Kekudusan adalah untuk semua orang
Sewaktu saya tinggal di Filipina tahun 1999 yang lalu, saya pertama kali mengenal EWTN (Eternal Word Television Network– yang berpusat di Alabama, Amerika) melalui kabel TV. Acara yang menarik perhatian saya adalah sebuah ‘talk show’ dari seorang biarawati yang namanya Mother Angelica. Pertama-tama saya menonton hanya karena ingin tahu, apakah kiranya ada sesuatu yang menarik jika seorang suster berbicara di depan kamera. Anggapan saya ini ternyata keliru, sebab program talk show ini ternyata sungguh sangat luar biasa. Melalui penampilannya yang sederhana, dengan bahasa sehari-hari, Mother Angelica menyampaikan pesan-pesan Injil yang sangat mengena di hati. Saya masih ingat slogan yang selalu ditampilkan sebelum acara dimulai, “Everyone is called to be holy. Don’t miss the opportunity!” (Setiap orang dipanggil untuk menjadi kudus. Jangan lewatkan kesempatan ini!) Sejak saat itu, saya mencari tahu bagaimana caranya untuk hidup kudus, yang kemudian saya ketahui sebagai seruan dari Yesus sendiri yang diserukan kembali oleh Gereja kepada semua orang, yang menjadi salah satu fokus utama dalam Konsili Vatikan II.[1] Ternyata, panggilan hidup untuk hidup kudus ini merupakan sesuatu yang sangat penting, karena sesungguhnya, hanya dengan hidup dalam kekudusan inilah kita dapat menemukan kebahagiaan sejati. Hanya dengan hidup kudus dalam kasih inilah kita menemukan arti hidup kita yang sesungguhnya!
Mengikuti perintah Allah
Pertama-tama, Kitab Suci mengajarkan pada kita bahwa untuk hidup kudus, kita perlu mengikuti perintah Allah sebab perintah Allah itu kudus (Rom 7:12, 13:10). Perintah ini mencakup kita hidup di dalam iman, harapan dan kasih, terutama perintah untuk mengasihi Allah di atas segalanya dan mengasihi sesama (Mat 22: 37-39; Mrk 12:30), dengan cara ini kita dapat menjadi kudus dan tak bercela di hadapan Tuhan (Fil 1:10, 1 Tes 3:12). Dalam hal ini mengasihi artinya menjadikan kasih sebagai sesuatu yang utama dalam hidup kita. Kemanapun kita pergi kita harus ingat bahwa kita adalah alat Tuhan untuk menyampaikan kasihNya kepada orang-orang yang kita jumpai. Dengan kasih ini, kita belajar untuk selalu menaruh belas kasihan dan menyebarkan kebaikan. Kita juga harus berjuang untuk selalu rendah hati dan lemah lembut, sabar dalam menganggung segala sesuatu yang Tuhan izinkan terjadi di dalam hidup kita. Perjuangan untuk hidup kudus ini juga melibatkan perhatian pada sesama yang sedang susah dan menderita, sebab Kristus telah memberi teladan dengan wafatNya menanggung dosa-dosa kita, sehingga kitapun selayaknya saling menanggung beban dan saling mengampuni seperti Tuhan yang telah lebih dahulu mengampuni kita (Kol 3:12).
Menanggalkan manusia lama: ‘aku yang dulu sudah mati’
Kedua, untuk hidup kudus kita perlu menanggalkan diri kita yang lama –berikut dengan segala dosa dan kebiasaan negatif, untuk hidup sebagai manusia baru di dalam Roh Kudus dan hidup di dalam rasa hormat pada Tuhan (2Kor 7:1) sehingga kita dapat memiliki buah-buah Roh (Gal 5:22-24). Meninggalkan manusia lama adalah konsekuensi dari pembaptisan kita. Misalnya saja, kalau kita dulu terobsesi dengan pekerjaan, kecanduan nonton TV, ‘shopping’, gossip, atau merokok, maka jika mau dengan sungguh-sungguh menjadi manusia baru, kita harus berjuang untuk meninggalkan kebiasaan tersebut, dan mengalihkan waktu atau dana yang dulu tersalurkan untuk kebiasaan itu kepada hal-hal yang dapat memuliakan Tuhan. Kalau kita dulunya melakukan segala sesuatu dengan banyak mengeluh dan ‘komplain’, sekarang kita melakukannya dengan suka cita, karena kita melakukan segala sesuatunya dengan motivasi untuk mengasihi Tuhan, seperti yang diajarkan oleh Santa Teresia Kanak-kanak Yesus. Dengan sendirinya, keinginan hidup kudus ini mengarahkan kita pada hal-hal surgawi yang sifatnya kekal, bukan pada hal-hal dunia yang sifatnya sementara (Kol 3:2). Dengan melaksanakan semua ini, kita dapat hidup di dalam kebenaran dan bertumbuh di dalam kekudusan untuk menjadi semakin serupa dengan Allah (Ef 4:22-24).
Meniru Allah
Ketiga, kita perlu selalu berusaha untuk ‘meniru’ Allah yang kudus dan sempurna (1Pet 1:15-16; Mat 5:48) melalui teladan Kristus untuk kita terapkan di dalam perkataan, pikiran dan perbuatan kita. Kita memang perlu berjuang keras untuk menerapkan hal ini sebab memang tidak mudah untuk hidup kudus dewasa ini dengan adanya banyak godaan dunia yang menarik kita untuk melakukan dosa. Dari majalah sampai iklan, dari pengaruh budaya sampai kebiasaan, semua dapat membujuk kita kepada kesenangan yang semu, yang datang tidak ada habisnya. Rasul Yohanes menyebut ada tiga godaan utama di dalam hidup di dunia, yaitu keinginan daging, keinginan mata serta keangkuhan hidup (1Yoh 2:15) yang menyebabkan orang jatuh dalam dosa seksual, mengejar kekayaan, dan menjadi sombong. Oleh karena itu, untuk hidup kudus, Injil menasehatkan kita untuk mengembangkan tiga pola hidup Injili yaitu, kesucian (chastity), kemiskinan (poverty) dan ketaatan (obedience) yang bertentangan dengan ketiga pola hidup duniawi tersebut. Penerapan ketiga nasehat Injil ini dapat kita lihat sendiri di dalam hidup Kristus, yang merupakan intisari dari pengajaran utama-Nya yang dikenal sebagai Delapan Sabda Bahagia (Mat 5: 3-12). Semasa hidupNya di dunia, Kristus memiliki kelemahlembutan dan kesucian hati; Ia hidup miskin, Ia taat pada kebenaran sampai wafat di salib.[2] Karena itu, jika kita sungguh mau seperti Yesus – seperti yang sering kita nyanyikan di persekutuan doa: Ku… mau s’perti-Mu Yesus- kita pun harus mengikuti pola hidupNya, yang mencerminkan kerendahan hati. Dengan mengikuti teladan Yesus ini, kita berjalan menuju kekudusan.[3]
Semua orang dipanggil untuk hidup kudus
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana kita harus menerapkan ketiga nasehat tersebut, apakah harus dengan menjadi biarawan/ biarawati? Jawabannya adalah kita semua dipanggil untuk melaksanakan ketiga nasehat tersebut menurut status hidup kita. Tentu bagi kaum religius penerapan nasehat tersebut sungguh terlihat sangat jelas, dengan mempersembahkan seluruh hidup mereka, dengan hidup secara selibat untuk mengabdi Tuhan dan sesama. Dalam hal ini, mereka patut mensyukuri karunia tersebut, dan menjalani kehidupan panggilan mereka dengan suka cita, sebab di dalam diri merekalah Tuhan menghadirkan pola hidup Kristus secara terus menerus di dalam Gereja, dan dengan demikian menyatakan keagungan Kerajaan Allah.[4] Namun bagi kita kaum awam, kitapun dapat melaksanakan ketiga nasehat itu dengan derajat yang berbeda, sesuai dengan keadaan kita masing-masing. Misalnya, kesucian di dalam pernikahan ditandai dengan kesetiaan kepada pasangan;[5] kemiskinan dapat diartikan dengan hidup sederhana dan ketidak-terikatan dengan kekayaan ataupun materi; ketaatan dapat diartikan dengan tunduk kepada atasan kita, atau di dalam keluarga: istri tunduk pada suami, suami tunduk pada perintah Tuhan untuk mengasihi istri, dan anak-anak tunduk pada orang tua (lih. Kol 3:18-20, 22). Di atas segalanya, ketaatan diartikan sebagai taat kepada kebenaran yang dinyatakan Allah dengan hidup saleh dan adil (righteous). Untuk menerapkan hal-hal ini diperlukan kerendahan hati untuk selalu mengubah diri ke arah yang lebih baik sesuai dengan perintah Tuhan.
Kita semua juga bertumbuh di dalam kekudusan jika kita menerima dengan iman segala sesuatu yang diberikan oleh Allah, dan apabila kita bekerja sama dengan-Nya untuk melakukan kehendak-Nya di dunia ini[6] yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kita sesuai dengan panggilan hidup kita (lihat artikel: Refleksi Praktis Tentang Kekudusan). Contohnya, para pasangan Kristen dipanggil untuk menjadi contoh bagi dunia atas kasih seumur hidup, yang tak mengenal lelah dan bosan, serta kasih yang murah hati dan selalu terbuka pada anugerah kehidupan anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Para suami dan istri menjadi cerminan bagaimana Kristus mengasihi mempelai-Nya, yaitu Gereja, dengan mengorbankan nyawa baginya.[7] Para janda dan mereka yang tidak menikah juga dapat menyumbangkan kekudusan pada Gereja dengan mendukung tugas-tugas misi Gereja. Para pekerja dapat berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan masyarakat dengan cara saling menanggung beban dan mengasihi satu sama lain. Juga orang-orang miskin, sakit, dan menderita dipanggil juga untuk hidup kudus, karena mereka secara khusus dipersatukan dengan Kristus yang menderita sengsara untuk menyelamatkan dunia.[8]
Pengajaran dari Para Kudus
Menurut Santo Fransiskus de Sales[9], hidup kudus diawali dengan pemurnian dari dosa (pertobatan) melalui pengakuan dosa. Tahap selanjutnya adalah dengan pemurnian suara hati, sehingga kita dapat memiliki rasa penyesalan yang sungguh dan membuat niat yang teguh untuk memperbaiki diri. Dalam hal ini pemeriksaan batin memainkan peranan yang penting untuk membantu kita mengenali kehadiran Tuhan di dalam hati kita. Kesadaran ini mengantar kita pada tahap berikutnya yaitu, doa, meditasi, membaca dan merenungkan Firman Tuhan, melakukan perbuatan-perbuatan kasih, menyangkal diri, mengikuti retret, dan menerima sakramen-sakramen dari Gereja, terutama sakramen Tobat dan Ekaristi. Perlu diingat bahwa Gereja adalah tanda kehadiran Tuhan melalui liturgi dan sakramen-sakramen, sebab di dalamnya Kristus sendiri yang bertindak melalui perantaraan manusia, dalam hal ini adalah para imam-Nya. Dari semua itu, kehadiran Kristus yang paling sempurna dan mendalam adalah di dalam Sakramen Ekaristi, karena di dalam Ekaristi, Allah menyatakan kehendakNya, yaitu, Tubuh Yesus Kristus dipersembahkan dan kita semua dikuduskan dan disempurnakan (lih. Ibr 10:10,14)[10] Dalam hal ini, kita meyakini bahwa oleh karena kekudusan adalah karunia Tuhan; maka untuk menjadi kudus, kita harus mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri, yang dikaruniakan kepada Gereja-Nya di dalam Ekaristi.
Selanjutnya, Santo Alfonsus Ligouri[11] mengajarkan bahwa di atas segalanya, kita harus berusaha untuk mencari kesamaan dengan kehendak Tuhan, yaitu dengan menjadikan kehendak-Nya kehendak kita sendiri. Dengan melakukan kehendakNya dengan sukacita, baik di dalam kelimpahan maupun di dalam kesulitan, kita sungguh memuliakan Tuhan. Inilah yang menjadi kesempurnaan kita, dan harus menjadi tujuan dari segala keinginan, tindakan, doa, dan meditasi kita. Dengan bertindak sesuai dengan pengertian ini, kita dikuduskan dan menikmati damai di dalam hidup ini. Juga, dengan melaksanakan kehendak Tuhan, kita mengikuti jejak Kristus yang dengan taat kepada Bapa rela wafat di kayu salib bagi manusia. Dengan mengikut teladan Yesus inilah, kita ikut berpartisipasi di dalam kekudusan-Nya untuk mendatangkan keselamatan bagi dunia.
Kesimpulan
Jadi, kekudusan itu adalah karunia yang awalnya diberikan pada waktu kita dibaptis, yaitu pada saat kita meninggalkan manusia lama dan mengenakan Kristus. Selanjutnya kekudusan harus kita perjuangkan dan tingkatkan dengan tindakan kasih kepada Tuhan dan sesama, yang disertai dengan kemurnian hati, pola hidup sederhana -yaitu tidak mengikatkan diri pada kekayaan- juga diikuti ketaatan dan kesalehan; dan semuanya itu didasari oleh kerendahan hati. Jika kita terus menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari, dengan rahmat yang kita terima dari Ekaristi dan sakramen lainnya, maka kita akan bertumbuh di dalam kekudusan. Tuhan kita memang Allah yang Maha Baik. Jika Dia memanggil kita untuk menjadi kudus, Dia juga menyediakan bagi kita jalan menuju kekudusan itu, yang memang harus ditempuh dengan perjuangan, namun Tuhan akan terus mendampingi dan memberi kekuatan, damai dan suka cita yang tidak bisa diberikan oleh dunia ini. Sekarang tergantung kita masing-masing, maukah kita menempuh jalan itu?
[1] Seruan untuk hidup kudus diajarkan oleh Kristus, yang mengatakan, “Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu di sorga adalah sempurna,” Kesempurnaan yang dimaksud ini adalah kekudusan karena pengajaran ini adalah pengulangan dari pengajaran yang disampaikan oleh Musa di kitab Imamat, yaitu “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus (Im 19:2) dan di kitab Ulangan, “Haruslah engkau hidup dengan tidak bercela di hadapan Tuhan..”(Ul 18:13)
Lihat Lumen Gentium bab V, Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, tentang Panggilan kepada Semua Orang kepada Kekudusan di dalam Gereja.
[2] Lihat Joseph Ratzinger, Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth, (Double Day, New York, 2007), p. 74, “The Beatitudes present a sort of veiled interior biography of Jesus, a kind of a portrait of His figure. He who has no place to lay His head (Mt 8:20) is truly poor, He who can say…I am meek and lowly in heart (Mt 11:28-29) is truly meek; He is the one who is pure of heart and so unceasingly beholds God. He is the peacemaker, He is the one who (obediently) suffers for God’s sake.”
[3] Lihat Lumen Gentium 39, Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Kekudusan itu dengan aneka cara terungkapkan pada masing-masing orang, yang dalam corak hidupnya menuju kesempurnaan cinta kasih dengan memberi teladan baik kepada sesama. Secara khas pula nampak dalam penghayatan nasehat-nasehat, yang lazim disebut “nasehat Injil”. Penghayatan nasehat-nasehat itu atas dorongan Roh Kudus ditempuh oleh orang banyak kristiani, entah secara perorangan, entah dalam corak atau status hidup yang disahkan oleh Gereja, serta menyajikan dan harus menyajikan di dunia ini kesaksian dan teladan yang ulung tentang kesucian itu.”
Lihat pula Lumen Gentium 42, yang menyatakan, “Maka semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka. Oleh karena itu hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan-keinginan hati dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan dirintangi karena menggunakan hal-hal duniawi dan melekat pada kekayaan melawan semangat kemiskinan menurut Injil. Itulah maksud nasehat Rasul (Paulus): orang yang menggunakan barang dunia ini jangan sampai berhenti di situ: sebab berlalulah dunia seperti yang kita kenal sekarang (lih. 1Kor 7:31).
[4] Lihat Lumen Gentium 44, ibid., “Corak hidup, yang dikenakan oleh Putera Allah ketika Ia memasuki dunia ini untuk melaksanakan kehendak Bapa, dan yang dikemukakan-Nya kepada para murid yang mengikuti-Nya, yang diteladan dari lebih dekat oleh status religius, dan senantiasa dihadirkan dalam Gereja. Akhirnya status itu juga secara istimewa menampilkan keunggulan Kerajaan Allah melampaui segalanya yang serba duniawi, dan menampakkan betapa pentingnya Kerajaan itu. Selain itu juga memperlihatkan kepada semua orang keagungan mahabesar kekuatan Kristus yang meraja dan daya Roh Kudus yang tak terbatas, yang berkarya secara mengagumkan dalam Gereja.”
[5] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Para suami-isteri dan orang tua kristiani wajib, menurut cara hidup mereka, dengan cinta yang setia seumur hidup saling mendukung dalam rahmat….”
[6] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Jadi semua orang beriman kristiani dalam kondisi-kondisi hidup mereka, dalam tugas-tugas serta keadaan mereka, dan melalui itu semua, dari hari ke hari akan makin dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala-sesuatu dari tangan Bapa di sorga, dan bekerja sama dengan kehendak ilahi, dengan menampakkan dalam tugas sehari-hari kepada semua orang cinta kasih Allah terhadap dunia.”
[7] Lihat Lumen Gentium 41, ibid ., “(Para suami- isteri dan orang tua kristiani) meresapkan ajaran kristiani maupun keutamaan-keutamaan Injil di hati keturunan, yang penuh kasih mereka terima dari Allah. Sebab dengan demikian mereka memberi teladan cinta kasih yang tak kenal lelah dan penuh kerelaan kepada semua orang, memberi contoh kepada persaudaraan kasih, dan menjadi saksi serta pendukung kesuburan Bunda Gereja. Mereka menjadi tanda pun sekaligus ikut serta dalam cinta kasih Kristus terhadap Mempelai-Nya, sehingga Ia menyerahkan diri untuknya.”
[8] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Khususnya hendaklah mereka yang ditimpa oleh kemiskinan, kelemahan, penyakit dan pelbagai kesukaran, atau menanggung penganiayaan demi kebenaran – merekalah, yang dalam Injil dinyatakan bahagia oleh Tuhan, dan yang “Allah, sumber segala rahmat, yang dalam Kristus Yesus telah memanggil kita ke dalam kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan dan mengokohkan, sesudah mereka menderita seketika lamanya” (1Ptr 5:10), – hendaklah mereka semua mengetahui, bahwa mereka dipersatukan dengan Kristus yang menderita sengsara demi keselamatan dunia.”
[9] Ringkasan dari buku karangan St. Francis de Sales, An Introduction of the Devout Life, (TAN Books and Publishers, Inc., Rockford, Illinois, USA), 1994.
[10] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1364, “Apabila Gereja merayakan Ekaristi, ia mengenangkan Paska Kristus; Paska ini dihadirkan. Kurban yang dibawakan Kristus satu kali untuk selama-lamanya, selalu tinggal berhasil guna.” Penghadiran kembali ini tidak berarti bahwa Yesus disalibkan kembali, karena memang Ia telah disalibkan satu kali saja, seperti perkataan Rasul Paulus (Rom 6:10). Jadi yang dihadirkan adalah kurban Kristus yang satu dan sama, (lihat Katekismus 1367) yang dimungkinkan karena Kristus adalah Allah yang tidak terbatas oleh waktu. Hanya cara-nya yang berbeda, yaitu … “Kristus yang sama itu hadir dan dikurbankan secara tidak berdarah… yang mengurbankan diri sendiri di kayu salib secara berdarah satu kali untuk selama-lamanya (Konsili Trente: DS 1743).
“Setiap kali korban salib yang di dalamnya dipersembahkan Kristus, Anak Domba Paska, dirayakan di altar, terlaksanalah karya penebusan kita.” (Lumen Gentium 3)
[11] Ringkasan dari buku karangan St. Alphonsus de Liguori, Uniformity with God’s Will, (TAN Books and Publishers, Inc., Rockford, Illinois, USA), 1977.