Kasih Allah mengatasi semua

Siapakah orang yang paling mengasihi anda di dalam hidup anda? Mungkin ada yang mengatakan orang tua, atau pacar, atau bagi yang sudah menikah mungkin mengatakan suami atau istri. Ya, kita boleh membayangkan mereka jika kita berpikir tentang kasih. Tetapi sesungguhnya di atas mereka itu, yang paling mengasihi kita adalah Tuhan. Sebab kasih Tuhan jauh melampaui kasih yang dapat kita dapatkan dari siapapun di dunia. Kasih yang kita dapatkan dari orang-orang yang mengasihi kita adalah hanya sedikit bayang-bayang kasih Tuhan.

Apa tanda atau bukti dari kasih? Biasanya orang yang mengasihi, mau ‘berbagi’ dengan orang yang dikasihi, memberi yang terbaik kepadanya, dan rela berkorban baginya. Mother Teresa pernah berkata, “Love… and love until it hurts.”  Dalam hal inilah kita melihat kesempurnaan kasih Allah. Allah menciptakan kita menurut gambaran-Nya (Kej 1:26) supaya Ia dapat ‘membagikan’ kehidupan ilahiNya dengan kita. Sayangnya, sudah disayang-sayang oleh Tuhan, namun ternyata manusia, ya, kita-kita ini, jatuh ke dalam dosa. Dosa inilah yang menghalangi kita untuk menerima kehidupan ilahi dari Allah, karena Tuhan yang Maha Kudus tidak bisa bersatu dengan dosa. Alkitab mengatakan Allah itu Kudus (Im 19:2) dan tanpa kekudusan tak seorangpun dapat melihat Allah (Ibr 12:14), apalagi bersatu dengan Allah dalam kehidupan ilahi. Namun kasih Allah mengatasi segalanya, termasuk dosa-dosa kita. Diutus-Nya-lah Yesus Kristus Putera-Nya bagi kita, untuk datang ke dunia menyelamatkan kita dari segala dosa yang memisahkan kita dari Allah. Cara-Nyapun di luar batas pemahaman kita: Yesus memilih untuk mengambil rupa sebagai manusia, menjadi hamba yang miskin, taat sampai mati di kayu salib (lih. Flp 2: 6-8). Seolah Yesus mau mengatakan pada kita, “Kutinggalkan segala yang Kupunya, sebab Aku mau ‘berbagi’ hidup di dunia denganmu, supaya oleh semua ini engkau memahami kasih-Ku dan mau ‘berbagi’ kehidupan ilahi bersama-Ku.”

Misi Yesus: mengubah kita menjadi kudus, menjadi Gereja-Nya

Setiap kali kita memandang gambar Yesus yang tersalib, sesungguhnya kita mempunyai kesempatan untuk merenungkan misteri kasih Allah ini. Tuhan Yesus telah melakukan apa saja untuk kita, mengorbankan segala-galanya bagi kita, seperti orang yang benar-benar jatuh cinta. Dan memang benar, Ia sungguh-sungguh mengasihi setiap dari kita, yang dipilih-Nya sebelum dunia dijadikan, supaya kita menjadi kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Ef 1:4). Ya, supaya, meskipun kita telah berdosa, kita dapat datang kembali kepada Allah, untuk dikuduskan oleh-Nya sehingga dapat menikmati persatuan dengan-Nya di dalam Kristus yang menjadi Kepala dari segala sesuatu (Ef 1:10). Inilah sebenarnya kebahagiaan kita dan tujuan hidup kita yang sesungguhnya: yaitu bersatu dengan Allah di dalam Kristus. Nah, persatuan kita dengan Allah dan dengan sesama yang juga hidup di dalam Kristus ini-lah yang dinamakan Gereja. Maka sesungguhnya, tujuan penciptaan Allah adalah Gereja, yaitu di mana semua orang beriman yang sudah dikuduskan dipersatukan dengan Allah di dalam Kristus.

Maka jangan sampai kita berpikir bahwa Gereja hanya organisasi, hirarki, atau orang-orang yang bertemu seminggu sekali memuji Tuhan, atau yang lebih parah lagi, hanya ‘bangunan’ saja. Gereja itu adalah tujuan, mengapa Allah menciptakan dunia ini.  “Allah menciptakan dunia supaya mengambil bagian dalam kehidupan ilahi-Nya. Keikut-sertaan ini terjadi karena manusia-manusia dikumpulkan dalam Kristus, dan “kumpulan” ini adalah Gereja.” ((Katekismus Gereja Katolik 760)).

Cara Yesus menguduskan kita: dengan peran-Nya sebagai Nabi, Imam dan Raja

Yesus adalah Tuhan Penyelamat kita, yang melaksanakan rencana keselamatan Allah melalui tiga cara, yaitu sebagai Nabi, Imam dan Raja.

