuatu yang obyektif? Ataukah bentuk doa kita itu sekedar merupakan auto-konstruksi psikologis atau sebuah sublimasi naluri di bawah sadar, untuk bertemu dengan Yang Ilahi sesuai dengan konstruksi kesadaran kita? Pertanyaan dan pernyataan semacam ini bisa membawa kita pada sebuah reduksi psikologis tentang jati diri Allah sendiri.
Dalam hal ini, pengalaman religius memiliki obyektivitas dan subyektivitas. Dua hal ini saling bersitegang secara dialektik. Perwahyuan obyektif dan pengalaman tentang subyek tetap merupakan sebuah realitas yang terbuka. Yang Ilahi yang kita imani sudah jelas sebagaimana diwahyukan oleh Yesus Kristus. Namun, untuk memahami yang obyektif ini, tidak bisa ditemukan sebuah metode unik, tunggal yang sanggup untuk merangkul semua perbedaan dan totalitas dari pengalaman iman masing-masing subyek. Bukankah kita semua lahir, dibesarkan dan bersosialisasi dalam konteks budaya yang berbeda-beda strukturnya? Maka, setiap perjumpaan dengan Allah itu menjadi sebuah perjumpaan yang autentik bila ada unsur transformasi diri, yang sering disebut dengan istilah Pertobatan. Kehidupan subyek akan menunjukkan karakter ini bila memang ada sebuah perjumpaan aku (manusia) dan Engkau (Yang Ilahi) secara autentik.
Maka, pengalaman rohani / pengalaman batin / pengalaman spiritual adalah sebuah pengalaman eksistensial, pengalaman bersejarah, progresif, dalam kontras dinamika ketegangan. Kita bisa mengambil dan mempelajari di tangan kita, pengalaman dari para orang kudus. Pergulatan mereka dan kesaksian mereka adalah sebuah contoh, model, dan bukan sebagai hukum universal yang harus dijalankan demikian. Dinamika pengalaman rohani mereka adalah sebuah partisipasi pada sebuah dinamika vital, yang mengarah kepada kepenuhan panggilan umum yang ditujukan kepada kita juga, yaitu dipanggil kepada kekudusan, panggilan kepada kesucian Allah. Di dalam panggilan ini, ada aspek-aspek yang berbeda tentang kekudusan dan di dalamnya, kehidupan rohani mengintegrasikan kehidupan manusia secara penuh dan utuh dalam perjumpaan dengan Allah.
Pendek kata, sebuah spiritualitas Katolik yang autentik itu selalu merujuk pada sebuah cakrawala Perwahyuan yang bercorak uniter di dalam Yesus Kristus, mempelajari pengalaman rohani masing-masing orang dalam konteks konkrit yang dihadapinya, mendeskripsikan perkembangannya serta mempelajari struktur-struktur dinamikanya. Spiritualitas ini menawarkan kesatuan dalam hidup, yang merupakan sebuah terjemahan yang bergulat tentang persoalan dan cara berpikir, bertindak, berdoa dan merayakan budaya kehidupan sehari-hari. Spiritualitas Katolik bukanlah ide, tapi keselarasan hidup dalam perjumpaan dengan Allah, sesama, diri sendiri dan alam semesta. St. Paulus merangkumkan ini kepada jemaat di Roma sebagai sebuah liturgi kehidupan demikian: Karena itu saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan hidupmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati (Rm 12:1)
2. Derita
Kata penderitaan adalah konsep relatif. Lingkup kita dipersempit pada soal kesehatan dan mistik kristiani, berangkat dari pengalaman biblis, liturgis dan spiritual.
Di satu sisi, ada sebuah pengalaman dimana seseorang yang sakit bisa merasakan bahwa semuanya okay. Atau di sisi lain, kita bisa juga bertemu dengan seseorang yang nampak sehat-sehat saja, tapi dirinya sendiri merasa ada saja sesuatu yang tidak beres.
Derita atau penderitaan kerap diasosiasikan dengan kesehatan fisik, penyakit. Konstitusi WHO memberikan sebuah deskripsi tentang kesehatan demikian: Kesehatan adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan kesejahteraan sosial; dan Tidak hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan (Konst. WHO). Kita bisa bertanya, mungkinkah ini terjadi? Gambaran yang diberikan WHO memberikan kesan sebuah situasi ideal yang tidak mungkin terealisasi dalam hidup sepenuhnya. Di sini, dimensi spiritual dan tanggung jawab pribadi seolah-olah tidak nampak.
