Home Blog Page 332

Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus

23

Kekudusan adalah untuk semua orang

Sewaktu saya tinggal di Filipina tahun 1999 yang lalu, saya pertama kali mengenal EWTN (Eternal Word Television Network– yang berpusat di Alabama, Amerika) melalui kabel TV. Acara yang menarik perhatian saya adalah sebuah ‘talk show’ dari seorang biarawati yang namanya Mother Angelica. Pertama-tama saya menonton hanya karena ingin tahu, apakah kiranya ada sesuatu yang menarik jika seorang suster berbicara di depan kamera. Anggapan saya ini ternyata keliru, sebab program talk show ini ternyata sungguh sangat luar biasa. Melalui penampilannya yang sederhana, dengan bahasa sehari-hari, Mother Angelica menyampaikan pesan-pesan Injil yang sangat mengena di hati. Saya masih ingat slogan yang selalu ditampilkan sebelum acara dimulai, “Everyone is called to be holy. Don’t miss the opportunity!” (Setiap orang dipanggil untuk menjadi kudus. Jangan lewatkan kesempatan ini!) Sejak saat itu, saya mencari tahu bagaimana caranya untuk hidup kudus, yang kemudian saya ketahui sebagai seruan dari Yesus sendiri yang diserukan kembali oleh Gereja kepada semua orang, yang menjadi salah satu fokus utama dalam Konsili Vatikan II.[1] Ternyata, panggilan hidup untuk hidup kudus ini merupakan sesuatu yang sangat penting, karena sesungguhnya, hanya dengan hidup dalam kekudusan inilah kita dapat menemukan kebahagiaan sejati. Hanya dengan hidup kudus dalam kasih inilah kita menemukan arti hidup kita yang sesungguhnya!

 

Mengikuti perintah Allah

Pertama-tama, Kitab Suci mengajarkan pada kita bahwa untuk hidup kudus, kita perlu mengikuti perintah Allah sebab perintah Allah itu kudus (Rom 7:12, 13:10). Perintah ini mencakup kita hidup di dalam iman, harapan dan kasih, terutama perintah untuk mengasihi Allah di atas segalanya dan mengasihi sesama (Mat 22: 37-39; Mrk 12:30), dengan cara ini kita dapat menjadi kudus dan tak bercela di hadapan Tuhan (Fil 1:10, 1 Tes 3:12). Dalam hal ini mengasihi artinya menjadikan kasih sebagai sesuatu yang utama dalam hidup kita. Kemanapun kita pergi kita harus ingat bahwa kita adalah alat Tuhan untuk menyampaikan kasihNya kepada orang-orang yang kita jumpai. Dengan kasih ini, kita belajar untuk selalu menaruh belas kasihan dan menyebarkan kebaikan. Kita juga harus berjuang untuk selalu rendah hati dan lemah lembut, sabar dalam menganggung segala sesuatu yang Tuhan izinkan terjadi di dalam hidup kita. Perjuangan untuk hidup kudus ini juga melibatkan perhatian pada sesama yang sedang susah dan menderita, sebab Kristus telah memberi teladan dengan wafatNya menanggung dosa-dosa kita, sehingga kitapun selayaknya saling menanggung beban dan saling mengampuni seperti Tuhan yang telah lebih dahulu mengampuni kita (Kol 3:12).

Menanggalkan manusia lama: ‘aku yang dulu sudah mati’

Kedua, untuk hidup kudus kita perlu menanggalkan diri kita yang lama –berikut dengan segala dosa dan kebiasaan negatif, untuk hidup sebagai manusia baru di dalam Roh Kudus dan hidup di dalam rasa hormat pada Tuhan (2Kor 7:1) sehingga kita dapat memiliki buah-buah Roh (Gal 5:22-24). Meninggalkan manusia lama adalah konsekuensi dari pembaptisan kita. Misalnya saja, kalau kita dulu terobsesi dengan pekerjaan, kecanduan nonton TV, ‘shopping’, gossip, atau merokok, maka jika mau dengan sungguh-sungguh menjadi manusia baru, kita harus berjuang untuk meninggalkan kebiasaan tersebut, dan mengalihkan waktu atau dana yang dulu tersalurkan untuk kebiasaan itu kepada hal-hal yang dapat memuliakan Tuhan. Kalau kita dulunya melakukan segala sesuatu dengan banyak mengeluh dan ‘komplain’, sekarang kita melakukannya dengan suka cita, karena kita melakukan segala sesuatunya dengan motivasi untuk mengasihi Tuhan, seperti yang diajarkan oleh Santa Teresia Kanak-kanak Yesus. Dengan sendirinya, keinginan hidup kudus ini mengarahkan kita pada hal-hal surgawi yang sifatnya kekal, bukan pada hal-hal dunia yang sifatnya sementara (Kol 3:2). Dengan melaksanakan semua ini, kita dapat hidup di dalam kebenaran dan bertumbuh di dalam kekudusan untuk menjadi semakin serupa dengan Allah (Ef 4:22-24).

Meniru Allah

Ketiga, kita perlu selalu berusaha untuk ‘meniru’ Allah yang kudus dan sempurna (1Pet 1:15-16; Mat 5:48) melalui teladan Kristus untuk kita terapkan di dalam perkataan, pikiran dan perbuatan kita. Kita memang perlu berjuang keras untuk menerapkan hal ini sebab memang tidak mudah untuk hidup kudus dewasa ini dengan adanya banyak godaan dunia yang menarik kita untuk melakukan dosa. Dari majalah sampai iklan, dari pengaruh budaya sampai kebiasaan, semua dapat membujuk kita kepada kesenangan yang semu, yang datang tidak ada habisnya. Rasul Yohanes menyebut ada tiga godaan utama di dalam hidup di dunia, yaitu keinginan daging, keinginan mata serta keangkuhan hidup (1Yoh 2:15) yang menyebabkan orang jatuh dalam dosa seksual, mengejar kekayaan, dan menjadi sombong. Oleh karena itu, untuk hidup kudus, Injil menasehatkan kita untuk mengembangkan tiga pola hidup Injili yaitu, kesucian (chastity), kemiskinan (poverty) dan ketaatan (obedience) yang bertentangan dengan ketiga pola hidup duniawi tersebut. Penerapan ketiga nasehat Injil ini dapat kita lihat sendiri di dalam hidup Kristus, yang merupakan intisari dari pengajaran utama-Nya yang dikenal sebagai Delapan Sabda Bahagia (Mat 5: 3-12). Semasa hidupNya di dunia, Kristus memiliki kelemahlembutan dan kesucian hati; Ia hidup miskin, Ia taat pada kebenaran sampai wafat di salib.[2] Karena itu, jika kita sungguh mau seperti Yesus – seperti yang sering kita nyanyikan di persekutuan doa: Ku… mau s’perti-Mu Yesus- kita pun harus mengikuti pola hidupNya, yang mencerminkan kerendahan hati. Dengan mengikuti teladan Yesus ini, kita berjalan menuju kekudusan.[3]

Semua orang dipanggil untuk hidup kudus

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana kita harus menerapkan ketiga nasehat tersebut, apakah harus dengan menjadi biarawan/ biarawati? Jawabannya adalah kita semua dipanggil untuk melaksanakan ketiga nasehat tersebut menurut status hidup kita. Tentu bagi kaum religius penerapan nasehat tersebut sungguh terlihat sangat jelas, dengan mempersembahkan seluruh hidup mereka, dengan hidup secara selibat untuk mengabdi Tuhan dan sesama. Dalam hal ini, mereka patut mensyukuri karunia tersebut, dan menjalani kehidupan panggilan mereka dengan suka cita, sebab di dalam diri merekalah Tuhan menghadirkan pola hidup Kristus secara terus menerus di dalam Gereja, dan dengan demikian menyatakan keagungan Kerajaan Allah.[4] Namun bagi kita kaum awam, kitapun dapat melaksanakan ketiga nasehat itu dengan derajat yang berbeda, sesuai dengan keadaan kita masing-masing. Misalnya, kesucian di dalam pernikahan ditandai dengan kesetiaan kepada pasangan;[5] kemiskinan dapat diartikan dengan hidup sederhana dan ketidak-terikatan dengan kekayaan ataupun materi; ketaatan dapat diartikan dengan tunduk kepada atasan kita, atau di dalam keluarga: istri tunduk pada suami, suami tunduk pada perintah Tuhan untuk mengasihi istri, dan anak-anak tunduk pada orang tua (lih. Kol 3:18-20, 22). Di atas segalanya, ketaatan diartikan sebagai taat kepada kebenaran yang dinyatakan Allah dengan hidup saleh dan adil (righteous). Untuk menerapkan hal-hal ini diperlukan kerendahan hati untuk selalu mengubah diri ke arah yang lebih baik sesuai dengan perintah Tuhan.

Kita semua juga bertumbuh di dalam kekudusan jika kita menerima dengan iman segala sesuatu yang diberikan oleh Allah, dan apabila kita bekerja sama dengan-Nya untuk melakukan kehendak-Nya di dunia ini[6] yaitu dengan melaksanakan tugas-tugas kita sesuai dengan panggilan hidup kita (lihat artikel: Refleksi Praktis Tentang Kekudusan). Contohnya, para pasangan Kristen dipanggil untuk menjadi contoh bagi dunia atas kasih seumur hidup, yang tak mengenal lelah dan bosan, serta kasih yang murah hati dan selalu terbuka pada anugerah kehidupan anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Para suami dan istri menjadi cerminan bagaimana Kristus mengasihi mempelai-Nya, yaitu Gereja, dengan mengorbankan nyawa baginya.[7] Para janda dan mereka yang tidak menikah juga dapat menyumbangkan kekudusan pada Gereja dengan mendukung tugas-tugas misi Gereja. Para pekerja dapat berjuang untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan masyarakat dengan cara saling menanggung beban dan mengasihi satu sama lain. Juga orang-orang miskin, sakit, dan menderita dipanggil juga untuk hidup kudus, karena mereka secara khusus dipersatukan dengan Kristus yang menderita sengsara untuk menyelamatkan dunia.[8]

Pengajaran dari Para Kudus

Menurut Santo Fransiskus de Sales[9], hidup kudus diawali dengan pemurnian dari dosa (pertobatan) melalui pengakuan dosa. Tahap selanjutnya adalah dengan pemurnian suara hati, sehingga kita dapat memiliki rasa penyesalan yang sungguh dan membuat niat yang teguh untuk memperbaiki diri. Dalam hal ini pemeriksaan batin memainkan peranan yang penting untuk membantu kita mengenali kehadiran Tuhan di dalam hati kita. Kesadaran ini mengantar kita pada tahap berikutnya yaitu, doa, meditasi, membaca dan merenungkan Firman Tuhan, melakukan perbuatan-perbuatan kasih, menyangkal diri, mengikuti retret, dan menerima sakramen-sakramen dari Gereja, terutama sakramen Tobat dan Ekaristi. Perlu diingat bahwa Gereja adalah tanda kehadiran Tuhan melalui liturgi dan sakramen-sakramen, sebab di dalamnya Kristus sendiri yang bertindak melalui perantaraan manusia, dalam hal ini adalah para imam-Nya. Dari semua itu, kehadiran Kristus yang paling sempurna dan mendalam adalah di dalam Sakramen Ekaristi, karena di dalam Ekaristi, Allah menyatakan kehendakNya, yaitu, Tubuh Yesus Kristus dipersembahkan dan kita semua dikuduskan dan disempurnakan (lih. Ibr 10:10,14)[10] Dalam hal ini, kita meyakini bahwa oleh karena kekudusan adalah karunia Tuhan; maka untuk menjadi kudus, kita harus mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri, yang dikaruniakan kepada Gereja-Nya di dalam Ekaristi.

Selanjutnya, Santo Alfonsus Ligouri[11] mengajarkan bahwa di atas segalanya, kita harus berusaha untuk mencari kesamaan dengan kehendak Tuhan, yaitu dengan menjadikan kehendak-Nya kehendak kita sendiri. Dengan melakukan kehendakNya dengan sukacita, baik di dalam kelimpahan maupun di dalam kesulitan, kita sungguh memuliakan Tuhan. Inilah yang menjadi kesempurnaan kita, dan harus menjadi tujuan dari segala keinginan, tindakan, doa, dan meditasi kita. Dengan bertindak sesuai dengan pengertian ini, kita dikuduskan dan menikmati damai di dalam hidup ini. Juga, dengan melaksanakan kehendak Tuhan, kita mengikuti jejak Kristus yang dengan taat kepada Bapa rela wafat di kayu salib bagi manusia. Dengan mengikut teladan Yesus inilah, kita ikut berpartisipasi di dalam kekudusan-Nya untuk mendatangkan keselamatan bagi dunia.

Kesimpulan

Jadi, kekudusan itu adalah karunia yang awalnya diberikan pada waktu kita dibaptis, yaitu pada saat kita meninggalkan manusia lama dan mengenakan Kristus. Selanjutnya kekudusan harus kita perjuangkan dan tingkatkan dengan tindakan kasih kepada Tuhan dan sesama, yang disertai dengan kemurnian hati, pola hidup sederhana -yaitu tidak mengikatkan diri pada kekayaan- juga diikuti ketaatan dan kesalehan; dan semuanya itu didasari oleh kerendahan hati. Jika kita terus menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari, dengan rahmat yang kita terima dari Ekaristi dan sakramen lainnya, maka kita akan bertumbuh di dalam kekudusan. Tuhan kita memang Allah yang Maha Baik. Jika Dia memanggil kita untuk menjadi kudus, Dia juga menyediakan bagi kita jalan menuju kekudusan itu, yang memang harus ditempuh dengan perjuangan, namun Tuhan akan terus mendampingi dan memberi kekuatan, damai dan suka cita yang tidak bisa diberikan oleh dunia ini. Sekarang tergantung kita masing-masing, maukah kita menempuh jalan itu?


[1] Seruan untuk hidup kudus diajarkan oleh Kristus, yang mengatakan, “Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu di sorga adalah sempurna,” Kesempurnaan yang dimaksud ini adalah kekudusan karena pengajaran ini adalah pengulangan dari pengajaran yang disampaikan oleh Musa di kitab Imamat, yaitu “Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan Allahmu, kudus (Im 19:2) dan di kitab Ulangan, “Haruslah engkau hidup dengan tidak bercela di hadapan Tuhan..”(Ul 18:13)

Lihat Lumen Gentium bab V, Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, tentang Panggilan kepada Semua Orang kepada Kekudusan di dalam Gereja.

