Bantu aku Tuhan Yesus, untuk memikul salib kecilku ini sebagai silih atas dosa-dosaku.

Tulisan ini adalah tulisan ke-dua saya dalam situs katolisitas (dari editor: tulisan Widi yang pertama berjudul “Kasih setia Tuhan tak pernah terlambat – silakan klik). Sungguh sebuah kesempatan dan Puji Tuhan seluas-luasnya bagi seluruh karya-Nya dalam hidup saya hingga saat ini. Terima kasih untuk dukungan tim Katolisitas sehingga akhirnya saya memberanikan diri menuliskan bagian ke-dua dari kesaksian hidup saya ini. Terima kasih Bu Inggrid, Pak Stef, Mba Uti juga semua tim Katolisitas. Tuhan pasti memberkati kalian semua.

Puncak karir dan ajakan Tuhan untuk hidup menghayati sengsara-Nya.

Setelah selesai menimba pengalaman dari perusahaan telekomunikasi selama tahun 2008-2010, Tuhan menuntunku untuk berkarya di sebuah kantor majalah wanita di ibukota. Lokasi pekerjaan baru ini tidak jauh dari kantor yang lama. Pekerjaan baru ini menantangku. Bukan karena aku harus beradaptasi lagi, namun karena harus melayani staf dan karyawan yang hampir semuanya adalah wanita muda dan ibu-ibu muda. Oh Tuhan apakah Engkau ingin mendidikku untuk memahami wanita? Mempersiapkan aku untuk menjalin sebuah bahtera keluarga?

Pekerjaan di kantor baru ini tidak berbeda dengan yang lama. Masih di seputar dunia teknologi informasi (IT). Rutinitas lembur, overtime dan shift malam berkali-kali kulakukan. Hingga menjelang awal tahun 2012 tubuhku mulai limbung, aku mulai sering sakit dan tidak teratur makan. Mungkin tekanan kerja dan siklus tidur yang tidak teratur membuatku jatuh berkali-kali dalam kondisi sakit.
Puncaknya menjelang Idul Fitri 2012, di awal bulan Juli 2012 badanku lunglai sekali. Untuk berjalan pun susah. Nafas serasa mau habis. Aku periksakan ke dokter kantor dan dirujuk ke RS Carolus. Indikasi awal adalah penurunan fungsi ginjal.

Shock dan kaget bercampur marah dan sedih langsung menghinggapi hati dan kepalaku. Mana mungkin aku sakit ginjal? Mabok tidak, narkoba tidak, sex bebas tidak, minum air putih malah menjadi hobi setiap hari, diabetes tidak, tekanan darah tinggi juga tidak. Ah.. Tuhan bercanda nih… Aku sudah sering ikut pelayanan di Theresia, berusaha rutin mengikuti Misa harian di katedral. Kenapa bisa ya?

Pikiran yang berkecamuk itu terus menghantui dan membayangi setiap hariku selama bulan Juli 2012. Sampai pada akhir bulan Juli, sebuah mimpi meneguhkanku. Entah itu benar atau hanya khayalanku yang sedang stres dan banyak pikiran, tiba tiba dalam mimpi, Bunda Maria memelukku, menepuk pundaku dan memandangku dengan senyum optimis. Aku tidak tahu apa maknanya. Aku hanya bisa membawanya dalam doa dan Novena Hati Kudus favoritku.

Sejak hidup di ibukota, jarang sekali aku bisa menyelesaikan doa Rosario seperti ibuku yang sangat tekun di Jogja. Selalu saja ada godaan. Hanya frasa “Hati Kudus Tuhan Yesus, kasihanilah kami” yang menjadi favoritku setiap hari. Kudaraskan frasa itu di setiap aktifitas kerjaku. Nyaman sekali rasanya ketika bisa mengulang-ulang frasa itu.

Sejak mimpi itu, aku berusaha mencari maknanya dan membawanya dalam doa. Berkali-kali kuusahakan hadir dalam Misa harian sore di katedral. Sepulang kerja, berjibaku dengan kemacetan ibukota, kukendarai sepeda motorku menuju katedral. Nyaman sekali rasanya mengalami suasana hening di sana. Mendengarkan sabda-Nya, lantas mengucap doa, bertanya, “Apa maksud-Mu Tuhan? Peristiwa apa yang akan aku lalui? Sanggupkah aku? Bantu aku Tuhan untuk mengerti petunjuk-petunjukMu.

Berkali-kali cek medis kulakukan. Terakhir di bulan Agustus awal, badanku semakin lunglai. Habis tenaga. Masih ingat waktu itu temanku, rekan kerjaku Mbak Jovita namanya, menawarkanku makan malam di dekat kostnya hanya agar aku bisa makan enak. Karena memang rasanya sangat tidak enak makan. Makan apa pun rasanya ingin muntah.

Dokter di RS Carolus berkata, bahwa kemungkinan terburuk aku harus cuci darah, namun dengan diet protein yang ketat dan pengobatan yang bagus, bisa dicegah untuk tidak sampai ke tahap cuci darah. Kuturuti apa pun nasehatnya. Aku berobat ke rumah sakit itu. Tanpa sepengetahuan dokter kantorku.

Puncaknya adalah menjelang selesainya bulan puasa, Agustus 2012. Aku drop. Sepulang kerja dari visit pekerjaan ke Tangerang, aku muntah-muntah hebat. Atasanku pun tahu. Aku pucat. Kebiruan malah. Jalan sempoyongan. Hanya satu dalam batinku. Aku tidak mau jatuh dan drop di ibukota. Aku harus pulang. Aku harus bersama ibuku disampingku.

Awal libur lebaran, aku nekat untuk pulang. Aku relay perjalananku. Karena susahnya mendapat tiket pesawat langsung dari Jakarta ke Jogja, aku menaiki travel Jakarta-Bandung. Sampai di Bandung, kulanjutkan dengan pesawat turboprop (baling-baling) dengan biaya berapa pun. Aku ingin segera sampai dan bertemu bundaku.

Kumulai salib kecil baruku ini. Tuhan tolonglah aku.

Sesampainya di Jogja, aku sudah tidak kuat. Tepat tanggal 20 Agustus 2012, aku dilarikan ke IGD RS Panti Rapih, Jogja. Vonis opname dan observasi dokter dilanjutkan di sana. Dan memang benar. Kondisiku semakin kronis. Dari gagal ginjal stage I menjadi stage V. Dan harus cuci darah.

Oh Tuhan… inikah peristiwa yang Kau maksud?

Inikah yang Bunda Maria coba teguhkan hatiku? Sedemikian berat dan besarnya sakit ini. Apakah aku sanggup Tuhan? Bunda Maria, bagaimana ini? Tidakkah engkau mendengarkan doaku, banyak rencana yang sudah kususun dalam tahun-tahun ini. Bertunangan, mempunyai rumah di Jogja, dan mempersiapkan pernikahanku. Kenapa ini harus terjadi?

Aku ndak sanggup Tuhan… Aku ndak kuat. Aku ingin mati saja. Itu yang aku teriakkan di awal-awal mendengar vonis cuci darah. Protes, penolakan, amarah, bahkan dendam. Entah dendam kepada siapa. Begitu sangat terasa.

Namun Tuhan tidak begitu saja membiarkan aku berjalan sendirian. Dalam kondisi yang demikian terpuruknya, lagi-lagi ibuku adalah salah satu sosok Bunda Maria yang hidup. Beliau berdoa tidak putus-putusnya. Bahkan hingga saat ini. Agar aku sembuh. Aku kuat melalui semua ini. Di masa-masa awal cuci darah, beliau hanya bisa pergi ke kapel di rumah sakit untuk menangis sambil membawa rosario kesayangannya. Sedangkan adikku, seperti tidak kenal lelah, menyiapkan segala keperluan transfusi darah, obat, dan urusan administrasi rumah sakit lainnya.

Tuhan tidak pernah terlambat. Pun dalam kondisi yang di dalam mata manusia itu sudah terlambat. Dia menghadirkan sosok-sosok teman dan sahabat yang membantuku. Silih berganti begitu luar biasanya Dia mengirim malaikat-malaikat baik di awal-awal vonis cuci darahku. Dalam kondisi masih terbaring opname, Tuhan tidak tinggal diam. Dia hadirkan teman-teman luar biasa banyaknya terutama terasa sekali ketika aku membutuhkan transfusi darah.