Ada juga yang memberikan deskripsi tentang kesehatan pada tiga level. Pertama, dari segi fisik, orang yang sehat itu segala struktur fisiknya berfungsi dengan baik. Segala kebutuhan dasarnya bisa dijalankan secara normal. Kedua, dari segi psikis, orang yang tidak sehat bisa merasa bahwa dia sehat. Situasi afektif dan pemahaman pribadi tentang kesehatan yang dialaminyalah yang menentukan baik atau tidaknya seseorang. Pemahaman subyektif pada situasi sendiri semacam ini menjadi sebuah konsep yang amat relatif. Orang bisa merasa sehat, meski organnya sakit berat, karena kriteria subyektif pada penderita. Pemahaman ini mendapat kritikan dari kriteria yang obyektif berupa sistem perawatan kesehatan dari seluruh aspek kehidupan terhadap penyakit. Namun, konsep ini pun kerap berakhir pada pengobatan yang makin berpusat pada organ manusia, daripada manusianya sendiri. Pemutlakan pada sistem kesehatan sebagai sebuah kriteria tunggal pun menjadi sebuah pertanyaan untuk memberikan deskripsi tentang derita dan kesehatan. Ketiga, dari segi spiritual, lebih menekankan soal ada dalam keadaan baik. Deskripsi ketiga ini lebih mengarah pada dimensi spiritual, dalam konteks bahwa manusia menghidupi kehidupannya selaras dengan alam sekitar.
Pada level ketiga ini, konsep kesehatan ada dalam konteks lebih luas dan menciptakan program perencanaan hidup. Ada sebuah visi transendental di mana kehidupan itu lebih daripada kesehatan – penderitaan. Dia berusaha untuk menyadari penderitaan, menerimanya, dan mengolahnya dalam relasi dengan yang transenden. Maka, terbuka peluang sikap dasar lepas bebas (dalam konteks spiritualitas ignasian, Latihan Rohani 23). Contoh yang bisa kita ambil di sini adalah para mistikus. Kerap mereka merasa sehat, meski secara fisik bertentangan, karena mereka memiliki visi yang lebih luas dari keberadaan mereka.
3. Tradisi Kitab Suci
Bagaimana Kitab suci memberikan deskripsi dan pemahaman tentang penyakit dan penderitaan? Perjanjian Lama menyodorkan sebuah mitos tentang dosa. Beberapa teks menggambarkan pemahaman tentang dosa ternyata lebih menarik perhatian daripada beban penderitaan yang harus ditanggung. Kita bisa melihat ini dalam pengalaman dialog Ayub dengan tiga sahabatnya.
Ada semacam trilogi yang mengatur kondisi manusia, yaitu tindakan bebas manusia, keadilan Allah, berkat atau kutuk sebagai efek sampingnya. Yang menjadi pusat perhatian adalah sikap manusia terhadap perjanjian: apakah manusia taat atau memberontak pada perjanjian itu?
Apakah Allah itu bertindak adil dengan memberikan hukuman kepada manusia? Tentang keadilan Allah, Bildad, dalam dialog dengan Ayub, mencoba untuk membela keadilan Allah, tapi mengatakan penilaian yang kurang tepat tentang Ayub. Jika kita mengakui kebenaran Ayub, maka Allah itu tidak adil. Sangat kuat di sini pemahaman logika hukum retributif. Maka, Ayub dibiarkan hidup, agar bisa bertobat dan ini akan mengubah sikap Allah. Namun, tidak selamanya cakrawala ini negatif. Cakrawala retributif ini pun pada kehidupan di masa datang merupakan penghiburan bagi penderitaan orang benar saat ini. Mereka meyakini bahwa Allah bisa berbalik membela mereka terhadap orang-orang yang bertindak jahat dan tidak adil kepada mereka.
Visi uniter tentang Allah, Adonai, yang memberi berkat atau kutuk menjadi kental ketika manusia itu taat atau melanggar perjanjian dengan Allah. Mari coba dibandingkan pengalaman Mzm 61:6 «Terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa, dan melakukan apa yang Engkau anggap jahat». Terhadap visi semacam ini, kita bisa bertanya, apakah doktrin keagamaan menyiksa penderita? Dari pengalaman Ayub, dia hanya mengharapkan belas kasih dari rekan-rekannya, bukan penjelasan religius tentang doktrin keagamaan. Dia sudah banyak menderita meski tidak bersalah. Apakah penderitaannya harus ditambah lagi dengan beban doktrin keagamaan yang mengatakan bahwa kalau orang itu menderita, berarti dia pasti bersalah kepada Allah, sesama dan alam semesta? Kalau dia tidak bersalah, apakah kita harus mencari-cari kesalahan di dalam keluarganya, di dalam diri nenek moyangnya bahwa itu merupakan sebuah dosa turunan? Apakah peneguhan atas derita sebagai akibat dari dosa itu harus dicari dan ditemukan dalam sejarah? Kalau begini, apa yang harus kita katakan tentang Yesus yang wafat di salib seperti para penjahat? Apakah dia juga penjahat yang berdosa? Seolah-olah ada sebuah tuduhan membisu di sini bahwa Allah (yang berdiam diri) bertanggungjawab atas kebahagiaan dan penderitaan manusia yang tidak bersalah. Benarkah demikian?
Persoalan penderitaan masih belum terselesaikan. Ketegangan antara hasrat kuat untuk sembuh dan retorika penebusan itu masih ada. Orang yang mengalami penderitaan, tentu berharap untuk segera sembuh. Bagaimana didamaikan dinamika ini dengan misteri Yesus yang menerima penderitaan sebagai bagian dari sejarahnya? Bagi Yesus pun, penyakit dan penderitaan masih merupakan bagian dari kematian. Melihat pengalaman salib demi pengalaman penderitaan itu sendiri tentu bukan sebuah salib yang menebus. Yesus tidak melihat salib sebagai sebuah tujuan akhir sejarah-Nya, melainkan sebagai sebuah jalan. Ketegangan antara jalan dan tujuan itu bisa digambarkan dengan sebuah cakrawala akan langit dan bumi yang baru sebagai pengharapan akan kehidupan kekal yang membahagiakan, serta doktrin kristiani primitif tentang salib sebagai satu-satunya jalan menuju keselamatan sebagai jalan menuju ke sana.
Pemahaman baru disodorkan oleh Yesus kepada kita. Dia tidak menjelaskan penyebab derita dan tidak menghubungkan derita dengan dosa. Dia justru menempatkan derita dalam karya keselamatan Allah dan mengambil penderitaan sebagai bagian hidup-Nya. Paradoks yang bisa kita lihat adalah di dalam Sabda Bahagia (Mt 5). Berbahagialah orang yang miskin, yaitu orang yang tidak bisa berada di tempatnya sendiri. Berbahagialah orang yang berdukacita dan meneteskan airmata, airmata adalah ungkapan pengampunan, tanda sesal, tanda cinta. Kita bisa melihat airmata dari ibu-ibu muda yang anak-anaknya menjadi martir di Betlehem karena Herodes yang tidak mampu berdiri tegak, tidak peka pada dirinya sendiri, kurang kecakapan kuasai diri dan merasa mulai tersingkir oleh kehadiran Yesus. Kita bisa juga kembali ke kisah aungan di Rama yang dikisahkan oleh Yeremia, karena Rahel menangis untuk semua anaknya dan tidak ingin dihibur lagi. Yesus juga mengangkat sabda Berbahagialah yang lapar, karena mereka akan dikenyangkan; yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajan Sorga. Juga Berbahgialah kamu, jika karena Aku, kamu dicela dan dianiaya.
Yesus membawa pembaruan relasi antara Allah dan bangsa Israel beserta dengan orang-orang yang menderita di sekitarnya. Dosa menjadi sebuah penderitaan ketika cinta diri meningkat sampai menjadi penghinaan terhadap Allah (S. Agustinus, de Civ. 14,28). Inilah yang menjadi beban dan penderitaan para pengikut Kristus.
Bagaimana hal ini menjadi konkrit? Paulus mencoba menjelaskannya dengan dirinya sendiri sebagai model. Sebagai seorang mantan pemburu berdarah dingin bagi para pengikut Kristus, ketika mewartakan Yesus dalam berbagai perjalanan misinya, dia menghadapi budaya kematian di sepanjang jalan yang dia tempuh. Bisa kita lihat pengalamannya di 1Kor 4:10-13, 2Kor 4:8-11, 11:23-29. Ada berbagai litani penderitaan dan tekanan yang dihadapinya seperti terabaikan, kelaparan, haus, kurang tidur, disiksa, dianiaya, telanjang, direndahkan… Kepada jemaat di Korintus dia pun menegaskan bahwa Setiap hari aku berhadapan dengan maut (1Kor 15:31). Seolah-olah bagi Paulus, kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Kristus (Rm 6:4)!
Namun di dalam pengalaman-pengalaman tersebut, dia merenungkan bahwa Kami yang hidup ini terus menerus diserahkan kepada maut karena Yesus, supaya juga hidup Yesus menjadi nyata di dalam tubuh kami (2 Kor 4:11). Dengan demikian makin nyatalah bahwa menderita karena Kristus adalah makanan sehari-harinya, karena Bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:20). Demikianlah pengalaman Paulus.
Bagaimana dengan pengalaman ketiga orang yang disalibkan di atas bukit Golgota? Marilah kita meninjaunya dari sisi pengalaman kehidupan rohani.
Di sebelah kiri ada salib yang buram. Nampaknya kurang cahaya, berwarna agak gelap dan diwarnai dengan penolakan yang mendalam atas beban derita itu. Namun, meskipun menderita begitu hebat, salib ini tidak mencari relasi dengan orang yang disalibkan di Tengah. Dia bahkan memusuhi Yesus, meski sama-sama menderita (bahkan Yesus lebih menderita lagi)! Baginya, derita salib ini tidak ada maknanya sama sekali. Hanya kalau turun dari salib, maka dia dibebaskan dari neraka ini. Sayangnya, harapan itu tidak akan pernah terjadi. Kenyataan inilah yang membuat kita pahit, padahal dia dekat sekali dengan Salib Yesus! Maka, kita pun bisa bertanya pada diri kita sendiri, berapa banyak salib yang buram, salib tidak tertebus, salib yang kita tolak ada dalam sejarah kita? Berapa banyak penderitaan dan situasi yang membuat kita memberontak pada Allah? Apakah kita menjadi korban dari nasib yang buta dan tidak mengenali kehadiran Yesus yang ada dekat dengan kita?
Di sebelah kanan ada salib yang bercahaya. Salib ini berwarna cerah karena yang berdiri terpaku di atasnya mengakui pantas dan layak menerima salib itu. Dalam penderitaannya, dia justru sanggup melihat dan menilai penderitaan orang lain: Yesus tidak pantas menerima salib seperti dia! Orang yang terpaku itu, dalam sisa waktu yang dia miliki, mencoba sadar diri dan mencari jalan untuk bertemu Yesus yang tersalib. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebuah lilin untuk menerangi kegelapan. Di depan salib ini, kita harus berhenti lebih lama, untuk melihat dan mempelajari derita-derita kita dalam terang salib Yesus. Berapa lilin yang sudah kita nyalakan untuk menerangi kegelapan penderitaan kita?
Di antara dua salib, ada salib Yesus Kristus. Salib ini ada persis di tengah-tengah. Tidak jauh dari salib buram di sebelah kiri dan salib yang bercahaya di sebelah kanan. Ini mau mengatakan bahwa Di mana ada salib, ada penderitaan, di sana ada Yesus. Tidak diragukan lagi! Di dalam misteri penderitaan Yesus, kita bisa melihat inkorporasi penderitaan manusia dalam misteri penderitaan Anak Manusia.
Sebagai penutup, St. Fransiskus dari Sales pernah berkisah. Di Savoia, ketika para ibu-ibu dan remaja putri menimba air di sumur, mereka meletakkan potongan kayu kecil di permukaan air. Ketika ditanya mengapa, mereka menjawab: supaya air cepat tenang dan tidak banyak tetes-tetes air yang berjatuhan dan terbuang. Salib Yesus adalah potongan kayu itu. Semoga kita mengimani Dia sebagai penjamin, agar kita tetap tenang dalam setiap pencobaan hidup. Jika hatimu galau, letakkanlah Salib, maka engkau akan menemukan damai dan kekuatan.
4. Tahap-tahap mistikus penderitaan
Apa yang akan digambarkan di sini adalah sebuah pengalaman rohani aktual. Sebuah pengalaman yang merupakan bagian integral dari kisah hidup rohani seseorang. Dia menyadari dengan akal budi dan hati, cinta kasih Allah yang tidak terbatas. Kesadaran inilah yang menuntunnya secara perlahan dalam gerak tunas jagung yang baru tumbuh, sebuah sikap lepas bebas sebagai keterbukaan pada berbagai pilihan Kehendak Allah. Relasi dengan Allah lebih menentukan daripada kondisi fisik yang mereka alami. Bahkan, menerima penderitaan sebagai privilegi kekudusan personal merupakan sebuah anugerah untuk bisa mengidentifikasi dengan Yesus yang menderita. Tentu saja perjalanan rohani tidak pernah akan mulus. Autentisitas sebuah pengalaman rohani bisa dijumpai dalam malam kegelapan rohani. Malam ini bisa menjadi sebuah pertarungan yang hebat antara penderita dengan derita yang dialaminya, hingga dengan bantuan rahmat Allah, dia sanggup untuk berserah: “Ya, Yesusku”.
Mari kita melihat pengalaman para mistikus penderitaan ini, terutama dalam diri Concetta Bertolli dan Chiara Badano. Dengan menceritakan mereka, akan digambarkan pula makna setiap tahap yang mereka lalui.
4.1 Siapakah mereka?
Concetta Bertolli. dia lahir di Mereto di Tomba 14 April 1908 – 11 Maret 1956. Wafat setelah menderita selama 31 tahun. Mistikus ini menghidupi spiritualitas Fransiskan. Dia berasal dari keluarga miskin dan menggantungkan hidup dari ladang. Pada tahun 1924, usia 16 tahun, dia merasa gejala sakit yang hebat dari kepala sampai kaki. Para dokter memberikan diagnosis artrite nervosa deformante poliarticolare reumatica. Pada tahun 1930, Concetta tidak bisa bergerak sama sekali. Dia masih bisa melihat, mendengar, berbicara meski dengan rahang terkunci. Pada 7 September 1941, dia berkaul tersier dalam keluarga Fransiskan setelah setahun novisiat. Di sini dia merasa dekat dengan St. Fransiskus yang membawa stigmata Kristus. Peziarahan ke Lourdes dia ikuti tahun 1938. Pada waktu itu, dia meminta rahmat agar bisa menerima penyakit ini dengan cinta kasih dan bisa menerima komuni, yang sudah tidak bisa diterimanya selama 4 tahun terakhir. Permohonan dikabulkan oleh seorang imam, yang memasukkan hosti dari liang-liang gigi secara perlahan.
Dia menderita dalam waktu yang cukup panjang, hampir dalam kehampaan karena pendampingan yang tidak cukup, kesulitan ekonomi, kehilangan keluarga dan sahabat. Ayahnya pun meninggal pada November 1948. Kurang lebih setahun kemudian pada malam Natal 24 desember 1949, dengan sangat gembira dia mengikuti perayaan Ekaristi di kamarnya, yang dirayakan oleh P. Ludovico Ferino. Inilah pesta perak pernikahannya dengan penyakit yang dideritanya.
Pada awal tahun, bulan Januari 1956, dia merasa bahwa tahun itu akan meninggal. Maka, di awal Maret, dia meminta sebuah gaun pengantin berwarna putih untuk pemakamannya. Dengan tulang tinggal berbalut kulit, dia menerima Sakramen Perminyakan, kemudian berserah dengan tenang dan memperbaharui persembahan kepada Allah untuk pertobatan para pendosa. Sesaat kemudian, dia meninggal pada 11 Maret 1956, setelah 31 tahun menderita.
