
Ziarah Kerahiman Ilahi 2024
DIVINE MERCY PILGRIMAGE 2024
Siauliai – Vilnius – Warsaw – Niepokalanow – Plock – Lodz – Czestochowa – Auschwitz – Krakow – Lagiewniki – Wieliczka – Wadowice – Prague – Altotting – Ausburg – Munich – Hallstatt – Vienna (Bonus : Pandorf Outlet)
15 hari (18 Juni – 2 July 2024)
Bersama Tim Katolisitas: RD. Dominikus Gusti Bagus Kusumawanta, Stefanus Tay, Ingrid Listiati Tay
Biaya: € 3,950
Early bird sampai 31 JAN = diskon € 100
Pendaftaran: s.id/ziarahkatolisitas2023
Kontak: Seven Word – Surabaya (0838 9612 8777 / 0812 160 9967) dan Jakarta (0815 9326 624)
Apakah Anda berbeban berat dan menginginkan kelegaan dan pemulihan dari Tuhan Yesus? Apakah Anda ingin mengalami kembali kasih dan kerahiman-Nya yang tak terselami? Apakah Anda ingin memohonkan kerahiman Tuhan bagi saudara ataupun kerabat yang sudah meninggal?
Ikutilah Divine Mercy Pilgrimage bersama tim Katolisitas! Selama 15 hari kita akan mengunjungi berbagai tempat di Eropa Timur yang menunjukkan Kerahiman Ilahi yang senantiasa tercurah bagi umat manusia, bahkan di tempat-tempat yang paling tidak terduga sekalipun.
Secara khusus kita akan mengunjungi tempat-tempat sehubungan devosi Kerahiman Ilahi yang diperkenalkan oleh St. Faustina Kowalska dan imam confessornya, Beato Michael Sopocko. Kita pun akan mengunjungi sejumlah gereja yang mengingatkan kita akan karya pengabdian sejumlah orang kudus yang juga memperkenalkan pengampunan dan kerahiman Tuhan kepada dunia, seperti St. Stefanus, St. Paus Yohanes Paulus II, St. Maximillian Kolbe, St. Vitus, St. John Nepomuk, St. Conrad, dst.
Tak lupa kita pun akan mengunjungi 2 tempat ziarah untuk menghormati Bunda Maria di Eropa Timur, yaitu Altötting yang dikenal dengan sebutan Lourdes di Jerman dan Augsburg, yang dikenal dengan tempat asalnya devosi Bunda Maria Pengurai Simpul Masalah.
Dengan mengikuti zarah ini, Anda juga sekaligus berpartisipasi mendukung kegiatan karya kerasulan Katolisitas.
Jika Anda tertarik untuk mengikuti ziarah ini, silakan mendaftar di link berikut ini: s.id/ziarahkatolisitas2023
Semoga Tuhan Yesus memberkati kita semua.
kunci kedamaian hati
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Hari ini, Yesus memanggil kita untuk merenungkan sesuatu yang seringkali menjadi perjuangan bagi banyak dari kita: pengampunan dan ketidakmauan untuk mengampuni.
Dalam bacaan dari Kitab Sirakh, kita diingatkan untuk mengampuni kesalahan sesama kita, sehingga ketika kita berdoa, dosa-dosa kita juga diampuni. Pesan ini diperkuat oleh Yesus melalui perumpamaan hamba yang jahat dan penting nya bagi kita untuk mengampuni sesama kita mengingat apa pun yang sesama kita telah lakukan, tidak akan pernah sebanding dengan dosa yang kita telah lakukan kepada Tuhan.
Tetapi, kita tahu bahwa mengampuni bukanlah hal yang mudah. Sering kali, kita melihat segala sesuatu dari perspektif kita sendiri, karena kesalahan dan luka yang kita rasakan tampak begitu dekat dan nyata. Perasaan marah, sakit hati, dan dendam pun menjadi semakin kuat. Namun, kita sering lupa melihat dari perspektif surgawi, tentang harga yang telah dibayar Kristus untuk mengampuni dosa kita.
Tidak mengampuni, bagi kita, adalah seperti meminum racun yang diperuntukkan bagi orang lain. Bagaimana kita bisa mengharapkan Tuhan mengampuni dan menyembuhkan kita, jika kita terus menyakiti diri kita sendiri dengan tidak mau mengampuni?
Kita harus ingat, Tuhan tidak bisa menumpahkan belas kasihan dan anugerahNya kepada kita jika kita menolak untuk memberikannya kepada orang lain. Pengampunan adalah hadiah yang indah. Tuhan ingin membebaskan kita dari kebencian, kemarahan, dan dendam. Sesungguhnya, Dia adalah Kasih, dan hanya kasih yang bisa menyelamatkan dan memberi kita kedamaian.
Sebagai umat Kristiani, kita diajak untuk melihat teladan hidup para kudus yang dengan penuh kerendahan hati menerima dan memberikan pengampunan. Salah satu contoh paling menonjol adalah Santo Yohanes Paulus II.
Pada tahun 1981, Paus Yohanes Paulus II mengalami percobaan pembunuhan saat ditembak oleh Mehmet Ali Ağca di Alun-Alun Santo Petrus. Namun, dalam keadaan yang sungguh luar biasa, hanya beberapa bulan setelah kejadian tersebut, Santo Yohanes Paulus II mengunjungi Ağca di penjara, mengampuninya, dan berdialog dengan dia. Melalui tindakan ini, beliau mengajarkan kepada dunia bahwa pengampunan bukanlah tanda kelemahan, melainkan kekuatan. Sebuah kekuatan yang berasal dari iman dan kasih yang di buktikan oleh Kristus sendiri di kayu Salib.
Paus Yohanes Paulus II memilih untuk melihat Ağca bukan sebagai seorang penyerang, tetapi sebagai seorang anak Tuhan yang memerlukan belas kasihan dan pengampunan. Hal ini mengingatkan kita bahwa, dalam setiap situasi, kita memiliki pilihan: untuk membalas dengan dendam atau memilih jalan cinta dan pengampunan.
Sebagai analogi, bayangkan jika hati kita adalah sebuah wadah. Dendam, amarah, dan ketidakmauan untuk mengampuni adalah batu-batu yang mengisi wadah ini, membuatnya penuh dan berat. Namun, setiap kali kita memilih untuk mengampuni, kita mengeluarkan satu batu dari wadah tersebut, memberikan ruang bagi kasih dan kedamaian untuk mengalir.
Santo Agustinus pernah berkata, “Dia yang tidak memiliki kasih, hidup dalam kematian.” Kita mungkin bukan orang yang sempurna dan tanpa dosa, tetapi Tuhan mengharapkan kita untuk mengampuni sebagaimana Dia telah mengampuni kita.
Tuhan pun paham, bahwa kita perlu bantuan supra natural nya untuk mengampuni sesama kita, apalagi yang telah begitu menyakitkan kita. Nah pertolongan surgawi ini diberikan dan dicurahkan oleh-Nya melalui Sakramen Ekaristi dan Tobat. Setiap kali kita datang ke tahta belas kasihanNya dalam pengakuan dosa, kita bukan hanya meminta belas kasihanNya, tetapi Dia juga menyembuhkan luka yang disebabkan oleh ketidakmauan kita untuk mengampuni.
Mari kita renungkan kembali: apakah kita memilih untuk menuntut keadilan dan membalas dendam, atau apakah kita memilih jalan pengampunan dan kasih? Dalam setiap tindakan kita, dalam setiap kata yang kita ucapkan, dalam setiap perasaan yang kita simpan, apakah kita mencerminkan kasih Kristus yang tanpa batas, atau apakah kita membiarkan hati kita dipenuhi oleh kebencian dan dendam?
Ketika kita melihat kembali kehidupan Santo Yohanes Paulus II, kita diberi contoh yang kuat tentang arti sejati pengampunan. Sebuah pengampunan yang berasal dari hati yang murni dan tulus, yang menunjukkan kebesaran hati untuk melepaskan luka pribadi demi kasih dan kedamaian.
Kita dipanggil untuk meniru kasih dan pengampunan Kristus dalam hidup kita sehari-hari. Ini mungkin bukan jalan yang mudah, namun dengan bantuan Tuhan, kita dapat melepaskan beban berat dari hati kita dan merasakan kebebasan sejati yang datang dari pengampunan.
Sebagai penutup, marilah kita mengingat kata-kata Santa Maria Faustina: “Tuhan, jika Engkau menginginkan, Engkau dapat mengampuni, bahkan jika dosa orang tersebut lebih besar daripada semua dosa di dunia.” Semoga kita selalu memiliki hati yang terbuka untuk menerima dan memberikan pengampunan, dan semoga kehidupan kita selalu dipenuhi dengan kasih dan rahmat Tuhan.
Kasih dan Keadilan Tuhan
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Pada hari ini, kita diberi kesempatan untuk merenungkan kedalaman kasih dan keadilan Tuhan dalam hidup kita. Seperti yang kita baca dari injil Matius, pesan Tuhan begitu jelas: Dia adalah Tuhan yang penuh kasih, namun juga penuh keadilan. Di dalam Dia, kasih dan keadilanNya selalu sejalan.
Paus Fransiskus, dalam salah satu homilinya, mengingatkan kita bahwa “Hukum Tuhan diberikan agar kita mencintai dengan lebih sempurna, bukan untuk menekan kita.” Ini adalah pengingat bahwa dalam setiap hukum dan perintah Tuhan, inti dari semuanya adalah kasih. Terutama, keserasian sempurna akan keadilan dan kasih Tuhan sangatlah nyata dalam wujud Sakramen Pengakuan Dosa dan Rekonsiliasi. Nah, inilah kuasa yang diberikan oleh Tuhan Yesus sendiri kepada para rasul dalam kuasa mengikat dan melepas di injil Matius. Melalui kuasa Tuhan Yesus sendiri, para rasul dan penerus nya, memiliki kuasa di dalam nama Kristus untuk memberikan pengampunan kepada umat yang datang di dalam pertobatan.
Dalam sakramen ini, kita tidak hanya diberi kesempatan untuk mengakui dosa-dosa kita, tetapi juga untuk merasakan kasih dan pengampunan dari Tuhan. Seperti yang Santo Yohanes Paulus II katakan, “Pengakuan Dosa adalah pertemuan dengan Kasih yang selalu memaafkan.”
Saya pun me-refleksikan kisah pertobatan saya sendiri dan betapa seorang santo dan guru Gereja melalui kesaksian iman nya membimbing dan meyakinkan saya akan kekuatan kasih dan transformasi dari pengakuan dosa yang tulus.
Ketika pertama kali membuka halaman dari “Pengakuan” (Confession) Santo Agustinus, saya tidak menyangka akan dampak mendalam yang akan diberikannya pada perjalanan saya menuju penyembuhan dan pertobatan. Ketika saya menyelami narasi yang dia tuliskan, saya sungguh tersentuh oleh kejujuran di mana Santo Agustinus menggambarkan rinci kehidupannya di masa lalu. Kata-katanya menggambarkan gambaran jelas tentang jiwa yang, meskipun diterpa oleh kesombongan dan kesalahpahaman tentang kasih dan kesucian Tuhan yang sebenarnya, pada akhirnya mampu menemukan kedamaian dalam Tuhan yang selama ini dia salah pahami.
Membaca refleksi pribadi Agustinus, saya merasakan kedalaman pergulatan dan kesalahan yang dia alami, mengingatkan saya pada tembok kesombongan dan ketidaktahuan yang telah saya bangun di sekitar hati saya sendiri. Terinspirasi oleh kerentanannya dan kerendahhatiannya, saya merasa terdorong untuk melakukan pengakuan menyeluruh ( general confession), suatu pengakuan dosa yang membentang dari masa kecil saya yang polos hingga kerumitan masa dewasa saya. Itu adalah tindakan penyerahan total, yang terinspirasi oleh perjalanan transformatif Agustinus.
Ketika saya memulai pengalaman sakramental yang mendalam ini, hati saya bergema dengan pernyataan Santo Agustinus, “Engkau telah menciptakan kami untuk Engkau sendiri, ya Tuhan, dan hati kami akan gelisah sampai mereka beristirahat dalam Engkau.” Dengan rasa percaya yang dalam ini, saya mendekati rahmat Tuhan, percaya bahwa Dia tidak hanya akan menghapus pelanggaran saya tetapi juga menghidupkan kembali kehidupan baru di dalam saya.
Pengakuan secara rutin kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas spiritual saya. Ini bukan tentang kesombongan spiritual atau kewajiban ritualistik, melainkan tentang kedamaian, kekuatan, kebahagiaan, dan penyembuhan yang saya rasakan setelah setiap sakramen rekonsiliasi. Setiap pengakuan menjadi pengingat bahwa, seperti Santo Agustinus, kita semua memiliki potensi untuk diperbarui dan ditransformasi oleh kasih dan rahmat Tuhan yang tak terbatas.
Banyak dari kita mungkin merasa ketakutan dan malu saat mendekati Sakramen Pengakuan Dosa. Namun, kita harus selalu mengingat bahwa Tuhan tidak melihat kita melalui dosa kita. Dia adalah Mesias yang terluka, justru agar Dia dapat menyembuhkan luka dalam diri kita yang disebabkan oleh dosa. Di saat-saat kita merasa telah “baik-baik saja”, marilah kita merenung dan merendahkan hati. Kita harus menyadari betapa miskinnya roh kita di hadapan Tuhan yang sempurna. Sakramen ini tidak hanya menyembuhkan, tetapi juga menguduskan kita.
Selain itu, kita harus menyadari bahwa dosa kita mengaburkan dan menghalangi anugerah Tuhan untuk bersinar dalam hidup kita. Tuhan ingin memberikan lebih banyak lagi anugerah bagi kita, namun Dia tidak bisa ketika anugerah itu dihalangi oleh dosa yang kita enggan untuk mengakui dan serahkan. Sebagai umatNya, kita harus selalu memiliki sikap percaya, berserah, dan mempercayai belas kasih dan kasihNya yang tak berkesudahan.
Oleh karena itu, marilah kita selalu mendekati Sakramen Pengakuan Dosa dan Rekonsiliasi dengan hati yang terbuka dan siap menerima kasih Tuhan. Marilah kita selalu mengingat bahwa kasih adalah inti dari segala ajaran dan perintah Tuhan. Dan di atas segalanya, marilah kita selalu hidup dalam kasih, karena seperti yang dikatakan dalam surat kepada jemaat di Roma, “Kasih adalah penggenapan dari hukum.”
Semoga refleksi hari ini dapat membawa kita semakin dekat dengan hati Tuhan yang penuh kasih dan belas kasih, dan semoga kita selalu membiarkan kasihNya membimbing kita dalam setiap langkah kita.
Siap mengikuti jejak Kristus (Mat 16:21-27)
Saudara-saudari terkasih dalam Kristus,
Pada hari ini, kita mendengar bagaimana Yesus menegaskan kembali pada para murid-Nya mengenai harga yang harus dibayar untuk mengikut Dia. Seperti yang dikatakan dalam Injil Matius, untuk mengikut Kristus, kita harus menyangkal diri kita sendiri, memikul salib kita, dan mengikuti Dia. Namun, apa arti sebenarnya dari “menyangkal diri” dan “memikul salib” kita?
Dalam bacaan pertama dari kitab nabi Yeremia, kita mendengar bagaimana nabi Yeremia berusaha menentang panggilan Tuhan karena takut akan cemoohan. Dia bahkan berjanji dalam hatinya untuk tidak menyebut nama Tuhan lagi. Namun, hatinya terbakar dengan api yang begitu bersemangat sehingga dia tahu untuk tidak mengikuti kehendak Tuhan hanyalah sia-sia dan hanya akan membawanya kepada kesedihan. Rasa takut dalam menjalankan kehendak Tuhan bukanlah sesuatu yang baru. Itu adalah rasa takut yang mungkin dirasakan oleh banyak di antara kita.
Namun, apa yang Tuhan minta dari kita, seperti yang dinyatakan oleh St. Paulus dalam Roma 12:1-2, adalah pembaruan pikiran dan hati kita. Dengan semakin mengenal dan mencintai Tuhan, kita diajak untuk semakin memahami dan semakin dimampukan untuk senantiasa mengikuti kehendak-Nya. Tuhan tidak menuntut kesempurnaan yang hanya datang dari mengandalkan kekuatan kita sendiri, tapi Dia justru ingin menyempurnakan kita dengan kekuatan dan kasih-Nya.
Saudara-saudari, kita sering kali merasa terbebani oleh salib-salib hidup kita. Namun, Yesus tidak meminta kita untuk mengangkat salib itu sendirian. Sebaliknya, Dia menawarkan diri-Nya untuk membantu kita memikulnya. Seperti yang dikatakan oleh Paus St. Yohanes Paulus II, “Yesus memberi kita harapan: dengan menderita untuk kasih, dalam kesatuan dengan Dia, kita dapat terus melakukan kebaikan.”
Dalam proses pengorbanan ini, kita diajak untuk melepaskan hal-hal yang mungkin menghalangi kita dari mengikuti Kristus dengan sepenuh hati. Hal hal ini bisa menjadi kekayaan, kekuasaan, masa lalu, atau dosa dosa yang ingin kita pertahankan. Tetapi apa yang kita mau lepaskan, adalah demi kebebasan yang sesungguhnya dan juga akan janji kemuliaan yang jauh lebih besar yang sudah disiapkan bagi kita. Seperti yang dikatakan Santa Teresa dari Avila, “Semua penderitaan sementara yang harus kita jalani di dunia, tidaklah sebanding dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kelak kepada kita.”
Panggilan untuk mengikuti Kristus mungkin datang dengan tantangan dan rasa takut, namun kita diajak untuk tidak takut. Sebaliknya, kita diajak untuk percaya bahwa cinta dan pengorbanan Yesus sendiri di kayu salib akan memampukan kita untuk menjadi sempurna dan kudus.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kita akan membiarkan Kristus mengambil alih hidup kita dan mengubah kita? Apakah kita siap untuk mengikuti jejak-Nya, dengan penuh kepercayaan dan kesetiaan? Dan apakah kita siap untuk menyangkal diri dan memikul salib kita bersama Nya?
Marilah kita senantiasa berdoa agar kita dapat terus memahami makna sejati dari mengikut Kristus dan agar kita dapat terus mendalamkan komitmen kita untuk mengikuti Dia dalam setiap langkah hidup kita. Amin.
Pentingnya kepemimpinan penerus Petrus

Saudara Saudari terkasih dalam Kristus
Hari ini kita merayakan sebuah momen penting ketika Yesus mendirikan Gereja di atas dasar Petrus. Pemberian otoritas ini menunjukkan betapa pentingnya konsistensi dan kesinambungan kepemimpinan dalam Gereja. Bayangkan sebuah kapal besar di tengah lautan. Tanpa seorang kapten yang memegang kemudi, kapal tersebut dapat dengan mudah tersesat atau bahkan menjadi karam. Begitu pula dengan Gereja; ketika Yesus mengetahui bahwa Dia akan naik ke surga setelah menyelesaikan misi-Nya di dunia, Dia menyadari betapa pentingnya bagi Gereja bahwa ada seorang pemimpin yang tetap, yang bisa memandu Gereja-Nya melalui badai kehidupan, dan pemimpin itu adalah Petrus dan para penerusnya.
Ketika kita melihat kembali ke dalam kitab Yesaya, kita menemukan cerita tentang Eliakim yang diangkat oleh Tuhan untuk memiliki kekuasaan mewakili Tuhan di kerajaan raja Daud. Hal Ini menunjukan betapa penting nya kesinambungan kepemimpinan dilaksanakan melalui wakil yang ditunjuk oleh Tuhan sendiri sejak jaman Perjanjian Lama. Sama seperti dengan Eliakim, Petrus dan penerusnya, para Paus, pun diangkat sebagai “batu karang” yang akan menjadi pondasi bagi Gereja dan menjadi wakil Kristus selama di dunia. Hal Ini pun mengingatkan kita semua bahwa Gereja pada waktu yang sama terdiri dari unsur Ilahi dan unsur manusia, dan penunjukan Ini juga menjadi janji penggenapan Tuhan Yesus sendiri yang akan senantiasa menyertai Gereja-Nya sampai ahir jaman.
Apakah pentingnya keputusan ini? Mengapa kita harus memiliki hierarki dalam Gereja? Mari kita renungkan melalui sebuah analogi. Bayangkan sebuah rumah. Agar rumah tersebut kokoh dan tahan lama, ia memerlukan fondasi yang kuat. Petrus dan para Paus selanjutnya menjadi fondasi yang menopang seluruh bangunan, yaitu Gereja. Tanpa fondasi tersebut, Gereja akan mudah goyah, mudah hancur, dan mudah terpecah. Kesatuan ini dapat terjaga dan terjamin di dalam bimbingan Roh Kudus yang menjadi jiwa daripada Gereja sendiri.
Namun, apa arti dari semua ini bagi kita? Kristus menginginkan kita untuk bersatu dalam diri-Nya. Dia menginginkan Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik. Dengan fondasi yang kuat dalam bentuk hierarki Gereja, kita diberi arahan dan petunjuk, kita diberikan kesatuan yang membawa kita semua ke dalam kasih dan kehendak Tuhan dalam karya keselamatan-Nya. Dan nyatanya, ini semua adalah bagian dari penyelenggaraan Tuhan sendiri bagi Gereja-Nya dan hal Ini juga yang memungkinkan Gereja bertahan selama 2000 tahun lebih sekalipun dunia sudah melalui berbagai perubahan besar. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Rasul Paulus juga merenungkan kekayaan, hikmat, dan pengetahuan Allah. Semua ini dinyatakan dalam kebijaksanaan Tuhan untuk mendirikan Gereja-Nya dengan tatanan yang jelas.
Ketika kita berbicara tentang kesatuan, kita juga tidak dapat lupa akan ajakan dari Santo Yohanes Paulus II dalam “Ut Unum Sint” yang menekankan keinginan Kristus “supaya mereka semua menjadi satu”. Kesatuan ini bukan hanya tentang kesatuan antara kita sebagai anggota jemaat, tetapi juga kesatuan dengan Kristus sendiri. Sehingga menjadi sangat jelaslah mengapa Kristus mendirikan Gereja-Nya di atas fondasi satu dengan kepemimpinan yang esa dengan hirearki yang jelas dalam suksesi apostolik yang menunjukan kesinambungan peranan Petrus dan para rasul-Nya.
Marilah kita selalu menghargai kebijaksanaan Tuhan dalam mendirikan Gereja-Nya, dan mari kita terus bekerja bersama sebagai satu tubuh Kristus di bawah kepimpinan Paus. Semoga kesatuan ini membawa kita semakin dekat kepada Allah dan memperkuat iman kita dalam menghadapi tantangan di dunia ini.
Amin.