[Hari Minggu Biasa XVIII: Pkh 1:2; 2:21-23; Mzm 90:3-17; Kol 3:1-11; Luk 12:13-21]
Di masa kecilku dulu, pernah ada lagu ini: “Bing beng bang, yok, kita ke bank. Bang bing bung, yok, kita nabung. Tang ting tung, hei, jangan dihitung. Tiap bulan tahu-tahu dapat untung!” Sederhana syairnya, namun pesannya melekat sampai sekarang. Yaitu bahwa dalam hidup ini, kita perlu menabung untuk masa depan. Dan seiring dengan bertambahnya umur, kusadari bahwa menabung ini, tak hanya terbatas hanya untuk hal-hal jasmani, tetapi lebih-lebih lagi, untuk hal-hal rohani.
Sabda Tuhan hari ini mengingatkan kita, bahwa harta duniawi, apapun itu, sifatnya sementara. Atau, Kitab Pengkhotbah menyebutnya, “sia-sia belaka” (Pkh 1:2). Harta duniawi tak bisa kita bawa jika kita mati. Kesehatan dan ketenaran ada masanya, kekayaan dan kepandaian ada batasnya, kecantikan dan kecakapan ada umurnya, nonton drama televisi dan cari monster Pokemon ada akhirnya. Semua tak bertahan selamanya. Namun selama kita hidup di dunia ini, nampaknya kita berlelah-lelah untuk mengusahakan hal-hal tersebut. Maka begitu pas lah sabda Tuhan Minggu ini, yang mengingatkan kita untuk melihat apa yang sesungguhnya lebih penting dan utama dalam hidup ini. Yaitu, untuk mencari dan memikirkan perkara yang di atas, di mana Kristus berada (lih. Kol 3:1-2), sebab ke sanalah tujuan akhir kita sebagai umat beriman. Sebab hanya dengan kita mempersiapkan diri sejak di dunia ini, untuk memandang Tuhan, maka hal itu akan dikaruniakan kepada kita pada saat-Nya.
Betapa pentingnya masa persiapan untuk mencapai cita-cita. Bukankah hal inipun juga berlaku di dunia ini. Ijazah kelulusan baru diberikan jika kita lulus ujian. Penghargaan diberikan kepada mereka yang memenangkan perlombaan. Namun keberhasilan ini umumnya mensyaratkan kerja keras. Kerja keras pun diperlukan agar kita dapat bertumbuh secara rohani. Hal ini antara lain diperoleh dari menanggalkan manusia lama beserta perbuatannya, dan mengenakan manusia baru (lih. Kol 3:9-10). Dengan kata lain, bertobat dan hidup baru di dalam Kristus. Namun sepertinya, tak banyak dari umat Katolik yang mau menyatakan tobat dengan berpantang setiap hari Jumat dan dengan teratur mau mengaku dosa dalam sakramen Tobat—misalnya sebulan sekali. Kebanyakan umat hanya mengaku dosa pas sebelum Natal dan sebelum Paskah, dan menganggap “sudah oke.” Atau, alasan ogah mengaku dosa karena “malas mengakukan dosa yang itu-itu terus”. Padahal bukankah justru kita memerlukan rahmat Tuhan untuk melepaskan diri dari dosa yang sama? Selain itu, sepertinya pentingnya menerima sakramen Pengakuan dosa di luar masa menjelang Paskah dan Natal, juga jarang dikhotbahkan. Bahkan sejumlah paroki tidak mempunyai jadwal rutin bagi umat yang mau menerima sakramen Pengakuan. Akibatnya, umat jadi tambah malas mengaku dosa, karena enggan berpayah-payah mencari Romo yang dapat memberikan sakramen Pengakuan. Nampaknya sabda Tuhan hari ini menegur kita, baik para Romo maupun umat, untuk bersama-sama lebih menyediakan niat dan waktu untuk sakramen yang luar biasa ini, yang diberikan Tuhan Yesus kepada Gereja untuk menguduskan umat-Nya. Sebab sabda Tuhan hari ini mengajak kita lebih konsisten untuk hidup dalam semangat tobat dan terus memperbaiki diri, agar tidak melekatkan hati kepada hal-hal duniawi. Artinya, bagi yang berdosa agar mengaku dosa, bagi yang sudah hidup lumayan baik, agar hidup kudus, dan bagi yang sudah hidup kudus agar hidup lebih kudus.
Ajakan untuk bertobat ini begitu pas kita renungkan di Tahun Yubelium Kerahiman Ilahi ini. Sebab jika tidak diresapi maknanya, maka ziarah ke 9 gereja hanya menjadi kesempatan jalan-jalan belaka, atau bahkan kuliner bersama sepulang ziarah, tetapi makna utamanya terlewatkan. Sebagai ungkapan pertobatan, ziarah seharusnya didahului oleh penerimaan sakramen Pengakuan dosa, entah di hari yang sama atau hari-hari sebelumnya. Juga, penerimaan Komuni pada hari yang sama di hari ziarah, juga disyaratkan agar kita memperoleh indulgensi. Dengan demikian, melalui ziarah ini kita bersama seluruh anggota Gereja di dunia mengungkapkan kesediaan kita menerima belas kasih Allah dan meneruskan belas kasih Allah yang kita terima, kepada sesama yang membutuhkan. Ziarah memasuki pintu suci menjadi bermakna jika diiringi niat dan langkah nyata untuk meninggalkan kehidupan lama yang berdosa, untuk melangkah menuju kehidupan baru bersama Kristus. Dan dalam semangat pertobatan, kita meneruskan berkat kepada sesama, misalnya kepada paroki yang dikunjungi, sesama umat yang berziarah, maupun kepada sesama yang lain yang memerlukan belas kasih.
Maka, pertobatan, ziarah dan amal kasih, adalah upaya yang dapat kita lakukan untuk menabung harta rohani yang diajarkan oleh sabda Tuhan hari ini. Mari kita jangan hanya memberi perhatian kepada tabungan duniawi, tapi juga dan terutama pada tabungan rohani, yang dapat kita bawa sebagai bekal untuk kehidupan kekal kelak. Kita pun diingatkan bahwa hidup kita ada dalam tangan Tuhan, dan kita tidak tahu kapan saatnya Tuhan memanggil kita berpulang. St. Athanasius berkata, “Kalau seseorang hidup seperti akan mati setiap hari—dengan menyadari bahwa hidup sebenarnya tak dapat dipastikan—ia tidak akan berdosa, sebab ada lebih besar rasa takut yang mengalahkan kesenangan yang berlebihan. Tapi sebaliknya, orang kaya itu—dengan berjanji kepada diri sendiri akan hidup panjang—mencari kesenangan, sebab ia berkata: Beristirahatlah—artinya beristirahat dari kerja keras—makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah— artinya, dengan kemewahan….” (St. Athanasius, Catena Aurea, Luk 12:16-21). Saudara saudariku, mari bertanya kepada diri kita masing-masing, jika besok Tuhan memanggil kita, apakah tabungan rohani yang kita bawa serta?