Pertanyaan:

Dalam Filsafat ada pandangan yang mengklaim bahwa kristianitas mungkin saja dipengaruhi pula oleh pandangan filosofis Yunani Kuno. Hal ini dapat dirujuk pada pandagan St. Thomas Aquinas dan juga Agustinus apakah memang benar demikian? Kemudian apakah filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinos juga menjadi dasar bagi pengungkapan identitas Allah dari sudut pandang filosofis bagi kedua pemikir tersebut? Mohon penjelasannya. Sekian dan Trims utk penjelasannya. Salam – William.

Jawaban:

Shalom William,

Terima kasih atas pertanyaannya tentang kekristenan dan filsafat. Secara prinsip, Gereja Katolik percaya bahwa tidak ada pertentangan antara akal budi (reason) dan iman (faith), karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Kalau sampai akal budi bertentangan dengan iman, maka manusia tidak menggunakan akal budi sebagaimana mustinya atau tidak mempercayai iman yang Ilahi. Karena Tuhan tidak dapat mempertentangkan Diri-Nya sendiri, maka anugerah akal budi dan iman juga tidak mungkin saling bertentangan. Banyak Bapa Gereja yang yang dapat menerangkan misteri iman dengan baik dengan bantuan filosofi. Dan sintesis dari keduanya memuncak dalam tulisan St. Thomas Aquinas, Summa Theology. Berikut ini adalah hubungan antara iman dan akal budi:

1) Kita harus mendudukkan iman dan akal budi pada posisi masing-masing. Akal budi mempunyai keterbatasan, karena memang pemikiran manusia terbatas. Sedangkan iman memberikan kepada kita rencana Allah yang tak mungkin dapat dicapai hanya dengan menggunakan akal budi. Sebagai contoh, dengan akal budi, kita dapat mengetahui bahwa Tuhan adalah satu, Tuhan adalah baik, dll. Namun akal budi tidak dapat mencapai pemahaman bahwa Tuhan adalah satu dalam tiga pribadi. Hal ini hanya mungkin kalau Tuhan sendiri menyatakannya kepada manusia. Setelah Tuhan menyatakannya kepada manusia, maka manusia dapat menguak misteri ini dengan akal budi, misalnya dengan filosofi. Oleh karena itu, akal budi melalui filosofi membantu manusia untuk dapat menguak misteri iman dengan lebih baik dan dengan penjelasan yang masuk diakal. Sedangkan iman menjadi suatu panduan bagi akal budi, sehingga tidak salah arah. Katekismus Gereja Katolik mengatakan:

KGK 50: “Dengan bantuan budi kodratinya, manusia dapat mengenal Allah dengan pasti dari segala karya-Nya. Namun masih ada lagi satu tata pengetahuan, yang tidak dapat dicapai manusia dengan kekuatannya sendiri: yakni wahyu ilahi (Bdk. Konsili Vat I: DS 3015.). Melalui keputusan yang sama sekali bebas, Allah mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia, dan menyingkapkan rahasia-Nya yang paling dalam, keputusan-Nya yang berbelas kasih, yang Ia rencanakan sejak keabadian di dalam Kristus untuk semua manusia. Ia menyingkapkan rencana keselamatan-Nya secara penuh, ketika Ia mengutus Putera-Nya yang terkasih, Tuhan kita Yesus Kristus dan Roh Kudus.

KGK 156: “Alasan untuk percaya tidak terdapat dalam kenyataan bahwa kebenaran yang diwahyukan itu kelihatan benar dan jelas dalam cahaya budi kodrati kita. Kita percaya “karena otoritas Allah yang mewahyukan, yang tidak dapat keliru dan tidak dapat menyesatkan” (Konsili Vatikan I: DS 3008). Namun, “supaya ketaatan iman kita sesuai dengan akal budi, maka Allah menghendaki agar bantuan batin Roh Kudus dihubungkan dengan tanda bukti lahiriah bagi wahyu-Nya” (DS 3009). Maka mujizat Kristus dan para kudus (Bdk. Mrk 16:20; Ibr 2:4), ramalan, penyebaran dan kekudusan Gereja, kesuburannya dan kelanjutannya, “dengan sesungguhnya adalah tanda-tanda wahyu ilahi yang jelas dan sesuai dengan daya tangkap semua orang” (DS 3009), alasan-alasan bagi kredibilitas (Bdk. DS 3013.), yang menunjukkan bahwa “penerimaan iman sekali-kali bukanlah suatu gerakan hati yang buta” (DS 3010).”

KGK 157: “Iman itu pasti, lebih pasti dari setiap pengertian manusiawi, karena ia berdasarkan Sabda Allah yang tidak dapat menipu. Memang kebenaran-kebenaran yang diwahyukan dapat kelihatan gelap bagi budi dan pengalaman manusiawi, tetapi “kepastian melalui cahaya ilahi itu lebih besar daripada kepastian melalui cahaya akal budi alamiah” (Tomas Aqu., s.th. 2-2,171,5 obj.3). “Ribuan kesukar-sulitan tidak sama dengan kebimbangan” (J.H. Newman, apol.).

KGK, 158: “Iman berusaha untuk mengerti (Anselmus prosl.prooem). Orang yang benar-benar percaya, berusaha untuk mengenal lebih baik dia, kepada siapa ia telah memberikan kepercayaannya, dan untuk mengerti lebih baik apa yang telah dinyatakannya. Pengertian yang lebih dalam pada gilirannya akan membangkitkan iman yang lebih kuat, iman yang semakin dijiwai oleh cinta. Rahmat iman membuka “mata hati” (Ef 1:18) menuju suatu pengertian yang hidup mengenai isi wahyu, artinya, mengenai keseluruhan rencana Allah dan misteri iman, demikian juga hubungannya antara yang satu dengan yang lain dan dengan Kristus, pusat misteri yang diwahyukan. “Supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu, Roh Kudus itu juga senantiasa menyempurnakan iman melalui karunia-karunia-Nya” (DV 5). Maka, benar apa yang dikatakan santo Agustinus: “Aku percaya supaya mengerti, dan aku mengerti supaya percaya lebih baik” (serm. 43,7,9).”

KGK, 159: “Iman dan ilmu pengetahuan. “Meskipun iman itu melebihi akal budi, namun tidak pernah bisa ada satu petentangan yang sesungguhnya antara iman dan akal budi: karena Allah sama, yang mewahyukan rahasia-rahasia dan mencurahkan iman telah menempatkan di dalam roh manusia cahaya akal budi; tetapi Allah tidak dapat menyangkal diri-Nya sendiri, dan tidak pernah yang benar bisa bertentangan dengan yang benar” (Konsili Vatikan I: DS 3017). “Maka dari itu, penyelidikan metodis di semua bidang ilmu, bila dijalankan dengan sungguh ilmiah dan menurut kaidah-kaidah kesusilaan, tidak akan pernah sungguh bertentangan dengan iman karena hal-hal profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama. Bahkan barang siapa dengan rendah hati dan dengan tabah berusaha menyelidiki rahasia-rahasia alam, kendati tanpa disadari pun ia bagaikan dituntun oleh tangan Allah yang melestarikan segala sesuatu dan menjadikannya sebagaimana adanya” (GS 36,2).

KGK 274: “Karena itu, iman kita dan harapan kita dengan paling kuat diteguhkan, kalau kita membawa dalam hati kita keyakinan bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu. Apa saja yang harus diimani – meskipun mulia, mengagumkan, dan jauh melampaui segala susunan dan takaran ciptaan – budi manusia akan menyetujuinya dengan mudah dan tanpa ragu-ragu, apabila ia telah memahami kabar mengenai Allah yang maha kuasa (Catech.R. 1,2,13).

KGK, 1706: “Oleh akal budinya, manusia mendengarkan suara Allah yang mengajaknya “untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat” (GS 16). Setiap manusia diwajibkan untuk mematuhi hukum ini, yang menggema di dalam hati nurani dan dipenuhi dengan cinta kepada Allah dan kepada sesama. Dalam tindakan moral tampaklah martabat manusia.

2) Dalam sejarah perkembangan Gereja, ada begitu banyak Bapa Gereja yang menggabungkan filosofi dengan iman. Kita melihat pada masa awal ada banyak orang Yunani yang juga menjadi Kristen. Dan dengan pengetahuan filosofinya, mereka menjadi pengkotbah dan penulis yang ulung. Kita juga melihat ada yang terjebak dalam filosofi yang bertentangan dengan iman, seperti Origen. Origen, mengikuti Plato mengajarkan akan jiwa-jiwa yang sudah ada sebelumnya (pre-existent souls). Ada yang sama sekali tidak mau menyentuh filosofi, seperti yang ditunjukkan oleh Tertullian, dengan perkataannya yang terkenal “What indeed has Athens to do with Jerusalem?” Tapi akhirnya Tertullian terjebak dalam aliran Montanism. Jadi, pada akhirnya, kita harus membedakan filosofi yang baik dan filosofi yang jelek. Dan peran dari Magisterium Gereja menjadi sangat penting untuk mempertahankan iman yang murni, sehingga iman yang murni dapat diteruskan dari generasi ke generasi.

3) Para Bapa Gereja sampai sekitar jaman St. Agustinus banyak mengambil filosofi dari Plato. Sedangkan sekitar abad ke-13, yang memuncak pada St. Thomas Aquinas, banyak mengambil manfaat dari cara berfikir Aristoteles. Pengaruh dari Plato dan Aristoteles memang dapat kita telusuri dari begitu banyak tulisan Bapa Gereja yang hidup dari satu generasi ke generasi yang lain.

a) Dalam tulisan St. Agustinus di Confessions, dia mengatakan bahwa dia kehilangan iman ketika dia mencari Tuhan di luar dirinya tanpa melihat ke dalam jiwanya. Karena pengaruh filosofi materialism, maka dia sulit menangkap sisi spiritual dari Tuhan dan jiwa. Dan melalui bacaan Neo-Platomist filsuf, maka dia mengatasi hambatan ini, dan dia menuliskan:

Being admonished by these books to return into myself, I entered into my inward soul, guided by thee. This I could do because thou wast my helper. And I entered, and with the eye of my soul—such as it was—saw above the same eye of my soul and above my mind the Immutable Light of God. . . . Nor was it above my mind in the same way as oil is above water, or heaven above earth, but it was higher, because it made me, and I was below it, because I was made by it. He who knows the Truth knows that Light, and he who knows it knows eternity. Love knows it.” (Confessions, 7.10.16)

Dari sini, kita melihat bahwa St. Agustinus menangkap Tuhan yang tidak bersifat material, namun spiritual, Kebenaran yang Utama dan mahluk yang kekal, yang memberikan “being” dan “essence” kepada semua ciptaan-Nya. walaupun neo-platonists memberikan sesuatu yang berharga, namun tidak memberikan apa yang paling dibutuhkan oleh St. Agustinus, yaitu: Jalan kepada Tuhan, Pengantara antara Tuhan dan manusia, yaitu Yesus Kristus. Untuk ini, dia menemukannya di di dalam Perjanjian Baru. Dari sini, kita melihat bagaimana filosofi dan iman menuntun St. Agustinus kepada Kebenaran.

b) Untuk perbandingan antara Aristoteles dan St. Thomas Aquinas, silakan membaca Summa Theology. Di dalam Summa Theology, terlihat bagaimana St. Thomas menggabungkan logic Aristoteles dengan iman, sehingga menghasilkan iman yang dapat dipertanggungjawabkan.

Jadi, memang para Bapa Gereja banyak menggunakan dasar-dasar filosofi, terutama dari Plato dan Aristoteles untuk dapat memasuki misteri iman dengan lebih baik. Gereja mengambil apa yang baik dari filosofi tersebut, sehingga membantu manusia untuk memahami iman dengan lebih baik. Kalau kita dapat mengerti alasan mengapa kita percaya akan apa yang kita percayai, maka kita dapat mempercayai apa yang kita percayai dengan lebih kuat lagi dan pada akhirnya akan membantu kehidupan spiritual kita.

Semoga uraian di atas dapat membantu.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org

11 COMMENTS

  1. saya tertarik dg diskusi tentang iman dan akal budi ini. Memang iman dan akal budi tdk bertentangan. Iman mencari pemahamannya dalam akal budi. Dmikian jg akal budi diarahkan oleh iman agar tdk salah arah. . .

  2. Bagaimana menurut bapak penjelasan dari akal budi manusia, manusia sebagai makhluk yang bebas, manusia misteri

    • Shalom Marvin,

      1. Pada prinsipnya akal budi dan kehendak bebas manusia menjadikan manusia menjadi serupa dengan Allah; atau tepatnya, jika dikatakan manusia diciptakan menurut gambar Allah, maksudnya adalah bahwa manusia diciptakan dengan memiliki akal budi dan kehendak bebas, sehingga manusia dapat berpikir untuk menentukan tingkah lakunya dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

      Katekismus Gereja Katolik mengajarkan tentang hal ini demikian:

      KGK 1730    Allah telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan telah memberi kepadanya martabat seorang pribadi, yang bertindak seturut kehendak sendiri dan menguasai segala perbuatannya. “Allah bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri” (Sir 15:14), supaya ia dengan sukarela mencari Penciptanya dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan” (Gaudium et Spes 17).
      Manusia itu berakal budi dan karena ia citra Allah, diciptakan dalam kebebasan, dan ia adalah tuan atas tingkah lakunya” (Ireneus, Adversus haer. 4,4,3).

      2. Misteri manusia (mystery of man)

      Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa misteri (rahasia agung) manusia hanya dapat dipahami di dalam misteri Sabda Allah yang menjelma menjadi manusia:

      KGK 359    “Sesungguhnya hanya dalam misteri Sabda yang menjelma menjadi manusia-lah misteri manusia benar-benar menjadi jelas” (Gaudium et Spes 22,1).
      “Rasul Paulus berbicara mengenai dua manusia, yang merupakan asal-usul umat manusia: Adam dan Kristus… Paulus mengatakan: ‘Adam, manusia pertama, menjadi makhluk hidup duniawi. Adam terakhir menjadi Roh yang menghidupkan’. Yang pertama diciptakan oleh Yang terakhir, dan juga mendapat jiwa dari Dia, supaya ia menjadi hidup… Adam terakhir inilah, yang mengukir citra-Nya atas yang pertama ketika Ia menciptakan Adam. Karena itulah, maka ia menerima peran dan nama Adam yang pertama, supaya Ia tidak kehilangan, apa yang telah Ia jadikan menurut citra-Nya. Adam pertama, Adam terakhir: Yang pertama mempunyai awal, yang terakhir tidak mempunyai akhir, karena yang terakhir ini sebenarnya yang pertama. Dialah yang mengatakan, ‘Aku adalah Alfa dan Omega'” (Petrus Krisologus, Sermo 117).

      Maka misteri manusia hanya dapat dipahami di dalam misteri Kristus, yaitu bahwa manusia tidak diciptakan hanya sebagai manusia jasmani/ duniawi yang tunduk kepada kuasa dosa, tetapi sebagai manusia rohani/ ilahi, karena Kristus, Sang Putera Allah telah menjelma menjadi manusia untuk menebus dosa- dosa manusia duniawi tersebut, agar manusia dapat memperoleh kehidupan kekal di Surga.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

    • Shalom Trisnaning,
      Terima kasih atas pertanyaannya tentang St. Agustinus. Saya rasa pertanyaan ini terlalu panjang untuk dijawab, karena begitu besar pengaruh filsafat dan teologi St. Agustinus terhadap Gereja. Oleh karena itu, saya tidak dapat menjawabnya satu-persatu saat ini. Kita dapat melihat pengaruh tulisannya dalam beberapa ajaran Gereja Katolik, seperti: dosa asal, hubungan antara keinginan bebas (free will) dan rahmat (grace), predestination, Trinitas, konsep kasih, dll. Mungkin ada baiknya kalau Trisnaning dapat membeli buku “Fundamentals of Catholic Dogma” karangan Dr. Ludwig Ott . Kemudian lihatlah dogma dan pengajaran Gereja Katolik satu persatu, serta melihat bagaimana St. Agustinus turut berperan dalam memberikan kontribusi terhadap dogma/doktrin tersebut.
      Semoga dapat membantu.
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

  3. Shalom pak stefanus, baru2 ini saya mendapatkan penjelasan dari seorang tentang laku spritual menyangkut kepada akal budi/ akal sehat/ intelektual, yang memperkuat Iman / Keyakinan kita kepada Kristus, penjelasannya sbb :
    ————————————–
    Tiga kategori orang menurut kemampuan alamiah laku spiritual, yang menunjukkan ciri-ciri orang yang paling cocok untuk mencapai manfaat dalam praksis spiritual.

    Satu idealnya pribadi yang layak dalam praksis, yaitu mereka yang tidak hanya dianugerahi intelektual(akal budi), namun juga memiliki dedikasi dan iman yang fokus dan bijaksana. Orang seperti ini layak untuk laku spiritual.
    Pribadi di kelompok kedua, yaitu mereka yang tidak tinggi intelektualnya (akal budinya), namun memililiki fondasi kokoh iman seperti batu karang.
    Yang tidak beruntung, orang di kelompok ketiga. Mereka ini meskipun tinggi intelektualnya (akal budinya), mereka selalu dibayangi olah keraguan dan rasa skeptis dan tidak pernah betul-betul tenang. Kelompok ini adalah golongan kelompok berdaya terima paling sedikit.

    Iman atau keyakinan yang dicapai melalui pemahaman akal sehat (akal budi) itu sangat kuat dan dirasa benar dalam laku spiritual seseorang. Keyakinan semacam itu kuat karena kita telah meyakinkan diri anda sendiri tentang kualitas keadaan dan validitas gagasan tempat kita meletakkan iman. Keyakinan ini pengaruhnya sangat kuat dalam memotivasi tindakan kita. Inilah alasan menilai kepandaian (akal sehat/akal budi) itu sangat penting dalam jalan spiritual seseorang. Dalam laku spitual ini, kepandaian bekerja sama dengan hati dan emosi.

    Ketika iman dan belas kasih (yang lebih cenderung di tingkat emosi) didukung oleh keyakinan yang kuat dicapai melalui refleksi dan investigasi, maka iman dan belas kasih itu benar-benar sangat kuat. Sementara, iman dan belas kasih yang tidak didasarkan pada akal sehat (akal budi/ intelektual) yang kuat semacam itu, namun lebih pada perasaan dan insting menjadi rapuh. Keyakinan seperti itu terus melemah dan diombang-ambingkan, diterjang saat anda menemui situasi tertentu. Ungkapan yang pas dalam halini adalah, “Orang yang imannya tidak didasarkan pada akal sehat (akal budi/intelektual) seperti aliran yang dapat diarahkan kemanapun.”
    ——————————————
    Jadi penjelasan ini kalau di tarik benang merahnya, persis seperti pak Stef jelaskan di atas.

    Bagaimana menurut Bapak dengan penjelasan ini ?
    Terima kasih.
    Tuhan Yesus Memeberkati

    • Terima kasih atas pertanyaannya tentang kaitan iman dan akal budi. Memang yang dituliskan di atas (kalau tidak salah tulisan tersebut dari Dalai Lama) ada benarnya, dimana iman dan akal budi saling mendukung. Iman tanpa akal budi akan menjurus kepada fundamentalisme, sedangkan akal budi tanpa iman akan menuntun pada materialisme dan egoisme. Dengan kata lain, akal budi tanpa iman adalah kosong, sedangkan iman tanpa akal budi adalah buta.

      Kalau mau digali lebih dalam, mungkin yang membedakan pernyataan tersebut adalah apakah yang dimaksud dengan iman. Dalam kekristenan, kita tahu bahwa iman tak terpisahkan dengan pengharapan dan kasih. Hubungan antara ketiganya dapat dilihat di sini (silakan klik). Dan di artikel tersebut saya mengatakan bahwa iman adalah:

      IMAN: Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan, dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibr 11:1). dalam iman, akal budi dan kehendak manusia bekerja sama dengan rahmat Ilahi (KGK, 155). Lebih jauh St. Thomas mengatakan bahwa “Iman adalah satu kegiatan akal budi yang menerima kebenaran ilahi atas perintah kehendak yang digerakkan oleh Allah dengan perantaraan rahmat” (ST, II-II, q.2, a.9).Jadi iman adalah merupakan operasi intellect atau akal budi, dimana kita bekerja sama dengan rahmat Allah, sehingga kita dapat menjawab panggilan-Nya dan percaya akan apa yang difirmankan-Nya. Namun kepercayaan ini bukan hanya asal percaya, atau percaya berdasarkan perasaan saja. Iman dapat didefinisikan sebagai suatu persetujuan akal budi yang kokoh kepada kebenaran, yang bukan berdasarkan perasaan, namun berdasarkan kesaksian saksi. Artinya kalau seseorang masih ragu-ragu akan kebenaran tersebut, maka dapat dikatakan ia belum sungguh-sungguh beriman. Dan saksi di dalam kebajikan ilahi iman adalah Tuhan sendiri, yang bersaksi dengan perantaraan para nabi, dan akhirnya Tuhan sendiri menjelma menjadi manusia, yang selanjutnya karya-Nya diteruskan oleh Gereja Katolik. Jadi seseorang beriman dengan benar, kalau seseorang telah melihat imannya berdasarkan motive of credibility, yang keterangannya dapat di baca di artikel ini di bagian akhir.

      Semoga keterangan di atas dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

      • Salam sejahtera dalam Kristus Yesus,

        Apa yang bapak katakan benar, bahwa penjelasan tersebut adalah artikel tanya jawab yang di jelaskan oleh Dalai lama yang kebetulan saya baca dan menemukan juga ada kebenarannya, namun karena masih binggung, maka saya mencoba menanyakan kepada bapak dengan kaitannya kepada Iman Kekristenan kita. Dan jawaban atau penjelasan bapak sungguh sangat memuaskan dan menambah pengertian saya. Oleh karena itu saya mengucapkan banyak terima kasih.

        Kesimpulan yang saya ambil dari jawaban bapak, senjata pamungkasnya adalah apa yang di katakan oleh rasul Paulus IMAN – PENGHARAPAN – KASIH, dan semua itu harus kita minta pertolongan semata-mata dari Tuhan Yesus dengan cara tidak lupa harus selalu berdoa kepada Dia.

        Sekali lagi, trims
        Tuhan Yesus memberkhati kita semua, amin.

  4. Terima kasih atas pertanyaan Williams dan jawaban Pak Stef yang begitu menarik dan informatif. saya merasa cukup puas dengan jawaban atas pertanyaan ini. seakli lagi saya mengucapkan proficiat. satu premise yang menurut saya bisa dijadikan ringkasan dari jawaban diatas, yaitu, “Pengertian yang lebih dalam pada gilirannya akan membangkitkan iman yang lebih kuat, iman yang semakin dijiwai oleh cinta.” (lih. KGK, 158)
    saya membaca pernyataan ini begini. kita tahu dan sadar bahwa akal budi, gudang dari segala pengertian, mempunyai keterbatasan untuk memahami rahasia Iman. walaupun demikian, a relentless search for an understanding faith, kelak akan membantu kita dalam menghayati iman kita dimana “CINTA” adalah tolok ukur atau perwujudan nyata dari Iman. CInta merupakan suatu tindakan nyata atau dipandang sebagai jawaban atas Iman kepercayaan kita.

    dalam Kasih Kristus,
    fransiskus Xav.

    • Shalom Franciskus,
      Terima kasih atas tanggapannya. Iman adalah operasi akal (intellect) dan cinta adalah operasi kehendak (will). Orang dapat mencintai kalau dia tahu terlebih dahulu. Namun kalau dia mencintai sesuatu, maka dia akan mencari tahu secara mendalam akan sesuatu tersebut. Oleh sebab itu, pengetahuan dan kasih akan saling mendukung. Iman yang hanya berhenti pada pengetahuan tanpa merubah diri seseorang untuk bertobat dan mengasihi bukanlah iman yang benar. Oleh karena itu, kita harus mohon secara terus-menerus kepada Tuhan, agar kita dapat terus bertumbuh di dalam iman (lih. Lk 17:5).
      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – http://www.katolisitas.org

  5. Dalam Filsafat ada pandangan yang mengklaim bahwa kristianitas mungkin saja dipengaruhi pula oleh pandangan filosofis Yunani Kuno. Hal ini dapat dirujuk pada pandagan St. Thomas Aquinas dan juga Agustinus apakah memang benar demikian? Kemudian apakah filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinos juga menjadi dasar bagi pengungkapan identitas Allah dari sudut pandang filosofis bagi kedua pemikir tersebut? Mohon penjelasannya. Sekian dan Trims utk penjelasannya.
    [dari katolisitas: silakan melihat jawaban di atas – silakan klik]

Comments are closed.