Chiara Badano. Mistikus Penderitaan ini menghidupi Spiritualitas Focolare. Lahir di Sassello, 29 Oktober 1971 – 7 Oktober 1990 Provinsi Savona, Italia. Dia adalah anak pertama yang dinanti-nantikan oleh sepasang pasutri setelah 11 tahun pernikahan.
Babak baru dalam hidupnya mulai dengan diagnose kesehatannya. Dia menderita osteosarcoma. Tumor ganas pada tulang. Perlu dipelajari betul tahap ini, karena penyakit yang dideritanya membangun jalan menuju kekudusan. Tanggal 28 Februari dioperasi di RS. Molinette di Torino, tanpa hasil. Penderitaan fisiknya disertai pula dengan rasa rendah diri. Dia orangnya sangat sensitif dan bersih, harus menerima kateter bersama dengan pelayanan yang lain… dia sendiri belum siap pada usia semuda itu.
Pada bulan Januari 1990 ditempatkan kateter spinale untuk mencoba mengurangi rasa sakit, disertai juga dengan morfin. Beberapa hari kemudian, dia meminta untuk tidak lagi diberi penenang, pengurang rasa sakit, morfin dan sejenisnya, dan ingin tetap sadar. Maka, bersama dengan orangtua diputuskan pada tanggal 22 Juni, untuk menghentikan chemioterapia dan tinggal di rumah.
Chiara Badano menulis kepada Chiara Lubich, pendiri gerakan Focolarini untuk memberitahu situasi dan keputusan yang diambilnya: saya menghentikan siklus chemioterapia karena tidak menghasilkan perbaikan apa-apa, tidak ada hasil apa-apa! Kemampuan pengobatan sudah menyerah, sudah tidak mampu lagi. Hanya Tuhan yang mampu. Dengan penghentian ini, rasa sakit di punggung makin bertambah, dan tidak mampu lagi saya berguling ke kanan / kiri di tempat tidur.
Menjelang kematiannya, Chiara sadar dan tanpa kehilangan ketenangan, meminta pada ibunya untuk mempersiapkan gaun pengantin di awal Oktober 1990. Chiara menginginkan gaun pengantin berwarna putih, sederhana, panjang. Dia meminta agar ibunya memandikan dia dan mengatur rambutnya sebelum mengenakan gaun itu. Dia ingin bergaun putih karena kematian berarti bersatu dengan Yesus, mempelainya, yang ingin dia songsong dengan gaun pengantin.
Kata-katanya yang terakhir: Mamma, ciao. Sii felice, perché io lo sono (Salam, ibu, berbahagialah, karena saya sangat berbahagia). Chiara meninggal pukul 04.10 tanggal 7 Oktober 1990. Dua puluh empat jam setelah itu, sesuai dengan permintaan Chiara, para medis mengambil kornea matanya untuk diberikan kepada dua anak muda dengan hasil positif.
4.2 Tahap 1: Menyadari primasi cinta kasih Allah yang tidak terbatas
Isi dari pengalaman mistik adalah pemahaman intuitif tentang kebenaran teologis, bahwa meski apapun yang terjadi …, Allah tetap mencintai manusia dan besertanya sampai akhir zaman. Jiwa mistik mengulang bersama Paulus: Dia telah mencintaiku dan memberikan diri-Nya bagiku (bdk. Gal 2:20). Maka, di sini kita melihat sisi transformatif yang muncul, yaitu kehidupan adalah rahmat dari Allah, sesama adalah rahmat. Begitu juga alam, kesehatan, persaudaraan… juga penderitaan!
Concetta Bertolli. Concetta beriman sederhana dan kuat, yakin teguh bahwa Allah mencintainya dan memberikan yang terbaik. Inilah kekuatannya untuk menerima derita, yang dipandangnya sebagai rahmat cinta kasih Allah. Dia mengatakan:Aku tidak akan mau digantikan oleh siapapun. Aku bahagia dengan situasiku sekarang. Dia seringkali mengulang hal itu dan dengan tulus mengatakan: Aku baik-baik saja di tempat tidur ini. Allah mempercayakan kepada setiap orang sebuah misi dan Dia memberikan kepadaku ini. Aku bahagia.
Chiara Badano menghidupi sebuah spiritualitas mistik berdasar pada pengalaman cinta kasih Allah yang tidak terbatas. “Allah mencintaiku dengan tiada terkira!”Tidak ada sesuatupun yang keluar untuk menggoyahkan keyakinan ini, meski dia menanggung kekecewaan, kepahitan, terapi yang memusingkan dan tiada henti. Meski ini semua, keyakinannya tidak goyah: «Dengan ini juga, Allah sungguh-sungguh mencintaiku».
Dari kedua tokoh ini, kita bisa melihat bahwa masing-masing menyadari penderitaannya – seperti salib yang tidak terelakkan – sebagai bentuk cinta Allah.
4.3 Tahap 2: Sikap lepas bebas sebagai keterbukaan pada berbagai pilihan Kehendak Allah
Isi tema pokok spiritualitas mistik penderitaan adalah mencari kehendak Allah dalam segala hal dan segala situasi. Dalam konteks ini, derita menjadi sebuah kemungkinan. Maka, di tahap kedua ini mulai ketika penderita berserah pada kehendak Allah, meski dia tidak memahami rencana-Nya, meski subyek kemanusiaan penderita sendiri memberontak.
Concetta Bertolli berjuang sangat keras untuk memahami misteri penderitaan yang dibawanya. Pada periode pertama, dia tidak menemukan jawaban sekecilpun dari penderitaannya. Dia tidak memahami mengapa penyakit ini dan mengapa benar-benar harus dia.Menerima penyakit dan penderitaan bukanlah sebuah proses yang mudah dan cepat. Secara alamiah, jiwa memberontak, akal budi memberondong berbagai pertanyaan. Sementara teman-temannya pergi bekerja setiap pagi, para tetangga tertawa bercanda, bergembira, para sahabat bermain… dia, pada usia 20 tahun dengan mimpi seorang anak muda, harus terpaku di tempat tidur, tidak mampu untuk duduk… karena sakit yang tiada taranya.
Mengapa? Dia tidak memiliki sebuah keberanian untuk berani menerima. Hari terus berganti, bulan berganti bulan… perlahan-lahan Concetta memahami…. bahwa Salib yang dipanggulnya itu, memberikan terang, dengan menyingkap tujuan dan maksud penderitaan manusia. Pada akhirnya, menunduk dan menerima penderitaan ini sebagai bagian dari dirinya. Perlahan, namun dengan kemajuan yang pasti, Concetta merasakan kebahagiaan dalam situasi yang dihadapinya itu. Dia mengaku, tidak akan mau digantikan tempatnya oleh siapapun! Dia mengatakan: “Penderitaan, tanpa kepasrahan diri… itu amat mengerikan; tetapi, jika ada penyerahan diri ini, penderitaan itu tidak ada apa-apanya”.
Chiara Badano. Selama masa sakitnya, dia selalu mengulangi: “Yesus, jika Engkau menginginkan hal ini, tentu aku juga!”Kepada ibunya dia mengatakan: “Bagiku, yang paling penting adalah mengikuti kehendak Allah. Cukup menjalankannya dengan baik, maka kita akan tetap bersama Allah. Kerap kali orang datang dan mengajak dia meminta mukjizat, tetapi dia menjawab: “Tidak! Jika Bunda Maria mau membuat mukjizat untukku, dia bisa membuatnya di sini, sekarang dan tidak harus pergi berziarah ke Lourdes”.«Banyak orang mengajak saya untuk meminta mukjizat. Saya menginginkannya, tetapi saya merasa itu bukanlah Kehendak Allah. Saya tidak meminta kepada Yesus untuk dibawa ke surga secepatnya, karena itu menunjukkan kalau saya enggan menderita. Hanya dia yang tahu kapan saya harus berangkat».
4.4 Tahap 3: Penerimaan penderitaan sebagai privilegi kekudusan personal
Isi di tahap ketiga dari peziarahan spiritual ini ditandai dengan penerimaan penyakit dan penderitaan seturut dengan pemahaman Yesus: Ya Bapa, jika Engkau berkenan, jauhkanlah dari padaku piala ini. Tetapi, bukan kehendakku, melainkan kehendakmulah yang terjadi (Luk 22,42).
Concetta Bertolli menderita selama 31 tahun: 26 tahun tidak bergerak dan 6 bulan terakhir mengalami kebutaan total. Untuk memahami keutamaanya yang besar, perlu melihat juga karakter keaktifan Concetta yang sangat mencintai dansa dan tarian. Dia selalu gembira dan suka sekali tersenyum dan bersendau gurau. Dari ini, mulailah karya misinya. Sejak sekitar 1935, dia tidak lagi meminta dalam doa untuk disembuhkan, karena dia sudah menyerahkan hidupnya seluruhnya kepada Allah.
Dia melihat penyakit yang dideritanya, mengucap syukur kepada Allah dan merasakan itu sebagai sebuah rahmat. Dia berterimakasih selalu kepada Allah yang telah memilihnya untuk mengalami penyakit ini dan menderita karenanya, dalam kerinduan untuk makin dimurnikan dan bisa bekerja sama melalui penerimaan penderitaan ini, demi keselamatan jiwa-jiwa.
Chiara Badano. Ada sebuah komentar cukup menarik dari sahabat Chiara, yang membantu kita untuk memberi definisi pada spiritualitas penderitaan: «Chiara tidak menanggung penderitaan, melainkan membawanya». Tidak pernah terdengar satu keluhan atau rasa lelah. Dia juga tidak menggerutu: «Aku sudah tidak kuat lagi». Nampak bahwa badan yang menderita itu, seolah-olah berada di luar dirinya. Derita itu tidak menghalanginya untuk mencintai Allah, melainkan sebagai sebuah sarana khusus yang diberikan oleh Allah kepadanya.