Sungguh luar biasa. Tuhan tidak pernah kekurangan akal. Dia gerakkan seluruh hati temanku, bahkan teman TK-ku pun, hadir menemaniku, berusaha ke sana ke mari membantuku mencari donor darah. Tidak terkecuali dukungan finansial dan moril dari teman-teman di kantor Jakarta, yang mengalir terus-menerus.

Selama opname di rumah sakit, aku tidak pernah kekurangan kasih dari sahabat dan rekan-rekan. Luar biasa. Tuhan boleh ambil ginjalku, namun, Dia beri aku sahabat banyak sekali. Mereka hadir membantu. Saat itu hanya rasa haru bercampur marah dan sedih melihat kondisiku. Kenapa Tuhan, Engkau pilih aku. Bukan mereka atau dia? Why me?

Cuci darah, perjuangan finansial, dan hilangnya rencana tunangan

Bersyukur, Tuhan masih peduli. Masih mendekapku. Dia masih beri aku kesempatan untuk hidup. Biaya cuci darah tidaklah sedikit. Di awal-awal cuci darah, asuransi swasta memang masih mengcoverku. Juga dukungan finansial dari teman-teman dan kerabat. Namun seiring dengan bergulirnya waktu, perlahan tapi pasti, beban finansial mulai terasa.

Perjuangan pun dimulai. Dari Jamkesmas, Jamkesda, pindah KTP, surat keterangan tidak mampu semua dilakukan. Hanya demi bisa cuci darah di RS Panti Rapih. Rumah sakit yang aku sudah merasa nyaman dan aku pilih, selain karena catatan medisku di sana, juga karena aku merasa selalu dekat dengan dukungan doa dan karya dari Suster CB (Carolus Borromeus-red) setiap hari.

Luar biasa. Tuhan pun tidak tinggal diam rupanya. Setelah berjuang ke sana ke mari, Jamkesda Kota Jogja pun kurasakan. Luar biasa.. Benar-benar luar biasa. Ini rasanya berserah total kepadaNya. Tanpa jaminan apa pun. Tanpa kepastian apa pun. Namun Dia pasti tidak akan meninggalkan kita, umat-Nya yang terus berdoa meminta, mengetuk pintu-Nya.

Dalam kondisi serba pontang-panting dan tidak pasti tersebut, kekasihku entah bagaimana, aku merasakan ia berubah. Dia tidak lagi seperti dulu. Entah mengapa, namun aku merasa terlalu jauh. Hatiku terasa sudah terlalu jauh. Beberapa kali perjumpaan kami, aku sudah tidak merasakan ‘klik’ di hatinya. Fokusnya sudah berubah. Hufff, ada apa lagi ini Tuhan? Apakah Engkau tidak rela aku bertunangan dengannya? Atau Engkau mau aku fokus terlebih dahulu dalam misi sakit gagal ginjalku ini?

Rasa berkecamuk dan tidak enak mulai bergelora lagi, kali ini bukan karena sakitku, namun karena rasa penolakan dan ditinggalkan oleh kekasihku. Ada rasa sedih, kecewa, merasa tidak berguna, dan tidak bisa apa-apa. Tuhan amat kejam rasanya waktu itu. Aku sudah seperti ini, kenapa Engkau beri lagi Tuhan?

Akhir 2013 kami sudah jarang berkomunikasi lagi. Aku memilih untuk mundur. Diam. Berkonsentasi pada sakitku. Mengelola rasa jenuh, penat, dan sedihku. Memilih untuk berkelana ke tempat tempat hening, Ganjuran, Sendang Sono, Ambarawa, menjadi tujuan langkahku. Aku merasa diteguhkan. Pelan namun pasti, Tuhan membimbingku untuk lebih tabah. Lebih sumeleh. Lebih nrimo. Lebih ikhlas.

Hanya ibu dan adikku yang setia menemaniku. Yang terus mendukungku. Merekalah pejuang sejatiku. Dalam keseharian hidupku, Tuhan hadir melalui senyum wajah mereka. Aku sangat berterima kasih, hadir dalam sebuah keluarga yang baik, harmonis, dan tangguh dalam iman akan Yesus. Tuhan juga tunjukkan kasih-Nya melalui sahabat sahabatku. Hilir mudik mereka hadir menghibur. Menemani dalam cuci darah, juga dalam kunjungan ke rumahku. Bantuan moril, finansial, juga dukungan sarana dan senyum. Luar biasa.

