Home Blog Page 190

Apakah Ia sungguh seorang Raja bagiku?

2

Ketika saya berkunjung ke kota Bangkok, saya melihat di setiap hari kelahiran Raja Thailand, yaitu hari Senin, hampir seluruh masyarakat, dan tidak hanya pegawai pemerintah, menggunakan pakaian berwarna kuning, yaitu warna kelahiran untuk hari Senin menurut tradisi umat Buddha.  Mereka menggunakan pakaian berwarna kuning dengan penuh semangat dan kebanggaan, sebagai tanda cinta dan penghormatan kepada raja yang sangat mereka kasihi. Masih cukup banyak contoh dalam kehidupan sehari-hari yang menunjukkan dalamnya rasa cinta dan hormat masyarakat Thailand kepada raja mereka, Raja Bhumibol Adulyadej, yang mempunyai sejarah masa pemerintahan terlama di dunia dan memang dikenal arif dan banyak membawa perdamaian di dalam berbagai gejolak politik yang terjadi sepanjang sejarah bangsaThailand.

Rasa hormat dan kagum kepada seorang raja, disertai cinta yang besar, pasti akan membuat seseorang memberikan lebih banyak lagi dedikasi yang dipersembahkan bagi sang raja, mungkin bahkan sampai pada titik menyerahkan hidupnya demi kesetiaan dan pengabdian kepada sang raja, yang pada masyarakat tertentu, sudah dianggap penjelmaan dari dewa atau utusan Tuhan. Saya berpikir, pengabdian apakah yang telah saya curahkan bagi Raja Segala Raja, yang kita peringati pada minggu terakhir tahun liturgi sebelum masa Adven dimulai ini?

Apakah Raja Yang Satu ini sudah begitu menempati hati saya dan menjadi raja atas segala keputusan saya, pikiran saya, perkataan saya, dan perbuatan saya? Apakah saya bahkan sudah sungguh-sungguh mengenal Dia sebagai Raja Semesta Alam, Seorang Raja yang begitu mencintai umat-Nya, sehingga rela meninggalkan segala hak dan atribut-Nya sebagai Raja, untuk hidup di tengah umat-Nya yang lemah dan serba terbatas, demi mengajarkan cinta, pengorbanan, kepedulian, kerendahan hati, kelembutan, sembari terus menawarkan pengampunan, sukacita, dan kelepasan sejati dalam hidup ini, bahkan akhirnya rela memberikan nyawa-Nya dengan sengsara yang begitu dalam, demi umat yang amat dikasihi-Nya, supaya umat-Nya bahagia dan selamat? Di manakah di seluruh dunia ini ada Raja sedemikian? Begitu besar kuasa dan kekuatan-Nya, bahkan seluruh alam semesta ini adalah milik-Nya, dapat diubah atau dilenyapkan-Nya semudah membalikkan telapak tangan kalau Dia mau, tetapi semua kebesaran itu rupanya masih kalah oleh rasa cinta yang tak terhingga kepada umat-Nya. Manusia ciptaan-Nya ini yang terus menerus menjadi buah pikiran-Nya, sampai Ia memilih menjadi sama dengan mereka. Penderitaan umat-Nya karena dosa-dosa mereka itu telah menjadi sumber keteguhan hati-Nya, sehingga Ia bertahan hingga akhir di kayu salib kesengsaraan penuh kehinaan. Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah (Yesaya 53:4)

Pada hari raya Kristus Raja Semesta Alam ini, saya memandangi gambar-gambar Diri-Nya di seluruh penjuru rumah, di berbagai penjuru bangunan gereja dan tempat aktivitas umat beriman. Saya teringat akan begitu banyak manusia di dunia ini, yang menyembah dan menghormati Dia, menyebut diri pengikut-Nya, menganggap Dia pahlawan tanpa tandingan, Juruselamat yang mengatasi segala kelemahan dan dosa, tetapi…..apakah sebanyak itu juga gambar Diri-Nya memenuhi hati saya? Apakah teladan cinta-Nya, pengurbanan-Nya, kerendahan hati-Nya, kepedulian dan kasih-Nya, memang sudah sungguh-sungguh menjadi patokan bagi setiap langkah hidup saya, tercermin mulai dari hal yang terkecil hingga hal-hal yang besar dalam hidup saya ? Apakah saya telah meluangkan waktu-waktu saya yang sangat berharga, khusus untuk bertemu dengan Dia supaya saya bisa mendengarkan Dia berbicara dalam hati saya, melalui Firman-Firman-Nya, melalui teladan orang-orang Kudus-Nya? Dan apakah segenap pujian dan penyembahan yang pantas Dia terima sebagai Raja, sudah sepenuhnya saya curahkan melalui Perayaan Ekaristi, untuk mengenang dan mensyukuri kurban dan sengsara-Nya bagi saya? Ataukah….sesungguhnya Dia hanya sekedar menjadi lambang bagi iman saya? Ataukah…saya hanya mengingat Dia dalam saat-saat sulit dalam hidup, atau… Dia hanya menjadi semacam Pelayan tempat saya mengajukan berbagai permintaan supaya Ia berikan sesuai dengan keinginan saya? Sungguhkah Ia seorang Raja bagiku, jika hanya sedikit saja sisa waktu dalam satu hariku, yang kuberikan untuk menyapa dan memuji-Nya? Sungguhkah ia seorang Raja bagiku, bila kehendak dan kemauanku saja yang terus menerus aku upayakan supaya terlaksana, tanpa hendak menanyakan lebih dulu, meneliti dan belajar, apa yang sebetulnya Dia inginkan bagiku? Atau kamu berdoa juga, tetapi kamu tidak menerima apa-apa, karena kamu salah berdoa, sebab yang kamu minta itu hendak kamu habiskan untuk memuaskan hawa nafsumu (Yak 4:3)

Di awal dan akhir hari ini, di saat doa Bapa Kami kudaraskan dengan bibirku, “Datanglah Kerajaan-Mu…” sesungguhnya aku sedang mendambakan Kerajaan-Nya menjadi segala yang terpenting di dalam seluruh aspek hidupku. Tetapi sayangnya, segala yang ditawarkan oleh kerajaan dunia ini nyatanya lebih sering menarik perhatianku dan menyedot segenap energi dan aspirasiku. Walau Tuhan sudah berkata,“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Mat 6:33). Semuanya itu adalah kedamaian sejati yang dunia ini tak akan bisa memberi.

Akhirnya, dengan hati penuh penyesalan, saya memberanikan diri  datang kepada-Nya, Kristus Raja Semesta Alam, yang memberi saya hidup dan semua yang baik oleh karena kasih-Nya:

Tuhan Yesus Kristus, Raja Semesta Alam yang penuh belas kasihan dan kerendahan hati,

Engkau adalah Raja di atas segalanya, Engkau adalah Rajaku, Juruselamatku, sumber hidupku.

Tetapi, ampunilah aku, karena aku seringkali menempatkan Engkau, bukan sebagai seorang Raja, bukan sebagai segala-galanya bagiku

Engkau layak atas segala pujian dan persembahan, tetapi aku lebih suka memuja kesenangan pribadiku

Engkau yang memberiku hidup dan waktu yang berlimpah, tetapi aku sibuk dengan berbagai kepentinganku sendiri, dan hanya menyisakan sedikit sekali waktu bagi-Mu

Engkau yang selalu menghendaki segala yang terbaik bagiku, tetapi aku lebih sering merusaknya dengan memilih jalanku sendiri

Engkau berhak atas seluruh hidupku, kemauanku, aspirasiku, segala citaku…tetapi aku lebih sering tidak taat dan tidak patuh kepada-Mu

Engkau adalah sumber segala kebaikan, keselamatan, kesejahteraan, ….tetapi aku begitu bimbang dan lebih mempercayai kuasa-kuasa dunia untuk mengatasi berbagai kesukaranku

Engkau memiliki seluruh hidupku, …tetapi aku hanya datang kepada-Mu bila aku berada dalam kesulitan

Engkau adalah penguasa jiwa dan ragaku, tetapi ternyata aku lebih sering memberontak melawan Engkau

Ya Tuhan Yesus Kristus Juruselamatku, junjungan jiwaku, aku ingin kembali menjadi abdi-Mu yang setia. Nyatakanlah kepadaku apa yang tidak kupahami, bukalah hatiku dan selidikilah jalan-jalanku, supaya aku hanya menghendaki dan mengusahakan apa yang menyenangkan hati-Mu. Kuakkanlah segala kelemahan dan kealpaanku yang tidak kusadari selama ini, yang telah mengganggu aliran cinta-Mu kepadaku, biarlah aku mengakukan dosa-dosaku di hadapan-Mu, dan kembali berjalan di dalam terang bersama teladan cinta-Mu.

Terima kasih atas kurban salib-Mu yang telah menyelamatkan hidupku. Melalui sengsara-Mu, Engkau telah mengambil alih semua kepedihanku, luka hatiku, ketakutanku, ketidakberdayaanku, supaya dari kaki salib-Mu, aku belajar menyalibkan dosa-dosaku, dan bangkit dalam kemenangan dan kebebasan sejati bersama-Mu.

Semoga rasa syukurku atas kurban salib-Mu dan rasa terima kasihku atas semua cinta dan pengurbanan-Mu, menetapkan langkahku untuk meninggalkan dosa-dosaku, dan menjadi abdi-Mu yang setia, seumur hidupku. Bantulah aku bila aku harus jatuh lagi karena kesombongan dan kekerasan hatiku. Ya Raja Semesta Alam, aku amat menghormati dan mencintai-Mu. Terimalah seluruh hati dan hidupku, karena semuanya itu milik-Mu. Amin.

Pada peringatan Hari Raya Kristus Raja, 19 November 2011 (triastuti)

Bukankah Yohanes Pembaptis yang terbesar menurut Mat 11:11 dan bukan Bunda Maria?

16

Pertanyaan:

Syalom,

Mengenai interpretasi Mat 11:11, di mana Yesus berkata, “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya”,

Bagaimana mungkin perkataan dari Yesus sendiri yang mengatakan Yohanes yang terbesar dari semua orang yang dilahirkan oleh perempuan bisa disangkali oleh keterangan dari the Navarre Bible [dari katolisitas: yang mengatakan bahwa Maria adalah yang terbesar setelah Yesus] Apakah keterangan dari Navarre Bible lebih akurat dari ucapan Yesus sendiri ?

Terima kasih
Mac

Jawaban:

Shalom Machmud,

Terima kasih atas pertanyaannya, yaitu mengapa dikatakan bahwa Maria adalah yang terbesar setelah Kristus, padahal di Mat 11:11 dikatakan bahwa Yohanes Pembaptislah yang berbesar. Matius 11:11 menuliskan “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis, namun yang terkecil dalam Kerajaan Sorga lebih besar dari padanya.” Kalau kita mengikuti secara persis apa yang dikatakan dalam ayat tersebut tanpa melihat konteksnya, maka kita akan mempunyai kesimpulan yang sama seperti yang anda berikan, yaitu semua manusia yang dilahirkan dari perempuan: Maria, para rasul – termasuk rasul Petrus, rasul Yohanes, dll – juga rasul Paulus adalah lebih rendah dari Yohanes Pembaptis. Kalau mau lebih konsisten, karena Kristus juga dilahirkan dari perempuan, maka Kristus juga seharusnya lebih rendah dari Yohanes. Pendapat yang salah ini diberikan oleh Manichee atau Marcionite. Tentu saja kita tidak dapat menafsirkan demikian. Jadi bagaimana kita menafsirkannya?

Kita dapat melihat konteks dari ayat tersebut, di mana dituliskan “Jadi untuk apakah kamu pergi? Melihat nabi? Benar, dan Aku berkata kepadamu, bahkan lebih dari pada nabi.” (Mat 11:9) atau di Lukas 7:24-28 menuliskannya sebagai berikut:

24 Setelah suruhan Yohanes itu pergi, mulailah Yesus berbicara kepada orang banyak itu tentang Yohanes: “Untuk apakah kamu pergi ke padang gurun? Melihat buluh yang digoyangkan angin kian ke mari? 25 Atau untuk apakah kamu pergi? Melihat orang yang berpakaian halus? Orang yang berpakaian indah dan yang hidup mewah, tempatnya di istana raja. 26 Jadi untuk apakah kamu pergi? Melihat nabi? Benar, dan Aku berkata kepadamu, bahkan lebih dari pada nabi. 27 Karena tentang dia ada tertulis: Lihatlah, Aku menyuruh utusan-Ku mendahului Engkau, ia akan mempersiapkan jalan-Mu di hadapan-Mu. 28 Aku berkata kepadamu: Di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak ada seorangpun yang lebih besar dari pada Yohanes, namun yang terkecil dalam Kerajaan Allah lebih besar dari padanya.”

Dari konteks di ayat-ayat di atas, kita dapat mengatakan, bahwa Yesus ingin menyampaikan bahwa Yohanes Pembaptis adalah yang terbesar dari semua nabi yang ada dalam Perjanjian Lama (Mat 11:9; Luk 7:26), karena Yohanes Pembaptis adalah nabi terakhir yang memberitakan kedatangan Kristus, yang mempersiapkan kedatangan Kristus. Begitu pentingnya peran Yohanes Pembaptis, sehingga Gereja Katolik merayakan hari kelahirannya, di samping kelahiran Kristus dan kelahiran Bunda Maria. Katekismus Gereja Katolik menuliskan demikian tentang Yohanes Pembaptis:

KGK, 523.    Yohanes Pembaptis adalah perintis Tuhan yang langsung (Bdk. Kis 13:24.); ia diutus untuk menyiapkan jalan bagi-Nya (Bdk. Mat 3:3.). Sebagai “nabi Allah yang mahatinggi” (Luk 1:76) Ia menonjol di antara semua nabi (Bdk. Luk 7:26.). Ia adalah yang terakhir dari mereka (Bdk. Mat 11:13.) dan sejak itu Kerajaan Allah diberitakan (Bdk. Kis 1:22; Luk 16:16.). Ia sudah bersorak gembira dalam rahim ibunya mengenai kedatangan Kristus (Bdk. Luk 1:41.) dan mendapat kegembiraannya sebagai “sahabat mempelai” (Yoh 3:29), yang ia lukiskan sebagai “Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia” (Yoh 1:29). Ia mendahului Yesus “dalam roh dan kuasa Elia” (Luk 1:17) dan memberikan kesaksian untuk Dia melalui khotbahnya, pembaptisan pertobatan, dan akhirnya melalui mati syahidnya (Bdk. Mrk 6:17-29).

KGK, 719.    Yohanes itu “lebih daripada nabi” (Luk 7:26). Di dalam dia, Roh Kudus menyelesaikan “tutur sapa-Nya melalui para nabi”. Yohanes adalah yang terakhir dari mata rantai para nabi yang dimulai dengan Elia (Bdk. Mat 11:13-14.). Ia mengumumkan bahwa penghibur Israel sudah dekat; ia adalah “suara” penghibur yang akan datang (Yoh 1:23; Bdk. Yes 40:1-3.). Sebagaimana kemudian Roh kebenaran, ia pun datang sebagai “saksi untuk memberi kesaksian tentang terang” (Yoh 1:7; Bdk. Yoh 15:26; 5:33.). Dengan demikian di depan mata Yohanes, Roh memenuhi apa yang dicari para nabi dan dirindukan para malaikat (Bdk. 1 Ptr 1:10-12.): “Jikalau engkau melihat Roh itu turun ke atas seseorang dan tinggal di atas-Nya, Dialah itu yang akan membaptis dengan Roh Kudus. Dan aku telah melihat-Nya dan memberi kesaksian: Dia inilah Anak Allah… Lihatlah Anak Domba Allah” (Yoh 1:33-36).

Dengan demikian, jelaslah, bahwa Yohanes Pembaptis yang terbesar dari antara semua manusia yang dilahirkan oleh perempuan (Mat 11:11) harus dimengerti bahwa dia adalah yang terbesar dari semua nabi, karena dia adalah nabi terakhir sebelum kedatangan Kristus dan yang mempersiapkan jalan bagi Kristus. Semoga jawaban ini dapat diterima. Tentang mengapa Bunda Maria adalah yang terbesar setelah Kristus dapat dilihat di penjelasan ini – silakan klik.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org

Tentang Kebenaran Eksodus

13

Pertanyaan:

Shaloom saya ingin kejelasan dari link ini

http://top10.sidomi.com/25486/10-mitos-menyimpang-mesir-kuno/

Pada point ke dua, Perbudakan Israel
Terdapat perbedaan antara sejarah Alkitab dan menurut info di sini,
Di sana dikatakan bahwa Israel tidak diperbudak Mesir..

Yang ingin saya tanyakan apakah benar info tersebut???
Karena secara tidak langsung Umat Nasrani melalui Alkitab telah “mencemarkan nama baik Mesir”
Mohon penjelasannya…
Stefanus

Jawaban:

Shalom Stefanus,

Untuk menjawab apakah kejadian eksodus bangsa Israel keluar dari Mesir sebagai kejadian nyata atau tidak, kita berpegang pada apa yang tertulis dalam Kitab Suci dan dari bukti sejarah. Kitab Suci menuliskan bahwa kejadian tersebut sungguh terjadi, yaitu saat Nabi Musa memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir yang saat itu dipimpin oleh raja Mesir yang disebut Firaun (lih. Kel 5-). Para ahli Kitab Suci dan ahli sejarah kemudian mencocokkan di manakah/ kapankah kiranya Firaun ini tercantum dalam sejarah bangsa Mesir, dan apakah yang dicatat oleh sejarah seputar kepemimpinan Firaun ini. Para ahli mengidentifikasikan Firaun ini dengan Raja Ramses II (1290- 1213), yang digantikan oleh keturunannya, Raja Merneptah/ Merenptah (1213- 1203) (lih. John H. Walton, Chronological and Background Charts of the Old Testament, (Michigan: Zondervan, 1994), p. 62)

Beberapa tulisan/ bukti sejarah kemudian ditemukan, walaupun tidak secara langsung menyebut adanya eksodus bangsa Israel, tetapi menunjukkan adanya fakta yang mendukung kisah yang disebutkan dalam Kitab Keluaran tersebut. Hal ini dapat dibaca antara lain di link ini, silakan klik.

1. The Merneptah stele

Salah satu penemuan penting yang berhubungan dengan masa eksodus [keluarnya bangsa Israel dari Mesir] adalah plat batu Merneptah, tertanggal sekitar tahun 1210 (BC). Merneptah, Raja Mesir, menyombongkan diri bahwa ia telah menghancurkan para musuhnya di tanah Kanaan. Ia mengatakan: Dikalahkan Kanaan dengan segala kejahatannya; Ashkelon dikalahkan; Gezer dikuasai, Yanoam dibuat seperti tidak pernah eksis; Israel dihancurkan/ dibiarkan sia- sia, namun keturunannnya tidak (ANET 1969, 378). Kata “Israel” di sini ditulis di dalam bahasa Mesir yang artinya adalah bangsa dan bukan tanah (ANET 1969, 378). Ini menunjukkan bahwa bangsa Israel tidak mempunyai raja ataupun kerajaan pada saat itu. Pada saat itu yang berkuasa adalah para hakim- hakim. Teks ini juga menyimpulkan bahwa Israel adalah bangsa yang kuat seperti halnya kota- kota lain yang disebutkan di sana, dan bukan hanya suku bangsa yang kecil jumlahnya [sebagaimana diperkirakan oleh sebagian orang, bahwa eksodus tidak melibatkan banyak orang Israel] …. Terdapat sebuah tempat yang disebut dalam Yos 15:9,18:15, “mata air Me-Neftoah” yang kemungkinan merupakan nama Ibrani bagi Merneptah.”

2. Teks ‘The Admonitions of Ipuwer’ di jaman dinasti ke-19-20 bangsa Mesir.

Ahli sejarah, John Van Seter, mengatakan, berdasarkan teks Ipuwer tersebut bahwa jaman dinasti ke- 19-20 (abad 13-11 BC) adalah masa pengusiran bangsa Hyksos dari Mesir. Dikatakan demikian: “Para orang asing telah menjadi bangsa di mana- mana…. Sungai Nil banjir … orang- orang miskin telah menjadi pemilik harta karun …. banyak orang mati dikubur di sungai …. mari kita usir banyak orang di antara kita …. Sungai itu (Nil) menjadi darah (ANET 1969, 441; Lichtheim 1975, 1:151). Tulisan ini terdengar serupa dengan tulah pertama yang terjadi di Mesir (Kel 7:14-24)…… Pengusiran bangsa Hyksos adalah serangkaian kampanye yang terjadi sejak Kamose menjadi raja di Thebes, yang melawan bangsa Hyksos. Anaknya Ahmose akhirnya berhasil mengusir bangsa Hyksos. Di kubur seorang komadan bernama Ah-mose tercatat kemenangan atas bangsa Hyksos.

Keluarnya bangsa Israel dari Mesir, kemungkinan termasuk dalam rangkaian keluarnya bangsa Hyksos dari Mesir. Kisah eksodus kemungkinan besar berdasarkan atas pengusiran bangsa Hyksos dari Mesir, sebab tidak ada pencatatan lain tentang keluarnya banyak orang dari Mesir (Robertson 1990, 36; Halpern 1994, 89-96; Redford 1897, 150). Bukti ini nampaknya cocok dengan pencatatan sejarah dari sejarahwan Yahudi, Josephus. Meskipun bangsa Mesir melihat bahwa pengusiran bangsa Hyksos sebagai sebuah kemenangan militer yang besar, bangsa Israel melihat peristiwa ini sebagai kemenangan penyelamatan yang besar bagi mereka. Hal ini nampaknya mirip dengan banyak kejadian yang dicatat di dalam sejarah kuno bangsa- bangsa, ketika kedua pihak sama- sama mengklaim kemenangan bagi bangsanya. Raja Ramses II bertarung dengan bangsa Het (Hittites) dan hampir kehilangan nyawanya, namun ia menyebut ini sebagai kemenangan besar, demikian juga bangsa Het mengklaim kemenangan besar bagi bangsanya. Dalam kenyataannya posisi keduanya adalah saling mengunci [seri], sehingga keduanya menandatangani perjanjian (ANET 1969, 201; Soggin 1993, 213)…. Raja Sanherib (Raja Asyur) mengklam kemenangan besar atas Israel dengan menguasai 46 kota dan sekeliling Yerusalem; sedang Raja Hezekiah (Raja Israel) sejamannya, walau disebut sebagai “seperti burung dalam sangkar” (ANET 1969, 288), juga mengklaim kemanangan besar, sebab Yerusalem tidak dikalahkan. Di Mesha atau di prasasti Moab (ANET 1969, 320), Raja Moab, Mesha, mengklaim kemenangan atas Israel, namun Israel juga mengklaim kemenangan atas Moab (2 Raj 3:4-27). Demikianlah, nampaknya apa yang dianggap oleh bangsa Mesir sebagai kemenangan dengan pengusiran bangsa Hyksos dari keluar dari Mesir, dilihat oleh bangsa Israel sebagai eksodus yang besar, sebuah kemenangan penyelamatan dari perbudakan bangsa Mesir.

Selanjutnya, tidaklah mengherankan jika setiap bangsa dalam mencatatkan sejarahnya berusaha untuk menuliskan hal- hal yang baik dan cenderung untuk tidak menyampaikan hal yang buruk tentang bangsanya. [Hal ini misalnya jelas terlihat dari berbedanya catatan sejarah bangsa Cina dan Jepang, atau Cina dan Taiwan- perihal pertikaian- pertikaian. yang melibatkan bangsa- bangsa tersebut] Untuk itu, agar menjadi lebih obyektif, kita perlu membaca catatan sejarah yang dicatat oleh bangsa lawannya. Dengan prinsip ini, tidak mengherankan kalau catatan tentang bagaimana bangsa Israel dapat lolos dari perbudakan Mesir tidak dicatat secara khusus dalam sejarah bangsa Mesir. Tetapi hal tersebut dicatat dalam sejarah bangsa Israel, seperti juga tercatat dalam Kitab Suci Kristiani.

Gereja Katolik mengajarkan, berdasarkan Kitab Suci, bahwa peristiwa pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir sebagai fakta yang sungguh terjadi:

KGK 62    Dalam waktu sesudah zaman para bapa (patriarkh- para bapa keturunan Abraham), Tuhan menjadikan Israel bangsa-Nya. Ia membebaskannya dari perhambaan di Mesir, mengadakan perjanjian dengannya di Sinai, dan memberi kepadanya hukum-Nya melalui Musa, supaya mengakui diri-Nya sebagai satu-satunya Allah yang hidup dan benar, sebagai bapa penyelenggara dan sebagai hakim yang adil, dan untuk menantikan Juru Selamat terjanji (Bdk. Dei Verbum 3).

Selanjutnya tentang kebenaran Kitab Suci, Katekismus mengajarkan:

KGK 105    Allah adalah penyebab [auctor] Kitab Suci. “Yang diwahyukan oleh Allah dan yang termuat serta tersedia dalam Kitab Suci telah ditulis dengan ilham Roh Kudus”.”Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh 20:31; 2 Tim 3:16; 2 Ptr 1:19-21; 3:15-16), dan dengan Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaannya demikian itu diserahkan kepada Gereja” (DV 11).

KGK 107     Kitab-kitab yang diinspirasi mengajarkan kebenaran. “Oleh sebab itu, karena segala sesuatu, yang dinyatakan oleh para pengarang yang diilhami atau hagiograf (penulis suci), harus dipandang sebagai pernyataan Roh Kudus, maka harus diakui, bahwa buku-buku Kitab Suci mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam kitab-kitab suci demi keselamatan kita” (DV 11).

Demikianlah yang dapat saya sampaikan menanggapi pandangan yang meragukan otentisitas kisah eksodus bangsa Israel dari Mesir.  Sebagai umat Kristiani kita percaya bahwa apa yang tertulis di dalam Kitab Suci adalah kebenaran dan sungguh terjadi. Bukti arkeologis memang dapat semakin memperjelas kebenaran yang disampaikan, namun kebenaran Kitab Suci tidak tergantung dari bukti arkeologis. Kita yakin akan kebenaran Kitab Suci sebab yang mewahyukannya adalah Allah sendiri, sehingga tidak mungkin keliru.

Selanjutnya tentang topik Dari mana Asalnya Kitab Suci, silakan klik, dan tentang Kebenaran Kitab Suci, silakan klik.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

Tambahan Materi Adven 2011

17

Ekaristi sumber berkat dalam keluarga

Kita akan segera memasuki masa Adven. Masa Adven adalah masa di mana seluruh umat Katolik mempersiapkan diri untuk menyambut kelahiran Kristus di Hari Raya Natal. Ya, Kristus yang telah lahir 2000 tahun yang lalu, akan datang dan lahir kembali di hati kita. Dengan demikian, peristiwa yang telah berlalu selama lebih dari 20 abad tetap memberikan makna yang mendalam di hati seluruh umat beriman. Untuk mempersiapkan segenap umat Katolik dalam menyambut Sang Raja, maka dalam masa Adven 2011 ini, Keuskupan Agung Jakarta memberikan tema permenungan “Ekaristi Sumber Berkat dalam Keluarga”, yang dibagi menjadi empat tema bahasan.

Tujuan dari tulisan ini bukanlah untuk menggantikan bahan yang telah diberikan oleh KAJ, namun untuk memberikan tambahan materi dengan memberikan dasar teologis dari berbagai dokumen Gereja bagi pemandu lingkungan, dengan harapan agar mereka dapat menggali tema yang telah diberikan dengan lebih mendalam, sehingga dapat menyampaikan materi dengan lebih baik. Untuk mencapai hal ini, maka pertama-tama, kita akan melihat pengertian Ekaristi dan pengertian keluarga, sehingga kita dapat mengerti esensi dari kedua hal tersebut. Kemudian, kita akan menghubungkan Ekaristi dan keluarga sesuai dengan tema yang diberikan. Kami juga memberikan lampiran dari Katekismus Gereja Katolik (KGK) yang berhubungan dengan Ekaristi dan keluarga, sehingga pemandu dapat membaca secara langsung dokumen Gereja tentang kedua hal ini.

Silakan menggunakan materi ini atau memperbanyak materi ini jika dipandang berguna, dengan menyebutkan sumbernya www.katolisitas.org, sehingga orang yang ingin menyampaikan masukan atau pertanyaan lebih lanjut dapat menyampaikannya kepada kami. Semoga masa Adven ini dapat mempersiapkan keluarga dan lingkungan kita agar semakin menghayati panggilan kita sebagai keluarga kristiani, yang berakar pada Ekaristi. Mari, kita bersiap-siap menyambut Kristus, Allah yang beserta kita!

Ekaristi dan keluarga

1. Tentang 4 tema masa Adven

Kita melihat bahwa tema yang diberikan pada masa Adven ini adalah “Ekaristi Sumber Berkat dalam Keluaga”. Ada empat sub tema, yang dihubungkan bacaan dari Kitab Suci:

Pertemuan Pertama: Ekaristi mempersatukan keluarga (Ef 5:22-33)

Pertemuan Kedua: Ekaristi meneguhkan keluarga (Kis 10:1-4, 37-48)

Pertemuan Ketiga: Ekaristi dasar perutusan dalam membangun keluarga (Luk 24:13-35)

Pertemuan Keempat: Ekaristi dasar perutusan dalam membangun persaudaraan dengan sesama (1Kor 12:12-31)

Dari keempat sub-tema ini, maka kita dapat melihat adanya tujuan untuk menghubungkan antara Ekaristi dan keluarga. Memang terdapat hubungan yang erat di antara keduanya, karena Ekaristi berhubungan erat dengan Gereja, sedangkan keluarga adalah Gereja kecil atau Gereja rumah tangga (ecclesia domestica).

Dengan demikian, hal pertama perlu kita sadari adalah: Ekaristi merupakan sumber dan puncak dari kehidupan Kristiani  (KGK, 1324; Lumen Gentium, 11). Sebagai sumber dan puncak kehidupan, Ekaristi menjadi sumber kekuatan yang mempersatukan keluarga. Dalam kesatuan inilah, Ekaristi memberikan kekuatan kepada setiap anggota keluarga, meneguhkan dan menumbuhkan mereka dalam iman, harapan dan kasih. Dalam pertumbuhan ini, maka setiap keluarga akan semakin menyadari panggilan mereka sebagai Gereja rumah tangga, untuk membangun rumah tangga dengan dasar yang kuat, sehingga akhirnya setiap keluarga juga dapat melaksanakan tugas perutusan untuk membantu keluarga-keluarga yang lain.

Untuk memperoleh tambahan pemahaman topik Ekaristi dan keluarga, maka kami mengacu kepada Katekismus Gereja Katolik dan Ekshortasi Apostolik dari Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio (FC- Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern) dan Ekshortasi Apostolik dari Paus Benediktus XVI, Sacramentum Caritatis (SC- Sakramen Cinta Kasih).

2. Beberapa pengertian Ekaristi dari KGK

Sebelum kita dapat menghubungkan antara Ekaristi dengan keluarga, maka ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tentang Sakramen Ekaristi, sehingga kita dapat menarik benang merah dengan kehidupan keluarga. Berikut ini adalan pengertian Ekaristi (KGK, 1328-1332):

Ekaristi berasal dari kata ‘eucharistein‘ yang artinya ucapan terima kasih kepada Allah (KGK 1328). Ekaristi adalah kurban pujian dan syukur kepada Allah Bapa, di mana Gereja menyatakan terima kasihnya kepada Allah Bapa untuk segala kebaikan-Nya di dalam segala sesuatu: untuk penciptaan, penebusan oleh Kristus, dan pengudusan. Kurban pujian ini dinaikkan oleh Gereja kepada Bapa melalui Kristus: oleh Kristus, bersama Dia dan untuk diterima di dalam Dia. (KGK, 1359-1361)

Ekaristi adalah Perjamuan Tuhan, yang memperingati perjamuan malam yang diadakan oleh Kristus bersama dengan murid-murid-Nya. Perjamuan ini juga merupakan antisipasi perjamuan pernikahan Anak Domba di surga (KGK, 1329).

Ekaristi adalah kenangan akan kesengsaraan dan kebangkitan Tuhan (KGK, 1330). Ekaristi diadakan untuk memenuhi perintah Yesus untuk merayakan kenangan akan hidup-Nya, kematian-Nya, kebangkitan-Nya dan akan pembelaan-Nya bagi kita di depan Allah Bapa (KGK, 1341).

Ekaristi adalah Kurban kudus, karena ia menghadirkan kurban tunggal Yesus, dan juga kurban penyerahan diri Gereja yang mengambil bagian dalam kurban Yesus, Kepalanya (KGK 1330, 1368). Sebagai kenangan Paska Kristus, Ekaristi menghadirkan dan mempersembahkan secara sakramental kurban Kristus satu-satunya dalam liturgi Gereja (KGK 1362, 1365). Ekaristi menghadirkan kurban salib dan memberikan buah-buahnya yaitu pengampunan dosa (KGK, 1366).

Ekaristi adalah Komuni kudus, karena di dalam sakramen ini kita menerima Kristus sendiri (KGK 1382) dan dengan demikian kita menyatukan diri dengan Kristus, yang mengundang kita mengambil bagian di dalam Tubuh dan Darah-Nya, supaya kita membentuk satu Tubuh dengan-Nya (KGK, 1331).

Ekaristi dikenal juga dengan Misa kudus, karena perayaan misteri keselamatan ini berakhir dengan pengutusan umat beriman (missio) supaya mereka melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupan sehari-hari. (KGK, 1332)

Dari Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1391-1401), maka kita juga dapat menarik beberapa hal tentang buah-buah dari Sakramen Ekaristi ini, yaitu: (1) Memperdalam persatuan kita dengan Kristus (KGK, 1391-1392); (2) Memisahkan kita dari dosa (KGK, 1393); (3) Memperkuat kasih dan menghapus dosa ringan (KGK, 1394); (4) Dijauhkan dari dosa berat masa mendatang (KGK, 1395); (5) Kesatuan dengan Gereja (KGK, 1396); (6) Berpihak pada kaum miskin (KGK, 1397); (7) Persatuan dengan seluruh umat beriman (KGK, 1398-1401). Teks dari Katekismus Gereja Katolik ini dapat dilihat di lampiran 1 di bagian bawah.

3. Beberapa pengertian keluarga dari KGK

Sekarang, mari kita melihat hakekat dari keluarga dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK, 2204-2208,2218,2219,2221-2227,2230). Secara prinsip keluarga adalah persekutuan iman, harapan dan kasih, serta pelaksana khusus dari persekutuan Gereja, sehingga keluarga dinamakan gereja rumah tangga atau ecclesia domestica (KGK, 2204). Karena di dalam keluarga, Allah Tritunggal Maha Kudus dinyatakan secara lebih jelas dengan adanya hubungan antar pribadi (KGK, 2205), maka di dalam keluarga seharusnya terjadi hubungan dan komunikasi yang baik di antara anggota keluarga (KGK, 2206). Orang tua harus memandang anak-anak sebagai berkat dan anak-anak Allah (KGK, 2222). Sebagai pendidik utama, orang tua mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anak (KGK, 2223), baik dalam kebajikan, kesusilaaan dan pembentukan rohani (KGK, 2221), menyampaikan Injil kepada anak-anak (KGK, 2225), memberikan pendidikan iman (KGK, 2226). Sebaliknya anak-anak harus taat kepada orang tuanya (KGK, 2216-2217) dan berkewajiban untuk memelihara dan menjaga orang tua – yang telah memberikan kasih sayang, pendidikan (KGK, 2220) -, terutama pada masa tua mereka (KGK, 2218), di samping mengasihi saudara-saudaranya (KGK, 2219). Jika semua ini dilaksanakan di dalam keluarga, maka keluarga dapat bertumbuh dengan kuat, sehingga dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat luas (KGK, 2212). Silakan melihat lampiran 2, tentang keluarga dalam dokumen Gereja.

Pertemuan pertama: Ekaristi mempersatukan keluarga (Ef 5:22-33)

Kasih itu mempersatukan. Maka sakramen Ekaristi yang adalah sakramen Kasih Allah itu adalah sakramen yang mempersatukan kita yang menerimanya. St. Agustinus menyebut sakramen Ekaristi demikian, “O sakramen kasih!, O tanda kesatuan! O ikatan kasih sayang!” ((St. Agustinus In. Jo. Ev 26, 13: PL 35, 1613, lih. Sacrosanctum Concillium 47)) Mengapa? Karena melalui Ekaristi kita menyambut Allah sendiri yang adalah KASIH. Paus Benediktus XVI mengajarkan, “Di dalam Ekaristi, Yesus tidak memberikan kepada kita “sesuatu” tetapi Diri-Nya sendiri; Ia mempersembahkan Tubuh -Nya sendiri dan menumpahkan Darah-Nya sendiri. Maka Ia memberikan kepada kita keseluruhan hidup-Nya dan menyatakan asal usul yang tertinggi dari kasih ini.” (SC 7)

Dari bacaan Ef 5:22-33, kita mengetahui bahwa Allah menghendaki agar suami dan istri mengikuti teladan pemberian diri yang total antara Kristus dan Gereja sebagai Mempelai-Nya. Kasih antara Kristus dan Gereja merupakan contoh teladan kasih, pengorbanan, dan kesetiaan yang tidak terceraikan bagi suami dan istri. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “…. karena itu, kasih Tuhan yang selalu setia dijadikan sebagai teladan bagi hubungan kasih setia yang harus ada antara suami dan istri.” (FC, 12) Kasih setia antara suami dan istri -dan juga kasih sesama anggota keluarga- yang saling memberikan diri dengan total di dalam Tuhan inilah yang menjadi dasar bagi persatuan di dalam keluarga (lih. FC 18). Suami dan istri sebagai orang tua harus menyadari bahwa pertama- tama menyadari mereka harus tinggal dalam kasih dan selalu setia satu sama lain, agar keluarganya senantiasa bersatu dan tinggal dalam kesatuan kasih.

1. Ekaristi adalah sumber dari perkawinan Kristiani.

Rasul Paulus mengajarkan bahwa hubungan kasih suami dan istri dalam perkawinan Kristiani mengikuti hubungan kasih yang luhur antara Kristus dengan Gereja, yang ditandai dengan pemberian Tubuh dan Darah-Nya. Pemberian diri yang total inilah yang harus dicontoh oleh suami dan istri dalam perkawinan Kristiani. Paus Yohanes Paulus mengajarkan, “Ekaristi adalah sumber dari perkawinan Kristiani. Kurban Ekaristi … menghadirkan kasih perjanjian Kristus dengan Gereja yang dimeteraikan dengan darah-Nya di kayu salib.” (FC, 57)

Jadi, dengan menghadiri perayaan Ekaristi dan menyambut Kristus dalam Ekaristi, pasangan suami istri menerima Sumber yang menjadi asal usul perjanjian perkawinan mereka, yaitu persatuan antara Kristus dengan Gereja; dan kasih ini jugalah yang mempersatukan mereka sebagai suami istri.

2. Ekaristi adalah sumber kasih

Paus Yohanes Paulus mengajarkan bahwa karena melalui perayaan Ekaristi kurban kasih Kristus dihadirkan kembali, maka “Ekaristi adalah sumber kasih” (FC 57)….. “…. Tanpa kasih, sebuah keluarga bukanlah persekutuan [anggota- anggotanya]… dan tanpa kasih keluarga tidak dapat hidup, tumbuh dan menyempurnakan diri sebagai sebuah persekutuan…” (FC 18).

Kasih adalah dasar persekutuan dan kesatuan di dalam keluarga. Maka dengan menimba kekuatan dari Ekaristi yang adalah sumber kasih- seperti kita mengisi cawan hati kita agar dipenuhi kasih- maka setiap anggota keluarga dimampukan untuk selalu mengasihi. Dengan menyambut Ekaristi, suami dan istri diingatkan dan dikuatkan untuk saling mengasihi, selalu mengusahakan persatuan kasih dan rela berkurban demi kesatuan dan keutuhan keluarga. Sebagai orang tua, mereka diingatkan untuk mengasihi dan memberikan diri sepenuhnya untuk anak- anak, terutama untuk membawa mereka untuk semakin mengenal dan mengasihi Allah. Juga dengan menerima Ekaristi, anak- anak dibentuk untuk menjadi anak- anak yang taat kepada Tuhan, mengasihi orang tua dan sesama saudara. Kasih dalam persekutuan inilah yang mempersatukan seluruh keluarga.

3. Ekaristi adalah bukti kesetiaan Allah yang tanpa syarat kepada umat-Nya

Dengan menyambut Ekaristi, kita menyambut Kristus sendiri. Paus Yohanes Paulus II mengajarkan bahwa Tuhan Yesus merupakan “bukti yang paling utama dan luhur akan kasih setia Tuhan yang tanpa syarat kepada umat-Nya; dan para pasangan suami istri Kristen dipanggil untuk mengambil bagian di dalam kesetiaan tanpa syarat yang tidak dapat diceraikan, yang mengikat Kristus dengan Mempelai-Nya, yaitu Gereja-Nya, yang dikasihi-Nya sampai akhir” (FC 20).

Dengan demikian, dengan  menyambut Ekaristi, pasangan suami istri mengambil bagian di dalam kasih setia Kristus kepada Gereja, mereka menimba kekuatan dari Kristus untuk selalu saling setia satu sama lain dan mereka menjadi saksi yang hidup tentang kasih setia Kristus yang tidak pernah meninggalkan Gereja-Nya. Dengan mengambil bagian dalam kasih setia Kristus, pasangan suami istri melaksanakan tugas yang paling genting dewasa ini, yaitu menjadi saksi bahwa perkawinan yang dikehendaki Allah adalah perkawinan antara suami istri yang saling setia dan tak terceraikan. Kesetiaan suami istri inilah yang memungkinkan keluarga untuk tetap bersatu, walaupun menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan.

4. Ekaristi adalah tanda kesatuan antara Kristus dan Gereja

Rasul Paulus mengajarkan, “Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat, karena kita adalah anggota tubuh-Nya.” (Ef 5:28-30). Ekaristi adalah Tubuh Kristus sendiri, dan dengan menerima Ekaristi, kita disatukan dengan Kristus dan Tubuh Mistik-Nya, yaitu Gereja, termasuk di dalamnya adalah anggota keluarga kita yang mengimani Kristus yang hadir dalam Ekaristi kudus.

Kasih kesatuan suami istri ini diwujudkan dengan sikap tunduk istri kepada suami seperti kepada Tuhan (ay. 22-24), namun suami juga harus mengasihi istrinya seperti Kristus telah menyerahkan diri bagi Gereja (ay. 25, KGK 1659). Singkatnya, para suami meneladan Kristus yang adalah Kepala Tubuh, dan para suami mempunyai tugas seperti Kristus, untuk memimpin dan mempersatukan anggota- anggota Tubuh, yaitu istri dan anak- anaknya. Demikian pula, istri dan anak- anak mempunyai tugas untuk taat kepada suami (ayah) sebagai kepala keluarga, seperti halnya Gereja kepada Kristus. Sebagaimana Gereja bersatu karena taat kepada Kristus Kepala-nya, demikian pula keluarga bersatu karena anggota-anggotanya taat kepada bapa/ ayah yang menjadi kepala keluarga.

Dengan menjaga keutuhan keluarga, keluarga menjadi tanda kesatuan bagi dunia dan dengan cara ini melaksanakan peran nubuat terhadap kedamaian Kerajaan Allah yang akan digenapi sepenuhnya di masa mendatang (lih. FC 48)

5. Ekaristi memperkokoh kesatuan kita dengan Allah di dalam Kristus

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan sebagai berikut:

KGK 1391       Komuni memperdalam persatuan kita dengan Kristus. Buah utama dari penerimaan Ekaristi di dalam komuni ialah persatuan yang erat dengan Yesus Kristus. Tuhan berkata: “Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yoh 6:56). Kehidupan di dalam Kristus mempunyai dasarnya di dalam perjamuan Ekaristi: “Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barang siapa memakan Aku, akan hidup oleh Aku” (Yoh 6:57).”

Dengan demikian, keluarga yang berakar pada Ekaristi akan diikat dalam persatuan dengan Kristus, dan di dalam Kristus kita disatukan dengan Allah Trinitas.

Paus Benediktus XVI juga menekankan, bahwa melalui Ekaristi kita mengambil bagian dalam kehidupan Allah sendiri: “Pada saat penciptaan, manusia dipanggil untuk mengambil bagian di dalam nafas kehidupan Allah (lih. Kej 2:7). Tetapi di dalam Kristus, yang wafat dan bangkit, dan di dalam pencurahan Roh Kudus, yang diberikan tanpa batas (lih. Yoh 3:34), kita telah mengambil bagian di dalam kehidupan Allah sendiri. Yesus Kristus, yang “melalui Roh Kudus mempersembahkan Diri-Nya tanpa cacat cela kepada Tuhan (lih. Ibr 9:14) menjadikan kita, di dalam karunia Ekaristi, pengambil bagian di dalam kehidupan Allah.” (SC 8). Jika Allah hidup di dalam kita, maka kita dapat berkata bersama Rasul Paulus, “Jika Allah ada di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Rom 8:31). Sebab dalam kesatuan kita dengan Allah, maka tidak ada yang dapat memisahkan antara suami dengan istri, orang tua dengan anak, ataupun antara sesama saudara.

6. Pertanyaan-pertanyaan pendalaman:

a. Apakah yang kita ketahui tentang Sakramen Ekaristi?

b. Apakah yang menjadi dasar dari persatuan dalam keluarga?

c. Bagaimana Ekaristi dapat mempersatukan keluarga?

Pertemuan kedua: Ekaristi meneguhkan keluarga (Kis 10: 1-4, 37-48)

Sejak jaman para rasul, setelah kenaikan Yesus ke Surga, Ekaristi telah menjadi cara hidup Gereja. Kisah Para Rasul menyebutkan, “Mereka [jemaat/ Gereja] bertekun di dalam pengajaran rasul- rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” (Kis 2:41). Sesungguhnya inilah yang dilakukan oleh Gereja Katolik sampai saat ini dalam perayaan Ekaristi. Melalui peringatan akan kurban Kristus inilah kita mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang (1 Kor 11:26).

Selanjutnya, melalui Kisah para Rasul tentang Kornelius, kita mengetahui bagaimana Tuhan tidak membatasi keselamatan hanya bagi bangsa Yahudi. Allah mengasihi semua manusia ciptaan-Nya, dan bahwa Kristus diutus untuk menyelamatkan semua bangsa, sebab Allah “menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim 2:4). Kasih Allah yang sifatnya universal/ merangkul semua orang inilah yang meneguhkan kita, bahwa kasih Allah tiada terbatas. Kasih Allah yang tak terbatas inilah yang dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus di dalam Ekaristi, sehingga melaluinya iman kita diteguhkan.

1. Perayaan Ekaristi menghadirkan kembali kurban Kristus dengan kuasa Roh Kudus

Melalui konsekrasi yang diucapkan oleh imam, maka roti dan anggur diubah oleh kuasa Roh Kudus menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Dengan demikian, Ekaristi merupakan tanda kehadiran Kristus secara nyata di dalam Gereja-Nya. Maka jika kita sekeluarga menyambut Ekaristi, Kristus juga hadir di dalam keluarga kita, dan kuasa Roh Kudus-Nya bekerja di dalam keluarga kita, sebagaimana  Roh Kudus bekerja di dalam keluarga Kornelius.

Perlu diketahui bahwa penghadiran kembali kurban Kristus di dalam perayaan Ekaristi ini bukan berarti bahwa Gereja berulang- ulang menyalibkan Kristus. Yang dimaksud di sini adalah bahwa oleh kuasa Roh Kudus-Nya, Kristus yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu menghadirkan kembali kurban salib-Nya, agar kita yang tidak hidup di zaman Kristus hidup di dunia, dapat mengambil bagian di dalam kurban salib-Nya. Bersama dengan Kristus, kita mempersembahkan hidup dan keluarga kita kepada Tuhan, dan agar Tuhan sendiri memimpin hidup dan keluarga kita kepada keselamatan.

2. Perayaan Ekaristi meneguhkan iman kita akan Kristus yang wafat dan bangkit bagi semua umat manusia.

Dengan menghadirkan kembali kurban Kristus dalam perayaan Ekaristi, iman kita akan Kristus yang telah wafat dan bangkit bagi kita diteguhkan kembali, sebab kita mengalami Allah yang hidup dan selalu hadir di tengah umat-Nya. Di dalam Ekaristi, kita mengalami Kristus, yang tetap sama, dahulu, sekarang dan selama-lamanya (Ibr 13:8). Kristus tetap Allah yang peduli akan kesusahan kita, menyembuhkan segala penyakit kita dan mengampuni dosa-dosa kita; dan kenyataan ini meneguhkan iman kita.

Dari kisah Kornelius, kita juga mengetahui bahwa Allah tidak membatasi undangan keselamatan hanya kepada umat Yahudi. Dengan menyambut Kristus dalam Ekaristi, kita didorong dan diteguhkan untuk mempunyai sikap seperti Kristus, yang mengasihi semua orang tanpa pandang bulu (lih. Ul 10:17), baik kepada sesama anggota keluarga kita (orang tua, anak- anak, kakak dan adik), termasuk jika ada anggota keluarga kita yang tidak satu iman dengan kita, dan juga kepada orang- orang lain yang tergabung dalam keluarga kita seperti para pembantu rumah tangga, ataupun sopir, yang mungkin tidak mengimani Kristus.

3. Dalam Ekaristi yang adalah kurban Kristus, kita diteguhkan karena menerima buah- buah pengorbanan Kristus.

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian “Jadi, Ekaristi adalah satu kurban, karena ia [Ekaristi] menghadirkan kembali kurban salib, dan karena Ekaristi adalah kenangan akan kurban itu dan karena Ekaristi memberikan buah-buahnya: Kristus memang telah mengurbankan diri kepada Allah Bapa, satu kali untuk selama-lamanya di altar salib melalui kematian yang datang menjemput-Nya (Bdk. Ibr 7:27), untuk memperoleh penebusan abadi bagi mereka [manusia]; tetapi karena imamat-Nya tidak berakhir dengan kematian-Nya (Bdk. Ibr 7:24), maka dalam perjamuan malam terakhir, pada malam waktu Ia diserahkan (1 Kor 11:23), Ia meninggalkan bagi Mempelai kekasih-Nya, yaitu Gereja, satu kurban yang kelihatan (seperti yang dibutuhkan kodrat manusia), yang olehnya, kurban yang berdarah itu, yang diselesaikan-Nya di salib satu kali untuk selama-lamanya, dapat dihadirkan kembali, kenangannya tetap tidak berakhir sampai akhir zaman, dan kekuatannya yang menyelamatkan dipergunakan untuk pengampunan dosa, yang kita lakukan setiap hari” (Konsili Trente: DS 1740).” (KGK, 1366)

Dengan kita menerima buah- buah pengorbanan Kristus di dalam Ekaristi, maka kita dimampukan untuk melaksanakan tugas panggilan kita sebagai anggota- anggota keluarga, entah sebagai suami, istri, orang tua ataupun anak- anak.

4. Dalam Ekaristi suami dan istri memperbaharui janji perkawinan mereka, untuk saling meneguhkan dalam kasih dan kesetiaan sampai akhir.

Peneguhan ikatan suami istri ini dirayakan setiap kali di dalam Ekaristi, sebab di dalam perayaan Ekaristi, suami dan istri seolah memperbaharui janji perkawinan mereka untuk selalu memberikan diri dan saling setia satu sama lain, sebagaimana Kristus telah memberikan diri-Nya kepada Gereja di dalam Ekaristi kudus. Saat suami dan istri menyambut Ekaristi

mereka berdua menimba kekuatan dari Kristus sendiri untuk saling mengasihi, mengampuni dan saling meneguhkan dalam iman, pengharapan dan kasih.

5. Pertanyaan-pertanyaan pendalaman:

a. Bagaimana Roh Kudus bekerja di dalam perayaan Ekaristi?

b. Mengapa dikatakan bahwa Ekaristi dapat meneguhkan iman dalam keluarga kita?

c. Apa yang dapat dilakukan agar kita dapat menjadi cerminan kasih Allah yang tidak terbatas dan tidak pandang bulu?

Pertemuan ketiga: Ekaristi Dasar Perutusan dalam Membangun Keluarga (Luk 24: 13-35)

Melalui kisah penampakan Kristus kepada dua orang murid-Nya di perjalanan menuju Emaus, kita mengetahui bagaimana Yesus sendiri menentukan adanya dua cara Ia hadir di tengah para murid-Nya; yaitu dalam permenungan Sabda-Nya dalam Kitab Suci, dan dalam pemecahan roti yang menjadi kenangan akan kurban salib-Nya. Inilah yang menjadi cikal bakal adanya dua jenis liturgi di dalam Ekaristi; yaitu Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Pembahasan lengkap tentang hal ini dapat dilihat di artikel “Tinggallah Bersama Kami, ya Tuhan!” di sini – silakan klik.

1. Liturgi Sabda

Di awal penampakan-Nya, Yesus menjelaskan kepada para murid-Nya tentang apa yang tertulis tentang Dia di dalam seluruh Kitab Suci, baik dalam kitab- kitab Musa maupun kitab para nabi (lih. ay. 27). Penjelasan tentang pengajaran dan nubuat Allah tentang Kristus yang tertera dalam Kitab Suci merupakan inti dari Liturgi Sabda.

2. Liturgi Ekaristi

Kemudian setelah Kristus tinggal bersama para murid-Nya, Ia mengambil roti, mengucap berkat, memecahkannya dan memberikan roti itu kepada mereka (lih. ay. 30). Hal kurban dan perjamuan syukur ini adalah inti dari Liturgi Ekaristi.

Dalam kaitannya dengan keluarga, Paus Yohanes Paulus II menghubungkan hal kaitan antara pembacaan Sabda dan sakramen terutama Ekaristi tersebut dengan tugas orang tua sebagai pendidik utama anak- anak di dalam keluarga:

“Karena pelayanan mereka sebagai pendidik, orang tua, melalui kesaksian hidup mereka, menjadi duta (pewarta) Injil yang pertama bagi anak- anak mereka. Selain itu dengan berdoa bersama anak- anak, dengan membaca sabda Allah bersama mereka dan dengan mengantarkan mereka melalui inisiasi Kristen, untuk secara mendalam menyatu dengan Tubuh Kristus – baik Tubuh Ekaristi maupun Tubuh Gereja- mereka menjadi orang tua dalam arti sepenuhnya….” (FC 39)

Artinya, seiring dengan tugas orang tua untuk mendidik anak- anak dalam hal iman, maka orang tua perlu untuk menumbuhkan kecintaan anak terhadap Sabda Tuhan, yaitu dengan mengajari mereka membaca Sabda Tuhan dalam Kitab Suci, yang didahului dengan doa. Dengan dasar pendidikan iman yang ditanamkan oleh orang tua kepada anak- anak, maka anak- anak juga dapat semakin menghayati makna liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi yang dirayakan dalam perayaan Misa Kudus. Dan sebaliknya, penghayatan akan liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi ini dapat meningkatkan kecintaan seluruh anggota keluarga kepada Sabda Tuhan dan sakramen- sakramen Gereja.

3. Keluarga yang berakar dalam doa, Sabda dan sakramen adalah keluarga yang melaksanakan tugas perutusan

Dengan berakarnya keluarga di dalam doa, Sabda Tuhan dan sakramen, maka keluarga menjadi keluarga yang kokoh bersatu dan keluarga yang misioner/ yang mewarta. Bunda Teresa pernah mengatakan, “Keluarga yang berdoa bersama akan selalu tetap bersama (“A family that prays together stays together”). Demikian juga, keluarga yang berakar dalam doa, Sabda Tuhan dan sakramen akan menjadi keluarga yang senantiasa bersatu; dan dengan demikian mereka mewartakan Injil, walaupun mungkin tanpa kata- kata. Kasih Allah akan terpancar di dalam kehidupan keluarga dan dengan demikian keluarga melakukan tugas perutusan untuk menjadi saksi Kristus, yaitu (lih. FC 50):

1) sebagai keluarga yang percaya dan mewartakan Kristus
2) sebagai keluarga yang berdialog dengan Tuhan
3) sebagai keluarga yang melayani sesama.

4. Keluarga yang melakukan tugas perutusan adalah keluarga yang membantu anak menemukan panggilan hidup mereka

Selanjutnya, tugas perutusan di dalam keluarga juga termasuk dalam tugas orang tua untuk membantu anak- anak mereka untuk menemukan panggilan hidup mereka, secara istimewa panggilan hidup rohani (FC 53). Katekismus Gereja Katolik mengajarkan: ”Dewasa ini, di suatu dunia yang sering kali berada jauh dari iman atau malahan bermusuhan, keluarga-keluarga Kristen itu sangat penting sebagai pusat suatu iman yang hidup dan meyakinkan. Karena itu Konsili Vatikan II menamakan keluarga menurut sebuah ungkapan tua “Ecclesia domestica” [Gereja-rumah tangga] (Lumen Gentium 11; Bdk. FC 21). Dalam pangkuan keluarga “hendaknya orang-tua dengan perkataan maupun teladan menjadi pewarta iman pertama bagi anak-anak mereka; orang-tua wajib memelihara panggilan mereka masing-masing, secara istimewa panggilan rohani” (LG 11,2).” (KGK, 1656)

5. Hal- hal praktis

Jika kita sungguh menyadari akan kehadiran Kristus di dalam perayaan Ekaristi (baik dalam liturgi Sabda maupun liturgi Ekaristi) maka ini selayaknya tercermin juga dalam sikap kita, dan bagaimana kita mempersiapkan diri sebelum mengikuti perayaan Ekaristi. Beberapa hal praktis yang dapat dilakukan bersama sebagai keluarga untuk mempersiapkan diri menjelang Ekaristi adalah:

1. Berdoa bersama sekeluarga sebelum mengikuti Misa Kudus

2. Membaca dan merenungkan terlebih dahulu bacaan- bacaan Kitab Suci yang akan dibacakan pada Misa Kudus itu. (Silakan menggunakan buku- buku yang dapat membantu, seperti Ruah, Mutiara Iman, Ziarah Batin, dst, yang memuat informasi bacaan liturgis setiap hari). Ayah, sebagai kepala keluarga dapat menjelaskan secara singkat tema yang direnungkan pada hari Minggu itu kepada seluruh anggota keluarga, sebelum keluarga berangkat mengikuti perayaan Ekaristi. Jika hari Minggu pagi tidak mungkin dilakukan, maka hal ini dapat dilakukan pada hari Sabtu malam sebelumnya.

3. Mempersiapkan persembahan dengan jumlah yang layak, yang akan diberikan dalam perayaan Ekaristi.

4. Memeriksa batin, dan membantu anak- anak memeriksa batin. Jika ditemukan dosa berat, maka silakan mengaku dosa dalam sakramen Tobat, sebelum mengikuti Misa Kudus (lih. KGK 1385, FC 58)
5. Berpuasa (tidak makan dan minum, kecuali air putih dan obat) sejak satu jam sebelum mengikuti perayaan Ekaristi. Anak-anak juga diajar untuk tidak makan dan minum di gereja saat Misa berlangsung.

6. Berpakaian yang sopan dan layak/ rapi ke gereja untuk menyambut Tuhan.

7. Tidak datang terlambat ke gereja untuk mengikuti Misa Kudus.

8. Menjaga keheningan dan memusatkan hati kepada Kristus menjelang perayaan Ekaristi dimulai. Keheningan ini termasuk dengan tidak mengobrol di gereja, mematikan Hp dan tidak bermain game ataupun BBM di gereja. Gunakan waktu sebelum Misa dimulai untuk merenungkan Sabda Tuhan atau merenungkan kehadiran Tuhan Yesus dalam Tabernakel yang kudus.

6. Pertanyaan- pertanyaan pendalaman:

a. Apakah sebagai orang tua kita sudah mengarahkan anak- anak agar berakar dalam doa, Sabda Tuhan dan sakramen?

b. Sudahkah kita memberikan penghormatan yang sama akan kehadiran Kristus dalam liturgi Sabda dan liturgi Ekaristi?

c. Apakah yang dapat kita lakukan untuk mempersiapkan diri lebih baik menyambut kehadiran Tuhan di dalam perayaan Ekaristi?

d. Apakah kita akan mengizinkan dan mendukung anak kita jika ia memilih jalan panggilan hidup membiara demi Kerajaan Allah?

Pertemuan keempat: Ekaristi Dasar Dalam Membangun Persaudaraan dengan Sesama (1Kor 12:12-31)

Sifat dasar kasih adalah menyebar/ ‘menular’ dan mempersatukan. Dengan demikian, Ekaristi yang merupakan tanda kasih Kristus, juga sifatnya memampukan kita yang menerima-Nya untuk meneruskan kasih ini kepada orang- orang di sekitar kita; pertama- tama kepada sesama anggota keluarga, tetapi juga kepada sesama/ orang- orang lain di luar keluarga kita, dan membangkitkan rasa persatuan dan persaudaraan di antara kita semua. Sebagaimana kasih kepada Allah merupakan dasar bagi kasih kita kepada sesama, demikianlah Ekaristi yang adalah perwujudan kasih Allah merupakan dasar bagi perwujudan kasih persaudaraan kita dengan sesama.

Melalui perikop, “Banyak anggota tetapi satu tubuh” (1 Kor 12:12-31) kita diingatkan bahwa persatuan setiap anggota tubuh dengan sang kepala, akan menjadikan ia terhubung dengan anggota- anggota tubuh lainnya. Sebab segala pengaturan seluruh anggota tubuh tergantung dari komando sang kepala. Demikian pula, jika sebagai anggota Kristus kita tunduk kepada kehendak Kristus, maka kita akan dapat bekerjasama dengan anggota-anggota tubuh yang lain.

1. Persatuan kita dengan Kristus dalam Ekaristi menjadi dasar bagi persatuan kita dengan sesama.

Katekismus Gereja Katolik mengajarkan:

KGK 1396       Kesatuan Tubuh Mistik: Ekaristi membangun Gereja. Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja. Komuni membaharui, memperkuat, dan memperdalam penggabungan ke dalam Gereja, yang telah dimulai dengan Pembaptisan. Di dalam Pembaptisan kita dipanggil untuk membentuk satu tubuh (Bdk. 1 Kor 12:13). Ekaristi melaksanakan panggilan ini: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Kor 10:16-17).

Persatuan menjadi satu Tubuh inilah yang kita mohonkan kepada Tuhan, sebagaimana diucapkan dalam Doa Syukur Agung II, “Semoga kami semua yang mengambil bagian dalam kurban Tubuh dan Darah Kristus dipersatukan menjadi Satu Tubuh oleh kuasa Roh Kudus.”…. “Karena itu Ekaristi ditemukan di akar Gereja sebagai misteri persekutuan” (SC 15) yang mempersatukan semua anggota- anggota Kristus.

2. Sebagaimana kasih pengorbanan Kristus dalam Ekaristi adalah kasih Allah yang tak terbatas pada semua orang, maka kita yang menerimanya didorong untuk mengasihi semua orang, terutama yang termiskin dan terkecil.

Di perikop tentang “Banyak anggota, tetapi satu tubuh” (1 Kor 12:12-31), kita mengetahui bahwa Allah menghendaki agar sebagai sesama anggota tubuh, kita saling membantu, saling memperhatikan, terutama kepada anggota yang memerlukan perhatian khusus: “Malahan justru anggota-anggota tubuh yang nampaknya paling lemah, yang paling dibutuhkan. Dan kepada anggota-anggota tubuh yang menurut pemandangan kita kurang terhormat, kita berikan penghormatan khusus. Dan terhadap anggota-anggota kita yang tidak elok, kita berikan perhatian khusus. Hal itu tidak dibutuhkan oleh anggota-anggota kita yang elok. Allah telah menyusun tubuh kita begitu rupa, sehingga kepada anggota-anggota yang tidak mulia diberikan penghormatan khusus, supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita.” (1 Kor 12:21-26)

Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “Kasih…. melampaui saudara dan saudari kita seiman, sebab “setiap orang adalah saudara dan saudariku.” Di dalam setiap orang, terutama mereka yang miskin dan lemah dan mereka yang menderita dan diperlakukan tidak adil, cinta kasih mengetahui bagaimana mengenali wajah Kristus, dan menjumpai sesama manusia untuk dikasihi dan dilayani.” (FC 64)…. “Keluarga kristiani dipanggil untuk menjadi saksi bagi semua orang akan dedikasi yang murah hati dan tidak membeda- bedakan…, melalui pelayanan kepada mereka yang miskin dan kurang beruntung. Karena itu, mengikuti Tuhan kita, kita memberikan perhatian khusus kepada orang-orang miskin, mereka yang lapar, yang jompo, yang sakit, korban obat-obatan, dan mereka yang tidak mempunyai keluarga.” (FC 47)

Maka adalah menjadi tugas orang tua untuk mendidik anak- anak sejak usia dini untuk mengetahui bahwa kasih Allah ditujukan kepada semua orang (lih. FC 54), dan bahwa kita semua dipanggil untuk mempunyai kepedulian untuk menolong orang- orang yang miskin, yang sakit, dan yang membutuhkan pertolongan. Anak- anak perlu mendapat pengajaran bahwa mereka yang lebih besar harus mempunyai kepedulian untuk membantu dan melindungi adik- adiknya yang lebih kecil; dan untuk memberikan penghormatan kepada orang tua/ opa/ oma, terutama jika mereka sedang sakit. Sebab dapat terjadi orang- orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan ini ada di dalam keluarga kita sendiri, seperti orang tua kita/ saudara kita yang sakit ataupun yang jompo, ataupun anak- anak kita yang masih kecil, yang karena kesibukan kita kurang kita perhatikan.

3. Dengan menyambut Ekaristi, keluarga mengambil bagian di dalam misi Gereja untuk melayani Gereja dan masyarakat dunia.

Paus Yohanes Paulus II mengajarkan, “Karena keluarga merupakan persekutuan tempat hubungan- hubungan diperbaharui oleh Kristus melalui iman dan sakramen- sakramen, maka peran serta keluarga dalam misi Gereja harus mengikuti pola persekutuan: hendaknya suami istri sebagai pasangan, orang tua dan anak sebagai keluarga, menghayati pengabdian mereka kepada Gereja dan dunia. Mereka harus “sehati dan sejiwa” di dalam iman, melalui semangat merasul yang menjiwai mereka, dan melalui kesanggupan mereka untuk melaksanakan karya pengabdian kepada komunitas gerejawi dan masyarakat sipil.” (FC 50). Jika keluarga kita telah hidup dalam semangat Ekaristi, yaitu mengasihi, senang memberi, dan menolong terutama kepada yang miskin dan membutuhkan pertolongan, maka kita dapat menjadi terang bagi orang- orang di sekitar kita, di lingkungan pergaulan kita, di kantor, di sekolah, dan di manapun.

4. Pertanyaan-pertanyaan pendalaman:

a. Sudahkah kita mengambil bagian dalam kesatuan persaudaran antara sesama umat beriman?

b. Apakah yang dapat kita lakukan untuk membangun persaudaraan dengan sesama umat beriman dan masyarakat di lingkungan sekitar kita?
c. Apakah yang dapat kita lakukan untuk menjadi seperti Kristus dalam memberikan perhatian kepada orang- orang yang miskin, yang sakit dan memerlukan bantuan?

d. Periksalah, apakah ada anggota keluarga/ kerabat kita sendiri yang memerlukan bantuan/ uluran tangan kita?

Lampiran 1: Tentang Ekaristi di KGK

KGK, 1328.     Kekayaan isi Sakramen ini menyata dalam aneka ragam nama. Tiap-tiapnya menunjuk kepada aspek tertentu. Orang menamakannya:Ekaristi, karena ia adalah ucapan terima kasih kepada Allah. Kata-kata “eucharistein” (Bdk Luk 22:19; 1 Kor 11:24.) dan “eulogein” (Bdk. Mat 26:26; Mrk 14:22.) mengingatkan pujian bangsa Yahudi, yang – terutama waktu makan – memuliakan karya Allah: penciptaan, penebusan, dan pengudusan.

KGK, 1329.     Perjamuan Tuhan (Bdk. 1 Kor 11:20.), karena ia menyangkut perjamuan malam, yang Tuhan adakan bersama murid-murid-Nya pada malam sebelum sengsara-Nya. Tetapi ia juga menyangkut antisipasi perjamuan pernikahan Anak Domba (Bdk. Why 19:9.) dalam Yerusalem surgawi.Pemecahan roti, karena ritus yang khas pada perjamuan Yahudi ini, dipergunakan oleh Yesus: pada waktu makan – sebagai kepala persekutuan – Ia memberkati roti dan membagi-bagikan-Nya (Bdk. Mat 14:19; 15:36; Mrk 8:6.19.); Ia melakukan ini terutama dalam perjamuan malam terakhir (Bdk. Mat 26:26; 1 Kor 11:24.). Dari tindakan ini para murid mengenal-Nya kembali sesudah kebangkitan (Bdk. Luk 24:13-35.). Dengan istilah “memecahkan roti” orang Kristen pertama menggambarkan perkumpulan Ekaristi mereka (Bdk. Kis 2:42.46; 20:7.11.). Dengan itu, mereka hendak menyatakan bahwa semua orang yang makan satu roti yang dipecahkan – dari Kristus itu – masuk ke dalam persekutuan-Nya dan membentuk di dalam-Nya satu tubuh (Bdk. 1 Kor 10:16-17.).Perhimpunan Ekaristi (synaxis), karena Ekaristi dirayakan dalam perhimpunan umat beriman, di mana Gereja dinyatakan secara kelihatn (Bdk. 1 Kor 11:17-34).

KGK, 1330.     Kenangan akan kesengsaraan dan kebangkitan Tuhan. Kurban kudus, karena ia menghadirkan kurban tunggal Kristus, Penebus dan mencakup pula penyerahan diri Gereja. Atau juga kurban misa kudus, “Kurban Syukur” (Ibr 13:15) Bdk. Mzm 116:13.17., persembahan rohani Bdk. 1 Ptr 2:5., kurban murni Bdk. Mal 1:11. dan kudus, karena ia menyempumakan dan melebihi segala kurban Perjanjian Lama.Liturgi kudus dan ilahi, karena seluruh liturgi Gerej a berpusat dalam perayaan Sakramen ini dan paling jelas terungkap di dalamnya. Dalam arti yang sama orang juga menamakannya perayaan misteri kudus. Juga orang mengatakan Sakramen mahakudus, karena Ekaristi adalah Sakramen segala Sakramen. Disimpan dalam rupa Ekaristi di dalam tabernakel, orang menamakan tubuh Kristus itu Yang Maha Kudus.

KGK, 1331.     Komuni, karena didalam Sakramen ini kita menyatukan diri dengan Kristus yang mengundang kita mengambil bagian dalam tubuh dan darah-Nya, supaya kita membentuk satu tubuh (Bdk. 1 Kor 10:16-17.). Orang juga menamakan Ekaristi hal-hal kudus [ta hagia; sancta] (const. ap. 8,13,12; Didache 9,5; 10,6) – ini sejajar dengan arti pertama ungkapan “persekutuan para kudus” dalam syahadat apostolik. Nama-nama yang lain adalah: roti malaikat, roti surgawi, “obat kebakaan” (Ignasius dari Antiokia, Eph. 20,2) dan bekal perjalanan.

KGK, 1332.     Misa kudus, karena liturgi, dimana misteri keselamatan dirayakan, berakhir dengan pengutusan umat beriman [missio], supaya mereka melaksanakan kehendak Allah dalam kehidupannya sehari-hari.

KGK, 1391.     Komuni memperdalam persatuan kita dengan Kristus. Buah utama dari penerimaan Ekaristi di dalam komuni ialah persatuan yang erat dengan Yesus Kristus. Tuhan berkata: “Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yoh 6:56). Kehidupan di dalam Kristus mempunyai dasarnya di dalam perjamuan Ekaristi: “Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barang siapa memakan Aku, akan hidup oleh Aku” (Yoh 6:57).

“Kalau pada hari raya Tuhan umat beriman menerima tubuh Tuhan, mereka saling mengumumkan warta gembira bahwa anugerah-anugerah sudah diberikan, seperti dahulu ketika malaikat mengatakan kepada Maria Magdalena: “Kristus telah bangkit”. Juga sekarang kehidupan dan kebangkitan itu dianugerahkan kepada orang yang menerima Kristus” (Fanqith, Ofisi Siria dari Antiokia, jilid 1, Commune, hal. 237 a-b).

KGK, 1392.     Apa yang dihasilkan makanan jasmani dalam kehidupan jasmani kita, itu yang dicapai komuni dalam kehidupan rohani kita atas cara yang mengagumkan. Komuni dengan tubuh Kritus yang telah bangkit, suatu daging “yang berkat Roh Kudus dihidupkan dan menghidupkan” (PO 5), melindungi, menambah, dan membaharui pertumbuhan kehidupan rahmat yang diterima dalam Pembaptisan. Pertumbuhan ini dalam kehidupan Kristen membutuhkan makanan komuni Ekaristi, roti penziarahan kita, sampai kepada saat kematian kita, di mana ia diberikan kepada kita sebagai bekal perjalanan.

KGK, 1393.     Komuni memisahkan kita dari dosa. Tubuh Kristus yang kita terima dalam komuni, telah “diserahkan untuk kita” dan darah yang kita minum, telah “dicurahkan untuk banyak orang demi pengampunan dosa”. Karena itu Ekaristi tidak dapat menyatukan kita dengan Kristus, tanpa serentak membersihkan kita dari dosa yang, telah dilakukan dan melindungi kita terhadap dosa-dosa baru.

“Setiap kali kita menerimanya, kita menyatakan kematian Tuhan (Bdk. 1 Kor 11:26.). Kalau kita menyatakan kematian Tuhan, kita menyatakan pengampunan dosa. Andai kata setiap kali bila darah-Nya dicurahkan, itu dicurahkan demi pengampunan dosa, aku harus selalu menerimanya, supaya ia selalu menyembuhkan dosa-dosaku. Aku yang selalu berbuat dosa, harus selalu mempunyai sarana penyembuhan” (Ambrosius, sacr. 4,28).

KGK, 1394.     Seperti halnya makanan jasmani perlu untuk mengembalikan lagi kekuatan yang sudah terpakai, demikianlah Ekaristi memperkuat cinta yang terancam menjadi lumpuh dalam kehidupan sehari-hari. Cinta yang dihidupkan kembali ini menghapus dosa ringan (Bdk. Konsili Trente: DS 1638.). Kalau Kristus menyerahkan Diri kepada kita, Ia menghidupkan cinta kita dan memberi kita kekuatan, supaya memutuskan hubungan dengan kecenderungan yang tidak teratur kepada makhluk-makhluk dan membuat kita berakar di dalam Dia.

“Karena Kristus telah wafat untuk kita karena cinta, maka setiap kali kita merayakan peringatan akan kematian-Nya, kita mohon pada saat persembahan, agar cinta itu diberi kepada kita oleh kedatangan Roh Kudus. Kita mohon dengan rendah hati, supaya berkat cinta, yang dengannya Kristus rela wafat untuk kita, kita pun setelah menerima rahmat Roh Kudus, memandang dunia sebagai disalibkan untuk kita dan kita sebagai disalibkan untuk dunia…. Marilah kita, karena kita telah menerima cinta itu secara cuma-cuma, mati untuk dosa dan hidup untuk Allah” (Fulgensius dari Ruspe, Fab. 28,16-19).

KGK, 1395.     Oleh cinta yang disulut Ekaristi di dalam kita, ia menjauhkan kita dari dosa berat pada masa mendatang. Semakin kita ambil bagian dalam hidup Kristus dan semakin kita bergerak maju dalam persahabatan dengan-Nya, semakin kurang pula bahaya bahwa kita memisahkan diri dari-Nya oleh dosa besar. Tetapi bukan Ekaristi, melainkan Sakramen pengampunan ditetapkan untuk mengampuni dosa berat. Ekaristi adalah Sakramen bagi mereka, yang hidup dalam persekutuan penuh dengan Gereja.

KGK, 1396.     Kesatuan Tubuh Mistik: Ekaristi membangun Gereja. Siapa yang menerima Ekaristi, disatukan lebih erat dengan Kristus. Olehnya Kristus menyatukan dia dengan semua umat beriman yang lain menjadi satu tubuh: Gereja. Komuni membaharui, memperkuat, dan memperdalam penggabungan ke dalam Gereja, yang telah dimulai dengan Pembaptisan. Di dalam Pembaptisan kita dipanggil untuk membentuk satu tubuh (Bdk. 1 Kor 12:13.). Ekaristi melaksanakan panggilan ini: “Bukankah cawan pengucapan syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur adalah persekutuan dengan darah Kristus? Bukankah roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan tubuh Kristus? Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Kor 10:16-17):

“Kalau kamu Tubuh Kristus dan anggota-anggota-Nya, maka Sakramen yang adalah kamu sendiri, diletakkan di atas meja Tuhan; kamu menerima Sakramen, yang adalah kamu sendiri. Kamu menjawab atas apa yang kamu terima, dengan “Amin” [Ya, demikianlah] dan kamu menandatanganinya, dengan memberi jawaban atasnya. Kamu mendengar perkataan “Tubuh Kristus”, dan kamu menjawab “Amin”. Jadilah anggota Kristus, supaya Aminmu itu benar” (Agustinus, serm. 272).

KGK, 1397.     Ekaristi mewajibkan kita terhadap kaum miskin. Supaya dengan ketulusan hati menerima tubuh dan darah Kristus yang diserahkan untuk kita, kita juga harus mengakui Kristus di dalam orang-orang termiskin, saudara-saudara-Nya (Bdk. Mat 25:40.)

“Kamu telah minum darah Kristus, namun tidak mengenal saudaramu. Kamu mencemarkan meja ini, karena kamu menganggapnya tidak layak membagi-bagi makananmu kepada orang-orang, yang telah dilayakkan, untuk mengambil bagian dalam meja ini. Allah telah membebaskan kamu dari semua dosamu dan telah mengundang kamu untuk itu. Dan kamu sama sekali tidak menjadi lebih berbelas kasihan” (Yohanes Krisostomus, hom. in 1 Cor 27,4).

KGK, 1398.     Ekaristi dan kesatuan umat beriman. Karena keagungan misteri ini, santo Augustinus berseru: “O Sakramen kasih sayang, tanda kesatuan, ikatan cinta” (ev. Jo 26,6,13; Bdk. SC 47.). Dengan demikian orang merasa lebih sedih lagi karena perpecahan Gereja yang memutuskan keikutsertaan bersama pada meja Tuhan; dengan demikian lebih mendesaklah doa-doa kepada Tuhan, supaya saat kesatuan sempurna semua orang yang percaya kepada-Nya, pulih kembali.

KGK, 1399.     Gereja-gereja Timur, yang tidak berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, merayakan Ekaristi dengan cinta yang besar. “Sungguhpun terpisah, Gereja-gereja Timur mempunyai Sakramen-sakramen yang sejati, terutama berdasarkan suksesi apostolik, imamat dan Ekaristi. Melalui Sakramen-sakramen itu mereka masih berhubungan erat sekali dengan kita”. Dengan demikian semacam persekutuan “in sacris”, jadi dalam Ekaristi, “bila situasi memang menguntungkan dan dengan persetujuan pimpinan Gerejani, bukan hanya mungkin, melainkan juga dianjurkan” (UR 15; Bdk. CIC, can. 844 §3).

KGK, 1400.     Persekutuan-persekutuan Gereja yang muncul dari Reformasi, yang terpisah dari Gereja Katolik, “terutama karena tidak memiliki Sakramen Tahbisan, sudah kehilangan hakikat misteri Ekaristi yang otentik dan sepenuhnya” (UR 22). Karena alasan ini, maka bagi Gereja Katolik tidak mungkin ada interkomuni Ekaristi dengan persekutuan-persekutuan ini. “Kendati begitu, bila dalam Perjamuan Kudus mereka mengenangkan wafat dan kebangkitan Tuhan, mereka mengimani, bahwa kehidupan terdapat dalam persekutuan dengan Kristus, dan mereka mendambakan kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan” (UR 22).

KGK, 1401.     Jika menurut pandangan Uskup diosesan ada situasi darurat yang mendesak, imam-imam Katolik boleh menerimakan Sakramen-sakramen Pengakuan, Ekaristi, dan Urapan Orang Sakit juga kepada orang-orang Kristen lain yang tidak mempunyai kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, bila mereka sendiri secara sukarela memintanya, asalkan mengerti Sakramen-sakramen itu mereka memperlihatkan iman Katolik serta berada dalam disposisi yang baik (Bdk. CIC, can. 844 §4).

Lampiran 2: Tentang keluarga di KGK

KGK, 2204.     Keluarga Kristen adalah satu penampilan dan pelaksanaan khusus dari persekutuan Gereja. Karena itu, ia dapat dan harus dinamakan juga “Gereja rumah tangga” (FC 21; Bdk. LG 11.). Ia adalah persekutuan iman, harapan, dan kasih; seperti yang telah dicantumkan di dalam Perjanjian Baru (Bdk. Ef 5:21 – 6:4; Kol 3:18-21; 1 Ptr 3:1-7.), ia memainkan peranan khusus di dalam Gereja.

KGK, 2205.     Keluarga Kristen adalah persekutuan pribadi-pribadi, satu tanda dan citra persekutuan Bapa dan Putera dalam Roh Kudus. Di dalam kelahiran dan pendidikan anak-anak tercerminlah kembali karya penciptaan Bapa. Keluarga dipanggil, supaya mengambil bagian dalam doa dan kurban Kristus. Doa harian dan bacaan Kitab Suci meneguhkan mereka dalam cinta kasih. Keluarga Kristen mempunyai suatu tugas mewartakan dan menyebarluaskan Injil.

KGK, 2206.     Hubungan keluarga menghasilkan satu kedekatan timbal balik menyangktut perasaan, kecenderungan, dan minat, terutama kalau anggota-anggotanya saling menghormati. Keluarga adalah satu persekutuan dengan kelebihan-kelebihan khusus: ia dipanggil untuk mewujudkan “komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami isteri, dan kerja sama orang-tua yang tekun dalam pendidikan anak-anak” (GS 52,1).

KGK, 2207.     Keluarga adalah sel pokok kehidupan sosial. Ia adalah persekutuan kodrati, di mana pria dan wanita dipanggil untuk menyerahkan diri di dalam cinta kasih dan untuk melanjutkan kehidupan. Wewenang, kestabilan, dan kehidupan persekutuan dalam keluarga merupakan dasar untuk kebebasan, keamanan, dan persaudaraan di dalam masyarakat. Keluarga adalah persekutuan, di mana sejak kecil orang dapat belajar menghormati nilai-nilai kesusilaan, menghormati Allah, dan mempergunakan kebebasan secara benar. Kehidupan keluarga merupakan latihan bagi kehidupan sosial.

KGK, 2208.     Keluarga harus hidup sedemikian rupa, sehingga anggota-anggotanya belajar memperhatikan dan mengurus yang muda dan yang tua, yang sakit, cacat, dan miskin. Ada banyak keluarga yang untuk sementara tidak mampu memberi, pertolongan ini. Kalau begitu, adalah kewajiban orang-orang dan keluarga-keluarga lain, atau juga masyarakat untuk memenuhi kebutuhan orang-orang ini. “Ibadat yang murni dan tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia” (Yak 1:27).

KGK, 2218.     Perintah keempat mengingatkan anak-anak yang dewasa akan kewajibannya terhadap orang-tua. Dalam usia lanjut, dalam keadaan sakit, dalam kesepian atau kesulitan, mereka harus membantu orang-tuanya sebaik mungkin, baik secara material maupun secara moral. Yesus mengingatkan kewajiban terima kasih ini (Bdk. Mrk 7:10-12).

“Memang Tuhan telah memuliakan bapa pada anak-anaknya, dan hak ibu atas para anaknya diteguhkan-Nya. Barang siapa menghormati bapanya, memulihkan dosa, dan barang siapa memuliakan ibunya, serupa dengan orang yang mengumpulkan harta. Barang siapa menghormati bapanya, ia sendiri akan mendapat kesukaan pada anak-anaknya pula, dan apabila bersembahyang niscaya doanya dikabulkan. Barang siapa memuliakan bapanya, akan panjang umurnya dan orang yang taat kepada Tuhan, menenangkan ibunya” (Sir 3:2-6).

“Anakku, tolonglah ayahmu dalam masa tuanya, jangan menyakitkan hatinya di masa hidupnya. Lagi pula kalau akalnya sudah berkurang, hendaknya kau maafkan, jangan menistakannya sewaktu engkau masih berdaya!… Serupa penghujah barang siapa meninggalkan bapanya, dan terkutuklah oleh Tuhan, orang yang menyakitkan hati ibunya” (Sir 3:12-13.16).

KGK, 2219.     Kasih sayang kepada orang-tua mendukung keserasian kehidupan seluruh keluarga; ia juga mempengaruhi hubungan antara saudara sekandung. Penghormatan kepada orang-tua menyinari iklim di dalam keluarga. “Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu, dan kehormatan anak-anak adalah nenek moyang mereka” (Ams 17:6). “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukanlah kasihmu dalam hal saling membantu” (Ef 4:2).

KGK, 2221.     Kesuburan cinta kasih suami isteri tidak hanya terbatas pada kelahiran anak-anak; ia juga harus mencakup pendidikan kesusilaan dan pembentukan rohaninya. Pendidikan oleh orang-tua “begitu penting, sehingga bila tidak ditunaikan, sulit dapat diganti” (GE 3). Hak maupun kewajiban orang-tua untuk mendidik bersifat hakiki (Bdk. FC 36).

KGK, 2222.     Orang-tua harus memandang anak-anaknya sebagai anak-anak Allah, dan menghormati mereka sebagai pribadi-pribadi manusia. Mereka mendidik anak-anaknya agar mereka mematuhi hukum Allah, apabila mereka sendiri patuh kepada kehendak Bapa di surga.

KGK, 2223.     Orang-tua adalah orang-orang pertama yang bertanggung jawab atas pendidikan anak-anaknya. Pada tempat pertama mereka memenuhi tanggung jawab ini, kalau mereka menciptakan satu rumah keluarga, di mana terdapat kemesraan, pengampunan, penghormatan timbal balik, kesetiaan, dan pengabdian tanpa pamrih. Pendidikan kebajikan mulai di rumah. Di sini anak-anak harus belajar kesiagaan untuk berkurban, mengambil keputusan yang sehat, dan mengendalikan diri, yang merupakan prasyarat bagi kebebasan sejati. Orang-tua harus mengajar anak-anak, “membawahkan aspek-aspek jasmani dan alamiah kepada segi-segi batiniah dan rohani” (CA 36). Orang-tua mempunyai tanggung jawab yang besar, supaya memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya. Kalau mereka dapat mengakui kesalahannya kepada mereka, mereka lalu lebih mudah dapat membimbingnya dan menegurnya.

“Barang siapa cinta kepada anaknya menyediakan cambuk baginya, supaya akhirnya ia mendapatkan sukacita karenanya. Barang siapa mendidik anaknya dengan tertib, akan beruntung karenanya” (Sir 30:1-2). “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef 6:4).

KGK, 2224.     Rumah keluarga adalah lingkungan alami, tempat anak-anak harus dilatih, untuk solidaritas dan tanggung jawab bersama. Orang-tua harus mendidik anak-anaknya, supaya melindungi mereka dari kelonggaran-kelonggaran palsu dan dari kehilangan martabat yang membahayakan tiap masyarakat manusia.

KGK, 2225.     Oleh rahmat Sakramen Perkawinan, orang-tua mendapat kewajiban dan kehormatan untuk menyampaikan Injil kepada anak-anaknya. Mereka sebagai “pewarta iman pertama” (LG 11) harus secepat mungkin mengantar anak-anaknya masuk ke dalam misteri iman, dan sudah membiasakan mereka sejak usia anak-anak kepada kehidupan Gereja. Cara hidup di dalam keluarga, dapat membentuk sikap mental, yang selama hidupnya di kemudian hari menjadi prasyarat dan penopang bagi iman yang hidup.

KGK, 2226.     Pendidikan iman oleh orang-tua sudah harus mulai sejak usia anak-anak. Ia mulai dengan kebiasaan, bahwa anggota-anggota keluarga saling membantu, supaya dapat tumbuh di dalam iman melalui kesaksian hidup yang sesuai dengan Injil. Katekese keluarga mendahului semua bentuk pelajaran iman yang lain, menyertainya dan memperkayanya. Orang-tua menerima perutusan untuk mengajar anak-anaknya berdoa dan mengajak mereka menemukan panggilan mereka sebagai anak-anak Allah (Bdk. LG 11.). Bagi keluarga-keluarga Kristen, paroki adalah persekutuan Ekaristi dan hati kehidupan liturgi. Ia adalah tempat yang sangat cocok untuk katekese anak-anak dan orang-tua.

KGK, 2227.     Anak-anak dapat menyumbangkan dari pihak mereka, supaya orang-tuanya bertumbuh dalam kekudusan (Bdk.GS 48,4.). Kalau terjadi penghinaan, percecokan, ketidakadilan, dan kekurangan perhatian, maka semua mereka harus saling mengampuni dengan jiwa besar dan tanpa mengenal lelah, seperti yang dianjurkan oleh cinta kasih timbal balik dan dikehendaki oleh cinta kasih Kristus (Bdk. Mat 18:21-22; Luk 17:4).

KGK, 2230.     Kalau anak-anak sudah menjadi dewasa, mereka mempunyai kewajiban dan hak untuk memilih pekerjaan dan status kehidupan. Mereka harus menjalankan tanggung jawab yang baru itu dalam hubungan penuh kepercayaan dengan orang-tua dan menanyakan pandangan serta nasihat mereka dan menerimanya. Orang-tua harus memperhatikan, supaya tidak memaksa anak-anak mereka, baik dalam memilih pekerjaan maupun dalam memilih teman hidup. Tetapi dengan ini mereka tidak dilarang untuk mendampingi anak-anaknya dengan nasihat yang bijaksana, terutama sekali, kalau mereka mempunyai maksud untuk membangun keluarga.

Terjemahan Tujuh Dosa Pokok dan Acedia

2

Pertanyaan:

Dear Katolisitas;

Saya sedang baca-baca dan lagi bingung tentang 7 dosa pokok. Dalam buku Kompendium Katekismus no.398 terbitan Kanisius terdiri dari: kesombongan, iri hati, hawa nafsu, kemarahan, keserakahan, keceburuan, kemalasan. Sedangkan dlm CCC no.1866 bhs. Inggris terdiri dari: pride, avarice, envy, wrath, lust, gluttony, sloth or acedia. Kelihatannya ada beda dimana versi Indonesia ada “kecemburuan” dan “iri hati” yang mirip, tetapi tidak ada “gluttony”.
Penjelasan “gluttony” yg saya dapat adalah: over-indulgence, over consumption of anything to the point of waste. Dan dibedakan dari pengertian “avarice” yg diartikan “greed” = “keserakahan” yaitu: excessive pursuit of wealth, status, power for personal gain. Tampaknya pengertian “envy” cukup untuk “iri-hati” dan “kecemburuan”. Dan apakah “sloth or acedia” lebih sesuai diartikan “kemalasan atau ketidak-pedulian”? Mohon pencerahan. Semoga Tuhan selalu memberkati Katolisitas. – Fxe

Jawaban:

Shalom Fxe,

Terima kasih atas kejelian anda dalam melihat tujuh dosa pokok di Katekismus Gereja Katolik (KGK) maupun di Kompendium Katekismus Gereja Katolik (KKGK). Kalau kita bandingkan antara CCC (Catechism of the Catholic Church) dan CCCC (Compendium Catechism of the Catholic Church) dalam bahasa Inggris dituliskan sebagai berikut [penekanan dan penomoran dari saya]:

CCC,1866: Vices can be classified according to the virtues they oppose, or also be linked to the capital sins which Christian experience has distinguished, following St. John Cassian and St. Gregory the Great. They are called “capital” because they engender other sins, other vices. They are (1) pride, (2) avarice, (3) envy, (4) wrath, (5) lust, (6) gluttony, (7) and sloth or acedia.

CCCC, 398: Vices are the opposite of virtues. They are perverse habits which darken the conscience and incline one to evil. The vices can be linked to the seven so-called capital sins which are: (1) pride, (2) avarice, (3) envy, (4) anger, (5) lust, (6) gluttony, (7) and sloth or acedia.

KGK, 1866:    Kebiasaan buruk dapat digolongkan menurut kebajikan yang merupakan lawannya, atau juga dapat dihubungkan dengan dosa-dosa pokok yang dibedakan dalam pengalaman Kristen menurut ajaran santo Yohanes Kasianus dan santo Gregorius Agung Bdk. mor 31,45.. Mereka dinamakan dosa-dosa pokok, karena mengakibatkan dosa-dosa lain dan kebiasaan-kebiasaan buruk yang lain. Dosa-dosa pokok adalah (1) kesombongan, (2) ketamakan, (3) kedengkian, (4) kemurkaan, (5) percabulan, (6) kerakusan, (7) kelambanan atau kejemuan [acedia].

KKGK, 398: Kebiasaan buruk merupakan lawan dari keutamaan. Kebiasaan buruk adalah kebiasaan yang melenceng dari kebaikan yang mengaburkan suara hati dan membuat seseorang cenderung melakukan hal buruk. Kebiasaan buruk ini dapat dikaitkan dengan yang disebut tujuh dosa pokok, yaitu: (1) kesombongan, (3) iri hati, (5) hawa nafsu, (4) kemarahan, (2) keserakahan, (?) kecemburuan, (7) kemalasan.

Kalau kita membandingkan CCC dan CCCC, tujuh dosa pokok memang sudah sesuai. CCC dan KGK juga tidak memberikan perbedaan. Jadi, yang memang tidak sesuai atau terjadi kesalahan adalah pada terjemahan Kompendium Katekismus Gereja Katolik (KKGK), dimana (1) gluttony tidak diterjemahkan sebagai kerakusan dan (2) kecemburuan dan iri hati mempunyai arti yang merujuk pada kata envy. Dengan demikian, kata kecemburuan seharusnya diganti dengan kata “kerakusan”. Semoga penerbit Kanisius dapat memperbaikinya.

Tentang sloth atau acedia: Kata ini mungkin dapat diterjemahkan sebagai kemalasan atau ketidak-pedulian. Bandingkan dengan KGK, 1866, yang menterjemahkan kata ini sebagai kelambanan atau kejemuan. Terjemahan lamban sebenarnya juga perlu dipertanyakan, karena orang yang lamban belum tentu malas. Maksud dari dosa ini adalah ketidak-pedulian atau kemalasan akan hal-hal yang bersifat spiritual. Jadi kemalasan ini bukan mengacu pada kemalasan melakukan aktifitas olahraga, atau kemalasan untuk makan, namun mengacu kepada kemalasan untuk mencari hal-hal yang berhubungan dengan tujuan akhir, hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan atau hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran hakiki yang membawa orang pada tujuan akhir. Dosa ini akhirnya dapat membuat seseorang antipati terhadap kebenaran obyektif dan akhirnya seseorang hanya terobsesi untuk mencari kesenangan yang bersifat material. Dalam bahasa modern, Victor Frankl mengatakannya sebagai “existential vacuum“, di mana seseorang antipati terhadap kebaikan-kebaikan spiritual. Semoga jawaban ini dapat membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org

Di Sorga, Malaikat atau Manusia yang Lebih Tinggi?

18

Pertanyaan:

Saya pernah membaca bahwa manusia yang lebih tinggi tingkatannya daripada malaikat. Karena manusia dikaruniai kemampuan untuk berkembang biak, sedangkan malaikat tidak. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini? Apakah benar kemampuan berkembang biak itu menjadi kelebihan manusia atas malaikat?

Lalu kaitannya dengan tubuh, jiwa dan roh. Malaikat adalah murni roh jadi sudah pasti tidak memiliki tubuh, namun malaikat juga punya kehendak bebas seperti manusia. Kehendak bebas manusia berhubungan dengan jiwanya. Pertanyaannya, apakah malaikat juga memiliki jiwa?

Terima kasih.. GBU – Agung

Jawaban:

Shalom Agung,

Terima kasih atas pertanyaannya mana yang lebih sempurna, apakah malaikat atau manusia. Kesempurnaan sendiri dapat dilihat dari perbandingan kodrat dan apa yang dicapai dalam tujuan akhir.

1. Kesempurnaan dilihat dari perbandingan kodrat

Kita dapat melihat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatunya dengan derajat atau tingkat yang berbeda-beda. Tuhan menginginkan agar semua makhluk dari yang paling rendah sampai ke yang paling tinggi berpartisipasi dalam kebahagiaan yang dijanjikan oleh Tuhan, sehingga kemuliaan Tuhan akan dapat dinyatakan dengan jelas dan penuh. Dari sisi kodrat, maka sesungguhnya malaikat mempunyai kodrat lebih tinggi dibandingkan dengan kodrat manusia, karena malaikat diciptakan murni spiritual sedangkan manusia diciptakan dengan kodrat yang terdiri dari tubuh – yang bersifat material – dan jiwa – yang bersifat spiritual. Ketinggian sesuatu yang bersifat spiritual dapat dilihat dari kekekalan dan kemampuan.

a. Dari sisi kekekalan, maka sesuatu yang kekal lebih sempurna dibandingkan dengan sesuatu yang bersifat sementara. Dengan prinsip ini, maka kita melihat bahwa jiwa kita lebih utama tubuh kita, karena tubuh adalah sementara, sedangkan jiwa adalah kekal. Kalau kita terapkan pada malaikat dan manusia dengan prinsip ini, maka kita dapat mengatakan bahwa malaikat lebih tinggi derajatnya dari manusia, karena malaikat adalah murni spiritual sedangkan manusia terdiri dari material (tubuh) dan spiritual (jiwa). Inilah sebabnya, dalam kemanusiaan-Nya, Yesus dikatakan lebih rendah daripada malaikat. Dikatakan di dalam kitab Ibrani ” Namun Engkau telah membuatnya untuk waktu yang singkat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” (Ibr 2:7)

b. Dari sisi kemampuan, maka semakin sederhana (simple) sesuatu dalam spiritual, maka tingkatannya akan semakin tinggi. Karena manusia mempunyai jiwa dan tubuh, maka hal ini membuat manusia menjadi lebih kompleks dibandingkan malaikat. Sebagai contoh sederhana, malaikat tidak memerlukan organ otak untuk bertindak dengan benar. Sebaliknya, walaupun manusia mempunyai jiwa, namun kalau organ otaknya rusak, maka dia tidak dapat bertindak dengan benar. Pengetahuan malaikat tentang Tuhan didapatkannya bukan dengan belajar secara bertahap seperti manusia, namun didapatkannya secara penuh dalam saat itu juga atau pada saat para malaikat diciptakan.

Karena malaikat adalah murni makhluk spiritual, maka perbedaan antara satu dengan yang lain adalah dari tingkat spiritualitasnya, seperti penghulu malaikat Mikael, Gabriel, dan Rafael tingkatannya lebih tinggi dari malaikat-malaikat yang lain. Pada waktu para malaikat diciptakan oleh Tuhan, mereka diciptakan berbeda satu dengan yang lain.

Bagaimana dengan manusia? Karena kodrat manusia yang terdiri dari tubuh (material) dan jiwa (spiritual), maka Tuhan memberikan kesempatan kepada orang tua untuk berpartisipasi dalam penciptaan, yaitu dengan hubungan suami istri yang berdasarkan kasih, sehingga tercipta embrio yang merupakan pertemuan antara sel telur dan sperma. Sesuatu yang bersifat material ini kemudian diberikan jiwa oleh Tuhan, sehingga terjadi kehidupan. Apakah dengan partisipasi ini, maka manusia lebih tinggi dari malaikat yang tidak diciptakan dengan kodrat untuk beranak cucu? Untuk menjawab ini, kita dapat melihat point berikutnya.

2. Kesempurnaan dilihat dari tujuan akhir

Kalau kita ingin membandingkan sesuatu, maka kita melihat perbandingan keduanya dari sisi tujuan akhir. Karena tidak ada kawin dan dikawinkan di Sorga (lih. Mat 22:30), maka tingkat kesempurnaan tidak dapat diukur dari apakah satu makhluk dapat beranak atau tidak. Dengan demikian, manusia yang dapat beranak cucu tidak dapat menjadi tolak ukur bahwa manusia lebih tinggi dari malaikat.

Pada saat kita bersatu dengan Tuhan, maka kita akan berhadapan muka dengan Tuhan untuk selamanya. Di Sorga akan ada derajat atau tingkatan dalam memandang Allah. Tingkatannya adalah berdasarkan tingkatan kasih, karena kasih tidak berkesudahan (lih. 1Kor 13:8). Karena kasih mensyaratkan pengetahuan, maka malaikat yang diberi pengetahuan untuk mengenal Tuhan dengan derajat lebih tinggi dari manusia, maka secara umum dapat dikatakan bahwa para malaikat mempunyai derajat lebih tinggi dari manusia. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan bagi manusia untuk dapat melampaui malaikat dalam tingkatan kasih, seperti yang terjadi dalam diri Bunda Maria.

Tuhan memberikan misi kepada Maria untuk menjadi Bunda Allah, menjadi Bunda Sang Penebus. Ini adalah misi yang begitu penting dan istimewa, jauh melebihi semua misi keselamatan yang lain. Oleh karena itu, rahmat yang diberikan kepada Maria lebih besar dari semua makhluk lain. Jadi, Maria akan menduduki tempat yang lebih tinggi dari para malaikat atau Maria akan menduduki tempat yang paling tinggi setelah Kristus di dalam Kerajaan Sorga. Semoga jawaban ini dapat membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org

Keep in touch

18,000FansLike
18,659FollowersFollow
32,900SubscribersSubscribe

Artikel

Tanya Jawab