1) Yesus menjalankan peran sebagai Nabi dengan mengajarkan kebenaran kepada kita. Tak mengherankan, sebab Yesus adalah Sang Kebenaran itu sendiri (Yoh 14:6), maka yang diajarkan pada kita adalah Kebenaran Allah. Nah, karena kita diciptakan menurut gambaran dan rupa Allah, maka kita diciptakan untuk selalu merindukan dan mencari Kebenaran Allah itu. Dan kebenaran ini terutama ditunjukkan oleh Kristus dengan menyerahkan diri-Nya di kayu salib. Dengan demikian, Yesus menjadi bukti yang nyata atas kebenaran kasih Tuhan yang tiada batasnya (Yoh 8:40; 18:37), dan kebenaran tentang diri  manusia, bahwa arti hidup manusia tergantung dari sejauh mana ia mau memberikan dirinya kepada Tuhan dan orang lain.

2) Seluruh hidup Yesus yang menunjukkan ketaatan-Nya kepada Allah Bapa, adalah bentuk persembahan yang sempurna kepada Allah. Persembahan sempurna ini mencapai puncaknya pada kematian-Nya di kayu salib. Sebagai Imam, Yesus mempersembahkan diri-Nya sendiri sebagai persembahan penebus dosa manusia, dengan kasih dan ketaatanNya kepada Allah Bapa (Ibr 10:1-10). Dan oleh persembahan Yesus yang sempurna ini, dosa-dosa kita diampuni,  kita dapat memperoleh kembali kehidupan ilahi yang direncanakan Allah bagi kita sejak awal mula. Singkatnya, kita dikuduskan oleh korban Kristus ini (ay.10).

3) Sebagai Raja, Yesus mendirikan Kerajaan Allah dan mewartakan-Nya sepanjang hidup-Nya di dunia dengan mengalahkan kuasa jahat dan melayani sesama. Kuasa-Nya mengusir dan mengalahkan kuasa Iblis. Mukjizat-mukjizat-Nya menyembuhkan banyak orang sakit.  Teladan-Nya mengajarkan akan keberpihakan-Nya kepada orang-orang yang lemah dan miskin.

Berbagi hidup dengan Yesus= mengambil bagian dalam peran-Nya sebagai nabi, imam dan raja

Ketika kita ‘berbagi’ kehidupan dengan Yesus, maka artinya, kita mengambil bagian di dalam ketiga peran Kristus ini. Yaitu, kita semua dipanggil menjadi nabi, imam dan raja. Caranya? Mari kita melihatnya satu persatu:

Pertama, sebagai Nabi kita harus mencintai Kebenaran dan menyebarkan Kebenaran. Kebenaran ini kita peroleh di dalam Kristus dan Gereja-Nya, yaitu Gereja Katolik. Kebenaran yang paling mendasar yang harus kita hayati dan kita sebarkan adalah bahwa Allah mengasihi kita dan kita dipanggil pula untuk mengasihi Allah dan sesama. Hanya dengan mengasihi-lah kita menemukan arti hidup dan kebahagiaan yang sejati. Maka, kesempurnaan kasih Allah adalah kebenaran yang utama, yang dapat kita lihat contohnya di dalam diri Kristus sendiri.

Kita diselamatkan karena kasih Allah yang menghendaki agar kita dapat memperoleh kebahagiaan sejati.  Allah telah memberitahukan kepada kita jalannya; yaitu bahwa kita harus mau menerima pesan Injil dengan iman dan mewartakannya dengan perkataan dan perbuatan, dan tanpa ragu menolak segala perbuatan jahat. ((Ibid., 14)) Allah mengajarkan kita untuk mengasihi; seperti Kristus mengasihi kita. Kita harus berani berkorban demi kasih kita kepada Tuhan dan kepada orang- orang yang kita kasihi. Sebab kalau kita hanya sekedar bicara “Aku sayang kamu”, tapi tidak mau melakukan apa-apa, itu hanya sejenis ‘rayuan gombal’. Maka sekarang, mari kita bertanya pada diri kita: Apa yang sudah kita lakukan untuk membagikan kasih dan kebenaran Kristus? Apa usaha kita untuk lebih mengenal Tuhan dan kebenaran-Nya? Sudahkah kita menempatkan Tuhan dan kebenaran-Nya di atas kehendak dan pendapat kita sendiri? Apakah kita sudah mewartakan Injil dalam perkataan dan perbuatan?  Pertanyaan-pertanyaan ini mengantar kita kepada peran berikutnya, yaitu sebagai imam.

Kedua, sebagaimana Yesus sebagai Imam mempersembahkan diri-Nya kepada Allah Bapa, maka kitapun harus mempersembahkan diri dan hidup kita kepada Allah. Peran imamat ini bukan berari kita semua harus ditahbiskan menjadi imam atau kedudukan kita menjadi sama persis dengan para imam yang ditahbiskan. Bukan! Kita mempunyai peran imamat bersama, karena kesatuan kita sebagai anggota Kristus yang adalah Sang Imam Agung. Rasul Petrus mengajarkan, “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia…” (1 Pet 2:9). Maka sebagai kaum awam, kita memiliki tugas imamat bersama yang kita terima melalui Pembaptisan. Tugas imamat ini dipenuhi saat kita mempersembahkan kepada Tuhan seluruh kurban rohani, yaitu kegiatan kita, doa, tugas kerasulan, kehidupan keluarga dan bahkan saat-saat santai ataupun saat memikul kesulitan kita. ((Lihat surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Christifidelis Laici, 14)) Penyerahan diri kita mencapai puncaknya, setiap kita mengambil bagian dalam perayaan Ekaristi, yaitu saat kita mempersatukan kurban diri kita dengan kurban Yesus. Rahmat yang kita dari Ekaristi inilah yang memberikan kepada kita kehidupan ilahi, sebab kita menyambut Kristus sendiri. Dengan menjalankan tugas imamat bersama ini,  menjalankan peran sebagai “kawan sekerja Allah”. (1 Kor 3:9) yaitu dengan membawa Yesus kepada sesama kita dan sesama kita kepada Yesus.

Suatu permenungan adalah: Sudahkah kita memperkenalkan Yesus kepada sesama? Sudahkah kita mempersembahkan diri kita, segala pikiran, perkataan, perbuatan sebagai persembahan kepada Allah? Apakah dalam doa pagi kita mempersembahkan segala yang akan kita lakukan kepada Allah? Apakah setiap kali kita mengikuti Misa Kudus, kita juga secara aktif mempersembahkan kurban kita: syukur, memohon ampun atas dosa kita ataupun mendoakan orang lain? Apakah kita dengan teratur mengaku dosa dalam Sakramen Tobat? Apakah kita rajin berdoa bagi para imam, uskup dan Paus? Apakah kita rajin berdoa bagi pertobatan mereka yang belum mengenal Allah ataupun yang menolak Allah?

Ketiga, buah dari peran imamat kita adalah peran kita sebagai raja. Kita menjalankan peran raja pada saat kita berjuang untuk mengalahkan kuasa dosa, (lih. Rom 6:12) dan pada saat kita memberikan diri kita untuk melayani sesama, terutama yang terkecil dan termiskin (lih Mat 25:40). ((Ibid. )) Pada Perjamuan Terakhir Yesus memberikan perintah untuk saling melayani (lih Yoh 13:1-17). Ia yang adalah Guru dan Tuhan, membasuh kaki para murid-Nya. ini adalah bukti dari ajaran-Nya sendiri, “Tetapi … yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan.” (Luk 22:26).

Maka mari kita bertanya kepada diri sendiri: Sudahkah kita berjuang mengalahkan kebiasaan buruk dan kecenderungan kita berbuat dosa? Sudahkah kita melakukan perbuatan untuk melayani orang-orang yang di sekitar kita? Apakah kita memperhatikan orang-orang yang lemah dan miskin? (Miskin di sini, tidak hanya miskin jasmani tetapi dapat juga berarti miskin rohani). Jika belum, apakah yang dapat kulakukan untuk memulainya? Jika sudah, apakah kita melayani mereka dengan senang hati? Apakah kita teringat kepada Yesus pada saat kita melayani sesama?

Mengambil bagian dalam peran Yesus bersama dengan Roh Kudus

Sepintas mungkin ada yang berkomentar, “Kok banyak betul tugas kita?” Sebenarnya, tidak juga. Sebab jika kita mempunyai kasih di dalam hati kita, maka tidak ada yang terlalu berat untuk dilakukan. Kita hanya perlu memberi arti dan motivasi yang lebih baik kepada setiap kegiatan kita sehari- hari. Dan untuk inilah Tuhan Yesus memberikan Roh Kudus-Nya, yang adalah Roh Kasih dan Kebenaran-Nya (Yoh 14:16-17; 15:26) kepada kita, supaya kita dapat memandang hidup ini dengan kaca mata yang lain. Berjalan bersama Roh Kudus membuat perbuatan yang berat menjadi ringan, dan kita mempunyai kekuatan baru untuk melaksanakannya.

Nah, maka kuncinya, adalah: sudahkah kita mengalami kasih Allah secara pribadi? Mungkin ada di antara kita yang langsung menjawab, sudah, tapi mungkin ada yang ragu-ragu, terutama jika sedang mengalami permasalahan dan kesusahan. Namun, Alitab mengajarkan bahwa segala permasalahan yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita, pada dasarnya adalah untuk mendatangkan kebaikan bagi kita. Sebab, Allah dapat menggunakan masalah kita untuk menyampaikan kasih-Nya kepada kita. Rasul Paulus mengajarkan, “….Kita malah bermegah di dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan-Nya kepada kita.” (Rom 5:3-5)

Jika kita telah mengalami kasih Tuhan secara pribadi, maka kita dapat melihat kepada diri kita sendiri dengan lebih jujur. Umumnya, tanda yang paling jelas adalah, kita mampu melihat kekurangan dan dosa-dosa kita. Inilah salah satu misi utama Roh Kudus pada setiap kita; yaitu untuk membawa kita kepada pertobatan. Dan pertobatan ini tidak hanya sekali, tetapi terus menerus. Jadi jika kita sudah dapat melihat kekurangan dan dosa kita, berbahagialah! Sebab itu artinya: Roh Kudus bekerja di dalam kita.

Rasul Yohanes mengajarkan bahwa tugas Roh Kudus adalah menginsyafkan kita dari dosa, dan meyakinkan kita akan kebenaran dan penghakiman akan dosa (lih. Yoh 16:8). Kita hidup di dunia yang sepertinya sudah tidak ‘takut’ lagi akan Tuhan, apalagi di negara Amerika. Pergaulan bebas, pornografi, aborsi, kehidupan konsumtif dan seterusnya begitu meraja lela. Maka kita sebagai murid Kristus, dipanggil untuk tidak hidup menurut arus dunia, tetapi menurut ajaran kasih dan kebenaran Kristus. Dengan demikian, kita tidak memusatkan hati pada kesenangan dunia, tetapi kepada kehidupan kekal. Orang-orang dunia ini menyangka bahwa jika kita hidup menurut pimpinan Roh Kudus, maka kita sepertinya dibelenggu: tidak boleh ini, tidak boleh itu. Ini sungguh keliru! Yang benar adalah, bersama Roh Kudus kita dapat menilai dengan bijaksana, perbuatan- perbuatan yang berguna dan yang tidak, bagi keselamatan kita. Akibatnya, kita malah menjadi orang yang paling merdeka (2 Kor 3:17). Artinya, kita tidak terikat lagi oleh ‘kebiasaan/ standar’ yang ditentukan dunia. Kita tidak takut untuk “berani tampil beda” demi kasih kita kepada Tuhan Yesus yang menyelamatkan kita.

Pengalaman akan kasih Allah dan pertobatan yang terus menerus ini adalah bekal bagi kita untuk melaksanakan peran sebagai nabi, imam dan raja dengan lebih baik. Dengan kembalinya kita ke jalan Tuhan, maka kita dapat selalu melihat kebenaran ajaran Allah di atas tawaran dunia ini; dan kita dapat membagikan kebenaran ini kepada orang lain. Dengan mengalami kasih dan pengampunan Tuhan, maka kita dapat mengasihi dan mengampuni orang lain. Dengan mengingat bahwa kitapun pernah mengalami kesusahan, maka kita dapat mempunyai belas kasihan kepada orang yang kesusahan. Pertolongan yang kita terima dari Tuhan melalui orang- orang lain, harus juga menjadikan kita mau dipakai oleh Tuhan untuk menolong orang lain.

Selanjutnya, peran Roh Kudus adalah untuk memberi hidup ilahi kepada kita. Sebab dengan menerima Roh Kudus, maka artinya kita menerima Roh yang sama dengan Roh yang membangkitkan Yesus dari kematian-Nya (lih. Rom 8:11). Oleh Roh Kudus inilah kita dapat meninggalkan dosa dan hidup menurut perintah Tuhan. Dengan demikian kita tidak menjadi hamba dosa melainkan anak- anak angkat Allah, dan dapat memanggil-Nya sebagai Abba/ Bapa (Rom 8:15).

Melanjutkan peran Kristus sebagai anggota Gereja

Kisah Para Rasul dan surat-surat Rasul Paulus mengajarkan bahwa Kristus membagi-bagikan karunia- karunia Roh Kudus-Nya kepada para murid-Nya dengan tujuan untuk membangun umat/ Gereja-Nya. Maka karunia-karunia Roh kudus yang kita terima tidak boleh kita anggap sebagai milik sendiri, tetapi untuk dibagikan kepada orang lain demi kebaikan orang lain juga. Sama seperti di dalam tubuh manusia, segala tingkah laku merupakan hasil kerjasama anggota-anggota tubuh dengan komando yang sama, maka demikianlah pula yang terjadi di dalam Tubuh Kristus. Yesus memimpin Gereja-Nya melalui para pemimpin Gereja, dalam koordinasi dengan Bapa Paus, pengganti Rasul Petrus sebagai pimpinan tertinggi. Maka sebagai anggota Gereja Katolik kita harus menaati semua pengajaran Gereja, dengan motivasi ketaatan kepada Kristus yang telah mendirikannya.

Inilah makna bertumbuh dalam karunia-karunia Roh Kudus dalam kesatuan dengan Gereja. Sebab kita semua ini adalah anggota dari Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Maka jika hubungan kita dengan Kristus sudah “diperbaharui”, maka bukti selanjutnya adalah bagaimana hubungan kita dengan Tubuh-Nya, yaitu Gereja Katolik. Karena kalau kita tunduk kepada Sang Kepala, seharusnya kita juga mempunyai kerendahan hati untuk bergabung dengan anggota-anggota yang lain yang dalam kesatuan dengan Kristus Sang Kepala Tubuh itu. Kita tidak dapat mempertentangkan Roh Kudus yang kita terima, dengan Roh Kudus yang sudah 2000 tahun lebih dicurahkan bagi Gereja-Nya; karena Kedua-Nya adalah Roh Kudus yang sama.

Pembaharuan umat beriman menjadi inti pembaharuan Gereja

Ketiga misi Kristus ini (sebagai nabi, imam dan raja) merupakan hal yang paling esensial dalam Gereja. Maka pembaharuan Gereja tidak akan pernah mengubah ketiga hal ini. Gereja akan tetap mempunyai ajaran- ajaran (peran nabi), sakramen- sakramen (peran imam), dan hirarki yang melayani (peran raja). Maka yang diajarkan dalam pembaharuan umat adalah, bagaimana agar kita menjadi lebih tanggap dan lebih murah hati dalam bekerjasama dengan Roh Kudus untuk menjalankan ketiga peran ini. Pembaharuan Gereja bertujuan untuk memperdalam persekutuan umat beriman dengan Allah, di dalam kebenaran, kasih dan belas kasihan. Jadi inti yang terdalam dari pembaharuan bukan terletak pada kegiatan ataupun struktur organisasi, (walaupun semua itu juga penting), melainkan pada pembaharuan hati umat beriman.

Dengan demikian, pembaharuan Gereja pada intinya adalah penghayatan dan pembaharuan iman kita semua. Pembaharuan iman ini membawa kita untuk lebih menghayati makna ‘hidup bersama Kristus’ dan bertumbuh dalam kekudusan. Harapannya adalah, setiap dari kita dapat menjadi saksi Kristus dalam kehidupan sehari-hari, sehingga Kristus dapat hadir dan aktif bekerja di dalam kehidupan semua orang. Nah, karena penghayatan hanya dimungkinkan oleh adanya pengetahuan terlebih dahulu, maka program ini dibuat agar dapat memberikan pengetahuan dasar akan kasih Allah, karunia-karunia-Nya dan pembaharuan iman.

Kesimpulan

Setiap dari kita mempunyai kisah yang berbeda-beda tentang kasih Allah yang kita alami. Namun persamaannya adalah bahwa kita semua menerima kasih Allah yang tak terbatas yang dicurahkan melalui Tuhan Yesus yang telah menyerahkan Diri-Nya dan menumpahkan darah-Nya demi menyelamatkan kita. Ia melakukan semua ini, supaya kita dapat bersatu dengan-Nya di dalam satu kesatuan Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Sekarang pertanyaannya, setelah kita menerima kasih yang luar biasa itu, apakah tanggapan kita? Tuhan Yesus telah memberikan hidup-Nya supaya kita mengambil bagian di dalam kehidupan ilahi-Nya. Persatuan kita dengan Kristus ini menjadikan kita turut serta mengemban misi Keselamatan-Nya, sebagai nabi, imam dan raja. Caranya, dengan menyebarkan kebenaran, mempersembahkan hidup kita kepada Tuhan, hidup kudus dan melayani sesama. Kristus telah membekali kita dengan Roh Kudus-Nya yang memampukan kita untuk melanjutkan misi ini.

Ya, Kristus menghendaki kita untuk ikut serta dalam karya Keselamatan-Nya. Karya Keselamatan ini dilanjutkan oleh Gereja, melalui ajaran-ajarannya, sakramen- sakramen dan karya- karya kerasulan. Maka jika kita ingin bertumbuh secara rohani, selayaknya kita bertumbuh di dalam penghayatan akan ajaran Gereja, sakramen-sakramennya dan ikut serta juga di dalam karya-karya kerasulannya. Dengan demikian, kita bertumbuh di dalam kesatuan dengan Gereja yang didirikan-Nya dan juga bersama-sama membangun Gereja-Nya. Dengan kesatuan dengan Gereja, kita mewartakan kebenaran Injil, agar semakin banyak orang dapat mengalami kasih-Nya dan percaya kepada-Nya.  Sekarang memang terpulang kepada kita, maukah kita melaksanakannya?

12 COMMENTS

  1. Dear pengasuh & para Romo yg terkasih

    Sy mau nanya ttg panggilan Imamat.

    – Berapa besar dana (estimasi) yg harus disiapkan seorang calon imam dari awal sampai selesai sekolah ? Kalau boleh tahu dlm hal2 apa saja biayanya.
    – Kalau seseorang yg sudah berumur 29 tahun & sudah S1 apakah lama waktu sekolahnya tetap seperti regulernya (tapi mmg saya bkn dari filsafat) secara saya bercita2 buat ganti Paus Fransiskus takutnya kepentok umur hehehee sorry bercanda ^^
    – Trus klo misinya pengen ke luar negeri misalnya Afrika, aturannya masuk ordo apa ?

    Terima kasih sblmnya.

    • Shalom Wenang,

      Terima kasih atas pertanyaannya. Kami di katolisitas pernah menjumpai beberapa orang yang disebut “late vocation“, yaitu orang-orang yang menyadari panggilan hidupnya ketika sudah mulai berumur, bahkan telah mengecap pendidikan dalam bidang tertentu dan bekerja dalam dunia sekular. Yang terpenting adalah perlu diteliti apakah orang ini benar-benar yakin akan panggilan hidupnya. Untuk itu perlu bertemu dengan pastor yang dapat membantu orang ini dalam proses discernment. Kalau Anda serius akan hal ini, saya akan pertemukan Anda dengan pastor yang dapat membantu Anda. Anda berdomisili di mana saat ini?

      Tentang biaya pendidikan, maka keuskupan atau ordo yang bersangkutan yang akan membantu calon imam. Biayanya sesungguhnya sangat mahal, apalagi kalau harus bersekolah di luar negeri. Akhirnya sebelum masuk terlalu jauh dalam diskusi, ada baiknya kalau dimulai dari proses discernment. Semoga niat baik Anda akan mendapat tuntunan dari Tuhan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

    • Sepengetahuan saya, ordo yang fokus pada misi & ada di Indonesia yaitu: Yesuit (SJ), dan mungkin yang lebih khusus lagi Xaverian (SX).

      Coba googling aja..banyak infonya kok di internet. Rasanya SJ & SX ada website Indonesia nya.

  2. Dear Team Katolisitas :

    Ada yang ingin saya tanyakan berkisar bacaan Kamis Putih kemarin.
    Khususnya mengenai ayat berikut ini :
    “Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku” (Yoh. 13:8).

    Apa maksud sebenarnya dari ayat itu? kalau saya melihat keseluruhan suratnya, intinya mengajarkan bahwa kita harus melayani orang lain, yang kemudian disimboliskan oleh Yesus melalui pembasuhan kaki, tapi mengapa kalau Yesus tidak membasuh kaki Petrus, maka Petrus tidak mendapat bagian dalam Yesus? bukankah walaupun hanya dengan memberitahukan artinya saja kepada Petrus, Yesus juga sudah menyampaikan inti ajarannya? Apa arti sebenarnya dari mendapatkan bagian dalam Aku (dalam perkataan Yesus)? Benarkah mengartikan kegiatan pembasuhan kaki sebagai bentuk simbolis semata dan bisa diejawantahkan dalam bentuk2 pelayanan lain?

    Saya menangkap kesan bahwa Petrus melarang Yesus membasuh kakinya sebagai bentuk rasa hormatnya kepada Gurunya. Bukankah yang dilakukan Petrus sudah sesuai dengan norma umum?

    Terimakasih Team

    Salam

    • Shalom Kris,

      Membasuh kaki di sini hendaknya tidak diartikan hanya secara literal, bahwa Tuhan Yesus mencuci kaki para Rasul. “Membasuh” mempunyai makna yang lebih mendalam, yaitu membersihkan dari dosa. Jika kita tidak menerima sikap kerendahan hati Kristus yang menyerahkan nyawa-Nya untuk mengampuni dosa-dosa kita, maka kita tidak dapat mengambil bagian juga dalam kehidupan yang baru bersama Kristus. Kita tak dapat masuk dalam persekutuan dengan Kristus tanpa kita sendiri dibersihkan dari dosa oleh-Nya.

      Memang jika kita hanya memfokuskan perhatian kita pada tindakan mencuci kaki, maka kita akan dengan mudah memahami tanggapan Rasul Petrus, dan bahkan setuju dengan dia. Namun jika kita melihat makna yang lebih mendalam dari tindakan membasuh kaki itu, sebagaimana diartikan oleh Kristus sendiri (lih. Yoh 13:10), maka kita akan memahami, mengapa Kristus menghendaki agar semua rasul-Nya itu menerima ungkapan kerendahan hati-Nya untuk membasuh kaki para murid-Nya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Terimakasih penjelasannya bu Inggrid, tidak terpikir oleh saya bahwa perikop ini jg menjelaskan mengenai kerjasama Tuhan dan manusia. Selama ini yang terpikir oleh saya bahwa Yesus sebelum kepergian-Nya, hendak membekali murid-Nya dengan sikap kerendahan hati dan saling melayani, itu saja, sehingga Yoh 13:8 jadi tidak saya mengerti.

        Terimakasih bu Inggrid,

        Salam

      • Jika demikian arti pembasuhan kaki (pembersihan dari dosa) , mengapa sampai sekarang hanya laki-laki yang dibasuh/ cuci kakinya Pada perayaan kamis putih? .Terima kasih sebelumnya.

        • Shalom Fina,

          Dokumen liturgis yang dikeluarkan oleh Kongregasi untuk Penyembahan Ilahi berjudul, Paschales Solemnitatis (1988) menyebutkan tentang upacara pencucian kaki pada hari Kamis Putih, antara lain, demikian:

          51. Pencucian kaki dari beberapa orang laki-laki yang terpilih, yang dilakukan pada hari ini, melambangkan pelayanan dan kasih Kristus, yang datang “bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani.” Tradisi ini hendaknya dipertahankan, dan makna pentingnya dijelaskan.

          [Ketentuan liturgis lainnya dalam Roman Missal, 2002, juga menyebutkan “viri” (kata Latin, artinya laki-laki dewasa) sebagai orang-orang yang dicuci kakinya dalam perayaan Ekaristi Kamis Putih].

          Dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa menurut tradisi perayaan Kamis Putih yang memperingati Perjamuan Terakhir di mana Tuhan Yesus menentukan cara untuk mengenangkan Dia, dengan perayaan Ekaristi, dan pada saat yang sama menentukan penetapan sakramen Tahbisan Imamat Suci, dan perintah untuk saling mengasihi. Karena peristiwa itu mengacu kepada Perjamuan Terakhir yang dihadiri oleh keduabelas rasul-Nya, maka, walaupun di dokumen itu tidak disebutkan jumlah orang yang dicuci kakinya, umumnya diinterpretasikan dengan jumlah 12 orang, yang mewakili jumlah kedua belas Rasul.

          Namun demikian, maksud upacara ini terutama adalah untuk mengingatkan kita akan pelayanan dan kasih Kristus, yang tentu saja tidak terbatas hanya kepada para Rasul, sebab Yesus sendiri mengatakan “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” (Yoh 13:24-35) Kemungkinan untuk maksud mewartakan pelayanan dan kasih Kristus inilah, maka pada hari Kamis Putih yang lalu, Paus Fransiskus memilih untuk perayaan Ekaristi Kamis Putih di penjara anak-anak/ remaja. Maka, dalam upacara pembasuhan kaki, di antara dua belas orang muda yang dibasuh kakinya, terdapat dua orang remaja putri, bahkan salah satu dari remaja putri itu adalah seorang muslim Serbia. Keputusan Paus ini memang menuai komentar pro dan kontra. Namun baiklah kita melihatnya dari sisi obyektif, beberapa hal berikut ini:

          1. Jika berpegang kepada ketentuan Paschales Solemnitatis dan Roman Missal, memang yang dicuci kakinya dalam upacara Pembasuhan kaki adalah para pria dewasa, bukan wanita (dan juga remaja di bawah usia 18 tahun (lih. KHK 97). Dengan demikian, nampaknya pelaksanaan upacara pembasuhan kaki oleh Paus Fransiskus di hari Kamis Putih yang lalu memang merupakan sesuatu yang tidak sesuai dengan ketentuan di atas. Namun, Paus Fransiskus memiliki alasan tersendiri (kemungkinan untuk menyentuh jiwa-jiwa orang-orang muda di penjara tersebut dan membawa mereka kepada pengenalan akan kasih Kristus) sehingga Paus tidak mengikuti rubrik yang tertulis tentang upacara pembasuhan kaki yang umum berlaku pada hari Kamis Putih. Sebagai Paus, ia tidak terikat oleh orang lain dalam menginterpretasikan hukum Gereja, sebab sebagai wakil Kristus dan penerus rasul Petrus, ia adalah seorang legislator yang dapat menginterpretasikan ketentuan hukum Gereja, untuk menyikapi situasi dan kesempatan tertentu.

          2. Upacara Pembasuhan kaki itu sendiri merupakan ritus optional, bukan ritus yang menjadi keharusan sejak Gereja awal. Upacara ini baru dimasukkan dalam perayaan Ekaristi pada hari Kamis Putih di tahun 1955 oleh Paus Pius XII. Hal ini termasuk dalam tingkatan hukum liturgi Gereja, namun bukan hukum Ilahi yang sifatnya mutlak. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa seorang Paus yang lain memberikan interpretasi yang lebih luas untuk penerapannya, jika diinginkan demikian, demi menyampaikan maksud utamanya yaitu mengenangkan pelayanan dan kasih Kristus.

          3. Menurut Hukum Gereja, Uskup dapat memberikan izin dalam keadaan-keadaan tertentu sehubungan dengan pelaksanaan hukum Gereja, termasuk menentukan siapa-siapa yang akan dibasuh kakinya.  Namun menurut Hukum Gereja, variasi ini (misalnya jika ditentukan beberapa di antaranya wanita) merupakan kekecualian dalam keadaan-keadaan khusus, sehingga tidak menjadi dasar ketentuan bagi bagi seluruh Gereja untuk mengikuti praktek ini (lih. Kan. 16, 3), kecuali jika kemudian Paus memutuskan untuk mengubah pelaksanaan hukum gerejawi ini dengan interpretasi yang lebih luas.

          4. Dalam sejarah Gereja, ketentuan hukum yang sifatnya Ilahi, tidak berubah, namun dalam hal praktek pelaksanaan tentang suatu hukum Gereja, terdapat kemungkinan perubahan/ penyesuaian. Contohnya keputusan tentang diperbolehkan adanya putri Altar (misdinar perempuan), diperbolehkannya kaum awam membantu sebagai pelayan pembagi Komuni tak lazim (lebih dikenal umat dengan istilah prodiakon), dan juga diperbolehkannya wanita menjadi prodiakon. Namun ajaran ilahi yang lebih utama, misalnya tentang makna perayaan Ekaristi, tidak pernah berubah.

          5. Namun keadaan idealnya adalah, pihak kepausan memberikan penjelasan tentang pelaksanaan hukum liturgis perihal pembasuhan kaki, agar seluruh Gereja dapat mempunyai interpretasi yang seragam tentang penekanan maksud pembasuhan kaki, entah itu mengacu kepada pendirian sakramen imamat sebagaimana dikehendaki oleh Kristus bagi para rasul (sehingga dibatasi hanya pria dewasa); ataukah sebagai lambang pelayanan dan kasih Kristus (sehingga terbuka kepada siapa saja, entah pria maupun wanita). Untuk ini marilah kita menunggu penjelasan/ ketentuan dari pihak kepausan, dalam hal ini Kongregasi Penyembahan Ilahi (CDW).

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. Syalom Pak Stef dan Bu Inggrid…

    Saya mau tanya….

    dalam melayani, ada saat dimana kita harus mau menunjukkan diri kita dan pelayanan kita (berani tampil), sebagai orang yang beriman pada Kristus, dan menunjukkan kepada banyak orang betapa indahnya hidup dalam Kristus.

    Namun ada saat juga bagi kita untuk merendahkan diri kita, dan melakukan segala sesuatu dalam pelayanan yang tidak perlu dilihat oleh manusia, dan membiarkan Allah Bapa saja yang mengetahuinya.

    Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana batas-batas antara keduanya……????

    trima kasih

    • Shalom Zepe,

      Terima kasih atas pertanyaannya tentang kapan saat kita harus tampil dalam pelayanan. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus menyadari jiwa dari pelayanan. Pelayanan hanyalah merupakan hasil dari hubungan yang baik dengan Tuhan, baik melalui doa pribadi, Firman Tuhan, dan juga Sakramen-sakramen. Tanpa hubungan yang baik dengan Tuhan, maka pelayanan yang kita lakukan tidak akan bertahan lama, dan tidak dapat membawa kemuliaan bagi nama Tuhan. Oleh karena itu, pada saat kita mempunyai hubungan pribadi yang baik dengan Tuhan, maka fokus dalam pelayanan bukanlah pada diri kita sendiri, namun pada Tuhan. Dengan demikian, kapan kita harus tampil dan kapan kita tidak perlu tampil, yang menjadi parameter adalah apakah tindakan kita dapat memberikan kemuliaan bagi nama Tuhan? Apakah apa yang kita lakukan dapat membawa orang lebih dekat kepada Tuhan, dan membawa orang kepada pertobatan? Apakah orang menjadi lebih dekat kepada Yesus? Dan apakah tindakan kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain? Dan apakah tindakan kita mencerminkan kasih yang bersifat supernatural, yaitu kasih kepada Tuhan dan kepada sesama berdasarkan kasih kepada Tuhan? Dengan berfokus pada pertanyaan-pertanyaan tersebut, tampil atau tidak tampil bukanlah menjadi masalah pokok. Semoga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

  4. Salam damai sejahtera

    Dear pengasuh Katolisitas

    Tuhan itu hidup dari dahulu hingga sekarang bahkan sampai se-lama2nya.
    Sebab itu mendengar suara Tuhan itu hal yang wajar.
    Setiap orang yang rohaninya hidup seharusnya bisa mendengar suara Tuhan.
    Beberapa orang berpendapat bahwa hanya para pemimpin rohani saja yang bisa mendengar suara Tuhan, sedangkan orang2 biasa jarang yang bisa.

    Apakah benar demikian ?

    Semua orang dari semua macam mutu rohani disuruh oleh Tuhan untuk mendengar suara Roh.
    Ini berarti semua orang harus bisa mendengar suara Roh yang daripada Nya.

    Mengapa perlu mendengar suara Roh ?

    Salam
    mac

    • Shalom Machmud,
      Terima kasih atas komentarnya. Kita dapat saja mendengar suara Tuhan secara pribadi. Yang menjadi masalah adalah kita harus melakukan proses discernment – untuk membedakan apakah suara tersebut datang dari Tuhan atau setan atau diri sendiri. Semua suara yang didengar oleh orang yang menyatakan telah mendengar suara Tuhan, namun bertentangan dengan ajaran Gereja, tidak sesuai dengan Alkitab, membawa perpecahan, tidak membawa damai, perlu dipertanyakan kebenarannya. Santo Ignatius dari Loyola menuliskan hal ini secara sistematis dalam bukunya, spiritual exercises.
      Jangan lupa juga, bahwa Tuhan berbicara lewat Gereja, karena Tuhan sendiri telah berjanji untuk melindungi Gereja-Nya (Mt 16:18-20), dimana Gereja adalah tiang penopang dan dasar kebenaran (1 Tim 3:15). Mendengar suara Tuhan bukanlah jaminan bagi seseorang untuk dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. Oleh karena itu, mendengar suara Tuhan dalam konteks seperti mendengar seseorang berkata-kata secara langsung tidaklah diharuskan oleh Tuhan untuk keselamatan manusia. Namun, Tuhan sendiri berbicara dalam hati kita, karena Tuhan telah berdiam di dalam kita, karena kita diciptakan menurut gambaran Allah. Dan hal ini dinyatakan secara lebih nyata ketika seseorang menerima Sakramen Baptis. Dan secara lebih jelas dan tidak mungkin salah disuarakan oleh Gereja Katolik.

      Kita harus mengakui bahwa begitu banyak gereja-gereja baru didirikan, karena banyak pendirinya yang merasa telah mendengar suara Tuhan. Oleh karena itu, mereka mendirikan gereja-gereja yang baru, karena gereja-gereja yang lama tidak sesuai dengan perintah Tuhan. Dan inilah yang sama maksud, ada begitu banyak bahaya untuk mengklaim bahwa seseorang dapat mendengar suara Tuhan, dan seolah-olah itu pasti dari Tuhan dan tidak mungkin berasal dari yang lain. Semoga dapat memperjelas.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

Comments are closed.