Tuhan ingin aku benar-benar setia

Di medio awal 2014, Tuhan mengujiku lagi. Ada infeksi dan abses di punggungku. Gejala awalnya aku tidak bisa berjalan dan kaki kiri seperti linu dan sakit ketika digerakkan. Berbagai cara dilakukan. Pijat, terapi, refleksi, bahkan fisioterapi kulakukan. Namun tidak ada hasilnya.

Tuhan, apa lagi ini? Aku sudah habis-habisan cuci darah, ditinggal kekasih, juga habis finansial dan karir. Kenapa Engkau masih hendak memberikan cobaan lagi? Tidak cukupkah? Pertanyaan itu menggelora dalam doa malamku. Dalam doa di setiap Ekaristi dan dalam setiap perenungan malamku. Ah.. aku capek Tuhan… Ini tidak segera selesai, Kau beri yang lain. Tolong Tuhan… beri aku waktu untuk rehat sejenak.. mengelola hidupku kembali.

Pertengahan 2014, dokter memvonisku untuk segera operasi karena absesku semakin besar dan merusak jaringan sekitarnya. Indikasi awal adalah infeksi dan isi dari abses adalah nanah. Aku pun panik. Terbayang akan operasi besar, bius total dan resiko pendarahan setelah operasi. Karena aku rutin cuci darah, maka obat-obatan anti pembekuan darah rutin aku terima selama cuci darah.

Setelah berdiskusi dengan ibu dan adik, aku pun siap. Dokter menerangkan kondisi terburuk pasca operasi yaitu tidak sadarkan diri berkepanjangan karena tingginya kreatinin dan ureum pada pasien gagal ginjal, juga pendarahan pasca operasi karena bertemunya dengan obat anti pembekuan darah setiap kali cuci darah. Dengan berat hati, namun mantap dan pasrah seutuhnya, aku siap. Aku tanda tangani surat pernyataan itu. Aku siap, pun ketika nanti Tuhan memanggilku dalam proses operasiku nanti. Hanya ibu dan adik yang tampaknya tidak siap melepasku masuk dalam ruangan operasi. Terlihat guratan sedih, tidak ikhlas dan pedih yang mendalam melihat putera satu-satunya dibawa masuk ke ruang operasi. Doakan aku ya Ibu.. Adek. maafkan Widi kalau banyak salah dan kurang selama ini. Itu kata-kata yang terakhir aku ucapkan kepada mereka sebelum masuk ruang operasi.

Operasi pun berlalu, aku terbangun lebih lama dari yang diprediksi dokter. Sadar namun tidak sepenuhnya karena beberapa bagian tubuhku tidak terasa dan tidak dapat digerakkan. Terutama kaki kiri dan tangan. Aku pasrah. Ibu gembira menyambutku keluar dari kamar operasi. Sungguh, Tuhan ajaib. Pertolongan-Nya tidak pernah terlambat. Dalam tangan-Nya, semua berjalan sesuai rencana-Nya. Kadang manusia teramat khawatir, berkeluh kesah, tidak sepenuhnya menyerahkan pada penyelenggaraan-Nya. Padahal, rencana-Nya jauh lebih sempurna. Dia tahu apa yang kita butuhkan, apa yang kita paling butuhkan. Bukan kita inginkan.

Pemulihan pasca operasi juga bukan sebuah hal yang mudah. Ibu yang lagi-lagi benar-benar menghadirkan kasih Tuhan sebenarnya. Dengan setia, beliau membersihkan luka, merawat perbanku, terkadang membimbingku untuk mandi, untuk membersihkan badan. Luar biasa. Tuhan hadirkan ibu yang begitu tulus mengasihiku. Begitu kuat. Bunda Maria sendirilah sebenarnya yang merawatku saat itu. Mimpi saat sebelum sakit dahulu, mungkin ini artinya. Bunda akan selalu menguatkan aku, akan selalu hadir dalam apa pun kondisiku. Benar. Dan itu terjadi. Terima kasih Bunda Maria. Engkau teladan sejati dalam pelayanan dan kasih.

Pasca operasi, berkali-kali HB (haemoglobin)ku turun, karena masih adanya rembesan pasca luka operasi, juga reaksi dengan heparin (obat anti pembekuan darah) setiap kali dilakukan cuci darah. Seminggu dua kali. Dan itu terakumulasi hingga puncaknya, pada pertengahan 2014. Menjelang pemilu presiden, HBku drop hingga titik 3.8. Tidak bisa melakukan apa pun. Hanya terbaring lemah. Bahkan menggerakkan kedua tangan pun tidak sanggup. Sonde (pemberian makanan dari selang) pun aku sempat rasakan.

Namun, Tuhan lagi-lagi menguatkanku. Melalui semua itu, dihadirkanNya orang-orang dan sahabat yang tidak henti-hentinya membantuku. Mensuport aku dan keluargaku. Baik itu finansial, motivasi, pendampingan psikologi, juga sarana dan prasarana. Banyak yang aku bahkan tidak bisa menghitung lagi hingga saat ini. Terima kasih Tuhan. Hanya itu yang aku bisa ucapkan.

Memasuki tahun 2015 ini, begitu luar biasanya Tuhan membimbingku. Perlahan demi perlahan, Dia ingin menuntunku untuk bangkit. DihadirkanNya orang-orang yang membantuku untuk mewujudkan usahaku sendiri di Jogja. Sedikit demi sedikit, walaupun belum besar Dia membantuku memulai usaha sendiri. Sambil terus cuci darah dan melayaniNya dalam hidup doa dan novena setiap hari.

Peneguhan dalam Spiritualitas Ignatian

Tuhan tampaknya tidak ingin aku jatuh berkali-kali. Dia menuntunku untuk benar-benar hanya Dia sajalah harapanku. Tidak lain. Dia membimbingku untuk belajar bagaimana mengelola iman, keyakinan, dan harapan. Menaruh harapan hanya padaNya.

Tahun 2015 ini juga sebagai tahun Latihan Rohani-ku. Aku diperkenalkan dengan komunitas Magis Jogja. Sebuah komunitas di mana kita menghidupi spiritualitas ignatian. Bersumber dari Santo Ignatius Loyola, pendiri Serikat Jesus, dengan Latihan Rohaninya. Tuhan tampaknya ingin menyiapkan aku untuk sungguh-sungguh memaknai penyakit dan penderitaanku ini bukan hanya sebagai sakit medis belaka, namun sebagai rahmat. Rahmat untuk semakin dekat dan pasrah padaNya. Semakin menghayati panggilan hidup untuk melayaniNya dalam sepenggal hidup selanjutnya dengan cuci darah ini. Dalam komunitas ini, hingga saat ini aku masih belajar, bagaimana menemukan rahmat-Nya setiap hari, dalam setiap aktifitas hidupku, dalam setiap momen-momen cuci darahku.

Terima kasih Tuhan, Engkau luar biasa. Pertolongan-Mu tidak pernah terlambat. Juga tidak pernah terlalu terburu-buru. Banyak hal yang harus aku siapkan untuk benar-benar mengikutiMu. Terkadang Engkau mendidikku dengan keras, dengan tamparan penderitaan, juga dengan sentuhan lembut sahabat, sapaan hangat teman dan relasi.

Tuhan, aku serahkan seluruh sisa hidupku dengan cuci darah ini kepadaMu. Pakailah seluruh sisa hidupku hanya untuk kemuliaan-Mu. Jadikan aku siap, jadikan aku tangguh mewartakan bahwa Engkau, benar-benar luar biasa. Engkau benar-benar ada. Engkau benar-benar mencintai manusia seutuhnya.

Sapaan-sapaan-Mu dalam penderitaanku dari tahun 2012 hingga saat ini semoga menguatkanku untuk meneruskan memanggul salib kecilku ini, sambil mewartakan kasih-Mu pada sesamaku.

Terimakasih Ibu, luar biasa pengorbananmu, kasihmu, teladan kesetiaanmu melalui doa Rosario, kepercayaanmu padaNya. Terimakasih atas seluruh karya dan suport yang hadir dalam wajah rentamu itu. Juga adek dan seluruh sahabat. Semoga seluruh karya, dukungan dan pengabdianmu Tuhan berikan yang lebih baik.

Teriring doa dan kasih dalam keheningan tengah malam, 10 November 2015 01.05 WIB. Perum Bumi Mandiri Wirokerten No. E2 Banguntapan Bantul.

Benedictus Widi Handoyo