[2] Lihat Joseph Ratzinger, Pope Benedict XVI, Jesus of Nazareth, (Double Day, New York, 2007), p. 74, “The Beatitudes present a sort of veiled interior biography of Jesus, a kind of a portrait of His figure. He who has no place to lay His head (Mt 8:20) is truly poor, He who can say…I am meek and lowly in heart (Mt 11:28-29) is truly meek; He is the one who is pure of heart and so unceasingly beholds God. He is the peacemaker, He is the one who (obediently) suffers for God’s sake.

[3] Lihat Lumen Gentium 39, Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Kekudusan itu dengan aneka cara terungkapkan pada masing-masing orang, yang dalam corak hidupnya menuju kesempurnaan cinta kasih dengan memberi teladan baik kepada sesama. Secara khas pula nampak dalam penghayatan nasehat-nasehat, yang lazim disebut “nasehat Injil”. Penghayatan nasehat-nasehat itu atas dorongan Roh Kudus ditempuh oleh orang banyak kristiani, entah secara perorangan, entah dalam corak atau status hidup yang disahkan oleh Gereja, serta menyajikan dan harus menyajikan di dunia ini kesaksian dan teladan yang ulung tentang kesucian itu.”

Lihat pula Lumen Gentium 42, yang menyatakan, “Maka semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka. Oleh karena itu hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan-keinginan hati dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan dirintangi karena menggunakan hal-hal duniawi dan melekat pada kekayaan melawan semangat kemiskinan menurut Injil. Itulah maksud nasehat Rasul (Paulus): orang yang menggunakan barang dunia ini jangan sampai berhenti di situ: sebab berlalulah dunia seperti yang kita kenal sekarang (lih. 1Kor 7:31).

[4] Lihat Lumen Gentium 44, ibid., “Corak hidup, yang dikenakan oleh Putera Allah ketika Ia memasuki dunia ini untuk melaksanakan kehendak Bapa, dan yang dikemukakan-Nya kepada para murid yang mengikuti-Nya, yang diteladan dari lebih dekat oleh status religius, dan senantiasa dihadirkan dalam Gereja. Akhirnya status itu juga secara istimewa menampilkan keunggulan Kerajaan Allah melampaui segalanya yang serba duniawi, dan menampakkan betapa pentingnya Kerajaan itu. Selain itu juga memperlihatkan kepada semua orang keagungan mahabesar kekuatan Kristus yang meraja dan daya Roh Kudus yang tak terbatas, yang berkarya secara mengagumkan dalam Gereja.”

[5] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Para suami-isteri dan orang tua kristiani wajib, menurut cara hidup mereka, dengan cinta yang setia seumur hidup saling mendukung dalam rahmat….”

[6] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Jadi semua orang beriman kristiani dalam kondisi-kondisi hidup mereka, dalam tugas-tugas serta keadaan mereka, dan melalui itu semua, dari hari ke hari akan makin dikuduskan, bila mereka dalam iman menerima segala-sesuatu dari tangan Bapa di sorga, dan bekerja sama dengan kehendak ilahi, dengan menampakkan dalam tugas sehari-hari kepada semua orang cinta kasih Allah terhadap dunia.”

[7] Lihat Lumen Gentium 41, ibid ., “(Para suami- isteri dan orang tua kristiani) meresapkan ajaran kristiani maupun keutamaan-keutamaan Injil di hati keturunan, yang penuh kasih mereka terima dari Allah. Sebab dengan demikian mereka memberi teladan cinta kasih yang tak kenal lelah dan penuh kerelaan kepada semua orang, memberi contoh kepada persaudaraan kasih, dan menjadi saksi serta pendukung kesuburan Bunda Gereja. Mereka menjadi tanda pun sekaligus ikut serta dalam cinta kasih Kristus terhadap Mempelai-Nya, sehingga Ia menyerahkan diri untuknya.”

[8] Lihat Lumen Gentium 41, ibid., “Khususnya hendaklah mereka yang ditimpa oleh kemiskinan, kelemahan, penyakit dan pelbagai kesukaran, atau menanggung penganiayaan demi kebenaran – merekalah, yang dalam Injil dinyatakan bahagia oleh Tuhan, dan yang “Allah, sumber segala rahmat, yang dalam Kristus Yesus telah memanggil kita ke dalam kemuliaan-Nya yang kekal, akan melengkapi, meneguhkan dan mengokohkan, sesudah mereka menderita seketika lamanya” (1Ptr 5:10), – hendaklah mereka semua mengetahui, bahwa mereka dipersatukan dengan Kristus yang menderita sengsara demi keselamatan dunia.”

[9] Ringkasan dari buku karangan St. Francis de Sales, An Introduction of the Devout Life, (TAN Books and Publishers, Inc., Rockford, Illinois, USA), 1994.

[10] Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1364, “Apabila Gereja merayakan Ekaristi, ia mengenangkan Paska Kristus; Paska ini dihadirkan. Kurban yang dibawakan Kristus satu kali untuk selama-lamanya, selalu tinggal berhasil guna.” Penghadiran kembali ini tidak berarti bahwa Yesus disalibkan kembali, karena memang Ia telah disalibkan satu kali saja, seperti perkataan Rasul Paulus (Rom 6:10). Jadi yang dihadirkan adalah kurban Kristus yang satu dan sama, (lihat Katekismus 1367) yang dimungkinkan karena Kristus adalah Allah yang tidak terbatas oleh waktu. Hanya cara-nya yang berbeda, yaitu … “Kristus yang sama itu hadir dan dikurbankan secara tidak berdarah… yang mengurbankan diri sendiri di kayu salib secara berdarah satu kali untuk selama-lamanya (Konsili Trente: DS 1743).

“Setiap kali korban salib yang di dalamnya dipersembahkan Kristus, Anak Domba Paska, dirayakan di altar, terlaksanalah karya penebusan kita.” (Lumen Gentium 3)

[11] Ringkasan dari buku karangan St. Alphonsus de Liguori, Uniformity with God’s Will, (TAN Books and Publishers, Inc., Rockford, Illinois, USA), 1977.

Apa itu Kekudusan?

17

Ah, jangan sok suci

Banyak orang mendengar kata ‘kekudusan’ menjadi ciut hati, atau ‘keder’ dalam bahasa ‘slang’ Jawa. Apalagi kalau dalam percakapan sehari-hari, kudus atau suci sering dihubungkan dengan konotasi negatif, misalnya, ‘jangan sok suci’. Padahal kekudusan atau kesempurnaan di mata Tuhan itu adalah sesuatu yang indah, yang harusnya diinginkan oleh semua orang, karena itulah sesungguhnya yang diajarkan oleh Yesus sendiri (lihat Mat 5:48). Bagi kita yang sudah dibaptis, sesungguhnya kita telah diberikan oleh Allah rahmat awal kekudusan itu, ((Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1265, “Pembaptisan tidak hanya membersihkan dari semua dosa, tetapi sernentak menjadikan orang yang baru dibaptis suatu ‘ciptaan baru’ (2Kor 5:17), seorang anak angkat Allah (lih. Gal 4:5-7); ia ‘mengambil bagian dalam kodrat ilahi’ (2Ptr 1:4), adalah anggota Kristus (lih. 1Kor 6:15;12:27), ‘ahli waris’ bersama Dia (Rm 8:17) dan kanisah Roh Kudus (1Kor 6:19).)) yang selayaknya kita pertahankan dan kita tingkatkan (lihat artikel: Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus)

Kekudusan adalah ciri khas Tuhan

Kekudusan adalah salah satu dari sifat utama Tuhan yang menjadi ciri khas-Nya. Kekudusan adalah kasih  yang sempurna, sehingga kekudusan dan kasih adalah sesuatu yang tidak terpisahkan, sebab Tuhan adalah Kudus (Im 19:2, Lk 1: 49, 1Ptr 1:15) dan Kasih (1Yoh 4: 10,16).

Kekudusan adalah “dipisahkan” untuk Tuhan

Jika mengacu kepada asal katanya, kekudusan artinya adalah “dipisahkan”, dalam hal ini maksudnya adalah dipisahkan untuk menjadi milik Tuhan. Kekudusan atau ‘sanctitas‘ dalam Kitab Suci Vulgata Perjanjian Baru, mengacu kepada kata hagiosyne (1 Tes 3:13) dan hosiotes (Luk 1:75; Ef 4:24). Kedua kata Yunani ini menyatakan dua arti kekudusan, yaitu: yang berkenaan dengan pemisahan sebagaimana terlihat dalam hagios dari hagos, yang menandai “hal apapun tentang penghormatan religius” (bahasa Latinnya: sacer); dan yang berkenaan dengan apa yang dikuduskan (sanctitus), yaitu hosios yang menerima meterai dari Tuhan. ((Sumber: New Advent Encyclopedia, http://www.newadvent.org/cathen/07386a.htm.))

Kekudusan adalah kehendak Allah bagi semua orang

Kekudusan adalah kehendak Allah untuk kita semua (1Tes 4:3, Ef 1:4; 1Pet 1:16) walaupun kita mempunyai jalan dan status kehidupan yang berbeda-beda. Kita semua, dipanggil untuk hidup kudus dengan menerapkan kasih kepada Tuhan dan sesama (Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31), sehingga kita mencapai kepenuhan hidup Kristiani. ((Lihat Lumen Gentium (LG) 40, juga LG 42, “Maka semua orang beriman kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka.”))

Konsili Vatikan II, di dalam dokumennya tentang Gereja (Lumen Gentium) menyerukan panggilan kekudusan untuk semua orang yang berkehendak baik:

“…Para pengikut Kristus dipanggil oleh Allah bukan berdasarkan perbuatan mereka, melainkan berdasarkan rencana dan rahmat-Nya. Mereka dibenarkan dalam Tuhan Yesus, dan dalam Baptis iman sungguh-sungguh dijadikan anak-anak Allah dan ikut serta dalam kodrat ilahi, maka sungguh menjadi suci. Maka dengan bantuan Allah mereka wajib mempertahankan dan mengembangkan dalam hidup mereka kesucian yang telah mereka terima. Oleh rasul mereka dinasehati, supaya hidup “sebagaimana layak bagi orang-orang kudus” (Ef 5:3); supaya “sebagai kaum pilihan Allah, sebagai orang-orang Kudus yang tercinta, mengenakan sikap belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemah-lembutan dan kesabaran” (Kol 3:12); dan supaya menghasilkan buah-buah Roh yang membawa kepada kesucian (lih. Gal 5:22; Rom 6:22). Akan tetapi karena dalam banyak hal kita semua bersalah (lih. Yak 3:2), kita terus-menerus membutuhkan belas kasihan Allah dan wajib berdoa setiap hari: “Dan ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12). Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih…” (LG, 40)

Kekudusan adalah persekutuan dengan Tuhan dan sesama dalam kasih

Persatuan atau persekutuan dengan Tuhan adalah inti dari kekudusan, ((Lihat Joseph Cardinal Ratzinger, Called to Communion, (Ignatius Press, San Francisco, 1996), p.33, “The ultimate goal…is perfect unity- it is “unification” with the Son, which at the same time makes it possible to enter into the living unity of God Himself so that God might be all in all (1Cor 15:28).”)) sebab Tuhan Allah Tritunggal sendiri adalah contoh dari persekutuan kasih antara Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Ia yang telah memanggil semua manusia kepada kekudusan, telah juga menanamkan kemampuan pada kita untuk mengasihi dan hidup di dalam persekutuan. ((Lihat Katekismus Gereja Katolik (KGK), 2331. “Allah itu cinta kasih. Dalam diri-Nya Ia menghayati misteri persekutuan cinta kasih antar pribadi (dalam hal ini Pribadi Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus). Seraya menciptakan umat manusia menurut citra-Nya sendiri… Allah mengukirkan panggilan dalam kodrat manusia pria dan wanita, dan karena itu juga kemampuan serta tanggung jawab untuk hidup dalam cinta dan dalam persekutuan.”)) Maka kekudusan adalah persekutuan dengan Allah dan sesama dalam kasih, dan dengan mengasihi inilah kita dapat menjadikan hidup kita berarti dan bahagia, sebab sejak semula memang untuk Allah menciptakan kita agar kita beroleh kebahagiaan.

Jadi, manusia yang diciptakan menurut gambaran Allah, baik itu para religius maupun kaum awam, yang menikah ataupun lajang, tua ataupun muda, semua dipanggil kepada kesempurnaan kasih yang disebut kekudusan ini. ((Lihat LG 39, “Jadi bagi semua jelaslah, bahwa semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih.”)). Kekudusan ini diperoleh melalui pemenuhan hukum yang terutama, yaitu mengasihi Tuhan dan sesama (lih. Mrk 12:30-31). ((Lihat LG 40, “Kamu harus sempurna, seperti Bapamu yang di sorga sempurna adanya” (Mat 5:48). Sebab kepada semua diutus-Nya Roh Kudus, … supaya mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi dan dengan segenap tenaga mereka (lih. Mrk 12:30), dan saling mencintai seperti Kristus telah mencintai mereka (lih. Yoh 13:34; 15:12). )) yang dicapai dengan mengikuti jejak Tuhan sesuai dengan karunia yang diberikan kepada tiap-tiap orang untuk memberi kemuliaan bagi Tuhan dan pelayanan kepada sesama. ((Lihat LG 40, “Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus, supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan menyerupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama.”)) Mengapa? Sebab jika kita mengasihi Tuhan, kita didorong untuk mengasihi sesama, karena kita melihat Kristus di dalam sesama kita terutama yang lemah dan membutuhkan pertolongan (lih. Mat 25:40). Kasih kepada Tuhan dan sesama inilah yang menunjukkan bahwa kita adalah pengikut Kristus. ((Lihat LG 42, “Maka cinta kasih akan Allah maupun akan sesama merupakan ciri murid Kristus yang sejati.”)) Persekutuan yang erat dengan Tuhan juga mendorong kita menjadikan kehendak Tuhan sebagai kehendak kita sendiri, pikiran Tuhan sebagai pikiran kita sendiri. Dan karena Tuhan menghendaki segala sesuatu utuh dan sempurna, maka persekutuan dengan-Nya  juga membawa kita kepada persekutuan dengan sesama dan keutuhan diri sendiri.

Kekudusan itu dimulai dari hal- hal kecil dan sederhana

Dalam hal ini janganlah kita berpikir bahwa kekudusan adalah sesuatu yang terlalu tinggi yang tidak dapat diraih. Sebab, menurut Santa Teresia Kanak-kanak Yesus, kekudusan berawal dari hal-hal kecil dan sederhana yang dilakukan dengan motif kasih yang besar kepada Tuhan, karena “perbuatan kasih adalah jalan utama yang memimpin kita kepada Tuhan.” ((St. Therese of Lisieux, The Story of a Soul, The Autobiography of St. Therese of Lisieux, translated by John Clark, O.C.D., (ICS Publications, Washington DC., Third Edition 1996), p. 194)).  Contohnya, kita dapat bangun tidur lebih awal 10 menit untuk berdoa, kita dapat menyapa anggota keluarga, tetangga atau Pak Satpam dengan tersenyum, atau membantu membuang sampah pada tempatnya di rumah atau di tempat kerja. Singkatnya, dalam keseharian kita, kita menyadari akan kehadiran Tuhan, sehingga kita berusaha untuk menyenangkan hati-Nya dengan setiap perkataan dan perbuatan kita. Dimulai dari hal-hal kecil inilah, kemudian kita dibentuk oleh Kristus untuk menjadi semakin serupa dengan-Nya, yaitu mengikuti kerendahan hati-Nya dengan memikul salib kita sehari-hari, supaya kita dapat turut serta dalam kemuliaan-Nya (1 Pet 4: 13, LG 41).

Kekudusan itu adalah rahmat yang kita peroleh dari Kristus contoh dan sumber kekudusan

Walaupun kita dapat berusaha untuk mengejar kekudusan, namun tidak berarti bahwa kekudusan itu dapat diperoleh dari kekuatan kita sendiri. Sebab kekudusan itu sesungguhnya adalah rahmat Tuhan. Tuhan telah memberikan teladan kesempurnaan kasih dengan memberikan diri-Nya sendiri melalui Yesus Kristus Putera-Nya kepada kita (1Yoh 4:10). Di dalam Kristus, Tuhan memberitahukan kepada kita kesempurnaan kasih-Nya, yaitu kekudusan. Maka terdorong oleh Roh Kudus, dan dikuatkan oleh rahmat Tuhan yang kita terima pada saat Pembaptisan, kita dipanggil oleh Tuhan untuk mengikuti teladan-Nya, dengan memberikan diri kita kepada orang lain.

Maka kita tidak dapat mengandalkan kemampuan kita sendiri untuk mencapai kekudusan; sebab kita baru bisa menjadi kudus, jika kita menerima rahmat Allah dan bekerjasama dengannya. Gereja memberikan rahmat pengudusan Allah itu melalui sakramen- sakramennya; ((lih. KGK 1123: Sakramen-sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah. Tetapi sebagai tanda, Sakramen juga dimaksudkan untuk mendidik. Sakramen tidak hanya mengandaikan iman, melainkan juga memupuk, meneguhkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata dan tindakan. Maka juga disebut Sakramen iman” (Sacrosanctum Concilium 59).)) terutama sakramen Ekaristi dan sakramen Tobat.

Kristus, Sumber segala kekudusan, memanggil kita untuk mengambil bagian di dalam misteri KeselamatanNya, yaitu salib dan kebangkitanNya (1Pet 4:13). Dengan mengambil bagian dalam misteri Paska Kristus ini, yang dihadirkan oleh GerejaNya terutama di dalam sakramen Ekaristi, ((Lihat KGK 1085, “Di dalam liturgi Gereja, Kristus menyatakan dan melaksanakan misteri Paska-Nya…” dan 1088, “Ia (Kristus) hadir dalam kurban misa baik dalam pribadi pelayan (imam yang mempersembahkan misa)… maupun terutama dalam rupa Ekaristi.”))  kita dikuduskan oleh Allah dan kasihNya menjadi sempurna di dalam kita. Di dalam Kristus inilah, kita dapat mentaati Bapa dan menyembah-Nya di dalam Roh dan kebenaran (lih. Yoh 4:23-24).

Kesimpulan

Marilah kita semua menginginkan kekudusan, yaitu kesempurnaan hidup sebagai pengikut Kristus. Karena pada Penghakiman terakhir, setiap orang akan diukur berdasarkan kekudusannya, dan hanya dengan kekudusan setiap dari kita dapat masuk ke surga (2 Pet 3:11, Why 21:27). Kekudusan ini diperoleh dari banyaknya kasih yang kita perbuat di dunia; dan pertumbuhan di dalam kasih ini membuat kita menjadi tak bercela di hadapan Allah (Flp 1:9-10, 1 Tes 2 :12-13). Kristus sendiri mengajarkan pentingnya kekudusan, sebab tanpa itu kita tidak dapat melihat Allah (Mat 5:8; Ibr 12:14). Untuk maksud pengudusan inilah Kristus turun ke dunia, dengan wafat di salib dan bangkit bagi kita, agar kita dapat mengambil bagian dalam misteri Keselamatan, bersekutu dengan Nya, dan melalui Dia, kita bersekutu dengan Allah Bapa dan Roh Kudus. Inilah yang menjadi tujuan hidup kita, yaitu dipersatukan dengan Allah, Pencipta kita, sehingga pada akhirnya dipenuhilah FirmanNya yang dikatakan oleh Rasul Paulus, “Allah menjadi semua di dalam semua” (1Kor 15:28) dan Ia dimuliakan di dalam semua.

Apakah Spiritualitas Katolik?

30

Pendahuluan

Jika kita mendengar kata ‘spiritualitas’, kita dibawa pada suatu kenyataan bahwa di dalam hidup, manusia selalu mencari ‘sesuatu di atas dirinya’ sebagai manusia. Hal ini disebabkan karena kita manusia tidak hanya terdiri dari tubuh saja, melainkan juga jiwa spiritual, sehingga kita selalu memiliki kecenderungan untuk menemukan jati diri kita dengan mengenali Sang Pencipta. Seperti halnya ikan salmon yang mengembara ribuan kilometer dalam hidupnya untuk kembali ke tempat ia dilahirkan dan mati di tempat asalnya tersebut; demikian halnya dengan manusia. Sudah selayaknya, kita –yang diciptakan lebih sempurna dari ikan salmon- menyadari, bahwa kita berasal dari Tuhan dan suatu saat akan kembali kepada Tuhan. Maka, di dalam hidup, kita akan berusaha untuk mengenal diri sendiri dan Tuhan, dan di sinilah spiritualitas berperan dalam kehidupan kita.

Tuhanlah yang memberi makna hidup

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapat melihat, bahkan mengalami pergumulan untuk pencarian jati diri, yang lebih umum dikenal dengan pencarian makna hidup, atau singkat kata, kebahagiaan. Dan karena asal dan akhir manusia adalah Tuhan, maka tidak mengherankan bahwa di dalam pergumulan ini, banyak orang mengalami seperti yang dikatakan oleh Santo Agustinus, “Hatiku tak pernah merasa damai sampai aku beristirahat di dalam Engkau, ya Tuhan.” Tuhanlah sumber kebahagiaan kita dan Dia-lah yang memberi arti dan maksud dari hidup ini. Maka, hanya jika kita sampai kepada Tuhan, barulah kita menemukan damai dan pemenuhan makna hidup. Kesaksian dari banyak orang membuktikan hal ini: ada banyak orang yang secara materiil tak kurang sesuatu apapun, tetapi tidak bahagia, sementara ada orang-orang lain yang hidup sederhana tetapi dapat sungguh berbahagia dan menikmati hidup. Pertanyaannya, kenapa demikian?

Dapat dimengerti, spiritualitaslah yang membedakan kedua kelompok ini. Spiritualitas di sini mengacu pada nilai- nilai religius yang mengarahkan tindakan seseorang. ((Lihat Jordan Aumann, Spiritual Theology, Spiritual Theology, (Continuum, London, reprint 2006, first published in 1980), p17, “…spirituality refers to any religious or ethical value that is concretized as an attitude or spirit from which one’s actions flow.”)) Jika nilai- nilai yang dipegang tidak mengarah pada Tuhan, kebahagiaan yang dicapai adalah ‘semu’ sedangkan jika nilai-nilai itu mengarah pada Tuhan, kebahagiaan yang diperoleh adalah kebahagiaan sejati. Meskipun spiritualitas ini tidak terbatas pada agama tertentu, namun, kita bisa memahami, bahwa spiritualitas mengarah pada Tuhan Sang Pencipta, karena semua manusia diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama, dan karena hanya di dalam Tuhanlah kita mendapatkan jawaban atas segala pertanyaan di dalam kehidupan ini.

Spiritualitas Kristiani adalah Spiritualitas Tritunggal Maha Kudus yang berpusat pada Kristus

Sebagai umat Kristiani, kita percaya bahwa Tuhan telah menyatakan diri-Nya di dalam diri Yesus Kristus PuteraNya ((Kristus dan Allah Bapa adalah satu (Yoh 10: 30; 14: 9-11).)) oleh kuasa Roh Kudus-Nya. Oleh karena itu, spiritualitas Kristen bersumber pada Allah Tritunggal Maha Kudus, yang berpusat kepada Kristus, Penyelamat kita, ((Paus Yohanes Paulus II, dalam Redemptoris Hominis (Penyelamat Manusia), Surat Ensiklikal, 7, menulis, “Jiwa kita diarahkan pada satu arah, pada satu-satunya arah akal budi, kehendak dan hati – menuju Kristus Penyelamat kita, menuju Kristus, Sang Penyelamat manusia. Kita berusaha untuk mengarahkan pandangan kita kepada Dia- sebab tidak ada keselamatan di dalam siapapun selain dari Dia, Sang Putera Allah…” Our spirit is set in one direction, the only direction for our intellect, will and heart is – toward Christ our Redeemer, towards Christ, the Redeemer of man. We wish to look towards Him – because there is no salvation in no one else but Him, the Son of God…”)) karena hanya di dalam nama Kristus kita diselamatkan (Kis 4:12). Allah Bapa telah menciptakan kita sesuai dengan gambaran-Nya; dan menginginkan agar kita selalu tinggal di dalam kasihNya yang tak terhingga sebagaimana ditunjukkan oleh Kristus dengan wafat dan kebangkitanNya, untuk menghapus dosa-dosa kita (1 Yoh 4:10). Oleh Kristus, kita angkat kita menjadi anak-anak Allah (Rom 8:15). dan dipersatukan dengan Tuhan sendiri; Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Jadi, ‘komuni’ atau persatuan kudus kita dengan Allah Tritunggal adalah tujuan hidup kita. Sekarang masalahnya adalah, apakah kalau kita percaya kepada Tuhan, otomatis kita pasti bisa bersatu dengan Dia? Pertama-tama kita harus menyadari, bahwa persatuan dengan Tuhan yang membawa kita pada keselamatan adalah suatu karunia; itu adalah pemberian, bukan karena usaha manusia (Ef 2:8). Karunia keselamatan tersebut diberikan oleh Kristus melalui wafatNya di salib, kebangkitanNya dan kenaikanNya ke surga. Misteri ini-lah yang sampai sekarang selalu dihadirkan kembali oleh Gereja Katolik, melalui sakramen sakramennya, terutama Sakramen Ekaristi, ((Lihat Katekismus Gereja Katolik, 1085, dan 1362, “Ekaristi adalah kenangan akan Paska Kristus yang menghadirkan dan mempersembahkan secara sakramental kurban satu-satunya dalam liturgi Tubuh-Nya yaitu Gereja.”)) di mana kita dipersatukan dengan Tubuh dan Darah Kristus, Jiwa dan Ke–ilahianNya. Persatuan atau komuni kudus ini adalah cara yang dipilih Allah untuk mengangkat kita menjadi serupa dengan Dia. Untuk maksud persatuan kudus inilah, Kristus mendirikan Gereja Katolik untuk melanjutkan karya Keselamatan-Nya kepada dunia sampai kepada akhir zaman.

Peranan Iman

Dalam hal persatuan dengan Tuhan melalui misteri Keselamatan inilah, iman mengambil peranan penting. Iman di sini bukan berarti kepercayaan subjektif bahwa pasti kita diampuni sehingga kita tidak perlu melakukan sesuatu apapun sebagai konsekuensi, melainkan iman yang objektif, yang diawali dengan pertobatan sejati dan diikuti dengan proses memperbaiki diri, yaitu suatu perjuangan untuk semakin menjadikan diri kita semakin mirip dengan Tuhan yang menciptakan kita. Dalam hal ini, iman yang dimaksud adalah ketaatan iman (Rom 16:26; 1: 5) yang diberikan kepada Allah yaitu dengan cara mempersembahkan ketaatan kita secara penuh yang mencakup kehendak dan akal budi, dan dengan mematuhi dan menyetujui segala kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan kepada kita. ((Dei Verbum, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi 5, “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom16:26 ;lih. Rom1:5 ; 2Cor10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”, dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikurniakan oleh-Nya.”)) Kebenaran yang dinyatakan oleh Kristus dilanjutkan oleh Gereja-Nya, Gereja Katolik, sehingga ketaatan total kepada Tuhan membawa kita kepada ketaatan kepada kepada Gereja. Taat di sini tidak saja mencakup taat kepada Firman Tuhan yang tertera pada kitab suci, tetapi juga kepada Gereja-Nya, karena keduanya sejalan dan tidak dapat dipisahkan.

Spiritualitas Katolik adalah spiritualitas yang otentik

Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa spiritualitas yang dinyatakan oleh Kristus adalah spiritualitas yang otentik, meskipun Gereja Katolik tidak menolak apa yang benar dan kudus yang dinyatakan oleh agama-agama lain. ((Lihat Nostra Aetate 2, Dokumen Vatikan II, Dokumen Vatikan II, Pernyataan tentang Hubungan Gereja dengan Agama-agama bukan Kristiani, “Gereja katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, Tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.”)) Dikatakan otentik karena spiritualitas ini berasal dari Tuhan sendiri, yang kini berada di dalam Gereja Katolik yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan para uskup pembantunya, meskipun ada banyak unsur pengudusan dan kebenaran ditemukan di luar struktur Gereja Katolik. ((Lihat Lumen Gentium 8, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “Sesudah kebangkitan-Nya Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim 3:15). Gereja itu, yang didunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada dalam Gereja katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya[[13]], walaupun diluar persekutuan itupun terdapat banyak unsur pengudusan dan kebenaran, yang merupakan karunia-karunia khas bagi Gereja Kristus dan mendorong ke arah kesatuan katolik.)) Berakar dari Firman Tuhan dan ajaran Gereja inilah, kita mengetahui bahwa panggilan hidup kita sebagai manusia adalah agar kita hidup kudus dan mengasihi, karena Allah itu Kudus dan Kasih (Im 19:2, 1Yoh 4:16). Di sini kekudusan berkaitan erat dengan memegang dan melakukan perintah Tuhan ((Lihat Im 20:7-8, “Maka kamu harus menguduskan dirimu, dan kuduslah kamu sebab Akulah Tuhan Allahmu. Demikianlah kamu harus berpegang pada ketetapan-Ku dan melakukannya; Akulah Tuhan yang menguduskan kamu”)), yang adalah perintah untuk mengasihi Tuhan dan sesama (Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31) (Lihat artikel: Bagaimana caranya untuk hidup kudus?). Hanya dengan cara ini, maka kita dapat bertumbuh untuk menjadi ‘serupa’ dengan Allah, dan dikuduskan oleh Allah. Panggilan hidup kudus adalah panggilan bagi semua orang Kristen, bahkan panggilan untuk semua orang, karena kita semua diciptakan oleh Tuhan yang satu dan sama. Jadi kekudusan bukan monopoli kelompok para pastor, suster dan religius lainnya tetapi harus menjadi tujuan bagi kita semua.

Konsili Vatikan II menyerukan pada semua orang panggilan untuk hidup kudus. Siapapun kita, dalam kondisi yang berbeda satu dengan lainnya, dipanggil Tuhan untuk menjadi kudus, sebab Allah sendiri adalah Kudus. ((Lumen Gentium 40, Dokumen Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, “…semua orang kristiani, bagaimanapun status atau corak hidup mereka, dipanggil untuk mencapai kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih.”)) Jadi panggilan ini berasal dari Allah yang satu, dan berlaku untuk semua orang, karena Allah menciptakan semua orang di dalam kesatuan, dan menginginkan kesatuan itu kembali di dalam diriNya, yang berlandaskan kasih. Maka nyatalah bahwa Spiritualitas Katolik mengarah kepada kekudusan dan kasih di dalam kesatuan yang universal, yaitu yang merangkul semua orang kepada persatuan di dalam Tuhan. Persatuan ini adalah kesempurnaan dari hidup Kristiani, yang dihasilkan dari penerapan pengajaran Tuhan di dalam kehidupan sehari- hari. ((Lihat Jordan Aumann, Spiritual Theology, (Continuum, London, reprint 2006, first published in 1980), p25, 23. ”Spiritual theology reflects precisely on the mystery of our participation in divine life….Spiritual theology …is not a pure speculative science but also a practical and applied theology.”)) Jadi spiritualitas yang otentik haruslah diikuti oleh penerapan di dalam perbuatan, sebab jika tidak, spiritualitas menjadi hanya sebatas teori.

Ciri-ciri Spiritualitas Katolik

Dengan demikian, ciri-ciri dari Spiritualitas Katolik adalah ((Diterjemahkan dan disederhanakan dari tulisan Douglas G. Bushman, S.T.L., Foundation of Catholic Spirituality, Institute for Pastoral Theology, Ave Maria University, 2006, p. 35-37.)):

  1. Berpusat pada Kristus. Kristuslah yang menciptakan hidup spiritual, sebab di dalam Dia, Tuhan menyatakan diriNya oleh kuasa Roh Kudus. Oleh karena itu spiritualitas tergantung dari semua pengajaran Kristus.
  2. Melalui Kristus menuju kesatuan dengan Allah Tritunggal. Karena Kristus adalah Pribadi kedua di dalam kesatuan Tritunggal Maha Kudus, maka jika kita bersatu dengan Kristus, maka kita akan bersatu dengan Allah Tritunggal.
  3. Keikutsertaan di dalam misteri Paska Kristus (salib, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga), melalui rahmat Tuhan, iman, kasih, dan nilai-nilai Kristiani lainnya. Singkatnya, Spiritualitas Katolik tak terlepas dari Salib Kristus, ((Hal ini sangat nyata dalam pengajaran Rasul Paulus, “Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengatahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.”(1 Kor 2:2).)) penderitaan dan kesadaran diri akan dosa- dosa kita yang membawa kita pada kebangkitan di dalam Dia. Karena misi Keselamatan Kristus diperoleh melalui Salib, maka sebagai pengikutNya, kita-pun selayaknya mengambil bagian dalam penderitaan itu, terutama dengan kesediaan untuk terus-menerus bertobat dan mau menanggung penderitaan demi keselamatan sesama, dan dengan demikian kita dapat mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. Jika kita hanya mau mengambil bagian dalam ‘kemuliaan’ tanpa mau mengambil bagian dalam ‘penderitaan’ –yang dizinkan oleh Tuhan untuk terjadi di dalam hidup kita- maka kita tidak menerapkan Injil dengan seutuhnya.
  4. Berdasarkan kesaksian akan Kasih Tuhan. Kitab Suci bukan hanya wahyu Tuhan, tapi juga pernyataan akan pengalaman manusia di dalam wahyu Tuhan itu. Apa yang dialami oleh Adam dan Hawa, Nabi Abraham, Ayub, Bunda Maria, Rasul Petrus dan Paulus, dapat dialami oleh kita semua.
  5. Disertai kesadaran akan dosa dan belas kasihan Tuhan. Spiritualitas Katolik berlandaskan atas keyakinan akan Kasih Tuhan di atas segalanya yang mampu mengubah segala sesuatu. Pada saat Tuhan mengasihi kita, dan jika kita membuang segala dosa yang menghalangi kita untuk menerima kasih-Nya, dan dengan iman dan doa, maka kita dapat sungguh diubah, dikuduskan dan dimampukan berbuat baik.
  6. Mengarah pada kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Allah.
  7. Melihat Bunda Maria sebagai contoh teladan. Spiritualitas Katolik menerima segala kebijaksanaan Tuhan yang selalu menggunakan peran pengantara, yaitu Musa, para nabi, Yohanes Pembaptis, dan terutama Bunda Maria untuk menyelenggarakan karya keselamatan-Nya. Karya Tuhan yang ajaib juga nampak dalam mukjizat keperawanan Maria dan melalui ketaatan dan kesediaan Maria, Allah menganugerahkan rahmat yang tiada batasnya, yaitu kelahiran Yesus Kristus, Penyelamat kita di dunia.
  8. Mangacu pada Gereja-Nya, Gereja Katolik. Gereja merupakan sumber atau alat yang meneruskan rahmat Tuhan. Rahmat Tuhan ini kita peroleh melalui sakramen-sakramen terutama Ekaristi; dan juga melalui ketaatan kita pada para penerus Rasul Kristus yang telah dipilih oleh- Nya. Gereja sebagai kesatuan (komuni) manusia dengan Tuhan, selalu memperjuangkan martabat manusia, dan memperhatikan kesatuannya dengan para orang kudus; sebab melalui kesatuan ini Allah dimuliakan.

Kesimpulan

Dengan melihat ciri-ciri di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan akhir Spiritualitas Katolik adalah kemuliaan Tuhan, yang diwujudkan oleh kasih kepada Tuhan dan sesama. Untuk mencapai hal ini, bukan kesuksesan yang menjadi tolok ukurnya melainkan kesetiaan untuk bergantung pada Kristus, sebab tanpa Dia kita tidak bisa berbuah (bdk. Yoh 15:15). Bentuk wujud kesatuan dengan Kristus yang paling nyata di dunia ini adalah melalui Ekaristi kudus, di mana kita menyambut Tubuh dan Darah, Jiwa dan ke-Ilahian Kristus, sehingga olehNya kita dipersatukan dengan Allah Tritunggal. Oleh karena itu, Spiritulitas Katolik selalu berpusat dan bersumber pada Ekaristi, yang adalah Allah sendiri, ((Lihat Katekismus Gereja Katolik, dan Lumen Gentium 11, “Ekaristi adalah ‘sumber dan puncak seluruh hidup kristiani.”)) karena kekudusan adalah karunia yang diberikan oleh Tuhan. Melalui Ekaristi, kita tinggal di dalam Kristus dan dimampukan untuk mengikuti teladan-Nya, sehingga dapat berjalan menuju kekudusan, yaitu persekutuan dengan Allah, yang menjadi sumber kebahagiaan kita. Di sinilah kebahagiaan kita sebagai manusia menjadi juga kemuliaan bagi Allah, karena Allah menciptakan kita agar kita berbahagia bersama-Nya!

Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?

28

Jangan bertanya tentang agama kepada orang lain … itu tabu

Pada waktu saya tinggal di Amerika, suatu saat sepupu saya mengatakan bahwa ada beberapa hal yang tidak boleh ditanyakan jika bertemu dengan orang di Amerika, seperti umur, status, dan juga termasuk agama. Sepanjang pengetahuan saya, pertanyaan “apakah agama-mu” adalah merupakan pertanyaan yang jamak dan lazim di Indonesia, apalagi negara Indonesia berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama adalah “Ke-Tuhanan yang Maha Esa.”. Setelah saya pikir-pikir, orang di Amerika dan mungkin di negara yang lain tidak begitu senang kalau ditanya tentang agama mereka, karena itu adalah masalah yang pribadi. Kedua, ada kemungkinan mereka sebetulnya bisa mengatakan saya tidak beragama. ((Mungkin juga ketidaknyamanan mereka akan pertanyaan ini sebetulnya membuktikan bahwa masalah agama adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan juga membuktikan bahwa mereka merasakan ada sesuatu yang salah. Kalau mereka merasa tidak salah, sebetulnya tidak usah mereka merasa tidak enak.))  “Tidak beragama” mulai melanda banyak negara maju, sejalan dengan perkembangan teknologi dan ekonomi, dimana banyak orang merasa tidak membutuhkan Tuhan. Juga di negara komunis, agama disebut “candu masyarakat.” ((Lenin Vladimir dalam bukunya “Socialism and Related Systems” mengatakan bahwa agama adalah merupakan candu bagi masyarakat. ((Lenin Vladimir dalam bukunya “Socialism and Related Systems” mengatakan bahwa agama adalah merupakan candu bagi masyarakat.))

Dalam artikel ini akan dicoba untuk menjawab pertanyaan yang begitu mendasar, yaitu “mengapa kita musti percaya kepada Tuhan? Dan kalau kita percaya, Tuhan yang mana yang harus kita percayai? Apakah banyak tuhan ataukah Tuhan yang esa?…. Mungkin ada banyak orang di Indonesia yang tidak pernah terlintas untuk memikirkan atau mencoba untuk menjawab pertanyaan ini. Hal ini disebabkan karena agama sudah mendarah daging di dalam masyarakat Indonesia. Untuk mempertanyakan hal ini kepada orang tua, mungkin ada rasa jengah. Bertanya kepada guru atau pastor, takut dikira tidak punya iman. Namun pertanyaan mendasar seperti ini patut diberikan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan, karena manusia pada dasarnya mempunyai kodrat untuk “ingin tahu“.

Membuktikan keberadaan Tuhan dengan dasar filosofi dari St. Thomas Aquinas.

Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana dengan menggunakan akal budi – melalui pendekatan filosofi ((lih. KGK, 47, 286; cf. Vatican Council I, can. 2, § 1: DS 3026.)) – dapat ditarik kesimpulan bahwa kepercayaan kepada Tuhan yang satu adalah kepercayaan yang sangat logis. Sebaliknya, kalau seseorang tidak percaya akan Tuhan yang satu, bisa dibilang bahwa itu melawan akal budi. ((Pendekatan yang logis ini berdasarkan “self-evidence principle” atau prinsip kebenaran yang tidak perlu dibuktikan, seperti: suatu akibat terjadi karena suatu sebab (causality). Kita tidak perlu membuktikan apakah “causality” adalah suatu prinsip yang benar, karena ini sudah menjadi bagian dari acuan berfikir yang bersifat umum atau “universal” yang menjadi dasar kebenaran untuk diterapkan kepada semua prinsip yang lain. Sebagai contoh, kita tidak perlu membuktikan bahwa lingkaran itu adalah bulat.))  Tidak ada pertentangan antara iman dan akal budi. Teologi sendiri dapat didefinisikan sebagai “iman yang mencari pengertian atau faith seeking understanding.” ((Motto dari St. Anselmus adalah “faith seeking understanding/ iman yang mencari pengertian (fides quaerens intellectum). Banyak orang yang mengatakan bahwa iman jangan digabungkan dengan filosofi atau akal, nanti jadi rancu dan tidak murni. Ini adalah pendapat yang salah, karena iman dan akal budi berasal dari sumber yang sama. Kalau keduanya berasal dari sumber yang sama, maka keduanya tidak mungkin bertentangan satu sama lain. Memang akal budi hanya dapat menjangkau tingkat tertentu. Dengan akal budi, manusia dapat membuktikan bahwa Tuhan itu ada, Tuhan itu satu, Tuhan itu baik dan kekal, dll. Namun ada banyak hal yang tidak mungkin juga dicapai oleh akal budi, namun perlu Tuhan sendiri yang memberikan wahyu-Nya kepada manusia, seperti: Trinitas, inkarnasi, sakrament, keselamatan, dll. Pada saat itulah akal budi harus bekerjasama dengan iman. Iman tanpa menggunakan akal budi akan menjadikan seseorang terlalu fanatik (fideism). Sebaliknya akal budi tanpa iman akan membuat orang mengarah kepada hal yang salah dan tersesat. Kita bisa melihat bahwa banyak sekali filsuf yang pada akhirnya tidak percaya kepada Tuhan. Dalam Gereja Katolik, sintesis dari kedua hal ini ditunjukkan oleh banyak dokumen Gereja (sebagai contoh: ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II – “fides et ratio” atau hubungan antara iman dan pemikiran . Karya yang begitu indah dalam sintesis kedua hal ini adalah “Summa Theology” dari St. Thomas Aquinas.)) Paus Yohanes Paulus II berkata “akal budi dan iman adalah seperti dua sayap dimana roh manusia naik untuk mencapai kontemplasi kebenaran.” ((John Paul II, Encyclical Letter on the Relationship between Faith and Reason: Fides et Ratio, 1st ed. (Pauline Books & Media, 1998), p. 7 – Di sini Paus Yohanes Paulus mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara akal budi dan iman, karena keduanya datang dari sumber yang sama, yaitu Tuhan.))  Akal budi ini sudah menjadi bagian integral manusia, yang mempunyai kapasitas untuk menginginkan pencapaian suatu kebenaran. ((KGK, 31,32)) Untuk membuktikan kebenaran akan eksistensi dari Tuhan, maka St. Thomas Aquinas di dalam bukunya “Summa Theology,” ((St. Thomas Aquinas,  ST, I, q.2., a.3.)) memberikan lima metode, yang terdiri dari: 1) prinsip pergerakan, 2) prinsip sebab akibat, 3) ketidakkekalan dan kekekalan, 4) derajat kesempurnaan, dan 5) desain dunia ini.

Bukti 1: Prinsip pergerakan.

Mari sekarang kita meneliti pembuktian pertama, yaitu dari pergerakan. ((Prinsip ini mengatakan bahwa semua yang bergerak atau berubah dikarenakan oleh sesuatu. Juga bisa dikatakan bahwa sesuatu yang berubah dari potensi ke sesuatu yang nyata digerakkan oleh sesuatu yang sudah dalam keadaan nyata.)) St. Thomas mengambil contoh dari pergerakan, karena pergerakan terjadi dimana saja, kapan saja, dan bisa diamati dalam kejadian sehari-hari. Sebagai contoh, pada waktu mobil saya mogok, tetap bisa bergerak karena mobil saya ditarik oleh mobil derek. Namun mobil derek ini bisa bergerak karena adanya koordinasi sistem mesin yang begitu rumit. Walaupun demikian, mobil tidak akan bergerak, kalau tidak ada tangan manusia yang memasukkan kunci dan “menstarter” mobil itu. Tangan digerakkan oleh sistem kerja tubuh yang melibatkan miliaran sel, dimana dikoordinasikan oleh otak. Namun siapa yang menggerakkan otak? Karena ada kehidupan, ada jiwa yang tinggal di dalam tubuh manusia. Siapa yang membuat kehidupan dan jiwa tetap bertahan… dan seterusnya, sampai ada suatu titik, kita dapat mengambil kesimpulan ada “unmoved mover” atau penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain, karena Dia adalah sumber dari pergerakan itu. Sumber pergerakan inilah yang dinamakan “Tuhan”.

Bukti 2: Prinsip sebab akibat.

Pembuktian ke dua adalah dari “Prinsip sebab akibat.” Semua orang di dunia ini tahu kalau sesuatu terjadi dikarenakan oleh sesuatu. Prinsip ini begitu sederhana, sehingga bayipun dapat menerapkan prinsip ini. Bayi tahu kalau dia lapar, maka dia akan menangis. Dia tahu bahwa tangisannya akan menyebabkan ibunya datang dan kemudian menyusui dia. Ibu ini mau menyusui anaknya, walaupun kadang terjadi pagi-pagi buta, karena dia menyayangi anaknya. Dia sayang, karena anak itu lahir dari rahimnya, dan terjadi karena buah kasih sayang dengan suaminya. Komitmen untuk membentuk rumah tangga dikarenakan keinginan untuk mendapatkan kebahagian. Dan kebahagiaan, kalau ditelusuri terus-menerus akan sampai pada suatu titik, yang disebabkan oleh “uncaused cause” atau penyebab yang tidak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Sumber dari penyebab inilah yang disebut orang “Tuhan“.

Dari pembuktian pertama dan kedua, orang bisa mengatakan bahwa “tapi sesuatu bisa terjadi tanpa batas“. Namun keberatan ini dapat disanggah dengan membagi semua pergerakan dan semua sebab akibat menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah “saat ini (current movement/change).” Bagian ke dua adalah deretan yang terhingga dari gerak dan sebab, atau yang disebut “bagian tengah / inter-mediate cause(s)“. Dan kemudian bagian yang terakhir adalah “bagian awal / first mover / causel“. Nah, bagian awal inilah yang disebut “Tuhan, Sang Alfa.”

Bukti 3: Dari prinsip ketidakkekalan dan kekekalan.

Kemudian pembuktian yang ketiga adalah “dari mahluk yang bersifat sementara (contingent beings) dan yang kekal (necessary beings)“. Di dunia ini, tidak mungkin semuanya bersifat sementara, karena kalau demikian maka ada suatu waktu semuanya akan lenyap. Bayangkan orang tua kita cuma hidup sekitar 80 tahun. Terus kakek kita mungkin 90 tahun. Kakek dari kakek kita mungkin 100 tahun. Mau berapa panjang usia nenek moyang kita, mereka toh pada akhirnya telah meninggal. Jika ditelusuri terus, maka garis keturunan kita akan sampai pada manusia pertama. Pertanyaannya adalah, bagaimana manusia pertama itu bisa ada dan hidup? Tidak mungkin dia terjadi begitu saja dari ketidak-adaan. Sebab sesuatu yang tidak ada tidak mungkin menghasilkan sesuatu yang ada/nyata. Jadi disimpulkan bahwa kalau semua mahluk tidak kekal, maka harus ada “Mahluk lain” yang keberadaannya kekal ((Sesuatu yang kekal dapat dibagi menjadi dua, yaitu kekekalan yang didapat karena yang lain, sebagai contoh: jiwa manusia, para malaikat – setelah mereka diciptakan, maka mereka menjadi kekal. Kekekalan yang kedua adalah kekekalan yang tidak tergantung dari yang lain, dan ini hanya ada satu, yaitu Tuhan.)) dan tidak mungkin hilang. KekekalanNya membuat mahluk yang tidak kekal terus bertahan dan memenuhi bumi, sehingga kehidupan tidak punah. Kekekalan yang tidak disebabkan oleh yang lain inilah yang disebut “Tuhan, Sang Kekal.” ((Untuk menyanggah keberadaan Tuhan sebagai “unmoved mover” dan “uncaused cause” adalah tidak mendasar, karena itu berarti, kita harus berasumsi bahwa sesuatu di dunia ini terjadi tanpa ada penyebabnya. Dan asumsi ini berlawan dengan prinsip utama (self-evidence principle), yaitu prinsip sebab akibat (causality).))

Bukti 4: Derajat kesempurnaan.

Pembuktian ke empat adalah dari sisi “derajat kesempurnaan.” Kalau kita amati, semua yang ada di dunia ini ada tingkatannya. Ada yang miskin, kaya, konglomerat. Kasih, kebajikan, kebaikan, keindahan, kebenaran, semuanya ada tingkatannya. Peribahasa “kasih anak sepanjang galah dan kasih ibu sepanjang jalan,” secara tidak langung menunjukkan ada tingkatan dan derajat kasih. Jadi, kalau semua ada tingkatannya, tentu ada yang paling tinggi tingkat kesempurnaanya. Jadi, semua tingkatan berpartisipasi dalam sesuatu yang tingkatannya paling tinggi. Sebagai contoh, kalau kita menaruh besi di dalam api, maka besi itu menjadi panas. Namun panasnya besi bukan karena akibat dari besi itu sendiri, melainkan karena partisipasi besi itu dalam api.

Contoh di atas membuka suatu prinsip yang sangat penting, yaitu “seseorang atau sesuatu tidak dapat memberi apa yang dia tidak punya.” Air dingin tidak bisa membuat besi menjadi panas, karena air dingin tidak mempunyai sifat panas. Semua yang ada di dunia ini tidaklah sempurna, namun semuanya ada karena partisipasi dalam sesuatu yang tingkatannya paling tinggi, dan yang tingkatannya paling tinggi inilah yang di sebut “Tuhan, Sang Maha Sempurna.”

Bukti 5: Dari desain dunia ini dan tujuan akhir.

Pembuktian yang terakhir adalah dari sisi “desain dunia ini dan tujuan akhir“. Ini adalah sesuatu yang dapat dibuktikan di dalam hidup kita sehari-hari. Kita setiap hari melihat jalan setapak, jalan raya, dan juga jalan layang. Apakah mungkin kalau kita mengatakan bahwa jalan itu memang ada dengan sendirinya, tanpa ada yang mendesain dan membangun. Bagaimana dengan desain rumah, desain tata kota, dll. Semua terjadi karena ada yang mendesain dan tidak mungkin terjadi dengan sendirinya. Kalau kita percaya bahwa rumah kita tidak terjadi dengan sendirinya, namun didesain oleh diri sendiri atau seorang arsitek, apakah kita dapat menyangkal bumi ini, sistem grafitasi, dan juga sistem tata surya terjadi dengan sendirinya? Apakah mungkin kita berpendapat bahwa pergerakan planet-planet dan bintang-bintang, yang semuanya berjalan dengan keharmonisan tertentu dikarenakan karena faktor kebetulan? Desain alam semesta ini jauh lebih rumit daripada desain rumah kita. Kalau kita percaya akan arsitek yang mendesain rumah kita, maka kita harus percaya bahwa ada arsitek tata surya ini, yaitu Tuhan. Kalau kita lebih percaya bahwa semuanya terjadi secara kebetulan, maka ini adalah argumen yang tidak mungkin, karena kemungkinan bahwa semua itu terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang mengatur adalah bisa dibilang “tidak mungkin.” Sama halnya seperti kalau kita bilang bahwa rumah saya terjadi secara kebetulan tanpa ada yang merencanakan dan menbangunnya.

Bagaimana dengan mahluk yang tidak berakal budi, seperti tumbuhan dan binatang. Mereka mempunyai suatu pola dalam hidup mereka. Siapa yang mengatur kehidupan mereka? Hukum alam? Namun siapa yang mengatur hukum alam? Hanya mahluk rasional yang mungkin mengatur sesuatu yang punya aturan tertentu dan menuju ke suatu tujuan tertentu.

Contoh lain adalah gravitasi bumi, dan pergerakan tata surya yang mempunyai nilai tertentu dan tetap sepanjang sejarah. Jika nilai- nilai tersebut berubah sedikit saja, maka kacaulah segala planet di tata surya ini. Maka jelaslah bahwa semua yang bergerak dan beroperasi menurut urutan tertentu akan bergerak untuk mencapai tujuan akhir. Jadi dapat disimpulkan bahwa ada “Mahluk Rasional” yang memelihara dan mengarahkan semua yang ada di alam ini ke tujuan akhir. Inilah yang disebut “Tuhan, Sang Omega.” Dengan demikian lebih logis dan lebih mungkin, kalau kita percaya bahwa ada sesuatu yang mengatur sistem alam semesta, yaitu Tuhan Sang Pencipta.

Kemudian, variasi dari demonstrasi ke lima ini adalah dari sisi “aturan moral.” Kalau di atas kita melihat bagaimana Tuhan mengatur mahluk yang tidak berakal budi dengan “hukum alam“, maka berikut ini adalah demontrasi yang menunjukkan bahwa Tuhan juga mengatur mahluk yang berakal budi, yaitu manusia melalui “hukum moral.” Kalau kita teliti lebih jauh, manusia dengan latar belakang, kebangsaan, suku, ras yang berbeda, diatur oleh suatu hukum yang dinamakan hukum moral yang secara alami tertulis di dalam hati nurani manusia. ((Rasul Paulus mengatakan di Rom 2:15 “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.”)) Hukum moral inilah yang membuat manusia dapat membedakan antara yang baik dengan yang jahat. Hukum ini bersifat obyektif, dan mengikat manusia secara universal. Kita bisa melihat bagaimana aturan baku di semua negara: anak harus menghormati orang tua, seorang ibu mengasihi anaknya, seseorang akan merasa tidak enak hati kalau membalas kebaikan dengan kejahatan, dll. Kalau orang melawan hukum universal ini, maka dia sebenarnya melawan hati nuraninya sendiri.

Kata “hukum atau aturan” pada dasarnya adalah sesuatu yang terjadi karena tuntutan akal (dictate of reason) yang dibuat untuk kepentingan umum oleh seseorang yang mempunyai otoritas. Misalnya, kalau peraturan lalu lintas adalah peraturan dengan alasan yang logis untuk keselamatan pengendara, yang dibuat oleh pihak kepolisian lalu lintas. Dengan menerapkan prinsip “sebab akibat“, kita tahu bahwa hukum moral yang tertulis di setiap hati nurani manusia tidaklah terjadi dengan sendirinya, namun diberikan oleh Sang Pemberi Hukum yaitu: “Tuhan, Sang Maha Adil.” Jadi hukum moral ini juga dapat membuktikan keberadaan Tuhan, yang memberikan aturan yang tertulis di dalam hati manusia untuk kepentingan umum.

Ok. Sekarang saya percaya kepada Tuhan, tapi satu Tuhan atau banyak tuhan?

Dari lima pembuktian ini, mungkin ada orang yang mengatakan. Ok, saya percaya ada Tuhan, tapi saya juga percaya ada banyak tuhan. Untuk menjawab hal ini, kita melihat pada pembuktian ke-empat, yang menujukkan tidaklah mungkin kalau ada banyak tuhan, karena kalau banyak, pasti yang satu lebih atau kurang dari yang lain. Padahal, kalau Tuhan itu adalah “Maha secara absolut”, maka hanya dapat disimpulkan bahwa “Tuhan itu adalah Satu atau Esa“.

Keputusan untuk percaya kepada Tuhan yang Satu adalah keputusan yang paling logis.

Dari semua pembuktian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa lebih logis kalau kita percaya Tuhan daripada sebaliknya. Kelogisan ini berlanjut dengan kepercayaan kita kepada Tuhan yang Satu dan Kekal. Jadi sebenarnya dapat dikatakan bahwa dasar pertama dari Pancasila – keTuhanan yang Maha Esa – adalah sangat logis dan mendasar. Di dalam tulisan yang akan datang, kita akan menelusuri lebih jauh tentang siapa Tuhan yang Satu itu. Dan pertanyaan itu akan mengarah kepada “Yesus Kristus, Sang Sabda Kehidupan “.

Vatikan II

0

Konsili Vatikan II adalah Konsili uskup sedunia yang diadakan di Vatikan, Roma pada tahun 1962-1965 (terdiri dari 4 periode), yang diprakarsai oleh Paus Yohanes XXIII. Tujuannya adalah untuk memperbaharui Gereja secara spiritual dengan cara kembali ke sumber Tradisi Suci yang lama baik yang tertulis (Kitab Suci) maupun yang lisan, seperti dari para Bapa Gereja dan tulisan Para Orang Kudus (ressourcement). Diharapkan dengan demikian, Gereja dapat memperoleh kesegaran baru sehingga dapat menjawab tantangan zaman, dan iman Katolik dapat diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari (aggiornamento). Tujuan akhir dari pembaharuan ini adalah memusatkan Gereja pada pribadi Kristus dan pada Misteri Paska-Nya, yang diterjemahkan oleh Konsili sebagai seruan panggilan kepada semua orang untuk hidup kudus.

Isi dokumen Konsili Vatikan II:

  1. DAFTAR ISI
  2. KATA PENGANTAR
  3. KONSTITUSI
    1. KONSTITUSI DOGMATIS “DEI VERBUM” – TENTANG WAHYU ILAHI
    2. KONSTITUSI DOGMATIS “LUMEN GENTIUM” – TENTANG GEREJA
    3. KONSTITUSI “SACROSANCTUM CONCILIUM” – TENTANG LITURGI SUCI
    4. KONSTITUSI PASTORAL “GAUDIUM ET SPES” – TENTANG GEREJA DALAM DUNIA MODERN
  4. PERNYATAAN
    1. PERNYATAAN “GRAVISSIMUS EDUCATIONIS” – TENTANG PENDIDIKAN KRISTEN
    2. PERNYATAAN “NOSTRA AETATE” – TENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTEN
    3. PERNYATAAN “DIGNITATIS HUMANAE” – TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA
  5. DEKRIT
    1. DEKRIT “AD GENTES” – TENTANG KEGIATAN MISIONER GEREJA
    2. DEKRIT “PRESBYTERORUM ORDINIS” – TENTANG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM
    3. DEKRIT “APOSTOLICAM ACTUOSITATEM” – TENTANG KERASULAN AWAM
    4. DEKRIT “OPTATAM TOTIUS” – TENTANG PEMBINAAN IMAN
    5. DEKRIT “PERFECTAE CARITATIS” – TENTANG PEMBAHARUAN DAN PENYESUAIAN HIDUP RELIGIUS
    6. DEKRIT “CHRISTUS DOMINUS” – TENTANG TUGAS PASTORAL PARA USKUP DALAM GEREJA
    7. DEKRIT “UNITATIS REDINTEGRATIO” – TENTANG EKUMENISME
    8. DEKRIT “ORIENTALIUM ECCLESIARUM” – TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR KATOLIK
    9. DEKRIT “INTER MIRIFICA” – TENTANG UPAYA-UPAYA KOMUNIKASI SOSIAL

Daftar Isi

0

Daftar isi dari Dokumen Konsili Vatikan II, yang terdiri dari: 4 konstitusi, 3 pernyataan, dan 9 dekrit.

Isi dokumen Konsili Vatikan II:

  1. DAFTAR ISI
  2. KATA PENGANTAR
  3. KONSTITUSI
    1. KONSTITUSI DOGMATIS “DEI VERBUM” – TENTANG WAHYU ILAHI
    2. KONSTITUSI DOGMATIS “LUMEN GENTIUM” – TENTANG GEREJA
    3. KONSTITUSI “SACROSANCTUM CONCILIUM” – TENTANG LITURGI SUCI
    4. KONSTITUSI PASTORAL “GAUDIUM ET SPES” – TENTANG GEREJA DALAM DUNIA MODERN
  4. PERNYATAAN
    1. PERNYATAAN “GRAVISSIMUS EDUCATIONIS” – TENTANG PENDIDIKAN KRISTEN
    2. PERNYATAAN “NOSTRA AETATE” – TENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTEN
    3. PERNYATAAN “DIGNITATIS HUMANAE” – TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA
  5. DEKRIT
    1. DEKRIT “AD GENTES” – TENTANG KEGIATAN MISIONER GEREJA
    2. DEKRIT “PRESBYTERORUM ORDINIS” – TENTANG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM
    3. DEKRIT “APOSTOLICAM ACTUOSITATEM” – TENTANG KERASULAN AWAM
    4. DEKRIT “OPTATAM TOTIUS” – TENTANG PEMBINAAN IMAN
    5. DEKRIT “PERFECTAE CARITATIS” – TENTANG PEMBAHARUAN DAN PENYESUAIAN HIDUP RELIGIUS
    6. DEKRIT “CHRISTUS DOMINUS” – TENTANG TUGAS PASTORAL PARA USKUP DALAM GEREJA
    7. DEKRIT “UNITATIS REDINTEGRATIO” – TENTANG EKUMENISME
    8. DEKRIT “ORIENTALIUM ECCLESIARUM” – TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR KATOLIK
    9. DEKRIT “INTER MIRIFICA” – TENTANG UPAYA-UPAYA KOMUNIKASI SOSIAL
KONSTITUSI “SACROSANCTUM CONCILIUM” – TENTANG LITURGI SUCI

PENDAHULUAN

BAB I : ASAS-ASAS UMUM UNTUK MEMBAHARUI DAN MENGEMBANGKAN LITURGI

I. Hakekat dan Makna Liturgi Suci Dalam Kehidupan Gereja

5. Karya keselamatan dilaksanakan oleh Kristus
6. Karya keselamatan, yang dilestarikan oleh Gereja, terlaksana dalam liturgi
7. Kehadiran Kristus dalam Liturgi
8. Liturgi di dunia ini dan Liturgi di sorga
9. Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja
10. Liturgi puncak dan sumber kehidupan Gereja
11. Perlunya persiapan pribadi
12-13 Liturgi dan ulah kesalehan

II. Pendidikan Liturgi dan Keikut-sertaan aktif

14. Pendahuluan
15. Pembinaan para dosen Liturgi
16-18 Pendidikan Liturgi kaum Rohaniwan
19. Pembinaan Liturgis kaum beriman
20. Sarana-sarana audio-visual dan perayaan Liturgi

III. Pembaharuan Liturgi

21. Pendahuluan

A. Kaidah-kaidah umum

22. Pengaturan Liturgi
23. Tradisi dan perkembangan
24. Kitab suci dan Liturgi
25. Peninjauan kembali buku-buku Liturgi

B. Kaidah-kaidah berdasarkan hakekat Liturgi sebagai tindakan Hirarki dan jemaat

26. Liturgi sebagai perayaan Gereja
27. Perayaan bersama
28-29 Martabat perayaan
30-31 Keikut-sertaan aktif umat beriman
32. Liturgi dan kelompok-kelompok sosial

C. Kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral Liturgi

33. Pendahuluan
34. Keserasian upacara-upacara
35. Kitab suci, pewartaan dan katekese dalam Liturgi
36. Bahasa Liturgi

D. Kaidah-kaidah untuk menyesuaikan Liturgi dengan tabiat perangai dan tradisi bangsa-bangsa

37. Gereja memelihara kekayaan bangsa-bangsa
38. Penyesuaian dan tuntutan masa dan tempat
39. Batas-batas penyesuaian
40. Penyesuaian Liturgi, terutama di daerah misi

IV. Pembinaan kehidupan Liturgi dalam keuskupan dan paroki

41. Kehidupan Liturgi dalam keuskupan
42. Kehidupan Liturgi dalam paroki

V. Pengembangan pastoral Liturgi

43. Pembaharuan Liturgi, rahmat Roh Kudus
44. Komisi Liturgi nasional
45. Komisi Liturgi keuskupan
46. Komisi-komisi musik dan kesenian Liturgi

BAB II : MISTERI EKARISTI SUCI

47. Ekaristi suci dan misteri Paska
48-49 Keikut-sertaan aktif kaum beriman
50. Peninjauan kembali Tata Perayaan Ekaristi
51. Supaya Ekaristi diperkaya dengan sabda Kitab suci
52. Homili
53. Doa umat
54. Bahasa Latin dan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi
55. Komuni suci, puncak keikut-sertaan dalam Misa suci, Komuni dua rupa
56. Kesatuan Misa
57-58 Konselebrasi

BAB III : SAKRAMEN-SAKRAMEN LAINNYA DAN SAKRAMENTALI

59. Hakekat sakramen
60. Sakramentali
61. Nilai pastoral Liturgi, hubungannya dengan misteri Paska
62. Perlunya meninjau kembali upacara Sakramen-Sakramen
63. Bahasa; rituale Romawi dan rituale khusus
64. Katekumenat
65. Inkulturasi inisiasi
66. Peninjauan kembali upacara babtis
67. Peninjauan kembali upacara pembabtisan kanak-kanak
68. Upacara pembabtisan yang singkat
69. Upacara pelengkap
70. Pemberkatan air babtis
71. Peninjauan kembali Sakramen Krisma
72. Peninjauan kembali upacara tobat
73. Peninjauan kembali upacara Pengurapan Orang Sakit
74. Upacara berkesinambungan untuk orang sakit
75. Upacara pengurapan Orang Sakit
76. Peninjauan kembali Sakramen Tahbisan
77. Peninjauan kembali Sakramen Perkawinan
78. Perayaan perkawinan
79. Peninjauan kembali sakramentali
80. Pengikraran kaul religius
81. Peninjauan kembali upacara pemakaman
82. Upacara penguburan anak-anak

BAB IV : IBADAT HARIAN

83-85 Ibadat harian, karya Kristus dan Gereja
86-87 Nilai pastoral Ibadat Harian
88-89 Peninjauan kembali pembagian waktu Ibadat menurut tradisi
90. Ibadat harian, sumber kesalehan
91. Pembagian mazmur-mazmur
92. Penyusunan bacaan-bacaan
93. Peninjauan kembali madah-madah
94. Saat mendoakan Ibadat Harian
95-97 Kewajiban mendoakan Ibadat harian
98. Pujian kepada Allah dalam tarekat-tarekat religius
99. Ibadat Harian bersama
100. Keikut-sertaan umat beriman
101. Bahasa

BAB V : TAHUN LITURGI

102-105 Makna tahun Liturgi
106. Makna hari Minggu ditekankan lagi
107-108 Peninajauan kembali tahun Liturgi
109-110 Masa Prapaska
111. Pesta para kudus

BAB VI : MUSIK LITURGI

112. Matabat musik Liturgi
113. Liturgi meriah
114. Umat beriman diharapkan berperan serta
115. Pendidikan musik
116. Nyanyian Gregorian dan Polifoni
117. Penerbitan buku-buku nyanyian Gregorian
118. Nyanyian rohani umat
119. Musik Liturgi di daerah-daerah Misi
120. Orgel dan alat-alat musik lainnya
121. Panggilan para pengarang musik

BAB VII : KESENIAN RELIGIUS DAN PERLENGKAPAN IBADAT

122. Martabat kesenian religius
123. Corak-corak artistik
124. Karya-karya seni yang menyinggung cita rasa keagamaan
125. Gambar-gambar dan patung-patung
126. Panitia keuskupan untuk Kesenian Liturgi
127. Pembinaan para seniman
128. Peninjauan kembali peraturan tentang kesenian ibadat
129. Pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan
130. Penggunaan lambang-lambang jabatan Uskup

LAMPIRAN :

Pernyataan Konsili Ekumenis Vatikan II tentang Peninjauan Kembali Penanggalan Liturgi

 

DEKRIT “INTER MIRIFICA” – TENTANG UPAYA-UPAYA KOMUNIKASI SOSIAL

PENDAHULUAN

1. Makna suatu ungkapan
2. Mengapa Konsili membahas masalah komunikasi sosial

BAB I: AJARAN GEREJA

3. Tugas-kewajiban Gereja
4. Hukum moral
5. Hak dan informasi
6. Kesenian dan moral
7. Pemberitaan kejahatan moral
8. Pendapat umum
9. Kewajiban-kewajiban para pemakai media komunikasi sosial
10. Kewajiban-kewajiban kaum muda dan para orang tua
11. Kewajiban-kewajiban para penyelenggara
12. Kewajiban-kewajiban pemerintah

BAB II: KEGIATAN PASTORAL GEREJA

13. Kegiatan para gembala dan umat beriman
14. Prakarsa-prakarsa umat katolik
15. Pembinaan para produsen
16. Pembinaan para pemakai jasa
17. Upaya-upaya teknis dan ekonomis
18. Sekali setahun : hari komunikasi nasional
19. Sekretariat pada Takhta suci
20. Wewenang para Uskup
21. Biro Nasional
22. Organisasi-organisasi internasional

PENUTUP

23. Instruksi pastoral
24. Anjuran akhir

KONSTITUSI DOGMATIS “LUMEN GENTIUM” – TENTANG GEREJA

BAB I: MISTERI GEREJA

1. Pendahuluan
2. Rencana Bapa yang bermaksud menyelamatkan semua orang
3. Perutusan Putera
4. Roh Kudus yang menguduskan Gereja
5. Kerajaan Allah
6. Aneka gambaran Gereja
7. Gereja, Tubuh mistik Kristus
8. Gereja yang kelihatan dan sekaligus rohani

BAB II: UMAT ALLAH

9. Perjanjian Baru dan Umat Baru
10. Imamat umum
11. Pelaksanaan imamat umum dalam Sakramen-Sakramen
12. Perasaan iman dan karisma-karisma umat kristiani
13. Sifat umum dan katolik Umat Allah yang Satu
14. Umat beriman katolik
15. Hubungan Gereja dengan orang kristen bukan katolik
16. Umat bukan kristen
17. Sifat misioner Gereja

BAB III: SUSUNAN HIRARKIS GEREJA, KHUSUSNYA EPISKOPAT

18. Pendahuluan
19. Dewan para Rasul didirikan oleh Kristus
20. Para Uskup pengganti para Rasul
21. Sakramentalitas episkopat
22. Dewan para Uskup dan Ketuanya
23. Uskup setempat dan Gereja universal
24. Tugas para Uskup pada umumnya
25. Tugas mengajar
26. Tugas menguduskan
27. Tugas menggembalakan
28. Para imam biasa
29. Para diakon

BAB IV: PARA AWAM

30. Prakata
31. Apa yang dimaksud dengan istilah “awam”
32. Martabat kaum awam sebagai anggota umat Allah
33. Hidup kaum awam berhubungan dengan keselamatan dan kerasulan
34. Keikut-sertaan kaum awam dalam imamat umum dan ibadat
35. Keikut-sertaan kaum awam dalam tugas kenabian Kristus
36. Keikut-sertaan kaum awam dalam pengabdian rajawi Kristus
37. Hubungan kaum awam dengan Hirarki
38. Penutup

BAB V : PANGGILAN UMUM UNTUK KESUCIAN DALAM GEREJA

39. Prakata
40. Panggilan umum untuk kesucian
41. Bentuk pelaksanaan kesucian
42. Jalan dan upaya kesucian

BAB VI : PARA RELIGIUS

43. Pengikraran nasehat-nasehat Injil dalam Gereja
44. Makna dan arti hidup religius
45. Hubungan para religius dengan Hirarki
46. Penghargaan terhadap hidup religius
47. Penutup

BAB VII : SIFAT ESKATOLOGIS GEREJA MUSAFIR DAN PERSATUANNYA DENGAN GEREJA DI SORGA

48. Pendahuluan
49. Persekutuan antara Gereja di sorga dan Gereja di dunia
50. Hubungan antara Gereja didunia dan Gereja di sorga
51. Beberapa pedoman pastoral

BAB VIII : SANTA PERAWAN MARIA BUNDA ALLAH DALAM MISTERI KRISTUS DAN GEREJA

I. Pendahuluan

52. Santa Perawan dalam misteri Kristus
53. Santa Perawan dan Gereja
54. Maksud Konsili

II. Peran Santa Perawan dalam tata keselamatan

55. Bunda Almasih dalam Perjanjian Lama
56. Maria menerima warta gembira
57. Santa Perawan dan kanak-kanak Yesus
58. Santa Perawan dan hidup Yesus dimuka umum
59. Santa Perawan sesudah Yesus naik ke sorga

III. Santa Perawan dan Gereja

60-62 Maria hamba Tuhan
63-64 Maria pola Gereja
65. Keutamaan-keutamaan Maria, pola bagi Gereja

IV. Kebaktian kepada Santa Perawan dalam Gereja

66. Makna dan dasar bakti kepada Santa Perawan
67. Semangat mewartakan sabda dan kebaktian kepada Santa Perawan

V. Maria, tanda harapan yang pasti dan penghiburan bagi umat Allah

68-69 ……………………………………………………………………………………..

PENGUMUMAN OLEH SEKRETARIS JENDRAL KONSILI

1. Kadar teologis Konstitusi “De Ecclesia”
2. Arti kolegialitas

CATATAN PENJELASAN PENDAHULUAN

DEKRIT “ORIENTALIUM ECCLESIARUM” – TENTANG GEREJA-GEREJA TIMUR KATOLIK

1. Pendahuluan

Gereja-gereja khusus atau ritus-ritus

2. Kemacam-ragaman dalam persekutuan Gereja katolik
3. Kesamaan martabat, hak-hak dan kewajiban-kewajiban
4. Kelestarian Ritus-Ritus dalam suatu persekutuan

Melestarikan pusaka rohani Gereja-Gereja Timur

5. Hak serta kewajiban Gereja-Gereja untuk melestarikan tata-laksana masing-masing
6. Melestarikan upacara-upacara Liturgis Ritus Timur

Para Patriark Timur

7. Siapa Patriark Timur itu?
8. Semua Patriark sederajat martabatnya
9. Wewenang Patriark dan sinode
10. Uskup Agung Utama
11. Didirikan patriarkat-patriarkat baru sejauh perlu

Tata-laksana Sakramen-Sakramen

12. Konsili mengukuhkan tata-laksana Sakramen-Sakramen
13. Pelayanan Sakramen Krisma
14. Penerimaan Sakramen Krisma
15. Ekaristi suci
16. Pelayanan Sakramen Tobat
17. Diakonat dan tahbian-tahbisan tingkat rendah
18. Pernikahan campur

Liturgi

19. Hari-hari raya
20. Hari raya Paska
21. Penyesuaian diri dengan Ritus setempat
22. Pujian Ilahi (ibadat harian)
23. Penggunaan bahasa daerah

Pergaulan dengan para anggota Gereja-Gereja yang terpisah

24. Memelihara persekutuan menurut Dekrit tentang Ekumenisme
25. Syarat untuk kesatuan; kewenangan menjalankan kuasa Tahbisan
26-28 “Communicatio in sacris”
29. Bimbingan para Hirark setempat
30. Penutup

DEKRIT “UNITATIS REDINTEGRATIO” – TENTANG EKUMENISME

1. PENDAHULUAN

BAB I : PRINSIP-PRINSIP KATOLIK UNTUK EKUMENISME.

2. Gereja yang satu dan tunggal
3. Hubungan antara saudara-saudari yang terpisah dan Gereja katolik
4. Ekumenisme

BAB II : PELAKSANAAN EKUMENISME

5. Ekumenisme : tanggung jawab segenap umat beriman
6. Pembaharuan Gereja
7. Pertobatan hati
8. Doa bersama
9. Saling mengenal sebagai saudara
10. Pembinaan ekumenis
11. Cara mengungkapkan dan menguraikan ajaran iman
12. Kerja sama dengan saudara-saudari yang terpisah

BAB III : GEREJA-GEREJA DAN JEMAAT GEREJAWI YANG TERPISAHKAN DARI TAKHTA APOSTOLIK DI ROMA

13. Pendahuluan

I. Tinjauan khusus tentang Gereja-Gereja Timur

14. Semangat dan sejarah Gereja-Gereja Timur
15. Tradisi Liturgi dan hidup rohani dalam Gereja-Gereja Timur
16. Ciri khas Gereja-Gereja Timur berkenaan dengan soal-soal ajaran
17. Penutup

II. Gereja-Gereja dan jemaat-jemaat gerejawi yang terpisah di dunia Barat

19. Situasi khusus Gereja-Gereja dan jemaat-jemaat
20. Iman akan Kristus
21. Pendalaman Kitab suci
22. Hidup sakramental
23. Kehidupan dalam Kristus
24. Penutup

DEKRIT “CHRISTUS DOMINUS” – TENTANG TUGAS PASTORAL PARA USKUP DALAM GEREJA

PENDAHULUAN

BAB I : PARA USKUP DAN GEREJA SEMESTA

I. Peranan para Uskup terhadap Gereja semesta

4. Pelaksanaan kekuasaan oleh Dewan para Uskup
5. Majelis atau sinode para Uskup
6. Para Uskup ikut serta memperhatikan semua Gereja-Gereja
7. Cinta kasih yang nyata terhadap para Uskup yang dianiaya

II. Para Uskup dan Takhta suci

8. Kuasa para Uskup dalam keuskupan mereka sendiri
9. Konggregasi-konggregasi dalam Kuria Romawi
10. Para anggota dan para pejabat konggregasi-konggregasi

BAB II : PARA USKUP DAN GEREJA-GEREJA KHUSUS ATAU KEUSKUPAN-KEUSKUPAN

I. Para Uskup diosesan

11. Faham “diosis” atau keuskupan, dan peranan para Uskup dalam keuskupan mereka
12. Tugas mengajar
13. Cara menyajikan ajaran Kristen
14. Pendidikan kateketis
15. Tugas para Uskup untuk menguduskan
16. Tugas penggembalaan Uskup
17. Bentuk-bentuk khusus kerasulan
18. Keprihatinan khusus terhadap kelompok-kelompok umat tertentu
19. Kebebasan para Uskup, hubungan mereka dengan Pemerintah
20. Kebebasan dalam pengangkatan para Uskup
21. Pengunduran diri Uskup dari jabatannya

II. Penentuan batas-batas keuskupan

22. Perlunya meninjau kemabali batas-batas keuskupan
23. Peraturan-peraturan yang harus dipatuhi
24. Diperlukan pendapat Konferensi Uskup

III. Para rekan sekerja Uskup diosesan dalam reksa pastoral

1. Para Uskup Koajutor dan Auksilier

25. Peraturan-peraturan untuk mengangkat Uskup koajutor dan Auksilier
26. Wewenang Uskup Auksilier dan Koajutor

2. Kuria dan Panitia-Panitia Keuskupan

27. Organisasi Kuria Keuskupan dan pembentukan Panitia Pastoral

3. Klerus Diosesan

28. Para imam disesan
29. Para imam yang menjalankan karya antar paroki
30. Para pastor paroki
31. Penunjukan, pemindahan, pemberhentian dan pengunduran diri pastor paroki
32. Pembubaran dan pengubahan paroki

4. Para Religius

33. Para religius dan karya-karya kerasulan
34. Para religius rekan sekerja Uskup dalam karya kerasulan
35. Asas-asas kerasulan para religius dalam keuskupan

BAB III : KERJASAMA PARA USKUP DEMI KESEJAHTERAAN UMUM BERBAGAI GEREJA

I. Sinode, Konsili, dan Khususnya Konferensi Uskup

36. Sinode dan Konsili khusus
37. Pentingnya Konferensi Uskup
38. Hakekat, wewenang dan kerjasama Konferensi-Konferensi

II. Penentuan batas-batas Provinsi-Provinsi gerejawi dan penetapan kawasan-kawasan gerejawi

39. Prinsip untuki meninjau kembali batas-batas yang telah ditetapkan
40. Beberapa pedoman yang harus yang harus dipatuhi
41. Perlu dimintakan pandangan Konferensi-Konferensi Uskup

III. Para Uskup yang menjalankan tugas antar keuskupan

42. Pembentukan biro-biro khusus dan kerjasama dengan para Uskup
43. Vikariat Angkatan Bersenjata
44. KETETAPAN UMUM

DEKRIT “PERFECTAE CARITATIS” – TENTANG PEMBAHARUAN DAN PENYESUAIAN HIDUP RELIGIUS

1. Pendahuluan
2. Asas-asas umum untuk mengadakan pembaharuan yang sesuai
3. Norma-norma praktis pembaharuan yang disesuaikan
4. Mereka yang harus melaksanakan pembaharuan
5. Unsur-unsur yang umum pada pelbagai bentuk hidup religius
6. Hidup rohani harus diutamakan
7. Tarekat-tarekat yang seutuhnya terarah kepada kontemplasi
8. Tarekat-tarekat yang bertujuan kerasulan
9. Kelestarian hidup monastik konventual
10. Hidup religius kaum awam
11. Serikat-serikat sekular
12. Kemurnian
13. Kemiskinan
14. Ketaatan
15. Hidup bersama
16. Pingitan / klausura para rubiah
17. Busana religius
18. Pembinaan para anggota
19. Pendirian tarekat-tarekat baru
20. Bagaimana melestarikan, menyesuaiakan atau meninggalkan karya khusus tarekat
21. Tarekat-tarekat dan biara-biara yang mengalami kemerosotan
22. Perserikatan antara tarekat-tarekat religius
23. Konferensi para Pemimpin tinggi
24. Panggilan religius
25. Penutup

 

DEKRIT “OPTATAM TOTIUS” – TENTANG PEMBINAAN IMAN

Pendahuluan

I. Penyusunan metode pembinaan imam disetiap negara

II. Pengembangan panggilan imam secara lebih intensif

III. Tata-laksana Seminari-seminari tinggi

4. Seluruh pembinaan harus berhubungan erat dengan tujuan pastoral
5. Para pembimbing seminari hendaknya dipilih dengan saksama dan dibina secara efektif
6. Penyaringan dan pengujian para seminaris
7. Seminari hendaknya diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan para seminaris

IV. Pembinaan rohani yang lebih intensif

8. Belajar hidup dalam persekutuan dengan Allah Tritunggal
9. Belajar membaktikan diri dalam Gereja
10. Belajar menghayati selibat imam
11. Menuju kedewasaan kepribadian
12. Waktu untuk pembinaan rohani yang lebih intensif; masa pembinaan pastoral

V. Peninjauan kembali studi gerejawi

13. Studi persiapan untuk studi gerejawi
14. Studi gerejawi hendaknya lebih diserasikan
15. Peninjauan kembali studi filsafat
16. Peningkatan studi teologi
17. Metode pendidikan yang cocok dalam pelbagai vak
18. Studi khusus bagi mereka yang berbakat tinggi

VI. Pembinaan pastoral

19. Pembinaan dalam pelbagai bentuk reksa pastoral
20. Pembinaan untuk pengembangan kerasulan
21. Melatih diri melalui praktek pastoral

VII. Pembinaan seusai studi

Penutup

PERNYATAAN “GRAVISSIMUS EDUCATIONIS” – TENTANG PENDIDIKAN KRISTEN

Pendahuluan

1. Hak semua orang atas pendidikan
2. Pendidikan kristen
3. Mereka yang bertanggung jawab atas pendidikan
4. Aneka upaya untuk melayani pendidikan kristen
5. Pentingnya sekolah
6. Kewajiban dan hak-hak orang tua
7. Pendidikan moral dan keagamaan disekolah
8. Sekolah-sekolah katolik
9. Berbagai macam sekolah katolik
10. Fakultas dan universitas katolik
11. Fakultas teologi
12. Koordinasi di bidang persekolahan

Penutup

PERNYATAAN “NOSTRA AETATE” – TENTANG HUBUNGAN GEREJA DENGAN AGAMA-AGAMA BUKAN KRISTEN

1. Pendahuluan
2. Berbagai agama bukan kristen
3. Agama Islam
4. Agama Yahudi
5. Persaudaraan semesta tanpa diskriminasi

KONSTITUSI DOGMATIS “DEI VERBUM” – TENTANG WAHYU ILAHI

PENDAHULUAN

BAB I : TENTANG WAHYU SENDIRI

2. Hakekat wahyu
3. Persiapan wahyu Injili
4. Kristus kepenuhan wahyu
5. Menerima wahyu dalam iman
6. Kebenaran-kebenaran yang diwahyukan

BAB II : MENERUSKAN WAHYU ILAHI

7. Para Rasul dan pengganti mereka sebagai pewarta Injil
8. Tradisi suci
9. Hubungan antara Tradisi dan Kitab suci
10. Hubungan keduanya dengan seluruh Gereja dan Magisterium

BAB III : ILHAM ILAHI KITAB SUCI DAN PENAFSIRAN

11. Fakta ilham dan kebenaran Kitab suci
12. Bagaimana Kitab suci harus ditafsirkan
13. Turunnya Allah

BAB IV : PERJANJIAN LAMA

14. Sejarah keselamatan dalam kitab-kitab Perjanjian Lama
15. Arti Perjanjian Lama untuk umat kristen
16. Kesatuan antara kedua perjanjian

BAB V : PERJANJIAN BARU

17. Keluhuran Perjanjian Baru
18. Asal-usul Injil dari para Rasul
19. Sifat historis Injil
20. Kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya

BAB VI : KITAB SUCI DALAM KEHIDUPAN GEREJA

21. Gereja menghormati kitab-kitab suci
22. Dianjurkan terjemahan-terjemahan yang tepat
23. Tugas kerasulan para ahli katolik
24. Pentingnya Kitab suci bagi teologi
25. Dianjurkan pembacaan Kitab suci
26. Akhir kata

 

DEKRIT “APOSTOLICAM ACTUOSITATEM” – TENTANG KERASULAN AWAM

PENDAHULUAN

BAB I : PANGGILAN KAUM AWAM UNTUK MERASUL

2. Keikut-sertaan awam dalam perutusan Gereja
3. Asas-asas kerasulan awam
4. Spiritualitas awam dalam tata kerasulan

BAB II : TUJUAN-TUJUAN YANG HARUS DICAPAI

5. Pendahuluan
6. Kerasulan dimaksudkan untuk mewartakan Injil dan menyucikan umat manusia
7. Pembaharuan tata dunia secara kristen
8. Amal kasih, meterai kerasulan kristen

BAB III : PELBAGAI BIDANG KERASULAN

9. Pendahuluan
10. Jemaat-jemaat gerejawi
11. Keluarga
12. Kaum muda
13. Lingkungan sosial
14. Bidang-bidang nasional dan internasional

BAB IV : BERBAGAI CARA MERASUL

15. Pendahuluan
16. Pentingnya aneka bentuk kerasulan perorangan
17. Kerasulan awam dalam situasi-situasi tertentu
18. Pentingnya kerasulan yang terpadu
19. Aneka bentuk kerasulan terpadu
20. “Aksi Katolik”
21. Pengharapan terhadap organisasi-organisasi
22. Kaum awam yang secara istimewa berbakti kepada gereja

BAB V : TATA-TERTIB YANG HARUS DIINDAHKAN

23. Pendahuluan
24. Hubungan-hubungan dengan hirarki
25. Bantuan para imam bagi kerasulan awam
26. Upaya-upaya yang berguna bagi kerja sama
27. Kerja sama dengan umat kristen dan umat beragama lain

BAB VI : PEMBINAAN UNTUK MERASUL

28. Perlunya pembinaan untuk merasul
29. Dasar-dasar pembinaan awam untuk kerasulan
30. Mereka yang wajib membina sesama untuk kerasulan
31. Upaya-upaya yang digunakan

AJAKAN

PERNYATAAN “DIGNITATIS HUMANAE” – TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

PENDAHULUAN

I : AJARAN UMUM TENTANG KEBEBASAN BERAGAMA

2. Objek dan dasar kebebasan beragama
3. Kebebasan beragama dan hubungan manusia dengan Allah
4. Kebebasan jemaat-jemaat keagamaan
5. Kebebasan beragama dan keluarga
6. Tanggung jawab atas kebebasan beragama
7. Batas-batas kebebasan beragama
8. Pembinaan penggunaan kebebasan

II : KEBEBASAN BERAGAMA DALAM TERANG WAHYU

9. Ajaran tentang kebebasan beragama berakar dalam Wahyu
10. Kebebasan dan Faal iman
11. Cara bertindak Kristus dan para Rasul
12. Gereja menempuh jalan Kristus dan para rasul
13. Kebebasan Gereja
14. Peranan Gereja
15. Penutup

DEKRIT “AD GENTES” – TENTANG KEGIATAN MISIONER GEREJA

PENDAHULUAN

BAB I: ASAS-ASAS AJARAN

2. Rencana Bapa
3. Perutusan Putera
4. Perutusan Roh Kudus
5. Gereja diutus oleh Kristus
6. Kegiatan misioner
7. Alasan dan perlunya kegiatan misioner
8. Kegiatan misioner dalam hidup dan sejarah umat manusia
9. Sifat eskatologis kegiatan misioner

BAB II : KARYA MISIONER SENDIRI

10. Pendahuluan

Art I. Kesaksian kristen

11. Kesaksian hidup dan dialog
12. Kehadiran cinta kasih

Art II. Pewartaan Injil dan penghimpunan umat Allah

13. Pewartaan Injil dan pertobatan
14. Katekumenat dan inisiasi kristen

Art III. Pembinaan jemaat kristen

15. Pembinaan jemaat kristen
16. Pengadaan klerus setempat
17. Pendidikan para katekis
18. Pengembangan hidup religius

BAB III : GEREJA-GEREJA KHUSUS

19. Kemajuan Gereja-Gereja muda
20. Kegiatan misioner Gereja-Gereja khusus
21. Pengembangan kerasulan awam: kemacam-ragaman dalam kesatuan

BAB IV : PARA MISIONARIS

23. Panggilan misioner
24. Spiritualitas misioner
25. Pembinaan rohani dan moral
26. Pembinaan dalam ajaran dan kerasulan
27. Lembaga-lembaga yang berkarya di daerah-daerah misi

BAB V : PENGATURAN KARYA MISIONER

28. Pendahuluan
29. Organisasi umum
30. Organisasi setempat di daerah Misi
31. Koordinasi pada tingkat Regio
32. Organisasi kegiatan Lembaga-Lembaga
33. Koordinasi antara Lembaga-Lembaga
34. Koordinasi antara Lembaga-Lembaga ilmiah

BAB VI : KERJA SAMA

35. Pendahuluan
36. Kewajiban misioner segenap umat Allah
37. Kewajiban misioner jemaat-jemaat kristen
38. Kewajiban misioner para imam
39. Kewajiban misioner tarekat-tarekat religius
40. Kewajiban misioner kaum awam

PENUTUP

DEKRIT “PRESBYTERORUM ORDINIS” – TENTANG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM

PENDAHULUAN

BAB I : IMAMAT DALAM PERUTUSAN GEREJA

2. Hakekat imam
3. Situasi para imam di dunia

BAB II : PELAYANAN PARA IMAM

I. Fungsi para imam

4. Para imam, pelayan sabda Allah
5. Para imam, pelayan Sakramen-Sakramen dan Ekaristi
6. Para imam, pemimpin umat Allah

II. Hubungan para imam dengan sesama

7. Hubungan para Uskup dengan para imam
8. Persatuan persaudaraan dan kerja sama antara para imam
9. Hubungan para imam dengan kaum awam

III. Penyebaran para imam dan panggilan-panggilan imam

10. Penyebaran para imam
11. Usaha para imam untuk mendapat panggilan-panggilan imam

BAB III : KEHIDUPAN PARA IMAM

I. Panggilan para imam untuk kesempurnaan

12. Panggilan para imam untuk kesucian
13. Pelaksanaan ketiga fungsi imamat menuntut dan sekaligus mendukung kesucian
14. Keutuhan dan keselarasan kehidupan para imam

II. Tuntutan-tuntutan rohani yang khas dalam kehidupan imam

15. Kerendahan hati dan ketaatan
16. Selibat : diterima dan dihargai sebagai kurnia
17. Sikap terhadap dunia dan harta duniawi. Kemiskinan sukarela

III. Upaya-upaya yang mendukung kehidupan para imam

18. Upaya-upaya untuk mengembangkan hidup rohani
19. Studi dan ilmu pastoral
21. Balas jasa yang wajar bagi para imam
22. Pembentukan kas umu, dan pengadaan jaminan sosial bagi para imam

KATA PENUTUP DAN AJAKAN

KONSTITUSI PASTORAL “GAUDIUM ET SPES” – TENTANG GEREJA DALAM DUNIA MODERN

PENDAHULUAN

1. Hubungan erat antara Gereja dan segenap keluarga bangsa-bangsa
2. Kepada siapa amanat Konsili ditujukan?
3. Pengabdian kepada manusia

PENJELASAN PENDAHULUAN : KENYATAAN MANUSIA DI DUNIA MASA KINI

4. Harapan dan kegelisahan
5. Perubahan situasi yang mendalam
6. Perubahan-perubahan dalam tata masyarakat
7. Perubahan-perubahan psikologis, moral dan keagamaan
8. Berbagai ketidak-seimbangan dalam dunia sekarang
9. Aspirasi-aspirasi umat manusia yang makin universal
10. Pertanyaan-pertanyaan mendalam umat manusia

BAGIAN I : GEREJA DAN PANGGILAN MANUSIA

11. Menanggapi dorongan Roh Kudus

BAB I : MARTABAT PRIBADI MANUSIA

12. Manusia diciptakan menurut gambar Allah
13. Dosa manusia
14. Kodrat manusia
15. Martabat akalbudi, kebenaran dan kebijaksanaan
16. Martabat hati nurani
17. Keluhuran kebebasan
18. Rahasia maut
19. Bentuk-bentuk dan akar-akar ateisme
20. Ateisme sistematis
21. Sikap Gereja menghadapi ateisme
22. Kristus Manusia Baru

BAB II : MASYARAKAT MANUSIA

23. Maksud Konsili
24. Sifat kebersamaan panggilan manusia dalam rencana Allah
25. Pribadi manusia dan masyarakat manusia saling tergantung
26. Memajukan kesejahteraan umum
27. Sikap hormat terhadap pribadi
28. Sikap hormat dan cinta kasih terhadap lawan
29. Kesamaan hakiki antara semua orang dan keadilan sosial
30. Etika individualis harus diatasi
31. Tanggung jawab dan keikut-sertaan
32. Sabda yang menjelma dan solidaritas manusia

BAB III : KEGIATAN MANUSIA DISELURUH DUNIA

33. Masalah-persoalannya
34. Nilai kegiatan manusiawi
35. Norma kegiatan manusia
36. Otonomi hal-hal duniawi yang sewajarnya
37. Kegiatan manusia dirusak karena dosa
38. Dalam misteri Paska kegiatan manusia mencapai kesempurnaannya
39. Bumi baru dan langit baru

BAB IV: PERANAN GEREJA DALAM DUNIA JAMAN SEKARANG

40. Hubungan timbal balik antara Gereja dan dunia
41. Bantuan yang oleh Gereja mau diberikan kepada setiap orang
42. Bantuan yang diusahakan oleh Gereja untuk diberikan kepada masyarakat manusia
43. Bantuan yang diusahakan oleh Gereja melalui umat Kristen bagi kegiatan manusiawi
44. Bantuan yang diperoleh Gereja dari dunia jaman sekarang
45. Kristus, Alfa dan Omega

BAGIAN II : BEBERAPA MASALAH YANG AMAT MENDESAK

PENDAHULUAN

BAB I : MARTABAT PERKAWINAN DALAM KELUARGA

47. Perkawinan dan keluarga dalam dunia jaman sekarang
48. Kesucian perkawinan dalam keluarga
49. Cinta kasih suami-istri
50. Kesuburan perkawinan
51. Penyelarasan cinta kasih suami-istri dengan sikap hormat terhadap hidup manusiawi
52. Pengembangan perkawinan dan keluarga merupakan tugas semua orang

BAB II: PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN

Pendahuluan
Art I Situasi kebudayaan pada jaman sekarang

54. Pola-pola hidup yang baru
55. Manusia pencipta kebudayaan
56. Kesukaran-kesukaran dan tugas-tugas

Art II Berbagai kaidah untuk dengan tepat mengembangkan kebudayaan

57. Iman dan kebudayaan
58. Hubungan antara Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia
59. Mewujudkan keserasian berbagai nilai dalam pola-pola kebudayaan

Art III Beberapa tugas umat kristen yang cukup mendesak tentang kebudayaan

60. Hak atas buah-hasil kebudayaan hendaknya diakui oleh semua dan diwujudkan secara nyata
61. Pendidikan untuk kebudayaan manusia seutuhnya
62. Menyelaraskan kebudayaan manusia dan masyarakat dengan pendidikan kristen

BAB III: KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI

63. Beberapa segi kehidupan ekonomi

Art I Perkembangan ekonomi

64. Perkembangan ekonomi melayani manusia
65. Kemajuan ekonomi dikendalikan oleh manusia
66. Perbedaan-perbedaan besar dibidang sosial ekonomi perlu disingkirkan

Art II Beberapa prinsip yang mengatur seluruh kehidupan sosial ekonomi

67. Kerja, Persyaratan kerja, istirahat
68. Peran-serta dalam tanggung jawab atas perusahaan dan seluruh pengaturan perekonomian; konflik-konflik mengenai kerja
69. Harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang
70. Penanaman modal dan masalah moneter
71. Soal memperoleh harta-milik dan milik perorangan; masalah tuan tanah
72. Kegiatan sosial ekonomi dan Kerajaan Kristus

BAB IV: HIDUP BERNEGARA

73. Kehidupan umum jaman sekarang
74. Hakekat dan tujuan negara
75. Kerja sama semua orang dalam kehidupan umum
76. Negara dan gereja

BAB V: USAHA DEMI PERDAIAN DAN PEMBENTUKAN PERSEKUTUAN BANGSA-BANGSA

Pendahuluan

78. Hakekat perdamaian

Art I Menghindari perang

79. Keganasan perang harus dikendalikan
80. Perang total
81. Perlombaan senjata
82. Larangan mutlak terhadap perang, dan kegiatan internasional untuk mencegah perang

Art II Pembangunan masyarakat internasional

83. Sebab-musabab perpecahan dan cara mengatasinya
84. Persekutuan bangsa-bangsa dan lembaga-lembaga internasional
85. Kerja sama internasional dibidang ekonomi
86. Beberapa pedoman yang sesuai untuk jaman sekarang
87. Kerja sama internasional sehubungan dengan pertambahan penduduk
88. Peranan umat kristen dalam pemberian bantuan
89. Kehadiran Gereja yang efektif dalam masyarakat internasional
90. Peranan orang-orang kristen dalam lembaga-lembaga internasional

PENUTUP

91. Tugas setiap orang beriman dan Gereja-Gereja khusus
92. Dialog antara semua orang
93. Membangun dunia dan mengarahkannya kepada tujuannya

INDEKS ANALITIS

LAMPIRAN

  1. BEBERAPA PERISTIWA PENTING SELAMA KONSILI VATIKAN II

  2. KONSILI-KONSILI EKUMENIS

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab