Pertanyaan:
Shalom katolisitas.org,
Kebetulan saya lihat di wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Pastor. Tentang doktrin protestan yang mengatakan bahwa sebutan untuk merujuk kepada pendeta yang ditahbiskan bertentangan dengan doktrin Protestan tentang imamat am orang percaya, makanya mereka tidak ingin memakai nama imam. Nah saya ingin tahu apakah memang itu benar-benar bertentangan dengan imamat am orang percaya??
Saya masih bingung apa sih arti imam itu, jadi mereka mengatakan itu bertentangan dengan imamat am orang percaya?
Terima Kasih, Leonard
Jawaban:
Shalom Leonard,
Sebenarnya saya rasa, pertanyaan anda telah terjawab di artikel di situs ini: Kami mengasihimu, Pastor!, silakan klik. Kata ‘imam’ atau ‘priest‘ berasal dari kata presbyteros, presbyter, yang artinya adalah pelayan penyembahan ilahi, sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan (lih. Ibr 5:1), terutama dalam menyampaikan persembahan kepada Tuhan dan kurban penebusan dosa.
Prinsipnya, memang dengan Sakramen Baptis, kita semua menjadi imam, nabi, dan raja (lihat artikel: Sudahkah kita diselamatkan?). Nah imamat yang kita terima melalui Sakramen Baptis ini adalah “imamat bersama”, seperti yang diajarkan oleh rasul Petrus (lih. 1 Pet 2:9). Namun, walaupun imamat bersama berlaku untuk semua yang sudah dibaptis, namun Tuhan menunjuk orang-orang pilihan-Nya untuk menjadi imam tertahbis untuk melaksanakan peran/ tugas “imamat jabatan”.[1]
Peran imamat jabatan ini tidak “menyaingi” atau mengaburkan peran Kristus sebagai Imam Tertinggi, malahan sebaliknya, mendukung dan melayani peran Kristus tersebut. Kita mengetahui bahwa peran imamat jabatan ini telah ada sejak jaman Perjanjian Lama, yaitu yang dilakukan oleh suku Lewi, walaupun secara keseluruhan, bangsa Israel -sebagai bangsa pilihan Allah- mempunyai peran imamat bersama, yaitu bahwa melalui bangsa Israel, seluruh bangsa memperoleh berkat Allah (lih. Kej 28:14). Suku Lewi inilah yang dipilih Allah untuk menjadi penghubung antara Allah dan seluruh bangsa Israel dan sebaliknya.
Demikian pula dalam Perjanjian Baru, Yesus sebagai Imam Agung menunjuk para rasul-Nya dan para penerus mereka untuk melaksanakan peran imamat jabatan ini, yaitu untuk memberkati Gereja-Nya. Maka para imam yang tertahbis ini bukannya untuk mengaburkan peran Kristus, namun untuk melanjutkan peran Kristus. Sebab melalui para imam tertahbis ini, maka segala karya Kristus dapat dihadirkan kembali, oleh kuasa Roh Kudus. Selanjutnya, peran imamat bersama tetap ada pada setiap umat beriman, yang memang harus dijalankan terutama dengan partisipasi umat dalam perayaan Ekaristi, saat kita mengangkat pujian, syukur, pertobatan, penyembahan dan permohonan kita kepada Allah. Dengan melaksanakan peran imamat bersama ini, maka kita sebagai anggota Gereja, bertumbuh dalam kekudusan, menguduskan dan “menggarami” dunia.
Jadi dasar pengajaran tentang peran imamat bersama dan imamat jabatan ini adalah prinsip “mediation“/ pengantaraan Kristus (yang adalah Pengantara satu-satunya, 1 Tim 2:5) yang melibatkan bagian- bagian Tubuh-Nya yang lain. Dengan analogi Kristus sebagai Sang Kepala, kita ketahui bahwa dalam mengorganisasikan anggota-anggota tubuh yang terkecil maka pesan dari kepala juga melibatkan perantaraan bagian-bagian tubuh yang lain. Perantaraan bagian- bagian tubuh ini tidak berdiri sendiri, mereka tergantung pada kepala-nya. Maka tanpa keberadaan kepala, mereka tidak dapat menjalankan tugas sebagai perantara, namun sudah menjadi keinginan sang kepala untuk melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu untuk menghubungkannya dengan anggotanya yang terkecil. Walaupun analogi sifatnya hanya membantu, dan tidak sepenuhnya dapat mewakili apa yang dimaksudkan, namun dengan memperhatikan analogi tubuh manusia, kita dapat memahami cara kerja Allah dalam mendistribusikan rahmat-Nya. Hal ini kita lihat juga dari sejarah rencana keselamatan, di mana Allah memulainya dengan Adam dan Hawa, lalu keluarga nabi Nuh, lalu para Patriarkh, diikuti oleh pemilihan 12 suku bangsa Israel, yang kemudian menjadi bangsa Israel di bawah pimpinan Nabi Musa. Allah memilih bangsa Israel sebagai bangsa pilihan untuk memberkati bangsa-bangsa lain; sebab Kristuspun lahir sebagai manusia sebagai bagian dari bangsa Israel, yang kemudian mengutus para rasul-Nya kepada seluruh bangsa (Mat 28:19-20). Kristus sebagai Adam yang baru memulai karya-Nya dengan memilih 12 rasul, yang kemudian diberkati-Nya untuk menjadi para pemimpin Gereja, yang diteruskan oleh para uskup dan para imam untuk menjangkau seluruh dunia. Melalui Gereja-Nya inilah segala bangsa dipanggil untuk menanggapi rencana keselamatan Allah. Di sini kita melihat adanya kaitan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; dan bahwa Perjanjian Baru merupakan penggenapan Perjanjian Lama, dan peran perantaraan/ imamat merupakan sesuatu yang jelas terlihat di dalam keduanya.
Di sepanjang sejarah keselamatan, kita ketahui bahwa Allah melaksanakan karya-Nya dengan prinsip mediasi/ perantaraan. Untuk melahirkan Yesus, Allah melibatkan Bunda Maria. Untuk memberkati umat-Nya, Ia memilih para rasul. Untuk memberkati dunia, ia melibatkan Gereja. Apakah Kristus dapat melaksanakan segalanya sendirian, tanpa melibatkan perantaraan manusia yang lain? Tentu saja dapat, tetapi kenyataannya, Ia memilih untuk melibatkan orang-orang tertentu untuk mengambil bagian dalam Pengantaraan-Nya yang satu-satunya itu kepada Allah Bapa. Maka peran Pengantaraan Kristus itu sifatnya inklusif yaitu melibatkan anggota-anggota Tubuh-Nya yang lain, daripada eksklusif- dilakukan oleh-Nya sendirian saja. Walaupun tentu, keterlibatan anggota-Nya yang lain tidak sama dan tidak dapat disejajarkan dengan Pengantaraan Kristus. Keterlibatan anggota Tubuh Kristus ini bukannya mengurangi kemuliaan Kristus sebagai Pengantara satu-satunya kepada Allah Bapa, melainkan malah semakin menujukkan kemuliaan Allah itu. Yaitu, bagaimana Allah dapat terus berkarya untuk memberikan rahmat ilahi- Nya dengan menggunakan manusia yang pada dasarnya kecil dan lemah- sebagai salurannya.
Dengan memahami bahwa Kristus melibatkan para murid-Nya yang diteruskan juga oleh para penerus mereka sampai akhir jaman, maka kita akan dapat semakin menghargai adanya peran imamat jabatan. Melalui para imam, Kristus hadir di dalam Ekaristi. Melalui para imam, kita dapat menerima rahmat pengampunan dosa dari Kristus. Melalui para imam, kita dapat terus melihat dan mengalami bahwa rahmat Allah selalu tersedia di dalam Gereja Katolik. Para imam adalah pelayan Kristus, dan rahmat Allah yang tersalur bagi kita melalui mereka bukan berasal dari mereka sendiri, namun berasal dari Kristus yang telah memilih mereka.
Mari kita mensyukuri adanya para imam, dan mendoakan mereka agar dapat melaksanakan tugas panggilan yang luhur ini dengan mata tertuju pada Kristus, Sang Imam Agung, yang telah memilih mereka untuk melanjutkan dan menghadirkan karya-karya-Nya di dunia ini. Semoga pada tahun para imam ini (Juni 2009- Juni 2010), semakin banyak kaum muda yang bersedia menanggapi panggilan Kristus untuk menjadi imam. Dan semoga Tuhan selalu menguduskan para imam-Nya, sehingga kita semua dapat melihat Kristus di dalam setiap pelayanan mereka.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org
Sekarang di gereja nonkatolik, misalnya gereja bethel, sudah ada yg menggunakan istilah “pastor”. Bahkan adik saya skrg menyatakan dirinya adalah seorang pastor, dan dia mendapat gelar Pastor Yo. Ada jubah2nya juga loh, mirip2 jubah pastor, bahkan warna2nya pun mirip. Apakah pastor2 mereka ini juga termasuk kaum tertahbis dan diakui sebagai ‘Pastor’ selayaknya Pastor di dalam Gereja Katholik? Sungguh membingungkan.
Terimakasih. Tuhan Yesus memberkati katolisitas.org
Nb: adik saya adalah katolik, menerima baptis di dalam Gereja Katolik, tapi kemudian stlh dewasa ikut kebaktian di gereja bethel dan diberikan gelar ‘pastor’.
[Dari Katolisitas: Bagi Gereja Katolik, istilah Pastor adalah untuk para imam tertahbis yang memang bertugas untuk menggembalakan umat, untuk membantu Uskup menggembalakan umat di daerah/ teritorinya. Maka pastor dalam Gereja Katolik tidak mengacu kepada umat awam, tetapi kepada kaum tertahbis yang melalui tahbisannya tergabung dengan otoritas para Uskup yang adalah penerus para Rasul. Jika ada komunitas Kristiani memakai juga istilah ini, nampaknya mereka tidak mengartikannya sebagaimana Gereja Katolik mengartikannya.]
Dear Katolisitas
Saya tine, ad yg mau ditanyakan mengenai imam. Di awal sdh dijelaskan
Kalau imam adalah penerus kegembalaan yg diwariskan Yesus dimana Yesus memberikan tahbisan bg yg terpanggil dlm hidup selibat ini.
Yang mau saya tanyakan ttg pandangan teman saya yg menjelaskan apa bedany kl gt umat dgn imam, knp umat tdk bs menerimakan jg hosti bg sesamanya, kn Imam Agung adalahYesus , jd knp umat awam menerima dan memberi hosti dan anggur jg bg sesamanya. Bgmn dgn kondisi darurat dimana dlm tekanan tjd yg menyebabkan imam tidakbs memberikan hosti
Thxs before
Shalom Tine,
Silakan membaca terlebih dahulu artikel tentang Imam, awam dan ‘pelayan Komuni tak lazim’, silakan klik.
Memang, Imam Agung kita adalah Kristus. Kristus inilah yang telah mempercayakan kepemimpinan dan pelayanan Gereja kepada para Rasul-Nya dan para penerus mereka, yaitu para Uskup, yang dibantu oleh para imam.
KGK 1562 “Kristus, yang dikuduskan oleh Bapa dan diutus ke dunia (Yoh 10:36), melalui para Rasul-Nya mengikut-sertakan para pengganti mereka, yakni Uskup-uskup, dalam kekudusan dan perutusan-Nya. Para Uskup dengan sah menyerahkan tugas pelayanan mereka kepada pelbagai orang dalam Gereja dalam tingkat yang berbeda-beda” (LG 28). “Tugas pelayanan Uskup pada tingkat yang terbawah kepadanya, diserahkan kepada para imam, supaya mereka, sesudah ditahbiskan imam, menjadi rekan-rekan kerja bagi tingkat para Uskup, untuk sebagaimana mestinya melaksanakan misi kerasulan yang mereka terima dari Uskup” (PO 2).
Memang sudah menjadi kehendak Kristus, bahwa dalam meneruskan karya-Nya di dunia ini sampai akhir zaman, Ia menggunakan perantaraan para Rasul dan penerus mereka, yaitu para Uskup dan para imam yang membantu mereka. Ini nyata terlihat di zaman Gereja awal, di mana perayaan Ekaristi selalu dilakukan dalam kesatuan dengan Uskup, sebagaimana pernah dibahas di artikel ini, silakan klik.
Maka pada dasarnya dan idealnya pemberian Komuni dilakukan oleh Uskup ataupun imam yang mempersembahkan perayaan Ekaristi. Uskup ataupun imam yang mempersembahkan Ekaristi berperan sebagai Kristus (“in persona Christi“), dan dengan demikian tidak dapat digantikan oleh umat awam yang tidak menerima tahbisan yang menghubungkan mereka dengan jalur apostolik. Namun demikian Gereja menyadari bahwa pada prakteknya, terdapat keadaan- keadaan yang mendesak, di mana dibutuhkan bantuan untuk membagikan Komuni kepada umat, terutama jika jumlahnya besar, agar perayaan Ekaristi tidak berlangsung terlalu lama. Dalam keadaan mendesak semacam ini, umat awam yang diberi wewenang oleh Uskup, dapat membantu kaum tertahbis untuk membagikan Komuni. Mereka ini disebut pelayan Komuni tak lazim, maka pelayanan mereka sifatnya selalu membantu, dan tidak pernah ‘menggantikan’ peran para imam.
Di atas semua itu perlu diketahui bahwa pembagian hosti dan anggur oleh para tertahbis dalam Gereja Katolik, berhubungan dengan ajaran iman Katolik bahwa yang dibagikan kepada umat itu adalah Kristus sendiri (Tubuh, Darah, Jiwa dan ke-Allahan-Nya). Oleh karena itu terdapat ketentuan/ persyaratan bagi pelayan yang membagikannya. Sedangkan dalam gereja-gereja non- Katolik, umumnya roti dan anggur itu hanya dipandang sebagai lambang Tubuh dan Darah Kristus, dan bukan sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus, maka dalam pandangan ini tidaklah menjadi masalah siapakah yang membagikannya; atau semua umat beriman dapat membagikannya.
Silakan membaca selanjutnya tentang makna Ekaristi, silakan klik; dan hal suksesi apostolik dan ajaran tentang Transubstansiasi yang membedakan perayaan Ekaristi di Gereja Katolik dengan perjamuan kudus di gereja non-Katolik, klik di sini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom, pak Stef/ibu Inggrid,
Mohon penjelasan dari ayat pada Ibrani 9: 26 …..”Tetapi sekarang Ia hanya satu kali saja menyatakan diri-Nya, pada zaman akhir untuk menghapuskan dosa oleh korban-Nya”.
Apa yang dimaksudkan dengan “zaman akhir” pada ayat tersebut ? Apakah maksudnya “zaman akhir = akhir hidup Yesus diatas kayu salib, atau, maksudnya “zaman akhir = akhir zaman, pada saat kedatangan Yesus yang kedua kalinya ! Mohon penjelasan.
Terimakasih.
Shalom Boyke,
Ibr 9:26 menuliskan “Sebab jika demikian Ia harus berulang-ulang menderita sejak dunia ini dijadikan. Tetapi sekarang Ia hanya satu kali saja menyatakan diri-Nya, pada zaman akhir untuk menghapuskan dosa oleh korban-Nya.” Kalau kita melihat keseluruhan dari Ibr 9, maka pada ayat 1-10, maka kita melihat perbandingan antara ritual atau persembahan di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dan dilanjutkan di ayat 11-28, bagaimana kurban di dalam Perjanjian Baru adalah jauh lebih sempurna dibandingkan dengan kurban di dalam Perjanjian Lama. Kesempurnaan ini disebabkan karena Kristus – yang adalah Putera Allah – menjadi kurban. Kalau di dalam Perjanjian Lama, para imam mempersembahkan kurban berulang-ulang, maka dalam Perjanjian Baru, karena kesempurnaan Kurban – yaitu Kristus sendiri – maka persembahan ini cukup dilakukan sekali. Jadi “zaman akhir” pada ayat Ibr 9:26 adalah menyatakan zaman pemenuhan dari seluruh nubuat para nabi di dalam PL, yaitu misteri Paskah Kristus – ketika Kristus sendiri mengorbankan diri-Nya di kayu salib. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
mengapa krisis panggilan menjadi imam, marak terjadi saat ini??
Salam Fr Christ,
Krisis sendiri dalam bahasa aslinya [krinein – Yun] berarti “mempertimbangkan”. Maka, kita lihat dalam arti itu, kita harus mengalami krisis supaya berkembang, mempertimbangkan peluang-peluang yang ada. Krisis panggilan imamat selama ini diartikan sebagai jumlah yang merosot, umpamanya jumlah orang muda yang masuk seminari untuk menjadi calon imam berkurang dari tahun ke tahun atau jumlah imam yang mengundurkan diri bertambah dari tahun ke tahun.
Untuk membuktikannya diperlukan data objektif, bukan hanya rasa perasaan dan bayangan subjektif. Secara objektif, silahkan klik di sini http://www.seminarikwi.org/index.php Di situ ada data yang bisa Anda cari, apakah jumlah calon imam menurun atau naik. Tidak benar bahwa kuantitas panggilan calon imam menurun di Indonesia. Klik juga data tingkat dunia di sini http://www.catholic-hierarchy.org/ klik bagian statistik. Tampak di sana penurunan jumlah di tempat tertentu namun ada pergerakan naiknya jumlah imam di tempat lain.
Jadi, secara jumlah sebenarnya selalu bisa diatur keseimbangan antara jumlah pelayanan imam dan jumlah umat. Stabil, selalu pas sesuai kebutuhan sampai saat ini. Semoga dengan komunikasi antar-kita yang makin mudah dengan alat modern, kebutuhan di satu tempat bisa makin cepat dipenuhi oleh imam dari tempat lain.
Kemudian secara subjektif, kita memang harus selalu berprihatin (berdoa dan mendukung) peningkatan mutu dan jumlah panggilan imam dan calon imam. Karena, selain mengenai jumlah, kita pun harus membantu mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan imam: ketekunannya, semangatnya, hidup rohaninya, dan lain lain.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Shalom Katolisitas
Kebetulan saya tinggal jauh dari gereja di paroki Induk , tetapi dekat dengan gereja Paroki lain , sehingga agak susah memperkirakan warga lingkungan kami ke gereja atau tidak.Critanya ada warga yang kebetulan menderita kangker getah bening dan setelah dirawat dan di biopsi lagi ternyata telah menyebar ke hati dengan setadium 4.Pada saat doa bersama dirumahnya,sangat kebetulan juga istrinya juga sedang sakit.Keluarga ini sekarang hanya tinggal berdua saja.
Kebetulan di lingkungan kami ada warga yang menjadi prodiakon yang tugasnya antara lain membagikan komuni pada orang yang sakit dan lanjut usia. Saya usulkan kepada beliau untuk mengirim komuni setiap minggu karena dengan kondisi tersebut warga yang sakit tadi susah untuk pergi ke gereja.Namun beliaunya menolak karena menurut apa yang diyakininya , “warga yang sakit itu” harus mengaku dosa dulu karena tidak pernah ke gereja, diajak berdoa bersama jarang datang dan lain lainnya seolah olah warga tersebut memang sudah ” dikeluarkan dari komunitas gereja katolik”.Setelah berdiskusi panjang lebar dengan warga lain , prodiakon tersebut tetap berpendapat “tidak bisa mengantarkan hosti kepada warga tersebut” namun akan tanya ke romo paroki dulu.
Pertanyaan :
1/Apakah benar sikap prodiakon tersebut kalau melihat kondisi warga yang sakit ?
2/Benarkah bahwa umat yang jarang ke gereja karena kondisi lingkungan,jarak dll tidak diperkenankan sambut komuni ? ,Bukannya Yesus datang untuk orang berdosa yang sadar akan keterbatasannya ? padahal hambatan dis comunio tidak ada ( misalnya kawin lagi).
3/Sejauh mana kekuasaan Prodiakon dalam menetapkan ” seseorang pantas menerima komuni dan seseorang tidak pantas menerima komuni ?
Terima kasih atas jawabannya
Tuhan memberkati
Shalom IY Supriyanto,
Terima kasih atas sharingnya. Kalau kita ingin merangkul kembali anggota lingkungan yang tidak aktif, maka kita harus berada di sampingnya pada waktu anggota tersebut sedang mengalami sakit penyakit maupun musibah. Untuk kasus anggota lingkungan anda yang terkena penyakit, berikut ini adalah jawaban yang dapat saya berikan:
1) Apa yang dikatakan oleh prodiakon tersebut ada benarnya, karena orang yang dengan sadar tidak ke gereja pada hari Minggu (perayaan hari Tuhan) adalah berdosa berat. Oleh karena itu, orang yang bersangkutan tidak dapat menerima komuni, sampai dia mengaku dosa terlebih dahulu. Namun, hal ini harus ditangani dengan tindakan pastoral yang baik. Sebagai contoh, prodiakon tersebut atau ketua lingkungan dapat menjemput Romo di paroki tersebut, dan kemudian mengantarnya ke umat yang sakit. Romo kemudian dapat memberikan Sakramen Tobat dan juga Sakramen Perminyakan. Setelah Romo tersebut memberikan dua sakramen ini, maka anggota prodiakon dapat mendatangi umat tersebut setiap minggu, untuk memberikan Tubuh Kristus.
2) Saya tidak tahu, jarak dari lingkungan tersebut ke gereja. Kalau ada di lingkungan yang sama dapat pergi ke gereja, mengapa ada sebagian umat yang tidak dapat pergi? Kalau di depan dijelaskan bahwa lingkungan tersebut dekat dengan gereja paroki lain. Apakah mungkin kalau memang ada yang tidak pergi karena alasan jarak ke paroki induk, umat tersebut dapat pergi ke paroki terdekat? Jarak tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk tidak pergi ke gereja. Kita melihat dalam contoh kehidupan sehari-hari, bahwa banyak orang dari Bogor, Bekasi, Tangerang menempuh perjalanan berjam-jam setiap hari ke tempat kerja. Kalau hal ini mungkin untuk pekerjaan, mengapa tidak mungkin untuk ke gereja?
3) Masalahnya bukan pada wewenang prodiakon sampai sejauh mana, namun pada apa peraturan yang diberikan oleh Gereja, dimana dikatakan:
Jadi, dalam hal ini, selesaikanlah masalah ini dengan tindakan pastoral yang tepat. Semoga semuanya dapat diselesaikan dengan baik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom katolisitas.org,
Saya juga mau bertanya tentang suster. Kalau pastor ditahbiskan lalu suster apakah dia menerima juga?
terima kasih walaupun singkat, semoga diterima.
Shalom Leonard,
Peran para suster/ biarawati tidak sama dengan para imam. Para suster tidak ditahbiskan, dan karenanya termasuk sebagai kaum awam dan bukan klerikus. Namun mereka mempunyai kaul religius yang menyatakan pengabdian mereka dalam ordo religius tertentu yang mempraktekkan kekudusan (life of perfection). Mereka memang tidak dikhususkan untuk melakukan pelayanan imamat jabatan, namun lebih kepada kehidupan religius dan pelayanan sehubungan dengan karisma ordo mereka dalam membangun Gereja. Teladan kekudusan merekapun sangat dibutuhkan oleh umat beriman, sebab melalui mereka kita dapat melihat gambaran Gereja sebagai Mempelai Kristus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shalom katolisitas.org,
Kebetulan saya lihat di wikipedia http://id.wikipedia.org/wiki/Pastor. Tentang doktrin protestan yang mengatakan bahwa sebutan untuk merujuk kepada pendeta yang ditahbiskan bertentangan dengan doktrin Protestan tentang imamat am orang percaya, makanya mereka tidak ingin memakai nama imam. Nah saya ingin tahu apakah memang itu benar-benar bertentangan dengan imamat am orang percaya??
Saya masih bingung apa sih arti imam itu, jadi mereka mengatakan itu bertentangan dengan imamat am orang percaya?
Terima Kasih, Leonard
[Dari Admin Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]
Kata “imam” dalam bahasa Yunani adalah (h)iereus dan dalam bahasa Ibrani adalah “kohen”, sedang kata Inggris “priest” berasal dari kata Yunani “presbuteros”. Secara teknis “imam” adalah perantara antara manusia dengan Allah dalam penyampaian kurban. Jadi gelar imam selalu berkaitan dengan kurban persembahan. Pendeta pendeta dari gereja Protestan tidak bisa (dan tidak mau) disebut sebagai imam (Yunani (h)iereus) karena menurut mereka gelar itu (dalam Perjanjian Baru) hanya dipakai untuk Kristus (Ibrani 5:1,5) dan semua pengikut Kristus (1 Petrus 2:5,9 dan Wahyu 1:6). Sejak Reformasi mereka menolak adanya imam yang ditahbiskan, yang ada dalam Gereja Katolik (dan juga Gereja Ortodoks Timur, Ortodoks Oriental dan Orthodoks Assyria).
Menurut iman Katolik, para imam dalam Misa Kudus berfungsi sebagai Kristus (dalam bahasa Latin in persona Christi) dalam menghadirkan kembali kurban yang dipersembahkan Kristus dalam Perjamuan Akhir dalam bentuk roti dan anggur, yang menjadi Tubuh dan DarahNya. Yang dipersembahkan Kristus sebagai Kurban adalah DiriNya sendiri. Menurut orang Protestan, perjamuan akhir hanya peringatan tentang Kristus, bukan kurban dari Kristus – roti dan anggur hanya berfungsi sebagai simbol, tidak berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus dan ini yang menyebabkan tidak adanya imam yang ditahbiskan dalam gereja Protestan. Orang Protestan bahkan sering menuduh Gereja Katolik mengulang kembali kurban (di setiap Misa) yang dipersembahkan Kristus melalui penyaliban dan ini bertentangan dengan Ibrani 9:26. Menurut iman Katolik, kurban Misa menghadirkan kembali, bukan mengulang, kurban yang dipersembahkan Kristus – Kristus adalah domba yang disembelih sejak dunia dijadikan (Wahyu 13:8).
Bagaimana menjawab pertanyaan orang Protestan bahwa Perjanjian Baru sama sekali tidak mengatakan adanya imam yang ditahbiskan? Di Perjanjian Lama, walaupun semua orang Israel adalah imam (Keluaran 19:6) masih ada imam imam dari keturunan Harun, saudara Musa dan mereka harus ditahbiskan(Keluaran 28), Menurut nubuat di Yeremia 33:18, mereka akan tetap mempersembahkan kurban sepanjang masa. Padahal sejak Bait Allah di Jerusalem dihancurkan sekitar 70 Masehi, tidak ada lagi kurban persembahan walaupun mereka masih ada sampai sekarang – semua orang Yahudi dengan nama keluarga Cohen atau Cohn adalah keturunan Harun, jadi mereka (yang pria) adalah para imam dalam agama Yahudi. Sampai disini pasti ada sanggahan, jika untuk jadi imam yang ditahbiskan harus pria Yahudi keturunan Harun, maka semua imam Katolik tidak memenuhi persyaratan ini. Jawabannya, menurut nubuat yang ditulis di Yesaya 66:21 bahwa Allah akan mengambil sebagai imam dan orang Lewi dari segala bangsa. Yang namanya nubuat bisa terpenuhi setelah Perjanjian Baru ditulis dan ini menjawab sanggahan Protestan bahwa Perjanjian Baru tidak menyinggung adanya imam yang ditahbiskan.
Comments are closed.