4.5 Tahap 4: Identifikasi dengan Yesus yang menderita
Saat ini penyakit menjadi jalan khusus bagi spiritualitas mistik penderitaan. Penyakit tidak lagi memiliki kekuasaan apapun pada pribadi penderita. Jiwanya melihat penderitaan sebagai bentuk partisipasi di dalam penderitaan Yesus Kristus.
Concetta Bertolli mempersembahkan kepada Allah penderitaannya. Dia menderita bagi kaum miskin dan pendosa, agar bertobat dan merubah hidupnya, bagi para imam agar menjadi lebih kudus, bagi para misionaris, agar mereka makin mengembangkan Kerajaan Allah. Seorang misionaris Xaverian (S.X.), yang sedang berlibur dari Afrika, setelah 20 tahunan berkarya di sana, dalam sebuah kunjungan kepada Concetta, menganjurkan dia agar meminta rahmat penyembuhan dari Allah, agar bisa berangkat sebagai misionaris. Terpaku pada ranjang, Concetta menjawab: « Pastor, saya adalah misionaris penderitaan!»
Chiara Badano melihat penderitaan sebagai jalan menuju pertumbuhan rohani. Cinta kepada Salib menghantarnya pada penyerahan diri, pengosongan diri sendiri. Dia menolak morfin, dan mengatakan: “Saya bisa menderita demi Yesus”. Dalam penyerahan diri itu, dia mempersembahkan kehidupannya bagi kaum muda, keuskupan, bagi yang jauh, bagi kelompok focolarini dan bagi karya misi.
Dia selalu tenang dan teguh, karena yakin bahwa «penderitaan yang dipeluk dengan kasih membuat kita bebas».«Setiap jarum suntik yang masuk itu serupa dengan duri-duri yang menusuk kepala Yesus. Setiap tetes darah itu mirip dengan efek dari paku bekas yang dipakai untuk menyalibkan Yesus. Setiap flebo yang masuk lewat jarum itu mirip pukulan palu para serdadu, yang diiringi pesan: Untukmu».
4.6 Tahap 5: Malam kegelapan Rohani
Karena penderitaan adalah misteri, meski penderita menerima dengan sadar, ada saat-saat kritis dan kegelapan rohani. Makna rohani dari pengalaman kegelapan rohani adalah kehampaan. Ini lahir dari pemahaman intuitif tentang kebenaran teologis, bahwa manusia –karena dosa asal– terpisah dari Allah. Peran positif pengalaman ini adalah pembenaman dalam pertanyaan mendasar: di manakah keselamatanku? Hasil positif dari pencarian ini adalah manusia yang rendah hati, yang di satu sisi melihat keterbatasan dari keberadaannya sebagai ciptaan, di sisi lain, dia memahami bahwa keselamatan datang dari Allah saja.
Concetta Bertolli adalah orang berkarakter terbuka, ramah, baik hati… dia sendiri mengatakan, kalau tidak menderita seperti ini, dia akan menjadi seorang pendosa! Meskipun sakitnya parah, ada sebuah kontras amat menakjubkan, sabuah jiwa yang penuh dengan kehidupan, ada di dalam sebuah badan yang terdeformasi, tidak indah dipandang, buruk rupa…
Karakter ini menjelaskan mengapa Concetta terus memberontak pada bulan-bulan pertama. Ketika muncul penyakit itu, dia berteriak: «Aku ingin bunuh diri!». Tapi, dia tidak memiliki keberanian untuk membenturkan kepala di dinding, karena ketidakmampuannya bergerak. Maka, dengan keyakinan yang dibangun dengan perlahan dan pasti, dia menerima penyakit ini dan mempersembahkannya bagi para pendosa, imam dan misionaris.
Chiara Badano mengalami kegelapan ini melalui pencobaan dari iblis. Selain derita fisik, di masa akhir hidupnya, dia harus menghadapi serangan iblis yang mencoba meruntuhkannya. Dia selalu mengundang ibunya yang menemuinya selalu dalam keadaan berkeringat, wajah pucat dan gentar. Chiara mengatakan bahwa iblis mencoba membenamkannya ke bawah dan dia merasa betul-betul dibenamkan. Maka dia meminta ibunya untuk tinggal dekat dengannya. Ibunya pun mengatakan «engkau memiliki Yesus yang lebih kuat dari iblis».
4.7 Tahap 6: Pasrah berserah: Ya, Yesusku
Tahap akhir dari peziarahan mistik adalah identifikasi dengan wajah khusus Yesus Kristus. Keyakinan ini memperteguh iman dan pengharapannya. Penderita tahu bahwa dia bisa mempersatukan penderitaannya dengan penderitaan Yesus. Dengan cara demikian, dia turut berpartisipasi pada penebusan dunia. Sikap penebusan dapat muncul dalam berbagai bentuk: oblatif, unitiv, partisipatif, altruistik, pengorbanan, penitensi, perbaikan, perantara, dan seterusnya.
Wajah Yesus bagi Concetta adalah Yesus yang tersalib. Dengan memandang salib, dia kerap mengatakan «aku itu seperti Dia, tapi dalam posisi yang berbeda. Dia dalam bentuk T, aku dalam bentuk Z, maka aku yang terakhir».Sikap batin Concetta di hadapan sakit dan penderitaannya berkarakter kristosentris. «Dia menunjukkan iman yang teguh pada Allah. Baginya, Allah adalah semuanya! Dari mulutnya selalu keluar kata «Allahku, ya Allahku».
Wajah Yesus bagi Chiara adalah «Yesus yang terlantar». Mons. L. Martino, kerap mengunjungi Chiara menyatakan: «Chiara menggarisbawahi hal yang esensial di dalam tradisi kristiani: Cinta kasih Allah dan karya keselamatannya, sentralitas Yesus Kristus, kesetiaan kepada kehendak Allah sebagai aturan hidup, primasi cintakasih di dalam kehidupan moral dan persembahan diri yang berlimpah».
5. Penutup
Titik pijak spiritualitas penderitaan adalah keyakinan teguh akan cinta kasih Allah yang tidak terbatas. Bahwa Allah sungguh-sungguh mengasihiku! Yang lain-lain adalah jawaban. Paulus menawarkan sebuah paradigma berpikir mendasar: «Aku hidup dalam iman akan Putra Allah yang mengasihiku dan memberikan hidupnya bagiku». «Siapakah yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus?»Apa untungnya berbagi penderitaan dengan Kristus yang bersengsara dan terabaikan?
Paradigma ini membuka kemungkinan untuk memberikan makna pada derita: «setiap waktu adalah berharga. Jika waktu dihidupi demikian, maka segala sesuatu bermakna dan bernilai… Juga pada saat-saat kritis, jika dipersembahkan kepada Yesus Kristus. Maka, derita tidak diabaikan begitu saja, namun memperoleh maknanya bila dipersembahkan kepada Yesus Kristus. Ada sebuah perubahan sikap manusia terhadap badan, kesehatan, penyakit, penderitaan dan kematian bisa ditinjau kembali. Tidak ada sikap negatif terhadap badan dan kesehatan. Tidak ada satupun dari orang sakit dan menderita, yang mencari dan memohon penyakit ini, tetapi mereka menerima, ketika tidak dapat dihindari. Penyakit ini bukan konsekuensi pengalaman mistik, tapi masuk terlebih dahulu. Di dalam penderitaan itulah para mistikus ini mencari makna dan menemukan artinya di dalam Yesus Kristus. Ada dialog antara penyakit dan spiritualitas mistik. Dialog itu terwujud dengan membangkitkan pertanyaan baru dan tantangan baru.
Spiritualitas mistik penderitaan memberikan makna baru pada penyakit. Sikap para mistikus penderitaan dalam relasi dengan penyakit adalah bahwa mereka tidak menanggung beban, tapi membawa penyakit itu bersama dengan kehidupannya. Perbedaan ada pada disposisi batin, di mana mereka menemukan makna penyakitnya dalam kehendak Allah.
Oleh : P. Alfonsus Widhi, sx
terlalu rumit, lebih baik baca Mengikuti Jejak Kristus – Thomas Kempis
inilah spritualitas Katolik yang sebenarnya.
Shalom Anonymous,
Terima kasih atas komentar Anda. Tulisan dari Thomas A. Kempis – Mengikuti Jejak Kristus – memang indah. Namun, tidak berarti bahwa spiritualitas lain di luar tulisan Thomas A Kempis adalah tidak baik. Gereja Katolik mengenal begitu banyak spiritualitas, yang semuanya bersumber pada Tritunggal Maha Kudus. Jadi, tidak menjadi masalah kalau seseorang mengikuti spiritualitas St. Ignatius Loyola, St. Benediktus, St. Yohanes Salib, dll. Yang terpenting, semuanya bersumber pada Kristus dan mengarahkan pada Sakramen Ekaristi. Silakan melihat artikel tentang spiritualitas Katolik ini – silakan klik. Artikel dari Romo Alfons yang mengulas spiritualitas penderitaan adalah sungguh baik, karena spiritualitas penderitaan ini sesungguhnya bersumber pada Kristus dan menjadi bukti otentik seseorang mengikuti Kristus dengan murni – termasuk mau berpartisipasi dalam penderitaan Kristus. Paus Yohanes Paulus II dalam surat apostolik, Salvifici Doloris, telah mengupas arti penderitaan dengan sangat indah. Mungkin Anda dapat juga membaca tulisan tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Thx Romo utk penjelasan spiritualitas penderitaan.Artikel itu sungguh bermakna utk penderitaan kehidupan pribadi sy yg sudah sy alami sejak kecil. Memang terkadang kemanusiaan kita ingin sekali terbebas dr penderitaaan apalagi ketika kita menghadapi tantangan berat yang menurut dunia medis saat ini blum tau penyebab pastinya. Tetapi tantangan berat membawa pd penderitaan, kegelisahan,kecewa,dan kesedihan. Smua itu menjadikan pengalaman batin ttg misteri penderitaan itu sendiri ketika sy cuma bs menyerahkan derita ini pd kehendak Illahi. Saya mohon berkatnya Romo, terimakasih.
Terima kasih Rm. Alfons atas artikelnya. Sangat menjelaskan dan menguatkan..
Comments are closed.