Home Blog Page 330

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 2)

14

Mengapa kita berdoa?

Doa sudah menjadi bagian hakiki dari kehidupan semua orang dari semua agama, karena manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. (KGK, 31, 356, 1721, 2002) Dalam tulisan pertama telah dibahas kesalahan persepsi doa, yaitu: Tuhan tidak campur tangan dalam kejadiaan di dunia ini. Dengan pembuktian yang sama dari St. Thomas Aquinas, kita akan menelusuri kesalahan persepsi kita tentang doa yang ke-2.

Kesalahan 2: Semua sudah ditakdirkan Tuhan, sehingga berdoa tidak mengubah apapun.

Kesalahan kedua adalah pendapat orang yang mengatakan bahwa berdoa itu percuma, karena semua sudah ditakdirkan. Berapa banyak orang yang mengatakan, kalau semua sudah ditakdirkan, maka tidak ada gunanya lagi berdoa, karena tidak akan mengubah apapun. Sering orang mengatakan “sudah nasib saya begini, doa atau tidak doa sama saja.”

Kalau kita meneliti pernyataan-pernyataan di atas, sebetulnya ada kecenderungan untuk menyalahkan Tuhan. Apakah kita pernah berkata “Ya memang sudah nasib saya untuk menjadi kaya – atau menjadi pintar – atau saya sudah ditakdirkan untuk menjadi seorang yang baik.” Dalam hal-hal yang menurut kita positif dan bagus, kita cenderung untuk diam saja, seolah-olah memang itu sudah layak dan sepantasnya. Namun pada saat terjadi sesuatu yang kurang baik, kita cenderung untuk menyalahkan Tuhan dengan tameng “nasib atau takdir.”

Bukankah ini sama saja seorang yang ditanya “Kamu kaya, pintar, juga baik. Bagaimana kamu bisa mendapatkan semua itu?” Anak itu menjawab “Oh, saya berusaha dengan sekuat tenaga untuk bekerja, membaca buku dan juga aktif dalam kegiatan Gereja.” Kemudian ada seseorang yang ditanya “Kamu kok hidupnya menderita sekali, sekolah tidak selesai dan pekerjaan juga susah.” Dan kemudian anak ini menjawab “Oh, memang saya sudah ditakdirkan seperti ini, saya sudah usaha dan doa, namun tetap saja sial. Mungkin ini juga bawaan dari orang keluarga saya. Semua saudara-saudara saya juga mengalami nasib seperti saya.”

Kalau kita mau jujur, Tuhan sebetulnya sering menjadi kambing hitam dalam masalah-masalah yang kita hadapi. Seolah semua kejadian yang baik adalah hasil kerja dan usaha kita sendiri, sedang sesuatu yang buruk terjadi karena takdir Tuhan. Mari, sekarang kita melihat dengan lebih teliti kesalahan kedua tentang persepsi doa.

Prinsip sebab-akibat dan urutan kejadian sampai doa dikabulkan.

Untuk meluruskan pendapat ini, pertama kita harus melihat bahwa Tuhan memberikan kepada kita bukan hanya “akibat“, namun “sebab“, dan juga “rangkaian dari sebab-akibat.” ((St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2.)) Sebagai contoh: kita berdoa untuk minta pekerjaan. Akibat yang diinginkan adalah pekerjaan. Namun Tuhan memberikan sebab dan rangkaian kejadian, seperti: kita diberi semangat juang untuk mengisi formulir aplikasi pekerjaan, kita diberi kesempatan untuk bertemu dengan teman lama, atau diberi ide untuk memulai usaha sendiri, dll. Hal ‘sebab atau kejadian’ ini akan mengarah kepada sebab yang lain, dan seterusnya, sampai kita mendapatkan pekerjaan (yaitu akibat), jika semuanya ini sesuai dengan kehendak Tuhan.

Sebagai orang tua, kita bisa melihat contoh yang jelas pada anak-anak. Pada waktu saya tinggal bersama dengan keponakan-keponakan, saya sering melihat mereka bermain “puzzle.” Dan sering mereka meminta pertolongan saya. Reaksi saya biasanya tidak dengan secara langsung membantu mereka, namun memberikan ide-ide kepada mereka untuk menyelesaikannya sendiri, sebagai contoh: coba lihat warna yang sama, coba cari bagian pojok, terus cari juga bagian tepi, dll. Dengan cara seperti ini, maka keponakan saya dapat belajar menyelesaikan puzzle dengan kapasitas mereka. Pertanyaannya, apakah saya tidak membantu keponakan saya? Tentu saja saya membantu, dengan cara yang lebih baik daripada yang mereka inginkan, walaupun sering mereka tidak bisa melihatnya.

Dengan prinsip yang sama, Tuhan juga membantu kita. Masalahnya bukan dengan cara yang kita inginkan, namun dengan cara-Nya sendiri yang melebihi pemikiran kita (lih Yes 55:9). Begitu sering kita mendengar kesaksian tentang seseorang yang ingin mendapatkan pekerjaan. Mereka bertekun dalam doa, namun Tuhan menjawab dengan cara-Nya yang ajaib yang tidak pernah mereka pikirkan. Bukan hanya pekerjaan, namun mereka juga mengalami proses pertobatan, dan hubungan mereka dengan Tuhan dan sesama juga diperbaharui. Sebab bagi Tuhan, pekerjaan bukanlah yang paling penting, namun proses pertobatan dan pemulihan hubungan dengan Tuhan dan sesama yang diinginkan Tuhan.

Tuhan adalah kasih.

Satu hal yang harus kita pegang teguh, Tuhan adalah kasih (1 Yoh 4:8b). St. Paulus menyanyikan senandung kasih di 1 Kor 13:4-7 dengan begitu indahnya. Namun apa yang menyebabkan kasih? Penyebab dari kasih adalah “kebaikan / good“. ((St. Thomas Aquinas, ST, II-I, q.27, a.1.)) Jadi kalau kita mengasihi seseorang, kita melihat “sesuatu yang baik,” ataupun kita “menginginkan sesuatu yang baik” bagi orang tersebut. Tuhan, di dalam kasih-Nya yang sempurna melihat sesuatu yang baik dari manusia, dan Tuhan juga menginginkan sesuatu yang baik terjadi untuk manusia.

Kita melihat contoh bagaimana seorang wanita Samaria meminta air kepada Yesus, dengan harapan bahwa wanita itu tidak perlu menimba air lagi (Yoh 4:15). Dalam kasih-Nya yang sempurna, Yesus melihat sesuatu yang baik dan menginginkan kebaikan buat wanita Samaria itu. Yesus bukan saja memberikan air, namun Yesus memberikan kepada wanita itu “Air Kehidupan”, yaitu Yesus sendiri. Namun untuk sampai ke tahap tersebut, Yesus melakukan sesuatu, yaitu menghadapkan wanita itu dengan kenyataan tentang diri wanita itu sendiri, yaitu bahwa ia adalah seorang yang berdosa. Setelah itu, baru Yesus membuka identitas diri-Nya, yaitu Mesias. Tiga hal terjadi dalam hal ini: 1) pengetahuan tentang diri sendiri, 2) pengetahuan tentang Tuhan, 3) dan kedua hal tersebut menimbulkan kerendahan hati. Mengetahui bahwa Yesus adalah segalanya, dan kita adalah bukan apa-apa, akan menimbulkan kerendahan hati. Sikap ini adalah sikap yang paling diperlukan dalam doa. Katekismus Gereja Katolik 2559 mengatakan bahwa “kerendahan hati adalah dasar doa.”

Tuhan tidak pernah menakdirkan sesuatu yang buruk untuk manusia.

Pengetahun Tuhan yang benar, bahwa Dia adalah maha dalam segalanya, termasuk Maha Kasih, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Tuhan tidak pernah menginginkan sesuatu yang yang buruk terjadi pada manusia. Tuhan tidak mungkin menyangkal diri-Nya sendiri, yang pada hakikatnya adalah kasih (Lih 2 Tim 2:13). Bahkan Tuhan sendiri mengatakan bahwa rencana-Nya adalah damai sejahtera dan bukanlah rancangan kecelakaan (Yer 29:11). Namun kalau demikian, kenapa terjadi begitu banyak penderitaan dan ketidakadilan di dunia ini? (pembahasan hal ini akan ditulis dalam artikel tersendiri – penderitaan di dunia ini: di manakah Tuhan? ).

Lalu kenapa doa saya tidak dikabulkan?

Lalu, kalau Tuhan tidak mempunyai rencana yang buruk, kenapa kalau saya berdoa tidak dikabulkan? Kembali, kita harus menghubungkan semuanya dengan prinsip “akibat“, “sebab“, dan “rangkaian sebab-akibat” seperti yang telah diterangkan di atas, dan juga dengan prinsip “Tuhan adalah kasih.” Dengan kedua prinsip ini, maka apapun hasil dari doa akan bisa kita terima semuanya dengan lebih lapang dada.

Marilah merefleksikan kembali kejadian-kejadian yang silam, pada waktu kita berdoa untuk sesuatu, baik pekerjaan, masalah rumah tangga, hubungan dengan atasan, keuangan, dll. Mungkin pada waktu kita mengalami kejadian-kejadian tersebut, seolah-olah Tuhan tidak mendengarkan dan membantu kita. Hal ini disebabkan karena cerita dan rangkaian sebab-akitab yang akan terjadi belum selesai. Namun, setelah kejadian tersebut terlewati, maka kita dapat melihat “akibat”, “sebab”, dan “rangkain sebab-akibat”, dan juga bagaimana sebetulnya semuanya saling berhubungan dan menghasilkan sesuatu yang mungkin lebih baik daripada yang kita pernah pikirkan. Tuhan membantu kita dengan cara-Nya sendiri, bahkan cara-Nya jauh lebih bijaksana dari apa yang kita inginkan dan pikirkan. Tuhan mengatakan bahwa “RancanganKu bukanlah rancanganmu, dan jalanKu bukanlah jalan-Mu (lih. Yes 55:8).”

Lalu kenapa hasilnya berbeda dengan yang saya inginkan?

Selain Tuhan memberikan cara dan waktu yang berbeda dengan yang kita inginkan, Tuhan juga memberikan hasil (akibat) yang berbeda dengan yang kita inginkan. Hal ini disebabkan karena Tuhan adalah kasih, menginginkan sesuatu yang terbaik terjadi dalam kehidupan kita. Contohnya, kadang orang tua tidak mengabulkan semua permintaan anaknya, karena kalau semua permintaan dikabulkan, maka hal itu akan merusak perkembangan anak mereka dan bahkan bisa membahayakan kehidupan mereka. Kalau orang tua dalam kasih dan kebijaksanaannya yang terbatas dapat melakukan ini, maka Tuhan, dalam kasih dan kebijaksaan-Nya yang tak terbatas, melakukan hal yang sama dengan cara yang paling sempurna.

Percayalah kepada Tuhan

Kita dapat memberikan keberatan-keberatan yang lain. Namun pada akhirnya semua bermuara kepada “Tuhan seperti apakah yang kita percayai? Apakah Tuhan yang hanya siap menghukum yang bersalah atau Tuhan yang bijaksana dan penuh kasih?” Suatu saat saya punya kesempatan untuk bermain dengan keponakan saya di suatu tempat yang namanya “sliding rock“. Sliding rock ini sebenarnya seperti kali yang dasarnya bukan kerikil, tapi batu-batu besar yang licin, sehingga kita bisa duduk atau merebahkan diri di atas batu dan tubuh kita bisa terseret oleh arus air tanpa tergores. Nah, keponakan saya ingin sekali mencobanya, tetapi takut. Kemudian saya berkatanya “Andrew, ayo kita sama-sama mencoba.” Namun dia ketakutan dan memberikan alasan bermacam-macam, seperti: bagaimana kalau saya terbentur batu, kalau airnya masuk ke hidung dan telinga, kalau kaki saya terkilir, dll. Saya mencoba meyakinkan dia agar supaya dia tidak takut, namun tidak berhasil. Kemudian saya mengatakan ini kepadanya, “Andrew, coba lihat saya. Apakah kamu percaya kepadaku bahwa aku akan melindungimu?” Kemudian dia menatap mata saya, dan berkata lirih “… ya, saya percaya.” Kemudian kami mencoba sliding rock bersama-sama, dan akhirnya kami mengulanginya berkali-kali, karena Andrew senang sekali bermain ‘sliding’.

Hal yang sama terjadi dalam kehidupan doa kita. Kita dapat memberikan pertanyaan, protes dan keberatan kepada Tuhan akan tidak atau belum terjawabnya doa kita. Namun Tuhan mengatakan kepada kita masing-masing “Lihatlah pada-Ku… apakah engkau percaya bahwa Aku mengasihimu? Aku yang tidak ragu-ragu untuk memberikan Putera-Ku datang ke dunia untuk menyelamatkanmu. Percayakah engkau bahwa Aku mempunyai rancangan indah dalam hidupmu? Percayakah engkau bahwa Aku memegang tanganmu setiap saat, terutama pada saat engkau mengalami permasalahan?”

Marilah kita berdoa.

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

Ya, Tuhan, pada saat ini, kembali aku menghadap Engkau dengan segala kerendahan hati. Aku mengakui bahwa Engkau mengetahui segalanya, dan Engkau juga mengetahui yang terbaik untuk kehidupanku. Tuhan, ubahlah hatiku, agar aku dapat sepenuhnya percaya kepada penyelenggaraan tangan-Mu. Tolonglah, agar aku percaya bahwa Engkau turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan dalam hidupku, terutama agar aku dapat mengalami bahwa Engkau dekat padaku dan selalu menopangku. Dalam nama Yesus, aku naikkan doa ini.

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

Pertobatan Zakeus (Luk 19:1-10)

8

Pembahasan secara garis besar:

Di kota Yerikho, tinggal seorang kepala pemungut pajak, Zakheus, yang sangat dibenci oleh orang banyak. Ia adalah koruptor, dan penghianat bangsa, karena dia menarik uang lebih daripada yang seharusnya, dan dia bekerja pada pemerintah Roma, yang pada waktu itu menjajah bangsa Yahudi. Semua orang tidak mau berteman dengannya, walaupun ia sangat kaya. Orang-orang memandang dia sebagai seorang pendosa yang harus dijauhi.

Sebelum lewat di kota Yerikho, Yesus menyembuhkan orang buta di tengah jalan. Maka orang-orang banyak mengerumuni Dia, demikian juga Zakheus. Namun karena badannya pendek, maka ia memanjat pohon ara untuk dapat melihat Yesus dengan jelas. Yesus mengetahui maksud hati Zakheus, maka ketika Ia lewat, Dia memandang Zakheus dengan penuh kasih. Dia memanggil nama “Zakheus”, dan bahkan mau tinggal dan makan bersama dengannya.

Kasih inilah yang merubah kehidupan Zakheus, dan ia mengalami pertobatan yang benar. Pertobatan/Metanoia adalah perubahan sikap 180 derajat. Berubah dari sikap dosa dan berbalik kepada Kristus, serta menyadari jati diri kita yang sebenarnya, sebagai anak-anak Allah. Itu juga yang dialami oleh Zakheus, setelah mengalami kasih dari Tuhan, mengalami pertobatan, dia mau memperbaiki hidup, dan membagi kasih kepada orang lain, termasuk orang-orang yang pernah dia rugikan.

Kita semua adalah seperti Zakheus, yang datang dengan latar belakang yang berbeda, dan kita ingin melihat Tuhan, serta mengalami jamahan kasih-Nya. Tidak ada kesalahan yang terlalu besar bagi Tuhan untuk diampuni. Dimana dosa semakin besar, maka kasih-Nya akan semakin besar dan nyata. Tuhan tidak mempermasalahkan masa lalu, dosa-dosa kita. Yang Dia mau adalah, kita menyadari akan semua dosa-dosa kita, bertobat, dan mengalami kasih-Nya yang begitu besar. Kasih yang sempurna, kasih yang “Agape”, yang bukan dari dunia ini, yang dapat merubah segalanya.

Orang yang sudah mengalami jamahan kasih Allah, seharusnya tidak boleh menjadi manusia yang sama lagi. Kehidupannya harus benar-benar berubah, karena tidak ada kasih yang dapat disimpan sendiri. Dengan sendirinya kasih ini akan mengalir keluar, dan akan menular dengan cepat. Alangkah indahnya, jika di dalam keluarga, komunitas, lingkungan, dan paroki kita, semua orang mengalami kasih Allah yang benar-benar nyata, dan membagikannya kepada semua orang. Dunia kita akan menjadi tempat bagi kita untuk mempraktekkan hukum Tuhan, yaitu hukum cinta kasih. Tempat bagi kita untuk melakukan pelayan dengan penuh kasih dan sukacita.

Pembahasan ayat-ayat

Luk 19:1: Yesus masuk ke kota Yerikho dan berjalan terus memasuki kota itu.

Yerikho adalah suatu kota di mana terletak di sebelah Timur dari Yerusalem, dan dekat dengan sungai Yordan. Ditempat inilah tempat tembok yang terkenal, yaitu tembok Yerikho yang dirubuhkan oleh Yosua, atas bantuan Tuhan. Ketika itu para iman berjalan mengelilingi tembok dan pada hari ketujuh mereka mengeliliungi tembok Yerikho dan bersorak sorai, dan tembok itu runtuh (Yos 6:13-16). Di tempat ini juga yang menginspirasikan lagu “Dari Yerikho ke Yerusalem ada jalan belas kasih ….). Ketika itu seorang Samaria menolong seorang yahudi, setelah dia dirampok. Juga ada seorang buta, yang disembuhkan Yesus (Lukas 18:35-43). Dan ditempat inilah terjadi suatu drama kehidupan, yang memberikan pengharapan kepada semua pendosa, termasuk kita semua, yaitu drama kasih yang membawa pertobatan yang sejati, kisah Zakheus.

Luk 19:2 Di situ ada seorang bernama Zakheus, kepala pemungut cukai, dan ia seorang yang kaya.

Zakheus yang berarti “suci” , dari Zakchaios, atau “zakkay”.
Dia yang memang suci, karena dimurnikan sendiri oleh Yesus Kristus. Dia seorang pendosa yang diubah oleh Yesus menjadi seorang kudus.

Dia adalah seorang pemungut cukai, bahkan kepala dari pemungut cukai di daerah Yerikho. Sebagai latar belakang, pada masa pemerintahan Roma, orang-orang Yahudi diharuskan untuk membayar pajak kepada kaisar/pemerintah Roma. Dan amatlah umum pada masa itu, bahwa seorang pemungut pajak, biasanya menarik pajak lebih daripada yang ditetapkan oleh pemerintah Roma. Dengan kebiasaan seperti itu, maka seorang pemungut pajak menjadi sangat dibenci rakyat. Karena Zakheus seorang yahudi, maka dia dianggap seorang yang berkhianat terhadap bangsanya sendiri, karena dia bekerja pada pemerintah Roma, bangsa penjajah.

Zakheus, dengan pekerjaannya sebagai pemungut pajak, adalah seseorang yang mengambil hak orang lain yang bukan menjadi haknya, dalam hal ini adalah uang milik masyarakat. Dengan cara seperti inilah Zakheus menjadi kaya.

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus, yang mengambil hak orang lain?

  • Sebagai orangtua, apakah kita mengambil hak anak-anak, yang berhak untuk bercanda, bercerita, dan bersukacita bersama-sama dengan orang tuanya?
  • Sebagai seorang guru, apakah kita memberikan yang menjadi hak bagi murid, yaitu untuk mengetahui kebenaran, juga memberikan nilai-nilai moral yang benar?
  • Sebagai seorang Katolik, apakah kita sudah memberikan hak kepada keluarga, masyarakat, untuk membiarkan mereka mengetahui, bagaimana sebenarnya iman Katolik yang benar, yang berdasarkan kasih yang sejati?
  • Sebagai umat Tuhan, apakah kita juga sudah memberikan apa yang menjadi hak Tuhan, untuk disembah dan dimuliakan? Apakah kita juga seperti Zakheus, yang “korupsi waktu”, waktu untuk pergi ke gereja, waktu berdoa, waktu membaca alkitab, berkomunitas, dll?
  • Tuhan tidak menentang kita untuk menjadi kaya, namun Tuhan menentang, jika kekayaan yang ada didapat dengan cara yang tidak halal, dan merugikan orang lain.

Luk 19:3 Ia berusaha untuk melihat orang apakah Yesus itu, tetapi ia tidak berhasil karena orang banyak, sebab badannya pendek.

Zakheus, tentu sudah mendengar tentang Yesus, dimana terlihat dari keinginannya untuk melihat Yesus. Dia sudah mendengar, bagaimana Yesus sudah menyembuhkan begitu banyak orang dari berbagai macam penyakit, juga membuat begitu banyak mukjijat. Dia juga mungkin sudah mendengar, bagaimana Yesus tidak pernah menolak seorangpun untuk datang kepada-Nya, juga termasuk pendosa …..

Namun karena keterbatasannya, karena badannya pendek, dan juga ada begitu banyak orang, maka kita dia tidak dapat melihat Yesus.

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus, yang juga mempunyai keterbatasan untuk bertemu dengan Yesus?

  • Mungkin karena situasi pekerjaan kita, yang menuntut kita harus begitu sibuk, kita tidak dapat meluangkan waktu untuk berdoa. Mungkin karena kesibukan kita, sebagai seorang istri, begitu sibuk dengan melayani anak-anak, sehingga tidak ada waktu untuk Tuhan. Juga sebagai aktifis di gereja, membuat kita terlalu sibuk dengan urusan gereja, sehingga tidak dapat meluangkan waktu untuk berdoa?
  • Apakah kita juga terhalang bertemu dengan Yesus, karena orang lain? Mungkin kita takut ditertawakan ketika kita mau menunjukkan bahwa kita adalah murid Yesus. Kita takut dianggap sok suci. Kita tidak mau korupsi, tapi semua orang korupsi, sehingga kalau kita tidak ikut-ikut, maka kita takut dijauhi dan dibenci rekan sekerja kita. Kalau kita tidak ikut nyontek, merokok, kita takut dianggap banci oleh teman sekolah kita?
  • Bagaimana kita dapat bertemu dengan Yesus?
    • Berdoa: Yer 29:12-13 (Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati).
      Apakah kalau macet di jalan, menunggu anak di sekolah, pada saat mencuci piring, dll, kita melakukannya dengan doa?
    • Membaca Firman Tuhan: 2Ti 3:15 (Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus).
      Apakah kita benar-benar meluangkan waktu untuk membaca Firman-Nya, yang sebenarnya adalah surat kasih dari pencipta kita?
    • Komunitas: Mat 18:20 (Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka.”).
      Apakah kita lebih suka berkumpul untuk memuji Tuhan, ataukah kita lebih suka berkumpul untuk ke café, ngerumpi, belanja, dll?
    • Pelayanan Kasih: Mat 25:45 (Maka Ia akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku).
      Apakah kita juga peka terhadap orang-orang di sekitar kita yang membutuhkan kita? Mungkin tidak dalam bentuk uang, namun perhatian dan kasih.
    • Sakrament-sakrament, secara istimewa dalam Perayaan Ekaristi: 1 Kor 10:16 (Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus?).
      Apakah kita benar-benar percaya, bahwa Yesus hadir dalam rupa roti dan anggur dalam perayaan ekaristi? Kalau ya, apakah kita merasa cukup untuk menerimanya seminggu sekali? Apakah kita menghadiri perayaan ekaristi setiap Jum’at pertama? Misa harian? Adorasi di hari-hari tertentu?

Luk 19:4 Maka berlarilah ia mendahului orang banyak, lalu memanjat pohon ara untuk melihat Yesus, yang akan lewat di situ.

Zakheus tidaklah menyerah karena keterbatasannya, dan karena orang banyak yang menghalangi dia untuk bertemu dengan Yesus. Yang dia lakukan adalah memanjat pohon ara.

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus, yang mau terus berusaha untuk bertemu dengan Yesus, dengan segala keterbatasannnya?

  • Marilah kita lihat segala keterbatasan yang kita miliki. Mungkin kita terbatas karena waktu luang yang kita miliki adalah sedikit. Kita tidak mempunyai waktu untuk berdoa. Pertanyaannya adalah, apakah kalau kita diberi waktu lebih, misal pada saat liburan, kita mau meluangkan waktu kita untuk berdoa? Kalau kita mau menjawab dengan jujur, maka kita akan menjawab tidak. Apakah ditengah keterbatasan kita, kita mau berdoa pada saat jalan macet, saat mencuci piring, saat menyapu rumah, saat sebelum dan setelah makan, sebelum dan setelah tidur, atau pada saat kita bermain dengan anak-anak kita?
  • Mungkin ada sebagian dari kita berkata “saya tidak pandai untuk bicara di depan umum. Saya mau melayani, tapi saya tidak mampu”. Bagaimana kalau kita melayani dengan senyuman kita, membawa damai di dalam kelompok atau lingkungan kita? Melayani anggota keluarga dengan sukacita?
  • Kita punya banyak keterbatasan, namun kita juga punya kemampuan untuk berkata “Di tengah keterbatasanku, aku mau seperti Zakheus, yang mau lari dan memanjat pohon ara untuk bertemu dengan Yesus.”

Luk 19:5 Ketika Yesus sampai ke tempat itu, Ia melihat ke atas dan berkata: “Zakheus, segeralah turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.”

Lihatlah…. Karena Zakheus sudah berusaha dengan segala keterbatasannya, dia akhirnya dapat berjumpa dengan Yesus. Benarlah apa yang dikatakan di dalam alkitab, bahwa Dia akan membiarkan diri-Nya ditemukan oleh orang yang mencari-Nya dengan tulus hati.

Dan bagaimana pertemuan Yesus dengan Zakheus? Yesuslah yang terlebih dahulu mengadakan inisiatif. Dia yang terlebih dahulu membuka pembicaan dengan Zakheus. Yang Yesus lakukan adalah:

  • BERHENTI. Yesus berhenti di bawah pohon tempat Zakheus ada. Dia mau berhenti dimana saja, juga ditempat kita ada.
  • Yesus berhenti setiap saat di dalam kehidupan kita, lebih-lebih pada saat kita benar-benar membutuhkan uluran kasih-Nya,
  • MELIHAT KEATAS. Pada saat semua orang memandang rendah Zakheus, Yesus justru melihat keatas, kepada Zakheus. Pada saat mata Yesus bertemu dengan mata Zakheus, mata-Nya bukanlah mata yang benci dan menuduh, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Tatapan mata yang dipancarkan oleh Yesus adalah tatapan penuh kasih.
    Jangan pernah berfikir bahwa kita tidaklah pantas untuk menerima Yesus, karena dosa-dosa kita. Yesus tidak pernah merendahkan kita kalau kita menyadari dosa-dosa kita. Dia akan meninggikan kita, dan membawa kita ke tempat yang seharusnya, yaitu menjadi anak-anak Allah.
  • MEMANGGIL. Bayangkan, tidak ada orang yang memanggil Zakheus dengan namanya. Semua orang memanggil Zakheus dengan sebutan “pemungut cukai”.
    Yesuslah yang juga memanggil kita dengan nama kita masing-masing, “James, Heri, Doni, …” Terlebih dia juga memanggil kita dengan sebutan “sahabat”, karena meskipun kita adalah hamba, namun Dia menganggap kita adalah sabahat-Nya. Yang terpenting, adalah Dia memanggil kita dengan sebutan “anak-anak Allah”. Sebutan yang memungkinkan kita untuk memanggil Allah, sebagai Abba, Bapa, Papa, Bapak.
  • MEMINTA. Jangankan meminta untuk menjadi teman, berbicarapun orang segan kepada Zakheus. Yesus meminta kepada Zakheus untuk dapat tinggal dirumahnya.
    Mungkin pada saat ini, Tuhan Yesus, meminta sesuatu kepada kita. Dan mungkin juga itu adalah permintaan yang sama, yaitu untuk turun dari tempat kita, tempat di mana kita biasa berada. Tempat di mana dosa dan kebiasaan buruk harus ditanggalkan.
  • TINGGAL. Yesus mau tinggal menginap di rumah Zakheus. Tuhan, pencipta langit dan bumi, mau memilih untuk tinggal di rumah Zakheus, sang pendosa, sementara orang menganggap najis untuk menginjakkan kaki di rumah sang pendosa.
    Yesus juga mau tinggal di hati kita, di kehidupan kita, di permasalahan kita. Dia sudah menawarkan dirinya kepada kita. “….. Aku mau tinggal di rumah hatimu”. Lalu apakah jawaban kita?

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus yang mengalami pengalaman yang serupa? ; Pengalaman di mana Yesus yang penuh kasih, mau menerima kita apa adanya?

  • Pada saat kita sakit, kita dapat mengalami Yesus yang begitu baik, yang memberikan kekuatan kepada kita. Dimana Dia selalu memberikan kekuatan.
  • Pada saat kita menerima merayakan ekaristi, lihatlah Yesus yang merendahkan diri-Nya dalam rupa roti dan anggur, supaya kita dapat menerima-Nya di dalam keberadaan kita.
  • Pada saat kita menerima sakrament pengakuan dosa, alamilah Yesus yang penuh belas kasih, dan mau menerima segala kekurangan kita, dan merangkul kita kembali kepada-Nya dan gereja-Nya.

Luk 19:6 Lalu Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita.

Dan dikatakan bahwa “….Zakheus segera turun dan menerima Yesus dengan sukacita”. Bayangkan jika ada seorang superstar atau presiden yang mengatakan, bahwa dia mau bermalam di rumah kita dan makan bersama kita. Kita tentu akan segera bergegas dan menyambutnya. Inilah, Yesus, Tuhan yang menciptakan seluruh alam semesta, raja dari segala raja, meminta kita, untuk diperbolehkan tinggal di hati kita.

Apa yang dilakukan oleh Zakheus:

  • TURUN. Zakheus turun dari pohon untuk bertemu dengan Yesus secara pribadi. Kita juga harus turun dari ketinggian pohon yang menghalangi kita untuk berjumpa dengan Yesus lebih dekat lagi. Kita harus meninggalkan segala kesombongan kita, masa lalu kita, ketakutan, kekuatiran, merasa sikap merasa tidak dikasihi, kesendirian kita, untuk bertemu secara pribadi dengan Yesus.
  • MENERIMA. Sama seperti Zakheus, pada saat Yesus datang dan memanggil kita, kita harus menerima-Nya. Adalah untuk kebaikan kita untuk menerima panggilan-Nya, agar kita dapat merasakan damai sejahtera dan agar kita mendapatkan kekuatan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini yang penuh tantangan.
  • SUKACITA. Sudah selayaknyalah, bahwa panggilan Tuhan, harus kita sambut dengan sukacita.

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus yang bereaksi sama, yaitu menyambut Yesus dengan penuh sukacita?

  • Pada saat kita menerima Yesus dalam ekaristi, apakah kita juga menyambut-Nya dengan penuh sukacita dan penuh harap?
  • Pada saat kita melayani yang terkecil, anak-anak, saudara satu iman yang membutuhkan bantuan kita, apakah kita melakukannya dengan penuh sukacita? Bagaimana di dalam pelayanan kita, apakah kita melayani Tuhan dengan hati yang bersuka dan gembira?

Luk 19:7 Tetapi semua orang yang melihat hal itu bersungut-sungut, katanya: “Ia menumpang di rumah orang berdosa.”

Semua orang bersungut-sungut, merasa bahwa Yesus yang begitu suci tidak layak untuk tinggal di rumah sang pendosa dan sang pendosa tidaklah layak untuk menerima Yesus, sang Maha Suci.

Permenungan: Apakah kita seperti semua orang yang bersungut-sungut, melihat bahwa Yesus mau tinggal bersama dengan pendosa?

  • Apakah kita sering mengatakan dalam hati kita, bahwa kita lebih baik dari orang lain? Bahwa kita lebih layak untuk melayani Tuhan daripada orang lain?
  • Ketika seorang bekas pemabuk, orang yang tidak pernah ke gereja, tiba-tiba mengalami kasih Kristus, dan menjadi orang yang berubah, kita mungkin mengatakan “Ah, dia khan dulu hidupnya nggak baik… kok sok-soknya melayani begitu. Kalau aku sih memperbaiki hidup dulu, baru melayani.”
  • Kita semua adalah seperti orang banyak dalam cerita ini. Kita semua adalah “orang-orang yang munafik”. Namun Tuhan mengerti segala kekurangan kita, dan Dia yang secara terus-menerus menyempurnakan kita, hingga suatu saat kita akan bertemu Dia, muka dengan muka. Dan pada saat itulah, kita menyerupai Dia, dimana tidak ada selubung kemunafikan lagi, karena semua yang terjadi di dalam kegelapan akan dibawa ke dalam terang.

Luk 19:8 Tetapi Zakheus berdiri dan berkata kepada Tuhan: “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.”

Salah satu bentuk dari pertobatan yang benar adalah semangat dan tindak lanjut untuk melakukan sesuatu untuk memperbaiki kesalahan. Yesus mengatakan kepada Maria Magdalena, si pelacur “…. Pergilah dan janganlah berbuat dosa lagi…(Yoh 8:11)”. Dan kasih merubah segalanya. Mungkin ada banyak orang yang mengatakan kepada Zakheus bahwa dia harus berubah, dan mungkin semua itu membuat Zakheus semakin marah. Namun kasih dari Yesus, yang mau menyapa dan tinggal bersama dia, yang mau menerima dia apa adanya, menjadi suatu kekuatan untuk merubah apa yang tidak dapat dia rubah sebelumnya.

Bahkan Zakheus melakukan silih atas segala dosa-dosanya. Mengembalikan empat kali lipat adalah hukum orang Yahudi bagi orang yang mencuri lembu atau domba, dia harus menggantinya empat kali lipat (lihat kel 22:1). Secara hukum/adat dengan mengganti empat kali lipat sudahlah lebih dari cukup, namun tidak bagi Zakheus yang baru saja menerima kasih yang berlimpah dari Yesus. Kasih dari Yesus meluap, seperti yang digambarkan Daud dalam mazmurnya “… pialaku penuh melimpah (Mazmur 23:5)”. Kasih inilah yang mendorong Zakheus untuk melakukan hal yang lain, yang melebihi hukum yang berlaku, melebihi tingkat keadilan, yaitu dengan mengatakan “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin…”

Permenungan: Apakah kita seperti Zakheus, yang sudah mengalami kasih Yesus, dan hidup kita berubah 180 derajat?

  • Apakah kita sudah mengalami kasih yang seperti Zakheus alami, di mana merubah seluruh kehidupan kita? Merubah cara pandang kita terhadap kehidupan ini? Sampai kita mengalami kasih ini, maka kehidupan rohani kita akan berhenti dan tidak bergerak…. Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya Tuhan itu… (Maz 34:8)
  • Apakah kita mengalami kasih yang Tuhan berikan adalah berlimpah dan tidak mungkin kita simpan hanya untuk kita sendiri?

Luk 19:9 Kata Yesus kepadanya: “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang inipun anak Abraham.

Yesus mengatakan “… Hari ini, telah terjadi keselamatan…”. Pertobatan yang benar selalu akan menghasilkan keselamatan. Zakheus yang mengalami kasih Tuhan, dan kemudian bertobat dan melakukan silih atas dosa-dosanya, akhirnya mendapatkan sesuatu yang paling berharga, yaitu mendapatkan keselamatan.

Kitapun sama seperti Zakheus, bahwa kita adalah anak-anak Abraham di dalam iman. Kita mempunyai iman seperti Abraham. Abraham dibenarkan karena iman, kitapun dibenarkan karena iman, yaitu iman kepada Yesus Kristus. Namun lebih lagi keselamatan yang kita terima adalah melulu karena berkat Tuhan, pemberiaan cuma-cuma dari Tuhan. Kalau kita mencari siapa yang layak menerima keselamatan, maka semua orang tidaklah layak untuk menerimanya, karena kita semua telah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah.

Permenungan: Apakah kita sama seperti Zakheus, yang menerima perkataan Yesus “.. Hari ini terjadi keselamatan, karena engkau sudah beriman kepadaku..?”.

  • Yesus yang pertama-tama merindukan untuk mengucapkan perkataan ini kepada kita semua. Dia rindu agar kita semua, dan seluruh umat manusia untuk mendapatkan keselamatan. Agar hidupnya juga diberkati dan melimpah, dan damai
  • Apakah kita juga menjadi alat Tuhan untuk keselamatan keluarga kita, komunitas kita, tempat kerja kita? Selama kita terus membawa Yesus dalam setiap hal yang kita lakukan, maka kita akan terus menjadi alat-Nya.

Luk 19:10 Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang.”

Yesus datang ke dunia ini untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang. Sama seperti gembala yang baik, Ia tidak membiarkan satu dombapun hilang dari kawanannya. Sama seperti yang Dia katakan, bahwa orang sakitlah yang membutuhkan dokter.

Permenungan: Kita semua adalah orang yang sakit, yang membutuhkan dokter, dokter dari segala dokter, yaitu Yesus sendiri.

  • Kita mungkin sakit karena kurang kasih dan perhatian. Tersiksa karena masa lalu kita, dan kuatir akan masa depan. Sakit, karena kurang peka terhadap penderitaan sesama, terlalu egois, mengejar kesenangan sendiri. Mungkin kita sakit, karena menganggap bahwa harta, karir adalah nomor satu dalam hidup ini.
  • Mari pada saat ini kita mengundang Yesus untuk masuk dalam hidup kita, dalam setiap sendi kehidupan kita, dan dalam keberadaan diri kita, sehingga kita dapat menjadi bait suci-Nya yang kudus.

Marilah kita berdoa

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin

Tuhan Yesus, aku berterima kasih, melalui sabda-Mu, tentang Zakheus, Engkau mengigatkan aku, bahwa Engkau adalah Allah yang berbelas kasih. Engkau tidak mau satupun dari umat-Mu hilang. Tuhan bantu aku untuk menyadari, bahwa akupun sama seperti Zakheus, yang merindukan jamahan kasih-Mu. Aku seringkali berusaha untuk menjadi murid-Mu yang baik, namun aku seringkali gagal, karena segala kelemahan-kelemahanku. Yesus, bantulah aku agar sekali lagi aku boleh mengalami kasih-Mu yang merubah segala sisi kehidupanku. Bantu aku, ya Yesus, agar aku dapat menyadari semua dosa-dosaku dan memutuskan untuk bertobat dan melakukan silih atas semua dosa-dosaku. Bantu aku ya Yesus, untuk menyadari, bahwa hal yang paling penting di kehidupan ini adalah mempersiapkan diri untuk memperoleh keselamatan kekal. Terimakasih Yesus, Engkau sudah wafat di kayu salib untuk menebus dosaku, dan biarlah hatiku senantiasa diisi dengan puji-pujian karena keselamatan yang Engkau berikan secara cuma-cuma kepadaku. Di dalam nama Tuhan Yesus, aku berdoa dan mengucap syukur. .. Amin.

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin

Maria Dikandung Tanpa Noda: Apa Maksudnya?

58

Bunda Maria tanpa noda: apa maksudnya?

Berikut ini adalah cerita yang tidak ada hubungannya dengan Dogma Maria tersebut, tetapi mungkin dapat membantu kita untuk mengerti konsep dasarnya…

Suatu hari, di suatu desa terpencil, ada seorang (sebut saja bernama Sukri) menemukan kloset duduk yang dibuang di dekat jalan kampung. Ia tidak pernah melihat benda itu seumur hidupnya, sehingga tidak tahu kalau itu adalah kloset (jamban). Dia bahkan mengagumi benda itu, karena dipikirnya ‘antik’. Sukri membawa pulang kloset itu ke rumah dan dibersihkannya sampai ‘kincrong‘. Kebetulan esok harinya Sukri berulang tahun dan dia berencana mengundang teman-teman satu kampung. Dia berpikir, alangkah uniknya jika nasi tumpeng ulang tahunnya diletakkan di dalam ‘benda’ itu (yaitu kloset), supaya ‘penemuan baru’-nya ini dapat dipamerkan kepada teman-temannya.

Sekarang, bayangkanlah, jika anda termasuk di antara orang-orang yang datang ke pesta Sukri. Anda pasti tahu kalau ‘barang’ itu adalah kloset. Apakah reaksi anda begitu melihat nasi tumpeng yang ditempatkan di dalam kloset itu? Ada rasa aneh dan tidak ‘nyambung‘, bukan? Demikianlah, Yesus yang kemuliaan dan kekudusanNya jauh melebihi semua, tidak mungkin lahir ke dunia melalui seorang perempuan yang berdosa. Karena noda dosa itu jauh lebih buruk daripada kloset, dan Yesus itu kemuliaannya jauh mengatasi dan tidak dapat dibandingkan dengan nasi tumpeng; maka kesimpulannya, ada jurang yang tak terjembatani antara keduanya. Nasi tumpeng tak pernah klop diletakkan di dalam kloset; dan tentu, Yesus yang Maha Kudus, tak mungkin dapat dikandung oleh rahim seseorang yang tercemar dosa. Maka oleh kuasaNya, Allah menguduskan rahim itu, membuat ia terbebas dari noda dosa. Karena Tuhan tidak dapat mengingkari diri-Nya sendiri yang tanpa dosa, sama seperti Dia tidak dapat menjadi tidak setia (lih 2 Tim 2:13). Allah menghendaki bahwa Kristus yang akan menjadi Pengantara bagi manusia dan diri-Nya harus terpisah dari orang-orang berdosa (lih. Ibr 7:26) maka artinya, ini mensyaratkan bahwa Ia harus dilahirkan oleh seorang perempuan yang terbebas dari noda dosa. Perempuan ini adalah Santa Perawan Maria.

Dogma Perawan Bunda Maria dikandung tidak bernoda

Pada tanggal 8 Desember 1854, Paus Pius IX mengumumkan Dogma Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda (Ineffabilis Deus), yang menyatakan bahwa Bunda Maria dikandung tanpa noda dosa asal. ((Pada tanggal 8 Desember 1854, Paus Pius IX mengumumkan Dogma Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda (Ineffabilis Deus), yang bunyinya antara lain sebagai berikut: Dengan inspirasi Roh Kudus, untuk kemuliaan Allah Tritunggal, untuk penghormatan kepada Bunda Perawan Maria, untuk meninggikan iman Katolik dan kelanjutan agama Katolik, dengan kuasa dari Yesus Kristus Tuhan kita, dan Rasul Petrus dan Paulus, dan dengan kuasa kami sendiri: “Kami menyatakan, mengumumkan dan mendefinisikan bahwa doktrin yang mengajarkan bahwa Bunda Maria yang terberkati, seketika pada saat pertama ia terbentuk sebagai janin, oleh rahmat yang istimewa dan satu-satunya yang diberikan oleh Tuhan yang Maha Besar, oleh karena jasa-jasa Kristus Penyelamat manusia, dibebaskan dari semua noda dosa asal, adalah doktrin yang dinyatakan oleh Tuhan dan karenanya harus diimani dengan teguh dan terus-menerus oleh semua umat beriman.”))

Mungkin ada orang bertanya, -terutama mereka yang bukan beragama Katolik- kenapa ada perlakuan khusus buat Bunda Maria, bukankah Maria itu manusia biasa saja seperti kita? Lalu, kenapa baru pada tahun 1854 diumumkan dogma ini, apakah ini pengajaran buatan manusia saja (Paus dan pembantu-pembantunya) ataukah sungguh dari Allah? Mari kita lihat, kenapa kita sebagai orang Katolik percaya bahwa pengajaran ini berasal dari Allah, dan karenanya wajib kita yakini dan kita syukuri.

Bukan pengajaran ‘kagetan’ melainkan sudah diajarkan oleh para Bapa Gereja sejak lama

Gereja Katolik tidak pernah mengubah, menghapus, atau menambah pengajaran “deposit of faith” yang ada padanya sejak dari Gereja awal, namun hanya menjaga dan mempertahankannya. Perlu kita ingat bahwa Tradisi Suci dan Kitab Suci bagi orang Katolik itu sama pentingnya, karena berasal dari sumber yang sama: Allah sendiri. (Lihat artikel: Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan, Bagian 3) Dogma Perawan Maria dikandung tanpa noda ini telah dirintis oleh Paus Sixtus IV (abad ke-15) yang diteruskan sampai ke jaman Paus Pius IX (abad ke -19), tetapi sesungguhnya pengajaran tersebut sudah merupakan hal yang diyakini oleh Gereja sejak abad awal, seperti dinyatakan oleh Santo Ephraem (abad ke-4) ((Santo Ephraem dalam “Nisibene Hymns”, 27, (dikutip dan diterjemahkan dari buku The Teachings of the Church Fathers, ed. John R Willis, S.J., Ignatius Press, San Francisco, 2002 reprint, edisi asli Herder and Herder, New York, 1966 h. 361) menulis, “Sungguh Engkau, Tuhan, dan BundaMu adalah hanya satu-satunya yang cantik sempurna di dalam segala hal; sebab, Tuhan, tidak ada noda di dalam-Mu dan juga tidak ada noda apapun di dalam BundaMu…”)) dan Santo Agustinus (abad ke-5) ((Santo Agustinus, dalam “On Nature and Grace“, Chap. 36:42, (dikutip dan diterjemahkan dari buku The Teachings of the Church Fathers, Ibid., h. 265) menulis, “Kita harus menerima Perawan Maria yang kudus, tentangnya saya tidak akan pernah mempertanyakan jika kita membahas tentang dosa, karena hormatku kepada Tuhan, sebab dari Dia kita tahu akan betapa berlimpahnya rahmat untuk mengalahkan dosa sampai sekecil- kecilnya, telah diberikan kepadanya (Bunda Maria) yang telah dipercayakan untuk mengandung dan melahirkan Dia (Yesus) yang sudah pasti tidak berdosa…”)) dengan dasar pemikiran dari Santo Ireneus (abad ke-2). ((Santo Irenaeus, dalam “Against Heresies, V, The New Creation in Christ” (dikutip dan diterjemahkan dari buku Early Christian Fathers, ed. Cyril C. Richardson, Touchstone, Simon & Schuster, NY, 1996) hl. 389-390, menyebutkan Maria sebagai Hawa yang baru, “Seluruh umat manusia berada dalam kuasa maut melalui perbuatan seorang perawan (Hawa), maka seluruh umat manusia juga diselamatkan melalui seorang perawan (Maria, Hawa yang baru) dan karenanya, ketidaktaatan seorang perawan diimbangi oleh ketaatan perawan yang lain.” Dari sini, para Bapa Gereja menyimpulkan bahwa ketaatan total Maria dimungkinkan oleh ketotalan kemurniannya tanpa dosa asal.))

Jadi Dogma tersebut bukan pengajaran ‘kagetan’ atau innovasi dari Paus Pius IX di abad ke-19!

Bunda Maria sendiri menyatakan dirinya sebagai “Immaculate Conception”

Empat tahun setelah pengajaran yang diberikan oleh Paus Pius IX, Bunda Maria menampakkan diri di Lourdes, Perancis (1858). Penampakan Bunda Maria di Lourdes (di grotto Massabielle) terjadi selama 18 kali kepada Bernadette Soubirous, seorang gadis desa yang yang waktu itu berumur 14 tahun. Penampakan Bunda Maria di Lourdes ini sudah diakui oleh Gereja Katolik sebagai penampakan yang otentik. Dalam penampakan itu (penampakan ke- 16), Bunda Maria menyatakan dirinya sebagai “Perawan yang dikandung tanpa noda dosa”/ the Immaculate Conception kepada Bernadette yang pada waktu itu tidak memahami makna “the Immaculate Conception“, terutama karena ia adalah gadis desa yang buta huruf. Pernyataan dari Bunda Maria ini mengkonfirmasikan ajaran dari Bapa Paus Pius IX, dan dengan demikian juga membuktikan infalibilitas ajaran Bapa Paus tersebut.

Dasar dari Kitab Suci

Alasan pertama Bunda Maria dikandung tanpa noda ini berhubungan dengan peran istimewanya sebagai Ibu Tuhan Yesus. Jadi, walaupun benar Maria manusia biasa, ia bukan manusia ‘kebanyakan’ seperti kita. Sebab, memang rencana keselamatan itu terbuka untuk semua orang (Yoh 3:16), tetapi Ia hanya memilih satu orang untuk menjadi ibu-Nya, yaitu Maria. Kita tahu bahwa Allah adalah Kudus, sempurna dan tak ada dosa di dalam Dia, maka sudah sangat layaklah bahwa ketika memutuskan untuk dilahirkan di dunia, Yesus menguduskan terlebih dahulu seseorang yang melaluinya Ia akan dilahirkan. Mungkin hal ini tidak terbayangkan oleh kita, karena kita manusia tidak bisa melakukannya. Kita tidak bisa memilih ibu kita sendiri, apalagi membuat dia kudus dan sempurna sebelum kita lahir. Tetapi, Allah bisa, dan itulah yang dilakukan-Nya. Mengapa Tuhan melakukan ini? Karena Ia tidak dapat mengingkari jati DiriNya sebagai Allah yang Kudus. Mari kita lihat kebesaran Allah melalui apa yang dilakukanNya terhadap Bunda Maria seperti yang ditulis dalam Alkitab.

1. Dikatakan bahwa Yesus terpisah dari orang-orang berdosa

Dikatakan dalam Kitab Suci, bahwa Yesus sebagai Imam Besar Pengantara kita kepada Bapa adalah “seorang yang saleh, tanpa salah, tanpa noda, yang terpisah dari orang-orang berdosa dan lebih tinggi daripada tingkat-tingkat sorga” (Ibr 7:26). Artinya, tidak mungkin Yesus dilahirkan dari seorang yang berdosa, sebab jika demikian Ia tidak benar-benar terpisah dari orang-orang berdosa. Karena itu dapat dipahami, bahwa Bunda Maria yang dipilih Allah untuk mengandung dan melahirkan Kristus, haruslah seorang yang tidak berdosa. Pemahaman ini juga akan menjelaskan mengapa St. Anna (ibunda dari St. Perawan Maria) tidak disebut sebagai “tanpa noda” juga seperti Bunda Maria, sebab St. Anna tidak melahirkan Kristus.

2. Bunda Maria disebutkan pada awal mula, sebagai ‘perempuan’ yang keturunannya akan mengalahkan ular (iblis) (Kej 3:15).

Di sini, perempuan yang dimaksud bukanlah Hawa, tetapi Hawa yang baru (‘New Eve’). Para Bapa Gereja membaca ayat ini sebagai nubuatan akan kelahiran Yesus (Adam yang baru) melalui Bunda Maria (Hawa yang baru). Hal ini sudah menjadi pengajaran Gereja sejak abad ke-2 oleh Santo Yustinus Martir, Santo Irenaeus dan Tertullian, yang lalu dilanjutkan oleh Santo Agustinus. ((John R Willis, S.J. ed., The Teachings of the Church Fathers, Ignatius Press, San Francisco, 2002 reprint, edisi asli Herder and Herder, New York, 1966 h. 356)) Sayangnya, memang dalam terjemahan bahasa Indonesia, pada ayat ini dikatakan ‘perempuan ini’, seolah-olah menunjuk kepada Hawa, namun sebenarnya adalah ‘the woman’ (bukan this woman) sehingga artinya adalah sang perempuan, yang tidak merujuk kembali ke lakon yang baru saja dibicarakan. ((“Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kej 3:15).)) Ungkapan ‘woman‘ ini yang kemudian kerap diulangi pada ayat Perjanjian Baru, misalnya pada mukjizat di Kana (Yoh 2:4) ((John 2:4, RSV Bible, “O Woman, what have you to do with me? My hour has not yet come.” Diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia, “Mau apakah engkau dari pada-Ku, ibu? Saatku belum tiba.”)) dan di kaki salib Yesus, saat Ia menyerahkan Bunda Maria kepada Yohanes murid kesayanganNya (Yoh 19:26). ((John 19:26-27, RSV Bible, “When Jesus saw his mother, and the disciple whom he loved standing near, he said to his mother, “Woman, behold, your son! Then he said to the disciple, “Behold, your mother!” diterjemahkan di dalam bahasa Indonesia: Ketika Yesus melihat ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu! Kemudian kata-Nya kepada murid-muridNya: “Inilah ibumu!”))Pada kesempatan tersebut, Yesus mau menunjukkan bahwa Maria adalah ‘sang perempuan’ yang telah dinubuatkan pada awal mula dunia sebagai ‘Hawa yang baru’.

‘Hawa yang baru’ ini berperan berdampingan dengan Kristus sebagai ‘Adam yang baru’. Santo Irenaeus, mengatakan, “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria” sehingga selanjutnya dikatakan, “maut (karena dosa) didatangkan oleh Hawa, tetapi hidup (karena Yesus) oleh Maria.” ((Lihat Lumen Gentium 56, S. Ireneus, “dengan taat Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia” Maka … para Bapa zaman kuno, … menyatakan bersama Ireneus: “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh perawan Maria karena imannya” Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria “bunda mereka yang hidup”. Sering pula mereka (St. Jerome, St. Agustinus, St. Cyril, St. Yohanes Krisostomus, St. Yohanes Damaskinus) menyatakan: “maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.”)) Oleh karena itu, sudah selayaknya Allah membuat Bunda Maria tidak tercemar sama sekali oleh dosa, supaya ia, dapat ditempatkan bersama Yesus di tempat utama dalam pertentangan yang total melawan Iblis (lih. Kej 3:15).

3. Bunda Maria sebagai Tabut Perjanjian yang Baru.

Di dalam Kitab Perjanjian Lama, yaitu di Kitab Keluaran bab 25 sampai dengan 31, Kita melihat bagaimana ’spesifik-nya’ Allah saat Ia memerintahkan Nabi Musa untuk membangun Kemah suci dan Tabut Perjanjian. Ukurannya, bentuknya, bahannya, warnanya, pakaian imamnya, sampai seniman-nya (lih. Kel 31:1-6), semua ditunjuk oleh Tuhan. Hanya imam (Harun) yang boleh memasuki tempat Maha Kudus itu dan ia pun harus disucikan sebelum mempersembahkan korban di Kemah suci (Kel 40:12-15). Jika ia berdosa, maka ia akan meninggal seketika pada saat ia menjalankan tugasnya di Kemah itu (Im 22:9). Hal ini menunjukkan bagaimana Allah sangat mementingkan kekudusan Tabut suci itu, yang di dalamnya diletakkan roti manna (Kel 25:30), dan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16), dan tongkat imam Harun (Bil 17:10; Ibr 9:4). Betapa lebih istimewanya perhatian Allah pada kekudusan Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru, karena di dalamnya terkandung PuteraNya sendiri, Sang Roti Hidup (Yoh 6:35), Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Imam Agung yang Tertinggi (Ibr 8:1)! Persyaratan kekudusan Bunda Maria -Sang Tabut Perjanjian Baru- pastilah jauh lebih tinggi daripada kekudusan Tabut Perjanjian Lama yang tercatat dalam Kitab Keluaran itu. Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru, harus kudus, dan tidak mungkin berdosa, karena Allah sendiri masuk dan tinggal di dalam rahimnya. Itulah sebabnya Bunda Maria dibebaskan dari noda dosa oleh Allah.

4. Bunda Maria DISEBUT ‘penuh rahmat’ pada saat menerima Kabar Gembira.

Pada saat malaikat Gabriel memberitakan Kabar Gembira, ia memanggil Maria sebagai, ‘…hai engkau yang dikaruniai’, Tuhan menyertai engkau.’ (Luk 1:28) (“Hail, full of grace…”, – RSV Bible) Kata, ‘Hail, full of grace‘ ini tidak pernah ditujukan kepada siapapun di dalam Alkitab, kecuali kepada Maria. ((Lihat, Defining the Dogma of the Immaculate conception, Ineffabilis Deus, par. The Annunciation, “They (the Church Fathers) thought that this singular and solemn salutation, never heard before, showed that the Mother of God is the seat of all divine graces and is adorned with all gifts of the Holy Spirit…“)) Kepada Abraham yang akan menjadi Bapa para bangsa, ataupun kepada Musa salah satu nabi terbesar, Allah tidak pernah menyapa mereka dengan salam. Kepada Maria, Allah bukan saja hanya memberi salam, tetapi juga memenuhinya dengan rahmat (grace), yang adalah lawan dari dosa (sin). Dan karena dikatakan ‘full of grace’, maka para Bapa Gereja mengartikannya bahwa seluruh keberadaan Maria dipenuhi dengan rahmat Allah dan semua karunia Roh Kudus, sehingga dengan demikian tidak ada tempat lagi bagi dosa, yang terkecil sekalipun, sebab hadirat Allah tidak berkompromi dengan dosa. Artinya, Bunda Maria dibebaskan dari noda dosa asal.

5. Dasar dari Kitab Wahyu

Kita mengetahui dari Kitab Wahyu, bahwa Bunda Maria-lah yang disebut sebagai perempuan yang melahirkan seorang Anak laki-laki, yang menggembalakan semua bangsa… yang akhirnya mengalahkan naga yang adalah Iblis (Why 12: 1-6). Kemenangan atas Iblis ini dimungkinkan karena dalam diri Maria tidak pernah ada setitik dosa pun yang menjadi ‘daerah kekuasaan Iblis’.

Dasar dari Tradisi Suci

Berikut ini adalah pengajaran para Bapa Gereja yang menyatakan bahwa Bunda Maria tidak bernoda:

1. St. Irenaeus (180): “Hawa, dengan ketidaktaatannya [karena berdosa] mendatangkan kematian bagi dirinya dan seluruh umat manusia, … Maria dengan ketaatannya [tanpa dosa] mendatangkan keselamatan bagi dirinya dan seluruh umat manusia…. Oleh karena itu, ikatan ketidaktaatan Hawa dilepaskan oleh ketaatan Maria. Apa yang terikat oleh ketidakpercayaan Hawa dilepaskan oleh iman Maria.” ((Lihat St. Irenaeus, Against Heresies, 189 AD, 3:22:24))

2. St. Hippolytus (235): “Ia adalah tabut yang dibentuk dari kayu yang tidak dapat rusak. Sebab dengan ini ditandai bahwa Tabernakel-Nya dibebaskan dari kebusukan dan kerusakan.” ((St. Hippolytus, Orations Inillud, Dominus pascit me ))

3. Origen (244): “Bunda Perawan dari Putera Tunggal Allah ini disebut sebagai Maria, yang layak bagi Tuhan, yang tidak bernoda dari yang tidak bernoda, hanya satu satunya” ((Origen, Homily 1)).

4. Ephraim (361): ”Engkau sendiri dan Bunda-Mu adalah yang terindah daripada semua yang lain, sebab tidak ada cacat cela di dalam-Mu ataupun noda pada Bunda-Mu… ((St. Ephraim, Nisibene Hymns 27:8))

5. St. Athanasius (373), “O, Perawan yang terberkati, sungguh engkau lebih besar daripada semua kebesaran yang lain. Sebab siapakah yang sama dengan kebesaranmu, O tempat kediaman Sang Sabda Allah? Kepada ciptaan mana, harus kubandingkan dengan engkau, O Perawan? Engkau lebih besar daripada semua ciptaan, O Tabut Perjanjian, yang dilapis dengan kemurnian, bukannya dengan emas! Engkau adalah Tabut Perjanjian yang didalamnya terdapat bejana emas yang berisi manna yang sejati, yaitu: daging di mana Ke-Allahan tinggal.” ((St. Athanasius, Homily of the Papyrus of Turin, 71:216))

6. Ambrose (387): “Angkatlah tubuhku, yang telah jatuh di dalam Adam. Angkatlah aku, tidak dari Sarah, tetapi dari Maria, seorang Perawan, yang tidak saja tidak bernoda, tetapi Perawan yang oleh rahmat Allah telah dibuat tidak bersentuh dosa, dan bebas dari setiap noda dosa.” ((St. Ambrose, Commentary on Psalm 118: Sermon 22, no.30, PL 15, 1599)).

7. St. Gregorius Nazianza (390): Ia [Yesus] dikandung oleh seorang perawan, yang terlebih dahulu telah dimurnikan oleh Roh Kudus di dalam jiwa dan tubuh, sebab seperti ia yang mengandung layak untuk menerima penghormatan, maka pentinglah bahwa ia yang perawan layak menerima penghormatan yang lebih besar. ((St. Gregorius, Sermon 38))

8. St. Augustine (415): Kita harus menerima bahwa Perawan Maria yang suci, yang tentangnya saya tidak akan mempertanyakan sesuatupun ketika ia kita membicarakan tentang dosa, demi hormat kita kepada Tuhan; sebab dari Dia kita mengetahui betapa berlimpahnya rahmat untuk mengalahkan dosa di dalam segala hal telah diberikan kepadanya, yang telah berjasa untuk mengandung dan melahirkan Dia yang sudah pasti tidak berdosa ((St. Augustine, Nature and Grace 36:42))

9. Theodotus (446): “Seorang perawan, yang tak berdosa, tak benoda, bebas dari cacat cela, tidak tersentuh, tidak tercemar, kudus dalam jiwa dan tubuh, seperti setangkai lili yang berkembang di antara semak duri.” ((Theodotus, Homily 6:11)).

10. Proclus dari Konstantinopel (446): “Seperti Ia [Yesus] membentuknya [Maria] tanpa noda dari dirinya sendiri, maka Ia dilahirkan daripadanya tanpa meninggalkan noda. ((Proclus, Homily 1))

11. St. Severus (538): “Ia [Maria] …sama seperti kita, meskipun ia murni dari segala noda, dan ia tanpa noda.” ((St. Severus, Hom. cathedralis, 67, PO 8, 350))

12. St. Germanus dari Konstantinopel (733), mengajarkan tentang Maria sebagai yang “benar- benar terpilih, dan di atas semua, … melampaui di atas semua dalam hal kebesaran dan kemurnian kebajikan ilahi, tidak tercemar dengan dosa apapun.” ((Germanus dari Konstantinopel, Marracci in S. Germani Mariali))

Jika Maria tanpa noda dosa, apakah dia membutuhkan Kristus untuk menyelamatkannya?

Jawabnya tentu: YA! Karena segala keistimewaan yang diberikan kepadanya hanya mungkin diperoleh melalui Keselamatan yang diberikan oleh Kristus sendiri. Duns Scotus (1264- 1308) seorang Franciskan mengatakan hal ini dengan indahnya, “Malah Maria, melebihi siapapun membutuhkan Kristus sebagai Penyelamatnya, sebab ia dapat tercemar oleh noda dosa asal seandainya rahmat dari Sang Penyelamat tidak mencegah hal ini.” ((Diterjemahkan dari New Catholic Encyclopedia, The Catholic University of America, Washington D.C., 1967, Book VII, p. 381.)) Keistimewaan rahmat yang membuat Maria dibebaskan dari noda dosa asal adalah bentuk penghormatan Yesus kepada Maria ibu-Nya, sesuatu yang menjadi hak-Nya sebagai Tuhan.

Apa pentingnya Dogma ini buat kita?

Bunda Maria yang tidak bernoda, tubuh dan jiwanya, tidak dimaksudkan ‘hanya’ untuk melukiskan keistimewaan Maria, tetapi untuk memberi gambaran bagi Gereja. ((Lihat Hugo Rahner, SJ, Our Lady and the Church, (Zaccheus Press, Bethesda, 1968, reprint 1990), p. 17, “But this mystery of the Immaculate Conception of Mary is not only a personal priviledge granted to her who was to become the Mother of God. Mary thereby become the figure of the Church…” and p. 20, “The word ‘immaculate’ indeed sums up the mystery of our own spiritual life. We are members of the Church, and in us the Church’s mystery must be accomplished; it begins with Mary Immaculate, and we in turn, by the power of the Holy Spirit, must once more become immaculate. In each of us the victory over the serpent must be achieved….”)) Seperti Maria, Gereja juga dikatakan sebagai ‘tidak bernoda.’ Hal ini juga dikatakan oleh Rasul Paulus yang mengatakan bahwa Kristus akan menempatkan Gereja di hadapanNya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut …supaya GerejaNya kudus dan tidak bercela” (Ef 5:27). Jadi, kita sebagai anggota Gereja diajak untuk melihat Maria sebagai teladan. Kita harus berjuang ‘mengalahkan’ bujukan Iblis setiap hari, dengan mengandalkan kekuatan Roh Kudus.

Kesimpulan:

Dogma Maria Dikandung Tanpa Noda Dosa Asal (Ineffabilis Deus/ The Immaculate Conception) adalah pengajaran yang berdasarkan atas kebijaksanaan Allah yang tak terselami, yang membebaskan Bunda Maria dari dosa asal, sebab ia telah dipilih Allah sejak semula untuk menjadi Ibu PuteraNya Yesus Kristus. Pengajaran yang telah berakar lama dalam Gereja ini mengajak kita untuk melihat Bunda Maria sebagai teladan kekudusan, agar kitapun dapat berjuang hidup kudus setiap hari dengan mengandalkan rahmat Tuhan. Jadi fokus utama dogma ini bukan semata- mata untuk meninggikan Maria, tetapi untuk menyatakan kerahiman Tuhan yang tiada terbatas untuk menguduskan Maria sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan Tuhan Yesus di dunia ini. Karena itu, Maria adalah model bagi Gereja dan teladan bagi kita masing-masing dalam hal kekudusan.

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 1)

35

Rangkaian artikel tentang doa:

Manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. Hal ini dinyatakan dalam doa, sehingga doa menjadi bagian hakiki dalam kehidupan manusia.

Tulisan ini akan membahas tentang hakekat doa, juga kesalahan-kesalahan persepsi tentang doa. Pembahasan akan dibagi menjadi empat bagian, yang terdiri dari:

  1. Kesalahan persepsi doa (bagian 1): “Tuhan tidak campur tangan dalam kejadian di dunia ini.”
  2. Kesalahan persepsi doa (bagian 2): “Semua sudah diatur dan ditakdirkan Tuhan, sehingga berdoa tidak merubah apapun.”
  3. Kesalahan persepsi doa (bagian 3): “Berdoa dapat merubah keputusan Tuhan.”
  4. Kesimpulan: Kenapa kita harus berdoa?

Mengapa kita berdoa?

Doa sudah menjadi bagian hakiki dari kehidupan semua orang dari semua agama, karena manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya. (KGK, 31, 356, 1721, 2002) Namun pertanyaannya adalah, kenapa kita harus berdoa? Mungkin kita tidak pernah memikirkan pertanyaan ini, karena doa sudah menjadi bagian sehari-hari atau mungkin juga karena doa dianggap tidak penting. Dalam tulisan ini akan ditelusuri beberapa pertanyaan yang mendasar tentang doa. Pertama kita akan melihat beberapa kesalahan umum yang tidak hanya dilakukan di jaman sekarang, namun juga dilakukan dalam sejarah umat manusia. St. Thomas Aquinas mendefinisikan ada tiga kesalahan umum tentang persepsi doa. ((St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2.))

Kesalahan 1: Tuhan tidak campur tangan dalam kejadian di dunia ini.

Argumen yang paling ekstrem adalah karena ketidakpercayaan akan keberadaan Tuhan. Bagi yang masih mempertanyakan keberadaan Tuhan, silakan membaca artikel: : Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?). Karena tidak percaya kepada Tuhan atau sesuatu yang lebih besar dari keberadaan dirinya, maka orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan tidak merasa perlu untuk berdoa. ((Kalau dilihat dari seluruh kebudayaan manusia, kita akan menemukan sistem korban, sistem agama (baik yang percaya satu Tuhan atau banyak tuhan). Hal ini dikarenakan secara alami, manusia mempunyai keinginan untuk mengenal dan mengasihi penciptanya.))

Selanjutnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa memang Tuhan menciptakan segala sesuatu; namun setelah penciptaan, Tuhan tidak campur tangan lagi, dan semuanya berjalan menurut hukum alam berdasarkan sistem yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Pendapat ini dianut oleh aliran “deism” ((The Catholic University of America , New Catholic Encyclopedia, Vol. 4: Com-Dyn, 2nd ed. (Gale Cengage, 2002), p. 721-723 – Deism sendiri mempunyai beberapa aliran, mulai dari yang percaya akan Tuhan dan kehidupan setelah kematian sampai percaya kepada Tuhan yang hanya menciptakan dunia dan sistemnya, namun setelah itu berpangku tangan. Pandangan yang ekstrem ini juga tidak mempercayai kehidupan setelah kematian.)) Aliran ini menerima ke-Tuhanan hanya dari sisi filosofi, tanpa percaya adanya wahyu Tuhan. ((Di sini kita melihat bahwa filosofi tanpa dilengkapi dengan pemahaman wahyu Tuhan menjadi sangat terbatas dan bisa salah. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemikiran manusia. Kalaupun seseorang bisa mencapai pemahaman dasar tentang Tuhan – seperti keberadaan Tuhan, Tuhan itu baik, Tuhan itu satu – hal ini hanya bisa dicapai dalam waktu yang lama. Hal ini nyata ‘dalam pencarian kebenaran’ oleh Aristoteles.)) Menurut pemahaman ini, Tuhan dilihat sebagai seseorang yang yang duduk di tahta suci dan melihat semua perbuatan manusia dan perjalanan sejarah, namun Dia tidak melakukan apa-apa.

Dalam kapasitas yang lebih kecil, berapa sering kita mendengar seseorang mengatakan “Ah, jangan terlalu banyak merepotkan Tuhan. Masa Tuhan mengatur urusan-urusan yang kecil?” Seolah-olah Tuhan tidak tertarik untuk membantu manusia dalam urusan-urusan yang kecil. Kadang urusan yang bagi seseorang dianggap kecil, bagi Tuhan menjadi sesuatu yang penting untuk kehidupan rohani seseorang. ((Kalau kita menempatkan diri sebagai orang tua, sebenarnya tidak ada hal yang terlalu kecil bagi kita untuk urusan anak-anak kita. Sering mereka meminta sesuatu yang sepele, namun kita akan memberikan perhatian kepada anak-anak kita, agar mereka mendapatkan kebahagiaan.))

Tuhan menciptakan manusia karena kasih dan untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

Pertama, kita harus mempertanyakan kenapa Tuhan menciptakan dunia ini, terutama kenapa menciptakan manusia menurut gambaran-Nya (Lih Kej 1:26-27). Kalau kita dan juga Deism percaya bahwa Tuhan adalah Maha dalam segalanya, maka konsekuensinya Tuhan tidak membutuhkan siapa-siapa, termasuk dunia ini dan manusia. Bisa dikatakan bahwa keberadaan kita tidak menambah kemuliaan Tuhan, karena Tuhan adalah absolut baik. Sebaliknya kalau kita berdosa, juga tidak mengurangi kemuliaan Tuhan, karena Dia maha sempurna.

Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa motif dari penciptaan dunia dan manusia adalah karena kasih (KGK, 1604) dan untuk merefleksikan kemuliaan Tuhan. (KGK, 294) Kalau kita percaya bahwa keberadaan kita adalah karena kebetulan saja, dan bukan akibat dari kasih Tuhan, maka pendapat ini sebenarnya sangat tragis. Argumen ini sama seperti pendapat bahwa keberadaan kita sebagai anak tidaklah diinginkan oleh orang tua kita, dan hanya terjadi secara kebetulan. Tentu saja ini adalah kejadian yang tragis. Kemungkinan ini disanggah oleh Tuhan sendiri, sebab Dia berkata dalam kitab nabi Yesaya, “Dapatkah seorang perempuan melupakan bayinya, sehingga ia tidak menyayangi anak dari kandungannya? Sekalipun dia melupakannya, Aku tidak akan melupakan engkau ” (Yes 49:15). Dengan demikian Tuhan mau menyampaikan bahwa Ia mengasihi lebih kita lebih daripada ibu kita mengasihi kita.

Jadi kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah maha dalam segalanya, termasuk maha baik dan maha kasih, sangatlah tidak mungkin kalau Tuhan menciptakan manusia hanya secara kebetulan atau eksistensi manusia terjadi secara kebetulan. Argumen yang memungkinkan adalah Tuhan mengasihi manusia. Kasihnya begitu besar kepada manusia, sehingga Dia memberikan Putera-Nya kepada dunia untuk menebus dosa umat manusia (Lih. Yoh 3:16). Dan inilah yang dapat menjelaskan keberadaan kita. Karena kasihlah, maka Tuhan ingin semua manusia mengalami dan turut berpartisipasi dalam kemuliaan-Nya, yaitu dalam kehidupan abadi di surga.

Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah kasih, maka akan sulit membayangkan kepercayaan yang dianut oleh Deism, yaitu Tuhan hanya berpangku tangan melihat semua yang terjadi di dunia ini, termasuk penderitaan umat-Nya. Ibaratnya, Tuhan hanya sebagai penonton. Bayangkan kalau seseorang mempunyai ayah konglomerat. Kemudian orang ini jatuh miskin sampai menderita kelaparan. Sesuai dengan prinsip dari Deism, maka konglomerat ini hanya berpangku tangan saja, hanya menonton tanpa berbuat apapun. Kita bisa simpulkan bahwa perbuatan konglomerat ini jauh dari kategori kasih. Dengan melihat contoh ini, kita bisa juga menyimpulkan kepercayaan Deism adalah bertentangan dengan prinsip bahwa Tuhan adalah kasih.

Orang yang mempunyai kepercayaan Deism, sangat sulit untuk berdoa, karena mereka tidak melihat gunanya berdoa. Mereka melihat bahwa semua yang terjadi adalah merupakan hasil usaha mereka tanpa campur tangan Tuhan. Dan tentu saja ini jauh dari sikap kerendahan hati, sikap utama yang diperlukan dalam doa. Mari sekarang kita melihat bahwa Allah kita adalah Allah yang terus bekerja untuk keselamatan umat manusia, dan juga keselamatan kita masing-masing.

Allah Trinitas dan seluruh isi surga terus bekerja untuk keselamatan seluruh umat manusia.

Orang-orang farisi mengajukan keberatan kepada Yesus, karena Yesus menyembuhkan orang yang sudah 38 tahun sakit pada hari Sabat. Dan Yesus menjawab “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga” (Yoh 5:17). Kemudian sebelum Yesus mengalami penderitaan-Nya, Dia menjanjikan murid-murid-Nya Roh Kebenaran, yaitu Roh Kudus (Yoh 14;16-18). Dan Roh Kudus menyatakan diri-Nya secara penuh pada saat Pentakosta (Kis 2:1-40). Kemudian Roh Kudus terus bekerja melalui para murid, para pengikut Kristus, Gereja, dan melalui kita masing-masing (melalui rahmat awal yang kita terima lewat sakramen pembaptisan). Roh Kudus juga terus menerus berkarya untuk memurnikan Gereja dan seluruh anggota Gereja sampai akhir jaman. Jadi kalau Roh Kudus, pribadi ketiga dari Trinitas terus bekerja, maka Yesus, pribadi kedua, dan Allah Bapa, pribadi pertama juga terus bekerja, karena mereka adalah satu.

Dan karena para kudus di surga berpartisipasi dalam kasih Allah, maka mereka juga berpartisipasi dalam karya keselamatan seluruh umat manusia dengan doa-doa syafaat mereka. Di kitab Wahyu diceritakan bagaimana para kudus mempersembahkan doa mereka (Wah 5:8; 8:3-4). Di sinilah perannya persatuan para kudus, sehingga umat Katolik berdoa bersama dengan para kudus di surga.

Tuhan telah bekerja dan sedang bekerja dalam sejarah umat manusia.

Tuhan telah bekerja dan terus bekerja dalam sejarah umat manusia. Kita melihat bagaimana Tuhan bekerja dalam pembentukan bangsa Israel dan juga dalam perjalanan bangsa ini, sehingga bangsa Israel menjadi “bangsa pilihan Allah.” Bangsa pilihan Allah ini mendapatkan arti yang baru pada saat Yesus mendirikan Gereja-Nya. Sehingga Gereja juga disebut “Bangsa Pilihan Tuhan yang baru / New People of God.” (LG, 13)

Jadi, Allah kita adalah Allah yang terus bekerja dalam sejarah umat manusia, juga dalam sejarah kehidupan kita masing-masing. Marilah kita imani bahwa Tuhan adalah Maha Kasih. Dan dalam kasih-Nya yang tak terselami, Dia tetap akan campur tangan dalam setiap hal yang kita alami. Mari kita percayakan kehidupan kita masing-masing ke dalam tangan Yesus yang juga mengerti akan kehidupan manusia, karena Dia sudah menjelma menjadi manusia. Mari kita percayakan setiap penderitaan kita kepada Yesus yang sudah terlebih dahulu menderita buat kita, dan juga segala sukacita dan kebahagiaan kita yang semuanya berasal dari Allah.

Marilah kita berdoa….

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

Ya, Tuhan, pada saat ini aku datang di hadapan-Mu, memohon agar Engkau memberikan kepadaku hati yang rindu untuk bersatu dengan-Mu dalam doa. Berikanlah kepadaku hati yang percaya akan penyelenggaraan tangan-Mu, sebab Engkau adalah Allah yang penuh kasih. Dalam naungan kasih-Mu, bantulah aku setiap hari untuk menyadari bahwa Engkau hadir dalam setiap hal yang aku lakukan. Aku juga mengundang Engkau untuk selalu campur tangan dalam suka maupun duka di dalam kehidupanku. Bunda Maria, para malaikat dan para kudus di surga, doakanlah aku. Dalam nama Yesus, aku naikkan doa ini. Amin.

Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan (Bagian 5 – Selesai)

3

Gereja Katolik, tidak pernah populer, tetapi selalu menarik

Di dunia yang dipenuhi kehidupan sekuler, dan banyak aliran agama bermunculan, kita melihat banyak orang mencari kebenaran yang lebih bersifat tetap dan tidak terbawa arus. Banyak dari mereka tidak pernah menyangka bahwa pencarian tersebut akan berakhir di Gereja Katolik.

Gereja Katolik memang tidak pernah populer, kita tidak akan jadi terkenal dengan menjadi orang Katolik yang setia. Namun betapapun sulit penerapan pengajaran Gereja Katolik karena itu akan menuntut perubahan hidup, banyak orang merasa tertarik pada Gereja. Mereka mendengarkan dengan hormat pengajaran Paus dan para uskup pembantunya, meskipun mereka mengakui bahwa diperlukan perjuangan untuk menerapkan kebenaran tersebut di dalam hidup sehari-hari.

Ketertarikan akan Gereja juga nampak pada sejarah Gereja Katolik yang menampilkan kehidupan para kudus. Siapapun akan mengakui bahwa pasti ada sesuatu yang istimewa dan ‘ilahi’ pada Gereja Katolik yang dapat menghasilkan orang-orang kudus, seperti Santo Agustinus, Santo Benediktus, Santo Franciscus Asisi, dan Ibu Teresa.

Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan (Bagian 4)

2

Allah adalah Kasih, maka Ia menghendaki semua manusia mencapai kebahagiaan.

Allah ingin agar kita semua berbahagia. “Aku datang,” kata Yesus, “supaya kamu mempunyai hidup dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh 10:10). Pertanyaannya sekarang, apa itu kebahagiaan atau kelimpahan hidup? Banyak orang mungkin mengartikan kebahagiaan dengan kelimpahan materi. Namun sesungguhnya, bukan itu yang dijanjikan Yesus, walaupun Ia dapat saja karena kebijaksanaanNya menganugerahkan berkat-berkat kepada kita. Namun, jika kita berpikir bahwa Yesus datang untuk memberikan kelimpahan materi, artinya kita tidak sungguh-sungguh memahami arti pengorbanan Yesus di kayu salib bagi kita. Yesus memberikan DiriNya untuk disalibkan untuk menghapuskan dosa-dosa kita yang memisahkan kita dari Allah.[1] Dengan demikian, kita didamaikan dengan Allah, kita dikuduskan,(lihat artikel: Apa itu Kekudusan?), dan bersatu denganNya, dan dengan sesama saudara seiman. Persatuan dengan Allah inilah yang memberikan kita kelimpahan hidup. Dengan bersekutu dengan Allah, sumber dan empunya segala sesuatu, kita tidak akan berkekurangan. Kebahagiaan semacam ini lebih dari segala kelimpahan dunia dan tak dapat diberikan oleh dunia.

Bagaimana persatuan dengan Allah dan saudara-saudari seiman dinyatakan?

Persatuan kita dengan Allah dimulai dengan Pembaptisan, yang dilanjutkan dengan pertumbuhan spiritual melalui doa, baik doa pribadi maupun doa bersama, keikutsertaan di dalam sakramen-sakramen Gereja, terutama Ekaristi, dan penerapan kebajikan dalam perbuatan –perbuatan kasih (Lihat artikel: Semua Orang Dipanggil untuk Hidup Kudus). Dengan ketiga hal inilah yang mengacu pada kekudusan, kita bertumbuh dalam persatuan kita dengan Allah dan sesama.

Doa

(KGK 2558- 2865)

Di dalam doa, kita mengarahkan hati ke surga, mengucap syukur dan kasih kita kepada Tuhan di saat susah maupun senang.[2] Kita mengangkat jiwa kepada Tuhan dan memohon kepadaNya demi hal-hal yang baik.[3] Untuk berdoa inilah diperlukan sikap kerendahan hati, karena kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa (Rm 8:26). Karenanya kita memerlukan bimbingan Allah sendiri, yang telah mengajari kita berdoa melalui Yesus, untuk selalu memohon kedatangan Kerajaan Allah. Kerajaan Allah di sini adalah “persatuan seluruh Tritunggal Mahakudus dengan seluruh jiwa manusia”,[4] maka dengan demikian, dengan kehidupan doa, kita berada di dalam hadirat Allah. Hadirat Allah ini membuka persekutuan kita dengan para kudusNya, yang mempunyai dua arti, yaitu persekutuan dalam hal-hal yang kudus, dan persekutuan antara para orang kudus.[5]

Jadi, melalui doa, kita bertumbuh di dalam relasi dengan Allah, yang juga membawa pertumbuhan relasi kita dengan anggota-anggota keluarga Allah. Para anggota keluarga ini tidak hanya terbatas mereka yang hidup di dunia, tetapi juga mereka yang sudah mendahului kita, baik yang sudah mulia di surga, maupun yang sebelum masuk ke surga masih dimurnikan di Api Penyucian. Kenapa demikian? Karena kematian tidak punya kuasa untuk memisahkan kita dari kasih Kristus (Rom 8:38).

Jadi, kepada Allah Tritunggal kita mengarahkan doa kita, yaitu kepada Allah Bapa, yang oleh perantaraan Yesus dan kuasa Roh Kudus dapat kita panggil sebagai “Bapa Kami”. Namun kita dapat pula memohon agar para orang kudus di surga mendoakan kita, seperti halnya kita meminta agar saudara-saudari kita yang masih hidup di bumi mendoakan kita. Sebab di surga, para orang kudus berdoa bagi kita (Why 5:8), dan doa mereka sangatlah besar kuasanya sebab mereka orang-orang yang sudah dibenarkan oleh Allah sendiri (Yak 5:16) oleh karena kesempurnaan kasih yang mereka perbuat di dunia.[6]

Jika kita meminta agar para orang kudus mendoakan kita, itu tidak berarti kita mengurangi peran Yesus sebagai satu-satunya Perantara (1Tim 2:5), melainkan kita memenuhi ajaran untuk “menaikkan permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang”, karena itulah yang baik dan berkenan kepada Allah Juruselamat kita (1Tim 2:1-4). Jadi sebagai anggota Tubuh Kristus kita dipanggil untuk saling menolong dan mendoakan (Gal 6:2), dan dipanggil untuk menjadi rekan sekerja Allah dalam rencana keselamatan (1Kor 3: 9).

Seandainya hidup ini seperti sekolah, Para Orang Kudus adalah seperti para senior kita yang telah lebih dahulu lulus ujian. Jika kita ingin lulus dengan baik, belajarlah melalui teladan hidup mereka. Siapa yang dengan rendah hati mau belajar, dia akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk lulus. Allah memang dengan sengaja mengikutsertakan mereka di dalam rencana keselamatan kita, supaya kita bisa melihat contoh hidup mereka, yang telah menjadi ‘rekan sekerja Allah’ dalam rencana keselamatan (1Kor 3:9) tersebut.

Dalam hal inilah, kita melihat Bunda Maria sebagai teladan. Doa-doanya bagi kita sangat penuh kuasa karena hubungannya yang sangat istimewa dengan Yesus, Puteranya (lih. Yoh 2:1-11). Allah memberikan peran yang khusus kepada Bunda Maria[7] untuk menjadi ibu yang melahirkan Putera-Nya Yesus ke dunia. Karenanya, Allah menjadikannya penuh rahmat, yang artinya bebas dari dosa (Luk 1:28, 47), terberkati di antara semua wanita (Luk 1:42), dan menjadikannya teladan bagi semua manusia (Luk 1:48). Pada akhir hidupnya, Allah mengangkat Bunda Maria, tubuh dan jiwa, ke surga, suatu gambaran bagi kita tentang kebangkitan kita pada akhir jaman (Why 12:1-2).[8]

Sakramen

(KGK 1210-1666)

Melalui sakramen- sakramen Gereja (Pembaptisan, Penguatan, Ekaristi, Pengakuan Dosa, Perkawinan, Tahbisan suci, dan Urapan orang sakit)- terutama Ekaristi, kita dipersatukan dengan misteri Paska Kristus, yaitu: wafat, kebangkitan, dan kenaikanNya ke surga, dan karenanya kita dibawa kepada persatuan denganNya. Melalui Sakramen- sakramen Gereja ini Kristus Sang Kepala membagi-bagikan milikNya kepada semua anggota.[9] (lihat artikel: Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan, bagian ke-2).

Perbuatan- perbuatan kasih, dijiwai oleh iman dan harapan

(KGK 1812-1829, 1833-1841)

Gereja Katolik mengajarkan bahwa kita diselamatkan karena rahmat kasih karunia (Ef 2:5)[10] oleh iman (Ef 2:8), bukan hanya karena iman. Selanjutnya, iman yang menyelamatkan adalah iman yang hidup, yang tertuang dalam perbuatan kasih (lih. Yak 2:24) dan yang mengarahkan pandangan kita kepada kehidupan abadi (Tit 3:6-7). Dengan hidup di dalam iman, harapan dan kasih (hidup kudus), kita “hidup dalam hubungan dengan Tritunggal Mahakudus”[11]

Jadi, rahmat pertama yang mendatangkan pertobatan, pengampunan dosa dan pembenaran itu bukan sesuatu yang diperoleh karena usaha manusia, tetapi hanya karena kebaikan Tuhan.[12] Namun, setelah kita menerima rahmat pertama itu – yaitu dalam Pembaptisan- kita harus mengembangkannya di dalam perbuatan- perbuatan kasih yang mengantar kita kepada hidup yang kekal (Rom 2:6-7). Perbuatan kasih ini berkenan bagi Allah, bahkan Allah mengajarkan hal ini sebagai hukum yang terutama (Mat 22:37-39; Mrk 12:30-31).

Jadi, kita tidak meraih keselamatan dengan usaha perbuatan kita (Ef 2:8-9; Rom 9:16), melainkan hanya karena kemurahan hati Allah. Namun iman yang kita peroleh di dalam Kristus meletakkan kita di dalam hubungan yang penuh dengan rahmat Allah, sehingga oleh kasih, ketaatan dan iman, kita beroleh kehidupan kekal (Rom 2:7). Rasul Yohanes mengatakan, tanda bahwa kita mengenal Allah adalah dengan menuruti perintah-perintahNya (1Yoh 2:3-4; 3:23-24), sehingga perbuatan- perbutan kasih selalu harus dilakukan oleh orang-orang yang percaya kepada Allah.

Jika setelah kita menerima Pembaptisan kita menolak berbuat kasih, atau tepatnya tetap berada di dalam dosa- dosa kita, kita sama dengan orang yang menolak rahmat Tuhan itu. Itu sama saja dengan meninggalkan Kristus (Yoh 15:5-6) atau tidak berpegang teguh pada Injil, sehingga sia-sialah iman kita (1Kor 15:1-2). Jadi kita tidak dapat mengatakan bahwa kita beriman kepada Tuhan, jika kita terus memilih untuk hidup di dalam dosa. Menerima Yesus sebagai Juruselamat pribadi harus disertai dengan perubahan diri ke arah kebaikan. Rasul Paulus menuliskan hal ini berulang kali, agar semua pengikut Kristus, yaitu kita semua, berjuang untuk menghidari dosa, yang pada dasarnya berarti perbuatan-perbuatan yang jahat yang bertentangan dengan perintah Tuhan.[13]

Dengan melakukan perbuatan-perbuatan kasih, kita dibentuk oleh Allah untuk menjauhi dosa (lih. 1Pet 4:8). Sebab, dengan melakukan perbuatan kasih, kita semakin termotivasi untuk meninggalkan dosa-dosa kita. Teladan hidup para kudus menunjukkan pada kita bahwa untuk menjauhkan diri dari dosa, kita harus melakukan ketiga hal ini: berdoa secara teratur setiap hari, mengambil bagian dalam sakramen-sakramen Gereja, terutama Ekaristi, dan melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan yaitu yang didasari iman, harapan dan kasih.

Di atas semua itu, baiklah kita mengingat bahwa perbuatan kasih-lah yang menghantar kita ke surga, dan perbuatan kasih kepada Tuhan dan sesama adalah yang menandai kita sebagai pengikut Kristus yang sejati.[14] Namun dalam melakukan perbuatan-perbuatan kasih janganlah kita sampai mengundang perhatian orang. Allah mengatakan, jika kita melakukan perbuatan kasih, entah itu berdoa, memberi sedekah, pertolongan atau perhatian- agar dilakukan secara tersembunyi, -maksudnya tidak digembar-gemborkan-, “maka Bapa-mu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat 6:3).

Kesimpulan: Gereja sebagai Tanda Kasih Tuhan dialami melalui doa, sakramen dan perbuatan- perbuatan kasih.

Allah mengasihi kita, dan karenanya menginginkan kita hidup berbahagia. Kebahagiaan kita terletak pada persekutuan kita dengan Tuhan. Gereja adalah karunia Tuhan yang menjadi Tanda KasihNya dimana Tuhan merangkul semua orang yang percaya di dalam persekutuan denganNya. Persekutuan ini kita alami melalui doa, sakramen dan perbuatan-perbuatan kasih, yang membantu kita bertumbuh di dalam iman, pengharapan, dan kasih, atau singkatnya ‘kekudusan’.

Dalam hal ini, para orang kudus menjadi teladan kita sebab mereka telah terlebih dahulu sampai ke surga setelah memenangkan pergumulan hidup di dunia ini.


[1] Lihat Katekismus Gereja Katolik 599-623, 602 dan 603,”Kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia,… telah ditebus dengan darah yang mahal yaitu darah Kristus, yang sama seperti darah anak domba yang tidak bernoda dan tak bercacat… (1Ptr 1:18-20) Dosa-dosa manusia yang menyusul dosa asal dihukum dengan kematian. Dengan mengutus PuteraNya yang tunggal dalam rupa seorang hamba, dalam kodrat manusia yang jatuh dan yang diserahkan kepada kematian karena dosa… dengan cara demikian Allah sudah membuatNya solider dengan kita, orang berdosa, maka “Ia tidak menyayangkan anakNya sendiri, tetapi menyerahkanNya bagi kita semua” (Rom 8: 32), sehingga kita diperdamaikan dengan Allah oleh kematian AnakNya” (Rm 5:10).

KGK 620, “Keselamatan kita bersumber pada prakarsa cinta Allah terhadap kita, karena Ia “telah mengasihi kita dan telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita” (1Yoh 4:10) “Allah mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus.”

[2] “Bagiku doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan” (Teresia Kanak-kanak Yesus, ms, autob.25r)

[3] Lihat KGK 2559, “Doa adalah pengangkatan jiwa kepada Tuhan, atau satu permohonan kepada Tuhan demi hal-hal yang baik…. Kerendahan hati adalah dasar dari doa, karena kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa (Rm 8:26). Supaya mendapat anugerah doa, kita harus bersikap rendah hati… ”

[4] KGK 2565.

[5] Lihat KGK 948.

[6] Lihat KGK 956, “…Sebab karena para penghuni surga bersatu lebih erat dengan Kristus, mereka lebih meneguhkan seluruh Gereja dalam kesuciannya, mereka menambah keagungan ibadat kepada Allah, yang dilaksanakan oleh Gereja di dunia…”

KGK 2683, “Saksi- saksi yang sudah mendahului kita masuk Kerajaan Allah, terutama para ‘kudus’ yang sudah diakui Gereja, turut serta dalam tradisi doa yang hidup dengan perantaraan contoh hidupnya, dengan menyumbangkan tulisan-tulisannya dan dengan doanya sekarang ini…. Doa syafaatnya adalah pelayanan yang tertinggi bagi rencana Allah. Kita dapat dan harus memohon mereka, supaya membela kita dan seluruh dunia.”

KGK 2692,”Gereja penziarah bersatu dalam doanya dengan doa para kudus, yang doa syafaatnya Gereja minta.”

[7] Lihat KGK 490-511, 963- 975: 490, “Karena Maria dipilih menjadi bunda Penebus, maka ia dianugerahi karunia-karunia yang layak untuk tugas yang sekian luhur” (LG 56)… Supaya dapat memberikan persetujuan imannya kepada pernyataan panggilannya, ia harus dipenuhi seluruhnya oleh rahmat Allah.”

KGK 492, “Bahwa Maria ‘sejak pertama ia dikandung, dikaruniai cahaya kekudusan yang istimewa” (LG 56), hanya terjadi berkat jasa Kristus: “Karena pahala Puteranya, ia ditebus secara lebih unggul (LG 53)… Bapa memberkati dia dengan segala berkat RohNya oleh persekutuan dengan Kristus di dalam surga” (Ef 1:3). Allah telah memilih dia sebelum dunia dijadikan, supaya ia kudus dan tidak bercacat di hadapanNya (lih. Ef 1:4 dan Luk 1:28-37).

KGK 963- 975: 963, “Ia (Maria) memang Bunda para anggota (Kristus)… karena dengan cinta kasih ia menyumbangkan kerja samanya, supaya dalam Gereja lahirlah kaum beriman, yang menjadi anggota Kepala itu…”

KGK 964, “Tugas Maria terhadap Gereja tidak bisa dipisahkan dari persatuannya dengan Kristus, tetapi langsung berasal darinya. “Adapun persatuan Bunda dengan PuteraNya dalam karya penyelamatan itu terungkap sejak saat Kristus dikandung oleh santa Perawan hingga wafatNya” (LG 57)…

KGK 975, “…Bunda Allah tersuci, Hawa yang baru, Bunda Gereja, melanjutkan di dalam surga keibuannya terhadap anggota-anggota Kristus.”

[8] Lihat KGK 974, “Sesudah mengakhiri perjalanan kehidupannya di dunia ini, Perawan Maria tersuci diangkat jiwa dan badan ke dalam kemuliaan surga, di mana ia sudah mengambil bagian dalam kemuliaan kebangkitan Puteranya dan dengan demikian mengantisipasi kebangkitan semua anggota TubuhNya.”

[9] Lihat KGK 947, “Jadi milik Kristus dibagi-bagikan sepada semua anggota, dan pembagian ini terjadi oleh Sakramen- sakramen Gereja”.

[10] Lihat KGK 1727, “Kebahagiaan kehidupan abadi adalah anugerah rahmat Allah; sifatnya adikodrati seperti rahmat, yang mengantar kepadanya.”

[11] Lihat KGK 1812, “Kebajikan manusia berakar dalam kebajikan ilahi, yang memungkinkan kemampuan manusiawi mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Karena kebijakan ilahi (iman, harapan dan kasih) langsung berhubungan dengan Allah. Mereka memungkinkan orang kristen, supaya hidup dalam hubungan dengan Tritunggal Mahakudus. Mereka memiliki Allah yang Esa dan Tritunggal sebagai asal, sebab dan objek.” Sebagai asal, karena kebajikan berasal dari Allah; sebagai sebab, karena Allah yang menyebabkan kita dapat berbuat kebajikan; sebagai objek, karena kebajikan itu ditujukan kepada Tuhan dan sesama yang di dalamnya kita melihat Tuhan sendiri.

[12] Lihat KGK 2010, “Karena di dalam tata rahmat tindakan pertama berasal dari Allah, maka seorangpun tidak dapat memperoleh rahmat pertama, yang darinya muncul pertobatan, pengampunan, dan pembenaran. Baru setelah didorong oleh Roh Kudus dan kasih, kita dapat memperoleh untuk kita sendiri dan untuk orang lain, rahmat yang menyumbang demi kekudusan kita, demi pertumbuhan rahmat dan kasih, serta demi penerimaan kehidupan abadi…”

[13] Lihat KGK 1849, “Dosa adalah suatu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran dan hati nurani yang baik; ia adalah suatu kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Allah dan sesama atas dasar satu ketergantungan yang tidak normal kepada barang-barang tertentu…Ia didefinisikan sebagai ‘kata, perbuatan atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi”

KGK 1850, “Dosa adalah satu penghinaan terhadap Allah…. Dosa memberontak terhadap kasih Allah kepada kita dan membalikkan hati kita dari Dia. Seperti dosa perdana, ia adalah ketidaktaatan, suatu pemberontakan terhadap Allah…”

[14] Lihat Lumen Gentium 42, “Sebab cinta kasih, sebagai pengikat kesempurnaan dan kepenuhan hukum (lih. Kol 3:14); Rom 13:10), mengarahkan dan menjiwai semua upaya kesucian, dan membawanya sampai ke tujuannya[133]. Maka cinta kasih akan Allah maupun akan sesama merupakan ciri murid Kristus yang sejati.”

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab