Home Blog Page 43

Satu dengan Gereja agar dikuduskan dalam kebenaran

0
Sumber gambar: http://www.romannews.com/religion/st-peters-square-crowded-with-catholics-upon-canonization-of-two-popes/

[Hari Minggu Paskah VII, Hari Minggu Komunikasi sedunia: Kis 1:15-26; Mzm 103 1-20; ; 1Yoh4:11-16; Yoh 17:11-19 ]

Belum lama ini aku mendengarkan CD kisah kesaksian Diakon Alex Jones, yang membuatku takjub. Kisahnya menggambarkan perjalanan iman seseorang yang dengan tulus mencari kebenaran, dan yang kemudian menemukannya dan mengikutinya. Sebelum menjadi Diakon tetap di Gereja Katolik, Jones adalah seorang pendeta Pentakostal, dari gereja Maranatha, di Detroit, USA. Suatu waktu di tahun 1998, ia meminta waktu satu bulan kepada jemaatnya untuk menyelidiki bentuk pujian dan penyembahan seperti apa yang dilakukan oleh jemaat perdana. Jones kemudian membaca banyak tulisan para Bapa Gereja abad-abad awal, seperti St. Yustinus Martir, St. Ignatius dari Antiokhia, dst. Ia tidak menyangka bahwa penyelidikannya itu membawanya semakin dekat dengan Gereja Katolik. Sebab ia menemukan bahwa cara Gereja perdana berdoa adalah dengan liturgi, dalam kesatuan dengan Uskup di wilayah masing-masing. Setelah penemuannya itu, Jones mulai membagi kebaktian yang dipimpinnya menjadi dua bagian, yaitu liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi. Ia mulai mengadakan perjamuan kudus seminggu sekali, sangat berlainan dengan para pendeta Pentakostal umumnya yang hanya mengadakan perjamuan kudus dua kali dalam setahun, atau paling sering, sebulan sekali. Pertanyaan berikut yang mengusiknya adalah bagaimana dengan kesatuan dengan Uskup? Jones menyadari bahwa gerejanya tidak mempunyai uskup, sebab dia sendirilah pemimpinnya. Hal ini terus mengusik hatinya. Singkat kata, setelah melalui pergumulan yang panjang, dan melalui doa-doa, Jones memutuskan untuk menutup gereja yang dipimpinnya sejak tahun 1982, untuk menjadi Katolik. Ia pun membawa serta sejumlah jemaat yang dipimpinnya untuk bergabung dengan Gereja Katolik. Suatu keputusan besar yang tidak mudah, namun tetap dilakukannya. Jones mengalami pertentangan dari banyak orang, termasuk kerabat dan sahabat-sahabatnya yang mempertanyakan keputusannya itu. Namun jawabnya sederhana, “Aku harus melakukannya. Sebab sejak masa kecilku, aku mencari kebenaran yang sejati. Kini saat aku sudah menemukannya, aku harus mengikutinya.”

Injil hari ini, mengingatkan kita akan doa Tuhan Yesus sendiri bagi Gereja-Nya, agar menjadi satu, sama seperti Ia dan Bapa adalah satu (lih. Yoh 17:11). Sebagai umat Katolik, mari kita bertanya kepada diri sendiri, sejauh mana kita juga mendoakan hal yang sama ini, seperti yang dikehendaki Tuhan Yesus? Kesatuan Gereja dan kesatuan dengan Uskup, yang adalah para penerus Rasul, adalah bukti yang nyata bahwa kita menjaga kesatuan kasih di antara kita sebagai sesama anggota Tubuh Kristus. Jika kita percaya bahwa Allah adalah kasih, maka kita selayaknya tetap hidup di dalam kasih agar Allah tetap berada di dalam kita (lih. 1Yoh 4:16). Betapa nyatanya hal ini dalam kehidupan keluarga, dan juga dalam kehidupan menggereja. Jika kita mengasihi, maka keluarga dan Gereja kita akan semakin kuat bersatu. Perceraian yang marak terjadi di zaman ini, adalah bukti kegagalan untuk membina cinta kasih di antara pasangan suami istri. Perpecahan gereja juga adalah bukti dari kegagalan untuk menerapkan kasih di antara sesama jemaat. Segala bentuk perpecahan adalah kegagalan untuk menaati firman Tuhan yang menghendaki kita semua menjadi satu. Allah menghendaki Gereja-Nya menjadi satu, dan juga agar kita dikuduskan dalam kebenaran. Oleh karena itu, kita mengetahui bahwa kebenaran-Nya adalah kebenaran yang mempersatukan. Walaupun nampaknya perjalanan masih panjang, bagi semua murid Kristus untuk bersatu secara penuh, namun kita tetap menaruh harap dan terus berdoa, agar suatu saat kesatuan ini dapat terwujud. Menjelang hari Pentakosta, marilah kita memohon kepada Roh Kudus, yaitu Roh Allah yang sama, yang dahulu telah turun atas para Rasul dan Gereja perdana, agar terus menyertai Gereja-Nya dan mengarahkan semua murid Kristus agar merindukan kesatuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Kristus sendiri.

Mari kita berdoa agar semakin banyak orang dapat mengalami indahnya kesatuan yang ada dalam Gereja Katolik. Semoga kita dapat terus memelihara kesatuan kasih ini, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan menggereja, agar sungguh “Allah tetap di dalam kita dan kasih-Nya sempurna di dalam kita” (1 Yoh 4:12).

Roh Kudus, kami menantikan Engkau, untuk memperkuat kesatuan kasih di antara kami, agar dengan kesatuan ini Engkau menguduskan kami dalam kebenaran-Mu. Amin.

Yesus, Engkaulah Karunia terbesar yang dapat kuterima

0
Sumber gambar: http://aaog.blogspot.com/2011/07/jesus-and-children.html

[Hari Minggu Paskah VI: Kis 10: 25-48; Mzm 98:1-4; 1Yoh4:7-10; Yoh 15:9-17 ]

Akhir pekan ini adalah saat yang istimewa bagi Nicholas, anak baptis kami. Bersama-sama dengan teman-temannya sekelasnya, ia akan menerima Komuni Pertama. Dalam kepolosannya, kami melihat sukacita tak terkira dalam hati Nicholas yang berumur 7 tahun ini. Sungguh, kami pun belajar dari kesederhanaan imannya, yang mengingatkan kami akan sabda Tuhan, “… Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat 18:3). Demikian tulis Nicholas dalam lembaran buku-nya beberapa hari yang lalu:

“When I was three years old, I wanted to receive the Holy Communion. But, my uncle said, I couldn’t. He said, I had to wait until I am older. So then, every time I have a birthday I am happier, because I know that in a while I can receive Communion. When I receive Communion, I receive Jesus in my heart. I am happy. But my heart must be cleansed before I can receive Jesus. I have to go to Confession, to confess my sins and ask the Lord to forgive me. Before going to Confession, I pray that God will help me remember my sins. Then, I go to find a priest to have Confession. After Confession, I am happy because God has taken my sins away. Then I pray, “Lord Jesus, Thank you for taking my sins away. Help me never sin again. Everyday help me be good.

In a week or so, I will receive my First Holy Communion. My Mom and my Dad invited my aunt and uncle to my house. They are my Godparents. They come from Indonesia. They are here to go to my First Holy Communion. Now, while waiting for my First Communion, I pray:

“Lord Jesus, I thank You for giving Yourself to me. You are the greatest Gift I can receive. Help me receive You with love, because You have loved me first. I love You, Jesus. Amen.”

On the day of my First Holy Communion this is what I am going to do. After receiving Communion I am going to my pew and pray to Jesus. I will pray for 15 minutes.

“Lord Jesus, I thank You that now You are in my body, my soul and my heart. I love You, Jesus. You can always have my heart. Amen.”

Aku terhenyak membaca tulisan ini. Perlahan-lahan, kubaca ulang doanya, dan kujadikan juga sebagai doa yang keluar dari dalam hatiku. “Lord Jesus, …. You are the greatest Gift I can receive. Help me receive You with love, because You have loved me first. I love You, Jesus… Tuhan Yesus, Engkaulah Karunia terbesar yang dapat kuterima. Bantulah aku untuk menerima Engkau dengan kasih, sebab Engkau telah mengasihiku terlebih dahulu. Aku mengasihi Engkau, Yesus… ”

Injil Minggu ini mengingatkan kita akan besarnya kasih Tuhan Yesus kepada kita. Dalam amanat perpisahan-Nya, Yesus berkata demikian kepada para murid-Nya: “Tiada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat- sahabatnya…” (Yoh 15:13). Dengan perkataan ini, Yesus mempersiapkan para murid untuk memahami betapa besar kasih-Nya yang akan dinyatakan-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya bagi mereka dan seluruh umat manusia, di kayu salib. Suatu pengorbanan kasih yang melaluinya Kristus membukakan bagi kita kehidupan kekal. Yaitu kehidupan oleh Dia yang dengan wafat dan kebangkitan-Nya, telah mengalahkan kuasa dosa dan maut. “Dalam hal inilah kasih Allah dinyatakan di tengah-tengah kita, yaitu bahwa Allah telah mengutus Anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup oleh-Nya. Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1 Yoh 4:9-10).

Hidup oleh Kristus, secara khusus kita terima dalam Komuni kudus. Saat menerima Komuni kudus, semoga kita semakin menyadari bahwa itulah cara yang dipilih oleh Kristus untuk menyampaikan kasih-Nya yang terbesar kepada kita. Sebab dalam Komuni kudus itu, Yesus menyerahkan Diri-Nya sendiri kepada kita, agar kita dapat memperoleh hidup-Nya.

Tuhan Yesus, Engkaulah Karunia terbesar yang dapat kuterima. Terima kasih yang tak terhingga kuucapkan kepada-Mu. Aku mengasihi Engkau, Yesus. Terimalah aku sebagai milik-Mu, ya Tuhan.

Air Mata Wanita, Sejuta Makna

0

Sharing Pelayanan Pst Felix Supranto, SS.CC dari Seminar “Memahami Hati Wanita” di Paroki Yohanes Penginjil, Jakarta

Kebahagiaanku tak terumuskan dalam kata ketika aku memberikan seminar “Memahami Hati Wanita” di Paroki Santo Yohanes Penginjil Blok B – Jakarta. Kurang lebih dua ratus umat menghadiri seminar itu karena ingin mendapatkan pencerahan. Para wanita mengharapkan semakin bersyukur atas panggilannya sebagai wanita dalam menolong suaminya sebagai imam keluarga dan mendidik anak-anaknya di jalan yang benar. Para suami semakin terbuka matanya atas pendampingan dan pengorbanan istrinya. Sang istri disadari oleh suaminya sebagai mukjizat yang terdekat dan terindah karena di dalam hati wanita bertahtalah hati Allah. Di dalam hati wanita ada kekuatan dan kasih Allah.

Wanita sebagai mukjizat itu nyata dalam diri seorang ibu yang terus menangis selama adorasi berlangsung. Aku doakan ibu itu dengan menopangkan tanganku di atas kepalanya. Dengan sesenggukan, ia mengungkapkan sebuah peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya belum lama ini. Aku rumuskan ungkapan hatinya dalam rangkaian kata berikut:

Belum lama ini, suamiku meninggal dunia.

Ia meninggal secara mendadak dalam tugas pekerjaan di tempat lain.

Hatiku tersayat-sayat bahwa ia pergi tanpa kata “sayang” dariku.

Kata “sayang” itu senantiasa aku ucapkan kepadanya sebelum ia pergi kerja.

Kepergiannya membuat hidupku terasa hambar:

“Bisakah aku hidup dalam dunia yang luas tanpa cintanya”.

Ketika kupejamkan mata, kenangan akan suamiku memenuhi memoriku.

Perlahan-lahan air mataku pasti membasahi pipiku.

Semakin ku mengingat ketulusan hatinya,

air mata ini semakin deras keluar.

Kurasakan betapa pahitnya hidup ini tanpa suamiku yang telah bersatu jiwa.

Air mataku yang deras membuatku tak bergairah melanjutkan hidupku.

Semuanya nampak begitu suram.

Tak terbayangkan betapa beratnya,

membesarkan dua anakku yang masih kecil,

tanpa tangan suami yang biasa menopangnya

Di tengah kelunglaian, syair dari lagu “Karena Salib-Mu” :

ENGKAULAH SUMBER PENGHARAPAN, KUASA-MU SANGGUP MENYEMBUHKAN
JIWAKU PUN BERSERAH HANYA KEPADAMU, YESUS KAULAH SEGALANYA
”, dalam adorasi,
telah menegakkan kembali pengharapanku kepada Tuhan

Pengharapan itu membuatku bertahan walau badai menghadang.

Semuanya demi masa depan yang cemerlang untuk anak-anak tercinta.

Gunung tinggi dan bebatuan akan aku daki demi mewujudkan cita-cita mereka.

Aku akan terus melangkah bersama Tuhan yang setia:

Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya,….” (2 Petrus 3:9)

Aku yakin bahwa air mata kesedihan ini tak akan berderai lagi.

Itulah air mata wanita. Air mata wanita mengandung sejuta makna, yaitu kesedihan, kegembiraan, kekuatan, dan pengharapan. Semua rasa dalam diri wanita terungkap dalam deraian air mata.

Pesan dari sharing ibu itu: Kita sendiri adalah penentu kebahagiaan pada akhir cerita kehidupan kita. Kebahagiaan akan teraih ketika kita tidak terlalu lama berduka pada saat merana. Senantiasa ada hikmat di balik peristiwa kesedihan. Hikmat itu menjadi kekuatan untuk terus melangkah, tanpa goyah, bersama Tuhan yang menyertai kita. Tuhan, Sang Sutradara Kehidupan, akan memberikan mahkota kebahagiaan bagi yang tidak pernah menyerah: “Aku senantiasa memandang kepada TUHAN; karena Ia berdiri di sebelah kananku, aku tidak goyah” (Mazmur 16:8).

Terimakasih kepada Persekutuan Doa Pembaharuan Karismatik Santo Yohanes Penginjil yang telah manjadi saluran berkat Tuhan dengan menjadi panitia seminar ini. Tangan Anda telah menjadi Tangan Tuhan yang membalut luka dan menyembuhkan.

Tuhan Memberkati

Pokok Anggur yang menantikan buah

0
Sumber gambar: http://en.wikipedia.org/wiki/List_of_culinary_fruits

[Hari Minggu Paskah V: Kis 9:26-31; Mzm 22: 26-32; 1Yoh 3:18-24; Yoh 15:1-8 ]

Injil hari ini mengisahkan amanat perpisahan Tuhan Yesus kepada para murid-Nya, yaitu agar mereka mau tinggal di dalam Dia dan Dia di dalam mereka. Bagaimana memahami arti “tinggal di dalam” Yesus? Tahu bahwa hal itu mungkin sulit dipahami, Yesus mengambil perumpamaan untuk menjelaskannya, yaitu seperti ranting-ranting tinggal menyatu dengan pokok anggur. Sebab ranting-ranting yang hidup dan berbuah memang adalah ranting-ranting yang menempel atau menjadi satu dengan batang utama pohon yang menyatu dengan akarnya.  St. Agustinus mengajarkan, bahwa dengan mengumpamakan diri sebagai pokok anggur, Tuhan Yesus mengacu kepada kodrat-Nya sebagai manusia, sehingga dapat menyatu dengan kita manusia; tetapi dengan mengatakan bahwa Ia dapat memberikan hidup kepada ranting-ranting-Nya, Yesus mengacu kepada kodrat-Nya sebagai Tuhan, sebab hanya Tuhanlah yang dapat memberikan kehidupan. Demikian katanya, “Tapi supaya orang tidak menganggap bahwa sebuah ranting dapat menghasilkan sedikit buah dari dirinya sendiri, Ia [Yesus] mengatakan: Sebab tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak berkata, kamu dapat berbuat sedikit. Jika ranting tidak tinggal dalam pokok anggur, dan hidup dari akarnya, ia tidak akan dapat berbuah apa pun. Kristus, tidak mungkin menjadi pokok anggur kalau Ia bukan manusia, namun juga tidak mungkin memberikan rahmat kepada ranting-rantingnya, kalau Ia bukan Tuhan.” (St. Augustine, in Catena Aurea, John 15: 1-8) Maka, Kristus bukanlah seperti tukang kebun yang mengerjakan tugas dari luar pohon, namun sebagai Ia yang memberi kehidupan dan pertumbuhan dari dalam pohon itu sendiri.

Demikianlah Kristus sebagai pokok anggur mengharapkan agar ranting-rantingnya bertumbuh dan menghasilkan buah. Untuk itu, ranting-ranting yang berbuah akan dibersihkan, atau dipangkas sedikit, agar semakin lebih banyak berbuah. Menurut St. Agustinus, maksudnya di sini adalah Allah akan membersihkan benih-benih kejahatan dari dalam hati kita, dan membuka hati kita terhadap sabda-Nya, menaburkan benih perintah-perintah-Nya dan menantikan buah-buah kebajikan dan kesalehan. Sebab siapakah di dunia ini yang sudah demikian bersih, sehingga tidak bisa lagi dibersihkan atau diubah? Jika kita mengatakan bahwa kita tidak berdosa, kita menipu diri sendiri. Allah membersihkan mereka yang bersih, yaitu ranting-ranting yang berbuah, supaya semakin bersih, dan semakin berbuah.

Melalui Baptisan, kita disatukan dengan Kristus. Kemudian, sabda-Nya tinggal di dalam kita, kalau kita melakukan perintah-perintah-Nya. Namun ketika sabda-Nya hanya ada di dalam ingatan tapi tidak kita lakukan di dalam hidup kita, artinya kita menjadi ranting yang tidak tinggal di dalam pokok anggur, dan tidak memperoleh hidup dari akarnya. Sedangkan kalau kita tinggal di dalam Kristus, kita tidak akan menghendaki apapun yang tidak sesuai dengan keselamatan kita.

Demikianlah, hal berbuah banyak karena menyatu dengan Kristus, dan terus dibersihkan agar berbuah lebih banyak, dapat kita lihat dalam teladan kehidupan para Rasul. Mereka mengandalkan rahmat Tuhan dan tidak urung jika mengalami pencobaan dan penganiayaan demi menyebarkan iman. Bukankah ini yang dikisahkan dalam bacaan pertama, terhadap Rasul Paulus? Dan sesungguhnya keadaan semacam ini dialami oleh para Rasul lainnya, para martir dan juga banyak anggota Gereja di sepanjang sejarah. Di masa kini tantangan yang kita hadapi berbeda dengan apa yang dialami oleh para murid di abad-abad awal, namun intinya tetap sama. Kita diminta oleh Yesus untuk hidup sesuai dengan panggilan kita sebagai anak-anak Allah, yang dikenali dengan ciri khasnya, yaitu saling mengasihi. Itulah sebabnya para Rasul dan para martir dapat mengampuni dan mendoakan mereka yang telah menganiaya mereka, dan dengan demikian membawa sejumlah dari para penganiaya mereka untuk bertobat dan mengenal Tuhan Yesus. Kasih yang memberikan diri sampai akhir inilah yang berulang kali ditulis dalam Injil maupun surat-surat para Rasul, seperti yang kita baca dalam Bacaan kedua Minggu ini. Kalau kita percaya kepada Kristus, kita semestinya saling mengasihi, sebab itulah yang diperintahkan dan dilakukan-Nya terlebih dahulu kepada kita. Maka kasih Tuhan kepada kita menjadi sumber kekuatan dan alasan bagi kita untuk mengasihi sesama, termasuk mereka yang sulit untuk kita kasihi. Jika kita melakukan kehendak-Nya ini, kita tinggal di dalam Dia, dan kemudian berbuah banyak.

Maka mari kita merenung sejenak. Adakah kita sudah bertumbuh dalam kasih? Di dalam masa Paskah dan terutama memasuki bulan Maria di bulan Mei ini, Gereja mengajak kita untuk semakin menyatu dengan Kristus, Sang Pokok Anggur kita. Ia mengetahui segala pergumulan yang kita hadapi, dan bagaimana kita berjuang untuk mengasihi, mengampuni, menolong, mendengarkan, memperhatikan, dan mendoakan sesama. Semoga dengan pertolongan rahmat-Nya, “dalam Roh yang telah dikaruniakan kepada kita” (Yoh 3:24) kita dapat bertumbuh dalam kasih, dan menghasilkan buah-buah bagi kemuliaan nama Tuhan.

Yesus, Engkaulah Gembalaku yang baik

0
Sumber gambar: http://www.playbuzz.com/gregs/what-is-your-biblical-profession

[Hari Minggu Paskah IV: Kis 4:8-12; Mzm 118:1-29; 1Yoh 3:1-2; Yoh 10:11-18]

Sewaktu kami menempuh studi teologi, kami tinggal di rumah sepupu kami selama 4 tahun. Di sanalah kami menjadi akrab dengan keponakan-keponakan kami, yang kami anggap sebagai anak-anak kami sendiri. Bersama dengan sepupu kami dan suaminya, kami sering berdoa bersama anak-anak, mengulangi kisah-kisah dalam Kitab Suci dan riwayat hidup orang kudus, dan bermain quiz Kitab Suci. Seorang dari keponakan kami, namanya Nicholas, adalah anak baptis kami, yang kerap kami ajak untuk mengikuti Misa harian, sejak ia berumur dua tahun. Sebelum tidur siang, Nicholas kerap mendatangiku dan memintaku untuk menunjukkan gambar-gambar Yesus di layar komputerku. Salah satu gambar yang menjadi kesukaannya adalah gambar Yesus Sang Gembala yang baik. Ia sering memandang gambar itu, dan berkata, “Tuhan Yesus itu amat baik, Tante.” “Dari mana kamu tahu itu, Nicholas?” tanyaku. “Sebab Ia sayang pada domba-domba-Nya. Lihat, Ia menggendong domba yang kecil itu…”  ujar Nicholas. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu untuk menyampaikan pesan Injil, “Ya,  Nicholas, Tuhan Yesus sangat menyayangi kita. Ia selalu menjaga dan melindungi kita seperti gembala menjaga domba-dombanya. Tuhan Yesus juga akan menggendongmu, Nicholas, maka jangan takut. Sekarang kamu bobo dulu ya.” Nicholas tersenyum, dan biasanya, tak lama setelah itu, ia terlelap. Rupanya gambar Yesus Gembala yang baik begitu melekat dalam pikirannya, sehingga ia merasa aman karena dikasihi dan dilindungi.

Maka, tentu ada maksudnya, bahwa Yesus menggambarkan diri-Nya sebagai Gembala yang baik. Dengan wajah-Nya yang memancarkan kasih, Ia menggendong domba-Nya, kemungkinan domba yang ditemukan-Nya setelah terpisah dari kawanan sekian waktu lamanya. Atau domba yang berhasil diselamatkan-Nya dari serigala yang hampir memangsanya. Sungguh,  kawanan domba-Nya dapat merasa aman dalam perlindungan-Nya, sebab Ia senantiasa menjaga mereka sampai titik darah penghabisan. “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya…. Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku…” (Yoh 10: 11,14). St. Gregorius mengatakan, “Yesus sendiri memberikan teladan tentang apa yang diperintahkan-Nya: Ia menyerahkan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya, agar Ia dapat mengubah tubuh dan darah-Nya dalam Sakramen, dan dengan demikian, Ia memberi makan domba-domba-Nya—yang telah ditebus-Nya—dengan daging-Nya sendiri” (St. Gregory, in Catena Aurea, John 10:11-13). Dengan demikian, kasih sang Gembala tidak saja ditunjukkan-Nya dengan melindungi kawanan domba-Nya, namun juga dengan memberi mereka makan dari diri-Nya sendiri, agar kawanan-Nya itu dapat memperoleh hidup, seperti Ia sendiri hidup. Maka gambaran Yesus sebagai Gembala yang baik, tidak terlepas dari ajaran-Nya tentang Roti Hidup, sebab maksud Yesus menyerahkan hidup-Nya kepada kita, adalah agar kita dapat memperoleh hidup-Nya itu, yang menghantar kita kepada kehidupan kekal bersama dengan Dia. Ia menghendaki agar kita dapat menyantap tubuh dan darah-Nya, agar dengan demikian hidup-Nya dapat mengalir di dalam tubuh dan darah kita. “Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku” (Yoh 6:57). Dengan hidup-Nya yang mengalir di dalam kita, kita diangkat menjadi anak-anak Allah, sehingga kelak kita dijadikan sama seperti Dia dan dapat memandang Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya (lih. 1Yoh 3:2).

Maka, teladan Yesus Gembala yang baik mendorong kita untuk selalu mensyukuri kebaikan-Nya, namun juga mendorong kita untuk meniru teladan-Nya dan mendoakan juga para gembala kita—khususnya para imam, uskup dan Paus—agar mereka dapat menjadi gembala yang baik bagi kita umat-Nya. Di hari Minggu Panggilan ini, kita diajak untuk mendoakan mereka dan memohon kepada Tuhan agar Ia memanggil banyak orang muda, untuk dapat menanggapi panggilan imamat. Betapa dunia membutuhkan para imam yang kudus! Betapa kita memerlukan para imam, sehingga kita dapat menerima sakramen- sakramen yang menyampaikan rahmat Allah yang membawa kita masuk dalam kehidupan ilahi-Nya. Dan betapa perlunya kita mendoakan para imam, uskup dan Paus agar mereka dapat menjalankan tugas sebagai pelayan-pelayan Tuhan yang setia. Dalam khotbahnya di Misa pentahbisan Uskup Jean-Marie Speich dan Giampiero Gloder, Paus Fransiskus mengatakan, “Dan kalian, Jean-Marie dan Giampiero, pilihan Tuhan, perhatikanlah bahwa kalian telah dipilih dari antara manusia dan untuk manusia… Sesungguhnya, “jabatan uskup” adalah nama dari sebuah pelayanan itu dan bukan [nama] dari sebuah kehormatan. Uskup harus berusaha untuk melayani dan bukan untuk berkuasa, sesuai dengan perintah Sang Guru: “barangsiapa ingin menjadi besar di antara kalian hendaklah [ia] menjadi pelayan kalian, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kalian, hendaklah [ia] menjadi hamba dari semua.” Yang selalu melayani…. Wartakan Firman di setiap kesempatan… Memperingatkan, menegur, dan menasihati tak putus-putusnya dalam kesabaran dan dalam pengajaran. Dan melalui doa dan persembahan kurban bagi umat kalian, menggunakan berbagai ragam kekayaan rahmat ilahi atas kepenuhan kekudusan Kristus… Seorang uskup yang tidak berdoa berarti ia hanyalah separuh uskup saja. Dan jika ia tidak berdoa kepada Tuhan, ia berakhir dalam keduniawian. Jadilah penjaga-penjaga setia dan pencurah misteri-misteri Kristus dalam Gereja yang dipercayakan kepada kalian. Kalian ditempatkan oleh Bapa sebagai kepala keluarga-Nya; karena itu, senantiasa mengikuti contoh dari Gembala Baik yang mengenal akan domba-domba-Nya dan dikenal oleh mereka dan tidak ragu untuk menyerahkan nyawa-Nya bagi mereka…” (Paus Fransiskus, 24 Okt 2013). Betapa dunia kita sekarang ini, membutuhkan pemimpin-pemimpin yang rela melayani dan bukan yang senang dilayani. Betapa kita membutuhkan teladan kasih yang tulus seperti Kristus, yang memberikan diri sehabis-habisnya bagi kita, agar kita dapat hidup sebagai anak-anak Allah. Semoga teladan Kristus ini mendorong banyak orang muda untuk menanggapinya agar sebagai Gereja kita senantiasa bertumbuh dalam kasih dan pelayanan kepada sesama, sebagaimana dikehendaki oleh Kristus.

“Kalau kamu sudah besar, kamu mau jadi apa, Nicholas?” tanyaku kepada keponakan kami itu. “Mau jadi imam,” katanya, “eh salah, mau jadi Uskup,” sambungnya dengan wajahnya yang polos. Semoga semakin banyak  orang muda dapat menjawab panggilan Tuhan ini, dan bertekun mengikutinya sampai akhir. Semoga semakin banyak orang tua  dengan lapang hati mempersembahkan putra dan putri mereka jika panggilan ini lahir dalam hati anak-anak mereka. Sebab dunia memerlukan adanya gembala-gembala yang baik, yang mengambil sumbernya dari Kristus Sang Gembala yang Baik.

Penulis Cerita Kehidupan

0

Pengalaman Retret Penyembuhan
Oleh Pastor Felix Supranto, SS.CC

Retret Penyembuhan, tanggal 10 s.d. 12 April 2015 dengan tema “Katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh” (Lukas 7:7b), diikuti empat ratus tiga puluh sembilan orang (kurang lebih lima ratus umat termasuk panitia). Masih banyak yang waiting list dalam retret penyembuhan itu. Jumlah umat yang besar dalam retret itu menunjukkan betapa besarnya kerinduan umat akan jamahan Tuhan. Tempat jauh, seperti dari Papua, Kalimantan, Pekanbaru, Jawa Tengah, tidak menghalangi peserta untuk datang ke Lembah Karmel, Cikanyere, untuk mengalami kasih Tuhan.

Mereka datang dengan berbagai beban kehidupan yang berat, yaitu persoalan hidup yang tak kunjung tuntas dan sakit penyakit yang sudah lama belum tersembuhkan. Konsep diri pun tak menentu karena gambaran hidup terbentuk oleh penderitaan mereka. Kesunyian dan kesepian bercengkerama dalam kehidupan mereka karena mereka tidak tahu lagi bagaimana membuat hidup masih berarti. Impian dan harapan berhenti karena keadaan dirinya. Retret penyembuhan ini menyadarkan mereka bahwa tiada lagi tempat sandaran bagi jeritan hati, selain Tuhan Yesus, yang Sabda-Nya, mereka imani penuh kuasa.

Mukjizat penyembuhan rohani, fisik, batin, dan dari kuasa kegelapan pasti terjadi. Akan tetapi, sukacita yang bertumbuh dan menyebar dalam relung hati peserta merupakan mukjizat terindah. Harapan dan impian yang telah mati terbangun kembali dari bangkitnya iman. Mereka kini melihat sukacita hidup bukan sekedar manis dilihat mata, tetapi juga manis meski pahit dijalani.

Sukacita di tengah kepahitan hidup itu disharingkan kepadaku oleh empat ibu setelah kami berdoa bersama pada hari Sabtu, 11 April 2015, pukul 23.50, di depan aula Lembah Karmel. Mereka adalah seorang ibu yang menderita kanker payudara yang sudah sembuh, tetapi sekarang bertumbuh kanker hati dan sedang menjalani kemoterapi sampai rambut di kepalanya habis; seorang ibu yang menderita kanker paru-paru; dua ibu yang sedang menghadapi persoalan berat. Aku membahasakan pengalaman iman mereka dalam bahasa berikut ini:

Imanku terhadap Tuhan kini semakin menjadi nafas hidupku.

Aku mengijinkan Tuhan untuk menulis sebuah cerita tentang kehidupanku.

Aku yakin bahwa Tuhan adalah Penulis terbaik tentang diriku.

Dia tahu bagaimana membuat cerita hidupku akan berakhir dengan “Happy Ending”.

Sakit dan penyakit serta persoalan hanyalah bagian dari babak cerita supaya “Happy Ending”, kehidupanku semakin seru.

Cerita hidupku tentu semakin seru karena aku menjalaninya dalam dunia bersama denganNya.

Aku senantiasa mendapatkan bisikan nasihat dari Dia bagaimana hidup tetap berada dalam sukacita-Nya.

Sukacita iman ini menginspirasi satu sama lain sehingga mereka bisa melompat kegirangan. “Ketika sukacita iman membara, kelemahan fisik tidak akan menghalanginya”, kataku dalam hati. Sukacita iman itu tidak berhenti dengan ditutupnya retret dengan Misa, tetapi tetap mengiringi perjalanan pulang dengan tetesan air mata karena kekaguman atas kasih Tuhan. Sukacita ini akhirnya menjadi bunga segar dalam keluarga sehingga semua anggotanya ikut menikmati kebahagiaan ini. Kebahagiaan mereka ini tak kunjung henti karena terus mereka ceriterakan kepadaku sampai saat ini. Sukacita ini besumber pada keyakinan bahwa Tuhan tidak akan lalai pada janji-Nya: “Tuhan tidak lalai menepati janji-Nya”, (2 Petrus 3:9a).

Sukacita peserta itu juga menambah sukacita iman para panitia, dari SEP Umum dan Mudika Shekinah serta dari berbagai pihak, yang telah melayani retret ini dengan ketulusan dan kegembiraan. Terimakasih atas pelayanan anda semua dalam retret ini karena telah membawa begitu banyak jiwa pada kebangkitan iman di tengah penderitaan mereka.

Pesan yang dapat kita hayati: Sukacita adalah anugerah Tuhan bagi kita yang memiliki kebeningan hati. Hati yang bening dapat membuat hidup senantiasa berpengharapan meski pernah terluka dan kecewa. Kekecewaan dan luka tidak menghancurkan kebahagiaan hidup kita karena kita tidak terfokus pada seberapa lemahnya diri kita, tetapi pada betapa hebatnya Tuhan kita yang sanggup menyembuhkan: “Sebab Aku akan mendatangkan kesembuhan bagimu, Aku akan mengobati luka-lukamu, demikianlah firman TUHAN”, (Yeremia 30:17).

Tuhan Memberkati

Keep in touch

18,000FansLike
17,700FollowersFollow
30,300SubscribersSubscribe

Podcasts

Latest sermons