[Hari Minggu Biasa ke XXXII: 1Raj 17:10-16; Mzm 145:7-10; Ibr 9:24-28; Mrk 12:38-44]
Suatu pagi hari saat bangun tidur, aku disadarkan akan suatu kenyataan yang sangat biasa, namun hari itu kurasakan sebagai sesuatu yang sangat luar biasa. Yaitu bahwa segala yang ada padaku, sebenarnya adalah pemberian Tuhan. Kesehatan, makanan, tempat tinggal, pakaian, akal budi, pikiran, suka cita, keluarga, sahabat dan seterusnya…. hanya menunjukkan betapa besarnya pemeliharaan Allah atas kehidupanku. Belum lagi kalau kurenungkan betapa besar kasih-Nya sehingga Ia memberikan karunia iman yang dapat membawaku kepada kebahagiaan kekal di Surga. Rasanya begitu ajaib kebaikan Tuhan itu. Lalu aku bertanya dalam hati, setelah dicintai sedemikian rupa, apakah balasku kepada-Nya?
Injil hari ini mengisahkan kisah sederhana, yang mungkin sudah sering kita baca. Namun saat kita membacanya lagi dan merenungkannya, semoga kisah ini tetap menyalakan semangat kasih yang baru di hati kita. Diceritakan di sana Tuhan Yesus yang mengamati setiap orang yang datang ke bait Allah dan memberikan persembahan kepada Allah. Tuhan yang memahami isi hati setiap orang, mengetahui bahwa ada banyak orang yang memberi dari kelebihan mereka. Bukannya Tuhan Yesus mengecilkan arti persembahan mereka ini, namun Ia mau menunjukkan nilai yang lebih luhur di mata Tuhan. Sebab di mata-Nya bukan jumlah persembahan yang terpenting, namun sikap batin yang mendasari dan mengiringi persembahan itu. Karena persembahan kita tidak terletak semata-mata dari nilai pemberian kita, tetapi dari kasih kepada Tuhan yang kita miliki dalam jiwa kita. Itulah sebabnya Tuhan Yesus memuji persembahan janda miskin itu, sebab walaupun jumlahnya sangat sedikit—hanya dua peser—namun itu adalah “semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya” (Mrk 12:44). Dua peser itu menunjukkan kasihnya yang total kepada Tuhan.
Dua peser. Namun itu adalah semua milik janda itu. Apakah makna “dua peser” ini bagiku? Apakah kalau itu adalah semua yang ada padaku, aku mau memberikannya kepada Tuhan? Apakah yang paling kubanggakan dalam diriku? Apakah yang kuanggap penting dalam hidupku? Apa yang paling sering mengisi hatiku dan pikiranku? O, Tuhan, hanya Engkau yang mengetahuinya! Betapa jauhnya aku dari memberikan “semua yang ada padaku” kepada-Mu! Betapa jatuh bangunnya aku mau menuju ke sana! Betapa aku perlu belajar mengasihi Engkau seperti janda miskin itu! Perikop Injil hari ini membuatku semakin menghargai pemberian diri yang total kepada Tuhan, yang telah dilakukan oleh para imam, biarawan, dan biarawati. Dan meski panggilan hidupku tidaklah sama dengan panggilan mereka, namun aku tetap dapat belajar untuk memberi yang terbaik kepada Tuhan dengan segenap hatiku. Ini tercermin dari bagaimana aku menyediakan waktu yang terbaik untuk berdoa dan mempersembahkan kembali talenta dan berkat yang Tuhan percayakan kepadaku untuk memuliakan-Nya.
Di bulan November ini, kita bersama-sama dengan seluruh Gereja mendoakan saudara-saudari kita yang telah mendahului kita. Kita mendukung jiwa-jiwa mereka dengan doa-doa dan perbuatan amal kasih, agar selekasnya jiwa-jiwa tersebut dapat digabungkan dengan para kudus Tuhan di Surga. Dengan demikian, Gereja mengarahkan kita untuk belajar bermurah hati dalam mengasihi Tuhan dan sesama, demi kasih kita kepada Tuhan. Semangat kasih inilah yang perlu kita miliki, untuk mendasari segala perbuatan kita. Sebab dengan demikian kita dapat memberi dengan sukacita. Tuhan mengasihi orang-orang yang memberi dengan sukacita (lih. 2Kor 9:7), dan akan melipatgandakan buahnya, termasuk memberkati kembali mereka yang memberi. Bukankah Kitab Suci mengatakan bahwa, siapa yang menabur sedikit akan menuai sedikit dan yang menabur banyak akan menuai banyak pula (lih. 2Kor 9:6)? Sebab dengan demikianlah Allah memberkati janda dari Sarfat, yang telah bermurah hati mau berbagi kepada hamba-Nya, Nabi Elia (1Raj 17:10-16). Dan juga bagaimana Tuhan Yesus menggandakan roti dan ikan untuk memberi makan lebih dari 5000 orang, yang diawali dari kemurahan hati seorang anak yang mau membagi bekalnya, lima roti dan dua ikan untuk dibawa kepada Yesus (lih. Yoh 6:1-15).
Sungguh, di tangan Tuhan, persembahan kita yang mungkin nampak tak seberapa, dapat dijadikan-Nya berdayaguna mendatangkan kebaikan, bahkan melampaui segala pemikiran kita. Tuhan tidak memperhitungkan nilai persembahan kita, tetapi kasih di baliknya. St. Agustinus dalam khotbahnya berkata, “Demikianlah Tuhan berkata:….. Kamu memberi-Ku sedikit, tetapi Aku membalaskannya kepadamu berlipat ganda. Kamu memberi-Ku hal-hal yang sementara dan Aku membalasnya dengan hal-hal yang kekal. Kamu memberiku hal-hal yang fana, tapi Aku memberimu apa yang tetap selamanya….” (St. Augustine, Sermon 38,8).
“Tuhan Yesus, dengan segenap hatiku, kupersembahkan pujian kepadaMu. Engkaulah Tuhan yang Pengasih dan Penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Aku bersyukur kepada-Mu ya Tuhan, sepanjang hidupku. Terimalah persembahan dua peser yang kumiliki, yang sebenarnya adalah milik-Mu sendiri. Lipatgandakanlah untuk mendatangkan kebaikan yang melampaui segala akal dan pemikiranku, untuk keselamatan jiwaku dan sesamaku, demi kemuliaan nama-Mu. Amin.”