Home Blog Page 335

Apostolicam Actuositatem (AA)

0

DEKRIT TENTANG KERASULAN AWAM

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. Dengan maksud memacu KEGIATAN MERASUL Umat Allah[1], Konsili suci penuh keprihatinan menyapa Umat beriman awam, yang perannya yang khas dan sungguh perlu dalam perutusan Gereja sudah diuraikan dilain tempat[2]. Sebab kerasulan awam, yang bersumber pada panggilan kristiani mereka sendiri, tak pernah dapat tidak ada dalam Gereja. Betapa sukarela sifat gerakan semacam itu pada awal mula Gereja, dan betapa suburnya, dipaparkan dengan jelas oleh Kitab suci sendiri (lih. Kis 11:19-21; 18:26; Rom 16:1-16; Fip 4:3).

Adapun zaman kita menuntut semangat merasul kaum awam yang tidak kalah besar. Bahkan situasi sekarang ini jelas memerlukan kerasulan mereka yang lebih intensif dan lebih luas. Sebab makin bertambahnya jumlah manusia, kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, hubungan-hubungan antar manusia yang lebih erat, bukan saja memperluas tanpa batas gelanggang kerasulan awam, yang sebagian besar hanya terbuka bagi mereka, melainkan juga menimbulkan masalah-masalah baru, yang menuntut perhatian serta usaha mereka yang cekatan. Kerasulan itu semakin mendesak, karena otonomi banyak dibidang kehidupan manusiawi, sebagaimana wajarnya, amat banyak bertambah, ada kalanya disertai suatu penyimpangan dari tata kesusilaan dan keagamaan, serta bahaya besar bagi hidup kristiani. Selain itu dibanyak daerah, yang jumlah imamnya sangat sedikit, atau – seperti ada kalanya terjadi – direbut kebebasan mereka yang sewajarnya untuk menunaikan pelayanan mereka, tanpa karya-kegiatan kaum awam Gereja nyaris tidak dapat hadir dan aktif.

Suatu tanda mendesaknya kebutuhan yang bermacam-ragam yakni karya Roh Kudus, yang dewasa ini menjadikan kaum awam semakin sadar akan tanggung jawab mereka, dan di mana-mana mendorong mereka untuk membaktikan diri kepada Kristus dan Gereja[3].

Dalam Dekrit ini Konsili bermaksud menjelaskan hakekat, sifat-sifat serta keanekaan kerasulan awam, dan menguraikan asas-asas dasarnya, pun juga menyampaikan petunjuk-petunjuk pastoral untuk melaksanakannya secara lebih tepat guna. Hendaknya itu semua dipandang sebagai kaidah-kaidah dalam meninjau kembali hukum kanonik sejauh menyangkut kerasulan awam.

BAB SATU – PANGGILAN KAUM AWAM UNTUK MERASUL

2. (Keikut-sertaan awam dalam perutusan Gereja)

Gereja diciptakan untuk menyebarluaskan kerajaan kristus di mana-mana demi kemuliaan Allah Bapa, dan dengan demikian mengikut-sertakan semua orang dalam penebusan yang membawa keselamatan[4], dan supaya melalui mereka seluruh dunia sungguh-sungguh diarahkan kepada Kristus. Semua kegiatan Tubuh Mistik, yang mengarah kepada tujuan itu, disebut kerasulan. Kerasulan itu dilaksanakan oleh Gereja melalui semua anggotanya, dengan pelbagai cara.

Sebab panggilan kristiani menurut hakikatnya merupakan panggilan untuk merasul juga. Seperti dalam tata-susunan tubuh yang hidup tidak satu pun anggota berifat pasif melulu, melainkan juga beserta kehidupan tubuh juga ikut menjalankan kegiatannya, begitu pula dalam Tubuh Kristus, yakni Gereja, seluruh tubuh “menurut kadar pekerjaan masing-masing anggotanya mengembangkan tubuh” (Ef 4:16). Bahkan sedemikan rupalah dalam tubuh itu susunan serta penggabungan anggota-anggotanya (lih. Ef 4:16), sehingga anggota, yang tidak berperan menurut kadarnya demi pertumbuhan tubuh, juga harus dipandang tidak berguna bagi Gereja atau bagi dirinya sendiri.

Dalam Gereja terdapat keanekaan pelayanan, tetapi kesatuan perutusan. Para Rasul serta para pengganti mereka oleh Kristus diserahi tugas mengajar, menyucikan dan memimpin atas nama dan kuasa-Nya. Sedangkan kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap Umat Allah dalam gereja dan di dunia [5]. Sesungguhnya mereka menjalankan kerasulan awam dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian sesama, pun untuk meresapi dan menyempurnakan tata-dunia dengan semangat Injil, sehingga dalam tata-hidup itu kegiatan mereka merupakan kesaksian akan Kristus yang jelas, dan mengabdi kepada keselamatan umat manusia. Karena ciri khas status hidup awam yakni: hidup ditengah masyarakat dan urusan-urusan duniawi, maka mereka dipanggil oleh Allah, untuk dijiwai semangat kristiani, ibarat ragi, menunaikan kerasulan mereka di dunia.

3. (Azas-azas kerasulan awam)

Kaum awam menerima tugas serta haknya untuk merasul berdasarkan persatuan mereka dengan Kristus Kepala. Sebab melalui Baptis mereka disaturagakan dalam tubuh mistik Kristus, melalui Penguatan mereka diteguhkan oleh kekuatan Roh Kudus, dan demikian oleh Tuhan sendiri ditetapkan untuk merasul. Mereka ditakdiskan menjadi imamat rajawi dan bangsa yang kudus (lih. 1Ptr 2:4-10), untuk melalui segala kegiatan mereka mempersembahkan korban rohani, dan dimana pun juga memberi kesaksian akan Kristus. Melalui sakramen-sakramen, terutama Ekaristi suci, disalurkan dan dipupuklah cinta kasih, yakni bagaikan jiwa seluruh kerasulan[6].

Kerasulan dijalankan dalam iman, harapan dan cinta kasih, yang dicurahkan oleh Roh Kudus dalam hati semua anggota Gereja. Bahkan karena perintah cinta kasih, perintah Tuhan yang utama, segenap umat beriman kristiani didesak untuk mengusahakan kemuliaan Allah melalui kedatangan kerajaan-Nya dan mengikhtiarkan kehidupan kekal bagi semua orang, supaya mereka mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya (lih. Yoh 17:3).

Maka semua orang beriman kristiani mengemban beban mulia, yakni berjerih-payah, supaya Warta keselamatan ilahi dikenal dan diterima oleh semua orang di mana-mana.

Untuk melaksanakan kerasulan itu Roh Kudus, yang mengerjakan penyucian Umat Allah melalui pelayanan dan sakramen-sakramen, menganugerahkan kurnia-kurnia khusus juga kepada Umat beriman (lih. 1Kor 12:7), dan “membagikannya kepada masing-masing menurut kehendak-Nya” (1Kor 12:11), supaya “setiap orang menurut rahmat yang diterimanya, melayani sesama”, sehingga mereka pun menjadi “bagaikan pengurus yang baik bagi rahmat Allah yang beraneka” (1Ptr 4:10), demi pembangunan seluruh tubuh dalam cinta kasih (lih. Ef 4:16). Berdasarkan penerimaan karisma-karisma itu, juga yang bersifat lebih sederhana, setiap orang beriman mendapat hak dan tugas untuk mengamalkannya demi kesejahteraan sesama dan pembangunan Gereja, dalam gereja dan masyarakat, dalam kebebasan Roh Kudus, yang bertiup “seperti dikehendakinya” (Yoh 3:8), dan sekaligus dalam persekutuan dengan sesama saudara dalam Kristus, terutama dengan para gembala mereka, yang tugasnya yakni memberi penilaian tentang tulennya karisma-karisma itu dan tentang teraturnya pengamalannya, bukan untuk memadamkan Roh, melainkan untuk menguji segalanya dan mempertahankan apa yang baik (lih. 1Tes 5:12, 19, 21)[7].

4. (Spiritualitas awam dan tata-kerasulan)

Kristus yang diutus oleh Bapa menjadi sumber dan asal seluruh kerasulan Gereja. Maka jelaslah kesuburan kerasulan awam tergantung dari persatuan mereka dengan Kristus yang memang perlu untuk hidup, menurut sabda Tuhan: “Barang siapa tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia, ia menghasilkan buah banyak, sebab tanpa Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Kehidupan dalam persatuan mesra dengan Kristus itu dalam Gereja dipupuk dengan bantuan-bantuan rohani, yang diperuntukkan bagi semua orang beriman, terutama dengan keikut-sertaan aktif dalam liturgi suci[8]. Upaya-upaya itu hendaknya digunakan oleh para awam sedemikian rupa, sehingga mereka sementara menunaikan dengan saksama tugas-tugas duniawi dalam keadaan hidup yang serba biasa, – tidak menceraikan persatuan dengan Kristus dari hidup mereka, melainkan sambil melaksanakan tugas menurut kehendak Allah, tetap berkembang dalam persatuan itu. Melalui jalan itu kaum awam harus maju dalam kesucian dengan hati riang gembira, sementara mereka berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan dengan bijaksana dan sabar[9]. Baik tugas-pekerjaan dalam keluarga maupun urusan-urusan keduniaan lainnya jangan sampai menjadi asing terhadap cara hidup rohani, menurut amanat Rasul: “Apa pun yang kamu lakukan dalam kata-kata maupun perbuatan, itu semua harus kamu jalankan atas nama Tuhan Yesus Kristus, sambil bersyukur kepada Allah dan Bapa kita melalui Dia” (Kol 3:17). Hidup seperti itu menuntut perwujudan iman, harapan dan cinta kasih, yang tiada hentinya.

Hanya dalam cahaya iman dan berkat renungan sabda Allah manusia dapat selalu dan di mana-mana mengenal Allah, – “kita hidup dan bergerak dan berada” dalam Dia (Kis 17:28), – dalam segala peristiwa mencari kehendak-Nya, memandang Kristus dalam semua orang, entah mereka termasuk kaum kerabat entah tidak, mempertimbangkan dengan cermat makna serta nilai hal-hal duniawi yang sesungguhnya, dalam dirinya maupun sehubungan dengan tujuan manusia.

Barang siapa mempunyai iman itu, hidup dalam harapan akan penampakan putera-putera Allah, sambil mengenangkan salib dan kebangkitan Tuhan.

Dalam perantauan hidup ini, tersembunyi bersama Kristus dalam Allah dan dibebaskan dari perbudakan kekayaan, sementara mencari harta yang kekal abadi, mereka dengan kebesaran jiwa membaktikan diri seutuhnya untuk meluaskan kerajaan Allah dan untuk merasuki dan menyempurnakan tata-dunia ini dengan semangat kristiani. Ditengah kemalangan hidup ini mereka menemukan kekuatan dalam harapan, sementara berpandangan bahwa “penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan di masa mendatang yang akan dinyatakan dalam diri kita” (Rom 8:18).

Di dorong oleh cinta kasih yang berasal dari Allah, mereka mengamalkan kebaikan terhadap semua orang, terutama terhadap rekan-rekan seiman (lih. Gal 6:10), sementara mereka menanggalkan “segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah” (1Ptr 2:1), dan dengan demikian menarik sesama kepada Kristus. Sebab cinta kasih Allah, yang “dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus yang dikurniakan kepada kita” (Rom 5:5), menjadikan kaum awam mampu untuk sungguh-sungguh mewujudkan semangat Sabda Bahagia dalam hidup mereka. Sementara mengikuti Yesus yang miskin, mereka tidak merasa hancur karena kekurangan harta duniawi, tetapi juga tidak menjadi sombong karena kelimpahan. Sambil mengikuti Kristus yang rendah hati, mereka tidak gila hormat (lih. Gal 5:26), melainkan berusaha berkenan kepada Allah lebih daripada kepada manusia, serta selalu siap sedia untuk meninggalkan segalanya demi Kristus (lih. Luk 14:26) dan menanggung penganiayaan demi keadilan (lih. Mat 5:10), sementara mengenangkan sabda Tuhan: “Barang siapa mau mengikuti Aku, hendaklah ia mengingkari dirinya dan memikul salibnya dan mengikuti Aku” (Mat 16:24). Mereka saling bersahabat secara kristiani dan saling membantu dalam kebutuhan manapun juga.

Corak hidup rohani kaum awam itu harus memperoleh ciri khusus berdasarkan status pernikahan dan hidup berkeluarga, selibat atau hidup menjanda, dari keadaan sakit, kegiatan profesi dan sosial. Oleh karena itu janganlah mereka berhenti memupuk dengan tekun sifat-sifat dan keutamaan-keutamaan sesuai dengan keadaan-keadaan itu yang telah mereka terima, dan mengamalkan kurnia-kurnia yang telah mereka terima dari Roh Kudus.

Selain itu para awam, yang mengikuti panggilan mereka telah masuk anggota salah satu perserikatan atau lembaga yang telah disahkan oleh Gereja, begitu pula berusaha mengenakan dengan setia corak hidup rohaninya yang istimewa.

Hendaknya mereka menjunjung tinggi juga kemahiran kejuruan, citarasa kekeluargaan dan kewarganegaraan, maupun keutamaan-keutamaan yang termasuk hidup kemasyarakatan sehari-hari, yakni: kejujuran, semangat keadilan, ketulusan hati, peri-kemanusiaan, keteguhan jiwa, yang memang amat perlu juga bagi hidup kristiani yang sejati.

Suri teladan yang sempurna bagi hidup rohani dan hidup merasul itu ialah Santa Perawan Maria, Ratu para Rasul. Selama di dunia ia menjalani hidup kebanyakan orang, penuh kesibukan keluarga, dan jerih payah, tetapi selalu mesra bersatu dengan Putera-Nya dan dengan cara yang sangat istimewa ia bekerja sama dengan karya Sang Penyelamat. Tetapi sekarang ia telah diangkat ke sorga, dan “dengan cinta kasih keibuannya ia memperhatikan saudara-saudara Puteranya, yang masih dalam peziarahan dan menghadapi bahaya-bahaya serta kesukaran-kesukaran, sampai mereka mencapai tanah air yang penuh kebahagiaan”[10]. Hendaknya semua saja penuh khidmat berbakti kepadanya, dan menyerahkan hidup serta kerasulan mereka kepada perhatiannya yang penuh rasa keibuan.

BAB DUA – TUJUAN-TUJUAN YANG HARUS DICAPAI

5. (Pendahuluan)

Karya penebusan Kristus pada hakikatnya menyangkut penyelamatan umat manusia, tetapi merangkum pembaharuan seluruh tata dunia juga. Maka dari itu Gereja bukan hanya diutus untuk menyampaikam warta tentang Kristus dan menyalurkan rahmat-Nya kepada umat manusia, melainkan juga untuk merasuki dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil. Jadi dalam melaksanakan perutusan Gereja itu kaum awam menunaikan kerasulan mereka baik dalam bidang rohani maupun di bidang duniawi. Meskipun bidang-bidang itu dibedakan, namun dalam satu-satunya rencana Allah keduanya begitu berhubungan, sehingga Allah sendiri bermaksud mengangkat seluruh dunia menjadi ciptaan baru dalam Kristus, pada tahap awal di dunia ini, sepenuhnya pada hari terakhir. Di kedua bidang itu awam, yang sekaligus orang beriman dan warga masyarakat, wajib terus-menerus menganut bimbingan satu suara hati kristiani.

6. (Kerasulan dimaksudkan untuk mewartakan Injil dan menyucikan umat manusia)

Perutusan Gereja menyangkut keselamatan umat manusia, yang harus diperoleh berkat iman akan Kristus dan rahmat-Nya. Maka kerasulan Gereja serta semua anggotanya pertama-tama ditujukan untuk memaparkan warta tentang Kristus kepada dunia dengan kata-kata maupun perbuatan, dan untuk menyalurkan rahmat-Nya. Itu terutama terjadi melalui pelayanan sabda dan sakramen-sakramen, yang secara khas diserahkan kepada para imam. Dalm pelayanan itu kaum awam pun herus memainkan perannya yang sangat penting, yakni sebagai “rekan pekerja demi kebenaran” (3Yoh 8). Terutama dibidang itu kerasulan awam dan pelayanan pastoral saling melengkapi.

Bagi kaum awam terbukalah amat banyak kesempatan untuk melaksanakan kerasulan pewartaan Injil dan pengudusan. Kesaksian hidup kristiani sendiri beserta amal baik yang dijalankan dengan semangat adikodrati, mempunyai daya-kekuatan untuk menarik orang-orang kepada iman dan kepada Allah. Sebab Tuhan bersabda: “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di sorga” (Mat 5:16).

Akan tetapi kerasulan semacam itu tidak hanya terdiri dari kesaksian hidup saja. Rasul yang sejati mencari kesempatan-kesempatan untuk mewartakan Kristus dengan kata-kata, baik kepada mereka yang tidak beriman untuk menghantar mereka kepada iman, baik kepada kaum beriman untuk mengajar serta meneguhkan mereka, dan mengajak mereka hidup dengan semangat lebih besar. “Sebab cinta kasih Kristus mendesak kita” (2Kor 5:14). Dan dihati setiap orang harus menggema kata-kata Rasul: “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil” (1Kor 9:16)[11].

Tetapi pada zaman kita sekarang muncullah masalah-masalah baru, dan beredarlah kesesatan-kesesatan amat gawat, yang berusaha menghancurkan sama sekali agama, tata-kesusilaan dan masyarakat manusia sendiri. Maka Konsili suci ini dengan tulus hati mengajak kaum awam, masing-masing menurut bakat-pembawaan dan pendidikan pengetahuannya, supaya mereka – menurut maksud Gereja – lebih bersungguh-sungguh lagi menjalankan peran mereka dalam menggali dan membela azas-azas kristiani, serta dalam menerapkannya dengan cermat pada soal-soal zaman sekarang.

7. (Pembaharuan tata-dunia secara kristiani)

Adapun rencana Allah mengenai dunia yakni: supaya umat manusia seia-sekata membaharui dan terus-menerus menyempurnakan tata-dunia.

Segala sesuatu yang mewujudkan tata-dunia, yakni nilai-nilai hidup dan keluarga, kebudayaan, urusan ekonomi, kesenian dan profesi, lembaga-lembaga negara, hubungan-hubungan internasional dan lain sebagainya, beserta perkembangan dan kemajuannya, bukan hanya merupakan bantuan untuk mencapai tujuan akhir manusia, melainkan mempunyai nilainya sendiri juga, yang ditanam oleh Allah didalamnya, baik dipandang secara tersendiri, maupun sebagai unsur-unsur seluruh tata dunia: “Dan Allah melihat segala sesuatu yang diciptakan-Nya, dan itu semua sangat baik” (Kej 1:31). Kebaikan alamiah itu menerima martabat khusus karena hubungannya dengan pribadi manusia, sebab semuanya memang diciptakan untuk mengabdi kepadanya. Akhirnya Allah berkenan menghimpun segalanya, baik yang kodrati maupun yang adikodrati, menjadi satu dalam Kristus Yesus, “supaya dalam segala sesuatu Dialah yang terutama” (Kol 1:18). Tetapi arah-tujuan itu bukan hanya tidak menyebabkan tata dunia kehilangan otonominya, tujuan atau sasarannya, hukum-hukumnya, upaya-upayanya sendiri, makna dan nilainya bagi kesejahteraan manusia, justru malahan menyempurnakannya dalam daya kekuatan serta keunggulannya, sekaligus mengangkatnya sehingga setaraf dengan panggilan manusia seutuhnya di dunia ini.

Disepanjang sejarah penggunaan hal-hal duniawi dicemarkan oleh cacat cela yang berat, karena manusia tertimpa oleh dosa asal, dan sering jatuh ke dalam amat banyak kesesatan tentang Allah sejati, kodrat manusia dan azas-azas hukum moral. Maka tingkah laku dan lembaga-lembaga manusia mengalami kemerosotan, dan pribadi manusia sendiri tidak jarang diinjak-injak. Juga pada zaman sekarang ini tidak sedikitlah, yang secara berlebihan mengandalkan kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi, dan bagaikan cenderung ke arah pemujaan hal-hal duniawi, serta lebih menjadi budaknya dari pada menjadi tuannya.

Tugas seluruh Gerejalah mengusahakan, supaya manusia menjadi mampu menyusun seluruh tata dunia dengan saksama dan mengarahkannya kepada Allah melalui Kristus. Para gembala bertugas mencanangkan dengan jelas azas-azas tentang tujuan penciptaan dan penggunaan dunia, menyajikan bantuan-bantuan moral dan rohani, supaya tata dunia dibaharui dalam Kristus.

Adapun kaum awam wajib menerima pembaharuan tata dunia sebagai tugasnya yang khusus, dan dibimbing oleh cahaya Injil dan maksud-maksud Gereja serta didorong oleh cinta kasih kristiani bertindak secara langsung dan terarah dalam tugas itu. Sebagai warga masyarakat mereka wajib bekerja sama dengan sesama warga dengan kemahiran khusus dan tanggung jawab mereka sendiri. Dimana-mana dan dalam segalanya mereka harus mencari keadilan kerajaan Allah. Tata dunia harus diperbaharui sedemikian rupa, sehingga – dengan tetap menjaga keutuhan hukum-hukumnya sendiri – tata dunia diselaraskan dengan azas-azas hidup kristiani yang lebih luhur, dan disesuaikan dengan pelbagai kondisi kondisi tempat, masa dan bangsa. Diantara usaha-usaha kerasulan itu yang mendapat tempat istimewa ialah kegiatan sosial umat kristiani. Konsili suci menginginkan, supaya kegiatan itu sekarang meliputi segenap bidang duniawi, termasuk kebudayaan[12].

8. (Amal kasih, meterai kerasulan kristiani)

Semua pelaksanaan kerasulan harus bersumber pada cinta kasih dan menimba kekuatan dari padanya. Tetapi beberapa kegiatan menurut hakikatnya memang sesuai untuk diubah menjadi ungkapan cinta kasih sendiri yang mempesonakan. Kristus Tuhan menghendakinya sebagai tanda perutusan-Nya sebagai Al-Masih (lih. Mat 11:4-5).

Perintah utama menurut hukum ialah mengasihi Allah dengan segenap hati dan mencintai sesama seperti dirinya sendiri (lih. Mat 22:37-40). Kristus menjadikan perintah cinta kasih terhadap sesama itu menjadi hukumnya sendiri, dan memperkayanya dengan makna yang baru, ketika Ia menghendaki diri-Nya sendiri seperti juga saudara-saudara-Nya sebagai pribadi yang harus dicintai, dan bersabda: “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang diantara saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan untuk Aku” (Mat 25:40). Sebab dengan mengenakan kodrat manusia Ia telah menghimpun segenap umat manusia dalam suatu kesetiakawanan adikodrati menjadi keluarga-Nya. Dan Ia menetapkan cinta kasih menjadi tanda para murid-Nya dengan sabda-Nya: “Semua orang akan tahu, bahwa kamu murid-muridKu, bila kamu saling mengasihi” (Yoh 13:35).

Adapun Gereja suci pada awal mula menggabungkan “agape”[13] pada Perjamuan Ekaristi, dan dengan demikian menampilkan, bahwa dirinya seluruhnya dipersatukan oleh ikatan cinta kasih di sekitar Kristus. Begitu pula disepanjang masa Gereja di kenal dengan tanda cinta kasih itu, dan – sambil bergembira tentang usaha pihak-pihak lain – Gereja memandang amal cinta kasih sebagai tugas serta haknya, yang tidak dapat direbut dari padanya. Oleh karena itu belas kasihan terhadap mereka yang miskin dan lemah, maupun apa yang disebut kegiatan karitatif dan kegiatan saling membantu untuk meringankan segala macam kebutuhan manusia, amat dijunjung tinggi oleh Gereja[14].

Karena – berkat lebih lancarnya upaya-upaya komunikasi – jarak antara orang-orang dalam arti tertentu sudah diatasi dan penduduk seluruh dunia seperti sudah menjadi anggota satu keluarga, maka kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha itu sekarang ini menjadi jauh lebih mendesak dan lebih universal. Dewasa ini amal cinta kasih dapat dan harus merangkum semua orang dan menanggapi semua kebutuhan. Orang-orang yang tidak mempunyai makanan dan minuman, pakaian, rumah, obat-obatan, pekerjaan, pendidikan, sarana-sarana yang sungguh perlu untuk hidup secara layak manusiawi, mereka yang tersiksa karena kemalangan dan kondisi badan yang lemah, mereka yang menderita dalam pembuangan atau penjara, di manapun mereka berada, cinta kasih kristiani harus mencari dan menemukan mereka, dengan mengerahkan usaha-usaha meringankan penderitaan mereka, dan dengan bantuan yang diberikan mengangkat mereka. Kewajiban itu pertama-tama dibebankan atas orang-orang perorangan dan bangsa-bangsa yang hidupnya sejahtera[15].

Supaya pengalaman cinta kasih itu selalu terluputkan dari segala kecaman dan menjadi nyata sebagai amal kasih, hendaklah pada diri sesama dilihat citra Allah yang menjadi pola penciptaannya, dan Kristus Tuhan – sungguh dipersembahkan kepada-Nya, apa pun yang diberikan kepada orang miskin. Hendaknya diindahkan dengan penuh perikemanusiaan kebebasan dan martabat pribadi yang menerima bantuan. Jangan sampai kejernihan maksud dicemarkan oleh nafsu mencari keuntungan pribadi atau keinginan untuk berkuasa[16]. Pertama-tama hendaknya tuntutan-tuntutan keadilan dipenuhi, supaya apa yang sudah harus diserahkan berdasarkan keadilan jangan diberikan sebagai hadiah cinta kasih. Hendaknya yang ditiadakan jangan hanya akibat-akibat kemalangan, melainkan juga sabab-musababnya. Hendaklah bantuan diatur sedemikian rupa, sehingga mereka yang menerimanya lambat-laun makin bebas dari ketergantungan lahiriah dan mampu mencukupi kebutuhan mereka sendiri.

Maka dari itu hendaknya kaum awam sungguh menghargai dan sekadar kemampuan menunjang amal cinta kasih serta usaha-usaha bantuan sosial yang bersifat swasta maupun umum, juga yang bersifat internasional. Sebab dengan kegiatan-kegiatan itu diberikan pertolongan yang tepat guna kepada orang-orang perorangan dan bangsa-bangsa yang menanggung penderitaan. Dalam hal itu hendaknya mereka bekerja sama dengan semua orang yang berkehendak baik[17].

BAB TIGA – PELBAGAI BIDANG KERASULAN

9. (Pendahuluan)

Kaum awam menunaikan kerasulan mereka yang bermacam-ragam dalam Gereja maupun masyarakat. Dalam kedua tata hidup itu terbukalah pelbagai bidang kegiatan merasul. Yang lebih penting diantaranya akan kami uraikan di sini, yakni: jemaat-jemaat gerejawi, keluarga, kaum muda, lingkungan sosial, tata nasional dan internasional. Karena zaman sekarang ini kaum wanita semakin berperan aktif dalam seluruh hidup masyarakat, maka sangat pentinglah bahwa keikut-sertaan mereka diperluas, juga dipelbagai bidang kerasulan Gereja.

10. (Jemaat-jemaat gerejawi)

Karena berperan-serta dalam tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja, kaum awam berperan aktif dalam kehidupan dan kegiatan Gereja. Di dalam jemaat-jemaat gerejawi kegiatan mereka sedemikian perlu, sehingga tanpa kegiatan itu kerasulan para gembala sendiri kebanyakan tidak dapat memperbuahkan hasil yang sepenuhnya. Sebab seperti kaum pria dan wanita, yang membantu Paulus dalam pewartaan Injil (lih. Kis 18:18-26; Rom 16:3), begitu pula para awam, yang berjiwa kerasulan sejati, melengkapi apa yang kurang pada saudara-saudara mereka, dan menyegarkan semangat para gembala maupun Umat beriman lainnya (lih. 1Kor 16:17-18). Sebab diteguhkan karena ikut serta secara aktif dalam kehidupan liturgis jemaat mereka, para awam itu penuh perhatian memainkan peran dalam kegiatan kerasulan jemaat. Orang-orang yang barang kali sedang menjauh mereka hantar kembali ke Gereja. Secara intensif mereka menyumbangkan tenaga dengan menyampaikan sabda Allah, terutama melalui katekese. Berkat sumbangan kemahiran mereka -mereka menjadi reksa jiwa-jiwa dan juga tata-usaha harta-milik Gereja lebih tepat guna.

Paroki memberi teladan kerasulan jemaat yang jelas, dengan menghimpun semua anggota menjadi satu , entah bagaimanapun mereka itu diwarnai perbedaan-perbedaan manusiawi, dan menyaturagakan mereka ke dalam Gereja semesta[18]. Hendaklah kaum awam membiasakan diri untuk erat bersatu dan bekerja sama dengan para imam di paroki[19]. Hendaknya mereka menyampaikan kepada jemaat gerejawi soal-soal mereka sendiri, problim-problim masyarakat dan masalah-masalah yang menyangkut keselamatan manusia, yang harus diselidiki dipecahkan melalui musyawarah. Hendaknya sekadar kemampuan mereka menyumbangkan jasa-bantuan kepada segala usaha kerasulan dan misioner keluarga gerejawi mereka.

Hendaklah mereka selalu penuh perhatian terhadap keuskupan, – paroki mereka bagaikan selnya – dan senantiasa bersedia untuk memenuhi undangan Gembala mereka, serta menyumbangkan tenaga mereka kepada usaha-usaha keuskupan. Bahkan untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan kota-kota dan daerah-daerah pedesaan[20], hendaknya mereka jangan membatasi sumbangan tenaga mereka dalam batas-batas paroki atau keuskupan, melainkan berusaha memperluas ke bidang-bidang antar-paroki, antar-keuskupan, nasional atau internasional, apa lagi karena semakin meningkatnya perpindahan bangsa-bangsa, bertambahnya hubungan-hubungan timbal-balik dan kemudahan komunikasi sudah tidak lagi membiarkan sebagian masyarakat pun tetap terkungkung dalam dirinya. Begitulah hendaknya mereka penuh perhatian terhadap kebutuhan-kebutuhan Umat Allah yang tersebar diseluruh dunia. Terutama hendaknya mereka sendiri ikut serta dalam kegiatan-kegiatan misioner dengan menyumbangkan bantuan-bantuan materiil ataupun tenaga. Sebab merupakan tugas dan kehormatan bagi Umat kristiani untuk mengembalikan kepada Allah bagian harta kekayaan, yang mereka terima dari pada-Nya.

11. (Keluarga)

Pencipta alam semesta telah menetapkan persekutuan suami-isteri menjadi asal-mula dan dasar masyarakat manusia, dan berkat rahmat-Nya menjadikannya sakramen agung dalam Kristus dan dalam Gereja (lih. Ef 5:32). Maka kerasulan antara para suami-isteri dan keluarga-keluarga mempunyai makna yang istimewa bagi Gereja maupun bagi masyarakat.

Para suami-isteri kristiani bekerja sama dengan rahmat dan menjadi saksi iman satu bagi yang lain. Bagi anak-anak mereka dan kaum kerabat lainnya. Bagi anak-anak mereka, mereka itulah pewarta iman dan pendidik yang pertama. Dengan kata-kata maupun teladan suami-isteri membina anak-anak untuk menghayati hidup kristiani dan kerasulan. Dengan bijaksanaan suami-isteri membantu mereka dalam memilih panggilan mereka, dan – sekiranya barangkali terdapat panggilan suci pada mereka, – memupuk itu dengan perhatian sepenuhnya.

Selalu merupakan tugas suami-isteri, tetapi sekarang ini merupakan segi amat penting kerasulan mereka: dengan peri-kehidupan mereka menunjukkan dan membuktikan bahwa ikatan pernikahan tidak terceraikan dan suci. Adalah tugas mereka dengan tegas menyatakan bahwa hak dan tugas mendidik anak secara kristiani diserahkan kepada orang tua dan para pendidik. Tugas mereka pula membela martabat dan otonomi keluarga yang sewajarnya. Maka dari itu hendaknya mereka dan Umat beriman kristiani lainnya bekerja sama dengan mereka yang berkehendak baik, supaya dalam perundangan sipil hak-hak itu dipertahankan utuh-utuh; supaya dalam pemerintahan masyarakat diindahkan kebutuhan-kebutuhan keluarga-keluarga mengenai perumahan, pendidikan anak-anak, persyaratan kerja, keamanan sosial dan perpajakan; supaya dalam mengatur perpindahan-perpindahan hidup bersama dalam keluarga sungguh-sungguh dijamin[21].

Keluarga sendiri menerima perutusan dari Allah, untuk menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat. Perutusan itu akan dilaksanakannya, bila melalui cinta kasih timbal balik para anggotanya dan doa mereka bersama kepada Allah, keluarga membawakan diri bagaikan ruang ibadat liturgis Gereja; akhirnya, bila keluarga secara nyata menunjukkan kerelaannya untuk menjamu, dan memajukan keadilan dan amal-perbuatan baik lainnya untuk melayani semua saudara yang sedang menderita kekurangan. Diantara pelbagai karya kerasulan keluarga baiklah disebutkan yang berikut ini: memungut kanak-kanak terlantar menjadi anaknya, dengan murah hati menerima para pendatang, membantu menyelenggarakan sekolah-sekolah, mendampingi kaum muda dengan nasehat dan bantuan lainnya, membantu para calon mempelai untuk menyiapkan diri lebih baik bagi pernikahan mereka, ikut berkatekese, membantu para suami-isteri dan keluarga-keluarga yang sedang mengalami kesukaran material maupun moral, bukan saja mencukupi kebutuhan orang-orang tua, melainkan juga secara wajar menyediakan buah-buah ekonomi bagi mereka.

Selalu dan di mana-mana, tetapi secara istimewa di daerah-daerah, yang baru saja menerima taburan benih Injil yang pertama, atau bila Gereja baru mengalami tahap-tahap awalnya, atau sedang mengalami suatu krisis yang gawat, keluarga-keluarga kristiani, yang hidupnya selaras semata-mata dengan Injil dan memberi teladan pernikahan kristiani yang baik, menyampaikan kesaksian yang sangat berharga tentang Kristus kepada masyarakat[22].

Supaya keluarga-keluarga dapat lebih mudah mencapai sasaran-sasaran kerasulan mereka, dapat berguna bila mereka berhimpun dalam kelompok-kelompok[23].

12. (Kaum muda)

Kaum muda merupakan kekuatan amat penting dalam masyarakat zaman sekarang[24]. Situasi hidup, sikap-sikap batin serta hubungan-hubungan mereka dengan keluarga mereka sendiri telah amat banyak berubah. Seringkali mereka terlalu cepat beralih kepada kondisi sosial ekonomis yang baru. Dari hari ke hari peran mereka di bidang sosial dan juga politik semakin penting. Padahal agaknya mereka kurang mampu menanggung beban-beban baru dengan baik.

Bertambah pentingnya peran mereka dalam masyarakat itu menuntut dari mereka kegiatan merasul yang sepadan. Sifat-sifat alamiah merekapun memang sesuai untuk menjalankan kegiatan itu. Sementara kesadaran akan kepribadian mereka bertambah masak, terdorong oleh gairah hidup dan semangat kerja yang meluap, mereka sanggup memikul tanggung jawab sendiri, dan ingin memainkan peran mereka dalam kehidupan sosial dan budaya. Bila gairah itu diresapi oleh semangat Kristus dan dijiwai sikap patuh dan cinta kasih terhadap para Gembala Gereja, maka boleh diharapkan akan memperbuahkan hasil yang melimpah. Mereka sendiri harus menjadi rasul-rasul pertama dan langsung bagi kaum muda, dengan menjalankan sendiri kerasulan dikalangan mereka, sambil mengindahkan lingkungan sosial kediaman mereka[25].

Hendaknya kaum dewasa dalam suasana persahabatan berusaha menjalin dialog dengan kaum muda, sehingga dengan mengatasi jarak umur mungkinlah kedua pihak saling mengenal, dan saling bertukar kekayaan masing-masing. Hendaknya kaum dewasa terutama dengan teladan, dan bila ada kesempatan dengan nasehat yang bijaksana serta bantuan yang tepat guna, mendorong kaum muda untuk merasul. Dipihak lain hendaknya kaum muda memupuk sikap hormat dan kepercayaan terhadap kaum dewasa. Dan meskipun secara alamiah mereka cenderung ke arah hal-hal baru, hendaknya mereka menghargai tradisi-tradisi yang terpuji sebagaimana harusnya.

Anak-anak pun mempunyai kegiatan merasul mereka sendiri. Menurut kemampuan mereka, mereka sungguh menjadi saksi-saksi Kristus yang hidup diantara teman-teman.

13. (Lingkungan sosial)

Kerasulan di lingkungan sosial merupakan usaha menjiwai mentalitas dan adat kebiasaan, hukum-hukum serta tata-susunan masyarakat disekitar, dengan semangat kristiani. Kerasulan itu merupakan tugas dan beban kaum awam sedemikian rupa, sehingga tak pernah dapat dijalankan oleh orang-orang lain sebagaimana mestinya. Disitulah mereka melengkapi kesaksian hidup dengan kesaksian lisan[26]. Dan disitulah mereka paling cakap untuk membantu sesama saudara, dibidang pekerjaan, kejuruan, studi, perumahan, rekreasi, atau paguyuban setempat. Kaum awam menunaikan perutusan Gereja di dunia itu terutama dengan kesesuaian hidup dengan iman, yang menjadikan mereka terang dunia; dengan ketangguhan mereka dalam urusan manapun juga, sehingga mereka menarik semua orang kepada cinta akan kebenaran dan kebaikan, dan akhirnya kepada Kristus dan Gereja; dengan kasih persaudaraan mereka, sehingga mereka ikut menanggung kondisi-kondisi kehidupan, jerih-payah, duka-derita serta aspirasi-aspirasi sesama saudara, dan dengan demikian lambat laun menyiapkan hati semua orang bagi karya rahmat yang menyelamatkan; dengan penuhnya kesadaran akan peran-serta mereka dalam membangun masyarakat, sehingga mereka berusaha menjalankan kewajiban-kewajiban mereka dalam hidup berkeluarga, dalam masyarakat dan dibidang kejuruan mereka dengan kebesaran jiwa kristiani. Demikianlah cara bertindak mereka lambat-laun merasuki lingkungan hidup dan kerja.

Kerasulan itu harus ditujukan kepada semua orang, siapa pun yang berada di lingkungan itu, dan tidak boleh mengecualikan jasa rohani maupun jasmani mana pun juga, yang dapat diberikan kepada mereka. Tetapi rasul-rasul yang sejati tidak puas dengan kegiatan itu saja. Mereka sungguh bermaksud juga untuk mewartakan kristus secara lisan kepada sesama. Sebab banyak orang hanya dapat mendengarkan Injil dan mengenal Kristus melalui para awam tetangga mereka.

14. (Bidang-bidang nasional dan internasional)

Terbukalah gelanggang kerasulan yang tak terduga luasnya ditingkat nasional maupun internasional, terutama bagi kaum awam, untuk mengabdikan diri kepada kebijaksanaan kristiani. Dalam berbakti kepada bangsa dan dalam menunaikan tugas-tugas kewarganegaraan dengan setia, Umat katolik hendaknya menyadari kewajibannya untuk memajukan kesejahteraan umum yang sejati. Hendaknya mereka berusaha berpengaruh dengan bobot pandangan mereka, sehingga pemerintahan dijalankan dengan adil, dan hukum-hukum selaras dengan tuntutan-tuntutan moral serta menunjang kesejahteraan umum. Hendaknya orang-orang katolik, yang mahir dibidang politik, dan sebagaimana wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum. Sebab dengan jasa-jasa mereka yang pantas dihargai itu mereka dapat mendukung kesejahteraan umum, dan sekaligus merintis jalan bagi Injil.

Hendaknya Umat katolik berusaha bekerja sama dengan semua orang yang beritikad baik, untuk memajukan apa pun yang benar, apa pun yang adil, apa pun yang suci, apa pun yang manis (Flp 4:8). Hendaklah Umat katolik berdialog dengan mereka, serta mendekati mereka dengan bijaksana dan penuh pengertian, lagi pula menyelidiki, bagaimana menyempurnakan lembaga-lembaga sosial dan umum menurut semangat Injil.

Di antara tanda-tanda zaman kita yang layak mendapat perhatian istimewa yakni: semangat setia kawan antara semua bangsa, yang makin meluas dan tak terelakkan. Tugas kerasulan awamlah penuh kesungguhan memajukan solidaritas itu, dan mengubahnya menjadi kasih persaudaraan yang tulus dan sejati. Selain itu kaum awam perlu menyadari kenyataan bidang internasional serta masalah-masalah dan pemecahan-pemecahannya yang bersifat ajaran maupun langkah-langkah praktis pada taraf itu, terutama yang menyangkut bangsa-bangsa yang sedang berkembang[27].

Hendaknya mereka semua, yang bekerja ditengah bangsa-bangsa lain atau menyelenggarakan bantuan kepada mereka, mengingat bahwa hubungan-hubungan antar bangsa harus merupakan pertukaran jasa yang sungguh bersifat persaudaraan, sehingga kedua pihak sekaligus memberi dan menerima. Adapun mereka yang menempuh perjalanan untuk karya-kegiatan internasional, untuk menyelesaikan urusan atau untuk berlibur, hendaklah mengingat, bahwa dimanapun juga mereka serta-merta menjadi pewarta-pewarta Kristus yang sedang berkeliling, dan sungguh bertingkah laku menurut kenyataan itu.

BAB EMPAT – BERBAGAI CARA MERASUL

15. (Pendahuluan)

Kaum awam dapat menjalankan kerasulan mereka secara perorangan atau tergabung dalam berbagai paguyuban atau perserikatan.

16. (Pentingnya aneka bentuk kerasulan perorangan)

Kerasulan, yang harus dijalankan oleh setiap orang secara pribadi dan secara melimpah mengalir dari sumber hidup kristiani yang sejati (lih. Yoh. 4:14), merupakan landasan dan syarat bagi semua kerasulan awam, juga yang bersifat kolektif, dan tidak dapat digantikan oleh apa pun juga.

Meskipun mereka tidak ada kesempatan atau kemungkinan untuk bekerja sama dalam perserikatan, namun semua awam dalam keadaan mana pun juga dipanggil dan wajib menjalankan kerasulan. Kerasulan itu selalu dan di mana-mana memang berharga, tetapi dalam situasi-situasi tertentu merupakan satu-satunya yang sesuai dan mungkin.

Terdapat banyak bentuk kerasulan, yang bagi kaum awam merupakan jalan untuk membangun Gereja, dan menguduskan mereka dunia serta menjiwainya dalam Kristus.

Bentuk khusus kerasulan perorangan lagi pula tanda paling sesuai bagi zaman kita, yang menampilkan bahwa Kristus hidup dalam Umatnya yang beriman, ialah kesaksian seluruh hidup sebagai awam, yang bersumber pada iman, harapan dan cinta kasih. Namun melalui kerasulan secara lisan, yang dalam situasi-situasi tertentu memang sungguh perlu, para awam mewartakan Kristus, menguraikan ajaran-Nya, menyebarluaskannya menurut kondisi serta kemampuan masing-masing, dan mengakuinya dengan setia.

Kecuali itu, dengan menyumbangkan tenaga sebagai warga dunia ini dalam upaya-upaya untuk membangun dan mengurus tata dunia sekarang, haruslah kaum awam dalam hidup berkeluarga, dibidang kejuruan, kebudayaan dan kemasyarakatan, dalam terang iman mencari motivasi-motivasi yang lebih luhur, dan bila ada kesempatan mengungkapkannya kepada sesama, karena menyadari bahwa dengan demikian mereka bekerja sama dengan Allah pencipta, Penebus dan Pengudus, serta memuliakan-Nya.

Akhirnya hendaklah para awam menjiwai hidup mereka dengan cinta kasih, dan sejauh mampu mengungkapkannya dengan tindakan nyata.

Hendaklah segenap umat mengingat, bahwa dengan ibadat resmi dan doa, dengan bertobat dan secara suka rela menerima jerih-payah serta kesukaran-kesukaran hidup, yang menjadikan mereka serupa dengan Kristus yang menderita sengsara (lih. 2Kor 4:10; Kol 1:24), mereka dapat menjangkau semua orang, dan membawa sumbangan bagi keselamatan seluruh dunia.

17. (Kerasulan awam dalam situasi-situasi tertentu)

Kerasulan perorangan itu sangat perlu dan mendesak di daerah-daerah, tempat kebebasan Gereja menghadapi rintangan-rintangan yang berat. Dalam situasi yang amat sulit itu kaum awam sejauh mereka mampu menggantikan para imam, dengan menanggung resiko bagi kebebasan mereka sendiri dan acap kali juga bagi hidup mereka. Kepada orang-orang disekitar mereka menyampaikan ajaran kristiani; mereka membina sesama dalam hidup keagamaan dan semangat katolik; mereka mengajak sesama untuk sering menerima sakramen-sakramen, dan terutama untuk berbakti kepada Ekaristi suci[28]. Konsili suci dengan setulus hati bersyukur kepada Allah, yang juga pada zaman kita sekarang tidak berhenti membangkitkan para awam yang berjiwa teguh bagaikan pahlawan ditengah penganiayaan, dan menyambut mereka penuh kasih kebapaan serta rasa syukur.

Kerasulan perorangan menemukan gelanggang yang istimewa di mana Umat katolik hanya sedikit jumlahnya dan hidup terpencar. Di situ para awam, yang hanya merasul secara perorangan entah karena sebab-sebab tersebut diatas, entah karena alasan-alasan khas yang muncul dari kegiatan profesional mereka sendiri, seyogyanya toh mengadakan pertemuan-pertemuan dalam kelompok-kelompok kecil, tanpa bentuk kelembagaan atau organisasi yang ketat, sehingga selalu nampaklah tanda persekutuan Gereja bagi orang-orang lain, sebagai kesaksian cinta kasih yang sejati. Demikianlah, melalui persahabatan dan pertukaran pengalaman, dengan saling memberi bantuan rohani, mereka diteguhkan untuk mengatasi kendala-kendala hidup serta kegiatan yang serba terpencil, dan untuk memperbuahkan hasil kerasulan yang lebih banyak.

18. (Pentingnya kerasulan yang terpadu)

Umat beriman kristiani sebagai perorangan dipanggil untuk merasul di pelbagai situasi hidup mereka. Tetapi hendaknya mereka mengingat, bahwa manusia menurut kodratnya bersifat sosial, dan bahwa Allah (lih. 1Ptr 2:5-10) dan menjadi satu tubuh (lih. 1Kor 12:12). Dan oleh karena itu kerasulan yang terpadu memang sungguh menanggapi tuntutan Umat kristiani baik sebagai manusia maupun sebagai orang kristiani, dan sekaligus menyajikan tanda persekutuan dan kesatuan Gereja dalam kristus yang bersabda: “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, disitu Aku hadir di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20).

Maka dari itu hendaklah Umat beriman serentak mengarahkan kerasulan mereka kepada tujuan yang sama[29]. Hendaknya mereka menjadi rasul di lingkungan keluarga mereka sendiri, di paroki maupun di keuskupan, yang semuanya mengungkapkan sifat kebersamaan kerasulan, begitu pula dalam kelompok-kelompok sukarela yang mereka bentuk atas pilihan sendiri.

Kerasulan yang terpadu amat penting juga, karena dalam jemaat-jemaat Gereja maupun di pelbagai lingkungan kerasulan sering perlu dilaksanakan dalam kegiatan bersama. Sebab perserikatan-perserikatan, yang didirikan untuk kegiatan-kegiatan merasul secara bersama, mendukung para anggotanya dan membina mereka untuk merasul, lagi pula dengan cermat menyiapkan serta mengatur usaha-usaha kerasulan mereka, sehingga dari padanya boleh diharapkan hasil-hasil yang jauh lebih melimpah, daripada bila masing-masing menjalankan kegiatannya sendiri.

Adapun dalam situasi sekarang sangat perlulah, bahwa dalam lingkup kegiatan kaum awam bentuk kolektif kerasulan dalam suatu organisasi dimantapkan. Sebab hanya perpaduan erat usaha-usahalah yang mampu mencapai sepenuhnya semua tujuan kerasulan zaman sekarang, dan melindungi buah-hasilnya secara tepat guna[30]. Dalam perspektif itu sungguh sangat pentinglah, bahwa kerasulan juga menjangkau alam pandangan umum dan kondisi-kondisi sosial mereka, yang mau dilayani. Sebab kalau tidak, mereka itu sering tidak akan mampu menghadapi tekanan pandangan umum atau lembaga-lembaga.

19. (Aneka bentuk kerasulan terpadu)

Perserikatan kerasulan amat beraneka-ragam[31]: ada yang mempunyai tujuan umum kerasulan Gereja; ada yang secara khusus bertujuan pewartaan Injil dan pengudusan; ada yang tujuannya merasuki tata dunia ini dengan semangat kristiani; ada pula yang secara khas memberi kesaksian akan Kristus melalui amal belas kasihan dan cinta kasih.

Diantara persekutuan-persekutuan itu yang pertama-tama layak diperhatikan ialah: yang memupuk dan menjunjung tinggi perpaduan yang lebih erat antara hidup praktis dan iman para anggotanya. Himpunan-himpunan itu bukan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan harus mengabdi pelaksanaan perutusan Gereja terhadap dunia. Daya kerasulannya tergantung dari kesesuaiannya dengan tujuan-tujuan Gereja dan dari kesaksian kristiani serta semangat Injil masing-masing anggotanya maupun seluruh perserikatan.

Namun bila dipertimbangkan struktur-struktur dan gerak perkembangan masyarakat zaman sekarang, tugas perutusan universal Gereja menuntut, supaya usaha-usaha kerasulan Umat katolik semakin menyempurnakan bentuk-bentuk organisasi pada tingkat internasional. Organisasi-organisasi katolik internasional akan lebih penuh mencapai tujuannya, bila kelompok-kelompok yang tergabung di dalamnya serta para anggotanya semakin erat bersatu dengannya.

Dengan tetap memelihara hubungan dengan Pimpinan Gereja sebagaimana mestinya[32], kaum awam berhak mendirikan[33] dan memimpin perserikatan, dan masuk anggota perserikatan yang sudah ada. Tetapi hendaknya dihindari penghamburan tenaga; itu terjadi bila tanpa alasan yang cukup dipropagandakan himpunan-himpunan dan karya-karya yang baru, atau bila tetap dipertahankan perserikatan-perserikatan yang sudah tidak berguna lagi atau metode-metode yang sudah usang. Dan tidak selalu cocok, bahwa bentuk-bentuk kerasulan, yang dijalankan ditengah bangsa tertentu, begitu saja dialihkan kepada bangsa-bangsa lain[34].

20. (“Aksi Katolik”)

Sejak beberapa dasawarsa di pelbagai negeri kaum awam semakin banyak membaktikan diri dalam kerasulan. Mereka berhimpun dalam pelbagai bentuk kegiatan dan perserikatan, yang sambil memelihara hubungan cukup erat dengan Hirarki telah dan tetap masih mengejar tujuan-tujuan kerasulan yang sejati. Diantara yayasan-yayasan itu atau himpunan-himpunan serupa yang sudah lebih tua, terutama layak disebutkan perserikatan-perserikatan, yang memang menganut bermacam-macam cara berkarya, namun telah memperbuahkan hasil-hasil yang amat melimpah bagi kerajaan Kristus. Persekutuan-persekutuan itu oleh para Paus dan banyak Uskup sudah selayaknya dianjurkan dan didukung perkembangannya, mereka sebut “Aksi Katolik”, dan sering sekali dilukiskan sebagai kerja sama kaum awam dalam kerasulan Hirarki[35].

Bentuk-bentuk kerasulan itu, – entah disebut “Aksi Katolik” entah tidak, – zaman sekarang ini menjalankan kerasulan yang sungguh berharga, dan mencantum perpaduan serta keseluruhan ciri-ciri berikut:

a) Tujuan langsung organisasi-organisasi semacam itu ialah tujuan kerasulan Gereja, yakni: untuk mewartakan Injil kepada sesama dan menguduskan mereka, serta untuk membina suara hati mereka secara kristiani sedemikian rupa, sehingga mereka mampu merasuki pelbagai jemaat serta berbagai lingkungan dengan semangat Injil.

b) Para awam bekerja sama dengan Hirarki dengan cara mereka sendiri, dan menyumbangkan pengalaman mereka serta memikul tanggung jawab dalam memimpin organisasi-organisasi itu, dalam mempertimbangkan situasi-situasi kegiatan pastoral Gereja, dan dalam menjabarkanta melaksanakan program kegiatan-kegiatan.

c) Para awam bertindak secara terpadu bagaikan tubuh organis, sehingga persekutuan Gereja dilambangkan secara lebih mengena, dan kerasulan menjadi lebih subur.

d) Para awam, entah mereka menyediakan diri secara sukarela, atau diundang untuk menjalankan kegiatan dan menjalin kerjasama langsung dengan kerasulan Hirarki, bertindak dibawah kepemimpinan lebih tinggi Hirarki, yang dapat mengesahkan kerja sama itu juga dengan suatu ketetapan eksplisit.

Organisasi-organisasi, yang menurut penilaian Hirarki memang ditandai oleh keseluruhan ciri-ciri itu, harus dipandang sebagai “Aksi Katolik”, meskipun karena tuntutan berbagai tempat maupun suku bangsa bentuk-bentuk serta namanya berbeda-beda.

Konsili suci sangat menganjurkan lembaga-lembaga itu, yang dibanyak negeri sungguh menanggapi kebutuhan-kebutuhan kerasulan Gereja. Konsili mengajak para imam maupun awam, yang terlibat di dalamnya, untuk semakin mewujudkan ciri-ciri tersebut di atas, dan untuk selalu bekerja sama dengan semua bentuk kerasulan lainnya dalam Gereja dalam suasana persaudaraan.

21. (Penghargaan terhadap organisasi-organisasi)

Semua perserikatan kerasulan hendaknya dihargai sebagaimana layaknya. Tetapi persekutuan-persekutuan, yang oleh Hirarki, menurut kebutuhan-kebutuhan masa dan daerah-daerah, dipuji atau dianjurkan, atau ditetapkan untuk didirikan karena lebih mendesak, harus paling diutamakan oleh para imam, para religius dan kaum awam, serta dikembangkan menurut cara mereka masing-masing. Tetapi yang sekarang ini termasuk diantaranya terutama organisasi-organisasi atau himpunan-himpunan internasional Umat katolik.

22. (Kaum awam secara istimewa berbakti kepada Gereja)

Yang dalam Gereja layak mendapat pujian dan penghargaan istimewa yakni para awam, entah berkeluarga entah tidak, yang untuk selamanya atau untuk sementara membaktikan diri beserta kemahiran profesionalnya guna melayani lembaga-lembaga karya-karyanya. Bagi Gereja sangat menggembirakan, bahwa semakin bertambahlah jumlah para awam, yang menyumbangkan pelayanan mereka kepada perserikatan-perserikatan dan karya-karya kerasulan, entah di negeri sendiri entah pada tingkat internasional, entah terutama di jemaat-jemaat katolik di daerah misi dan dalam Gereja-Gereja muda.

Hendaknya para gembala Gereja dengan senang hati dan rasa syukur menyambut para awam itu, dan berusaha supaya kondisi-kondisi hidup mereka sedapat mungkin memenuhi tuntutan-tuntutan keadilan, kelayakan dan cinta kasih, terutama mengenai nafkah yang sepantasnya bagi mereka beserta keluarga mereka, pun juga supaya mereka menerima pembinaan, dukungan rohani serta dorongan.

BAB LIMA

 

 

TATA-TERTIB YANG HARUS DIINDAHKAN

23. (Pendahuluan)

Kerasulan awam, yang dijalankan oleh Umat beriman baik secara perorangan maupun secara kolektif, harus disaturagakan dengan tepat dalam kerasulan seluruh Gereja. Bahkan hubungan dengan mereka , yang oleh Roh Kudus ditetapkan untuk membimbing Gereja Allah (lih. Kis 20:28), merupakan unsur hakiki kerasulan kristiani. Tidak kurang perlulah kerja sama antara pelbagai usaha kerasulan, yang harus diatur oleh Hirarki secara selaras.

Sebab semangat persatuan perlu ditingkatkan, supaya diseluruh kerasulan Gereja bersinarlah cinta kasih persaudaraan, agar tujuan-tujuan umum tercapai, dan persaingan-persaingan yang berbahaya dihindarkan. Untuk maksud itu antara semua bentuk kerasulan dalam gereja diperlukan sikap saling menghargai, dan – tanpa mengurangi sifat khas masing-masing – perpaduan yang serasi[36].

Itu terutama diperlukan, bila suatu kegiatan istimewa dalam Gereja membutuhkan keselarasan dan kerja sama kerasulan antara kedua golongan klerus, para religius dan kaum awam.

24. (Hubungan-hubungan dengan Hirarki)

Hirarki wajib mendukung kerasulan awam, menggariskan prinsip-prinsipnya dan menyediakan bantuan-bantuan rohani, mengatur pelaksanaan kerasulan demi kesejahteraan Gereja, dan menjaga supaya ajaran serta tata-tertib Gereja tetap di patuhi.

Adapun kerasulan awam mengenal pelbagai cara berhubungan dengan Hirarki, sesuai dengan pelbagai bentuk serta sasaran kerasulan itu.

Sebab dalam gereja terdapat amat banyak usaha kerasulan, yang terwujudkan atas pilihan bebas kaum awam, dan yang kepemimpinannya berlangsung atas kebijaksanaan serta kearifan mereka. Berkat usaha-usaha itu perutusan Gereja di berbagai situasi dapat terlaksana dengan lebih baik; maka tidak jarang usaha-usaha itu di puji dan dianjurkan oleh Hirarki[37]. Tetapi suatu usaha hanya boleh menggunakan nama “katolik”, bila mendapat persetujuan pimpinan Gereja yang sah.

Berbagai bentuk kerasulan awam dengan berbagai cara pula diakui secara eksplisit oleh Hirarki.

Selain itu, untuk menanggapi tuntutan-tuntutan kesejahteraan Gereja, Pimpinan Gereja dapat memilih beberapa diantara persekutuan-persekutuan dan usaha-usaha kerasulan yang secara langsung bertujuan rohani, secara istimewa mengembangkannya, dan mengambil tanggung jawab khusus terhadapnya. Begitulah Hirarki dengan aneka cara mengatur kerasulan untuk menanggapi berbagai keadaan. Bentuk-bentuk kerasulan tertentu dihubungkannya secara lebih erat dengan tugas kerasulannya sendiri. Tetapi hakekat kerasulan masing-masing serta perbedaan antara keduanya dipertahankan, dan karena itu kesempatan yang diperlukan oleh kaum awam untuk bergerak secara suka rela tidak ditiadakan. Tindakan hirarki itu dalam berbagai dokumen gereja disebut “mandat”.

Kemudian Hirarki juga mempercayakan kepada kaum awam berbagai tugas, yang lebih erat berhubungan dengan tugas-tugas para gembala, misalnya dibidang pengajaran kristiani, dalam berbagai upacara liturgi, dalam reksa pastoral. Berdasarkan perutusan itu dalam pelaksanaan tugas mereka para awam wajib mematuhi sepenuhnya Pimpinan Gereja yang lebih tinggi.

Berkenaan dengan usaha-usaha dan lembaga-lembaga yang menyelenggarakan urusan-urusan duniawi, tugas Hirarki Gereja yakni mengajarkan dan menafsirkan secara otentik kaidah-kaidah moral mengenai pelaksanaan hal-hal keduniawian itu. Merupakan wewenang Hirarki juga: dengan mempertimbangkan segalanya masak-masak dan memanfaatkan bantuan para pakar, menilai seberapa jauh usaha-usaha dan lembaga-lembaga semacam itu sesuai dengan kaidah-kaidah moral, serta menetapkan mengenai semua apa yang diperlukan, untuk menjaga dan mengembangkan harta-kekayaan adikodrati.

25. (Bantuan para imam bagi kerasulan awam)

Hendaklah para Uskup, pastor-pastor paroki dan para imam lainnya, baik diosesan maupun religius, bahwa hak serta tugas merasul sama-sama ada pada semua orang beriman baik klerus maupun awam, dan bahwa dalam pembangunan Gereja para awam pun menjalankan peran mereka sendiri[38]. Maka dari itu hendaknya mereka dalam Gereja dan demi Gereja bekerja sama secara persaudaraan dengan kaum awam, dan secara istimewa menaruh perhatian terhadap para awam dalam karya-karya kerasulan mereka[39].

Hendaknya dipilih dengan cermat imam-imam, yang cakap dan telah disiapkan secukupnya untuk memberi bantuan dalam bentuk-bentuk khusus kerasulan awam[40]]. Adapun mereka, yang atas perutusan yang diterima dari Hirarki menunaikan pelayanan itu, mewakilinya dalam kegiatan pastoral mereka. Hendaklah mereka memupuk keserasian hubungan-hubungan para awam dengan Hirarki, sambil selalu dengan setia mematuhi semangat serta ajaran Gereja. Hendaknya mereka membaktikan diri dengan memupuk hidup rohani serta semangat merasul pada persekutuan-persekutuan katolik yang dipercayakan kepada mereka. Hendaknya mereka mendampingi kegiatan kerasulan himpunan-himpunan itu dengan nasehat mereka yang bijaksana, serta mendukung usaha-usahanya. Hendaklah mereka terus menerus bertemu wicara dengan kaum awam, dan penuh perhatian menyelidiki manakah cara-cara, yang dapat makin menyuburkan kegiatan merasul. Hendaknya mereka meningkatkan semangat persatuan di dalam perserikatan itu sendiri, begitu pula antara persekutuan itu dengan persekutuan-persekutuan lainnya.

Akhirnya hendaklah para religius, para bruder maupun suster, menghargai karya-karya kerasulan kaum awam. Hendaknya mereka dengan senang hati membaktikan diri untuk ikut mengembangkan kegiatan-kegiatan kaum awam menurut semangat dan kaidah-kaidah tarekat mereka[41]. Hendaknya mereka berusaha mendukung, membantu dan melengkapi tugas-tugas para imam.

26. (Upaya-upaya yang berguna bagi kerja sama)

Di keuskupan-keuskupan sedapat mungkin hendaklah terdapat panitia-panitia, untuk membantu karya kerasulan Gereja, baik dibidang pewartaan Injil dan pengudusan, maupun bidang amal kasih, sosial dan lain-lain; di situ para imam dan religius hendaknya dengan cara yang tepat bekerja sama dengan para awam. Panitia-panitia itu akan dapat memantapkan koordinasi antara pelbagai persekutuan-persekutuan serta usaha-usaha para awam, tanpa mengurangi sifat-sifat serta otonomi masing-masing[42].

Bila mungkin panitia-panitia semacam itu hendaknya diadakan juga dilingkup paroki atau antar-paroki, antar keuskupan, di tingkat nasional atau internasional[43].

Kecuali itu pada Takhta suci hendaknya didirikan suatu Sekretariat khusus guna melayani dan mendorong kerasulan awam, bagaikan suatu pusat, untuk dengan upaya-upaya yang sesuai menyajikan informasi-informasi tentang pelbagai usaha kerasulan awam, untuk mempelajari penelitian-penelitian tentang masalah-masalah aktual yang muncul dibidang itu, dan untuk dengan nasehat-nasehatnya mendampingi Hirarki serta kaum awam dalam karya-karya kerasulan. Dalam sekretariat itu hendaknya pelbagai gerakan serta usaha kerasulan awam diseluruh dunia berperan-serta, dan para imam serta religius pun bekerja sama dengan kaum awam.

27. (Kerja sama dengan Umat kristen dan umat beragama lain)

Pusaka-warisan Injil bersama, dan berdasarkan itu tugas bersama memberi kesaksian kristiani menganjurkan dan sering pula menuntut kerja sama Umat katolik dengan Umat kristen lainnya. Kerja sama itu harus dijalankan oleh orang-perorangan maupun oleh jemaat-jemaat, dalam kegiatan-kegiatan pun juga dalam persekutuan-persekutuan, ditingkat nasional maupun internasional[44].

Nilai-nilai manusiawi bersama pun tidak jarang menuntut kerja sama yang serupa antara Umat kristiani yang mengejar tujuan-tujuan kerasulan mereka, yang tidak menyandang nama kristiani, namun mengakui nilai-nilai itu juga.

Melalui kerja sama yang dinamis dan bijaksana itu[45], yang besar maknanya dalam kegiatan-kegiatan duniawi, kaum awam memberi kesaksian akan Kristus Penyelamat dunia, dan akan kesatuan keluarga manusia.

BAB ENAM

 

 

PEMBINAAN UNTUK MERASUL

28. (Perlunya pembinaan untuk merasul)

Kerasulan hanya dapat mencapai kesuburan yang sepenuhnya, bila ada pembinaan yang bersifat aneka dan lengkap. Pembinaan itu dituntut bukan saja supaya awam sendiri tetap harus berkembang dalam hidup rohani dan pengetahuan ajaran, melainkan juga karena usaha-usahanya harus disesuaikan dengan bermacam-macam situasi, orang-orang, dan tugas-tugas. Pembinaan untuk kerasulan itu harus dilandasi dasar-dasar, yang oleh Konsili suci ini telah dinyatakan dan diuraikan dalam dokumen-dokumen lain[46]. Selain itu pembinaan yang diperuntukkan bagi semua orang kristiani, karena keaneka-ragaman orang-orang dan keadaan-keadaan maka tidak sedikitlah bentuk-bentuk kerasulan, yang memerlukan pembinaan yang khusus juga.

29. (Dasar-dasar pembinaan awam untuk kerasulan)

Kaum awam ikut serta menunaikan perutusan Gereja dengan cara mereka sendiri. Maka pembinaan mereka untuk kerasulan juga mendapat cirinya yang istimewa dari sifat sekuler (keduniaan) serta corak hidup rohani yang khas bagi status awam.

Pembinaan itu kerasulan mengandaikan suatu pembinaan manusiawi yang utuh dan sesuai dengan watak-perangai serta situasi-situasi masing-masing. Sebab seorang awam, yang mengenal dunia zaman sekarang dengan baik, harus menjadi anggota yang sungguh berintegrasi dalam masyarakat serta kebudayaan sendiri.

Akan tetapi seorang awam hendaknya pertama-tama belajar menjalankan perutusan Kristus dan Gereja, dengan hidup dari iman akan misteri ilahi penciptaan dan penebusan, lagi pula digerakkan oleh Roh Kudus yang menghidupkan Umat Allah, dan yang mendorong semua orang untuk mencintai Allah Bapa dan dunia serta orang-orang dalam Dia. Pembinaan itu harus dipandang sebagai dasar dan syarat setiap kerasulan yang subur.

Kecuali pembinaan rohani diperlukan pendidikan pengetahuan yang tangguh, yakni dibidang teologi, etika dan filsafat, sesuai dengan usia, situasi hidup dan bakat-kemampuan yang bermacam-macam. Lagi pula janganlah diabaikan pentingnya tingkat hidup budaya yang umum beserta pendidikan praktis dan teknis.

Untuk memelihara hubungan-hubungan antar-manusia yang baik perlulah nilai-nilai sungguh manusiawi dikembangkan, terutama seni bergaul dan bekerja sama secara persaudaraan, dan mengadakan dialog.

Tetapi, karena pembinaan untuk kerasulan tidak dapat hanya terdiri dari pengajaran teoritis melulu, hendaknya awam setapak demi setapak dan dengan bijaksana, sejak awal pembinaannya, belajar memandang, menilai serta menjalankan segalanya dalam cahaya iman, melalui kegiatannya membina serta menyempurnakan diri bersama orang-orang lain, dan dengan demikian secara aktif memulai pengabdiannya kepada Gereja[47]. Pembinaan itu selalu disempurnakan, karena pribadi manusia semakin menjadi dewasa dan karena perkembangan masalah-persoalan, dan menuntut mutu pengetahuan yang semakin tinggi serta kegiatan yang menanggapi situasi. Dalam memenuhi semua persyaratan untuk pembinaan kesatuan dan keutuhan pribadi manusia harus selalu diperhatikan, sehingga keselarasan dan keseimbangannya tetap terjamin dan ditingkatkan.

Demikianlah awam secara mendalam dan penuh semangat mengintegrasikan diri ke dalam kenyataan dunia sekarang, dan dengan tepat guna menerima perannya dalam mengurusi perkara-perkaranya, pun sekaligus sebagai anggota yang hidup serta saksi Gereja menghadirkan serta mengaktifkannya di pangkuan kenyataan-kenyataan dunia ini[48].

30. (Mereka yang wajib membina sesama untuk kerasulan)

Pembinaan untuk kerasulan harus mulai sejak awal anak-anak. Tetapi secara istimewa hendaknya para remaja dan kaum muda diperkenalkan dengan kerasulan, dan diresapi semangatnya. Selama hidup pembinaan itu harus disempurnakan, sejauh tugas-tugas baru yang diterima menuntutnya. Maka jelaslah bahwa mereka yang bertugas dalam pendidikan kristiani juga terikat oleh kewajiban untuk memberi pembinaan bagi kerasulan.

Merupakan tugas orang tua dalam keluarga: menyiapkan hati anak-anak mereka sejak kecil untuk mengenali cinta kasih Allah terhadap semua orang, serta mengajar mereka demi sedikit, terutama dengan teladan, untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan jasmani maupun rohani sesama. Jadi seluruh keluarga dan kebersamaan hidupnya menjadi bagaikan masa persiapan untuk kerasulan.

Disamping itu anak-anak hendaknya dididik, supaya melampaui lingkup keluarga, dan membuka hati bagi jemaat-jemaat gerejawi maupun masyarakat duniawi. Hendaknya mereka ditampung dalam jemaat setempat paroki sedemikian rupa, sehingga disitu mereka memperoleh kesadaran, bahwa mereka merupakan anggota yang hidup dan aktif Umat Allah. Hendaklah para imam dalam katekese dan pelayanan sabda, dalam bimbingan rohani, dan dalam pelayanan-pelayanan pastoral lainnya memperhatikan pembinaan untuk kerasulan.

Begitu pula merupakan tugas mereka yang berkecimpung dalam bidang pendidikan di sekolah-sekolah, di kolese-kolese dan lembaga-lembaga katolik lainnya: memupuk semangat katolik dan kegiatan merasul di kalangan kaum muda. Bila pembinaan itu tidak ada, entah karena kaum muda tidak mengunjungi sekolah-sekolah itu, atau karena sebab-sebab lain, para orangtua dan gembala jiwa, begitu pula persekutuan-persekutuan kerasulan, hendaknya semakin mengusahakan pembinaan itu. Adapun para guru dan para pendidik, yang karena panggilan serta tugas mereka menjalankan bentuk kerasulan awam yang luhur, hendaknya berbekalkan pengetahuan yang diperlukan dan kecakapan untuk mendidik, sehingga mampu memberi pembinaan itu dengan tepat-guna.

Begitu juga kelompok-kelompok dan persekutuan-persekutuan awam, yang mengejar tujuan kerasulan atau tujuan-tujuan adikodrati lainnya, harus dengan sungguh-sungguh dan terus-menerus mengembangkan pembinaan untuk kerasulan sesuai dengan tujuan dan coraknya sendiri[49]. Himpunan-himpunan itu sering merupakan jalan yang biasa untuk pembinaan yang cocok bagi kerasulan. Sebab disitu diberi pembinaan pengetahuan, rohani dan praktis. Para anggotanya bersama dengan teman-teman dan sahabat-sahabat mereka dalam kelompok-kelompok kecil mempertimbangkan cara-cara dan buah hasil usaha-usaha kerasulan mereka, dan membandingkan cara hidup mereka sehari-hari dengan Injil.

Pembinaan semacam itu harus di atur sedemikian rupa, sehingga seluruh kerasulan awam ikut dipertimbangkan. Kerasulan itu harus dijalankan bukan saja diantara kelompok-kelompok dalam persekutuan-persekutuan sendiri, tetapi juga dalam segala situasi selama hidup, terutama dalam hidup profesional dan sosial. Bahkan setiap anggota harus dengan tekun menyiapkan diri untuk kerasulan, dan itu lebih mendesak pada usia dewasa. Sebab sementara umur bertambah, jiwa manusia menjadi lebih terbuka, dan dengan demikian setiap orang dapat lebih cermat mengenali bakat-bakat, yang oleh Allah dilimpahkan atas jiwanya; ia dapat dengan lebih subur mengamalkan karisma-karisma, yang oleh Roh Kudus dikurniakan kepadanya demi kesejahteraan saudara-saudaranya.

31. (Penyesuaian pembinaan dengan pelbagai bentuk kerasulan)

Pelbagai bentuk kerasulan secara khusus pula menuntut pembinaan yang sesuai.

a) Mengenai kerasulan untuk mewartakan Injil kepada sesama dan menguduskan mereka, para awam perlu menerima pembinaan khusus untuk mengadakan wawancara dengan orang-orang lain, entah beriman atau tidak, untuk mengungkapkan amanat kristus kepada semua orang[50].

Adapun zaman sekarang ini materialisme dalam aneka coraknya tersebar luas dimana-mana, juga dikalangan katolik, khususnya pokok-pokok yang sedang diperdebatkan . Selain itu, menghadapi bentuk materialisme mana pun juga hendaknya mereka menampilkan kesaksian hidup menurut Injil.

b) Mengenai pembaharuan tata-dunia sekarang ini secara kristiani, hendaknya kaum awam diberi penyuluhan tentang makna yang sesungguhnya dan nilai-nilai duniawi, baik dalam dirinya sendiri, maupun sehubungan dengan semua tujuan pribadi manusia. Hendaklah mereka dilatih dalam menggunakan hal-hal itu dengan tepat, dan dalam mengatur lembaga-lembaga, sambil selalu mengindahkan kesejahteraan umum menurut prinsip-prinsip ajaran moral dan sosial Gereja. Terutama azas-azas ajaran sosial serta kesimpulan-kesimpulannya hendaknya oleh awam dipelajari sedemikian rupa, sehingga mereka menjadi cakap, baik untuk memberikan sumbangan mereka sendiri demi pengembangan ajaran itu, maupun untuk dengan cermat menerapkannya pada masing-masing kejadian[51].

c) Karena amal cinta kasih dan belaskasihan menampilkan kesaksian hidup kristiani yang cemerlang, pembinaan kerasulan juga harus mendorong untuk menjalankan amal kasih itu. Dengan demikian Umat beriman kristiani sejak kecil belajar berbagi duka derita dengan sesama, dan dengan kebesaran jiwa meringankan beban mereka yang menderita kekurangan[52].

32. (Upaya-upaya yang digunakan)

Bagi para awam yang membaktikan diri dalam kerasulan sudah tersedia banyak upaya-upaya, yakni: sidang-sidang, kongres-kongres, rekoleksi, latihan rohani, pertemuan yang sering diadakan , konferensi-konferensi, buku-buku, komentar-komentar, untuk memperdalam pengetahuan Kitab suci dan ajaran katolik, untuk memupuk hidup rohani dan memahami situasi dunia, begitu pula untuk menemukan dan mengembangkan metode-metode yang sesuai[53].

Upaya-upaya pembinaan itu memperhitungkan pelbagai bentuk kerasulan di lingkungan-lingkungan, tempat kerasulan itu dijalankan.

Untuk tujuan itu telah didirikan pusat-pusat atau lembaga-lembaga pendidikan tinggi, yang telah memperbuahkan hasil-hasil yang amat baik.

Konsili suci ini bergembira atas usaha-usaha semacam itu, yang dibeberapa daerah telah berkembang dengan subur, dan menghimbau, supaya juga di tempat-tempat lain usaha-usaha dikembangkan menurut kebutuhan.

Kecuali itu segala bidang kerasulan hendaklah didirikan pusat-pusat dokumentasi dan studi bukan hanya di bidang teologi, melainkan juga di bidang antropologi, psikologi, sosiologi, dan metodologi, supaya lebih ditingkatkan lagi bakat-kemampuan kaum awam, pria maupun wanita, kaum muda maupun kaum dewasa.

AJAKAN

33. Maka kepada segenap kaum awam Konsili suci dalam Tuhan menyerukan dengan sangat, supaya mereka dengan suka rela, dengan jiwa besar, dengan hati yang siap-sedia menanggapi sapaan Kristus, yang justru sekarang ini dengan lebih mendesak mengundang mereka, dan supaya mereka mengikuti dorongan Roh Kudus. Hendaknya kaum muda menyadari, bahwa panggilan itu secara istimewa ditujukan kepada mereka, dan menyambutnya penuh kegembiraan dan dengan kebesaran jiwa. Sebab Tuhan sendiri melalui Konsili suci ini sekali lagi mengundang semua para awam, supaya mereka semakin erat bergabung dengan Diri-Nya, dan seraya mengenakan pada diri mereka sendiri cita rasa yang ada pada-Nya (lih. Flp 2:5), ikut serta menjalankan perutusan-Nya yang membawa keselamatan. Sekali lagi Tuhan mengutus mereka ke semua kota dan tempat yang akan dikunjungi-Nya sendiri (lih. Luk 10:1). Mereka diajak untuk – melalui bermacam-macam bentuk dan cara dalam satu kerasulan Gereja, yang tiada hentinya harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan zaman yang baru, – membawakan diri sebagai rekan-rekan sekerja-Nya, selalu giat dalam karya Tuhan (lih. 1Kor 15:58).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

 

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 18 bulan November tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] Lih. YOHANES XXIII, Konstitusi apostolik Humanae Salutis, 25 Desember 1961: AAS 54 (1962) hlm. 7-10.

[2] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33 dsl. – Lih. juga Konstitusi tentang Liturgi, art. 26-40. – Dekrit tentang sarana-sarana Komunikasi Sosial. – Dekrit tentang Ekumenisme. – Dekrit tentang Tugas Kegembalaan para Uskup dalam Gereja art 16, 17, 18. – Pernyataan tentang Pendidikan Kristiani, art. 3, 5, 7.

[3] Lih. PIUS XII, Amanat kepada para Kardinal, tgl. 18 Februari 1946: AAS 38 (1946) hlm. 101-102. – IDEM, Kotbah kepada Pekerja Katolik muda, tgl. 25 Agustus 1957: AAS 49 hlm. 843.

[4] Lih. PIUS XI, Ensiklik Rerum Ecclesiae: AAS 18 (1926) hlm. 65.

[5] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 31.

[6] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33; lih. juga art. 10.

[7] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 12.

[8] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Liturgi , art. 11.

[9] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 32; lih juga art. 40-41.

[10] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 62; lihat juga art. 65.

[11] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ubi arcano, tgl. 23 Desember 1922: AAS 14 (1922) hlm. 659. – PIUS XII, Ensiklik Summi Pontificatus, tgl. 20 Oktober 1939: AAS 31 (1939) hlm. 442-443.

[12] Lih. LEO XIII, Ensiklik Rerum Novarum: ASS 23 (1890-1891) hlm. 647. – PIUS XI, Ensiklik Quadragesimo Anno: AAS 2 (1931) hlm. 190. – PIUS XII, Amanat radio, tgl. 1 Juni 1941 : AAS 33 (1941) hlm. 207.

[13] “Agape” ialah perjamuan kasih.

[14] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 402.

[15] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 440-441.

[16] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 442-443.

[17] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra: AAS 53 (1961) hlm. 442-443.

[18] Lih. S. PIUS X, Surat apostolik Creationis duarum novarum paroeciarum, , tgl. 1 juni 1905: ASS 38 (1905) hlm. 65-67. – PIUS XII, Amanat kepada umat paroki S. Saba, tgl. 11 Januari 1953: Discorsie e Radiomessagi di S. S. Pio XII, 14 (1952-1953) hlm. 449-454. – YOHANES XXIII, Amanat kepada klerus dan umat pinggiran kota Albano, disampaikan di castel Gondolfo, tgl. 26 Agustus 1962: AAS 54 (1962) hlm. 656-660.

[19] Lih. LEO XII, Amanat tgl. 28 Januari 1894: Acta 14 (1894) hlm. 424-425.

[20] Lih. PIUS XII, Amanat kepada para pastor paroki, dan sebagainya, tgl. 6 Februari 1951: Discorsie e Radiomessagi di S. S. Pio XII, 12 (1950-1951), hlm. 437-443; tgl. 8 Maret 1952: ibid., 14 (1952-1953), hlm. 5-10; tgl. 27 Maret 1953: ibid., 15 (1953-1954) hlm. 27-35; tgl. 28 Februari 1954: ibid., hlm. 585-590.

[21] Lih. PIUS XI, Ensiklik Casti Connubii: AAS 22 (1930) hlm. 554. – PIUS XII, Amanat radio, tgl. 1 Januari 1941: AAS 33 (1941) hlm. 203. – IDEM, Amanat kepada para utusan pada Sidang Persatuan Internasional serikat-serikat untuk membela hak-hak keluarga, tgl. 20 September 1949: AAS 41 (1949) hlm. 552. – IDEM, Amanat kepada bapak-bapak keluarga di Perancis yang berziarah ke Roma, tgl. 18 September 1951: AAS 43 (1951)hlm. 731. – IDEM, Amanat radio pada hari Natal 1952: AAS 45 (1953) hlm. 41. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 429, 439.

[22] Lih. PIUS XII, Ensiklik Evangelii praecones, tgl. 2 Juni 1951: AAS 43 (1951) hlm. 514.

[23] Lih. PIUS XII, Amanat kepada para utusan dalam Sidang Persatuan Internasional serikat-serikat untuk membela hak-hak keluarga, tgl. 20 September 1949: AAS 41 (1949) hlm. 552.

[24] Lih. S. PIUS X, Amanat kepada Perserikatan Kaum Muda Katolik tentang semangat bakti, pengetahuan dan kegiatan, 25 September 1904: ASS 37 (1904-1905) hlm. 296-300.

[25] Lih. PIUS XII, Surat Dans quelques semaines kepada Uskup Agung Marianapolis, tentang pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh para pekerja kristiani muda di Kanada, tgl. 24 Mei 1947: AAS 39 (1947) hlm. 257; Amanat radio kepada J. O. C. di Brussel, tgl. 3 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 640-641.

[26] Lih. PIUS XI, , Ensiklik Quadragesimo Anno, 15 Mei 1931: AAS 23 (1931) hlm. 225-226).

[27] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 448-450.

[28] Lih. PIUS XII, Amanat kepada Kongres I untuk mengembangkan Kerasulan Awam di segala bangsa, tgl. 15 Oktober 1951: AAS 43 (1951) hlm. 788.

[29] Lih. PIUS XII, Pidato tersebut di atas, hlm. 787-788.

[30] Lih. PIUS XII, Ensiklik Le pelerinage de Lourdes (tentang peziarahan ke lourdes), tgl. 2 Juli 1957: AAS 49 (1957) hlm. 615.

[31] Lih. PIUS XII, Amanat kepada Dewan Federasi Internasional kaum pria katolik, tgl. 8 Desember 1956: AAS 49 (1957) hlm. 26-27.

[32] Lih. di bawah, bab V art. 24.

[33] Lih. KONGREGASI KONSILI, Keputusan Corrienten, tgl. 13 November 1920: AAS 13 (1921)hlm. 139.

[34] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Princeps Pastorum, tgl. 10 Desember 1959: AAS 51 (1959) hlm. 856.

[35] Lih. PIUS XI, Surat Quae nobis kepada Kardinal Bertram, tgl. 13 November 1928: AAS 20 (1928) hlm. 385. – Lih. juga PIUS XII, Amanat kepada Aksi Katolik Italia, tgl. 4 September 1940: AAS 32 (1940) hlm. 362.

[36] Lih. PIUS XI, Ensiklik Quamvis Nostra, tgl. 30 April 1936: AAS 28 (1936) hlm. 160-161.

[37] Lih. KONGREGASI KONSILI, Keputusan Corrienten, tgl. 13 November 1920: AAS 13 (1921) hlm. 137-140.

[38] Lih. PIUS XII, Amanat kepada Sidang II untuk memajukan Kerasulan Awam di antara Semua Bangsa, tgl. 5 Oktober 1957: AAS 49 (1957) hlm. 927.

[39] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 37.

[40] Lih. PIUS XII, Ajakan apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 660.

[41] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pembaharuan Hidup Religius yang disesuaikan, art. 8.

[42] Lih. BENEDIKTUS XIV, De Synodo Dioecesana (tentang Sinode keuskupan), buku III, bab IX, n. VII-VIII: Opera Omnia in tomos XVII distributa, jilid XI (Prato 1844), hlm. 76-77.

[43] Lih. PIUS XI, Ensiklik Quamvis Nostra, tgl. 30 April 1936: AAS 28 (1939) hlm. 160-161.

[44] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 456-457. – Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 12.

[45] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 12. – Lih. juga Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 15.

[46] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, bab II, IV, V. – Lih. juga Dekrit tentang Ekumenisme, art. 4, 6, 7, 12. – Lih. juga di atas; art. 4.

[47] Lih. PIUS XII, Amanat kepada Konferensi Internasional I Kepanduan, tgl. 6 Juni 1952: AAS 44 (1952) hlm. 579-580. – YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 456.

[48] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33.

[49] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 455.

[50] Lih. PIUS XII, Ensiklik Sertum laetitiae, tgl. 1 November 1939: AAS 31 (1939) hlm. 635-644. – IDEM, Amanat kepada “laureati” Aksi Katolik Italia, tgl. 24 Mei 1953: AAS 45 (1953) hlm. 413-414.

[51] Lih. PIUS XII, Amanat kepada Kongres Paripurna Federasi para pemudi Katolik Sedunia, tgl. 18 April 1952: AAS 44 (1952) hlm. 414-419. – IDEM, Amanat kepada perserikatan Kristiani para Pekerja di Italia (ACLI), tgl. 1 Mei 1955: AAS 47 (1955) hlm. 403-403.

[52] Lih. PIUS XII, Amanat kepada para Utusan Sidang Persekutuan-Persekutuan Cinta kasih, tgl. 27 April 1952, Hlm. 470-471.

[53] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 454.

Optatam Totius (OT)

0

DEKRIT TENTANG PEMBINAAN IMAM

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

Konsili suci menyadari sepenuhnya, bahwa pembaharuan yang DIINGINKAN bagi SELURUH Gereja sebagian besar tergantung dari pelayanan para imam, yang dijiwai oleh Roh Kristus[1]. Maka Konsili secara resmi menyatakan, bahwa pembinaan imam memang penting sekali. Konsili menguraikan berbagai prinsip dasarnya, yang meneguhkan ketetapan-ketetapan yang telah diuji melalui praktek berabad-abad lamanya, dan mengintegrasikan ke dalam unsur-unsur baru, yang selaras dengan Konstitusi-Konstitusi maupun Dekrit-Dekrit Konsili ini serta dengan perubahan-perubahan zaman yang aktual. Demi kesatuan imamat katolik pembinaan imam itu sungguh perlu bagi semua imam dari kedua klerus dan dari semua ritus. Oleh karena itu peraturan-peraturan berikut, yang secara langsung menyangkut klerus diosesan, dengan mempertimbangkan perlunya penyesuain-penyesuaian, berlaku bagi semua golongan imam.

I. PENYUSUNAN METODE PEMBINAAN IMAM DI SETIAP NEGARA

1. Mengingat begitu bermacam-ragamnya bangsa maupun daerah, disini hanya dapat disusun ketetapan-ketetapan yang serba umum bagi semua. Maka disetiap negara dan untuk setiap ritus hendaknya disusun “Pedoman pembinaan Iman” yang khusus. Pedoman itu harus dikukuhkan oleh Konferensi-Konferensi Uskup[2], pada saat-saat tertentu ditinjau kembali, dan disetujui oleh Takhta suci. Hendaknya menurut pedoman itu ketetapan-ketetapan umum disesuaikan dengan situasi khas setempat dan semasa, supaya pembinaan imam selalu menanggapi kebutuhan-kebutuhan pastoral daerah-daerah yang dilayani.

II. PENGEMBANGAN PANGGILAN IMAM SECARA LEBIH INTENSIF

2. Pengembangan panggilan[3] termasuk kewajiban seluruh jemaat kristen, yang harus menumbuhkannya terutama dengan perihidup kristen yang sepenuhnya. Dalam hal itu sangat besarlah sumbangan keluarga-keluarga, yang dijiwai semangat iman dan cinta kasih serta ditandai sikap bakti, menjadi bagaikan seminari pertama; begitu pula paroki-paroki, yang memungkinkan kaum remaja ikut mengalami kehidupan jemaat yang subur. Para guru, dan semua saja yang dengan suatu cara lain ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak dan kaum muda, terutama himpunan-himpunan katolik, hendaknya berusaha mendidik kaum remaja yang diserahkan kepada mereka sedemikian rupa, sehingga dapat menerima panggilan ilahi serta mengikutinya dengan sukarela. Hendaknya semua imam sedapat mungkin menunjukkan semangat kerasulan mereka dalam menumbuhkan panggilan. Hendaknya mereka menarik minat kaum remaja terhadap imamat, dengan cara hidup mereka yang memancarkan kerendahan hati, ketekunan bekerja, kegembiraan hati, dan sikap saling mengasihi serta kerja sama persaudaraan antara mereka sendiri.

Termasuk tugas para Uskup mendorong kawanan mereka untuk memajukan panggilan, dan mengusahakan perpaduan serta segala tenaga maupun daya-upaya. Hendaknya mereka, sebagai bapa sejati, tanpa menghemat pengorbanan, membantu para calon, yang menurut penilaian mereka dipanggil oleh Tuhan untuk ikut melaksanakan perutusan-Nya.

Kerja sama aktif segenap Umat Allah untuk mengembangkan panggilan itu menanggapi karya penyelenggaraan ilahi, yang kepada mereka yang oleh Allah dipilih untuk ikut mengemban imamat hirarkis Kristus, menganugerahkan bakat-bakat yang menunjang, serta dengan rahmat-Nya menolong mereka. Penyelenggaraan Allah itu jugalah, yang mempercayakan kepada para pelayan Gereja yang sah, supaya sesudah mengetahui kecakapan para calon, memanggil mereka yang sudah teruji, dan dengan maksud yang tulus serta kebebasan sepenuhnya memohon diperkenankan mengemban tugas seluhur itu, kemudian mentakdirkan mereka dengan meterai Roh Kudus bagi ibadat kepada Allah serta pengabdian kepada Gereja[4].

Konsili terutama menganjurkan upaya-upaya bantuan kerja sama umum yang tradisional, misalnya doa yang tekun, ulah pertobatan kristen, serta pembinaan umat beriman yang makin mendalam melalui pewartaan dan katekese, pun dengan memanfaatkan pelbagai upaya komunikasi sosial, semuanya untuk menjelaskan betapa perlu panggilan imam itu, dan hakekat maupun keluhurannya. Selain itu Konsili memerintahkan, supaya karya-karya untuk panggilan, yang menurut dokumen-dokumen kepausan yang bersangkutan telah atau masih harus didirikan disetiap keuskupan, daerah atau negara, mengatur secara metodis dan serasi seluruh kegiatan pastoral untuk menumbuhkan panggilan, dan selanjutnya dengan bijaksana dan penuh semangat memajukan kegiatan itu[5]. Sementara itu hendaklah jangan diabaikan upaya-upaya pendukung, yang penuh manfaat disediakan oleh ilmu-ilmu psikologi dan sosiologi zaman sekarang.

Begitu pula karya untuk mengembangkan panggilan, dijiwai hati yang lapang terbuka, harus melampaui batas-batas masing-masing keuskupan, negara, tarekat religius dan ritus, serta – sementara memperhatikan kebutuhan-kebutuhan Gereja semesta – pertama-tama membantu daerah-daerah, yang secara lebih mendesak membutuhkan pekerja-pekerja bagi kebun anggur Tuhan.

3. Di Seminari-seminari Menengah, yang didirikan untuk memupuk tunas-tunas panggilan, para seminaris hendaknya melalui pembinaan hidup rohani yang khas, terutama dengan bimbingan rohani yang cocok, disiapkan untuk mengikuti Kristus Penebus dengan semangat rela berkorban dan hati yang jernih. Hendaknya mereka, dibawah bimbingan para pemimpin yang penuh kebapaan, dengan kerja sama para orang tua yang sangat membantu, menjalani hidup yang cocok dengan usia, mentalitas dan perkembangan kaum muda, serta sesuai sepenuhnya dengan prinsip-prinsip psikologi yang sehat. Sementara itu hendaklah diperhatikan juga perlunya pengalaman-pengalaman manusiawi secukupnya serta hubungan biasa dengan keluarga mereka sendiri[6]. Kecuali itu semuanya, yang selanjutnya dalam dekrit ini ditetapkan tentang Seminari Tinggi, hendaknya, – sejauh cocok untuk tujuan maupun metode pendidikan di Seminari Menengah – disesuaikan dengannya pula. Studi yang harus ditempuh oleh para seminaris harus diatur sedemikian rupa, sehingga mereka tanpa dirugikan dapat melanjutkannya dilain tempat, sekiranya kemudian memilih status hidup yang lain.

Dengan tekun pula hendaknya dikembangkan tunas-tunas panggilan diantara para remaja dan kaum muda di lembaga-lembaga khusus, yang menanggapi situasi setempat melayani tujuan Seminari-seminari Menengah, begitu pula dikalangan mereka, yang menempuh studi di sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Selain itu hendaknya dikembangkan lembaga-lembaga maupun usaha-usaha lainnya bagi mereka, yang pada usia lebih lanjut mengikuti panggilan ilahi.

III. TATA-LAKSANA SEMINARI-SEMINARI TINGGI

4. (Seluruh pembinaan harus berhubungan erat dengan tujuan pastoral)

Seminari Tinggi sungguh perlu bagi pembinaan imam. Seluruh pendidikan seminaris disitu harus bertujuan: supaya seturut teladan Tuhan kita Yesus Kristus, Guru, Imam dan Gembala, mereka dibina untuk menjadi gembala jiwa-jiwa yang sejati[7]. Maka hendaknya mereka disiapkan untuk pelayanan sabda: supaya mereka makin menyelami makna sabda Allah yang telah diwahyukan, dengan merenungkannya kian diresapi olehnya, serta mengungkapkannya dengan kata-kata maupun perilaku mereka. Hendaknya mereka disiapkan bagi pelayanan ibadat dan pengudusan: supaya seraya berdoa dan melalui perayaan Liturgi suci mereka melaksanakan karya keselamatan melalui korban Ekaristi dan Sakramen-sakramen. Hendaknya mereka disiapkan pula untuk pelayanan kegembalaan: supaya mereka tahu menghadirkan Kristus bagi sesama, Dia yang tidak “datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang” (Mrk 10:45; bdk. Yoh 13:12-17), dan dengan mengabdikan diri kepada siapa saja, memperoleh banyak orang (bdk. 1Kor 9:19).

Oleh karena itu semua aspek pembinaan, rohani, intelektual dan disipliner, hendaknya secara terpadu diarahkan kepada tujuan pastoral itu. Untuk mencapai tujuan itu hendaklah semua pembimbing dan dosen bekerja sama dengan tekun, sambil dengan setia mematuhi kewibawaan Uskup.

5. (Para pembimbing Seminari hendaknya dipilih dengan seksama dan dibina secara efektif)

Pendidikan para seminaris tergantung dari peraturan-peraturan yang bijaksana, dan terutama dari para pembina yang cakap. Maka dari itu hendaknya para pembimbing dan dosen Seminari dipilih dari antara pribadi-pribadi yang sungguh baik[8]. Hendaklah mereka sungguh disiapkan melalui studi yang terjamin mutunya, pengalaman pastoral yang secukupnya, dan pembinaan yang khas dibidang rohani serta pendidikan. Maka perlulah dikembangkan lembaga-lembaga untuk mencapai tujuan itu, atau sekurang-kurangnya kursus-kursus yang diprogramkan dengan cermat, begitu pula pertemuan-pertemuan para pembina Seminari, yang diselenggarakan secara berkala.

Hendaknya para pembimbing dan dosen sungguh menyadari, betapa hasil pembinaan para seminaris tergantung dari cara mereka berpikir dan bertindak. Di bawah pimpinan Rektor hendaknya mereka memelihara persatuan semangat maupun perpaduan kegiatan yang erat sekali, begitu pula antara mereka sendiri dan para seminaris mewujudkan rukun kekeluargaan sesuai dengan doa Tuhan: “Hendaklah mereka bersatu” (bdk. Yoh 17:11). Hendaknya dalam hati para seminaris mereka makin menemukan kegembiraan panggilan mereka sendiri. Hendaknya Uskup tiada hentinya, dengan kasih yang istimewa, menyemangati mereka yang berkarya di Seminari, dan bagi para seminaris membawakan diri sebagai bapa yang sejati dalam kristus. Akhirnya hendaknya semua imam memandang Seminari sebagai jantung keuskupan, dan dengan sukarela menyumbangkan bantuan mereka[9].

6. (Penyaringan dan pengujian para seminaris)

Hendaknya – dengan mempertimbangkan umur maupun kemajuan masing-masing – diadakan penyelidikan yang cermat sekali tentang ketulusan maksud serta kehendak bebas para calon, tentang kesesuaian mereka untuk imamat dibidang rohani, moral dan intelektual, tentang cukupnya kesehatan badan maupun jiwa, sementara mempertimbangkan juga disposisi-disposisi yang barangkali mereka warisi dari keluarga. Begitu pula hendaknya dinilai dengan saksama kecakapan para calon untuk menaggung beban hidup sebagai imam serta menunaikan tugas-tugas pastoral[10].

Dalam seluruh penyaringan dan pengujian para seminaris hendaknya selalu dipertahankan ketegasan sikap, juga kendati adanya keluh-kesah tentang kekurangan imam[11]. Sebab Allah tidak akan membiarkan Gereja-Nya tanpa pelayan-pelayan, bila mereka yang memang pantas diangkat, sedangkan mereka yang tidak cocok sebelum terlambat mendapat pengarahan penuh kebapaan untuk berganti haluan, serta dibantu, untuk menyadari panggilan kristen mereka, dan dengan gembira mulai menjalankan kerasulan awam.

7. (Seminari hendaknya diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan para seminaris)

Bila berbagai keuskupan tidak mampu mengelola dengan baik sebuah Seminari untuk dirinya masing-masing, hendaknya didirikan dan dikembangkan Seminari bersama untuk pelbagai keuskupan atau untuk seluruh kawasan atau negeri, supaya secara lebih efektif diselenggarakan pembinaan para seminaris yang terjamin mutunya, dan yang dalam situasi itu pun harus dipandang sebagai norma yang tertinggi. Bila seminari itu bersifat bersifat regional atau nasional, hendaknya dikelola menurut peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh para Uskup yang berkepentingan[12] dan disetujui oleh Takhta Apostolik.

Diseminari yang jumlah seminarisnya cukup besar, hendaknya sambil tetap mempertahankan kesatuan kepemimpinan serta pengajaran mereka itu secara tepat dibagi menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil, supaya pembinaan pribadi masing-masing lebih terjamin.

IV. PEMBINAAN ROHANI YANG LEBIH INTENSIF

8. (Belajar hidup dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal)

Pembinaan rohani erat berhubungan dengan pendidikan intelektual dan pastoral. Terutama dengan bantuan pembimbing rohani[13] hendaknya pembinaan rohani diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga para seminaris belajar hidup dalam persekutan mesra dan terus menerus dengan Bapa, melalui Putera-Nya Yesus Kristus, dalam Roh Kudus. Karena dengan ditahbiskan mereka harus menjadi secitra dengan Kristus Sang Imam, maka hendaknya juga dengan hidup dalam persekutuan akrab yang meliputi seluruh hidup mereka membiasakan diri untuk sebagai sahabat berpaut pada-Nya[14]. Hendaklah mereka menghayati misteri Paska-Nya sedemikian rupa, sehingga tahu juga mengantar umat yang akan mereka bimbing memasuki misteri itu. Hendaknya mereka diajak mencari kristus dengan setia merenungkan sabda Allah, dalam keakraban yang aktif dengan Misteri-misteri suci Gereja, terutama dalam Ekaristi dan ibadat harian[15]. Hendaknya Kristus itu mereka cari dalam diri Uskup yang mengutus mereka, pun juga pada sesama yang mereka hadapi, terutama kaum miskin, anak-anak, mereka yang sakit, para pendosa dan mereka yang belum beriman. Hendaknya mereka penuh kasih mesra dan kepercayaan berbakti kepada Santa Perawan Maria, yang oleh Kristus Yesus menjelang Wafat-Nya di salib diserahkan kepada murid-Nya sebagai ibu.

Hendaknya latihan-latihan rohani, yang dianjurkan berdasarkan kebiasaan Gereja yang terhormat, dihayati dengan sungguh-sungguh. Tetapi hendaklah diusahakan juga, supaya pembinaan rohani jangan hanya ditaruh pada latihan-latihan itu atau melulu mengembangkan perasaan-perasaan religius. Lebih pentinglah, makin bertambah teguh dalam iman, harapan dan cinta kasih, supaya dalam mengamalkannya mereka memperoleh semangat doa[16], peneguhan serta perlindungan bagi panggilan mereka, kekuatan bagi keutamaan-keutamaan lain, dan supaya makin bertumbuhlah semangat mereka untuk memperoleh semua orang bagi Kristus.

9. (Belajar membaktikan diri dalam Gereja)

Hendaknya para seminaris diresapi oleh misteri Gereja seperti diuraikan terutama oleh Konsili suci ini sedemikian rupa, sehingga mereka merasa terikat oleh cinta kasih penuh kerendahan hati terhadap Wakil Kristus yang mereka anggap bapa, sekali ditahbiskan imam berpaut kepada Uskup mereka sebagai rekan-rekan kerja yang setia, bekerja sama dengan teman-teman seimamat, dan dengan demikian memberi kesaksian akan kesatuan, yang menarik semua orang kepada Kristus[17]. Hendaknya mereka dengan hati yang lapang belajar berperanserta dalam kehidupan Gereja semesta, menurut pesan S. Agustinus: “sejauh orang mencintai Gereja Kristus, sejauh itu pulalah roh Kudus diam dihatinya”[18]. Hendaklah para seminaris jelas-jelas menyadari bahwa mereka tidak dimaksudkan untuk dikemudian hari berkuasa dan dihormati, melainkan untuk membaktikan diri sepenuhnya dalam pengabdian kepada Allah dan dalam pelayanan pastoral. Secara istimewa hendaknya mereka dibina dalam ketaatan sebagai imam, dalam semangat hidup miskin, dan dalam semangat ingkar diri sedemikian rupa[19], sehingga mereka langsung bersedia melepaskan apa saja yang sebenarnya dibolehkan, tetapi tidak ada faedahnya, dan membiasakan diri menyerupai kristus yang disalibkan.

Hendaknya para seminaris diberitahu tentang beban tugas-tugas yang akan mereka terima, tanpa ada kesulitan hidup imamat yang didiamkan saja. Tetapi hendaklah mereka jangan mengkhawatirkan adanya bahaya melulu dalam jerih payah mereka dikemudian hari, melainkan lebih baik mereka dibina untuk sedapat mungkin meneguhkan hidup rohani mereka justru melalui kegiatan pastoral mereka.

10. (Belajar menghayati selibat imam)

para seminaris, yang menurut ketetapan-ketetapan ritus mereka yang suci dan sudah membaku menganut tradisi terhormat selibat imam, hendaknya dengan tekun dibimbing untuk menghayati status itu. Disitulah mereka merelakan persekutuan suami-isteri demi Kerajaan sorga (bdk. Mat 19:12), menyerahkan diri kepada Tuhan dengan kasih tak terbagi[20] yang sangat sesuai dengan Perjanjian Baru, memberi kesaksian akan kebangkitan di masa mendatang (bdk. Luk 20:36)[21], dan menerima bantuan yang sungguh mencukupi untuk terus menerus mengamalkan cinta kasih sempurna, yang memungkinkan mereka menjadi segalanya bagi semua orang dalam pelayanan imam[22]. Hendaknya para seminaris menyadari secara mendalam, betapa penuh syukur status itu harus diterima, bukan melulu karena diwajibkan oleh Hukum Gereja, melainkan sebagai Kurnia Allah yang amat berharga, yang perlu dimohon dengan rendah hati, dan berkat rahmat Roh Kudus yang membangkitkan serta menyertainya mereka tanggapi segera, dengan kerelaan dan kebesaran hati..

Hendaknya para seminaris memahami semestinya tugas-kewajiban serta martabat perkawinan kristen, yang menghadirkan cinta kasih antara Kristus dan Gereja (lih. Ef 5:32 dsl.). Hendaklah mereka menyadari keluhuran keperawanan yang dikuduskan kepada Kristus[23], sehingga atas pilihan sendiri yang dipertimbangkan masak-masak dan dengan hati yang penuh-penuh bersedia, mereka membaktikan diri kepada Tuhan dengan penyerahan jiwa-raga seutuhnya.

Hendaknya mereka diperingatkan terhadap bahaya-bahaya, yang terutama dimasyarakat zaman sekarang mengancam kemurnian mereka[24]. Dibantu oleh upaya-upaya pelindung yang cocok, baik ilahi maupun manusiawi, hendaknya mereka belajar mengintegrasikan pengorbanan hidup perkawinan sedemikian rupa, sehingga hidup maupun kegiatan mereka bukan saja tidak dirugikan oleh selibat, melainkan mereka justru mencapai pengendalian jiwa raga yang lebih mendalam serta kemajuan kedewasaan yang semakin penuh, dan lebih sempurna menikmati kebahagiaan Injil.

11. (Menuju kedewasaan pribadi)

Hendaknya asas-asas pendidikan kristen dipatuhi dengan saksama, serta dengan cermat dilengkapi dengan penemuan-penemuan mutakhir psikologi dan pedagogi yang sehat. Melalui sistem pendidikan yang disusun dengan bijaksana dalam diri para seminaris perlu ditumbuhkan juga kedewasaan kepribadian yang semestinya, yang terutama ternyata dalam sifat kejiwaan yang stabil, dalam kemampuan mengambil keputusan yang dipertimbangkan, dan dalam cara menilai peristiwa-peristiwa serta orang-orang dengan saksama. Hendaklah para seminaris membiasakan diri untuk mengatur sifat perangai mereka. Hendaknya mereka dibina untuk mencapai keteguhan jiwa, dan pada umumnya belajar menghargai keutamaan-keutamaan, yang dijunjung tinggi oleh orang-orang, serta menimbulkan penghargaan terhadap pelayan Kristus[25], misalnya: kejujuran, usaha tiada hentinya demi keadilan, kesetiaan terhadap janji-janji, sopan-santun dalam perilaku, kesederhanaan dalam berbicara yang disertai cinta kasih.

Tata-tertib kehidupan di Seminari hendaklah dipandang bukan hanya sebagai pelindung yang tangguh bagi hidup bersama dan cinta kasih, melainkan sebagai bagian yang perlu dalam seluruh pendidikan untuk mencapai penguasaan diri, mendukung pendewasaan pribadi yang mantap, dan membentuk disposisi-disposisi jiwa lainnya, yang sangat membantu keserasian dan kesuburan kegiatan Gereja. Tata-tertib itu hendaknya dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga terbentuklah disposisi batin para seminaris untuk menerima kewibawaan para pemimpin berdasarkan keyakinan pribadi atau suara hati (lih. Rom 13:5) serta alasan-alasan adikodrati. Peraturan-peraturan tata-tertib hendaknya diterapkan sesuai dengan umur para seminaris, sehingga mereka sendiri, membiasakan diri untuk menggunakan kebebasan dengan bijaksana, bertindak secara sukarela dan penuh semangat[26], pun juga bekerja sama dengan rekan-rekan sepanggilan dan kaum awam.

Seluruh corak hidup di Seminari, yang diliputi semangat kesalehan dan keheningan serta ditandai rasa terdorong untuk saling membantu, hendaklah diatur sedemikian rupa, sehingga sudah merupakan suatu permulaan kehidupan iman dikemudian hari.

12. (Waktu untuk pembinaan rohani yang lebih intensif; masa pembinaan pastoral)

Supaya dasar pembinaan rohani makin bertambah mantap, dan para seminaris menekuni panggilan mereka berdasarkan pilihan yang dipertimbangkan masak-masak, termasuk kewenangan para Uskuplah menetapkan waktu tertentu bagi pembinaan rohani yang lebih intensif. Termasuk wewenang mereka pula mempertimbangkan kegunaan waktu terluang dalam proses studi, atau masa pembinaan pastoral yang memadai, supaya para calon imam dapat diuji secara lebih saksama. Begitu pula, sesuai dengan situasi masing-masing daerah, termasuk wewenang para Uskup mengambil keputusan tentang pengunduran saat yang sekarang ini ditetapkan oleh Hukum Kanonik umum untuk pentahbisan; begitu pula mempertimbangkan adanya kesempatan, supaya para seminaris, seusai studi teologi, melaksanakan diakonat mereka untuk jangka waktu yang mencukupi, sebelum menerima Tahbisan imam.

 

 

V. PENINJAUAN KEMBALI STUDI GEREJAWI

13. (Studi persiapan untuk studi gerejawi)

Sebelum memulai studi gerejawi yang sesungguhnya, hendaknya para seminaris dibekali dengan pendidikan humaniora dan ilmiah, yang memungkinkan kaum muda menempuh studi tingkat tinggi dalam negeri. Selain itu hendaknya mereka mengetahui pengetahuan bahasa latin, yang memungkinkan mereka memahami dan memanfaatkan sekian banyak sumber ilmu dan dokumen-dokumen Gereja[27]. Hendaklah dipandang perlu studi bahasa liturgi yang khas bagi masing-masing ritus, pun hendaknya sangat dianjurkan pengetahuan bahasa-bahasa Kitab suci dan tradisi.

14. (Studi gerejawi hendaknya lebih diserasikan)

Dalam meninjau kembali studi gerejawi hendaknya yang terutama mau dicapai ialah: supaya vak-vak filsafat dan teologi disusun secara lebih serasi, dan semuanya berpadu secara laras untuk makin menyingkapkan kepada para seminaris Misteri Kristus. Misteri itu menyangkut seluruh sejarah umat manusia, tiada hentinya meresapi Gereja, dan terutama berkarya melalui pelayanan imam[28].

Supaya pandangan itu sejak awal pembinaan tersalurkan kepada para seminaris, hendaknya studi gerejawi dimulai dengan kursus pengantar dalam jangka waktu secukupnya. Pada awal studi itu Misteri Keselamatan hendaknya diuraikan sedemikian rupa, sehingga para seminaris memahami makna, tata-susunan maupun tujuan pastoral studi gerejawi, pun sekaligus dibantu untuk mendasari dan merasuki seluruh hidup mereka dengan iman, serta diteguhkan dalam menghayati panggilan mereka dengan penyerahan diri dan hati gembira.

15. (Peninjauan kembali studi filsafat)

Vak-vak filsafat hendaknya diajarkan sedemikian rupa, sehingga para seminaris pertama-tama diantar untuk mendapat pengertian yang mantap dan koheren tentang manusia, dunia dan Allah, bertumpu pada pusaka filsafat yang tetap berlaku[29]. Sementara itu perlu diindahkan pula penyelidikan-penyelidikan filsafat yang aktual, terutama yang berpengaruh cukup besar dikalangan bangsa mereka sendiri begitu juga kemajuan mutakhir ilmu-pengetahuan. Demikianlah para seminaris akan menangkap dengan cermat mentalitas zaman sekarang, dan menjalani persiapan yang bermanfaat untuk menjalin dialog dengan orang-orang semasa[30].

Sejarah filsafat hendaknya diajarkan sedemikian rupa, sehingga para seminaris menyelami asas-asas terdalam pelbagai sistem, mempertahankan apa yang disitu terbukti benar, mampu menyingkapkan akar-akar anggapan-anggapan yang sesat serta menyanggahnya.

Cara mengajar sendiri hendaklah membangkitkan pada diri murid cinta akan kebenaran, yang harus dicari, dikaji dan dibuktikan melulu menurut kenyataan, sementara batas-batas pengetahuan manusiawi diakui dengan jujur. Hendaknya diperhatikan dengan saksama kaitan yang erat antara filsafat dan masalah-masalah kehidupan yang nyata, begitu pula soal-soal yang sedang mengasyikkan pemikiran para seminaris. Mereka sendiri pun hendaknya ditolong untuk memahami hubungan-hubungan antara penalaran-penalaran filsafat dan misteri-misteri keselamatan, yang dalam teologi ditelaah dalam terang iman yang lebih luhur.

16. (peningkatan studi teologi)

Hendaknya vak-vak teologi diajarkan dalam cahaya iman, di bawah bimbingan Magisterium Gereja[31] sedemikian rupa, sehingga para seminaris dengan saksama menimba ajaran katolik dari perwahyuan ilahi, menyelaminya secara mendalam, menjadikannya bahan renungan untuk meningkatkan hidup mereka[32], serta mampu mewartakan, menguraikan dan mempertahankannya dalam pelayanan dikemudian hari sebagai imam.

Hendaklah para seminaris diajak dengan sungguh tekun mempelajari Kitab suci, yang bagaikan harus menjiwai seluruh teolog[33]. Sesudah mendapat pengantar secukupnya, hendaknya mereka dengan cermat diperkenalkan dengan metode menafsirkan Kitab suci. Hendaklah mereka mendalami tema-tema perwahyuan ilahi yang paling mendasar, dan dalam membaca serta merenungkan Kitab suci setiap hari mengalami, betapa hidup rohani mereka didorong dan diperkaya[34].

Hendaknya teologi dogmatik diuraikan secara terencana, dimulai dengan penyajian tema-tema kitabiah. Hendaklah dipaparkan kepada para seminaris apa saja yang disumbangkan oleh para Bapa Gereja Timur maupun Barat, untuk dengan setia menyalurkan dan mengulas kebenaran-kebenaran Wahyu secara rinci; begitu pula sejarah dogma selanjutnya, seraya diperhatikan hubungannya dengan sejarah umum Gereja[35]. Kemudian, untuk seutuhnya mungkin membahas misteri-misteri keselamatan, hendaklah para seminaris belajar menyelaminya secara makin mendalam melalui refleksi teologis berpaduan S. Tomas, serta memahami antar hubungannya[36]. Hendaknya mereka diajar menyadari, bahwa misteri-misteri itu senantiasa hadir dan berkarya dalam upacara-upacara Liturgi[37] dan dalam seluruh hidup Gereja. Begitu pula hendaklah mereka belajar memecahkan soal-soal manusiawi dalam terang Wahyu, menerapkan kebenaran-kebenarannya yang kekal pada situasi manusiawi yang silih-berganti, dan mewartakannya kepada sesama semasa dengan cara yang sesuai[38].

Demikian pula hendaklah vak-vak teologi lainnya diperbaharui melalui kontak yang lebih hidup dengan Misteri Kristus dan sejarah keselamatan. Secara khas hendaklah diusahakan penyempurnaan teologi moral. Hendaknya itu diuraikan secara ilmiah, lebih mengacu kepada ajaran Kitab suci, sehingga sungguh menjelaskan keluhuran panggilan umat beriman dalam Kristus serta kewajiban mereka untuk demi kehidupan dunia menghasilkan buah dalam cinta kasih. Begitu pula dalam penjelasan tentang Hukum Kanonik dan penyampaian sejarah gereja hendaknya diperhatikan hubungan dengan Misteri gereja, menurut Konstitusi dogmatis tentang Gereja, yang telah dimaklumkan oleh Konsili ini. Liturgi suci harus dipandang sebagai sumber utama yang sungguh perlu bagi semangat kristen yang sejati, dan diajarkan seturut maksud Konstitusi tentang Liturgi, artikel 15 dan 16[39].

Sementara dipertimbangkan situasi perlbagai daerah yang serba aneka, hendaknya para seminaris diajak makin mengenal Gereja-Gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi yang terpisah dari Takhta Apostolik di Roma, supaya mereka mampu menyumbangkan jasa mereka demi semakin tercapainya pemulihan kesatuan antara semua orang kristen menurut ketetapan-ketetapan Konsili ini[40].

Begitu pula hendaknya para seminaris diajak makin memahami agama-agama lain, yang cukup tersebar dimasing-masing daerah, supaya mereka lebih mengenali kebaikan serta kebenaran, yang berkat penyelenggaraan Allah terdapat pada agama-agama itu, belajar menyanggah kesesatan-kesesatan, dan dapat menyalurkan kepenuhan cahaya kebenaran kepada mereka yang belum menikmatinya.

17. (Metode pendidikan yang cocok dalam pelbagai vak)

Pendidikan intelektual janganlah melulu bertujuan menyampaikan pengetahuan-pengetahuan saja, melainkan hendaknya diarahkan kepada pembinaan pada seminaris yang sejati dan mendalam. Oleh karena itu hendaknya metode-metode pendidikan ditinjau kembali, baik mengenai kuliah-kuliah, wawancara dan latihan-latihan, maupun mengenai cara menggairahkan studi para seminaris, baik pribadi maupun dalam kelompok-kelompok kecil. Hendaknya sungguh-sungguh diusahakan kesatuan dan mutu seluruh pendidikan, dengan menghindari jumlah terlampau besar vak-vak maupun kuliah-kuliah, dan mengesampingkan masalah-masalah, yang praktis tidak relevan lagi, atau yang termasuk studi akademis lebih tinggi.

18. (Studi khusus bagi mereka yang berbakat tinggi)

Termasuk tugas para Uskup mengusahakan, supaya orang-orang muda, yang menilik sifat-perangai, keutamaan serta tingkat kecerdasan mereka memang cocok, diutus ke lembaga-lembaga, fakultas-fakultas atau universitas-universitas, agar diberbagai bidang teologi dan dalam ilmu pengetahuan lainnya yang dipandang sungguh berguna, disiapkan imam-imam yang dengan menempuh pendidikan ilmiah yang lebih mendalam mampu memenuhi pelbagai kebutuhan kerasulan. Tetapi hendaklah pembinaan rohani dan pastoral mereka, terutama sebelum tahbisan imam, jangan diabaikan.

IV. PEMBINAAN PASTORAL

19. (pembinaan dalam pelbagai bentuk reksa pastoral)

Keprihatinan pastoral mendalam, yang harus merasuki seluruh pendidikan para seminaris[41], meminta juga supaya mereka dibina dengan tekun dalam segala sesuatu, yang secara khs menyangkut pelayanan imam, terutama katekese dan pewartaan, ibadat Liturgi dan pelayanan Sakramen-Sakramen, karya cinta kasih, tugas menghadapi mereka yang sesat dan tidak percaya, dan tugas-tugas pastoral lainnya. Hendaknya mereka dididik dengan saksama untuk memberi bimbingan rohani, supaya mereka mampu membina semua putera-puteri Gereja terutama untuk penuh kesadaran menghayati hidup kristen berjiwakan kerasulan, dan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban status hidup mereka. Hendaknya para seminaris belajar dengan perhatian sebesar itu juga membantu para religius pria maupun wanita, supaya mereka tetap hidup dalam rahmat panggilan mereka, dan berkembang menurut spiritualitas pelbagai Tarekat mereka[42].

Pada umumnya hendaknya dalam diri seminaris dikembangkan kecakapan-kecakapan yang diperlukan untuk berdialog dengan sesama, misalnya: kemampuan untuk mendengarkan orang lain, dan untuk dalam semangat cinta kasih membuka hati bagi bermacam-macam segi kebutuhan manusia[43].

20. (Pembinaan untuk mengembangkan kerasulan)

Hendaknya para seminaris juga diajar memanfaatkan sumbangan yang dapat diberikan oleh ilmu-ilmu pedagogi, psikologi dan sosiologi[44], menganut metode-metode yang tepat dan norma-norma Pimpinan Gereja. Begitu pula hendaklah mereka disiapkan dengan cermat untuk membangkitkan dan menggairahkan kerasulan awam[45], begitu pula untuk mengembangkan aneka bentuk kerasulan yang lebih efektif. Hendaknya mereka diresapi semangat katolik yang sejati, sehingga mereka membiasakan diri untuk melampaui batas-batas keuskupan, bangsa maupun ritus, dan membantu memenuhi kebutuhan-kebutuhan seluruh Gereja, dengan hati yang siap-sedia untuk dimana-mana mewartakan Injil[46].

21. (Melatih diri melalui praktek pastoral)

Memang perlulah para seminaris tidak hanya secara teoritis mempelajari cara merasul, melainkan melatihnya juga secara praktis, dan mampu bertindak atas tanggung jawab sendiri serta bekerja sama. Oleh karena itu sejak mereka menempuh studi, juga pada waktu liburan, hendaknya mereka diajak menjalani praktek pastoral melalui latihan-latihan yang tepat guna. Latihan-latihan itu harus dijalankan dengan mengindahkan umur para seminaris dan situasi setempat, menurut kebijakan para Uskup, secara metodis, dan dibawah bimbingan mereka yang mahir dibidang pastoral. Sementara itu hendaknya tetap disadari, bahwa upaya-upaya adikodrati masih lebih diperlukan lagi[47].

VII. PEMBINAAN SEUSAI MASA STUDI

22. Terutama mengingat situasi masyarakat akhir-akhir ini, pembinaan imam juga seusai kurikulum studi di Seminari masih perlu dilanjutkan dan disempurnakan[48]. Maka termasuk wewenang Konferensi uskup, untuk disetiap negara mengerahkan upaya-upaya yang cukup berfaedah, misalnya lembaga-lembaga pastoral yang bekerja sama dengan paroki-paroki tertentu yang dipilih dengan saksama, pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan secara berkala, dan latihan-latihan yang sesuai. Hendaknya dengan upaya-upaya itu klerus angkatan muda lambat-laun diajak menghayati imamat serta kegiatan merasul dalam dimensinya rohani, intelektul serta pastoral, dan dengan demikian makin mampu membaharui dan mengembangkannya.

PENUTUP

Untuk meneruskan karya yang telah dimulai oleh Konsili Trento, para Bapa Konsili ini, – sambil penuh kepercayaan menyerahkan kepada para pembina dan para dosen di Seminari-seminari tugas untuk mendidik para calon imam Kristus dalam semangat pembaharuan yang didukung oleh Konsili ini, – dengan sangat mendorong mereka, yang menyiapkan diri untuk pelayanan imam, supaya mereka sungguh menyadari, bahwa merekalah yang menjadi tumpuan harapan gereja serta keselamatan sesama. Semoga mereka dengan rela hati menyambut pedoman-pedoman yang tercantum dalam Dekrit ini, dan memperbuahkan hasil yang lestari dan berlimpah-limpah.

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] Atas kehendak Kristus sendiri perkembangan segenap Umat Allah banyak sekali tergantung dari pelayanan para imam. Itu jelas dari sabda Tuhan, yang menjadikan Rasul-rasul serta para pengganti mereka beserta rekan-rekan kerja pewarta Injil, pemimpin umat baru yang terpilih, dan pelayan misteri-misteri Allah. Kenyataan itu masih dikukuhkan juga oleh ungkapan-ungkapan para Bapa Gereja dan para Kudus, begitu pula dari pelbagai ajaran para paus. Lih terutama : S. PIUS X, hlm. 236-264. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28(1936) terutama hlm. 37-52. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 657-702. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 545-579. – PAULUS VI, Surat apostolik, Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 979-995.

[2] Seluruh pembinaan imam, yakni tata-laksana Seminari, pembinaan rohani, peraturan studi, hidup bersama para seminaris dan tata-tertib, latihan-latihan pastoral, harus disesuaikan dengan pelbagai situasi setempat. Penyesuaian itu mengenai asas-asasnya yang utama harus dijalankan menurut norma-norma umum, bagi klerus diosesan oleh Konferensi-Konferensi Uskup, dan dengan cara yang serupa bagi para imam religius oleh para Pemimpin yang berwenang. Lih. Ketetapan-ketetapan umum yang dilampirkan pada Konstitusi apostolik Sedes Sapientae, art. 19.

[3] Diantara kesukaran-kesukaran pokok yang menimpa Gereja zaman sekarang, hampir di mana-mana yang paling penting ialah sedikitnya panggilan imam. – Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: “… jumlah imam baik di daerah-daerah katolik, maupun di daerah-daerah misi, kebanyakan tidak mencukupi untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang bertubi-tubi”: AAS 42 (1950) hlm. 682. – YOHANES XXIII: “Masalah panggilan gerejawi dan religius merupakan keprihatihatinan sehari-hari bagi Paus …; itulah jeritan doanya, itu pula aspirasi jiwanya yang membara” (dari Amanat kepada Kongres Internasional I tentang panggilan hidup religius, tgl. 16 Desember 1961: L’Osservatore Romano, tgl. 17 Desember 1961).

[4] PIUS XII, Konstitusi apostolik Sedes sapientiae, tgl. 31 mei 1956: AAS 48 (1956) hlm. 357. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 984 dan selanjutnya.

[5] Lih. Terutama : PIUS XII, Motu Proprio Cum nobis, tentang “didirikannya Karya Kepausan untuk Panggilan Imam pada kongregasi untuk Seminari dan Universitas”, tgl. 4 November 1941: AAS 33 (1941) hlm. 479; dilampiri Ketetapan-Ketetapan dan norma-norma yang diumumkan oleh Kongregasi itu pada tgl. 8 September 1943. – Motu proprio Cum supremae, tentang “Karya Kepausan untuk Panggilan Religius”, tgl. 11 februari 1955: AAS 47 (1955) hlm. 266; dilampiri Ketetapan-ketetapan dan norma-norma yang diumumkan oleh Kongregasi untuk para Religius (ibid., hlm. 298-301). – KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius, art. 24. – Dekrit tentang Tugas Pastoral para Uskup dalam gereja, art. 15.

[6] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 685.

[7] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja art. 28.

[8] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad Catholici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 37: “Pertama-tama hendaklah para pembimbing serta dosen-dosen dipilih dengan saksama … Berilah kepada Seminari-Seminari anda imam-imam yang terbaik. Janganlah berkeberatan membebaskan mereka dari tugas-tugas, yang nampaknya saja memang lebih penting, tetapi sungguh tiada dapat dibandingkan dengan karya mahapenting, yang tak dapat digantikan itu”. Surat apostolik kepada Ordinaris di Brasilia, tgl. 23 April 1947, Discorsi e Radiomessagi IX, hlm. 579-580.

[9] Tentang kewajiban umum membantu Seminari-seminari lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963)hlm. 984.

[10] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 684. – Bdk. Kongregasi untuk Sakramen-Sakramen, Surat edaran Magna equidem kepada para Ordinaris, tgl. 27 Desember 1935, no. 10. – Untuk para Religius: lih. Statula Generalia (ketetapan-ketetapan umum) yang dilampirkan pada Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae, tgl. 31 Mei 1956, art. 33. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 987 dan selanjutnya.

[11] Lih. PIUS XI, Ensiklik Ad Catolici Sacerdotii, tgl. 20 Desember 1935: AAS 28 (1936) hlm. 41.

[12] Ditetapkan, supaya dalam menentukan Anggaran Dasar Seminari-Seminari regional maupun nasional semua Uskup yang berkepentingan berperan serta; dengan demikian ketentuan Kitab Hukum Kanonik kanon 1357, butir 4, ditiadakan.

[13] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 674. – KONGREGASI UNTUK SEMINARI DAN UNIVERSITAS, LA Formazione spirituale del candidato al sacerdotio (Pembinaan rohani calon imam), Citta del Vaticano 1965.

[14] Lih. S. PIUS X, Amanat kepada klerus katolik Haerent animo, tgl. 4 Agustus 1908: S. Pii X Acta, IV, hlm. 242-244. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950) hlm. 659-661. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii nostri Primordia, tgl. 1 Agustus 1959: AAS 51 (1959) hlm. 550 dan selanjutnya.

[15] Lih. PIUS XII, Ensiklik Mediator Dei, tgl. 20 November 1947: AAS 39 (1947) hlm. 547 dan selanjutnya, dan 572 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Anjuran apostolik Sacrae Laudis, tgl. 6 Januari 1962: AAS 54 (1962) hlm. 69. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 16 dan 17. – KONGREGASI IBADAT, Instructio ad axecutionem Constitutionis de Sacra Liturgia recte ordinandam (Instruksi untuk mengatur pelaksanaan Konstitusi tentang Liturgi), tgl. 26 September 1964, no. 14-17: AAS 56 (1964) hlm. 880 dan selanjutnya.

[16] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia: AAS (1959) hlm. 550 dan selanjutnya.

[17] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 28.

[18] S. AGUSTINUS, Komentar pada Injil Yohanes 32,8: PL 35, 1646.

[19] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae, AAS 42 (1950) hlm. 662 dan selanjutnya, 685, 690. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotii Nostri primordia: AAS 51 (1959) hlm. 551-553; 556 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, Tgl 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 634 dan selanjutnya. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Gereja, terutama art. 8.

[20] Lih. PIUS XII, Ensiklik Sacra Virginitas, tgl. 25 Maret 1954: AAS 46 (1954) hlm. 165 dan selanjutnya.

[21] Lih. S. SIPRIANUS, De habitu virginum (tentang sikap para perawan), 22: PL 4,475. – S. AMBROSIUS, De virginibus (tentang para perawan) I,8,52: PL 16,202 dan selanjutnya.

[22] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950), hlm. 663.

[23] Lih. PIUS XII, Ensiklik Sacra Virginitas: AAS 46 (1954)hlm. 170-174.

[24] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 663.

[25] Lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum, tgl. 4 November 1963: AAS 55 (1963) hlm. 991.

[26] Lih. PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 686.

[27] Lih. PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum: AAS 55 (1963) hlm. 993.

[28] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 7 dan 28.

[29] Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 571-575.

[30] Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 637 dan selanjutnya.

[31] Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 567-569. – Amanat Si diligis, tgl. 31 Mei 1954: AAS 46 (1954) hlm. 314 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Amanat di Universitas Kepausan Gregoriana, tgl. 12 maret 1964: AAS 56 (1964) hlm. 364 dan selanjutnya. – KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 25.

[32] Lih. S. BONAVENTURA, Itinerarium mentis in Deum (perjalanan jiwa menuju Allah), pembukaan, no. 4: “Janganlah seorangpun percaya, seakan-akan baginya sudah cukuplah bacaan tanpa pengurapan, permenungan tanpa sikap bakti, penyelidikan tanpa rasa kagum, sikap hati-hati tanpa kegembiraan, ketekunan tanpa kesalehan, pengetahuan tanpa cinta kasih, pemahaman tanpa kerendahan hati, usaha tanpa rahmat ilahi, terang tanpa kebijaksanaan yang diilhami oleh Allah”, Opera Omnia, V, Quaracchi 1891, hlm. 296.

[33] Lih. LEO XIII, Ensiklik Providentissimus Deus, tgl. 18 November 1893: AAS 26 (1893-94) hlm. 283.

[34] Lih. KOMISI KITAB SUCI, Instructio de Sacra Scriptura recte docenda, tgl. 13 Mei 1950: AAS 42 (1950) hlm. 502.

[35] Lih. PIUS XII, Ensiklik Humani generis, tgl. 12 Agustus 1950: AAS 42 (1950) hlm. 568 dan selanjutnya: “… karena sumber-sumber kudus dipelajari, ilmu-ilmu selalu mengalami peremajaan. Sebaliknya penalaran, yang mengabaikan penyelidikan perbendaharaan iman yang lebih mendalam menurut pengalaman menjadi mandul”.

[36] Lih. PIUS XII, Amanat kepada para Seminaris, tgl. 24 Juni 1939: AAS 31 (1939) hlm. 247: “Dengan menganjurkan ajaran S. Tomas gairah … untuk mencari dan menyiarkan kebenaran tidak dikekang, melainkan justru dibangkitkan dan dituntun dengan aman”. – PAULUS VI, Amanat di Universitas Gregoriana, tgl. 12 Maret 1964: AAS 56 (1964) hlm. 365: “Hendaknya (para dosen) … penuh hormat mendengarkan suara para Pujangga Gereja, antara lain Tomas Akuino yang menduduki tempat utama. Sebab Pujangga bagaikan malaikat itu begitu unggul kecerdasannya, begitu tulus cintanya akan kebenaran, begitu menonjol kearifannya dalam menelusuri kebenaran-kebenaran yang terdalam, dalam menguraikannya dan memadukannya menjadi satu keutuhan yang serasi, sehingga ajarannya merupakan upaya yang efektif sekali, bukan hanya untuk melindungi dasar-dasar iman, melainkan juga untuk dengan banyak manfaat dan aman memetik buah-hasil kemajuan yang sehat”. – Lih. Juga Amanat pada Kongres Internasional tentang Tomisme ke VI, tgl. 10 September 1965.

[37] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi, art. 7 dan 16.

[38] Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesian suam, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 640 dan selanjutnya.

[39] KONSILI VATIKAN II, konstitusi tentang Liturgi, art. 10, 14, 15, 16. – KONGREGASI IBADAT, Instructio ad excecutionem Constitutionis de Sacra Liturgi recte ordinandam, tgl. 26 September 1964, no. 11 dan 12: aas 56 (1964) hlm. 879 dan selanjutnya.

[40] Lih. KONSILI VATIKAN II, Dekrit tentang Ekumenisme, art. 1, 9, 10.

[41] Citra gembala yang sempurna dapat dijabarkan dalam dokumen-dokumen para paus terakhir, yang secara eksplisit membahas kehidupan, sifat-perangai, pembinaan imam; terutama : S. PIUS X, Anjuran kepada klerus Haerent animo: S. pii X Acta IV, hlm. 327 dan selanjutnya. – PIUS XI, Ensiklik Ad catholici Sacerdotii: AAS 28 (1936) hlm. 5 dan selanjutnya. – PIUS XII, Anjuran apostolik Menti Nostrae: AAS 42 (1950) hlm. 657 dan selanjutnya. – YOHANES XXIII, Ensiklik Sacerdotti Nostri primordia: AAS 51 (1959) hlm. 545 dan selanjutnya. – PAULUS VI, Surat apostolik Summi Dei Verbum: AAS 55 (1963) hlm. 979 dan selanjutnya. – Tentang pembinaan pastoral banyak pula ditemukan dalam Ensiklik Mystici Corporis (1943), Mediator Dei (1947), Evangelii Praecones (1951), Sacra Virginitas (1954), Musicae Sacrae Disciplina (1955), Princeps Pastorum (1959), dan Konstitusi apostolik Sedes Sapientiae (1956) untuk para religius. – PIUS XII, YOHANES XXIII dan PAULUS VI dalam amanat-amanat mereka kepada para seminaris dan imam-imam sering pula melukiskan citra gembala yang baik.

[42] Tentang pentingnya status hidup, yang didasarkan pada pengikraran nasehat-nasehat Injil: Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, bab VI; Dekrit tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius.

[43] Lih. PAULUS VI, Ensiklik Ecclesiam Suam, tagl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) seringkali, terutama hlm. 635 dan selanjutnya, dan 640 dan selanjutnya.

[44] Lih. terutama YOHANES XXIII, Ensiklik Mater et Magistra, tgl. 15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 401 dan selanjutnya.

[45] Lih. terutama KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 33.

[46] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi dogmatis tentang Gereja, art. 17.

[47] Banyak sekali dokumen para Paus, yang mengingatkan akan bahaya mengabaikan tujuan adikodrati dalam kegiatan pastoral, serta setidak-tidaknya secara praktis meremehkan bantuan-bantuan adikodrati. Lih. terutama dokumen-dokumen yang tercantum dalam catatan kaki 41.

[48] Dokumen-dokumen Takhta suci akhir-akhir ini mendesak, supaya para imam-imam baru diperhatikan secara istimewa. Terutama baiklah disebut: PIUS XII, Motu Proprio Quandoquidem, tgl. 2 April 1949: AAS 41 (1949) hlm. 165-167; Anjuran apostolik Menti Nostrae, tgl. 23 September 1950: AAS 42 (1950); Konstitusi apostolik (untuk para religius) Sedes Sapientiae, tgl 31 Mei 1956, dan Ketetapan-ketetapan umum yang dilampirkan; Amanat kepada para imam pada Pertemuan di Barcelona, tgl. 14 Juni 1957: Discorsi e Radiomesagi, XIX, hlm. 271-273. – PAULUS VI, Amanat kepada para imam tarekat Gian Matteo Giberti di keuskupan Verona, tgl. 13 Maret 1964.

 

Perfectae Caritatis (PC)

0

DEKRIT TENTANG PEMBAHARUAN DAN PENYESUAIAN HIDUP RELIGIUS

PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

1. Pendahuluan

Dalam Konstitusi yang diawali dengan kata-kata “Terang para bangsa” Konsili suci telah menunjukkan, bahwa usaha menuju CINTA KASIH SEMPURNA melalui nasehat-nasehat Injil bersumber pada ajaran maupun teladan Sang Guru ilahi, dan nampak bagaikan tanda cemerlang Kerajaan sorga. Namun sekarang Konsili bermaksud menguraikan perihidup dan tata-tertib tarekat-tarekat, yang para anggotanya mengikrarkan kemurnian, kemiskinan serta ketaatan, dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan mereka, menurut tuntutan zaman kita sekarang.

Adapun sejak awal mula Gereja terdapat pria dan wanita, yang dengan mengamalkan nasehat-nasehat Injil bermaksud mengikuti Kristus secara lebih bebas, dan meneladan-Nya dengan lebih setia. Dengan cara mereka masing-masing mereka menghayati hidup yang dibaktikan kepada Allah. Diantara mereka banyaklah yang atas dorongan Roh Kudus hidup menyendiri atau mendirikan keluarga-keluarga religius. Dengan kewibawaannya Gereja dengan suka hati menyambut dan menyetujui cara hidup mereka. Maka berkat rencana ilahi berkembanglah keanekaan kelompok-kelompok religius yang menakjubkan. Itu semua sangat membantu Gereja, untuk tidak hanya diperlengkapi bagi setiap amal baik (lih 2Tim 3:17) dan siap siaga menjalankan karya pelayanan untuk membangun Tubuh Kristus (lih. Ef 4:12); melainkan juga supaya berkat pelbagai kurnia para puteranya, Gereja nampak berhias, seperti pengantin berdandan bagi suaminya (lih. Why 2:2), dan melalui Gereja makin nyatalah kebijaksanaan Allah yang bermacam-ragam (lih. Ef 3:10).

Tetapi dalam keaneka-ragaman kurnia-kurnia yang sekaya itu semua, yang dipanggil oleh Allah untuk mengamalkan nasehat-nasehat Injil serta dengan setia menghayatinya, secara istimewa membaktikan diri kepada Tuhan, seraya mengikuti Kristus, yang dalam keperawanan serta kemiskinan-Nya (lih. Mat 8:20; Luk 9:58) telah menebus dan menguduskan manusia dengan taat sampai di salib (lih. Flp 2:8). Demikianlah terdorong oleh cinta kasih, yang oleh Roh Kudus dicurahkan ke dalam hati mereka (lih. Rom 5:5), mereka semakin hidup bagi Kristus serta Tubuh-Nya, yakni Gereja (lih. Kol 1:24). Jadi semakin penuh mereka dihubungkan dengan Kristus karena penyerahan diri yang merangkum seluruh hidup mereka, semakin melimpah pula kehidupan Gereja dan semakin bersemangat serta subur pula kerasulannya.

Tetapi supaya Gereja mendapat manfaat lebih besar dari nilai luhur hidup bakti melalui ikrar nasehat-nasehat itu pun dari perannya yang dalam situasi zaman sekarang memang perlu, Konsili suci ini menetapkan pokok-pokok berikut, yang melulu menyangkut azas-azas umum untuk dengan cara yang sesuai membaharui hidup dan tata-tertib lembaga-lembaga hidup religius, begitu pula – dengan mempertahankan coraknya sendiri – serikat-serikat hidup bersama tanpa kaul-kaul dan institut-institut sekular. Adapun kaidah-kaidah khusus untuk menjabarkan dan menerapkannya dengan baik harus ditetapkan sesudah Konsili oleh pimpinan yang berwenang.

2.  Azas-azas umum untuk mengadakan pembaharuan yang sesuai

Pembaharuan hidup religius yang sesuai sekaligus merangkum pengacuan terus-menerus kepada sumber-sumber seluruh hidup kristiani serta inspirasi tarekat-tarekat yang mula-mula dan menyesuaikannya dengan kenyataan zaman yang sudah berubah. Atas dorongan Roh Kudus dan di bawah bimbingan Gereja pembaharuan itu hendaknya dikembangkan menurut azas-azas berikut :

a) Tolak ukur terakhir hidup religius ialah mengikuti Kristus menurut Injil. Maka semua tarekat hendaknya memandang itu sebagai pedoman tertinggi.

b) Akan bermanfaat bagi Gereja, bila tarekat-tarekat mempunyai corak serta perannya yang khas. Maka hendaknya diakui dan dipelihara dengan setia semangat para Pendiri serta maksud-maksud mereka yang khas, begitu pula tradisi-tradisi yang sehat, yang kesemuanya merupakan pusaka warisan setiap tarekat.

c) Semua tarekat hendaklah ikut serta dalam kehidupan Gereja. Maka – dengan mengindahkan coraknya sendiri – hendaklah melibatkan diri dalam prakarsa-prakarsa serta rencana-rencana Gereja dan ikut mengembangkannya menurut kemampuannya, misalnya di bidang Kitab suci, Liturgi, teologi dogmatik, pastoral, ekumene, misioner dan sosial.

d) Hendaknya tarekat-tarekat mengembangkan pada para anggotanya pengertian yang memadai tentang kenyataan orang-orang pada zamannya pun juga tentang kebutuhan-kebutan Gereja; maksudnya supaya dengan demikian mereka mampu menilai dalam terang iman dan dengan bijaksana kenyataan dunia zaman sekarang, dan dikobarkan oleh semangat kerasulan mampu menilai dalam terang iman dan dengan bijaksana kenyataan dunia zaman sekarang, dan di kobarkan oleh semangat kerasulan mampu membantu orang-orang secara lebih tepat guna.

e) Tujuan hidup religius pertama-tama yakni: supaya para anggotanya mengikuti Kristus dan dipersatukan dengan Allah melalui pengikraran nasehat-nasehat Injil. Maka perlu dipertimbangkan dengan serius, bahwa penyesuaian-penyesuain yang sebaik mungkin dengan kebutuhan-kebutuhan zaman kita sekarang pun tidak akan memperbuahkan hasil, bila tidak dijiwai oleh pembaharuan rohani. Hendaknya pembaharuan (rohani itu dalam pengembangan karya-karya diluarpun selalu diutamakan.

3. Norma-norma praktis pembaharuan yang disesuaikan

Hendaknya penataan hidup, doa dan karya dimana-mana, terutama didaerah-daerah misi, sungguh sesuai dengan keadaan fisik dan psikis para anggota zaman sekarang, begitu pula – seperti dituntut oleh corak masing-masing tarekat – selaras dengan kebutuhan-kebutuhan kerasulan, tuntutan-tuntutan kebudayaan, situasi sosial ekonomi.

Maka dari itu konstitusi, direktorium, buku-buku kebiasaan, doa-doa dan upacara-upacara serta buku-buku lain sebagainya hendaknya ditinjau kembali menurut pedoman tadi, dan di selaraskan dengan dokumen-dokumen Konsili suci ini, sementara peraturan-peraturan yang sudah usang ditiadakan.

4. Mereka yang harus melaksanakan pembaharuan

Pembaharuan tak mungkin sungguh berhasil, begitu pula penyesuaian tidak dapat berlangsung dengan tepat, tanpa kerja sama semua anggota tarekat.

Adapun yang bertugas menentukan kaidah-kaidah pembaharuan yang disesuaikan serta menetapkan hukum-hukumnya, begitu pula membuka ruang bagi pengalaman yang memadai dan bijaksana, hanyalah para pimpinan yang berwenang, terutama kapitel umum, sejauh perlu disertai persetujuan Takhta suci atau Uskup setempat, menurut kaidah hukum. Sedangkan para pemimpin hendaknya dalam hal-hal, yang menyangkut keadaan seluruh tarekat, dengan cara yang tepat meminta nasehat para anggota dan mendengarkan mereka.

Untuk pembaharuan biara-biara para rubiah yang sesuai, saran-saran dan keputusan-keputusan akan dapat diperoleh juga dari sidang-sidang persekutuan atau dari pertemuan-pertemuan lainnya yang diundang secara sah.

Tetapi semua hendaknya ingat, bahwa terwujudnya pembaharuan harus lebih diharapkan dari penghayatan pedoman-pedoman serta konstitusi yang lebih seksama dari pada penambahan hukum-hukum.

5. Unsur-unsur yang umum pada pelbagai bentuk hidup religius

para anggota tarekat mana pun juga hendaknya mengingat, bahwa mereka pertama-tama telah menanggapi panggilan Allah dengan mengikrarkan nasehat-nasehat Injil, sehingga mereka tidak hanya mati bagi dosa (lih. Rom 6:11), melainkan dengan mengingkari dunia hidup bagi Allah semata-mata. Sebab seluruh hidup telah mereka baktikan untuk mengabdi kepada-Nya. Dan itu merupakan suatu penyucian istimewa, yang secara mendalam berakar dalam penakdisan baptis dan mengungkapkannya secara lebih utuh.

Karena penyerahan diri itu telah diterima oleh Gereja, maka hendaknya mereka menyadari kewajiban mereka mengabdi kepada-Nya. Pengabdian kepada Allah itu harus kuat-kuat mendorong mereka untuk mengamalkan keutamaan-keutamaan dan mengembangkannya, terutama kerendahan hati dan ketaatan, kekuatan dan kemurnian, yang berarti keikut-sertaan mereka dalam pengosongan diri kristus (lih. 2:7-8) pun juga dalam kehidupan-Nya dalam Roh (lih. Rom 8:1-13).

Jadi hendaknya para religius tetap setia kepada kaul-kaul yang mereka ikrarkan, mengiklaskan segala sesuatu demi kristus (lih. Mrk 10:28), dan mengikutinya sebagai satu-satunya yang perlu (lih. Luk 10:42; Mat 19:210), seraya mendengarkan sabda-Nya (lih. Luk 10:39) dan memusatkan perhatiannya pada perkara tuhan (lih. 1Kor 7:32).

Maka dari itu para anggota setiap tarekat hendaklah mencari Allah satu-satunya dan diatas segalanya. Mereka wajib memadukan kontemplasi, yang membuat mereka berpaut pada-Nya dengan budi dan hati, dengan cinta kasih kerasulan, yang menjiwai usaha mereka menggabungkan diri pada karya Penebusan dan menyebarluaskan Kerajaan Allah.

6. Hidup rohani harus diutamakan

Barang siapa mengikrarkan nasehat-nasehat Injil, hendaklah di atas segala sesuatu mencari dan mencintai Allah, yang pertama-tama telah mencintai kita (lih. 1Yoh 4:10). Dalam segala situasi hendaknya mereka berusaha mengembangkan kehidupan yang bersama Kristus tersembunyi dalam Allah (lih. Kol 3:3), yang menjadi sumber serta dorongan untuk mencintai sesama demi keselamatan dunia dan pembangunan Gereja. Pengamalan nasehat-nasehat injil sendiri dijiwai dan dikuasai juga oleh cinta kasih itu.

Maka dari itu para anggota tarekat-tarekat hendaknya memelihara semangat doa dan doa sendiri, sambil dengan tekun menimba dari sumber-sumber spriritualitas kristiani yang asli. Pertama-tama hendaklah mereka setiap hari siap mengambil Kitab suci, untuk dengan membaca kitab-kitab kudus yang lebih mulia dari segalanya” (Flp 3:8). Hendaknya mereka sesuai dengan maksud Gereja merayakan Liturgi suci dengan hati dan bibir, terutama misteri Ekaristi suci, dan dari sumber yang kaya melimpah itu memupuk hidup rohani mereka.

Demikianlah, sesudah disegarkan pada meja perjamuan Hukum ilahi dan altar yang suci, hendaklah mereka mengasihi para anggota Kristus sebagai saudara, dan dengan sikap Putera menghormati serta mengasihi para gembala. Hendaklah mereka semakin hidup dan secita-rasa dengan gereja, dan membaktikan diri seutuhnya kepada perutusannya.

7. Tarekat-tarekat yang seutuhnya terarah kepada kontemplasi

Tarekat-tarekat yang seutuhnya terarah kepada kontemplasi, sehingga para anggotanya – betapapun mendesaknya kebutuhan akan kerasulan yang aktif – dalam kesunyian dan dengan berdiam diri, dalam doa yang tekun dan ulah tapa penuh semangat mempersembahkan segenap waktu mereka kepada Allah, selalu memainkan peran yang mulia dalam Tubuh Mistik Kristus, yang “anggotanya tidak semua mempunyai tugas yang sama” (Rom 12:4). Sebab mereka mempersembahkan korban pujian yang istimewa kepada Allah, menerangi Umat Allah dengan buah-buah kesucian yang melimpah serta menggerakkannya dengan teladan mereka, lagi pula mengembangkannya dengan kesuburan kerasulan yang rahasia. Begitulah mereka menjadi seri-semarak Gereja dan pancaran rahmat sorgawi. Tetapi cara hidup mereka hendaklah ditinjau kembali menurut azas-azas serta kaidah-kaidah pembaharuan yang sesuai seperti telah disebutkan, namun dengan tetap mempertahankan penuh hormat penyendirian mereka dari dunia dan latihan-latihan khas hidup kontemplatif.

8. Tarekat-tarekat yang bertujuan kerasulan

Dalam Gereja terdapat banyak sekali tarekat, yang beranggotakan imam-imam atau awam melulu, dan membaktikan diri dalam pelbagai karya kerasulan. Menurut rahmat yang diberikan kepada mereka, tarekat-tarekat itu dianugerahi kurnia yang bermacam-ragam: jika itu kurnia pengabdian, mereka melayani; bila kurnia ajaran, mereka mengajar; jika kurnia untuk menasehati, mereka memberi nasehat; siapa yang memberi, melakukannya dengan iklas; barang siapa mengamalkan belas kasihan, menjalankannya dengan gembira (lih. Rom 12:5-8). Memang “ada beraneka-macam kurnia, tetapi hanya satu Roh” (1Kor 12:4).

Dalam terakat-tarekat itu hendaknya dengan hidup religius sendiri mencakup kegiatan merasul dan beramal kasih, sebagai pelayan suci dan karya cinta-kasih khusus, yang oleh Gereja di percayakan kepada mereka, dan harus dilaksanakan atas nama Gereja. Oleh karena itu seluruh hidup religius para anggota diresapi semangat merasul, sedangkan segenap kegiatan merasul dijiwai oleh semangat religius. Maka supaya para anggota terutama menanggapi panggilan mereka untuk mengikuti Kristus, dan melayani Kristus sendiri dalam para anggota-Nya, kegiatan mereka merasul harus memancar dari harus memancar dari persatuan mesra dengan-Nya, kegiatan mereka merasul harus memancar dari persatuan mesra dengan-Nya. Demikianlah didukung perkembangan cinta kasih sendiri akan Allah dan akan sesama.

Maka tarekat-tarekat itu hendaknya dengan tepat menyesuaikan tata-laksana serta adat-kebiasaan mereka dengan tuntutan kerasulan, yang menjadi medan bakti mereka. Tetapi karena hidup religius yang dibaktikan kepada karya kerasulan mengenakan bentuk bermacam-ragam, maka perlulah bahwa pembaharuannya yang sesuai memperhitungkan keanekaan itu, dan bahwa pelbagai tarekat hidup para anggota demi pengabdian kepada kristus ditopang dengan upaya-upaya yang khas dan sesuai.

9. Kelestarian hidup monastik konventual

Lembaga hidup monastik yang patut dihormati disepanjang sejarah telah banyak sekali berjasa dalam gereja maupun masyarakat manusia. Maka hendaknya tetap dilestarikan dengan setia dan semakin cemerlang menampilkan semangatnya yang asli baik di Timur maupun di Barat. Tugas utama para Rahib ialah dalam kerendahan hati mengamalkan bakti yang mulia kepada Allah yang Maha Agung dalam lingkungan biara, entah mereka membaktikan diri sepenuhnya dalam ibadat dalam ibadat kepada Allah dalam suasana hidup menyendiri yang teduh, entah mereka dengan sah menerima beberapa karya kerasulan atau cinta-kasih kristiani. Maka dengan mempertahankan corak khas tata hidup nya hendaknya lembaga-lembaga itu membaharui tradisi-tradisi yang bermanfaat dan menyesuaikannya dengan kebutuhan jiwa-jiwa zaman sekarang, sehingga biara-biara merupakan bagaikan tempat persemaian bagi kemajuan rohani Umat kristiani.

Begitu pula tarekat-tarekat religius, yang berdasarkan pedoman hidup atau kelembagaannya erat-erat menggabungkan hidup merasul dengan tugas doa koor serta tata-laksana hidup monastik, hendaknya memadukan corak hidup mereka dengan tuntutan kerasulan yang cocok bagi mereka, yang memang termasuk kesejahteraan Gereja yang istimewa.

10. Hidup religius kaum awam

Hidup religius yang beranggotakan awam, untuk pria maupun wanita, merupakan status pengalaman nasehat-nasehat Injil yang sudah lengkap. Maka Konsili suci sangat menghargainya, karena begitu berjasa bagi tugas pastoral Gereja melalui pendidikan kaum muda, perawatan orang-orang sakit dan pelayanan-pelayanan lainnya. Konsili meneguhkan para anggotanya dalam panggilan mereka, serta mendorong mereka untuk menyesuaikan hidup mereka dengan tuntutan-tuntutan zaman sekarang.

Konsili suci menyatakan tidak keberatan, bila dalam tarekat-tarekat para bruder, dengan lestarinya corak keawamannya, atas penetapan kapitel umum, ada beberapa anggota yang menerima Tahbisan suci, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelayanan imamat dalam rumah-rumahnya.

11.  Serikat-serikat sekular

Meskipun bukan tarekat religius, namun serikat-serikat sekuler mencakup pengalaman nasehat-nasehat Injil yang sesungguhnya, lengkap dan diakui resmi oleh Gereja, ditengah masyarakat. Maka hendaknya mereka berusaha menghayati bakti mereka seutuhnya kepada Allah terutama dalam cinta-kasih yang sempurna. Serikat-serikat itu hendaknya mempertahankan coraknya yang khas dan istimewa, yakni corak sekuler, supaya dapat menunaikan kerasulannya dengan tepat guna dan dimana-mana ditengah masyarakat dan bagaikan dari dalam masyarakat, karena memang didirikan untuk kerasulan itu.

Tetapi para anggota hendaklah sungguh menyadari, bahwa tugas semulia itu hanya dapat mereka tunaikan, bila mereka mendapat pembinaan yang saksama dalam perkara-perkara ilahi maupun manusiawi, sehingga benar-benar menjadi ragi masyarakat demi peneguhan dan pengembangan Tubuh Kristus. Maka para pemimpin hendaknya sungguh-sungguh mengusahakan pembinaan para anggota terutama dalam hidup rohani, pun juga pengembangan pembinaan mereka selanjutnya.

12. Kemurnian

Kemurnian “demi kerajaan sorga” (Mat 19:12), yang diikrarkan oleh para religius, harus dihargai sebagai kurnia rahmat yang sangat luhur. Sebab secara istimewa membebaskan hati manusia (lih. 1Kor 7:32-35), supaya ia lebih berkobar cinta-kasihnya terhadap Allah dan semua orang. Maka merupakan tanda yang amat khas harta sorgawi, dan upaya yang sangat cocok bagi para religius untuk dengan gembira hati membaktikan diri bagi pengabdian kepada Allah serta karya-karya kerasulan. Begitulah mereka mengingatkan semua orang beriman kristiani akan pernikahan mengagumkan, yang diadakan oleh Allah dan di zaman mendatang akan ditampilkan sepenuhnya, antara Gereja dan kristus Mempelainya yang tunggal.

Maka para religius wajib berusaha menghayati kaul kekal mereka dengan setia. Hendaknya mereka percaya akan amanat Tuhan, bertumpu pada bantuan Allah, tidak mengandalkan kekuatan mereka sendiri, bermatiraga dan mengandalkan pancainderanya. Janganlah mereka mengabaikan pula upaya-upaya kodrati, yang mendukung kesehatan jiwa dan badan. Dengan demikian mereka takkan goyah terpengaruh ajaran-ajaran sesat, yang membayang-bayangkan seolah-olah pengendalian diri yang sempurna itu tidak mungkin atau merugikan bagi perkembangan manusia. Berdasarkan suatu naluri rohani mereka akan menolak segala sesuatu yang membahayakan kemurnian. Selain itu hendaknya semua, terutama para pemimpin, ingat, bahwa kemurnian dihayati dengan lebih aman, bila hidup bersama diliputi kasih persaudaraan antara para anggota.

Penghayatan pengendalian diri yang sempurna menyentuh kecondongan-kecondongan kodrat manusia secara mendalam. Maka para calon hendaknya jangan maju atau diijinkan untuk mengikrarkan kemurnian, kecuali sesudah percobaan yang sungguh memadai dan mereka ternyata memiliki kemasakan psikologis dan afektif yang selayaknya. Hendaknya mereka jangan hanya diperingatkan akan bahaya-bahaya yang mengancam kemurnian, melainkan dibina sedemikian rupa, sehingga menerima pula selibat yang dibaktikan kepada Allah sebagai keuntungan bagi pribadinya secara menyeluruh.

13. Kemiskinan

kemiskinan sukarela untuk mengikuti Kristus merupakan tandanya, yang terutama sekarang ini sangat dihargai. Hendaknya kemiskinan itu dihayati dengan tekun oleh para religius, dan bila perlu diungkapkan juga dalam bentuk-bentuk yang baru. Dengan demikian para religius ikut serta menghayati kemiskinan Kristus, yang demi kita telah menjadi miskin sedangkan Ia kaya, supaya karena kemiskinan-Nya itu kita menjadi kaya (lih. 2Kor 8:9; Mat 8:20).

Adapun mengenai kemiskinan religius, tidak cukuplah bahwa dalam menggunakan harta-benda para anggota mematuhi para pemimpin. Melainkan mereka wajib menjadi miskin harta dan miskin dalam roh, karena menaruh harta-kekayaan mereka di sorga (lih. Mat 6:20).

Hendaknya dalam tugas mereka masing-masing para anggota merasa diri terikat pada keharusan umum untuk bekerja. Sambil memperoleh rejeki yang diperlukan bagi kehidupan dan karya-karya mereka, hendaknya mereka mengesampingkan segala keprihatinan yang tidak wajar, dan mempercayakan diri kepada Penyelenggaraan Bapa di sorga (lih. Mat 6:25).

Berdasarkan konstitusi mereka tarekat-tarekat religius dapat mengijinkan para anggota untuk melepaskan diri melepaskan harta warisan yang telah atau masih akan mereka peroleh.

Dengan mengindahkan keanekaan situasi setempat, tarekat-tarekat sendiri hendaknya berusaha memberi kesaksian bersama tentang kemiskinan. Hendaknya mereka dengan sukarela menyumbangkan sesuatu dari harta milik mereka untuk ikut memenuhi kebutuhan-kebutuhan Gereja lainnya dan ikut menanggung keperluan hidup kaum miskin, yang layak dicintai oleh semua religius dalam hati Kristus (lih. Mat 19:21); 25:34-46; Yak 2:15-16; 1Yoh 3:17). Hendaknya provinsi-provinsi dan rumah-rumah tarekat-tarekat saling berbagi harta duniawi, sehingga mereka yang lebih mampu membantu mereka yang berkekurangan.

Dengan tetap mematuhi pedoman-pedoman dan konstitusi-konstitusi, tarekat-tarekat berhak memiliki segala sesuatu yang diperlukan untuk kebutuhan hidup di dunia dan karya-karya. Tetapi hendaklah mereka berusaha jangan sampai memberi kesan kemewahan, keuntungan yang berlebihan dan penumpukan harta-kekayaan.

14. ketaatan

Dengan mengikrarkan ketaatan para religius mempersembahkan bakti kehendak mereka yang sepenuhnya bagaikan korban diri kepada Allah. Maka seturut teladan Yesus Kristus, yang datang untuk melaksanakan kehendak bapa (lih. Yoh 4:34; 5:30; Ibr 10:7; Mzm 39:9), “Mengenakan rupa seorang hamba” (Flp 2:7), dan melalui sengsara-Nya belajar taat (lih. Ibr 5:8), hendaknya para religius, atas dorongan Roh Kudus, dalam iman mematuhi para pemimpin yang mewakili Allah. Hendaknya melalui mereka itu para religius dituntun untuk melayani semua saudara dalam Kristus, seperti kristus sendiri demi kepatuhan-Nya terhadap Bapa telah melayani para saudara-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya sebagai tebusan bagi banyak orang (lih. Mat 20:28; Yoh 10:14-18). Begitulah mereka semakin erat terikat untuk melayani Gereja, dan berusaha mencapai “tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus” (lih. Ef 4:13).

Oleh karena itu hendaknya para anggota, dalam semangat iman dan cinta-kasih terhadap kehendak Allah, dengan rendah hati mematuhi para pemimpin mereka menurut kaidah pedoman serta konstitusi mereka. Hendaknya mereka mengerahkan daya kemampuan akal-budi dan kehendak maupun bakat-bakat alamiah serta kurnia-kurnia rahmat dalam menjalankan perintah-perintah dan menyelesaikan tugas-tugas yang diserahkan kepada mereka. Hendaknya mereka sadari, bahwa mereka sedang berkarya demi pembangunan Tubuh Kristus menurut rencana Allah. Demikianlah ketaatan religius sama sekali tidak mengurangi martabat pribadi manusia, melainkan justru membawanya kepada kematangan, karena dikembangkannya kebebasan putera-putera Allah.

Adapun para pemimpin, yang akan memberi pertanggungjawaban atas jiwa-jiwa yang diserahkan kepada mereka (lih. Ibr 13:17), hendaknya dalam menunaikan tugas mereka membiarkan diri dibimbing oleh kehendak Allah. Hendaknya mereka mengamalkan kewibawaan dalam semangat pengabdian kepada para saudara, sehingga mengungkapkan cinta-kasih Allah terhadap mereka. Hendaknya mereka memimpin para bawahan sebagai putera-putera Allah, dengan menghormati pribadi manusia, seraya mengembangkan kepatuhan mereka yang sukarela. Maka khususnya hendaklah mereka memberi kebebasan sewajarnya kepada para anggota berkenaan dengan sakramen Tobat dan bimbingan suara hati. Hendaknya mereka membimbing para anggota sedemikian rupa, sehingga dalam melaksanakan tugas-tugas serta mengambil prakarsa-prakarsa mereka itu bekerja sama dalam ketaatan aktif dan penuh tanggung jawab. Maka para pemimpin hendaknya dengan suka hati mendengarkan para anggota, dan mengembangkan kerja sama mereka demi kesejahteraan tarekat dan gereja, sementara mereka tetap berwenang untuk mengambil keputusan dan memerintahkan apa yang harus dijalankan.

Hendaknya kapitel-kapitel dan dewan-dewan dengan setia menunaikan tugas kepemimpinan yang diserahkan kepada mereka, serta masing-masing dengan caranya sendiri mengungkapkan keikutsertaan dan usaha semua anggota demi kesejahteraan segenap persekutuan hidup.

15. Hidup bersama

Menurut teladan Gereja perdana, ketika golongan kaum beriman hidup sehati dan sejiwa (lih. Kis 4:32), hendaknya kehidupan bersama bertekun dalam ajaran Injil, dalam Liturgi suci dan terutama dalam perayaan Ekaristi, dalam doa sera persekutuan semangat yang sama (lih. Kis 2:42). Sebagai sesama anggota Kristus para religius hendaknya dalam pergaulan bersaing dalam saling menghormati *lih. Rom 12:10), sambil saling menanggung beban mereka (lih. Gal 6:2). Sebab berkat cinta-kasih Allah, yang karena Roh Kudus telah dicurahkan ke dalam hati mereka (lih. Rom 5:5), komunitas sebagai keluarga yang sejati, dihimpun dalam nama Tuhan, menikmati kehadiran-Nya (lih. Mat 18:20). Adapun cinta kasih itu kepenuhan hukum (lih. Rom 13:10), serta ikatan kesempurnaan (lih. Kol 3:14). Berkat cinta itulah kita tahu, bahwa kita telah dipindahkan dari maut kepada kehidupan (lih. 1Yoh 3:14). Bahkan persekutuan para saudara menunjukkan kedatangan Kristus (lih. Yoh 13:35; 17:21), dan padaNyalah bersumber daya kekuatan merasul yang besar.

Akan tetapi, supaya ikatan persaudaraan antar anggota menjadi lebih erat, hendaknya mereka yang disebut para bruder, para rekan sekerja, atau dengan nama lain, melibatkan diri secara lebih erat dengan perihidup serta karya-karya komunitas. Kecuali bila situasi sungguh menginginkan sesuatu yang lain, hendaknya diusahakan, supaya dalam tarekat-tarekat wanita tercapai satu macam suster saja. Kemudian hendaknya hanya dipertahankan kemacam-ragaman pribadi-pribadi, sejauh pembedaan pelbagai karya menuntunya. Hendaknya para suster diperuntukkan bagi karya-karya itu entah berkat panggilan khas Allah, entah karena kecakapan mereka yang istimewa.

Adapun biara-biara serta tarekat-tarekat pria yang tidak melulu beranggotakan awam, sesuai dengan corak mereka dan menurut kaidah konstitusi, dapat menerima rohaniwan maupun awam, pada tingkatan yang sama dan dengan hak-hak serta kewajiban-kewajiban yang sama pula, kecuali mengenai implikasi Tahbisan suci.

16. Pingitan/klausura para rubiah

Hendaknya pingitan kepausan bagi para rubiah yang menghayati hidup kontemplatif melulu tetap dilestarikan, tetapi disesuaikan juga dengan situasi semasa dan setempat, dengan meniadakan adat kebiasaan yang sudah usang. Dalam melaksanakan penyesuaian itu hendaknya didengarkan usul-usul biara-biara yang bersangkutan.

Tetapi para rubiah lainnya, yang berdasarkan anggaran tarekat berbakti melalui karya-karya kerasulan di luar, hendaknya di bebaskan dari pingitan kepausan, supaya mereka mampu menunaikan dengan lebih baik tugas-tugas kerasulan yang dipercayakan kepada mereka, namun dengan tetap mempertahankan pingitan menurut kaidah konstitusi.

17. Busana religius

Hendaknya busana religius, sebagai tanda penakdisan kepada Allah, bersifat sederhana dan ugahari, miskin dan sekaligus pantas, selain itu memenuhi persyaratan kesehatan, dan selaras dengan situasi semasa dan setempat maupun dengan kebutuhan-kebutuhan akan pelayanan. Busana baik pria maupun wanita, yang tidak cocok dengan kaidah-kaidah itu, hendaknya diganti.

18. Pembinaan para anggota

Pembaharuan tarekat-tarekat yang sesuai sangat tergantung dari pembinaan para anggota. Maka dari itu para anggota bukan rohaniwan dan para suster jangan ditugaskan dalam karya-karya kerasulan langsung sesudah novisiat. Melainkan pembinaan mereka dibidang religius maupun kerasulan, begitu pula pendidikan pengetahuan maupun kejujuran, termasuk pula untuk mendapat ijazah yang diperlukan, hendaknya dilanjutkan sebagaimana mestinya dirumah-rumah yang diperlengkapi secukupnya.

Tetapi penyesuaian hidup religius dengan tuntunan-tuntunan zaman kita sekarang hendaknya jangan melulu bersifat lahiriah. Jangan sampai pula mereka yang berdasarkan anggaran tarekat bertugas merasul diluar ternyata tidak mampu menunaikan tugas mereka. Untuk maksud itu hendaknya mereka – sesuai dengan bakat kecerdasan dan watak-perangai pribadi masing-masing – diberi pendidikan secukupnya tentang cara-cara hidup dan cara-cara berpandangan serta berfikir dalam masyarakat sekarang. Hendaknya diselenggarakan pembinaan melalui perpaduan unsur-unsurnya yang serasi sedemikian rupa, sehingga membantu para anggota mencapai keutuhan hidup.

Hendaknya para anggota seumur hidup dengan tekun berusaha menyempurnakan kebudayaan rohani, pengetahuan serta kejuruan mereka itu. Untuk itu para pemimpin hendaknya sedapat mungkin menciptakan kemungkinan serta mengusahakan bantuan dan waktu bagi mereka.

Termasuk tugas para pemimpin juga: mengusahakan supaya para moderator, para pembimbing rohani dan para dosen dipilih dengan sangat cermat dan disiapkan dengan sungguh baik.

19. Pendirian tarekat-tarekat baru

Dalam mendirikan tarekat-tarekat baru hendaknya sungguh-sungguh dipertimbangkan betapa perlunya, atau setidak-tidaknya besarnya faedahnya, begitu pula kemungkinan perkembangannya. Dengan demikian dijaga, jangan sampai tanpa pertimbangan masak muncul tarekat-tarekat yang tidak berguna, atau yang tidak mempunyai daya-kekuatan yang seperlunya. Dalam Gereja-Gereja muda hendaknya secara khusus dikembangkan dan dikelola bentuk-bentuk hidup membiara, dengan mempertimbangkan perangai serta adat-istiadat penduduk maupun kebiasaan-kebiasaan dan situasi setempat.

20. Bagaimana melestarikan, menyesuaikan atau meninggalkan karya-karya khusus tarekat

Hendaknya tarekat-tarekat melestarikan dan menyelenggarakan karya-karyanya yang khas dengan setia. Hendaknya karya-karya itu disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan semasa setempat, dengan mempertimbangkan faedahnya bagi Gereja semesta serta keuskupan-keuskupan, dengan menggunakan upaya-upaya yang cocok dan baru. Hendaknya ditinggalkan saja karya-karya, yang sekarang ini sudah kurang selaras dengan semangat tarekat atau coraknya yang asli.

Dalam tarekat-tarekat religius semangat misioner harus tetap dipertahankan, dan menurut coraknya masing-masing disesuaikan dengan zaman sekarang, sehingga pewartaan Injil kepada semua bangsa dapat lebih berhasi guna.

21. Terakat-tarekat dan biara-biara yang mengalami kemerosotan

Tetapi tarekat-tarekat dan biara-biara, yang menurut para Uskup setempat yang berkepentingan, atas penilaian Takhta suci tidak memberi harapan yang wajar, bahwa selanjutnya masih akan berkembang, hendaknya dilarang untuk masih menerima novis-novis, dan sedapat mungkin digabungkan dengan tarekat lain atau biara lain yang lebih vital, dan yang tujuan maupun semangatnya tidak banyak berbeda.

22. Perserikatan antara tarekat-tarekat religius

Bila keadaan mendukung dan atas persetujuan Takhta suci, hendaknya tarekat-tarekat dan biara-biara yang otonom mengembangkan federasi-federasi antar mereka, bila kurang lebih termasuk keluarga religius yang sama, atau perserikatan-perserikatan, bila mempunyai konstitusi maupun adat-kebiasaan yang hampir sama dan dijiwai oleh semangat yang sama, terutama bila mereka terlalu kecil, atau gabung-gabungan, bila menyelenggarakan karya-karya lahiriah atau yang serupa.

23. Konferensi para Pemimpin tinggi

Perlu didukung konferensi-konferensi atau dewan-dewan para Pemimpin tinggi yang didirikan oleh Takhta suci, dan dapat banyak membantu supaya tujuan masing-masing tarekat tercapai secara lebih penuh, supaya ditingkatkan kerja sama yang lebih tepat guna demi kesejahteraan Gereja, supaya para pekerja Injil dikawasan tertentu dapat disebarkan secara lebih merata, dan untuk menyelenggarakan urusan-urusan bersama para religius. Mengenai pelaksanaan kerasulan hendaknya diciptakan koordinasi dan kerja sama yang baik dengan Konferensi-Konferensi para Uskup.

Konferensi-konferensi semacam itu dapat didirikan juga bagi tarekat-tarekat sekular.

24. Panggilan religius

para imam dan pendidik kristiani hendaknya sungguh-sungguh berusaha, supaya dengan adanya panggilan-panggilan religius yang dipilih dengan tepat dan saksama Gereja mengalami pertumbuhan baru yang benar-benar menjawab kebutuhan-kebutuhan. Juga dalam pewartaan yang biasa hendaknya seringkali diuraikan nasehat-nasehat Injil dan penghayatan hidup religius. Dengan mendidik anak-anak mereka dalam adat kebiasaan kristiani hendaklah para orang tua memupuk dan melindungi panggilan religius dalam hati mereka.

Tarekat-tarekat diperbolehkan menyebarluaskan informasi tentang dirinya untuk memupuk panggilan-panggilan, serta mencari calon-calon, asal itu mereka jalankan dengan bijaksana sebagaimana seharusnya, dan dengan mematuhi kaidah-kaidah yang diterima dari Takhta suci dan dari Uskup setempat.

Tetapi para anggota hendaknya menyadari, bahwa teladan hidup mereka sendiri merupakan rekomendasi terbaik bagi tarekat mereka dan undangan paling tepat guna untuk memeluk hidup religius.

25. Penutup

Tarekat-tarekat, yang mau dibantu dengan penetapan kaidah-kaidah pembaharuan yang disesuaikan ini, hendaknya dengan semangat siap sedia menanggapi panggilan ilahinya dan tugasnya dalam Gereja dewasa ini. Sebab Konsili suci sangat menghargai corak hidup mereka ditandai keperawanan, kemiskinan dan ketaatan, menurut teladan kristus Tuhan sendiri. Konsili menaruh harapan yang teguh atas karya-karya mereka yang begitu subur, baik yang sifatnya tersembunyi maupun yang terbuka. Oleh karena itu hendaknya semua religius, dengan keutuhan iman mereka, dengan kasih mereka terhadap Allah dan sesama, dengan cinta mereka akan salib dan harapan mereka akan kemuliaan di masa mendatang, menyebarluaskan kabar baik Kristus diseluruh dunia, supaya kesaksian mereka tampil bagi semua orang, dan Bapa kita yang ada di sorga dimuliakan (lih. Mat 5:16). Demikianlah atas permohonan Bunda Allah yang termanis Perawan Maria, “yang hidupnya merupakan suri tauladan bagi semua orang” ((S. AMBROSIUS, Tentang Keperawanan, kitab II, bab II n. 15. )) mereka dari ke hari akan makin berkembang dan memperbuahkan hasil penyelamatan yang makin melimpah.

Semua itu dan setiap hal yang diungkapkan dalam Dekrit ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun kami, dengan kuasa kerasulan yang oleh Kristus diserahkan kepada Kami, bersama para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta mengundangkannya dalam Roh Kudus. Dan kami memerintahkan, agar apa yang telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 28 bulan Oktober tahun 1965.

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

Unitatis Redintegratio (UR)

0

DEKRIT TENTANG EKUMENISME

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. Mendukung PEMULIHAN KESATUAN antara segenap umat kristen merupakan salah satu maksud utama Konsili Ekumenis Vatikan II. Sebab yang didirikan oleh Kristus Tuhan ialah Gereja yang satu dan tunggal. Sedangkan banyak persekutuan kristen membawakan diri sebagai pusaka warisan Yesus Kristus yang sejati bagi umat manusia. Mereka semua mengaku sebagai murid-murid Tuhan, tetapi berbeda-beda pandangan dan menempuh jalan yang berlain-lainan pula, seolah-olah Kristus sendiri terbagi-bagi. [1]  Jelaslah perpecahan itu terang-terangan berlawanan dengan kehendak Kristus, dan menjadi batu sandungan bagi dunia, serta merugikan perutusan suci, yakni mewartakan Injil kepada semua makhluk.

Adapun Tuhan segala zaman, yang penuh kebijaksanaan serta kesabaran melaksanakan rencana rahmat-Nya terhadap kita para pendosa, masa terakhir ini telah mulai makin melimpah mencurahkan semangat pertobatan dan kerinduan akan persatuan ke dalam hati umat kristen yang tercerai-berai. Di mana-mana banyak sekali orang yang terdorong oleh rahmat itu, dan di antara saudara-saudari kita yang terpisah pun berkat rahmat Roh Kudus telah timbul gerakan yang makin meluas untuk memulihkan kesatuan segenap umat kristen. Dalam gerakan penyatuan yang disebut “ekumenis itu berperansertalah mereka, yang menyerukan Allah Tritunggal dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat, itu pun bukan hanya masing-masing secara perorangan, melainkan juga sebagai jemaat. Di situlah mereka mendengarkan Injil. Jemaat-jemaat itulah yang oleh masing-masing di akui sebagai Gereja mereka dan gereja Allah. Tetapi hampir semua, kendati melalui aneka cara, mencita-citakan satu gereja Allah yang kelihatan, yang sungguh-sungguh bersifat universal, dan diutus ke seluruh dunia, supaya dunia bertobat kepada Injil, dan dengan demikian diselamatkan demi kemuliaan Allah.

Maka, sambil mempertimbangkan itu semua dengan hati gembira, konsili suci ini, karena sudah menguraikan ajaran tentang Gereja, terdorong oleh keinginan untuk memulihkan kesatuan antara semua murid Kristus, bermaksud menyajikan kepada segenap umat katolik bantuan-bantuan, upaya-upaya dan cara-cara, untuk menolong mereka menanggapi panggilan serta rahmat ilahi itu.

BAB SATU – PRINSIP-PRINSIP KATOLIK UNTUK EKUMENISME

2. (Gereja yang satu dan tunggal)

Di sini nyatalah cinta kasih Allah terhadap kita, bahwa Putera Tunggal Allah telah diutus oleh Bapa ke dunia, untuk menjadi manusia, dengan karya penebusan-Nya melahirkan kembali seluruh umat manusia, serta menyatukannya.[2] Sebelum mempersembahkan diri sebagai korban tak bernoda di altar salib, Ia berdoa kepada bapa bagi umat beriman: “Semoga semua bersatu, seperti Engkau, ya Bapa, dalam Aku, dan Aku dalam Dikau, supaya mereka pun bersatu dalam kita: supaya percayalah dunia, bahwa Engkau telah mengutus aku (Yoh17:21). Dalam Gereja-Nya Ia mengadakan Sakramen Ekaristi yang mengagumkan dan melambangkan serta memperbuahkan kesatuan Gereja. Kepada para murid-Nya Ia telah memberi perintah baru untuk saling mengasihi,[3] serta menjanjikan Roh Penghibur,[4] untuk menyertai mereka selamanya sebagai Tuhan sumber kehidupan.

Ketika Tuhan Yesus telah ditinggikan di salib dan dimuliakan, Ia mencurahkan Roh yang dijanjikan-Nya. Melalui Roh itulah Ia memanggil dan menghimpun umat Perjanjian Baru, yakni Gereja, dalam kesatuan iman, harapan dan cinta kasih, menurut ajaran Rasul: “Satu Tubuh dan satu Roh, seperti kalian telah dipanggil dalam satu harapan panggilan kalian. Satu Tuhan, satu iman, satu baptis (Ef 4:4-5). Sebab “barang siapa telah dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus …. Sebab kalian semua ialah satu dalam Kristus Yesus (Gal 3:27-28). Roh Kudus, yang tinggal di hati umat beriman, dan memenuhi serta membimbing seluruh Gereja, menciptakan persekutuan umat beriman yang mengagumkan itu, dan sedemikian erat menghimpun mereka sekalian dalam Kristus, sehingga menjadi Prinsip kesatuan Gereja. Dialah yang membagi-bagikan aneka rahmat dan pelayanan,[5] serta memperkaya Gereja Yesus Kristus dengan pelbagai anugerah, untuk memperlengkapi para kudus bagi pekerjaan pelayanan, demi pembangunan Tubuh Kristus (Ef 4:12).

Untuk mendirikan Gereja-Nya yang kudus itu di mana-mana hingga kepenuhan zaman, Kristus mempercayakan tugas mengajar, membimbing dan menguduskan kepada Keduabelas Rasul.[6] Di antara mereka Ia memilih Petrus. Ia memutuskan untuk membangun Gereja-Nya di atas Petrus sesudah pengakuan imannya. Kepadanya dijanjikan-Nya kunci Kerajaan Sorga. [7] Kepadanya pula, sesudah pernyataan cinta kasihnya, Kristus mempercayakan semua domba-domba-Nya, supaya mereka diteguhkan dalam iman[8] dan digembalakan dalam kesatuan yang sempurna,[9] sedangkan Kristus Yesus sendiri untuk selamanya menjadi batu penjuru[10] dan Gembala jiwa-jiwa kita.[11]

Melalui pewartaan Injil yang setia oleh para Rasul serta pengganti-pengganti mereka, yakni para Uskup, diketuai oleh pengganti Petrus, melalui pelayanan Sakramen-Sakramen , dan melalui pembimbingan dalam cinta kasih, Yesus Kristus menghendaki umat-Nya berkembang berkat karya Roh Kudus, serta menyempurnakan persekutuannya dalam kesatuan: dalam pengakuan satu iman, dalam perayaan bersama ibadat ilahi, dan dalam kerukunan persaudaraan keluarga Allah.

Demikianlah Gereja, kawanan tunggal Allah, bagaikan panji-panji yang dinaikkan bagi bangsa-bangsa,[12]sambil melayani Injil kedamaian bagi segenap umat manusia,[13] berziarah dalam harapan menuju cita-cita tanah air di Sorga.[14]

Itulah misteri kudus kesatuan Gereja, dalam Kristus dan dengan perantaraan Kristus, disertai oleh Roh Kudus yang mengerjakan kemacam-ragaman kurnia-kurnia. Pola dan Prinsip terluhur misteri misteri itu ialah kesatuan Allah Tritunggal dalam tiga Pribadi Bapa, Putera dan Roh Kudus.

3. (Hubungan antara saudara-saudari yang terpisah dan Gereja Katolik)

Dalam satu dan satu-satunya Gereja Allah itu sejak awal mula telah timbul berbagai perpecahan,[15] yang oleh Rasul dikecam dengan tajam sebagai hal yang layak dihukum.[16] Dalam abad-abad sesudahnya timbullah pertentangan-pertentangan yang lebih luas lingkupnya, dan jemaat-jemaat yang cukup besar terpisahkan dari persekutuan sepenuhnya dengan Gereja Katolik, yang seringnya karena kesalahan orang-orang di kedua belah pihak. Tetapi mereka, yang sekarang lahir dan dibesarkan dalam iman akan Kristus di jemaat-jemaat itu, tidak dapat dipersalahkan dan dianggap berdosa karena memisahkan diri. Gereja Katolik merangkul mereka dengan sikap bersaudara penuh hormat dan cinta kasih. Sebab mereka itu, yang beriman akan Kristus dan dibaptis secara sah, berada dalam suatu persekutuan dengan Gereja Katolik, meskipun persekutuan ini tidak sempurna. Perbedaan- perbedaan yang ada dalam derajat yang berbeda di antara mereka dan Gereja Katolik-  baik perihal ajaran dan ada kalanya juga dalam tata-tertib, maupun mengenai tata-susunan Gereja, memang menciptakan banyak hambatan, kadang menjadi hambatan yang serius, terhadap persekutuan gerejawi yang penuh. Gerakan ekumenis bertujuan mengatasi hambatan-hambatan itu. Sungguhpun begitu, karena mereka dalam Baptis dibenarkan berdasarkan iman, mereka disaturagakan dalam Kristus.[17] Oleh karena itu mereka memang dengan tepat menyandang nama Kristen, dan tepat pula oleh putera-puteri Gereja Katolik diakui selaku saudara-saudari dalam Tuhan.[18]

Kecuali itu, dari unsur-unsur atau nilai-nilai, yang keseluruhannya ikut berperanan dalam pembangunan serta kehidupan Gereja sendiri, beberapa bahkan banyak sekali yang sangat berharga, yang dapat ditemukan di luar kawasan Gereja Katolik yang kelihatan: Sabda Allah dalam Kitab Suci, kehidupan rahmat, iman, harapan dan cinta kasih, begitu pula kurnia-kurnia Roh kudus lainnya yang bersifat batiniah dan unsur-unsur lahiriah. Itu semua bersumber pada Kristus dan mengantar kepada-Nya, dan memang selayaknya termasuk Gereja Kristus yang tunggal.

Tidak sedikit pula upacara-upacara agama Kristen, yang diselenggarakan oleh saudara-saudari yang tercerai dari kita. Upacara-upacara itu dengan pelbagai cara dan menurut bermacam-ragam situasi masing-masing Gereja dan jemaat sudah jelas memang dapat menyalurkan hidup rahmat yang sesungguhnya, dan harus diakui dapat membuka pintu memasuki persekutuan keselamatan.

Oleh karena itu Gereja-Gereja[19] dan Jemaat-Jemaat yang terpisah, walaupun menurut pandangan kita diwarnai oleh kekurangan-kekurangan, sama sekali bukannya tidak berarti atau bernilai dalam misteri keselamatan. Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan, yang kekuatannya bersumber pada kepenuhan rahmat serta kebenaran sendiri, yang dipercayakan kepada Gereja Katolik.

Akan tetapi saudara-saudari yang tercerai dari kita, baik secara perorangan maupun sebagai Jemaat dan Gereja, tidak menikmati kesatuan, yang oleh Yesus Kristus hendak dikurniakan kepada mereka semua, yang telah dilahirkan-Nya kembali dan dihidupkan-Nya untuk menjadi satu tubuh, bagi kehidupan yang serba baru, menurut kesaksian Kitab suci dan Tradisi Gereja yang terhormat. Sebab hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yang adalah ‘sarana umum untuk keselamatan’, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan. Sebab kita percaya, bahwa hanya kepada Dewan Para Rasul yang diketuai oleh Petruslah Tuhan telah mempercayakan segala harta Perjanjian Baru, untuk membentuk satu Tubuh kristus di dunia. Dalam tubuh itu harus disaturagakan sepenuhnya siapa saja, yang dengan suatu cara telah termasuk umat Allah. Selama berziarah di dunia, umat itu, meskipun dalam para anggotanya tetap tidak terluputkan dari dosa, berkembang dalam Kristus, dan secara halus dibimbing oleh Allah, menurut rencana-Nya yang penuh rahasia, sampai akhirnya penuh kegembiraan meraih seluruh kepenuhan kemuliaan kekal di kota Yerusalem sorgawi.

4. (Ekumenisme)

Sekarang ini, atas dorongan rahmat Roh Kudus, di cukup banyak daerah berlangsunglah banyak usaha berupa doa, pewartaan dan kegiatan, untuk menuju ke arah kepenuhan kesatuan yang dikehendaki oleh Yesus Kristus. Maka Konsili suci mengundang segenap umat Katolik, untuk mengenali tanda-tanda zaman, dan secara aktif berperanserta dalam kegiatan ekumenis.

Yang dimaksudkan dengan “Gerakan Ekumenis ialah: kegiatan-kegiatan dan usaha-usaha, yang – menanggapi bermacam-macam kebutuhan Gereja dan berbagai situasi – diadakan dan ditujukan untuk mendukung kesatuan umat kristen; misalnya: pertama, semua daya-upaya untuk menghindari kata-kata, penilaian-penilaian serta tindakan-tindakan, yang ditinjau dari sudut keadilan dan kebenaran tidak cocok dengan situasi saudara-saudari yang terpisah, dan karena itu mempersukar hubungan-hubungan dengan mereka; kemudian, dalam pertemuan-pertemuan umat kristen dari berbagai Gereja atau Jemaat, yang diselenggarakan dalam suasana religius, “dialog antara para pakar yang kaya informasi, yang memberi ruang kepada masing-masing peserta untuk secara lebih mendalam menguraikan ajaran persekutuannya, dan dengan jelas menyajikan corak-cirinya. Sebab melalui dialog itu semua peserta memperoleh pengertian yang lebih cermat tentang ajaran dan perihidup kedua persekutuan, serta penghargaan yang lebih sesuai dengan kenyataan. Begitu pula persekutuan-persekutuan itu menggalang kerja sama yang lebih luas lingkupnya dalam aneka usaha demi kesejahteraan umum menurut tuntutan setiap suara hati Kristen; dan bila mungkin mereka bertemu dalam doa sehati sejiwa. Akhirnya mereka semua mengadakan pemeriksaan batin tentang kesetiaan mereka terhadap kehendak Kristus mengenai Gereja, dan sebagaimana harusnya menjalankan dengan tekun usaha pembaharuan dan reformasi.

Bila itu semua oleh umat Katolik dilaksanakan dengan bijaksana dan sabar dibawah pengawasan para gembala, akan membantu terwujudnya nilai-nilai keadilan dan kebenaran, kerukunan dan kerja sama, semangat persaudaraan dan persatuan. Semoga dengan demikian lambat-laun teratasilah hambatan-hambatan, yang menghalang-halangi persekutuan gerejawi yang sempurna, dan semua orang kristen dalam satu perayaan Ekaristi dihimpun membentuk kesatuan Gereja yang satu dan tunggal. Kesatuan itulah yang sejak semula dianugerahkan oleh Kristus kepada Gereja-Nya. Kita percaya, bahwa kesatuan itu tetap lestari terdapat dalam Gereja Katolik, dan berharap, agar kesatuan itu dari hari ke hari bertambah erat sampai kepenuhan zaman.

Jelaslah bahwa karya menyiapkan dan mendamaikan para anggota perorangan, yang ingin memasuki persekutuan sepenuhnya dengan Gereja katolik, menurut hakekatnya terbedakan dari usaha ekumenis. Tetapi juga tidak bertentangan; sebab keduanya berasal dari penyelenggaraan Allah yang mengagumkan.

Dalam kegiatan Ekumenis hendaknya umat katolik tanpa ragu-raga menunjukkan perhatian sepenuhnya terhadap saudara-saudari yang terpisah, dengan mendoakan mereka, dengan bertukar pandangan tentang hal-ihwal Gereja dengan mereka, dengan mengambil langkah-langkah pendekatan pertama terhadap mereka. Akan tetapi umat Katolik sendiri pertama-tama wajib mempertimbangkan dengan jujur dan penuh perhatian segala sesuatu, yang dalam keluarga Katolik sendiri perlu diperbaharui dan dilaksanakan, supaya perihidupnya memberi kesaksian yang lebih setia dan lebih jelas tentang ajaran dan segala sesuatu yang ditetapkan oleh Kristus serta diwariskan melalui para Rasul.

Sebab sungguhpun Gereja Katolik diperkaya dengan segala kebenaran yang diwahyukan oleh Allah dan dengan semua upaya rahmat, para anggotanya tidak menghayatinya penuh semangat sebagaimana mestinya. Oleh karena itulah wajah Gereja kurang terang bersinar bagi saudara-saudari yang tercerai dari kita dan bagi seluruh dunia, dan pertumbuhan Kerajaan Allah mengalami hambatan. Maka dari itu segenap umat Katolik wajib menuju kesempurnaan Kristen[20]], dan menurut situasi masing-masing mengusahakan, supaya Gereja, seraya membawa kerendahan hati dan kematian Yesus dalam tubuhnya[21]], dari hari ke hari makin dibersihkan dan diperbaharui, sampai Kristus menempatkannya dihadapan Dirinya penuh kemuliaan, tanpa cacat atau kerut[22]].

Semoga dengan memelihara kesatuan dalam apa yang sungguh perlu semua anggota Gereja, sesuai dengan tugas-kewajiban masing-masing, dalam aneka bentuk hidup rohani dan tertib gerejawi, maupun dalam kemacam-ragaman tata-upacara Liturgi, bahkan juga dalam mengembangkan refleksi teologis tentang kebenaran yang diwahyukan, tetap memupuk kebebasan yang sewajarnya. Tetapi dalam segalanya hendaklah mereka memelihara cinta kasih. Sebab dengan bertindak demikian mereka akan makin penuh menampilkan ciri katolik dan sekaligus apostolik Gereja dalam arti yang sesungguhnya.

Dilain pihak perlulah umat Katolik dengan gembira mengakui dan menghargai nilai-nilai sungguh Kristen, yang bersumber pada pusaka warisan bersama, dan terdapat pada saudara-saudari yang tercerai dari kita. Sungguh layaklah dan mengantar kepada keselamtan, mengakui kekayaan Kristus serta kuasa-Nya yang berkaya dalam kehidupan orang-orang lain, yang memberi kesaksian akan Kristus, ada kalanya hingga menumpahkan darah. Sebab Allah senantiasa mengagumkan dan layak dikagumi dalam karya-karya-Nya.

Jangan pula dilupakan, bahwa apa saja yang dilaksanakan oleh rahmat Roh Kudus diantara saudara-saudari yang terpisah, dapat juga membantu kita membangun diri. Apa pun yang sungguh bersifat Kristen, tidak pernah berlawanan dengan nilai-nilai iman yang sejati. Bahkan selalu dapat membantu untuk mencapai secara lebih sempurna misteri Kristus dan Gereja sendiri.

Akan tetapi bagi Gereja perpecahan umat kristen merupakan halangan untuk mewujudkan secara nyata kepenuhan ciri katoliknya dalam diri putera-puterinya, yang berkat Bptis memang ditambahkan padanya, tetapi masih tercerai dari kepenuhan persekutuan dengannya. Bahkan bagi Gereja sendiri pun menjadi lebih sukar untuk dalam kenyataan hidupnya mengungkapkan kepenuhan sifat katoliknya dalam segala seginya.

Inilah yang penuh kegembiraan disaksikan oleh Konsili: bahwa peran serta umat Katolik dalam gerakan ekumenis makin intensif. Konsili menganjurkan kepada para Uskup dimanapun juga, supaya gerakan itu mendukung mereka secara intensif, dan mereka bimbing dengan bijaksana.

BAB DUA – PELAKSANAAN EKUMENISME

5. (Ekumenisme : tanggung jawab segenap umat beriman)

Keprihatinan untuk memulihkan kesatuan melibatkan segenap Gereja, baik umat Beriman, maupun para Gembala dan siapa pun juga seturut kemampuannya, dalam hidup Kristen sehari-hari, pun dalam penelitian-penelitian teologis dan historis. Secara tertentu usaha-usaha itu sudah menampakkan hubungan yang sudah terjalin antara semua orang Kristen, dan mengantar menuju kesatuan yang penuh-purna, menurut kemurahan hati benevolentia Allah.

6. (Pembaharuan Gereja)

Semua pembaharuan Gereja[23]] pada hakikatnya terletak pada berkembangnya kesetiaan terhadap panggilannya. Maka jelaslah sudah, bahwa pembaharuan itulah sebabnya, mengapa gerakan ekumenis menuju kesatuan. Selama ziarahnya Gereja dipanggil oleh Kristus untuk terus-menerus merombak dirinya, seperti memang selamanya dibutuhkan olehnya sebagai suatu lembaga manusiawi dan duniawi. Oleh karena itu bila, menilik situasi zaman, baik di bidang moral, dalam tata-tertib gerejawi, maupun dalam cara merumuskan ajaran, – dan itu harus dibedakan dengan cermat dari perbendaharaan iman sendiri, – ada hal-hal yang telah dilestarikan secara kurang seksama, hendaknya itu pada suatu saat yang baik dipulihkan secara tepat sebagaimana harusnya.

Maka pembaharuan itu mendapat makna ekumenis yang istimewa. Aneka bentuk kehidupan Gereja, yang sudah mengalami pembaharuan – misalnya : gerakan Kitab suci dan Liturgi, pewartaan sabda Allah dan katekese, kerasulan awam, bentuk-bentuk baru hidup religius, spiritualitas perkawinan, ajaran serta kegiatan gereja di bidang sosial, – dapat dipandang sebagai jaminan dan pertanda, yang meramalkan, bahwa di masa mendatang ekumenisme akan berkembang dengan baik.

7. (Pertobatan hati)

Tidak ada ekumenisme sejati tanpa pertobatan batin. Sebab dari pembaharuan hati[24]], dari ingkar diri dan dari kelimpahan cinta kasih yang sungguh ikhlaslah kerinduan akan kesatuan timbul dan makin menjadi masak. Maka hendaklah dari Roh ilahi kita mohon rahmat penyangkalan diri yang tulus, kerendahan hati dan sikap lemah lembut dalam memberi pelayanan, begitu pula kemurahan hati dalam persaudaraan terhadap sesama. “Kunasihatkan kepada kalian, demikianlah Rasul para bangsa berpesan, “aku yang dipenjarakan dalam Tuhan, supaya menempuh cara hidup yang pantas menurut panggilan kalian. Hendaklah selalu bersikap rendah hati dan lemah-lembut. Hendaklah kalian dengan sabar saling membantu dalam cinta kasih, dan sungguh berusaha memelihara kesatuan Roh dalam ikatan damai (Ef 4:1-3). Dorongan itu terutama ditujukan kepada mereka, yang telah ditahbiskan dengan maksud, agar tetap berlangsunglah perutusan Kristus, “yang datang tidak untuk dilayani, melainkan untuk melayani (Mat 20:28).

Pada kesalahan-kesalahan melawan kesatuan dapat diterapkan pula kesaksian- S. Yohanes: “Sekiranya kita berkata, bahwa kita tidak berdosa, kita menjadikan Dia pendusta, dan sabda-Nya tidak tinggal dihati kita (1Yoh 1:10). Maka dalam doa penuh kerendahan hati kita memohon pengampunan dari Allah dan saudara-saudari yang terpisah, seperti kita pun mengampuni mereka yang bersalah terhadap kita.

Hendaklah segenap kaum beriman menyadari, bahwa mereka makin pesat memajukan persatuan umat kristen, bahkan makin baik melaksanakannya, semakin mereka berusaha menghayati hidup jernih menurut Injil. Sebab semakin erat mereka bersatu dalam persekutuan dengan Bapa, Sang Sabda dan roh Kudus, semakin mampu jugalah mereka untuk meningkatkan persaudaraan timbal-balik, dengan cara yang lebih mesra dan lebih mudah.

8. (Doa bersama)

Pertobatan hati dan kesucian hidup itu, disertai doa-doa permohonan perorangan maupun bersama untuk kesatuan umat kristen, harus dipandang sebagai jiwa seluruh gerakan ekumenis, dan memang tepat juga disebut ekumenisme rohani.

Sebab bagi umat katolik merupakan kebiasaan baik sekali : sering berkumpul untuk mendoakan kesatuan Gereja, seperti oleh Sang Penyelamat sendiri pada malam menjelang wafat-Nya telah dimohon secara mendesak dari Bapa: “Supaya bersatulah mereka semua (Yoh 17:21).

Dalam berbagai situasi yang istimewa, misalnya bila dipanjatkan doa permohonan “untuk kesatuan, begitu pula dalam pertemuan-pertemuan ekumenis, umat katolik diperkenankan, bahkan dianjurkan, untuk bergabung dalam doa bersama dengan saudara-saudari yang terpisah. Pastilah doa-doa bersama seperti itu merupakan upaya yang sangat efektif untuk memperoleh rahmat kesatuan, serta merta menjadi lambang otentik ikatan-ikatan, yang masih ada antara umat katolik dan saudara-saudari terpisah : “Sebab dimana pun ada dua atau tiga yang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku berada di tengah mereka (Mat18:20).

Akan tetapi kebersamaan merayakan Sakramen-Sakramen (Communicatio in sacris) janganlah dianggap sebagai upaya yang boleh digunakan secara acak-acakan untuk memulihkan kesatuan umat kristen. Kebersamaan dalam perayaan itu terutama tergantung dari dua prinsip, yakni : mengungkapkan kesatuan gereja, dan mengikutsertakan pihak lain dalam upaya-upaya rahmat. Ditinjau dari sudut mengungkapkan kesatuan, kebanyakan kebersamaan itu dilarang. Rahmat yang dapat diperoleh kadang-kadang menganjurkannya. Hendaklah mengenai cara bertindak konkrit, sambil mengindahkan segala situasi masa, tempat dan pribadi-pribadi, keputusan diambil dengan bijaksana oleh kewibawaan Uskup setempat, kecuali bila ditetapkan lain oleh konferensi Uskup menurut Anggaran Dasarnya, atau oleh Takhta suci.

9. (Saling mengenal sebagai saudara)

Semangat saudara-saudari yang terpisah perlu dimengerti. Untuk itu perlu sekalilah studi, yang harus ditempuh dengan menjunjung tinggi kebenaran dan dengan hati terbuka. Umat katolik hendaknya disiapkan sebagaimana mestinya, dan perlu meningkatkan pengertiannya tentang ajaran dan sejarah, hidup rohani dan peribadatan, psikologi agama dan kebudayaan, yang khas menyangkut saudara-saudari yang terpisah. Untuk mencapai semuanya itu pertemuan-pertemuan akan banyak membantu kedua pihak, terutama untuk membahas soal-soal teologis. Disitu mereka berdialog sebagai peserta yang sederajat. Suatu syarat ialah, bahwa mereka yang ikut serta dibawah pengawasan para Uskup, memang sungguh kompeten. Dari dialog semacam itu akan nampak lebih jelas pula, bagaimanakah sesungguhnya posisi Gereja katolik. Dengan demikian akan diketahui lebih baik pula pemikiran saudara-saudari yang terpisah, dan mereka akan mendapat penjelasan yang lebih baik tentang iman kita.

10. (Pembinaan ekumenis)

Pendidikan teologi dan vak-vak lainnya, terutama sejarah, harus diberikan juga dalam perspektif ekumenis, supaya lebih cermat mengungkapkan kebenaran.

Sebab bagi para calon gembaladan imam penting sekali mendalami teologi yang dikembangkan dengan seksama secara demikian, bukan lagi secara polemis, terutama dalam hal-hal yang menyangkut yang menyangkut hubungan-hubungan saudara-saudari yang terpisah dengan Gereja katolik.

Sebab dari pembinaan para imam tergantunglah terutama pendidikan dan pembinaan rohani yang amat dibutuhkan oleh umat beriman dan para para religius.

Juga para misionaris katolik yang berkarya di daerah-daerah yang sama seperti orang-orang kristen lainnya sekarang ini terutama harus mengetahui masalah-persoalan serta hasil-hasil, yang diperbuahkan oleh ekumenisme dalam kerasulan mereka.

11. (Cara mengungkapkan dan menguraikan ajaran iman)

Metode serta cara mengungkapkan iman katolik jangan sampai menghambat dialog dengan saudara-saudari kita. Memang seharusnyalah ajaran seutuhnya diuraikan dengan jelas. Tiada sesuatupun yang begitu asing bagi ekumenisme seperti irenisme (sikap “suka damai) palsu, yang merugikan bagi kemurnian ajaran katolik, serta mengaburkan artinya yang otentik dan pasti.

Iman katolik hendaknya diuraikan secara lebih mendalam sekaligus lebih cermat, dengan cara dan bahasa yang sungguh dapat difahami juga oleh saudara-sudari yang terpisah.

Kecuali itu dalam dialog ekumenis para teolog katolik harus stia sepenuhnya terhadap ajaran Gereja, dan dalam usaha mereka bersama dengan saudara-saudari yang terpisah untuk semakin menyelami misteri-misteri ilahi, harus melangkah maju dengan cinta akan kebenaran, kasih-sayang dan kerendahan hati. Dalam membandingkan ajaran-ajaran hendaknya mereka sadari adanya tata-urutan atau “hirarki kebenaran-kebenaran ajaran katolik, karena berbeda-bedalah hubungannya dengan dasar iman kristen. Dengan demikian akan terbukalah jalan, yang mendorong semua mitra dialog untuk berlomba-lomba secar persaudaraan, menuju pengertian yang makin mendalam tentang kekayaan Kristus yang tidak terduga dalamnya[25]], serta penampilannya yang makin gemilang.

12. (Kerja sama dengan saudara-saudari yang terpisah)

Hendaklah segenap umat kristen dihadapan segala bangsa menyatakan iman mereka akan Allah Tritunggal, akan Putera Allah yang menjelma, Penebus dan Tuhan kita. Hendaknya mereka melalui usaha-usaha bersama yang ditandai sikap saling menghargai memberi kesaksian tentang harapan kita, yang tidak akan sia-sia. Zaman sekarang ini sangat meluaslah kerja sama di bidang sosial. Memanglah semua orang tanpa terkecuali dipanggil utuk menggalang kerja sama itu, terutama mereka yang beriman akan Allah, pertama-tama semua orang kristen karena ditandai oleh nama Kristus. Kerja sama antara semua orang kristen secara cemerlang mengungkapkan persatuan yang sudah ada antara mereka, dan lebih jelas menampilkan wajah Kristus Sang Hamba. Kerja sama itu, yang sudah dimulai dibanyak negara, hendaknya makin dipererat, terutama di daerah-daerah, yang tengah mengalami perkembangan sosial dan teknologi, dalam usaha menghargai sepantasnya martabat pribadi manusia, dalam memajukan perdamaian, dalam menerapkan Injil pada situasi kemasyarakatan, dalam mengembangkan ilmu-pengetahuan maupun kesenian dalam suasana kristen, dalam menggunakan segala macam usaha untuk menanggulangi penderitaan-penderitaan zaman sekarang, misalnya : kelaparan dan bencana-bencana, buta aksara dan kemelaratan, kekurangan akan perumahan, dan pembagian harta benda yang tidak adil. Berkat kerja sama itu semua orang yang beriman akan Kristus dengan mudah dapat belajar, sebagaimana orang0orang dapat lebih saling mengenal dan saling menghargai, dan bagaimana dibukalah jalan menuju kesatuan umat kristen.

BAB TIGA – GEREJA-GEREJA DAN JEMAAT-JEMAAT GEREJAWI YANG TERPISAH DARI TAKHTA APOSTOLIK DI ROMA

13. Perhatian kita arahkan kepada dua golongan perpecahan utama, yang menimpa jubah Kristus yang tidak berjahit, hanya satu tenunan saja.

Perpecahan pertama terjadi di Timur, akibat perdebatan tentang perumusan-perumusan dogmatis Konsili Efesus dan Khalkedon, dan kemudian akibat perpecahan persekutuan gerejawi antara Patriarkat-Patriarkat Timur dan Takhta Roma.

Perpecahan lainnya, sesudah lebih dari empat abad, timbul di Barat akibat peristiwa-peristiwa, yang secara keseluruhan disebut “Reformasi. Sejak itu banyak persekutuan, yang bersifat nasional maupun konfesional (menyangkut ikrar iman), terceraikan dari Takhta di Roma. Diantara persekutuan-persekutuan, yang tetap melestarikan sebagian tradisi-tradisi maupun struktur-struktur katolik, yang mempunyai posisi istimewa ialah Persekutuan aglikan.

Adapun pelbagai kelompok yang terpisah itu banyak berbeda satu dengan lainnya, bukan hanya berdasarkan asal-usul, tempat ataupun zamannya, melainkan pertama-tama karena hakekat maupun bobot masalah-persoalan, yang menyangkut iman dan struktur gerejawi.

Oleh karena itu Konsili ini tidak menganggap remeh situasi pelbagai golongan kristen yang serba aneka itu. Kendati adanya perpecahan itu, Konsili tidak pula mengabaikan hubungan-hubungan antar golongan yang masih ada. Konsili menetapkan untuk menyajikan pertimbangan-pertimbangan berikut, untuk dengan bijaksana menjalankan kegiatan-kegiatan ekumenis.

I. TINJAUAN KHUSUS – TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR

14. (Semangat dan sejarah Gereja-Gereja Timur)

Sudah berabad-abad lamanya Gereja-Gereja Timur dan Barat menempuh perjalanan masing-masing, namun tetap berhubungan karena persekutuan persaudaraan dalam iman dan kehidupan sakramental. Sementara itu berdasarkan persetujuan Takhta di Roma ikut memainkan peranan, bila antara Gereja-Gereja itu timbul sengketa tentang iman dan tata-tertib. Konsili suci – diantara hal-hal lain yang penting sekali – berkenan mengingatkan kepada segenap umat beriman, bahwa di Timur banyaklah Gereja-Gereja khusus atau setempat yang berkembang dengan subur. Di antaranya yang terpenting ialah Gereja-Gereja patriarkal. Cukup banyak di antaranya membanggakan para Rasul sendiri sebagai asal-usulnya. Maka dari itu di kalangan Gereja-Gereja Timur telah dan masih tetap diutamakan usaha yang istimewa untuk melestarikan hubungan-hubungan kekerabatan dalam persekutuan iman dan cinta kasih, yang harus tetap terjalin antara Gereja-Gereja setempat, bagaikan antara saudari.

Jangan pula dilupakan, bahwa Gereja-Gereja Timur sejak awal mula mengemban harta-kekayaan, yang cukup banyak unsur-unsurnya di bidang Liturgi, dalam tradisi rohani maupun perihal tata-hukum tersalurkan ke dalam gereja Barat. Janganlah kurang dihargai pula, bahwa dogma-dogma fundamental iman kristiani tentang Tritunggal dan Sabda Allah yang menjelma dari Perawan Maria telah resmi ditetapkan dalam Konsili-Konsili ekumenis yang diselenggarakan di Timur. Untuk mempertahankan iman itu Gereja-Gereja Timur telah dan tetap masih masih menanggung banyak penderitaan.

Pusaka iman yang diwariskan oleh para rasul telah diterima dalam aneka bentuk dan dengan berbagai cara. Kemudian sejak awal mula Gereja warisan itu di pelbagai tempat telah diuraikan dengan aneka cara sesuai pula dengan majemuknya keunggulan akal budi dan kenyataan-kenyataan hidup. Itu semua, disamping faktor-faktor lahiriah, juga karena kurangnya saling pengertian dan saling cinta kasih, telah membuka pintu bagi perpecahan-perpecahan.

Oleh karena itu Konsili suci mendorong siapa saja, tetapi terutama mereka, yang bermaksud memperjuangkan pemulihan persekutuan sepenuhnya yang diinginkan antara Gereja-Gereja Timur dan Gereja katolik, supaya mereka memberi perhatian yang sewajarnya kepada situasi istimewa Gereja-Gereja Timur yang telah muncul dan berkembang, begitu pula pada corak dan hubungan-hubungan, yang semula, sebelum perpecahan, ada antara Gereja-Gereja itu dan Takhta di Roma, pun juga supaya mereka dengan seksama membentuk penilaian mereka tentang itu semua. Bila semuanya itu dipatuhi dengan cermat, akan sangat membantu untuk menjalin dialog yang dimaksudkan.

15. (Tradisi Liturgi dan hidup rohani dalam Gereja-Gereja Timur)

Semua orang mengetahui juga, betapa umat Kristen Gereja-Gereja Timur sepenuh hati melaksanakan Liturgi suci, terutama perayaan Ekaristi, sumber kehidupan Gereja dan jaminan kemuliaan di masa yang akan datang. Perayaan itu bagi umat beriman dalam persatuan dengan Uskup membuka jalan untuk menghadap Allah Bapa dengan perantaraan Putera, Sabda yang menjelma, menderita sengsara dan dimuliakan, dalam pencurahan Roh Kudus, dan memasuki persekutuan dengan Tritunggal Mahakudus, “ikut serta menghayati kodrat ilahi (2Ptr 1:4). Maka melalui perayaan Ekaristi Tuhan di masing-masing Gereja itu, Gereja Allah di bangun dan berkembang[26]], dan persekutuan Gereja-Gereja itu ditampakkan melalui konselebrasi.

Dalam ibadat Liturgi itu umat Gereja-Gereja Timur dengan kidung-kidung yang amat indah mengagungkan Santa Maria selalu Perawan, yang oleh Konsili ekumenis Efesus secara resmi dimaklumkan sebagai Bunda Allah yang suci, supaya Kristus sungguh-sungguh dan dalam arti yang sejati diakui sebagai Putera Allah dan Putera manusia menurut Kitab suci. Umat Gereja-Gereja Timur juga menghormati dan memuji banyak orang kudus, diantara mereka para Bapa Gereja semesta.

Sungguhpun terpisah, Gereja-Gereja Timur mempunyai Sakramen-Sakramen yang sejati, terutama berdasarkan pergantian apostolik, Imamat dan Ekaristi. Melalui Sakramen-Sakramen itu mereka masih berhubungan erat sekali dengan kita. Maka dari itu suatu kebersamaan dalam perayaan Sakramen-Sakramen, bila situasi memang menguntungkan dan dengan persetujuan Pimpinan gerejawi, bukan hanya mungkin, melainkan juga dianjurkan.

Di Timur terdapat kekayaan tradisi-tradisi rohani, yang terutama terungkap dalam perihidup para rahib. Sebab disitu sejak zaman kekayaan para Bapa kudus berkembanglah spiritualitas monastik, yang kemudian menjalar ke kawasan Gereja Barat. Spiritualitas itulah yang menjadi sumber bagi lembaga hidup religius dalam Gereja Latin, dan kemudian memberinya daya kekuatan baru. Maka dari itu sangat dianjurkan, supaya umat Katolik lebih sering menikmati kekayaan rohani para Bapa Gereja Timur, yang mengangkat manusia seutuhnya untuk merenungkan misteri ilahi.

Hendaknya semua menyadari betapa sangat pentinglah mengenal, menghormati, melestarikan dan mendukung pusaka-warisan Liturgi dan hidup rohani Gereja-Gereja Timur yang kaya sekali, untuk dengan setia melindungi kepenuhan tradisi kristen, dan untuk mewujudkan pendamaian umat kristen gereja-Gereja Timur dan Barat.

16. (Tata-tertib khas Gereja-Gereja Timur)

Selain itu sudah sejak awal mula Gereja-Gereja Timur mematuhi tata-tertib mereka sendiri, yang telah dikukuhkan oleh para Bapa kudus dan Sinode-Sinode, juga yang bersifat ekumenis. Adanya kemacam-ragaman adat-istiadat serta kebiasaan-kebiasaan, seperti sudah dikemukakan, sama sekali tidak menghalang-halangi kesatuan Gereja, bahkan menambah seri-semaraknya dan tidak sedikit membantu pelaksanaan perutusannya. Maka untuk menghilangkan segala keragu-raguan, Konsili menyatakan, bahwa Gereja-gereja Timur – seraya tetap menyadari pentingnya kesatuan Gereja semesta – dapat mengatur peri hidup mereka dengan leluasa seturut tata-tertib mereka sendiri, karena lebih sesuai dengan sifat perangai umat mereka, dan lebih memadai untuk memelihara kesejahteraan umat. Sempurnanya pelaksanaan asas tradisional itu, yang tidak selalu tercapai, termasuk prasyarat yang sungguh perlu dipenuhi untuk memulihkan kesatuan.

17. (Ciri khas Gereja-gereja Timur berkenaan dengan soal-soal ajaran)

Apa yang telah di uraikan tentang keanekaragaman yang sewajarnya, Konsili berkenan menyatakan juga tentang pelbagai perumusan teologis ajaran-ajaran. Sebab, untuk mendalami kebenaran yang diwahyukan, di Timur dan di Barat telah ditempuh bermacam-macam metode dan upaya untuk mengenal misteri ilahi dan merumuskan iman akan-nya. Maka tidak mengherankan, bahwa berbagai aspek misteri yang diwahyukan ada kalanya lebih seksama ditangkap dan lebih jelas diungkapkan oleh pihak tertentu dari pada oleh pihak lain, sehingga pelbagai perumusan teologis tidak jarang lebih tepat dipandang saling melengkapi dari pada saling bertentangan. Mengenai tradisi-tradisi teologis Gereja-gereja Timur yang otentik, harus diakui bahwa tradisi-tradisi itu memang berakar secara mantap dalam Kitab suci, diteguhkan dan diungkapkan oleh kehidupan liturgis, diperkaya oleh Tradisi apostolik yang hidup maupun karya tulis para Bapa Gereja Timur serta para penulis hidup rohani. Tradisi-tradisi itu mengantar umat kepada pola hidup yang baik, bahkan juga kepada kontemplasi kebenaran kristen sepenuhnya.

Konsili melambungkan syukur kepada Allah, bahwa banyak putera-puteri Gereja Katolik dari ritus Timur, yang melestarikan pusaka-warisan itu dan ingin menghayatinya secara lebih murni dan lebih utuh, sudah hidup dalam persekutuan penuh dengan saudara-saudari yang termasuk tradisi Barat. Konsili menyatakan, bahwa seluruh pusaka-warisan di bidang hidup rohani dan liturgi, tata-tertib gerejawi dan teologi, beserta bermacam-ragam tradisi-tradisinya, termasuk kepenuhan katolisitas dan apostolitas Gereja.

18. (Penutup)

Menyadari semuanya itu sepenuhnya, Konsili suci ini membaharui apa yang pernah dinyatakan oleh Konsili-Konsili di masa lampau dan oleh para Paus, yakni: untuk memulihkan dan melestarikan persekutuan serta kesatuan perlulah tidak menaruh beban lebih berat dari yang memang sungguh diperlukan (Kis15:28). Konsili meminta dengan sangat pula, supaya selanjutnya semua usaha ditujukan untuk setapak demi setapak mencapai kesatuan itu, di pelbagai unsur kelembagaan serta bentuk-bentuk kehidupan Gereja, terutama dalam doa dan dialog persaudaraan tentang ajaran-ajaran maupun kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak akan reksa pastoral pada zaman sekarang. Begitu pula Konsili menganjurkan kepada para Gembala serta umat Gereja katolik untuk menjalin hubungan-hubungan dengan mereka, yang tidak hidup di Timur lagi, melainkan merantau jauh dari tanah air. Maksudnya supaya makin meningkatlah kerja sama persaudaraan dengan mereka itu dalam semangat cinta kasih, dengan menyisihkan segala segala keinginan untuk bersaing. Kalau usaha itu digiatkan sepenuh hati, Konsili suci mengharapkan, supaya robohlah dinding pemisah antara Gereja Barat dan Gereja Timur, pada akhirnya terwujudlah kediaman satu-satunya, dibangun atas Batu Penjuru, yakni Kristus Yesus, yang akan menyatukan kedua pihak[27]].

II. GEREJA-GEREJA DAN JEMAAT-JEMAAT GEREJAWI YANG TEPISAH DI DUNIA BARAT

19. (Situasi khusus Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat)

Gereja-Gereja dan Jemaat-jemaat gerejawi, yang pada masa krisis parah sekali, – krisis itu di Barat sudah mulai menjelang akhir Abad pertengahan, – atau sesudah itu, telah terpisahkan dari Takhta Apostolik di Roma, masih tetap mempunyai ikatan dengan Gereja Katolik karena kekerabatan yang istimewa serta hubungan-hubungan berkat kehidupan umat kristen dalam satu persekutuan gerejawi selama abad-abad sebelumnya.

Akan tetapi Gereja-Gereja serta Jemaat-Jemaat gerejawi itu karena beragamnya asal-usul, ajaran dan hidup rohani tidak sedikit pula berbeda bukan hanya dari kita, melainkan juga antara mereka sendiri. Maka sukar sekali memberi gambaran semestinya tentang mereka. Dan itu memang tidak kami maksudkan di sini.

Sungguhpun gerakan ekumenis dan kerinduan untuk berdamai dengan Gereja Katolik belum di mana-mana merupakan arus yang kuat, kami berharap, supaya dalam hati segenap umat Kristen semangat ekumenis dan sikap saling menghargai lambat-laun makin berkembang.

Akan tetapi harus diakui, bahwa antara Gereja-Gereja serta Jemaat-Jemaat itu dan Gereja Katolik masih terdapat perbedaan-perbedaan cukup penting, bukan hanya yang bersifat historis, sosiologis, psikologis dan budaya, melainkan terutama menyangkut cara menafsirkan kebenaran yang diwahyukan. Supaya kendati perbedaan-perbedaan itu dialog ekumenis dapat lebih mudah diadakan, dalam artikel-artikel berikut kami bermaksud mengutarakan apa yang dapat dan harus merupakan dasar maupun dorongan bagi dialog itu.

20. (Iman akan Kristus)

Yang kami maksudkan pertama-tama ialah umat Kristen, yang secara terbuka mengikrarkan iman akan Yesus Kristus sebagai Allah dan Tuhan serta Pengantara tunggal antara Allah dan manusia, demi kemuliaan Allah yang Esa, Bapa, Putera dan Roh Kudus. Memang kami menyadari adanya perbedaan-perbedaan yang cukup berarti dengan ajaran Gereja Katolik juga tentang Kristus Sabda Allah yang menjelma serta karya penebusan-Nya, kemudian tentang misteri serta pelayanan Gereja, begitu pula tentang peranan Maria dalam karya penyelamatan. Tetapi kami bergembira menyaksikan saudara-saudari yang terpisah mengarahkan pandangan kepada Kristus selaku sumber dan pusat persekutuan gerejawi. Tersentuh oleh kerinduan akan persatuan dengan Kristus, mereka terdorong untuk semakin mengusahakan kesatuan, pun juga untuk memberi kesaksian iman mereka ditengah bangsa-bangsa dimanapun juga.

21. (Pendalaman Kitab Suci)

Cinta serta sikap hormat – hampir-hampir ibadat bakti – terhadap Kitab suci menggerakkan saudara-saudari kita untuk terus menerus dan dengan tekun mendalami Kitab suci : sebab Injil “merupakan kekuatan Allah yang menyelamatkan siapapun yang beriman, pertama orang yahudi, kemudian orang Yunani (Rom 1:16).

Sambil menyerukan Roh Kudus, mereka mencari dalam Kitab suci Allah sendiri, yang bagaikan menyapa mereka dalam Kristus, yang dinubuatkan oleh para Nabi, Sabda Allah yang menjelma untuk kita. Dalam kitab suci mereka renungkan hidup Kristus serta apa saja yang diajarkan dan diperbuat oleh Sang Guru ilahi demi keselamatan manusia, terutama misteri wafat serta kebangkitan-Nya.

Tetapi, sedangkan umat Kristen yang tercerai dari kita mengakui kewibawaan ilahi Kitab suci, mereka – dengan cara yang berbeda-beda antara mereka sendiri – berpandangan lain dengan kita mengenai hubungan antara Kitab suci dan Gereja. Sebab menurut iman Katolik Wewenang Mengajar yang otentik berada dalam posisi yang istimewa dalam menguraikan dan mewartakan Sabda Allah yang termaktub.

Akan tetapi dalam dialog sendiri sabda Allah merupakan upaya yang luar biasa dalam tangan Allah yang penuh kuasa untuk mencapai kesatuan, yang oleh Sang Penyelamat ditawarkan kepada semua orang.

22. (Hidup sakramental)

Berkat Sakramen Baptis, bilamana pun itu diterimakan dengan semestinya menurut ketetapan Tuhan, dan diterima dengan disposisi batin yang selayaknya, manusia sungguh disaturagakan dalam Kristus yang disalibkan dan dimuliakan, serta dilahirkan kembali untuk ikut serta menghayati hidup ilahi, menurut sabda rasul: “Kalian telah dikuburkan bersama Dia dalam baptis; dalam Dia pula kalian telah bangkit berkat iman akan karya Allah, yang telah membangkitkan-Nya dari kematian (Kol 2:12)[28]].

Maka Baptis merupakan ikatan sakramental kesatuan antara semua orang yang dilahirkan kembali karenanya. Akan tetapi Baptis sendiri baru merupakan awal-mula dan titik-tolak, sebab seluruhnya tertujukan untuk memperoleh kepenuhan hidup dalam Kristus. Oleh karena itu Baptis terarahkan kepada pengikraran iman yang seutuhnya, kepada integrasi sepenuhnya ke dalam tata-keselamatan seperti dimaksudkan oleh Kristus sendiri, akhirnya kepada integrasi seutuhnya ke dalam persekutuan Ekaristi.

Jemaat-jemaat gerejawi yang terpisah dari kita tidak bersatu sepenuhnya dengan kita berdasarkan Baptis; dan kita percaya bahwa mereka, terutama karena tidak memiliki Sakramen Tahbisan, sudah kehilangan hakekat misteri Ekaristi yang otentik dan sepenuhnya. Kendati begitu, bila dalam Perjamuan Kudus mereka mengenangkan wafat dan kebangkitan Tuhan, mereka mengimani, bahwa kehidupan terdapat dalam persekutuan dengan Kristus, dan mereka mendambakan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan. Oleh karena itu ajaran tentang Perjamuan Tuhan, Sakramen-Sakramen lainnya, ibadat serta pelayanan-pelayanan Gereja harus merupakan bahan dialog.

23. (Kehidupan dalam Kristus)

Hidup Kristen saudara-saudari itu tumbuh berkat iman akan Kristus, dan berkembang karena rahmat Baptis dan dengan mendengarkan Sabda Allah. Hidup itu nampak dalam doa pribadi, dalam renungan tentang Kitab suci, dalam kehidupan keluarga kristen, dalam ibadat jemaat yang berhimpun untuk memuji Allah. Selain itu ibadat mereka acap kali menampilkan dengan jelas unsur-unsur liturgi kuno yang bersifat umum bagi umat umat Kristen.

Iman akan Kristus berbuah dalam pujian dan ucapan syukur atas kurnia-kurnia yang diterima dari Allah. Kecuali itu terdapat rasa keadilan yang peka dan cinta kasih yang tulus terhadap sesama. Iman yang mewujud dalam tindakan-tindakan nyata itu memperbuahkan cukup banyak lembaga juga untuk meringankan penderitaan rohani maupun jasmani, untuk mengembangkan pendidikan kaum muda, untuk menjadikan kondisi-kondisi sosial kehidupan lebih manusiawi, untuk menciptakan perdamaian di mana pun juga.

Meskipun banyak juga di antara umat Kristen, yang di bidang moral tidak selalu memberikan tafsiran yang sama tentang Injil seperti umat Katolik, dan tidak menyetujui cara-cara yang sama untuk memecahkan persoalan-persoalan masyarakat zaman sekarang yang cukup sulit, tetapi seperti kita mereka pun hendak berpegang teguh pada sabda Kristus sebagai sumber keutamaan Kristen, serta mematuhi perintah Rasul: “Apa pun yang kalian lakukan dengan kata-kata maupun perbuatan, itu semua hendaknya dilakukan demi nama Tuhan Yesus Kristus, seraya bersyukur kepada Allah Bapa dengan perantaraan-Nya (Kol3:17). Maka dialog ekumenis dapat diawali dengan penerapan Injil di bidang moral.

24. (Penutup)

Demikianlah, sesudah dengan singkat menjelaskan syarat-syarat untuk melaksanakan kegiatan ekumenis, begitu pula prinsip-prinsip untuk mengaturnya, kami penuh percaya mengarahkan pandangan ke masa depan. Konsili suci ini mengajak umat beriman, untuk menjauhkan diri dari setiap sikap acak-acakan atau dari semangat yang tidak bijaksana, yang justru dapat merugikan kemajuan kesatuan yang sesungguhnya. Kegiatan ekumenis mereka tidak dapat lain kecuali bersifat Katolik sepenuhnya dan setulus-tulusnya, artinya: setia terhadap kebenaran, yang telah kita waris dari para Rasul dan para Bapa Gereja; begitu pula sesuai dengan iman, yang senantiasa di ikrarkan oleh Gereja katolik, sekaligus pula menuju kepenuhan, yang seturut kehendak Tuhan harus semakin terwujudkan pada Tubuh-Nya di sepanjang masa.

Konsili suci ini sungguh menginginkan, supaya usaha-usaha putera-puteri Gereja Katolik makin mengalami kemajuan terpadu dengan usaha-usaha saudara-saudari yang terpisah, dan supaya jangan sampai ada hambatan terhadap jalan Penyelenggaraan ilahi, jangan pula ada prasangka-prasangka terhadap dorongan-dorongan Roh Kudus di masa mendatang. Kecuali itu Konsili menyatakan keyakinannya, banyak maksud yang suci untuk mendamaikan segenap umat Kristen menjadi satu dalam Gereja Kristus yang satu dan tunggal melampaui daya-kekuatan serta bakat-kemampuan manusiawi. Oleh karena itu Konsili menaruh harapan sepenuhnya pada doa Kristus bagi Gereja, pada cinta kasih Bapa terhadap kita, dan pada kekuatan Roh Kudus. “Harapan tidak mengecewakan: sebab cinta kasih Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita berkat Roh Kudus, yang dianugerahkan kepada kita (Rom 5:5).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasul yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 21 bulan November tahun 1964.

Saya PAULUS
Uskup Gereja katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] Lih. 1Kor 1:13.

[2] Lih. 1Yoh 4:9; Kol 1:18-20; Yoh 11:52.

[3] Lih. Yoh 13:34.

[4] Lih. Yoh 16:7.

[5] Lih 1Kor 12:4-11

[6] Lih. (Mat 28:18-20), bdk. (Yoh 20:21-23).

[7] Lih. (Mat 16:19), bdk. (Mat 18:18).

[8] Lih. (Luk 22:32).

[9] Lih. (Yoh 21:15-17).

[10] Lih (Ef 2:20).

[11] Lih 1Ptr 2:25. – KONSILI VATIKAN I, Sidang 4 (1870), Konstitusi Pastor Aeternus: Coll.Lac. 7, 482 a.

[12] Lih. (Yes 11:10-12).

[13] Lih (Ef 2:17-18), bdk. (Mrk 16:15).

[14] Lih. (1Ptr 1:3-9).

[15] Lih. (1Kor 11:18-19 ; Gal 1:6-9 ; 1Yoh 2:18-19).

[16] Lih. (1Kor 1:11) dan selanjutnya; (1Kor 11:22).

[17] Lih. KONSILI FIRENZE, Sidang 8 (1439), Dekrit Exsultate Deo: MANSI 31, 1055 A.

[18] Lih. S. AGUSTINUS, Uraian tentang Mzm 32, Ur.II, 29: PL 36, 299.

[19] Lih. KONSILI LATERAN IV (1215), Konstitusi IVa: MANSI 22, 990. – KONSILI LYON II (1274), Ikrar Imam Mikael paleologus: MANSI 24, 71E. – KONSILI FIRENZE, Sidang 6 (1439), Definisi Laetentur Coeli: MANSI 31, 1026e.

[20] Lih. (Yak 1:4 ; Roma 12:1-2).

[21] Lih. (2 Kor4:10 ; Flp 2:5-8).

[22] Lih. (Ef 5:27).

[23] Lih. KONSILI LATERAN V, Sidang 12 (1517), Konstitusi Constituti: MANSI 32, 988 B-C.

[24] Lih. (Ef 4:23).

[25] Lih. (Ef 3:8).

[26] Lih. S. YOHANES KRISOSTOMUS, Homili tentang Yoh. : PG 59, 260-262.

[27] Lih. KONSILI FIRENZE, Sidang 6 (1439), Definisi Laetentur Coeli: MANSI 31, 1026 E.

[28] Lih. (Rom 6:4).

Orientalium Ecclesiarum (OE)

0

DEKRIT TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR KATOLIK

PAUS PAULUS USKUP HAMBA PARA HAMBA ALLAH BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. Gereja Katolik sangat menghargai lembaga-lembaga, upacara-upacara liturgi, tradisi-tradisi gerejawi dan tata-laksana hidup kristen dalam GEREJA-GEREJA TIMUR. Sebab semuanya itu mempunyai keunggulan sebagai warisan zaman kuno yang terhormat, menampilkan tradisi yang melalui para Bapa Gereja berasal dari para Rasul[1], dan merupakan sebagian dalam pusaka perwahyuan ilahi, yang utuh-utuh diserahkan kepada Gereja semesta. Maka penuh perhatian terhadap Gereja-Gereja Timur, saksi-saksi hidup Tradisi itu, Konsili Ekumenis ini menyatakan keinginannya, supaya Gereja-gereja itu tetap subur, dan dengan kekuatan rasuli yang diperbaharui menunaikan tugas perutusan yang dipercayakan kepadanya. Selain apa yang berlaku bagi Gereja semesta, Konsili memutuskan untuk menetapkan beberapa pokok, sementara hal-hal lain diserahkan kepada penyelenggaraan Sinode-Sinode Timur dan Takhta Apostolik.

GEREJA-GEREJA KHUSUS ATAU RITUS-RITUS

2. (Kemacam-ragaman dalam persekutuan Gereja katolik) Gereja katolik yang kudus, Tubuh Mistik Kristus, ialah umat beriman yang dipersatukan secara laras-serasi karena iman yang sama, Sakramen-sakramen yang sama, dan kepemimpinan yang sama dalam Roh Kudus. Umat itu merupakan perpaduan pelbagai golongan yang tergabung di bawah bimbingan hirarki, yang terhimpun sebagai Gereja-Geraja khusus atau Ritus-Ritus. Antara Gereja-gereja itu ada persekutuan yang mengagumkan, sehingga kemacam-ragaman dalam Gereja bukannya merugikan kesatuannya, melainkan justru mengungkapkannya. Gereja katolik memang menghendaki, agar tradisi-tradisi masing-masing Gereja khusus atau Ritus tetap utuh dan lestari. Lagi pula Gereja hendak menyesuaikan perihidupnya dengan bermacam-macam kebutuhan setempat dan semasa[2]). 3. (Kesamaan martabat, hak-hak dan kewajiban-kewajiban) Gereja-gereja khusus seperti itu, baik di Timur maupun di Barat, sebagian saling berbeda perihal apa yang disebut ritus, Yakni Liturgi, tat-laksana gerejawi, dan pusaka warisan rohani. Tetapi sama-sama dipercayakan kepada kepemimpinan pastoral Imam Agung di Roma, yang berdasarkan ketetapannya atas Gereja semesta. Maka Gereja-Gereja itu mempunyai martabat yang sama, sehingga tiada satupun unggul terhadap yang lain-lain karena rirusnya; begitu pula mempunyai hak-hak yang sama dan terikat kewajiban-kewajiban yang sama, juga perihal pewartaan Injil ke seluruh dunia (lih. Mrk 16:15) , dibawah kepemimpinan paus di Roma. 4. (Kelestarian Ritus-Ritus dalam satu persekutuan) Maka diseluruh dunia hendaknya diusahakan kelestarian dan perkembangan semua Gereja khusus. Oleh karena itu hendaklah dibentuk paroki-paroki beserta hirarkinya sendiri, bila itu diperlukan bagi kesejahteraan rohani umat beriman. Tetapi hendaknya para Hirark berbagai Gereja khusus, yang mempunyai yurisdiksi di daerah yang sama, berusaha – dengan mengadakan musyawarah dalam sidang-sidang berkala ” memelihara kesatuan kegiatan, dan dengan berpadu tenaga mendukung karya-karya bersama, untuk mempermudah peningkatan kesejahteraan agama, dan secara lebih aktif menjaga tata-laksana di anatra klerus[3]. Segenap klerus dan mereka yang menyiapkan diri untuk menerima Tahbisan suci hendaknya mendapat penyuluhan yang memadai tentang Ritus-Ritus, dan terutama tentang norma-norma praktis mengenai perkara-perkara antar Ritus. Bahkan kaum awam pun hendaklah dalam pendidikan katekis mendapat penjelasan tentang Ritus-Ritus orang katolik, dan mereka yang menerima Babtis di Gereja atau jemaat bukan katolik mana pun juga, yang menggabungkan diri dalam kepenuhan persekutuan katolik, dimanapun juga tetap hidup menurut Ritus mereka sendiri, memeliharanya dan sedapat mungkin mematuhinya[4]. Sementara itu tetap dipertahankan hak untuk mengajukan persoalan kepada Takhta Apostolik, bila ada kasus kasus khas menyangkut pribadi-pribadi jemaat-jemaat, atau daerah-daerah. Takhta suci, sebagai instansi tertinggi yang berwenang atas hubungan-hubungan antar Gereja, akan menanggapi kebutuhan-kebutuhan dalam semangat ekumenis, secara langsung atau melalui instansi-instansi lainnya, melalui norma-norma, dekrit-dekrit dan jawaban-jawaban resmi.

MELESTARIKAN PUSAKA ROHANI GEREJA-GEREJA TIMUR

5. (Hak serta kewajiban Gereja-Gereja untuk melestarikan tata-laksana masing-masing) Sejarah, tradisi-tradisi, dan amat banyak lembaga-lembaga gerejawi memberi kesaksian gemilang, betapa besar jasa-sumbangan Gereja-Gereja Timur bagi Gereja semesta[5]. Maka itu konsili suci tidak hanya menyambut pusaka gerejawi dan rohani itu dengan penghargaan dan pujian semestinya, melainkan dengan tegas memandangnya juga sebagai pusaka seluruh gereja Kristus. Oleh sebab itu Konsili secara resmi menyatakan, bahwa Gereja-Gereja Timur seperti juga Gereja-Gereja Barat mempunyai hak maupun kewajiban, masing-masing untuk mengatur diri menurut tata-laksana yang khas. Sebab tata-laksana itu dianjurkan karena riwayatnya yang kuno dan terhormat, karena lebih sesuai dengan sifat dan perilaku umat beriman, dan nampak lebih sesuai untuk mengembangkan kesejahteraan umat. 6. (Melestarikan upacara-upacara Liturgi Ritus Timur) Hendaklah segenap umat Gereja-Gereja Timur menyadari dan merasa yakin, bahwa mereka selalu dapat dan wajib melestarikan upacara-upacara Liturgi mereka yang sah serta tata-laksana mereka, dan bahwa perubahan-perubahan hanya hanya boleh diadakan berdasarkan motivasi kemajuan mereka yang laras-serasi. Maka hendaklah itu semua oleh umat gereja-Gereja Timur dipatuhi dengan kesetiaan sepenuhnya. Mengenai semuanya itu mereka harus memperoleh pengertian yang makin mendalam dan mencapai tingkat pelaksanaan yang makin sempurna. Dan bila tanpa alasan yang wajar, karena situasi jaman atau pribadi-pribadi tertentu, mereka telah menyimpang dari padanya, hendaklah mereka berusaha kembali kepada tradisi-tradisi para leluhur. Adapun mereka, yang karena tugas atau pelayan kerasulan seringkali berhubungan dengan Gereja-Gereja Timur atau dengan umatnya, hendaknya ” sesuai dengan beratnya kewajiban mereka ” dibenahi dengan pengertian yang cermat tentang upacara-upacara, tata-laksana, ajaran, sejarah serta sifat-sifat umat, dengan penghargaan terhadapnya[6]. Kepada tarekat-tarekat religius serta perserikatan-perserikatan Ritus Latin, yang berkarya didaerah-daerah timur atau ditengah umat Gereja-Gereja Timur, dianjurkan dengan sangat, supaya demi efektifnya kerasulan mereka, mereka sedapat mungkin mendirikan rumah-rumah atau juga provinsi-provinsi Ritus Timur[7]

.

PARA PATRIARK TIMUR

7. (Siapa Patriark Timur itu?) Sejak jaman kuno terdapatlah dalam Gereja lembaga patriarkal, yang sudah diakui oleh Konsili-Konsili Ekumenis pertama[8]. Yang disebut Patriark Timur ialah Uskup, yang mempunyai yurisdiksi atas semua Uskup, tidak terkecuali uskup Metropolit, atas klerus dan umat wilayah atau Ritusnya sendiri, menurut norma hukum dan tanpa mengurangi primat Paus di Roma[9]. Dimanapun diangkat seorang Hirark dari suatu Ritus diluar batas-batas wilayah patriarkal, ia tetap termasuk hirarki patriarkat Ritus itu juga menurut norma hukum. 8. (Semua Patriark sederajat martabatnya) Meskipun patriarkat-patriarkat muncul pada waktu yang berlainan, semua Patraiark Gereja-Gereja Timur sederajat berdasarkan martabat patriarkal, tanpa mengurangi adanya urutan kehormatan antara mereka, yang telah ditetapkan secara sah[10]. 9. (Wewenang patriark dan Sinode) Menurut tradisi Gereja yang sangat kuno para Patriark Gereja-Gereja Timur layak mendapat kehormatan istimewa, karena mereka mengetuai patrairkat mereka masing-masing sebagai bapa dan kepala. Maka Konsili suci ini menetapkan, agar hak-hak serta privilegi-privilegi mereka dipulihkan, seturut tradisi-tradisi kuno masing-masing Gereja serta dekrit-dekrit Konsili-Konsili Ekumenis[11]. Hak-hak dan privilegi-privilegi itu ialah : yang berlaku pada waktu persatuan antara Timur dan Barat, sungguhpun semuanya perlu sekedar disesuaikan dengan situasi zaman sekarang. Patriark beserta sinode-sinodenya merupakan instansi yang lebih tinggi untuk urusan-urusan mana pun juga dalam patriarkat, tidak terkecuali hak-hak untuk menetapkan eparkia-eparkia baru dan mengangkat Uskup-Uskup Ritusnya dalam batas-batas wilayah patriarkal, tanpa mengurangi hak paus di Roma yang tidak dapat diganggu-gugat untuk bercampur tangan pada setiap kasus. 10. (Uskup Agung Utama) Apa yang dikatakan tentang para Patriark, menurut norma hukum berlaku juga bagi para Uskup Agung Utama, yang memimpin suatu Gereja khusus secara keseluruhan atau suatu Ritus[12]. 11. (Didirikan patriarkat-patriarkat baru sejauh perlu) Karena dalam gereja-Gereja Timur lembaga patriarkal merupakan bentuk kepemimpinan yang tradisional, Konsili Ekumenis ini menghimbau, supaya bilamana perlu didirikan patriarkat-patriarkat baru. Termasuk wewenang khusus Konsili Ekumenis atau Paus di Roma, untuk mendirikannya[13]. TATA-LAKSANA SAKRAMEN-SAKRAMEN 12. (Konsili mengukuhkan tata-laksana Sakramen-Sakramen) Konsili Ekumenis ini mengukuhkan serta memuji tata-laksana Sakramen-Sakramen, yang sejak dulu kala berlaku di Gereja-Gereja Timur, begitu pula praktek perayaan serta pelayanannya. Konsili menginginkan, supaya sejauh perlu tata-laksana itu dipulihkan. 13. (Pelayan Sakramen Krisma) Tata-laksana menyangkut pelayan Sakramen Krisma, yang sejak dahulu berlaku di Gereja-gereja Timur, hendaknya dipulihkan seutuhnya. Maka para Imam dapat menerimakan Sakramen itu, dengan menggunakan Krisma yang diberkati oleh Patriark atau Uskup[14]. 14. (Penerimaan Sakramen Krisma) Semua imam Gereja-Gereja Timur dapat secara sah menerimakan Sakramen Krisma, entah bersama dengan Babtis atau terpisah dari padanya, kepada sekalian umat beriman dari Ritus manapun juga, tak terkecualikan Ritus Latin, dengan mematuhi demi halalnya peraturan-peraturan hukum yang bersifat umum maupun khusus[15]. Juga para imam Ritus Latin, menurut kewenangan yang mereka terima untuk menerimakan Sakramen itu, dapat menerimakannya secara sah juga kepada umat beriman Gereja-Gereja timur, entah mereka termasuk Ritus mana, dengan mematuhi demi halalnya peraturan-peraturan hukum yang bersifat umum maupun khusus[16]. 15. (Ekaristi suci) Umat beriman wajib ikut merayakan Liturgi ilahi pada hari Minggu dan hari Raya, atau ” menurut peraturan-peraturan atau adat kebiasaan Ritusnya ” ikut mendoakan Pujian ilahi (ibadat harian)[17]. Untuk mempermudah umat beriman menunaikan kewajiban itu, ditetapkan, bahwa waktu yang cocok untuk menaati perintah itu berlangsung dari sore sebelumnya hingga akhir Minggu atau hari raya[18]. Dianjurkan dengan sangat, supaya umat beriman pada hari-hari itu, atau lebih sering, bahkan setiap hari, menerima Ekaristi suci[19]. 16. (Pelayan Sakramen Tobat) Karena umat beriman pelbagai Gereja khusus sehari-harian bercampur-baur di wilayah atau daerah Gereja Timur yang sama, kewenangan para imam dari Ritus mana pun juga untuk menerima pengakuan dosa, yang mereka peroleh secara sah dan tanpa syarat dari Hirarki mereka, diperluas hingga meliputi seluruh wilayah Hirarki yang memberinya, pun juga meliputi tempat-tempat serta umat beriman yang termasuk Ritus mana pun juga diwilayah itu, kecuali bila Hirark setempat jelas-jelas menolaknya untuk daerah Ritusnya[20]. 17. (Diakonat dan tahbisan-tahbisan tingkat rendah) Supaya tata-laksana Sakramen Tahbisan dari zaman dahulu berlaku lagi di Gereja-gereja Timur, Konsili suci ini menganjurkan, agar lembaga diakonat yang tetap, bila kebiasaan itu telah hilang, dipulihkan[21]. Mengenai sub diakonat dan tingkat-tingkat Tahbisan yang lebih rendah beserta hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya, hendaklah itu diurus oleh wewenang legislatif setiap Gereja khusus[22]. 18. (Pernikahan campur) Untuk mencegah perkawinan-perkawinan yang tidak sah, bila anggota Gereja Timur katolik menikah dengan orang yang dibabtis dalam gereja Timur bukan katolik, dan untuk memeliharakelestarian serta kekudusan perkawinan dan kedamaian rumah tangga, Konsili menetapkan, bahwa bentuk kanonik perayaan untuk perkawinan itu hanya diwajibkan supaya perkawinan itu halal, dan bahwa untuk sahnya perkawinan cukuplah kehadiran pejabat gerejawi, dengan mengindahkan ketetapan-ketetapan hukum lainnya[23]. LITURGI 19. (Hari-hari raya) Selanjutnya hanya Konsili Ekumenis atau Takhta apostoliklah, yang berwenang menetapkan, memindahkan atau meniadakan hari-hari raya yang berlaku umum bagi semua Gereja Timur. Sedangkan yang berwenang menetapkan, memindahkan atau meniadakan hari-hari raya untuk masing-masing Gereja khusus, ialah: kecuali Takhta apostolik, Sinode-Sinode patriarkal atau arkiepiskopal; tetapi perlu dipertimbangkan kepentingan seluruh daerah serta Gereja-Gereja khusus lainnya[24]. 20. (Hari raya Paska) Sampai tercapainya persetujuan yang diinginkan oleh segenap umat kristen tentang hari tunggal bagi semua untuk merayakan hari raya Paska, dan untuk meningkatkan kesatuan umat kristen di satu daerah atau negara, untuk sementara diserahkan kepada para Patriark atau para penguasa gerejawi setempat yang tertinggi, untuk berdasarkan mufakat bulat dan musyawarah antara pihak-pihak yang berkepentingan, menetapkan satu hari Minggu guna merayakan hari raya Paska[25]. 21. (Penyesuaian diri dengan Ritus setempat) Setiap orang beriman, yang tinggal diluar wilayah atau daerah Ritusnya sendiri, berkenaan dengan hukum tentang masa-masa kudus, dapat menyesuaikan diri sepenuhnya dengan tata-laksana gerejawi yang berlaku ditempat kediamannya. Dalam keluarga-keluarga, yang para anggotanya menganut Ritus yang berbeda-beda, hukum itu boleh diakui menurut satu Ritus saja[26]. 22. (Pujian ilahi [ibadat harian]) Hendaknya para anggota klerus dan religius Gereja-Gereja Timur mematuhi peraturan-peraturan tata-laksana serta tradisi-tradisi mereka sendiri dalam merayakan Pujian ilahi (ibadat harian), yang sejak dulu kala dijunjung tinggi di semua Gereja-Gereja Timur[27]. 23. (Penggunaan bahasa daerah) Patriark beserta sinode, atau Pemimpin Tertinggi setiap Gereja beserta Dewan para Hiark, mempunyai hak untuk mengatur penggunaan bahasa-bahasa dalam upacara-upacara Liturgi, pun juga ” sesudah melaporkannya kepada Takhta Apostolik ” menyetujui terjemahan-terjemahan teks-teks dalam bahasa daerah[28]. PERGAULAN DENGAN PARA ANGGOTA GEREJA-GEREJA YANG TERPISAH 24. (Memelihara persekutuan menurut Dekrit tentang Ekumenisme) Termasuk tuga khusus Gereja-Gereja Timur yang berada dalam persekutuan dengan Takhta Apostolik di Roma, memelihara kesatuan segenap umat kristen, terutama umat Gereja-Gereja Timur, menurut prinsip-prinsip dekrit Konsili ini tentang Ekumenisme, pertama-tama melalui doa-doa, teladan hidup, kesetiaan keagamaan terhadap tradisi-tradisi Timur yang kuno, saling pengertian yang makin mendalam, kerja sama dan penghargaan persaudaraan terhadap orang-orang maupun berbagai hal[29]. 25. (Syarat untuk kesatuan; kewenangan menjalankan kuasa Tahbisan) Dari umat Gereja-Gereja Timur terpisah, yang berkat dorongan rahmat Roh Kudus memasuki kesatuan katolik, hendaklah jangan dituntut lebih dari ikrar iman katolik yang sederhana. Dan bila diantara mereka masih tetap dipertahankan imamat yang sah, para anggota klerus Gereja-Gereja Timur, yang bergabung dengan kesatuan katolik, mempunyai kewenangan menjalankan kuasa Tahbisannya, menurut norma-norma yang ditetapkan oleh Pimpinan yang berwenang[30]. 26. (“Communicatio in sacris”) Perayaan bersama Sakramen-Sakramen (“communicatio in sacris”), yang melanggar kesatuan Gereja, atau mencakup persetujuan formal terhadap kesesatan atau bahaya menyimpang dari iman, batu sandungan, atau indeferentisme, dilarang berdasarkan hukum ilahi[31]. Akan tetapi berkenaan dengan para anggota Gereja-Gereja Timur praktek pastoral menunjukkan, bahwa dapat dan harus dipertimbangkan pelbagai situasi masing-masing pribadi, yang tidak menimbulkan pelanggaran terhadap kesatuan Gereja atau bahaya-bahaya yang perlu dielakkan, melainkan mengisyaratkan mendesaknya kebutuhan akan keselamatan dan kesejahteraan rohani umat. Oleh karena itu Gereja katolik sesuai dengan situasi waktu, tempat serta pribadi-pribadi, seringkali telah dan masih tetap menempuh cara bertindak yang lebih lunak, dengan menyajikan kepada semua upaya-upaya keselamatan serta kesaksian cinta kasih antar umat kristen, melalui keikut-sertaan dalam perayaan Sakramen-Sakramen, partisipasi dalam perayaan-perayaan serta kegiatan-kegiatan lain. Memperhatikan itu semua, dan “untuk tidak menjadi halangan bagi mereka yang diselamatkan karena kerasnya penilaian”[32], pun juga untuk mempererat persatuan dengan Gereja-Gereja Timur yang tercerai dari kita, menetapkan cara bertindak berikut. 27. Berdasrkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan, kepada para anggota Gereja-Gereja Timur, yang tanpa kesalahan apapun terpisah dari Gereja katolik, dapat diterimakan Sakramen Tobat, Ekaristi dan Pengurapan Orang Sakit, bila mereka sendiri memintanya dan berada dalam disposisi baik. Bahkan orang-orang katolik pun boleh meminta Sakramen-Sakramen itu kepada pelayan-pelayan yang tidak katolik, bila Gereja-Gereja mereka mempunyai Sakramen-Sakramen yang sah, setiap kali iti dibutuhkan, atau sungguh ada manfaat rohaninya, dan bila secara fisik atau moril tidak dapat ditemui seorang imam katolik[33]. 28. Begitu pula, berdasarkan prinsip-prinsip yang sama, serta dengan alasan yang wajar, umat katolik dan para anggota Gereja-gereja Timur yang terpisah diperbolehkan bersama-sama merayakan ibadat dan menggunakan hal-hal serta tempat-tempat kudus[34]. 29. (Bimbingan para Hirark setempat) Pelaksanaan peraturan yang diperlunak tentang perayaan bersama Sakramen-Sakramen dengan saudara-saudari Gereja-Gereja Timur yang terpisah itu dipercayakan kepada pengawasan dan bimbingan para Hiraki setempat, supaya mereka ” berdasarkan musyawarah antara mereka, dan bila perlu juga dengan menampung pendapat Hirark Gereja-Gereja yang terpisah ” dengan peraturan-peraturan serta norma-norma yang menunjang dan efektif, mengatur hubungan antar umat kristen.

PENUTUP

30. Konsili suci sangat bergembira atas kerja sama aktif yang berhasil antara Gereja-Gereja katolik Timur dan Barat, pun sekaligus menyatakan : bahwa semua peraturan hukum itu ditetapkan untuk situasi sekarang ini, sampai Gereja katolik dan Gereja-Gereja Timur yang terpisah menyatu dalam persekutuan sepenuhnya. Sementara itu seluruh umat kristen yang termasuk Gereja-Gereja Timur maupun barat diminta dengan sangat, supaya penuh semangat dan dengan tekun, bahkan setiap hari memanjatkan doa-doa kepada Allah, supaya berkat bantuan Santa Bunda Allah, mereka semua menjadi satu. Hendaklah mereka berdoa pula, supaya sekian banyak orang kristen dalam Gereja mana pun juga, yang dengan berani menyerukan nama Kristus dan karena itu menanggung penderitaan dan penindasan, dilimpahi peneguhan dan penghiburan sepenuhnya oleh Roh Kudus Sang Penghibur. Marilah kita semua saling mengasihi sebagai saudara, dan saling mendahului dalam memberi hormat (Rom 12:10). Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah. Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 21 bulan November tahun 1964. Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik (Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)


[1] LEO XIII, Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1984: Acta Leonis XIII”, jilid XIV (1894) hlm. 201-202. [2] S. LEO IX, Surat In terra pax, tahun 1053 : “Ut enim”. ” INOSENSUS III, Konsili Lateran IV, Tahun 1215, bab IV : Licet Graecos; Surat Inter Quattuor, tagl 2 Agustus 1206 : Postulasi Postmodum. ” INOSENSUS IV, Surat Cum de cetero, tgl. 27 Agustus 1247; Surat Sub catholicae, tgl. 6 Maret 1254, pendahuluan . ” NIKOLAUS III, Instruksi Istut est memoriale, tgl. 9 Oktober 1278. ” LEO X, Surat apostolik Accepimus nuper, tgl. 18 Mei 1521. ” PAULUS III, Surat apostolik Dudum, tgl. 23 Desember 1534. ” PIUS IV, Konstitusi Romanus Pontifex, tgl. 16 Februari 1564, 5. ” KLEMENS VIII, Konstitusi Magnus Dominus, tgl. 23 Desember 1595, 10. ” PAULUS V, Konstitusi Solet circumspecta, tgl. 10 Dsember 1615, 3. ” BENEDICTUS XIV, Ensiklik Demandatam, tgl. 24 Desember 1743, 3; Ensiklik “Allatae sunt”, tgl. 26 Juni 1755, 3, 6-19, 32. ” PIUS VI, Ensiklik Catholicae communionis, tgl. 24 Mei 1787. ” PIUS IX, Surat In Suprema, tgl. 6 Januari 1848, 3; Surat apostolik Ecclesiam Christi, tgl. 26 November 1853; Konstitusi Romani Pontificis, tgl. 6 Januari 1862. ” LEO XIII, Surat apostolik Praeclara, tgl. 20 Juni 1894, no. 7; Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1894, pendahuluan; dan lain-lain. [3] PIUS XII, Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 4. [4] PIUS XII, Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 8: “Sine Licentia Sedis Apostolicae” (tanpa izin Takhta Apostolik), dengan menganut praksis abad-abad sebelumnya; begitu pula tentang mereka yang di Babtis di luar Gereja Katolik, dalam kanon 11 tercantum : “ritum quem maluerint amplecti possunt” (mereka boleh berpegang teguh pada Ritus, yang mereka pilih sendiri); dalam teks yang diajukan diambil keputusan positif tentang “tetap mempertahankan Ritusnya” bagi semua kaum beriman di seluruh dunia. [5] Lih. LEO XIII, Surat apostolik Orientalium dignitas, tgl. 30 November 1894; Surat apostolik praeclara gratulationis, tgl. 0 Juni 1894, dan dokumen-dokumen yang disebutkan pada catatan kaki 2. [6] Lih. BENEDIKTUS XV, Motu Proprio Orientis cattholici, tgl. 15 Oktober 1917. ” PIUS XI, Ensiklik Rerum orientalium, tgl. 8 September 1928, dan lain-lain. [7] Praktek Gereja katolik pada zaman Pius XI, Pius XII, dan Yohanes XXIII secara melimpah menunjukkan adanya gerakan itu. [8] Lih. KONSILI NIKAIA I, kanon 6. ” KONSILI KONSTANTINOPEL I, kanon 2 dan 3. ” KONSILI CHALKEDON, kanon 28; kanon 9. ” KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 17; kanon 21. ” KONSILI LATERAN IV, kanon 5; kanon 30. ” KONSILI FIRENZE, Dekrit untuk umat Yunani, dan lain-lain. [9] Lih. KONSILI NIKAIA, kanon 6. ” KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 17. ” PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, kanon 216, 2, 1. [10] Dalam Konsili-Konsili Ekumenis: NIKAIA I, kanon 6. ” KONSTANTINOPEL I, kanon 21. ” LATERAN IV, kanon 5. ” FIRENZE, Dekrit untuk umat Yunani, tgl. 6 Juli 1439, 9. ” Lih. PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 219, dan lain-lain. [11] Lih. Catatan kakai 8. [12] Lih. KONSILI EFESUS, kanon 8. ” KLEMENS VII, Decet Romanum Pontificem, tgl. 23 Februari 1596. ” PIUS VII, Surat Apostolik In universalis Ecclesiae, tgl. 22 februari 1807. ” PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 324-339. KONSILI KARTAGO, tahun 419, kanon 17. [13] KONSILI KARTAGO, tahun 419, kanon 17 dan 57. ” KONSILI CHALKEDON, tahun 451, kanon 12. ” S. INOSENSIUS I, Surat Ad consulta vestra, tgl. 13 November 866: A quo autem. INOSENSIUS III, Surat Rex regum, tgl. 25 Februari 1204. ” LEO XII, Surat apostolik Petrus Apostolorum Princeps, tgl. 15 Agustus 1824. ” LEO XIII, Surat apostolik Christi Domini, tahun 1895. ” PIUS XII, , Motu proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 159. [14] Lih. INOSENSIUS IV, Surat Sub catholicae, tgl. Maret 1254, 3, n.4. ” KONSILI LYON II, tahun 1274 (Ikrar iman Mikael Paleologos yang dipersembahkan kepada Gregorius X). ” EUGENIUS IV, dalam Konsili Firenze, Konstitusi Exsultate Deo, tgl. 22 November 1439, 11. ” KLEMENS VIII, Instruksi Sanctissimus, tgl. 31 Agustus 1595. ” BENEDIKTUS XIV, Konstitusi Etsi pastoralis, tgl. 26 Mei 1742, II, n.1, dan lain-lain. ” SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 48. ” SINODE SIS GEREJA ARMENIA, tahun 1342. ” SINODE LIBANON GEREJA MARONIT, tahun 1736, Bag. II, Bab III, n.2, dan Sinode-Sinode khusus lainnya. [15] Lih. KONGREGASI OFISI SUCI, Instruksi (kepada Uskup di Zips), tahun 1783. ” KONGEGRASI PENYIARAN IMAN (untuk umat Koptis), tgl. 15 Maret 1790, n.XIII; Dekrit tgl. 6 Oktober 1863, C, a; KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, tgl. 1 Mei 1948. ” KONGREGASI OFISI SUCI, Jawaban tgl. 22 April 1896 dengan surat tgl. 19 Mei 1896. [16] Kitab Hukum Kanonik, kanon 782, 4. ” KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, Dekrit “tentang pelayanan Sakramen Krisma juga kepada umat Gereja-Gereja Timur, oleh imam-imam Ritus Latin, yang mempunyai wewenang itu terhadap umat dari Ritusnya:, tgl. 1 Mei 1948. [17] Lih. SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 29. ” S. NIKEFOROS dari Konstantinopel, bab 14. ” SINODE GEREJA ARMENIA di DWIN, tahun 719, kanon 31. ” S. TEODOROS STUDITA, kotbah 21. ” S. NIKOLAUS I, Surat Ad consulta vestra, tgl. 13 November 866: In quorum Aposlotorum; Nos cupitis; quod interrogatis; Praterea consulitis; Si die Dominico; dan sinode-sinode khusus. [18] Itu sesuatu yang baru, sekurang-kurangnya dimana berlaku kewajiban untuk ikut merayakan Liturgi suci; tetapi itu cocok dengan “hari liturgi” menurut Gereja-Gereja Timur. [19] Lih. Canones Apostolorum, 8 dan 9. ” SINODE ANTIOKIA, tahun 341, kanon 2. ” TIMOTEOS dari Iskandaria, Interrogatio (pertanyaan) 3. ” INOSENSIUS III, Konstitusi Quia divinae, tgl. 4 Januari 1215; dan amat banyak Sinode khusus Gereja-Gereja Timur yang lebih resen. [20] Tanpa mengurangi sifat teritorial yurisdiksi, kanon itu demi kesejahteraan umat beriman bermaksud menanggapi situasi yang timbul dari kemajemukan yurisdiksi di satu tempat yang sama. [21] Lih. KONSILI NIKAIA I, kanon 18. ” SINODE NEOKAISAREA, tahun 314/325, kanon 12. ” SINODE SARDIKA, tahun 343, kanon 8. ” S. LEO AGUNG, Surat Omnium quidem, tgl 13 Januari 444. ” KONSILI CHALKEDON, kanon 6. ” KONSILI KONSTANTINOPEL IV, kanon 23, 26, dan lain-lain. [22] Di berbagai Gereja Timur subdiakonat dipandang sebagai Tahbisan tingkat rendah. Tetapi Motu Proprio PIUS XII Cleri sanctitati mengenakan padanya kewajiban-kewajiban yang berlaku bagi tingkat-tingkat Tahbisan yang lebih tinggi. Kanon menganjurkan, supaya diikuti lagi tata-laksana tata-laksana zaman dahulu, yang ada pada masing-masing Gereja, mengenai kewajiban-kewajiban para subdiakon, menyimpang dari hukum umum menurut Cleri sanctitati. [23] Lih. PIUS XII, Motu Proprio Cleri sanctitati, tgl. 2 Juni 1957, kanon 267 (kewenangan para Patriark untuk memberi penyembuhan pada akarnya). ” KONGREGASI OFISI SUCI dan KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR pada tahun 1957 memberi kewenangan mendispensasikan dari bentuk kanonik dan menyembuhkan, bila perkawinan dilangsungkan tanpa bentuk kanonik (untuk lima tahun): “diluar patriarkat, kepada para Metropolit dan para Ordinaris wilayah lainnya … yang tidak mempunyai Atasan di bawah Takhta suci”. [24] Lih. S. LEO AGUNG, Surat Quod sapissime, tgl 15 April 454: Petitionem autem. ” S. NIKEFOROS dari Konstantinopel, bab 13. ” SINODE PATRIARK SERGIUS, tgl 18 September 1956, kanon 17. ” PIUS VI, Surat apostolik Assueto paterne, tgl. 8 April 1775, dan lain-lain. [25] Lih. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi tentang Liturgi [26] Lih. KLEMENS VIII, Instruksi Sanctissimus, tgl. 31 Agustus 1595, 6: Si ipsi graeci. ” KONGREGASI OFISI SUCI, tgl. 7 Juni 1673, ad 1 dan 3; tgl. 13 Maret 1916, art. 14.- KONGREGASI UNTUK PENYIARAN IMAN, Dekrit tgl. 18 Agustus 1913, art. 33; Dekrit tgl. 14 Agustus 1914, art. 27; Dekrit tgl. 27 Maret 1916, art. 14. ” KONGREGASI UNTUK GEREJA-GEREJA TIMUR, Dekrit tgl. 1 Maret 1929, art. 36; Dekrit tgl. 4 Mei 1930, art. 41. [27] Lih. SINODE LAODIKAIA, tahun 347/381, kanon 18. ” SINODE MARISSAC, GEREJA CHALDEA, tahun 410, kanon 15. ” SINODE NERSESHROMKLAY, GEREJA ARMENIA, tahun 1166. ” INOSESNSIUS IV, Surat Sub catholicae, tgl. 6 Maret 1254, 8. ” BENEDIKTUS XIV, Konstitusi Etsi pastoralis, tgl. 26 Mei 1742, 7, n.5; Instruksi Eo quamvis tempore, tgl. 4 Mei1745, 42 dan selanjutnya. ” Sinode-sinode khusus: Gereja Armenia (1911), Koptik (1898), Maronit (1736), Rumania (1872), Ruthenia (1891), Syria (1888). [28] Menurut tradisi Timur. [29] Menurut isi Piagam-Piagam persatuan masing-masing Gereja Timur katolik. [30] Kewajiban berdasarkan ketetapan Konsili, menyangkut para anggota Gereja-Gereja Timur yang terpisah, serta mengenai semua Tahbisan mana pun, atas ketetapan ilahi maupun gerejawi. [31] Ajaran itu berlaku juga di Gereja-Gereja yang terpisah. [32] S. BASILIUS AGUNG, “Surat kanonik kepada Amfilokios”: PG 32, 669 B. [33] Sebagai motivasi untuk sikap yang lebih lunak itu dikemukakan pokok-pokok berikut : 1 sahnya Sakramen-Sakramen; 2 tiada kesalahan, dan disposisi baik; 3 kebutuhan akan keselamatan kekal; 4 tidak adanya imam dari Gereja sendiri; 5 tidak adanya bahaya yang perlu dielakkan, pun tidak adanya persetujuan formal terhadap kesesatan. [34] Yang dimaksudkan ialah apa yang disebut communicatio extrasacramentalis in sacris (kegiatan suci bersama diluar perayaan Sakramen). Konsililah yang di sini memperlunak peraturan, dengan syarat, bahwa tetap diindahkan apa yang harus ditaati.

Inter Mirifica (IM)

0

DEKRIT TENTANG UPAYA-UPAYA KOMUNIKASI SOSIAL

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA-BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI

PENDAHULUAN

1. (Makna suatu ungkapan)

DI ANTARA penemuan-penemuan teknologi yang MENGAGUMKAN, yang terutama pada zaman sekarang, berkat perkenaan Allah, telah digali oleh kecerdasan manusia dari alam tercipta, yang oleh Bunda Gereja disambut dan diikuti dengan perhatian istimewa ialah penemuan-penemuan, yang pertama-tama menyangkut jiwa manusia, dan membuka peluang-peluang baru untuk menyalurkan dengan lancar sekali segala macam berita, gagasan-gagasan, pedoman-pedoman. Diantara penemuan-penemuan itu yang paling menonjol ialah upaya-upaya, yang pada hakekatnya mampu mencapai dan menggerakkan bukan hanya orang-orang perorangan, melainkan juga massa, bahkan seluruh umat manusia; misalnya: media cetak, sinema, radio, televisi dan sebagainya, yang karena itu memang tepatlah disebut media komunikasi sosial.

2. (Mengapa Konsili membahas masalah komunikasi sosial)

Bunda Gereja menyadari, bahwa upaya-upaya itu, kalau digunakan dengan tepat, dapat berjasa besar bagi umat manusia, sebab sangat membantu untuk menyegarkan hati dan mengembangkan budi, dan untuk menyiarkan serta memantapkan Kerajaan Allah. Gereja menyadari pula bahwa manusia dapat menyalahgunakan media itu melawan maksud Sang Pencipta ilahi dan memutar-balikannya sehingga mengakibatkan kebinasaan. Bahkan hatinya yang penuh keibuan merasa cemas dan sedih, menyaksikan betapa besarlah kerugian yang sering sekali ditimbulkan bagi masyarakat karena penyalahgunaannya.

Maka Konsili mendukung sepenuhnya perhatian dan kewaspadaan para Paus dan Uskup dalam perkara sepenting itu, dan memandang sebagai kewajibannya membahas masalah-masalah utama berkenaan dengan upaya-upaya komunikasi sosial. Selain itu Konsili percaya, bahwa ajarannya maupun tata-laksana yang disajikannya, akan bermanfaat bukan saja bagi keselamatan umat beriman kristen, melainkan juga bagi kemajuan seluruh masyarakat.

BAB SATU – AJARAN GEREJA

 

 

3. (Tugas-kewajiban Gereja)

Gereja katolik didirikan oleh Kristus Tuhan demi keselamatan semua orang; maka merasa terdorong oleh kewajiban untuk mewartakan Injil. Karena itulah Gereja memandang sebagai kewajibannya, untuk juga dengan memanfaatkan media komunikasi sosial menyiarkan Warta Keselamatan, dan mengajarkannya, bagaimana manusia dapat memakai media itu dengan tepat.

Maka pada hakikatnya Gereja berhak menggunakan dan memiliki semua jenis media itu, sejauh diperlukannya atau berguna bagi pendidikan kristen dan bagi seluruh karyanya demi keselamatan manusia. Adapun cara Gembala bertugas memberi pengajaran dan bimbingan kepada umat beriman, supaya dengan bantuan upaya-upaya itu mereka mengejar keselamatan dan kesempurnaan mereka sendiri dan segenap keluarga manusia.

Terutama termasuk panggilan kaum awam, untuk menjiwai media komukasi itu dengan semangat manusiawi dan kristen, supaya menanggapi sepenuhnya harapan besar masyarakat dan maksud Allah.

4. (Hukum moral)

Untuk menggunakan upaya-upaya itu dengan tepat, sungguh perlulah bahwa sipa saja yang memakainya mengetahui norma-norma moral, dan dibidang itu mempraktekkannya dengan setia. Maka hendaknya mereka menelaah bahan, yang dikomunikasikan sesuai dengan sifat khas masing-masing medium. Sekaligus hendaklah mereka pertimbangkan juga situasi maupun kondisi-kondisi, yakni : tujuan, orang-orang, tempat, waktu, dan hal-hal lain yang menyangkut komunikasinya sendiri. Sebab konteks itu dapat mengubah kadar moralnya, bahkan mengubahnya sama sekali. Antara lain perlu diperhatikan cara berfungsi yang khas bagi masing-masing medium; begitu pula daya pengaruhnya, yang dapat sedemikian besar, sehingga orang-orang, terutama kalau tidak siap, cukup sulit menyadarinya, mengendalikannya, dan bila perlu menolaknya.

Pertama-tama sungguh perlulah, bahwa siapa saja yang berkepentingan dengan cermat membina suara hatinya sendiri tentang pemakaian media itu, terutama berkenaan dengan berbagai masalah, yang sekarang ini sedang diperdebatkan dengan sengit.

5. (Hak atas informasi)

Masalah pertama menyangkut apa yang disebut informasi, atau pengumpulan dan penyiaran berita-berita. Tentu sudah jelaslah, bahwa, karena kemajuan masyarakat zaman sekarang dan ikatan-ikatan yang makin erat antara para warganya, informasi itu berfaedah sekali dan kebanyakan amat dibutuhkan. Sebab komunikasi peristiwa-peristiwa maupun hal-hal yang berlangsung secara umum dan tepat pada waktunya menyajikan pengertian yang cukup lengkap dan berkesinambungan kepada siapa saja, sehingga khalayak ramai dapat secara efektif bekerja sama demi kesejahteraan umum, dan serentak serta lebih mudah mendukung usaha meningkatkan kemajuan seluruh masyarakat. Jadi masyarakat berhak atas informasi tentang apa saja yang menyangkut kepentingan baik perorangan maupun masyarakat itu secara keseluruhan, sesuai dengan situasi masing-masing. Tetapi cermatnya pelaksanaan hak itu meminta, supaya mengenai objeknya komunikasi itu selalu benar dan – dengan mengindahkan keadilan serta cinta kasih – bersifat lengkap. Selain itu mengenai caranya, hendaklah berlangsung dengan jujur dan memenuhi syarat; maksudnya: hendaknya komunikasi itu mengindahkan sepenuhnya hukum-hukum moral, hak-hak manusia yang semestinya serta martabat pribadinya, dalam mengumpulkan maupun menyiarkan berita-berita. Sebab tidak setiap pengetahuan itu berguna, “tetapi cinta kasih membangun” (1Kor 8:1).

6. (Kesenian dan moral)

Soal kedua menyangkut hubungan timbal-balik antara apa yang sekarang lazim disebut hak-hak kesenian dan kaedah-kaedah hukum moral. Perdebatan yang makin gencar tentang masalah itu tidak jarang bersumber pada ajaran-ajaran sesat tentang etika dan estetika. Maka Konsili menyatakan, bahwa semua orang secara mutlak wajib berpegang teguh pada prioritas tata moral yang objektif. Karena tata moral itulah satu-satunya yang mengatasi dan memperpadukan secara serasi tata nilai-nilai manusiawi lainnya, tidak terkecualikan kesenian, betapa pun luhur nilai-nilai itu. Sebab hanya tata moral itulah yang melibatkan manusia, makhluk Allah yang berbudi dan dipanggil untuk tujuan adikodrati, menurut hakekatnya seutuhnya. Tata moral itu jugalah, yang bila dipatuhi sepenuhnya dan dengan setia, mengatur manusia untuk mencapai kepenuhan, kesempurnaan serta kebahagiannya.

7. (Pemberitaan kejahatan moral)

Akhirnya pemberitaan, penguraian atau penggambaran kejahatan moral, juga melalui media komunikasi sosial, memang dapata membantu secara lebih mendalam memahami dan menjajagi manusia, untuk menampilkan dan mengagungkan keluruhan, kebenaran dan kebaikan, dan dengan pemberitaan itu dapat diperoleh dampak-dampak dramatis yang lebih berfaedah juga. Akan tetapi, supaya jangan lebih merugikan daripada menguntungkan khalayak ramai, hendaknya penuturan dan penampilannya sepenuhnya mematuhi hukum-hukum moral, terutama bila menyangkut hal-hal yang meminta dihormati semestinya, atau yang lebih mudah merangsang nafsu-nafsu jahat manusia, yang terluka akibat dosa asal.

8. (Pendapat umum)

Sekarang ini pendapat-pendapat umum mempunyai dampak dan daya pengaruh yang besar sekali atas perihidup disegala lapisan, baik masyarakat secara keseluruhan maupun warganya secara perorangan. Maka perlulah semua anggota masyarakat memenuhi tugas-kewajiban keadilan dan cinta kasih, juga dibidang komunikasi sosial. Oleh karena itu hendaklah mereka, juga melalui media komunikasi itu, berusaha membentuk dan menyebarluaskan pandangan-pandangan umum yang sesuai dengan kebenaran.

9. (Kewajiban-kewajiban para pemakai media komunikasi sosial)

Kewajiban-kewajiban khusus mengikat semua penerima, yakni para pembaca, pemirsa dan pendengar, yang atas pilihan pribadi dan bebas menampung informasi-informasi yang disiarkan oleh media itu. Sebab cara memilih yang tepat meminta, supaya mereka mendukung sepenuhnya segala sesuatu yang menampilkan nilai keutamaan, ilmu-pengetahuan dan pengetahuan. Sebaliknya hendaklah mereka menghindari apa saja, yang bagi diri mereka sendiri menyebabkan atau memungkinkan timbulnya kerugian rohani, atau yang dapat membahayakan sesama karena contoh yang bururk, atau menghalang-halangi tersebarnya informasi yang baik dan mendukung tersiarnya informasi yang buruk. Hal itu kebanyakan terjadi dengan membayar iuran kepada para penyelenggara, yang memanfaatkan media itu karena alasan-alasan ekonomi semata-mata.

Maka supaya para penerima itu mematuhi hukum moral, hendaknya mereka jangan melalaikan kewajiban, untuk pada waktunya mencari informasi tentang penilaian-penilaian yang mengenai semuanya itu diberikan oleh instansi-instansi yang berwenang, dan untuk mengikutinya sebagai pedoman menurut suara hati yang cermat. Untuk lebih mudah melawan dampak-dampak yang merugikan, dan mengikuti sepenuhnya pengaruh-pengaruh yang baik, hendaknya mereka berusaha mengarahkan dan membina suara hati mereka dengan upaya-upaya yang cocok.

10. (Kewajiban-kewajiban kaum muda dan para orang tua)

Hendaknya para penerima, terutama dikalangan kaum muda berusaha, supaya dalam memakai upaya-upaya komunikasi sosial mereka belajar mengendalikan diri dan menjaga ketertiban. Kecuali itu hendaklah mereka berusaha memahami secara lebih mendalam apa yang mereka lihat, dengar dan baca. Hendaklah itu mereka percakapkan dengan para pendidik dan para ahli, dan dengan demikian mereka belajar memberi penilaian yang saksama. Sedangkan para orang-tua hendaknya menyadari sebagai kewajiban mereka: menjaga dengan sungguh-sungguh, supaya tayangan-tayangan, terbitan-terbitan tercetak dan lain sebagainya, yang bertentangan dengan iman serta tata susila, jangan sampai memasuki ambang pintu rumah tangga, dan jangan sampai anak-anak menjumpainya diluar lingkup keluarga.

11. (Kewajiban-kewajiban para penyelenggara)

Kewajiban moral utama untuk dengan tepat menggunakan upaya-upaya komunikasi sosial ada pada para wartawan, pengarang, aktor, penulis skenario, pelaksana, penyusun acara, distributor, produsen, pemasar, resensor, dan orang-orang lain, yang dengan cara manapun juga berperan serta dalam pelaksanaan dan penyaluran komunikasi. Sebab sudah jelas sekali manakah dan betapa berat kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggungan mereka semua dalam situasi zaman sekarang, karena mereka itulah yang dengan memberi informasi dan menggerakkkan sesama dapat menempatkan umat manusia pada jalan yang benar atau yang salah.

Maka termasuk tugas merekalah menyelaraskan faktor-faktor ekonomi, politik dan kesenian sedemikian rupa, sehingga tidak pernah akan ada yang berlawanan dengan kesejahteraan umum. Supaya maksud itu tercapai dengan lebih lancar, seyogyanyalah mereka menggabungkan diri dengan organisasi-organisasi profesi mereka, yang mampu mewajibkan para anggotanya menghormati hukum-hukum moral dalam menghadpi masalah-masalah maupun kegiatan profesi mereka, juga bila perlu dengan mengadakan perjanjian untuk mematuhi kode moral.

Hendaklah mereka senantiasa menyadari bahwa sebagian besar para pembaca dan pirsawan terdiri dari angkatan muda, yang membutuhkan media cetak maupun tayangan-tayangan, yang menyajikan hiburan-hiburan sehat dan mengarahkan hati kepada perkara-perkara yang lebih luhur selain itu hendaknya mereka mengusahakan, supaya komunikasi tentang soal-soal keagamaan dipercayakan kepada pribadi-pribadi yang layak dan ahli, dan pelaksanaanya disertai sikap hormat sebagaimana mestinya.

12.(Kewajiban-kewajiban pemerintah)

Dalam hal komunikasi sosial pemerintah terikat kewajiban-kewajiban khas demi kesejahteraan umum, yang merupakan tujuan media itu. Sebab termasuk tugas pemerintah, sesuai dengan fungsinya, untuk membela dan melindungi kebebasan yang sejati dan sewajarnya perihal informasi, terutama kebebasan media cetak. Sebab kebebasan itulah yang sungguh diperlukan bagi masyarakat zaman sekarang demi perkembangannya. Pemerintah wajib pula ikut mengembangkan nilai-nilai keagamaan, budaya dan kesenian; begitu pula melindungi para pemakai jasa komunikasi sosial, supaya dapat dengan bebas menggunakan hak-hak mereka yang sewajarnya. Selain itu pemerintah wajib membantu usaha-usaha, yang sungguhpun terutama bagi generasi muda berfaedah sekali, tidak dapat dijalankan tanpa bantuan itu.

Akhirnya pemerintah, yang sudah sewajarnya memelihara kesehatan para warga negara, terikat kewajiban, melalui perundang-undangan yang pelaksanaannya ditegakkan dengan sungguh, untuk menjamin dengan adil dan saksama, jangan sampai dari penyalahgunaan media komunikasi sosial timbul bahaya-bahaya yang gawat bagi kesusilaan umum serta kemajuan masyarakat. Dengan adanya perhatian penuh kewaspadaan itu kebebasan perorangan maupun kelompok-kelompok sedikitpun tidak terancam, terutama bila dari pihak mereka, yang menggunakan media itu berdasarkan profesi mereka, tidak ada langkah-langkah pengamanan efektif.

Secara istimewa hendaklah ada usaha-usaha pengamanan untuk melindungi angkatan muda terhadap media cetak dan tayangan-tayangan, yang mengingat umur mereka merugikan.

BAB DUA – KEGIATAN PASTORAL GEREJA

 

13.(Kegiatan para Gembala dan umat beriman)

Hendaklah semua putera-puteri Gereja serentak dan secara sekarela mengusahakan, agar upaya-upaya komunikasi sosial dengan cekatan dan seintensif mungkin dimanfaatkan secara efektif dalam aneka macam karya kerasulan, menganggapi tuntutan situasi setempat dan semasa. Hendaknya mereka mencegah usaha-usaha yang merugikan, terutama didaerah-daerah, yang perkembangan moril serta keagamaannya mengundang kegiatan-kegiatan yang lebih mendesak.

Hendaklah para Gembala dibidang itu pun dengan tangkas menunaikan tugas mereka, karena tugas itu berhubungan erat dengan kebajiban harian mereka mewartakan Injil. Para awam pun yang berperan dalam penggunaan media itu, hendaknya berusaha memberi kesaksian tentang Kristus, terutama dengan menunaikan tugas mereka masing-masing penuh keahlian dan berjiwa kerasulan; bahkan juga dengan secara langsung menyumbangkan jasa-jasa mereka dibidang tehnik, ekonomi, kebudayaan dan kesenian bagi kegiatan pastoral Gereja, sesuai dengan posisi mereka.

14.(Prakarsa-prakarsa umat katolik)

Terutama hendaklah didukung pengembangan pers yang sehat. Untuk sepenuhnya meresapkan semangat kristen di kalangan pembaca, hendaklah dibangun dan dikembangkan pers katolik yang sejati, yakni: – entah itu secara langsung di dukung oleh dan tergantung dari Pimpinan Gereja sendiri, entah dari orang-orang katolik perorangan, – media cetak itu hendaknya jelas-jelas diterbitkan dengan maksud untuk membina, meneguhkan dan menumbuhkan pandangan-pandangan umum selaras dengan hak-hak asasi dan dengan ajaran serta prinsip-prinsip katolik, begitu pula untuk menyebarluaskan serta mebahas dengan cermat peristiwa-peristiwa yang menyangkut kehidupan Gereja. Hendaklah umat beriman diingatkan akan perlunya membaca dan menyebarkan pers katolik, untuk membuat penilaian kristen tentang segala kejadian.

Produksi dan penayangan film-film sebagai upaya untuk menyajikan hiburan yang sehat, untuk mengembangkan kebudayaan dan meningkatkan mutu kesenian, khususnya yang dipruntukkan bagi kaum muda, hendaklah didorong dan dijamin mutunya dengan segala upaya yang efektif. Itu terutama dapat dilaksanakan dengan membantu serta bekerja sama dengan kegiatan-kegiatan serta prakarsa-prakarsa para produsen maupun distributor yang beritikad baik, dengan mempromosikan film-film yang layak dipuji melalui kritik yang positif maupun hadiah-hadiah, dengan mendukung serta menggabungkan gedung-gedung bioskop milik usahawan-usahawan katolik yang terpandang.

Begitu pula hendaklah disediakan bantuan yang efektif bagi siaran-siaran radio dan televisi yang bermutu, terutama yang cocok bagi keluarga. Hendaknya dikembangkan secara intensif siaran-siaran katolik, yang dapat mengundang para pendengar dan pemirsa untuk ikut menghayati kehidupan Gereja, dan meresapkan kebenaran-kebenaran keagamaan dihati mereka. Bila perlu hendaklah diusahakan dengan sungguh pembangunan pemancar-pemancar katolik. Tetapi hendaknya diusahakan pula, agar siaran-siarannya unggul karena mutu maupun efisiensinya.

Kecuali itu hendaklah diupayakan juga, supaya seni sandiwara yang sudah ada sejak dulu dan sungguh bermutu, pun sudah luas tersebar berkat media komunikasi sosial, mendukung pembinaan kemanusiaan dan kesusilaan para penonton.

15.(Pembinaan para produsen)

Supaya kebutuhan-kebutuhan itu tadi benar-benar ditanggapi, hendaklah para imam, para religius dan kaum awam dibenahi pada waktunya, supaya mereka mempunyai kemahiran secukupnya untuk mengarahkan media komunikasi itu kepada tujuan kerasulan.

Pertama-tama kaum awam perlu dibekali dengan persiapan ketrampilan, pengetahuan ajaran dan moral. Untuk maksud itu perlu ditingkaykan jumlah sekolah-sekolah, fakultas-fakultas dan lembaga-lembaga, yang membuka peluang bagi para wartawan, para pencipta film serta pengarang siaran radio maupun televisi, begitu pula pihak-pihak lain yang berkepentingan, untuk menerima pendidikan yang lengkap dan diresapi semangat kristen, terutama berkenaan dengan ajaran sosial Gereja. Juga para aktor memerlukan pendidikan dan pertolongan, supaya melalui kesenianmereka dapat memberi sumbangan kepada masyarakat. Akhirnya perlu disiapkan secara intensif pula para kritikus di bidang sastra, sinema, radio, televisi dan sebagainya, yang sungguh mahir di bidang kejuruan masing-masing, dan dilatih serta didorong untuk menyampaikan penilaian mereka, yang selalu dengan jelas menggaribawahi segi moralnya.

16.(Pembinaan para pemakai jasa)

Tepatnya penggunaan media komunikasi sosial yang tersedia bagi para pemakai jasa dalam usia dan dengan tingkatan budaya yang begitu beraneka, memerlukan pendidikan maupun latihan yang khas dan sesuai bagi mereka. Maka disekolah-sekolah katolik pada segala tingkat, diseminari-seminari maupun dalam kelompok-kelompok kerasulan awam, usaha-usaha yang menolong untuk mencapai tujuan itu – terutama bila diperlukan bagi kaum muda – hendaklah dikembangkan, dilipatgandakan dan diarahkan menurut asas-asas moral kristen. Supaya pelaksanaannya lebih lancar, hendaklah ajaran dan tata-laksana katolik dibidang itu disampaikan dan dijelaskan dalam katekese.

17.(Upaya-upaya teknis dan ekonomis)

Sama sekali tidak pantaslah bagi putera-puteri Gereja untuk secara apatis membiarkan saja sabda tentang keselamatan terikat dan terhalang akibat kesulitan-kesulitan teknis atau tersendatnya pembiayaan yang memang berat sekali, dan khusus terkait pada pemakaian media komunikasi sosial. Maka Konsili suci ini mengingatkan, bahwa mereka wajib menopang kelestarian serta membantu harian-harian atau majalah-majalah katolik, kegiatan-kegiatan perfilman katolik, dan pemancar-pemancar serta siaran-siaran radio maupun televisi katolik, yang tujuan utamanya ialah : serentak mewartakan dan membela kebenaran, dan menyelenggarakan pendidikan kristen bagi masyarakat luas. Skalihus Konsili menganjurkan dengan sangat kepada organisasi-organisasi serta tokoh-tokoh perorangan, yang berpengaruh besar dibidang ekonomi maupun teknologi, supaya mereka yang sukarela dan murah hati membantu dengan sumber dana serta keahlian mereka kelangsungan media komunikasi sosial, sejauh mendukung kebudayaan sejati dan kerasulan.

18.(Sekali setahun: hari komunikasi sosial)

Supaya kerasulan Gereja yang bermacam-macam dibidang upaya-upaya komunikasi sosial makin dimantapkan secara efektif, hendaknya disemua keuskupan, atas kebijaksanaan para Uskup, setiap tahun dirayakan hari komunikasi sosial. Pada hari itu umat beriman diajak menyadari kewajiban-kewajiban mereka dibidang itu, memanjatkan doa-doa baginya, dan mengumpulkan dana untuk maksud itu. Dana itu hendaknya digunakan dengan cermat untuk menghidupi dan menyokong lembaga-lembaga serta usaha-usaha yang dianjurkan oleh Gereja, menanggapi kebutuhan-kebutuhan seluruh dunia katolik.

19.(Sekretariat pada Takhta suci)

Dalam menunaikan reksa pastoral tertinggi sekitar media komunikasi sosial tersedialah untuk mendampingi Sri Paus Sekretariat khusus pada Takhta suci [1].

20.(Wewenang para Uskup)

Termasuk wewenang para Uskup menyimak dan memajukan kegiatan-kegiatan serta usaha-usaha dibidang itu dalam keuskupan mereka, dan mengarahkannya sejauh menyangkut kerasulan umum, tidak terkecualikan usaha-usaha yang dikelola oleh para religius eksem.

21.(Biro nasional)

Supaya kerasulan menjadi efektif untuk seluruh negara, diperlukan kesatuan perencanaan dan usaha-usaha. Maka Konsili menetapkan dan memerintahkan, agar dimana-mana didirikan Biro Nasional untuk media cetak, film, radio dan televisi, dan Biro itu dibantu sedapat mungkin. Tugasnya terutama ialah mengusahakan, agar suara hati umat beriman dibina dengan tepat untuk memanfaatkan upaya-upaya komunikasi sosial sebagaimana mestinya, dan untuk mendorong serta mengarahkan usaha mana pun yang dibidang ini dijalankan oleh umat katolik.

Hendaklah disetiap Negara kepengurusan Biro dipercayakan kepada kelompok khusus Uskup-Uskup, atau seorang Uskup sebagai wakil. Dalam Biro itu hendaknya berperan-serta juga sejumlah awam, yang mahir dalam ajaran katolik dan berkualifikasi di bidang teknologi yang bersangkutan.

22.(Organisasi-organisasi internasional)

Selain itu dampak-pengaruh media komunikasi sosial melampaui batas-batas negara, dan setiap orang bagaikan menjadi warga segenap persekutuan manusia. Maka hendaklah dibidang itu usaha-usaha ditingkat nasional menggalang kerja sama juga dalam lingkup internasional. Hendaknya Biro-Biro, yang disebutkan dalam artikel 21, bekerja sama secara aktif dengan Organisasi Katolik Internasional yang berkaitan. Organisasi-organisasi Katolik Internasional itu hanya dapat disetujui secara sah oleh Takhta suci, dan tergantung daripadanya.

PENUTUP

 

23.(Instruksi pastoral)

Supaya semua prinsip-prinsip maupun pedoman-pedoman Konsili suci tentang media komunikasi sosial sungguh dilaksanakan, atas perintah eksplisit Konsili hendaklah diterbitakan Instruksi pastoral yang disusun oleh Sekretariat pada Takhta suci, yang disebut dalam artikel 19, dengan bantuan pakar-pakar dari pelbagai negara.

24.(Anjuran akhir)

Konsili percaya, bahwa prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman dalam Dekrit ini akan diterima dengan senang hati dan dipatuhi dengan tertib oleh semua putera-puteri Gereja. Dengan menggunakan upaya bantuan itu mereka tidak akan mengalami kerugian, melainkan justru bagaikan garam dan terang akan mengasinkan bumi dan menyinari dunia. Selain itu Konsili mengundang semua orang yang beritikad baik, terutama mereka yang mengatur penggunaan media itu, supaya mereka berusaha mengarahkan upaya-upaya itu kepada kesejahteraan masyarakat semata-mata, yang untung-malangnya semakin tergantung dari tepatnya penggunaan media. Maka dari itu hendaklah Nama Tuhan diluhurkan oleh penemuan-penemuan baru itu, seperti sejak semula telah dimuliakan oleh monumen-monumen kesenian yang agung, seturut sabda Rasul : “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibr 13:8).

Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini, berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.

 

Roma, di gereja Santo Petrus, tanggal 4 bulan Desember tahun 1963

Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)

 

 

 

 


[1] Para Bapa Konsili dengan senang hati mendukung himbauan “Sekretariat untuk Pers dan Teater”, yang memohon penuh hormat kepada Paus, supaya tugas-tugas serta kewenangan Sekretariat diperluas meliputi semua media komunikasi sosial, tidak terkecuali media cetak, dengan mengikutsertakan para pakar, juga para awam, dari pelbagai bangsa.

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab