Home Blog Page 254

Evangelisasi baru bersumber pada dua perintah utama

18

Pendahuluan

Ketika saya tinggal di Amerika, saya beruntung sekali dapat menyaksikan pemilihan umum presiden Amerika. Beberapa kali, saya juga menyaksikan debat calon presiden. Saya tidak terlalu tertarik ketika mengamati perdebatan tentang isu politik, ekonomi, isu dalam negeri dan luar negeri. Namun, saya begitu tertarik mendengar penuturan mereka tentang isu kemanusiaan, seperti isu aborsi. Dari debat kedua calon presiden – Obama dan McCain – kita dapat secara tegas memberikan kesimpulan bahwa Obama adalah pro-choice dan McCain adalah pro-life, karena Obama mendukung aborsi dan McCain menolak aborsi. Walaupun sulit untuk mengerti bahwa seseorang dapat mendukung aborsi – yang adalah pembunuhan (lihat artikel ini dan ini), saya mencoba mengerti bahwa mungkin mereka yang bukan Katolik memilih untuk pro-choice. Namun, yang membuat saya sungguh-sungguh bersedih dan tidak dapat menerima adalah ketika 54% umat Gereja Katolik di Amerika ini memilih seorang calon presiden yang mendukung aborsi. Betapa ironisnya!

Ketika kenyataan seperti ini terjadi, saya teringat akan seruan “Evangelisasi Baru“, yang sering didengung-dengungkan oleh Paus Paulus VI dan juga Paus Yohanes Paulus II. Ketika lebih dari setengah umat Katolik di Amerika tidak tahu bagaimana menempatkan isu moral lebih utama dibandingkan dengan isu-isu yang lain, maka kita harus bersama-sama merenung dan menyadari bahwa kita perlu untuk melakukan evangelisasi di dalam Gereja Katolik sendiri. Ketika dunia ini didominasi oleh nilai-nilai sekular dan materialisme dan mengesampingkan nilai-nilai iman, maka evangelisasi baru sungguh-sungguh penting dan harus dilakukan. Ketika umat beragama hidup seolah-olah Tuhan tidak ada, maka gerakan evangelisasi baru tidak dapat ditawar-tawar lagi. Mari, bersama-sama kita melihat perkembangan dan dasar-dasar evangelisasi baru, sehingga kita juga turut serta dalam gerakan yang menuntun kita kepada keselamatan kekal.

Perkembangan dari evangelisasi baru

Mungkin kita dapat menghubungkan evangelisasi baru dengan Paus Yohanes Paulus ke II, karena memang beliau menggunakan istilah ini dalam berbagai kesempatan. Dia menggunakan istilah “evangelisasi baru” sekitar 75 kali dalam surat-suratnya, dan 175 kali dalam homili-homilinya. Bahkan istilah ini muncul sekitar 890 kali dalam website vatican.va. Dari frekuensi munculnya istilah ini, maka kita dapat menilai bahwa evangelisasi baru begitu penting dalam perkembangan Gereja Katolik.

Istilah evangelisasi baru, muncul ketika Paus Yohanes Paulus II memberikan surat ensiklik “Redemptoris Missio (RM)” atau “Misi dari Sang Penyelamat“, yang diberikan pada tanggal 7 Desember 1990, yang merupakan ulang tahun ke-25 dari dokumen “Ad Gentes” atau “Dekrit tentang kegiatan missioner Gereja“, yang dapat dibaca di sini (silakan klik). Dengan demikian, istilah evangelisasi baru adalah merupakan suatu rangkaian dari dokumen Vatikan II, khususnya “Ad Gentes“, “Lumen Gentium” dan sinode-sinode, yang membahas tentang evangelisasi berdasarkan surat apostolik “Evangelii Nuntiandi” (EN / Evangelisasi di dunia modern), yang dibuat oleh Paus Paulus VI pada 8 Desember 1975. Hal ini diperkuat oleh surat apostolik “Tertio Millennio Adveniente (TMA)“, yaitu surat yang berisi persiapan tahun Yubelium Agung 2000. Dikatakan di paragraf 21:

Bagian dari persiapan untuk menyambut tahun 2000 adalah rangkaian sinode yang telah dimulai setelah Konsili Vatikan II: sinode-sinode umum bersama dengan sinode-sinode tingkat benua, regio, bangsa dan keuskupan. Tema yang mendasarinya adalah evangelisasi, atau lebih tepatnya evangelisasi baru, di mana dasarnya telah diletakkan dalam surat apostolik Evangelii Nuntiandi dari Paus Paulus VI, diterbitkan pada 1975 setelah pertemuan umum ketiga dari sinode para uskup. Sinode-sinode ini adalah bagian dari evangelisasi baru: mereka lahir dari visi Gereja dari konsili Vatikan II. Mereka membuka area yang luas untuk partisipasi dari kaum awam, yang beberapa tanggung-jawab khusus di dalam Gereja telah didefinisikan. Mereka [sinode-sinode] merupakan ekspresi kekuatan, di mana Kristus telah diberikan kepada seluruh umat Allah, membuatnya mengambil bagian dari Misi keselamatan-Nya [Kristus] sebagai Nabi, Imam dan Raja. Hal ini dinyatakan secara jelas di dalam pernyataan dari Konstitusi dogmatik Lumen Gentium. Persiapan untuk tahun Yubelium 2000 dilakukan oleh seluruh Gereja, pada tingkat semesta dan lokal, memberikan kepadanya [Gereja] sebuah kesadaran dari misi keselamatan yang telah dia [Gereja] terima dari Kristus. Kesadaran ini secara khusus terbukti dalam ajakan sesudah sinode (the post-synodal Exhortations) yang diperuntukkan secara khusus untuk misi dari kaum awam, formasi para imam, para katekis, keluarga, nilai dari pertobatan dan rekonsiliasi dalam kehidupan Gereja dan kemanusiaan pada umumnya, juga yang akan datang diperuntukkan untuk hidup bakti (consecrated life).

Dualitas adalah inti dari evangelisasi baru

Kalau kita mengerti akan dualitas (dikotomi) dari perintah Kristus, kodrat Gereja, dan Konsili Vatikan II, maka kita akan dapat mengerti makna evangelisasi baru secara lebih baik. Kita akan membahas dualitas dari konsili Vatikan II, sehingga kita dapat lebih mengerti konsep dari evangelisasi baru. Dualitas dari perintah utama Kristus akan memberikan kepada kita isi dan elemen dari evangelisasi baru. Dualitas dari Gereja sebagai cara (means) dan tujuan akhir (end) akan menyadarkan kita bahwa evangelisasi baru tidak dapat dipisahkan dari Gereja. Masing-masing dari dualitas ini harus mampu untuk memperbaharui manusia ((EN, 19)), dan budaya ((EN, 20)), yang ditunjukkan dengan menjadi saksi Kristus yang baik ((EN, 21)).

Mari sekarang kita melihat beberapa dualitas ini.

Semangat dari Konsili Vatican II: melihat ke belakang untuk maju ke depan

Kalau kita melihat semangat dari Konsili Vatican II, maka kita akan dapat menyimpulkannya dalam dua hal yaitu ressourcement (kembali ke sumber) dan aggiornamento (updating / memperbaharui). Dalam hubungannya dengan evangelisasi, maka Gereja Katolik kembali ke sumber, yaitu Alkitab, Tradisi dan Magisterium Gereja, dan melihat kodrat dari Gereja yang memang harus missioner. Dalam dokumen Lumen Gentium (LG), kita melihat akan hakekat dari Gereja, yang merupakan Tubuh Mistik Kristus, yang kelihatan (means) dan tidak kelihatan (end), yang mengemban tugas mewartakan Kristus kepada segala bangsa. Menyadari bahwa Kristus sendiri yang mengutus para rasul (lih. Yoh 20:21) untuk mengemban amanat agung Kristus ke segala bangsa (lih. Mt 28:19-20; Kis 1:8), maka Gereja dengan penuh ketaatan mengemban misi ini. Inilah sebabnya, secara kodrat, Gereja mempunyai sifat misioner. ((LG, 17; AG, 5)) Dan sifat misioner ini dimungkinkan karena Roh Kudus sendiri yang menjadi Roh dari Gereja. Karena Kristus, sebagai Kepala Gereja menginginkan agar seluruh umat manusia memperoleh keselamatan, maka Gereja Katolik sebagai Tubuh Mistik Kristus harus mengemban misi ini berdasarkan inspirasi dan kekuatan dari Roh Kudus.

Pentingnya untuk memberitakan Kristus pada saat ini tidak dapat ditawar-tawar lagi, melihat kondisi jaman pada saat ini, yang dipenuhi dengan kebohongan materialisme, individualisme, dan sekularisme, relativisme. Bahkan umat beriman yang telah mengenal Kristus banyak yang bertindak dan hidup sebagaimana orang-orang yang belum mengenal Kristus. Inilah sebabnya, melihat tanda-tanda jaman, Paus Yohanes Paulus II menyebut mereka sebagai “practical atheism“. ((lih. Paus Yohanes Paulus II, Post-Synodal Apostolic Exhortation, Ecclesia in Europe, 47)) Seperti contoh di atas, kita melihat bagaimana setengah umat Katolik di Amerika memilih seseorang yang mendukung aborsi sebagai presiden mereka. Ini menunjukkan bagaimana mereka tidak menerapkan prinsip-prinsip kekristenan dalam mengambil keputusan penting di dalam hidup mereka.

Dua realitas inilah yang harus dihadapi oleh Gereja. Di satu sisi, Gereja menyadari mempunyai sifat misionaris, namun di satu sisi, kenyataan di dalam kehidupan, terlihat bagaimana orang-orang yang belum mengenal Kristus dan bahkan umat Allah sendiri banyak yang tidak hidup menurut jalan Tuhan. Untuk itulah, Gereja menyerukan evangelisasi baru, untuk kembali merangkul umat Allah dan menyadarkan mereka akan hakekat mereka sebagai umat kesayangan Allah, yang juga harus bertindak menurut hukum Allah. Gereja juga ingin menjangkau mereka yang belum mengenal Kristus, sehingga mereka juga dapat memperoleh kebenaran penuh dan diselamatkan.

Mengasihi Allah dan mengasihi sesama adalah isi dari evangelisasi baru

Tidak ada perintah yang lebih utama daripada mengasihi Allah dan mengasihi sesama. (lih. Mt 22:37-40; Mk 12:30-31) Oleh karena itu, semua hal yang dilakukan oleh Gereja harus mendukung dua perintah pokok ini. Demikian juga dalam aktifitas evangelisasi baru, Gereja dan seluruh elemen Gereja – termasuk masing-masing dari kita – harus mencerminkan kasih kepada Tuhan dan kasih terhadap sesama yang didasarkan pada kasih kepada Tuhan. Hal ini dilakukan baik dengan sikap hidup yang baik ((EN, 21)), maupun dengan pemberitaan Injil secara terbuka ((EN, 22)).

Mengasihi Allah adalah pondasi dari evangelisasi baru

1. Dimensi Trinitas dan Kristologi

Untuk memberitakan kasih Allah, maka evangelisasi tidak dapat terlepas dari dimensi Trinitas. Kasih inilah yang membuat Allah Bapa telah mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk membebaskan dosa dan memanggil manusia kepada kehidupan yang kekal (lih. Yoh 3:16), yaitu dengan cara hidup kudus – yang hanya mungkin dicapai dengan karunia Roh Kudus. ((EN, 26)). Oleh karena itu, evangelisasi yang tidak memberitakan satu Allah dalam tiga Pribadi, tidak memberitakan kebenaran secara penuh. Inilah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II memberikan program 3 tahun dari tahun 1997-1999, setelah melalui persiapan pertama tahun 1994-1996. Tahun 1997 diperuntukkan sebagai tahun Allah Putera ((lih. ensiklik Redemptoris Hominis atau Penyelamat manusia)), 1998 sebagai tahun Allah Roh Kudus ((lih. ensiklik Dominum et Vivificantem atau Roh Kudus di dalam hidup Gereja dan dunia)), dan 1999 sebagai tahun Allah Bapa ((lih. ensiklik Dives in Misericordia atau Belas kasih Allah)). Semua hal ini dijabarkan dalam dokumen Tertio Millennio Adveniente (persiapan untuk Yubelium tahun 2000), par. 35-54.

a) Pusat dari seluruh evangelisasi adalah pada pribadi Kristus. Inilah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II, pada tahun pertama dari kepausanannya, memberikan ensiklik Redemptoris Hominis (1979) dan kemudian mulai tanggal 27 Agustus 1986 sampai April 1989, dia memberikan pelajaran tentang hal-hal sehubungan dengan Kristus, serta tambahan 28 pelajaran pada tahun 1997 atau tahun Allah Putera.

Dengan demikian, kita melihat bahwa kalau kita ingin berpartisipasi dalam evangelisasi, maka kita harus memberitakan Kristus – yang lahir, berkarya, menderita, wafat, mati, bangkit, dan naik ke Sorga. Bahkan kita harus turut serta mengikuti jejak Kristus, karena kita yang telah mati terhadap dosa, di dalam Kristus, – oleh Sakramen Baptis, akan bangkit bersama Kristus. (lih. Rm 6:4).

b) Jiwa dan kekuatan evangelisasi adalah Roh Kudus. Hasil dari pertukaran kasih Allah Bapa dan Allah Putera – yang dimanifestasikan secara penuh pada peristiwa penyaliban – maka Roh Kudus dicurahkan kepada Gereja dan setiap anggota Gereja. Paus Yohanes Paulus II kemudian mengeluarkan ensiklik “Dominum et Vivificantem” atau Roh Kudus di dalam hidup Gereja dan dunia pada hari Pentakosta, 18 Mei, 1986. Dia memberikan 7 refleksi tentang Roh Kudus tahun 1989 dan 80 pelajaran katekese dari 26 April 1989 sampai 3 Juli 1991, yang dilanjutkan dengan pengajaran tentang Roh Kudus selama tahun Roh Kudus (1998)

Inilah sebabnya, dalam setiap misi evangelisasi, kita semua harus bergantung pada karya Roh Kudus, karena Roh Kudus adalah jiwa dari Gereja. Roh Kuduslah yang membuat orang dapat bertobat, karena Roh Kuduslah yang menyatakan dosa kepada dunia. ((lih. DV, 27-29)) Roh Kudus-lah yang memberikan kita kekuatan untuk dapat melakukan misi evangelisasi. Dan Roh Kudus yang sama telah dicurahkan untuk Gereja dan menjadi jiwa dari Gereja. ((lih. DV, 3-26))

c) Belas kasih Allah adalah kabar gembira dalam evangelisasi. Dalam evangelisasi baru, kita harus mendengungkan bahwa Allah berbelas kasih dan mengasihi umat-Nya. Dia tidak hanya adil, namun lebih daripada itu, Dia berbelas kasih. Bahkan di dalam ensiklik Dives in Misercordia (Belas kasih Tuhan, 30 November 1980), Paus Yohanes Paulus II mengatakan bahwa belas kasih Tuhan adalah atribut terbesar dari Allah Bapa. Hal ini pernah dituliskan di sini, silakan klik. Inilah sebabnya, Paus Yohanes Paulus II memberikan 58 pengajaran tentang Allah Bapa dari 16 Januari 1985 sampai 25 Juni 1986, yang dilanjutkan dengan 28 pengajaran pada tahun 1999, tahun Allah Bapa.

Jadi, dalam evangelisasi, kita harus memberitakan belas kasih Allah sebagai kabar gembira utama. Karena belas kasih Allah inilah, yang membuat Dia memberikan Putera-Nya, yang terkasih untuk menebus dosa manusia (lih. Yoh 3:16). Dialah Bapa yang senantiasa menantikan anak yang hilang untuk kembali ke rumah Bapa. (lih. Lk 15:11-32) Akhirnya, demonstrasi kasih ini dimanifestasikan secara penuh pada peristiwa penyaliban Kristus, di mana Bapa merelakan Anak-Nya yang tunggal mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia.

2. Dimensi ekklesiologi (Gereja)

Bagaimanakah kita menjawab kasih Yesus yang sedemikian sempurna dan tak terhingga, yang telah dibuktikan-Nya dengan mati di kayu salib? Kalau kita ingin mengasihi Yesus secara penuh, maka kita juga harus mengasihi Tubuh-Nya, yaitu Gereja Katolik. (lih. Ef 5) Bahkan dikatakan bahwa Gereja dikandung pada waktu air dan darah mengalir dari sisi Yesus ketika Dia tergantung di kayu salib. Gereja lahir dari proses evangelisasi dari Kristus dan para rasul. Dan kelahiran Gereja dimanifestasikan secara penuh pada hari Pentakosta, di mana ketika para murid telah menerima Roh Kudus, mereka mewartakan kabar gembira, sehingga pada hari yang sama 3000 orang memberikan diri untuk dibaptis. (Kis 2:1-41). Dengan demikian, evangelisasi tidak dapat dipisahkan dari Gereja, karena fokus dari evangelisasi adalah Kristus dan Kristus adalah Kepala dan Mempelai Pria dari Gereja. Tidak membawa dimensi Gereja dalam evangelisasi adalah mewartakan Kristus yang tidak lengkap. Oleh karena itu, dalam evangelisasi, kita tidak dapat memisahkan diri dari Gereja Katolik dan harus senantisa mewartakan dogma dan doktrin yang telah ditetapkan oleh Magisterium Gereja, karena semuanya bersumber pada Kitab Suci dan Tradisi Suci.

3. Dimensi soteriologi (keselamatan)

Kasih Allah bukanlah menawarkan kebahagiaan sementara, namun kebahagiaan kekal di dalam Kerajaan Allah. Inilah sebabnya, Yesus berjalan berkeliling dan memberitakan Kerajaan Allah (lih. Mt 4:17). Untuk inilah Kristus datang, yaitu memberitakan Kerajaan Allah dan membawa umat Allah masuk ke dalam Kerajaan Allah. ((EN, 8-9)) Oleh karena itu, evangelisasi yang menekankan kebahagiaan duniawi, kemakmuran sementara tidaklah menyampaikan pesan Kristus secara murni. Oleh karena itu, Paus Paulus VI dalam Evangelii Nuntiandi menekankan pentingnya seseorang dengan berani memikul salib, mengikuti Yesus, karena menaruh pengharapan pada kebahagiaan kekal di Sorga dan bukan pada kebahagiaan di dunia ini. ((EN, 10, 28,34))

4. Dimensi pertobatan dan kesaksian hidup

Kasih Allah yang ditawarkan oleh manusia yang berdosa, hanya mungkin diterima oleh manusia dengan pertobatan sebagai langkah pertama. Lebih tepatnya, Roh Kuduslah yang bertindak untuk menyadarkan manusia akan segala dosanya. Hanya melalui pertobatan yang sejati, maka rahmat Allah dapat mengalir kepada manusia. Oleh karena itu, semua orang yang terlibat dalam evangelisasi haruslah mengalami pertobatan sejati terlebih dahulu, sehingga dia dapat juga menjadi alat Tuhan untuk membawa pertobatan bagi orang lain. Orang yang telah mengalami pertobatan yang sejati tidak akan menjadi manusia yang sama lagi, karena dia telah mati terhadap dosa bersama dengan Kristus (lih. Rm 6:4). Kematiannya dari dosa, membuatnya terbuka terhadap rahmat Allah. Dan sebagai akibatnya, maka kekudusan akan mewarnai kehidupannya. Dan pada saat seseorang menampakkan buah-buah kekudusan, maka dia telah menampakkan buah-buah evangelisasi, yang akan terus berkembang dan mempengaruhi keluarga dan komunitas di sekitarnya. Inilah buah evangelisasi yang otentik. Paus Paulus VI mengatakan:

Manusia modern, secara sukarela lebih mendengarkan para saksi daripada para pengajar, dan jika dia mendengarkan para pengajar, hal tersebut disebabkan karena mereka [para pengajar] adalah para saksi” ((EN, 41 mengambil Paus Paulus VI dalam Address to the members of the Consilium de Laicis (2 Oktober 1974): AAS 66 (1974), p. 568))

Mengasihi sesama adalah buah dari evangelisasi baru

Orang sering salah melangkah dengan mencoba aktif dalam kegiatan-kegiatan tanpa landasan spiritualitas yang baik. Atau dengan kata lain, orang sering mencoba untuk mengasihi sesama dengan cara aktif dalam kegiatan Gereja tanpa landasan kasih kepada Allah. Tanpa berlandaskan kasih Allah, seseorang yang mencoba aktif dalam evangelisasi tidak akan bertahan lama, karena tinggal menunggu waktu, maka akan terjadi keributan, ketidakcocokan dengan teman, dan akhirnya akan tercerai berai. Hal ini sama seperti membangun rumah di atas pasir (lih.Mt 7:26), yang tidak akan bertahan pada waktu badai menerpa. Jadi, untuk dapat melakukan evangelisasi, maka kita harus mengasihi Tuhan. Dengan demikian, semua kegiatan gereja dan kegiatan evangelisasi adalah merupakan buah dari kasih kita kepada Allah.

1. Evangelisasi menjangkau semua bahasa dan semua agama, termasuk umat Katolik.

Karena sesama kita adalah semua bangsa, tidak memandang suku, bahasa, agama, maka evangelisasi juga harus diwartakan ke semua orang, ((EN, 49)) karena Allah menghendaki keselamatan bagi semua orang. Pewartaan kabar gembira dan kabar keselamatan ini adalah merupakan bentuk kasih kita sesama yang berdasarkan kasih kepada Tuhan. Hal ini diperintahkan oleh Yesus sendiri, ketika Dia mengatakan “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” (Mt 16:15). Kalau kasih adalah “menginginkan yang baik bagi orang yang dikasihi” dan tidak ada kebaikan yang lebih daripada keselamatan kekal, maka evangelisasi ke semua bangsa adalah merupakan bentuk kasih. Berikut ini adalah golongan yang yang harus dicapai dalam misi evangelisasi baru:

a) Orang-orang yang belum mengenal Kristus berhak untuk mendengarkan kabar gembira. Ini adalah misi yang diberikan Kristus kepada Gereja untuk membuat segala bangsa mendengar kabar gembira. ((EN, 51)) Cara-cara yang dapat digunakan untuk menjangkau semua orang dapat berbentuk pemberitaan secara langsung melalui kotbah, namun juga dapat melalui seni, pendekatan ilmu pengetahuan, filosofi dan cara-cara yang sah untuk menyentuh hati manusia. Kita juga harus mengingat bahwa anak-anak juga termasuk orang-orang yang belum mendengar Kabar Gembira. Oleh karena itu, setiap orang tua harus melakukan evangelisasi di dalam rumah masing-masing, sehingga anak-anak dapat bertumbuh dalam iman.

b) Orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan berhak untuk mengetahui kebenaran yang membebaskan. Dunia saat ini, banyak dipenuhi dengan orang-orang yang tidak percaya akan Tuhan, yang hanya percaya sesuatu yang terlihat, sesuatu yang empiris, pragmatis, materialisme, sekularisme, yang disebut oleh Hendri de Lubac sebagai “the drama of atheistic humanism“. Pada akhirnya semuanya ini hanya akan mendatangkan kekecewaan, kekosongan dan kehampaaan, karena tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Orang-orang yang telah diubah oleh Kristus harus dapat menunjukkan kepada golongan ini, bagaimana kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai di dalam Kristus, silakan klik. Oleh karena itu, orang-orang percaya harus dapat menunjukkan kebahagiaan di dalam Kristus walaupun sedang menghadapi percobaan, sakit, dll. Kita harus mengingat apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” (Rm 8:35). Dan hal yang dapat dilakukan adalah berdialog dengan mereka, yaitu dengan menggunakan akal-budi (reason) maupun “argument of the heart“, yang menceritakan bagaimana seseorang telah diubah oleh Kristus dan memperoleh kehidupan yang baru, penuh kebahagiaan, kekuatan untuk menghadapi kehidupan, dan pengharapan yang tak tergoyahkan akan Kerajaan Sorga.

c) Orang-orang beragama non-Kristen berhak untuk mengetahui kepenuhan kebenaran yang ditawarkan Kristus. Mewartakan Kristus kepada umat dari agama non-Kristen adalah sesuatu yang harus kita lakukan, karena Injil atau Kabar Gembira diperuntukkan untuk semua golongan. Gereja Katolik melihat bahwa ada kebenaran dalam setiap agama, termasuk kebenaran dalam agama-agama non-Kristen, walaupun kebenaran ini tidak penuh seperti yang diajarkan Kristus. Percikan kebenaran dalam agama- agama lain dipandang oleh Gereja sebagai persiapan untuk menerima Injil. ((lih. LG, 16)). Maka untuk berdialog dengan mereka, maka kita harus menunjukkan bagaimana Yesus Kristus adalah benar-benar Allah. Kita dapat menggunakan argumentasi filosofis sebagai dasar pijakan yang sama.

d) Orang-orang Kristen non-Katolik berhak untuk mengetahui kepenuhan kebenaran di dalam Gereja Katolik. Di dalam ensiklik Ecclesiam Suam (ES), Paus Paulus VI menegaskan bahwa kita dapat berbicara tentang hal-hal yang mempersatukan kita, namun tidak dapat berkompromi terhadap integritas iman Katolik, baik dogma maupun doktrin yang berakar pada Alkitb, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja, yang dapat ditelusuri dari perkembangan doktrin. ((ES, 109)) Harus ditunjukkan bahwa dogma dan doktrin bukanlah merupakan spekulasi teologi, namun bersumber pada keinginan dan mandat dari Kristus sendiri.

e) Orang-orang Katolik harus menyadari bahwa kepenuhan kebenaran ada di dalam Gereja Katolik. Yang tidak boleh dilupakan dalam evangelisasi baru adalah umat Katolik sendiri. Dalam kasus di atas, di mana setengah dari umat Katolik di Amerika memilih calon presiden yang mendukung aborsi, maka kita melihat kenyataan yang menyedihkan, bahwa banyak umat Katolik yang tidak benar-benar mengetahui akan iman Katolik. Banyak dari antara mereka terjebak dengan pendapat bahwa semua agama adalah sama saja. Banyak dari mereka berfikir bahwa iman dan kehidupan nyata adalah dua hal yang berbeda, seolah-olah iman hanya digunakan pada hari Minggu, pada waktu ke gereja. Ada sebagian yang berpendapat bahwa seseorang dapat memilih-milih dogma maupun doktrin, di mana yang sesuai dengan keinginan pribadi diterima dan yang tidak sesuai ditolak. Dengan demikian iman direduksi menjadi suatu pendapat yang kebenarannya relatif dan dapat berbeda antara yang satu dengan yang lain. Betapa banyak umat Katolik yang perlu membaca deklarasi Dominus Iesus (silakan klik), agar dapat semakin mengenal akan imannya!

Keadaan ini sebenarnya menciptakan toleransi yang semu, yang menempatkan kebenaran sebagai sesuatu yang relatif. Untuk itulah, semua elemen di dalam Gereja Katolik harus menjangkau umat, agar mereka dapat benar-benar meyadari kekayaan Gereja Katolik yang begitu indah dan benar. Menyadari bahwa kepenuhan kebenaran ada di dalam Gereja Katolik. Dan berjalan dengan tegak bahwa dirinya telah menjadi anggota Gereja Katolik, namun dibarengi dengan kerendahan hati, karena menyadari bahwa iman adalah pemberian Tuhan dan menyadari sulitnya berjuang untuk hidup kudus. Dengan demikian, tidak ada yang dapat dibanggakan dari diri kita, kecuali menceritakan kasih dan rahmat Allah yang telah tercurah dalam kehidupan kita masing-masing.

Kita juga perlu menyadari bahwa ada yang perlu diperbaiki dalam proses katekese. Kalau seseorang yang telah belajar iman Katolik selama setahun dan kemudian setelah dibaptis dapat berpindah ke agama lain dengan alasan hangatnya komunitas, indahnya kotbah dari gereja lain, dan alasan pribadi yang lain, maka dapat dikatakan bahwa ada yang salah dalam proses katekese tersebut (silakan memberikan masukan pada proses katekese di sini – silakan klik). Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam proses katekese harus benar-benar mengerti dan mengasihi iman Katolik dan mempunyai hati yang mengasihi Yesus dan Gereja-Nya. Dia juga harus mengajarkan apa yang memang diajarkan oleh Magisterium Gereja dan senantiasa berada dalam kesatuan dengan Gereja, baik Gereja Lokal (tingkat paroki maupun tingkat keuskupan) dan juga gereja semesta. ((EN, 60))

2. Cara yang bijaksana perlu diterapkan dalam evangelisasi baru.

Kasih bukanlah kasih kalau memaksa. Oleh karena itu, evangelisasi – sebagai bentuk kasih – tidak boleh dilakukan dengan paksaan. Kita harus mempresentasikan iman Katolik dengan penuh hormat dan kelemahlembutan (lih. 1 Pet 3:15), sehingga orang-orang dapat melihat keindahan akan dogma dan doktrin Gereja Katolik. Dan keindahan ini dapat lebih bersinar, ketika dogma dan doktrin diterapkan dalam kehidupan nyata, yaitu dalam perjuangan untuk hidup kudus. Bahkan kekudusan dapat didefinisikan sebagai hidup menurut dogma dan doktrin.

Kasih bukanlah kasih kalau tidak disertai dengan kebenaran. Kalau kasih adalah menginginkan sesuatu yang baik untuk orang yang dikasihinya, maka kalau kita tidak mewartakan kebenaran, sebenarnya kita tidak memberikan yang baik bagi orang yang kita kasihi. Oleh karena itu, kita tidak perlu takut kalau ada perbedaan pendapat, pandangan dalam hal iman. Justru perbedaan ini, harus menjadi kesempatan bagi kita untuk mewartakan kebenaran.

Namun, untuk mewartakan kasih yang disertai kebenaran diperlukan kebijaksanaan. Tanpa kebijaksanaan, maka maksud baik kita akan dapat disalahartikan dan menjadi tidak efektif. Oleh karena itu, kita harus mengingat apa yang dikatakan oleh Yesus, yaitu “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Mt 10:16) Jadi, kalau kita mengenal latar belakang, permasalah, budaya, dari orang-orang yang mau diberitakan, maka kita akan dapat memberitakan Injil secara efektif. Kita harus tahu apakah yang mendengarkan pewartaan adalah anak-anak muda, orang-orang tua, pendidikan mereka, sehingga pesan yang ingin disampaikan menjadi lebih efektif dan berdaya guna. Evangelii Nuntiandi menekankan akan pentingnya evangelisasi bagi kaum muda, di mana mereka perlu mendengar semangat dan ide dari Injil yang sangat baik sebagai sesuatu yang harus diketahui dan diikuti. ((EN, 72))

Dalam perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur (silakan klik), Yesus mengatakan “Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang” (Lk 16:8). Pada jaman ini, kita melihat informasi tersebar begitu luas dan cepat dengan penggunaan media masa, yang bahkan sering digunakan untuk menyebarkan informasi yang bertentangan dengan semangat Injil. Paul Paulus VI menekankan pentingnya penggunaan media masa untuk menyebarkan kebenaran Injil, sehingga semua orang dari segala bangsa dapat mendengarkan kabar gembira, karena kabar gembira harus diberitakan secara lantang dari atap-atap rumah (lih. Mt 10:27). ((EN, 45)) Dan inilah juga yang diserukan berkali-kali oleh Paus Benediktus XVI, di mana dia mengatakan “Young people in particular, I appeal to you: bear witness to your faith through the digital world!” Sudah saatnya dunia yang dipenuhi dengan informasi yang bertentangan dengan kebenaran dapat juga dibendung dengan informasi tentang Sang Kebenaran, yaitu Yesus Kristus, yang dapat menuntun manusia pada keselamatan kekal, karena Dia adalah Jalan, Kebenaran, dan Hidup! (lih. Yoh 14:6).

Penutup

Mungkin ada yang bertanya-tanya, setelah membaca artikel di atas: Apanya yang baru dari evangelisasi baru? Memang tidak ada yang baru dari sisi kebenaran yang diberitakan, karena “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.” (Ibr 13:8) Kalau kita perhatikan tidak ada doktrin yang baru yang diberikan oleh Konsili Vatikan II. Tidak ada yang baru dalam dua perintah utama, yaitu mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama atas dasar kasih kepada Tuhan. Tidak ada yang baru pada dimensi Trinitas dan ekklesiologi, dimensi soteriologi, dimensi pertobatan dan kesaksian hidup. Kita harus tetap memberitakan semua kebenaran ini, karena kebenaran-kebenaran tersebut dapat menuntun seseorang kepada keselamatan kekal. Mereduksi kebenaran tidak dapat dibenarkan, karena Yesus sendiri mengatakan “ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mt 28:20) dan bukan “sebagian perintah” atau “perintah yang saya suka” atau “perintah yang gampang“.

Dapat dikatakan bahwa yang baru adalah situasi jaman, yang memang semakin bertentangan dengan semangat Injil. Dunia yang dipenuhi dengan keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup (lih. 1 Yoh 2:16). Dunia yang diwarnai dengan kebohongan materialisme, individualisme, dan sekularisme, relativisme, dengan gampangnya menyeret manusia dan bahkan umat Katolik sendiri untuk terlena dalam kenikmatan dunia yang bertentangan dengan kebahagiaan Sorga. Di tengah-tengah sebagian umat Katolik yang suam-suam kuku, tidak mempunyai daya untuk menjadi saksi Kristus yang baik, tidak mempunyai semangat untuk mewartakan kebenaran, maka “evangelisasi baru” menyerukan kembali seruan untuk berdiri tegak sebagai umat Katolik, percaya akan kepenuhan kebenaran yang ada di dalam Gereja Katolik, dan dengan penuh kebijaksanaan menyerukan kebenaran ini ke segala bangsa. Untuk itu, evangelisasi baru harus dimulai dari dalam Gereja Katolik sendiri dan pada saat yang bersamaan mewartakan Yesus yang tersalib dan bangkit ke segala bangsa. Semua komponen dalam Gereja Katolik, baik dalam hirarki, klerus, yang tergabung dalam ordo religius, dan kaum awam, harus bahu-membahu dalam membangun Gereja. Dan semuanya harus dimulai dengan menjadi saksi Kristus yang baik, yaitu dengan hidup kudus dan pewartaan tanpa henti dengan menggunakan cara-cara yang strategis dan bijaksana.

Mari, dalam kapasitas kita masing-masing, kita bertanya:

Apakah yang telah saya lakukan untuk Kristus dan Gereja-Nya, sebagai tanda kasihku kepada Allah?

Kenang-kenangan Cinta Tuhanku

4

Lukas 22 : 19 Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka, kataNya: “Inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.”

Selama 38 tahun hidup di dunia, saya beberapa kali mengalami perubahan suasana baru yang cukup signifikan dalam perjalanan hidup. Yang pertama tentu saja saat saya berpindah dari rahim Ibu saya yang hangat, gelap, sunyi dan nyaman menuju ke sebuah tempat maha luas yang bising dan menyilaukan yang bernama dunia.

Kemudian di usia 18 tahun, saya berpindah dari kota kelahiran saya di Malang menuju kota Bandung untuk melanjutkan kuliah, di mana saya berpindah kos sebanyak tiga kali sebelum akhirnya lulus dan menempati rumah idaman di kota Serpong bersama pemuda yang saya kenal di tempat kos yang kemudian menjadi suami saya. Enam tahun di Serpong, ternyata suami saya mendapat tawaran kerja yang lebih baik di negeri jiran, Malaysia. Jadilah saya kembali berpindah ke kota Kuala Lumpur yang semakin memisahkan saya dari tanah kelahiran dan kedua orangtua saya yang sangat saya cintai. Ternyata petualangan saya tak berhenti di sana. Setelah tiga tahun bermukim di Malaysia, pekerjaan yang diterima suami kembali membuat saya berpindah menuju belahan dunia lain yang bahkan lebih jauh dan asing bagi saya, menuju Milan, Italia. Hidup masih terus mengajak saya pindah. Hanya empatbelas bulan saja di Italia, suami saya ditugaskan bekerja di Houston, Amerika. Dan sekarang, berjarak setengah bulatan bumi dari orangtua yang saya cintai dan tempat kelahiran yang saya rindukan, saya tetap tidak tahu apakah akan bisa tinggal agak lama di negeri Paman Sam ini, atau kembali harus packing dan angkat kaki lagi entah kemana, setelah bermukim beberapa waktu.

Setiap kali saya harus berpindah domisili, perasaan yang selalu timbul dalam hati saya adalah sebersit kesedihan karena harus meninggalkan kehidupan dimana saya telah begitu terbiasa dan nyaman menjalaninya, sembari menikmati semua bentuk relasi dan persahabatan dengan sesama yang saya jumpai di negara-negara yang berbeda itu. Selain persahabatan dengan sesama dari Indonesia di tanah perantauan, persahabatan dengan orang dari berbagai suku bangsa merupakan pengalaman yang sangat memperkaya. Persahabatan yang telah sempat terjalin begitu membahagiakan saya hingga bila tiba saatnya saya harus pindah, ada rasa berat di hati karena harus berpisah dengan teman-teman yang semakin lama telah semakin akrab itu. Persahabatan yang telah bersemi namun kemudian harus saya tinggalkan itu kadang-kadang bertahan sampai lama, sekalipun saya sudah berada di tempat baru, dimana saya akan berjumpa dan bersahabat lagi dengan teman-teman baru di tempat baru. Saya tetap berusaha menjaga persahabatan yang telah terjalin dari tempat sebelumnya, berusaha tetap saling berkirim kabar. Tapi tidak jarang hubungan pertemanan itu tidak bertahan dan sirna dengan sendirinya karena telah terpisah jarak yang begitu jauh, kesibukan di tempat baru, dan waktu. Bagaimanapun, saya berharap bahwa perjumpaan yang telah terjadi sungguh telah saling membuat kami menjadi lebih matang. Dan selalu layak untuk dikenang.

Sekalipun perpisahan membuat hati saya sedih karena rasa ketidakpastian di tempat baru, dan kerinduan kepada sahabat yang saya tinggalkan seringkali membayangi keberangkatan saya, ada satu hal yang membuat saya terhibur. Yang membuat saya tetap merasakan kehangatan persahabatan walau perjumpaan dan kebersamaan hidup itu telah berlalu. Yaitu kenang-kenangan dari para sahabat yang saya tinggalkan. Demikian juga biasanya saya akan membuat suatu tanda kenangan untuk mereka. Kami bertukar cenderamata, sebagai tanda kasih dan kenangan akan kebersamaan kami. Sebagai tanda bahwa perjumpaan yang telah terjadi sangat berarti, walau hanya dalam sepenggal babak kehidupan. Bentuk kenangan yang pernah saya terima dari berbagai sahabat di perantauan itu bermacam-macam. Mulai dari sepucuk surat, sebuah kartu yang ditandatangani beramai-ramai, kumpulan foto momen-momen kebersamaan kami, cincin, kalung, lukisan karikatur saya bersama suami, hingga sulaman cantik dengan tulisan nama saya dan suami. Semua benda kenangan itu selalu saya simpan baik-baik sehingga saya bisa selalu mengenang persahabatan yang terjadi dalam hidup saya. Seringkali dalam waktu luang, saya pandangi atau saya baca kembali, untuk mengobati kerinduan kepada sahabat-sahabat yang telah diberikan Tuhan dalam hidup saya. Namun karena seringnya berpindah negara, dan itu juga berarti pindah rumah, dengan segala kesibukan packing dan unpacking (meringkas barang dan membongkarnya lagi di tempat baru), seringkali saya terlupa dimana saya menaruh benda-benda kenangan itu. Saat saya ingin melihatnya lagi, tak jarang saya harus membongkar kardus atau mencari-cari di tumpukan buku dan file saya. Untuk hiasan sulaman dan karikatur, saya membingkainya dalam pigura untuk bisa dipajang di dinding sehingga saya bisa melihatnya setiap saat. Namun setiap kali saya berpindah, tentu saja pigura-pigura itu juga harus kembali diringkas dan dimasukkan ke dalam kardus. Biasanya perlu waktu beberapa bulan sebelum saya bisa membongkarnya dan memasangnya lagi di tempat yang baru.

Di malam saat Tuhan Yesus mengadakan perjamuan terakhir bersama para sahabatNya, saya meyakini bahwa Tuhan Yesus sebagai manusia juga merasakan kesedihan yang sangat dalam menghadapi perpisahan dengan para sahabatNya. Sekalipun pada saat itu murid-muridNya itu belum menyadarinya. Tapi Yesus mengetahui bahwa esok hari Dia akan wafat meninggalkan dunia dan sahabat-sahabatNya, dan dengan penderitaan yang hebat di kayu salib yang hina. Sebagai seorang manusia, saya turut merasakan betapa dalam kesedihan Tuhanku Yesus, walaupun pemahaman saya tak akan pernah sempurna. Namun di saat yang saya bayangkan akan sangat pedih, seperti kalau saya hendak meninggalkan suatu tempat dan berpisah dengan sahabat-sahabat saya, apalagi terpisah oleh sengsara dan kematian, Tuhanku Yesus Kristus justru masih sempat memberikan teladan yang teramat indah. Karena Dia begitu setia akan misi yang diembanNya dari BapaNya. Yaitu teladan untuk saling melayani. Untuk berani dan rela menjadi yang paling rendah demi kasih pelayanan yang tulus bagi sesama. Sehingga teladan kasih sejati yang Dia tinggalkan kepada para sahabatNya, disempurnakan oleh sikap pelayanan yang tulus dan kerendahan hati. Saya berharap, di saat perpisahan dengan sesama, saya juga meninggalkan teladan kerendahan hati, dan bukan kepahitan, kesombongan, atau kepentingan diri sendiri.
Tentu saja Yesus juga memberikan kenang-kenangan kepada para sahabatNya yang sebentar lagi akan ditinggalkanNya. Kenangan itulah yang memukau jiwa saya setiap kali saya merayakan Ekaristi dan menghayati dalamnya misteri cinta Tuhan. Hati dan jiwa saya tergetar, pada saat proses konsekrasi dimana Imam berdoa mohon rahmat Roh Kudus mengubah hosti dan anggur menjadi Tubuh dan DarahNya, seperti saat Yesus memecahkan roti bersama para murid di malam perjamuan terakhir itu. Kenang-kenangan yang Tuhan berikan adalah TubuhNya dan DarahNya sendiri. Bukan sekedar tanda mata hasil karya tangan dan pikiran, tetapi seluruh keberadaanNya. Dan saat itu, Dia sungguh hadir secara nyata. Lebih lagi, begitu dalam kerendahan hatiNya sehingga sudi hadir dalam rupa roti dan anggur yang bersahaja. Bentuk roti dan anggur untuk dimakan dan diminum itu adalah cara yang luar biasa yang dipilih oleh Tuhan Raja Semesta Alam untuk meninggalkan kenangan. DipilihNya berupa makanan dan minuman, supaya kenangan itu menyatu dengan kita, menjadi bagian dari kita. Dengan memakan Tubuh dan DarahNya melalui konsekrasi, TubuhNya menyatu dengan tubuh saya, dan DarahNya mengalir dalam darah saya. Betapa luar biasa caraNya memberikan saya kenang-kenangan. Saya hanya cukup melihat ke dalam diri saya bila saya merindukanNya, karena kenangan itu akan selalu bersama saya, di dalam saya. Saya tak perlu meringkasnya ke dalam kardus dan membongkarnya lagi di tempat baru, tak perlu khawatir kenangan itu terhilang atau terselip, sehingga tak bisa saya pandangi terus. Karena kenangan dariNya itu akan selalu di dalam saya, bersama saya, menyatu dengan saya, kemanapun saya pergi.

Peristiwa Perjamuan Malam Terakhir para murid bersama Yesus bagi saya adalah sebuah bukti hidup betapa besarnya kasihNya yang tanpa pamrih kepada manusia yang fana dan lemah ini. Ia ingin menjadi sama dengan kita dan mengalami derita sebagai manusia. Bahkan itu belum semua. Melalui penderitaan yang hebat yang Dia jalani dengan sadar dan rela hingga wafat, Ia ingin membuat kita memahami sepenuh jiwa dan raga, bahwa Ia begitu mencintai manusia. Tuhan begitu haus untuk mencintai kita. Nyawa kita begitu berharga bagiNya hingga nyawaNya sendiri tidak dihargaiNya dan tidak disayang-sayang olehNya. Dan malam terakhir sebelum Ia meninggalkan dunia ini, disediakanNya bekal teladan dan kenangan yang abadi yang teramat sangat indahnya bagi masing-masing dari kita, sahabat-sahabatNya. Hati saya menjerit oleh perasaan dicintai yang begitu dalam. Hati saya menjerit, mengingat bahwa saya merasa belum cukup berbuat sesuatu yang berarti untuk membalas cintaNya yang tulus dan dahsyat itu, bahkan lebih sering saya mengacuhkanNya dan menyakitiNya. Dalam hidup dan mati, baik di langit ataupun di bumi manapun, saya tahu saya tak akan pernah menemui sahabat yang begitu penuh cinta kepada saya seperti Dia.

Bekal kenangan itu yang juga akan selalu menyertai setiap tahap perubahan dan perpindahan yang masih akan terus terjadi dalam dinamika kehidupan kita, yang tidak selalu mulus dan manis, yang juga penuh tantangan dan kesukaran. Termasuk ketika perpindahan kita yang terakhir tiba yaitu dari kehidupan yang fana ini kepada perhentian akhir yang kekal bersama Bapa di Surga, di mana Yesus Tuhan telah menyediakan tempat bagi sahabat-sahabatNya yaitu kita semua, dan menantikan kita pulang. Yesus telah mengatakan hal itu kepada kita : “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ. ” (Yoh 14 : 2 – 4)

Kisah-kisah menyenangkan dari perjalanan hidup yang telah berlalu tak akan terulang kembali, hanya kenangan manis yang akan selalu tinggal di hati saya. Namun kenangan terindah dari Tuhan kita Yesus Kristus setiap kali saya menyambut tubuhNya, merenungkan teladan dan wafatNya, menghayati pengorbananNya, dan menyambut kebangkitanNya dari alam maut, akan senantiasa bersama saya dan kita semua, tanpa mengenal batas waktu, jarak, tempat, dan keadaan …….melampaui maut dan kehidupan.

Epilog

Yesus, Guru dan Sahabatku, seluruh hidupku tak akan pernah cukup untuk menyatakan cinta dan terimakasihku kepadaMu. Setiap buah pikiran, perbuatan, dan tindakanku seumur hidupku, tak akan pernah memadai untuk membalas semua cinta dan pengorbananMu. Tapi aku tahu bahwa CintaMu cukup untuk mengatasi semua keterbatasanku, aku tahu CintaMu mampu mengatasi ketidakberdayaanku. Terimakasih Yesusku, untuk CintaMu yang tak akan pernah mampu kuselami, biarlah aku hidup oleh karena Cinta itu. Biarlah dengan terus menghidupi dan menghayati CintaMu, hidupku boleh berubah. Berubah dari orientasi untuk diriku sendiri, menuju hidup demi Cinta. Menjadi karenaMu, untukMu, dan hanya untukMu. Bukan karena Engkau menghendaki aku berubah, karena Engkau selalu mencintaiku apa adanya, dan mencintaiku sejak sangat awal, hingga kekal. Aku rindu untuk berubah, karena aku mencintaiMu, dan hanya itu yang dapat aku lakukan untuk membalas CintaMu, walau itu tak akan pernah terasa cukup bagiku. Dan di akhir nafasku, ijinkan aku sekedar berbisik, “ Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja” . Karena hanya bersamaMu, aku bahagia, dan hanya didalamMu, aku sungguh-sungguh hidup.

Uti

Houston, 27 Maret 2010

-Kisah ini terinspirasi oleh homili bertahun-tahun yang lalu yang dibawakan seorang Imam dari Surabaya (ordo CM), yang memberi kotbah indah di misa Kamis Putih di Gereja Misericordia, Jalan Jayagiri, Malang, Jawa Timur. Sayang sekali saya lupa nama Imam tersebut karena peristiwanya sudah sangat lama berlalu. Karena indahnya isi homili itu, walau kami semua lupa nama Imam itu, kotbahnya melekat dalam sanubari saya dan keluarga hingga hari ini.-

Tentang surat kepada Timotius

5

Pertanyaan:

Bisa tolong jelaskan 1 Timotius 3:15
kenapa jemaat dari Allah yg hidup (Gereja) adalah tiang penopang dan dasar kebenaran?

apakah jika terjadi perselisihan diantara anggota Gereja, kita harus bermusyawarah(konsili?)? yg nantinya hasil dari musyawarah yg digunakan(ditetapkan?) sebagai kebenaran?

Bisa tolong jelaskan surat 1 Timotius secara keseluruhan?

Kenapa Paulus menulis surat itu?
Kenapa Paulus mengatakan “Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran.”

kok rasanya tidak nyambung dengan sebelum-sebelumnya. Sebelumnya Paulus mengatakan “syarat-syarat” orang yg mau Pelayanan. Trs kok tiba-tiba mengatakan seperti itu.

Alexander

Jawaban:

Shalom Alexander,

Untuk memahami 1 Tim 3:15 tentang ajaran Rasul Paulus agar orang mengacu kepada Gereja sebagai tiang penopang kebenaran, kita perlu melihat kepada latar belakang penulisan surat kepada Timotius secara keseluruhan. Berikut ini saya sarikan dari keterangan the Navarre Bible:

1. Kita mengetahui Timotius adalah anak rohani dari Rasul Paulus (lih. Flp 2:22). Timotius ini telah mengikuti Paulus dan bekerja bersamanya pada saat Rasul Paulus mendirikan dasar bagi Gereja- gereja di Filipi dan Tesalonika (Kis 16:12). Ia di Berea (Kis 17:14), lalu dikirim Rasul Paulus ke Tesalonika (1 Tes 3:2), kemudian ke Korintus (Kis 18:5), dan mendampingi Rasul Paulus dalam perjalanannya yang ke tiga, mengunjungi Efesus (Kis 19:22) dan Makedonia (1 Kor 4:17; 16:20; 2 Kor 1:1), Asia Kecil (Kis 20:4), bersama dengan Rasul Palulus pada saat ia dipenjara (Kol 1:1; Flp 1:1; 2:19). Akhirnya dalam perjalanan terakhir Rasul Paulus ke Timur Tengah, ia menugaskan Timotius untuk memimpin Gereja Efesus. Timotius masih muda sewaktu dipercayakan tugas tersebut (1 Tim 4:12, 2 Tim 2:22).

Dari Kisah Para rasul, kita mengetahui bahwa Rasul Paulus berada di Efesus pada sekitar tahun 52, di akhir perjalanannya yang ke-2 (lih. Kis 18: 19-21) dan ia kemudian tinggal di Efesus selama dua tahun pada awal perjalanannya yang ke-3 (lih. Kis 19:1, 8-10). Rasul Paulus menghadapi kesulitan, dan kemudian harus meninggalkan Efesus karena kerusuhan yang dipelopori oleh Demetrius, seorang tukang perak (lih. Kis 19:23-40). Namun kunjungan Rasul Paulus itu telah menghasilkan perkembangan komunitas Kristiani di Efesus, sebuah kota yang penting di Asia Kecil.

Gereja Efesus adalah Gereja yang cukup baik, namun juga mengalami kesulitan dan tantangan yang dihadapi oleh sebuah Gereja awal. Tantangan ini ditimbulkan oleh pengaruh lingkungan kota pagan, adanya banyak guru yang mengajar berbagai ajaran, dan juga kebiasaan- kebiasaan hidup yang tidak cocok dengan ajaran Kristiani; ini semua mengancam stabilitas Gereja yang muda ini. Seperti halnya Titus dipercayakan jemaat di Kreta, Timotius dipercaya di Efesus untuk mengajarkan agar umat memegang ajaran yang benar dan untuk mendorong umat Kristen agar hidup sesuai dengan ajaran Kristiani. Ia harus memelihara “apa yang telah dipercayakan kepadamu” (1 Tim 6:20) yaitu sumber iman, dan mengabdikan diri untuk mengajar umat beriman (1 Tim 6:16), dan yakin bahwa Gereja adalah tiang penopang dan dasar kebenaran (1 Tim 3:15). Maka, ajaran sesat harus ditolak, demikian pula para pengajarnya (1 Tim 1:3). Timotius harus menjalankan otoritasnya, namun juga hidupnya harus menjadi panutan bagi sekalian umat (1 Tim 6:11) dan meletakkan kepercayaannya di dalam kerahiman ilahi. Para pelayan Tuhan harus menjadi teladan umat dalam “perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni.” (1 Tim 1:18).

Timotius juga diberi tugas untuk administrasi Gereja, memilih diakon yang benar (1 Tim 3:10) dan tidak tergesa- gesa menahbiskan seseorang (1 Tim 5:22). Surat Rasul Paulus juga menuliskan syarat- syarat bagi imam, diakon, janda (1 Tim 3:1-7; 3:8-13; 5:9-15).

2. Maka secara umum surat Timotius berkaitan dengan 4 hal:

a) Timotius bertugas untuk membela kebenaran dan mempertahankannya dari serangan ajaran sesat tentang “dongeng dan silsilah yang tidak putus-putusnya” (1:3-20);
b) Cara penyembahan harus ditetapkan: doa bersama, khotbah, tingkah laku dalam perayaan liturgis (2:1-15);
c) Tugas- tugas pemimpin Gereja, dan kualitas yang disyaratkan bagi seorang uskup dan diakon;
d) Peraturan pastoral tentang bagaimana menghadapi guru- guru yang sesat (3:1-16), bagaimana bertindak menangani kelompok- kelompok umat beriman (5:1- 6:2); dan bagaimana untuk membedakan guru yang baik dan guru yang jahat/ sesat (6:3-19).

3. Jadi ayat 1 Tim 3:15 harus dilihat dalam kaitan dengan ayat- ayat sebelum dan sesudahnya di mana Gereja/ jemaat Allah yang hidup ini dipimpin oleh para uskup dan diakon, dan merekalah yang akan memimpin umat beriman untuk menghindari ajaran sesat yang berkembang pada saat itu.

1 Tim 3:15 menyebutkan 3 hal dalam hal ekklesiologi:

a) “Gereja/ jemaat Allah yang hidup”.
Rasul Paulus menggunakan istilah jemaat Allah yang hidup ini untuk menerangkan bahwa Gereja adalah umat Allah yang merupakan kelanjutan dari bangsa pilihan Allah dalam Perjanjian Lama.

b) Gereja adalah “keluarga Allah”
Keluarga adalah ciri khas Gereja. Rasul Paulus mengajarkan bahwa kita adalah “kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah” (Ef 2:19). Maka keluarga haruslah menjadi ide dasar ikatan hubungan antara para anggota Gereja; yang dipersatukan oleh kehendak Allah, sebuah tempat kehadiran Allah yang lebih penuh daripada kehadiran-Nya di bait Yerusalem (lih. 1 Raj 8:12-64). Keluarga Allah ini dibangun oleh batu- batu yang hidup (1 Pet 2:5) dengan fondasinya adalah para rasul (1 Kor 3:11) dan Kristus sebagai batu penjuru (Mat 21:42).

c) Gereja sebagai “tiang penopang dan tonggak kebenaran”
Tonggak ini mengingatkan kepada tiang penopang pada bait Allah di Yerusalem (lih. 1 Raj 7:15-52). Ekspresi ini menggambarkan kekuatan/ kekokohan Gereja dalam menjaga dan menyampaikan kebenaran; sebab Wahyu Allah harus dijaga dan dijelaskan/ diinterpretasikan. Maka, kebenaran di sini maksudnya adalah Wahyu Allah yang disampaikan kepada manusia.

4. Jadi untuk menjawab pertanyaan anda:

Mengapa Gereja adalah tiang penopang dan dasar kebenaran? Sebab Kristus sendiri telah mendirikan Gereja-Nya di atas pondasi yaitu para rasul, sehingga Gereja yang setia berpegang pada ajaran para rasul tersebut merupakan tiang penopang dan dasar kebenaran Wahyu Allah yang disampaikan kepada manusia. Sebab Yesus telah mempercayakan wewenang pengajaran wahyu tersebut kepada para rasul-Nya, yang diteruskan oleh para penggantinya, dengan persyaratan yang telah disebutkan dalam surat kepada Timotius.

Jadi jika terjadi perselisihan/ perbedaan pendapat, (dalam hal ini adalah pertentangan karena adanya ajaran sesat) maka bukan musyawarah yang menentukan, tetapi sumber pengajaran para rasul yang harus diteliti untuk mencari jalan keluarnya. Bahwa umumnya penegasan ajaran para rasul ini dijabarkan dalam Konsili itu benar, tetapi Konsili bukan semata- mata kesempatan bermusyawarah, tetapi adalah kesempatan untuk kembali menegaskan keputusan ajaran sesuai dengan sumber iman yang diajarkan oleh para rasul dan Bapa Gereja. Inilah sebabnya mengapa Rasul Paulus mengatakan bahwa yang menjadi tonggak penopang dan dasar kebenaran adalah Gereja, karena Gereja yang berpegang pada pengajaran para rasul inilah yang dapat menjaga kemurnian Wahyu Allah.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Stipendium dan Iura Stolae

37

Pengantar

Tema bulan Liturgi Nasional 2007 adalah Liturgi dan Ekonomi. Sebuah tema yang menarik dan menantang untuk didiskusikan. Apa hubungannya Liturgi sebagai perayaan umat beriman kepada Allah dengan urusan uang, harta benda singkatnya ekonomi yang lebih menyangkut urusan keduniawian? Salah satu kaitan antara liturgi dan ekonomi adalah persoalan stips (stipendium) dan iura stolae dalam perayaan misa. Pertanyaan kadang muncul perihal stips dan iura stolae seperti, mengapa umat harus memberi stips atau iura stolae? Kemana uang yang diberikan umat ketika Imam merayakan ibadat ilahi dan diberi stips atau iura stolae? Mengapa umat harus memberi derma sebagai balas jasa kepada imam yang merayakan peribadatan ilahi? Apa hubungannya liturgi sebagai perayaan iman umat kepada Allah dengan uang (ekonomi) dalam hal ini stips dan iura stolae? Agar kita memiliki pemahaman yang benar tentang hal itu berikut penjelasannya dari sudut hukum gereja dan semoga bermanfaat.

Pengertian Stips dan Iura Stolae

Istilah yang lazim digunakan dalam kodeks (KHK, 1983) yang dimaksudkan dengan stips (stipendium) adalah: sumbangan suka rela umat beriman dalam bentuk uang kepada seorang imam dengan permintaan agar dirayakan satu atau sejumlah Misa untuk ujud/intensi dari penderma. Stips merupakan balas jasa dari penghargaan suka rela bagi sang imam yang telah melayani suatu kebutuhan umat beriman. Tapi bukan kewajiban umat dan imam pun tidak berhak menuntut.

Sedangkan Iura stolae adalah: sumbangan umat beriman kepada seorang imam yang melaksanakan perayaan sakramen (misalnya: baptis, perkawinan) atau melakukan suatu pelayanan pastoral lainnya seperti pemberkatan rumah. Namun karena sudah “salah kaprah” kedua pengertian tersebut disamakan saja, sehingga istilah tersebut juga lazim disebut stipendium. Perlu diperjelas lagi bagi kita pemahaman tentang stipendium maupun iura stolae adalah berbeda dengan persembahan (oblationes) dan derma (alms. donation), kolekte (collection).

Persembahan (oblationes) adalah pemberiaan suka rela dari umat beriman kepada Allah dalam perayaan peribadatan ilahi dalam bentuk natura (roti, anggur, beras, makanan, dll.) maupun dalam bentuk uang. Pemberian dalam bentuk uang yang dikumpulkan disebut kolekte. Maka kalau ada umat yang mengumpulkan sewaktu perayaan atau yang meletakkan uang dalam amplop di atas meja altar dengan tidak menyebut intensinya itu bukan iura stolae, atau stipendium melainkan kolekte persembahan yang harus dipakai untuk kepentingan Gereja atau paroki. Karena itu, imam tidak berhak mengambilnya untuk kepentingan pribadi.

Makna stips Misa

Sejarah kebiasaan memberi stipendium pada perayaan Misa sudah lama dipraktekan dalam Gereja, bahkan usianya sejak kehidupan Gereja itu sendiri. Meskipun nama dan penafsirannya berubah-ubah selaras dengan perkembangan jaman, tetapi intinya tetap sama yakni bahwa stipendium Misa adalah persembahan dari umat sebagai ungkapan pemberian diri umat kepada Gereja.

Menelusuri makna stipendium, baik KHK tahun 1917 dan KHK tahun 1983 menggunakan kata yang sama meskipun konteksnya berbeda. Dalam kodeks KHK 1917, berbicara tentang stipendium diberi judul: de oblate ad Missae celebrationem stipe, sedangkan kodeks KHK 1983 dengan judul lebih singkat stipendium Missae. Kata stipendium dalam KHK 1917, berasal dari kata Latin stips (stipis) yang berarti derma, sedekah, gaji, dan dari kata pendare berarti membayar derma atau gaji. Berbeda dengan KHK 1983, kata stips digabungkan dengan kata kerja offere yang berarti menghaturkan, memberi, mempersembahkan. Paduan kata stips dan offere berarti memberi derma. Dengan demikian makna kata stipendium dalam kodeks 1983 mempunyai arti baru lebih bernuansa rohani/spiritual bila dibandingkan dengan kodeks yang lama.

Aturan kodeks tentang stipendium dan iura stolae

Kitab Hukum Kanonik menegaskan perihal stipendium sebagai suatu kebiasaan/tradisi yang teruji dan merayakan misa sesuai dengan intensi/maksud tertentu dari penderma. Kanon 945, § 1: “Sesuai dengan kebiasaan Gereja yang teruji, imam yang merayakan Misa atau berkonselebrasi boleh menerima stips yang dipersembahkan agar mengaplikasikan Misa untuk intensi tertentu”. Jelas di sini nampak unsur kewajiban dari imam untuk merayakan misa sesuai dengan intensinya. Imam tidak boleh tidak merayakan misa tanpa intensi yang dituntun sesuai dengan maksud dari penderma. Namun demikian imam janganlah memiliki semangat untuk mencari stipendium sampai melupakan tugas pelayanan kepada umat. Demikian juga imam hendaknya melayani semua orang dalam merayakan ekaristi meskipun tanpa stips (stipendium). Hal itu ditegaskan dalam kanon 945, § 2: “Sangat dianjurkan agar para imam merayakan misa untuk intensi umat beriman kristiani, terutama yang miskin, juga tanpa menerima stips”. Kerap kita mendengar keluhan umat bahwa ada imam yang tidak rela melayani umat tertentu karena secara ekonomis kelihatan tidak mampu memberi stipendium. Hal ini sangat bertentangan dengan semangat hidup seorang imam yang dipanggil oleh Tuhan menjadi imam untuk melayani umat-Nya.

Kitab hukum kanonik juga menyatakan larangan imam menuntut umatnya dalam hal stipendium dalam pelayanan kepada umat secara tegas dinyatakan dalam kan. 848: “Pelayan sakramen tidak boleh menuntut apa-apa bagi pelayanannya selain persembahan (oblationes) yang telah ditetapkan oleh otoritas yang berwenang, tetapi selalu harus dijaga agar orang yang miskin jangan sampai tidak mendapat bantuan sakramen-sakramen karena kemiskinannya”.

Tujuan orang memberi derma dalam bentuk stipendium adalah bagi kesejahteraan Gereja dan penghidupan para pelayannya. Selain itu, umat diajak untuk bertanggungjawab secara ekonomis atas perkembangan hidup Gereja dan para pelayanannya. Kanon 946 menyatakan: “Umat beriman kristiani, dengan menghaturkan stips agar misa diaplikasikan bagi intensinya, membantu kesejahteraan Gereja dan dengan persembahan itu berpartisipasi dalam usaha Gereja mendukung para pelayan dan karyanya”.

Norma-norma dasar

1. Menjauhkan segala bentuk perdagangan stipendium misa

Tidak jarang penerimaan stips atau iura stolae disalahgunakan oleh imam untuk diperdagangkan. Maka kodeks melarang tindakan imam yang dengan sengaja melakukan perdagangan Misa untuk mencari stips. Dengan kata lain imam itu kemana-mana merayakan Misa untuk mendapatkan uang. Pelarangan tersebut didasarkan pada kanon 947 menegaskan: “Hendaknya dijauhkan sama sekali segala kesan perdagangan atau jual beli stips Misa”. Dengan pernyataan itu kodeks mau menegaskan bahwa umat beriman agar tetap menaruh hormat pada ekaristi sebagai tindakan ilahi dan memandangnya sebagai hadiah cuma-cuma dari Allah. Apa yang diberikan secara cuma-cuma hendaknya dikembalikan dengan cuma-cuma. Dengan demikian derma atau stips misa harus dianggap sebagai persembahan bebas dari umat beriman.

Perdagangan stipendium misa bisa diartikan dalam berbagai tindakan seperti:

merayakan misa kalau ada stipendium,
menghimpun sekian banyak stipendium dalam satu misa,
menugaskan imam lain mengaplikasikan misa bagi stipendium di bawah standar tertentu,
menolak permintaan orang miskin yang tidak bisa memberikan stipendium.

Sehubungan dengan permohonan misa tanpa stipendium oleh orang miskin, imam hendaknya memperhatikan isi kodeks kanon 945, § 2 yang menetapkan: “Sangat dianjurkan agar para imam merayakan misa untuk intensi umat beriman kristiani terutama orang miskin, juga tanpa stips”.

2. Jumlah misa dan stipendium

Untuk memahami norma tentang jumlah misa dan stipendium maka kita merujuk pada kanon 948 yang menyatakan: “Jika untuk masing-masing intensi telah dipersembahkan dan diterima stips, meksipun kecil, maka misa harus diaplikasikan masing-masing untuk intensi mereka”.

Kanon ini merupakan prinsip dasar bahwa jumlah misa yang dipersembahkan harus selaras dengan jumlah stipendium yang diterima. Norma kanon tersebut tidak mengijinkan akumulasi banyak persembahan dan melarang setiap imam menitipkan satu intensi lain. Sebagai contoh: penderma memberikan uang Rp. 100.000,- untuk 10 kali misa maka misa dengan ujud itu harus dipersembahkan sesuai dengan permintaan yakni misa sebanyak 10 kali. Setiap hari minggu imam (Pastor Paroki) wajib mempersebahkan misa pro popolo (misa untuk umat di Paroki). Pada saat itu tanpa alasan yang jelas imam tersebut tidak boleh mengaplikasikan intensi misa yang kedua dan ketiga.

3. Kewajiban mengaplikasikan misa

Kan 949, KHK 1983 menyatakan bahwa : “Yang terbebani kewajiban merayakan misa dan menghaplikasikannya bagi intensi mereka yang telah memberikan stips tetap terikat kewajiban itu meskipun tanpa kesalahannya stips yang di terima itu hilang”. Kanon ini menggarsibawahi kewajiban seorang imam merayakan misa kalau dia belum mengaplikasikan misa bagi stipendium yang telah diterima. Jika stipendium itu hilang karena kecurian atau kebakaran maka imam tetap terikat kewajiban mengaplikasikan Misa. Sedangkan imam yang berada dalam kesulitan fisik dan moril memenuhi kewajiban tersebut, hendaknya mengirimkan seluruh stipendium kepada rekan imam lain untuk merayakan misa, atau kepada Ordinaris setempat yang bisa mengaplikasikan bagi ujud tersebut. Seorang imam yang telah menerima pesan misa tidak diperkenankan mengembalikan uang stips kepada pendermanya. Dia harus mengaplikasikan misa bagi ujud dari penderma itu.

4. Penentuan jumlah misa

Kodeks menetapkan tentang penentuan jumlah misa dalam kanon 950: “Jika sejumlah uang dipersembahkan untuk aplikasi misa tanpa disebut jumlah misa yang harus dirayakan, jumlah ini diperhitungkan menurut ketentuan hal stips di tempat, dimana pemberi persembahan bertempat tinggal, kecuali maskudnya harus diandaikan lain secara legitim”. Sebagai prinsip dasar jumlah misa yang dirayakan mengikuti ketentuan stipendium dari keuskupan setempat dimana imam berkarya (misalnya Keuskupan Denpasar menetapkan 1 kali misa stips sebesar Rp. 20.000,-).

5. Stipendium yang dapat menjadi milik imam

Larangan untuk mengambil stips misa lebih dari satu setiap hari adalah suatu disiplin tua yang bertujuan mencegah setiap bentuk kerakusan klerikal. Tentang hal itu kodeks menentukan norma sebagai berikut:

Kanon 951 § 1: “Imam yang pada hari yang sama merayakan beberapa misa, dapat mengaplikasikan setiap misa bagi intensi untuk stips dipersembahkan, tetapi dengan ketentuan bahwa kecuali pada hari raya Natal, hanya satu stips. Misa boleh menjadi miliknya sedang yang lain diperuntukkan bagi tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh Ordinaris, dengan tetap dizinkan sekadar retribusi atas dasar ekstrinsik.

§ 2: Imam yang pada hari yang sama berkonselebrasi misa kedua, tidak boleh menerima stips untuk itu atas dasar apapun”.

Dari pernyataan di atas kan 951, § 1, menunjukkan bahwa:

seorang imam karena tuntutan pastoral dalam sehari dapat merayakan lenih dari satu misa untuk intensi/ujud yang berbeda, namun hanya satu stips yang boleh menjadi miliknya. Sedangkan yang lainnya harus dengan jujur diserahkan untuk kepentingan gereja lainnya misalnya kepentingan seminari, karya karitatif, DHT dll.

jika pada hari raya Natal seorang imam merayakan tiga misa dengan tiga ujud yang berbeda maka ketiga stips tersebut menjadi miliknya.

Sedangkan pada kan 951, § 2 : melarang imam menerima stips kalau pada hari yang sama dia ikut konselebrasi misa kedua. Pernyataan ini mengandung dua konsekuensi:

Seorang imam dizinkan menerima stips kalau misa konselebrasi itu adalah satu-satunya misa yang dirayakan pada hari itu. Ia tidak berhak menerima stips kalau ia ikut konselebrasi lagi pada misa berikutnya.

Kalau pada misa konselebrasi seorang imam menjadi konselebran utama dan kemudian pada hari yang sama dia merayakan satu kali misa lagi, maka imam tersebut boleh menerima stips untuk setiap misa kendati cuma satu stips untuk dirinya dan yang lain dipergunakan untuk maksud yang ditetapkan oleh Ordinaris. Contoh: Imam A pada hari yang sama mengaplikasikan dua/tiga misa untuk ujud yang berbeda. Maka imam A hanya berhak mendapat satu stips, sedangkan yang lainnya diperuntukkan bagi kepentingan paroki atau seturut petunjuk Ordinaris setempat.

Norma-norma yang melengkapi

1. Siapa yang berwenang menentukan jumlah stips?

Kanon 952,

§ 1: Konsili provinsi atau pertemuan para uskup se-provinsi berwenang menentukan lewat dekret bagi seluruh provinsi, besarnya stips yang harus dipersembahkan untuk perayaan dan aplikasi misa dan imam tidak boleh menuntut jumlah yang lebih besar; tetapi ia boleh menerima stips lebih besar yang dipersembahkan secara sukarela dari pada yang ditetapkan untuk aplikasi misa, juga stips yang lebih kecil.

§ 2: Jika tidak ada dekret semacam itu, hendaknya ditaati kebiasaan yang berlaku di keuskupan.

§ 3: Jika anggota-anggota tarekat religius manapun harus taat pada dekret tersebut atau kebiasaan setempat yang disebut dalam § 1 dan § 2.

Apa maksud dari kanon ini? Kanon 952 menetapkan tiga hal berikut ini:

Otoritas yang berkompeten menentukan jumlah stips misa adalah para uskup dalam satu provinsi gerejawi. Mereka menetapkan hal itu dalam pertemuan para uskup (konsili provinsi atau pertemuan pastoral). Hasil pertemuan itu dikeluarkan dalam bentuk dekret yang bersifat bagi semua keuskupan dan provinsi tersebut,

Apabila penetapan bersama itu tidak ada, maka Uskup diosesan berwenang membuat ketetapan sendiri yang hanya mengikat warga keuskupannya dan para imam hendaknya mentaati ketetapan itu,

Para imam tidak diperkenankan meminta jumlah stips yang lebih besar dari ketetapan umum dan menolak menerima stips yang jumlahnya kecil.

Namun mereka tidak dilarang menerima stips yang jumlahnya lebih besar yang diberikan secara spontan dan sukarela. Dalam situasi pastoral tertentu dan luar biasa, pastor paroki bisa menetapkan jumlah stips yang lebih besar, tetapi sangat jarang karena harus dikonsultasikan dengan Uskup dan umat terkait.

2. Tidak mampu menyelesaikan kewajiban misa dan norma mengalihkannya kepada orang lain

Perihal ketidakmampuan seorang imam menyelesaikan sejumlah intensi misa yang harus dirayakan dalam setahun, kodeks memberikan rambu-rambu normatif sebagaimana tertulis dalam kanon 953: “Tak seorang pun boleh menerima sekian banyak stips Misa untuk diaplikasikan sendiri, yang tidak dapat ia selesaikan dalam satu tahun”. Demikian juga kodeks memberikan norma pelengkap dalam hal mengalihakan kewajibannya kepada imam lain. Jalan keluar bagi imam yang tidak mampu memenuhi kewajibannya maka ada dua kemungkinan yang dapat ditempuh. Pertama, dia tidak boleh menerima stips baru sampai beban misa setahun belum terpenuhi. Kedua, imam bersangkutan boleh mentransfer seluruh stips kepada imam lain yang dikenal dan dipercaya (bdk. Kan. 955, § 1: “Yang bermaksud menyerahkannya kepada orang lain perayaan misa yang harus diaplikasikan, hendaknya segera menyerahkannya kepada imam-imam yang dapat diterimanya, asal ia merasa pasti bahwa mereka itu dapat dipercaya; seluruh stips yang telah diterima harus diserahkan, kecuali nyata dengan pasti bahwa kelebihan diatas jumlah uang yang ditetapkan dalam keuskupan itu diberikan atas dasar pribadinya; ia juga wajib mengusahakan perayaan misa-misa itu sampai ia menerima kesaksian mengenai kesanggupan serta stips yang sudah diterima”). Kalau imam tersebut berhalangan maka beban misa harus diserahkan kepada Ordinaris (bdk. Kan. 956).

3. Tempat dan waktu perayaan

Kanon 954, memberi norma pelengkap tentang tempat dan waktu perayaan. Prinsip dasarnya adalah setiap imam harus menghormati keinginan penderma. Jika penderma tidak menentukan tempat perayaan maka imam yang menerima stips bisa mengaplikasikan misa di Gereja atau tempat ibadat yang disukainya.

4. Waktu perayaan

Perihal waktu mengaplikasikan misa, menurut kanon 955, § 2 harus dihitung dari hari menerima stips. Jadi misa harus dipersembahkan dihitung sejak hari imam menerima kesanggupan akan mempersembahkannya. Menurut kanon 202, § 1 yang dimaksud dengan hari dimengerti sebagai jangka waktu yang terdiri dari duapuluh empat jam dihitung terus menerus mulai dari tengah malam kecuali dengan jelas ditentukan lain.

Penutup

Uang sangat dibutuhkan oleh kita semua termasuk Gereja, karena dengan memiliki uang kegiatan dapat berjalan dan sarana pendukung dapat terbangun bagi kelancaran karya pastoral. Tapi uang juga dapat menimbulkan konflik, jika tidak diatur dengan baik. Maka hal pengaturan uang menyangkut stips (stipendium) dan iura stolae dalam hubungannya dengan liturgi, telah diatur dalam kitab hukum kanonik 1983, dengan tujuan tidak terjadi penyalahgunaan dan demi kebaikan publik. Untuk itu wajib bagi seorang imam jika menerima sejumlah stips dari penderma: membuat catatan pribadi, hendaknya di setiap paroki tersedia buku stipendium paroki dan pihak otoritas yang berwenang (Ordinaris) mengawasi beban misa yang telah dilaksanakan (bdk. Kan. 958, § 2) dengan memeriksa buku tersebut. Semoga tulisan sederhana ini memperluas wawasan dan pengetahuan kita tentang stips dan iura stoale dalam kaitannya dengan liturgi ekaristi (misa).

Sumber bacaan:

Seri Kuria keuskupan Denpasar, Apakah pastor tukang nagih stipendium misa? No. 13/Nop. 2005.

CODEX IURUS CANONICI, Pii V Pontificis Maximi iussu digestus, Benedicti Papae XV Actoritate Pomulgatus, Romae, Typis Polyglottis Vaticanis, 1917, AAS, 9 (1917-II), 5-5521.

CODEX IURUS CANONICI, Auctoritate Ioannis Pauli PP. II promulgatus, AAS, 75 (1983-II), 1-318.

Nuovo Dizionario di Diritto Canonico, a Cura di Carlos Salvador, Velasio De Paolis, Gianfranco Ghirlanda, Edizione San Paolo, Torino 1993.

Serba-serbi katekis

10

Pertanyaan:

Shalom..
Pak Stef dan bu Ingrid

Saya ingin menanyakan apakah arti “Katekis” sesuai ke imanan Katoliki?
Bagaimana disebut seorang Katekis yang baik ?
Menurut pengertian awam apakah mempunyai target sasaran dan syarat yang harus di capai?.
Akakah hubungannya seorang Ketekis di dalam membangun iman sesama umat Katolik?

Saya mohon maaf, karena keterbatasan saya akan pengertian arti Katekis, sehingga pertannyaan2 saya agak membingungkan.
Terima kasih.

Salam.
Felix Sugiharto

Jawaban:

Shalom Felix Sugiharto,

Terima kasih atas pertanyaannya tentang katekis. Untuk mengerti tentang katekis, mungkin dokumen yang dapat menerangkan hal ini secara panjang lebar adalah: Congregation for the evangelization of the Peoples, Guide for Catechists, yang dapat dilihat di sini (silakan klik). Dokumen ini mencakup pembahasan: 1) identitas dari katekis, 2) proses seleksi katekis, 3) formasi dan spiritualitas, 4) dasar-dasar tugas kerasulan, 5) situasi ekonomi.

1) Di dokumen tersebut dijelaskan “The catechist is a lay person specially appointed by the Church, in accordance with local needs, to make Christ known, loved and followed by those who do not yet know Him and by the faithful themselves”.” (par. 3)

a) Dari definisi ini, maka dalam konteks katekis awam, dia ditunjuk oleh Gereja Katolik lokal (baik di tingkat keuskupan maupun tingkat paroki). Secara prinsip seorang katekis harus memberitakan Kristus, sehingga orang dapat mengetahui dan mengasihi Kristus, sehingga pada akhirnya dapat mengikuti Kristus dengan setia.

b) Katekis dapat diartikan secara khusus maupun dalam kerasulan. Secara khusus, seorang katekis mempersiapkan calon baptis untuk mengerti pokok-pokok iman Katolik dan mengantar calon baptis sampai pada Sakramen Baptis. Secara kerasulan, seorang katekis juga bekerjasama dan membantu pastor untuk membangun gereja dan mengembangkan evengelisasi dalam cakupan yang lebih luas.

2) Di dokumen tersebut juga diterangkan spiritualitas yang harus dipunyai oleh seorang katekis, yang tergantung dari panggilan hidupnya, yang secara prinsip harus: 1) terbuka terhadap Sabda Allah, kepada Gereja, kepada dunia, 2) mempunyai kehidupan yang baik, 3) mempunyai semangat misionari, 5) devosi kepada Bunda Maria.

a) Karena seorang katekis harus mengkomunikasikan Sabda Allah, maka dia sendiri harus mengerti dan mendalami Sabda Allah, yang telah diberitakan oleh Gereja, dirayakan dalam Liturgi, dan dijalankan dalam kehidupan para santa-santo.

b) Dengan demikian seorang katekis harus mempunyai ekklesiologi yang baik, sehingga dia dapat memberitakan Kristus, yang senantiasa menjadi Kepala dari Tubuh Mistik-Nya, yaitu Gereja Katolik. Seorang katekis harus mengasihi Gereja-Nya, karena Kristuslah yang terlebih dahulu mengasihi-Nya – karena Gereja adalah Tubuh Mistik Kristus dan mempelai Kristus.

c) Untuk memberitakan Kristus kepada dunia, seorang katekis harus mempunyai keterbukaan terhadap dunia, sehingga dia dapat memberitakan Kristus dengan baik. Dengan keterbukaan ini, dia dapat melihat kebutuhan dunia, dan dapat mewartakan Kristus secara lebih efektif. Inilah sebabnya dibutuhkan katekis lokal, yang dapat masuk dalam komunitas karena dia mengerti bahasa lokal yang digunakan, mengerti budaya setempat, dll.

d) Namun, pemberitaan yang paling efektif adalah dengan hidup sesuai dengan apa yang dipercayai dan diberitakan. Oleh karena itu, kehidupan otentik dari sang katekis harus mencerminkan kekudusan, baik dalam kehidupan berkeluarga, maupun sebagai imam, atau sebagai anggota religius.

e) Mengikuti jejak Kristus yang senantiasa memberitakan Injil kemana-mana, maka seorang katekis haruslah mempunyai semangat misionaris. Kristus mengatakan “Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kandang ini; domba-domba itu harus Kutuntun juga dan mereka akan mendengarkan suara-Ku dan mereka akan menjadi satu kawanan dengan satu gembala.” (Yoh 10:16). Oleh karena itu, seorang katekis harus mempunyai jiwa misionaris yang juga merindukan semua orang untuk datang kepada Kristus dan menjalankan amanat agung di Mt 28:19-20, yang mengatakan “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” Dari amanat ini, maka seorang katekis harus memberitakan seluruh kebenaran, bukan saja tentang kebangkitan Kristus, namun juga Kristus yang tersalib. Rasul Paulus menegaskan hal ini dengan mengatakan bahwa dia memberitakan Kristus yang disalibkan (lih. 1 Kor 1:23).

f) Maria dilihat sebagai ibu dan model sebagai katekis. Oleh karena itu, seorang katekis harus mempunyai devosi kepada Bunda Maria.

3) Dari pemaparan di atas, maka jelas terlihat bahwa peran seorang katekis sangat penting dalam turut serta membangun Gereja, terutama dalam misi evangelisasi, yang tentu saja membantu perkembangan iman dari umat. Tentang perbedaan antara evangelisasi dan katekese dapat dilihat di sini (silakan klik). Semoga dapat membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

Arti mencari Tuhan

5

Pertanyaan:

Salam damai sejahtera

Dear pengasuh Katolisitas

APA ARTINYA MENCARI TUHAN ?

Amos 5 : 4 Sebab beginilah Firman Tuhan kepada kaum Israel : Carilah AKU, maka kamu akan hidup (juga ayat 6).

Begitu sederhana dan indah janji Tuhan, tetapi apakah ini bisa betul-betul nyata dalam hidup kita ?

APA ARTINYA MENCARI TUHAN ?

Salam
Mac.

Jawaban:

Shalom Machmud,

Benar, sebagai umat beriman, tentu penting kita ketahui artinya mencari Tuhan, sebab memang hidup kita di dunia ini adalah suatu perjalanan iman untuk ‘mencari-Nya’ dan segala kehendak-Nya.

Mengapa kita mencari Tuhan?

Kita mencari Tuhan, pertama- tama karena kita mengetahui bahwa itulah kehendak Tuhan bagi kita yang dinyatakan dalam firman-Nya, yaitu agar kita memperoleh hidup di dalam-Nya:

Hatiku mengikuti firman-Mu: “Carilah wajah-Ku”; maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN. (Mzm 27:8)

Sebab beginilah firman TUHAN kepada kaum Israel: “Carilah Aku, maka kamu akan hidup!” (Am 4:5)

Apa artinya mencari Tuhan?

Dari ayat- ayat di atas, kita mengetahui bahwa Allah memerintahkan kita untuk mencari Dia dan mencari wajah-Nya. Selanjutnya kita bertanya apa artinya mencari Allah? Kristus mengajarkan kepada kita, “Aku adalah jalan, kebenaran, dan hidup’ dan tidak seorangpun sampai kepada Allah Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh 14:6) Dengan demikian, kita mencari Allah dengan mencari Kristus. Kristuslah gambaran Allah yang tidak kelihatan (lih. Kol 1:15), sehingga dengan melihat kepada Yesus dan segala ajaran-Nya, kita dapat mengenal Allah.

Kristus adalah Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), sehingga untuk mencari Kristus, kita dapat memulai dengan membaca Sabda Tuhan dan merenungkan-Nya. Namun kita tidak boleh berhenti pada ‘menyelidiki Kitab Suci’ saja tanpa mau datang kepada Yesus sendiri sebagai sumber hidup itu. Yesus pernah mengajar demikian,

“Kamu menyelidiki Kitab-kitab Suci, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab-kitab Suci itu memberi kesaksian tentang Aku, namun kamu tidak mau datang kepada-Ku untuk memperoleh hidup itu.” (Yoh 5:39-40)

Maka pembacaan dan permenungan Kitab Suci harus sampai menuntun kita kepada Kristus itu sendiri yang adalah Kerajaan Allah; oleh sebab itu Injil Kristus disebut sebagai Injil Kerajaan Allah (lih. Mat 4:23; 9:35; 24:14). Kedatangan Kristus sebagai ‘Kerajaan Allah’ itu diberitakan oleh Yohanes Pembaptis (Mat 3:2) dan Yesus sendiri mengajarkan bahwa Ia adalah Kerajaan Allah, melalui perumpamaan (lih. Mat 13:24, 37). Untuk dapat mencapai Kerajaan Allah itu, Yesus mengajarkan agar kita menerima Pembaptisan, yaitu dilahirkan kembali dalam air dan Roh kudus (lih. Yoh 3:5).

Selanjutnya, Tuhan Yesus menghendaki agar kita menyambut Diri-Nya sendiri agar kita beroleh hidup yang kekal. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa motivasi kita mencari Tuhan seharusnya tidak terarah kepada kebutuhan duniawi semata, tetapi terarah kepada kehidupan yang kekal. Kehidupan yang kekal bersama Yesus inilah yang menjadi arti ‘kamu akan hidup’ (Am 4:5). Dan untuk menerima hidup kekal ini, Kristus mengatakan bahwa kita harus menyantap-Nya sebagai Roti Hidup yang turun dari sorga:

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kamu mencari Aku, bukan karena kamu telah melihat tanda-tanda, melainkan karena kamu telah makan roti itu dan kamu kenyang. Bekerjalah, bukan untuk makanan yang dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal…. Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah…. Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepada-Ku ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku ia tidak akan haus lagi…. Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku. …. Sebab inilah kehendak Bapa-Ku, yaitu supaya setiap orang, yang melihat Anak dan yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal, dan supaya Aku membangkitkannya pada akhir zaman…. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman…. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku…. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6:26-58)

Maka di sini kita mengetahui bahwa janji Yesus untuk memberikan hidup kepada mereka yang mencari Tuhan, dipenuhi oleh-Nya dengan menjadikan Diri-Nya sebagai santapan rohani bagi umat-Nya.

Bagaimana caranya kita mencari Tuhan?

Kitab suci mengajarkan kepada kita, bahwa untuk mencari Tuhan kita harus menanyakan Dia dengan segenap hati, mengarahkan hati dan dengan segala kerendahan hati berdoa dan bertobat dari segala dosa dan kesalahan kita.

“…. di sana engkau mencari TUHAN, Allahmu, dan menemukan-Nya, asal engkau menanyakan Dia dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu (Ul 4:29) …apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati” (Yer 29:13).

Maka sekarang, arahkanlah hati dan jiwamu untuk mencari TUHAN, Allahmu.” (1 Taw 22:19)

“…. dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka.” (2 Taw 7:14)

Setelah kita bertobat dan mempunyai sikap batin yang baik, kita datang kepada Tuhan yang mengundang kita untuk mengambil bagian dalam perjamuan Ekaristi, yaitu di mana kita dapat menyambut-Nya sebagai Roti Hidup.

Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia…barangsiapa yang memakan Aku akan memperoleh hidup oleh Aku.” (Yoh 6:56, 57)

Selanjutnya, kita umat Katolik mengingat bahwa Allah selalu hadir di dalam setiap tabernakel dalam Gereja Katolik dan juga di dalam kapel- kapel Adorasi Sakramen Maha Kudus. Tabernakel Gereja Katolik sekarang merupakan tempat kediaman Tuhan yang hadir secara istimewa di tengah umat-Nya, seperti ketika dalam PL Allah hadir di tengah umat Israel dalam Kemah Pertemuan (lih. Kel 33:7). Tuhan adalah Allah yang sama, dahulu sekarang dan selamanya; dan bahwa Allah- lah yang pertama- tama mencari kita sehingga menempatkan kerinduan dalam hati kita untuk mencari-Nya. Dan Allah juga memberikan jalan kepada kita untuk menemukan Dia, sebab Ia sungguh hadir di tengah kita umat-Nya. Hanya dibutuhkan iman dan kerendahan hati dari pihak kita untuk menerima cara Tuhan untuk menyampaikan rahmat dan hidup ilahi-Nya kepada kita.

Wajah Tuhan juga dijumpai di dalam sesama yang kecil dan hina

Jangan lupa juga bahwa ‘mencari Tuhan’ juga tak bisa dilepaskan dengan memperhatikan dan mengasihi sesama, terutama yang kecil dan miskin. Sebab dalam diri mereka-lah kita dapat ‘melihat wajah Tuhan’:

“sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” (Mat 25:40)

Apa akibatnya bagi orang yang mencari Tuhan?

Tuhan akan mengampuni dosa/ kesalahan orang yang mencari Dia dan memulihkannya. Bagi umat Katolik ini sungguh nyata, terutama setelah kita menerima Sakramen Tobat, sebab pada saat itu rahmat pengampunan Tuhan mengalir untuk menyembuhkan dan memulihkan jiwa kita.

“…. dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka.” (2 Taw 7:14)

Sabda Tuhan mengajarkan bahwa mereka yang mencari Tuhan akan bersuka cita.

Bermegahlah di dalam nama-Nya yang kudus, biarlah bersukahati orang-orang yang mencari TUHAN! (1 Taw 16:10) Biarlah bergembira dan bersukacita karena Engkau semua orang yang mencari Engkau; biarlah mereka yang mencintai keselamatan dari pada-Mu tetap berkata: “TUHAN itu besar!” (Mzm 40:16)

Mereka yang mencari Tuhan akan selalu disertai oleh Tuhan, dan tidak akan kekurangan sesuatupun yang baik; mereka akan memperoleh pengertian akan segala sesuatu.

Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepada-Mu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN (Mzm 9:10) Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku…. tetapi orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatupun yang baik. (Mzm 34:4, 10) …selama ia mencari TUHAN, Allah membuat segala usahanya berhasil (2 Taw 26:5).

Orang yang jahat tidak mengerti keadilan, tetapi orang yang mencari TUHAN mengerti segala sesuatu. (Ams 28:5)

Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu” (Mat 6:33)

Kesimpulannya, kita mencari Tuhan dengan tiga cara, yaitu melalui: 1) doa dan pertobatan 2) Sabda-Nya: membaca dan merenungkan Sabda Tuhan, 3) menerima sakramen- sakramen, terutama Ekaristi. Selanjutnya, setelah kita mencari Tuhan, tentu kita harus berjuang untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan yang kita ketahui melalui ketiga cara tersebut, terutama dengan memberikan perhatian dan kasih kepada sesama kita yang membutuhkan pertolongan, karena pada merekalah kita melihat ‘wajah Tuhan’. Jika kita tekun mencari Tuhan, maka Tuhan akan selalu menyertai kita, mencukupkan kebutuhan kita, dan menghantar kita kepada hidup yang kekal.

Demikianlah yang dapat saya tuliskan untuk menjawab pertanyaan anda.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab