sumber gambar: https://www.stevewiens.com/2013/12/02/advent-when-you-realize-you-are-pregnant-with-god/

[Minggu Adven I: Yes 2:1-5; Mzm 122:1-9; Rm 13: 11-14; Mat 24:37-44]

Tahun-tahun belakangan ini, ada istilah dalam bahasa Jawa yang tiba-tiba menjadi populer: blusukan. Hal ini, yang dapat dikatakan dipelopori oleh Presiden Jokowi sejak beliau menjadi walikota di Surakarta, kini dilakukan oleh banyak pemimpin dan tokoh masyarakat. Laporan tentang blusukan dari berbagai tokoh masyarakat itu dapat kita lihat di televisi, di artikel-artikel maupun rekaman audio visual di media sosial. Namun satu hal yang biasanya terekam dari berita itu adalah antusiasme rakyat menyambut sang tokoh. Komunikasi terjalin, entah sekilas dengan selfie, maupun dengan dialog dan percakapan yang akrab antara si pemimpin dan rakyat yang dikunjunginya.

Sayangnya, tidak demikian yang terjadi, ketika Tuhan Yesus datang ke dunia sekitar 2000 tahun yang lalu. Ibaratnya, Tuhan blusukan ke tengah umat-Nya, namun umat-Nya tak memberi perhatian, bahkan tak menyadarinya. Bahasa gaulnya, kebanyakan umat-Nya cuek saja. Mereka hidup seolah-olah Tuhan tidak datang di tengah-tengah mereka. Mereka tidak menyediakan tempat yang layak bagi Dia. Itulah sebabnya Yesus Sang Mesias lahir di kandang hewan, dan Ia dibaringkan di palungan, “karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan” (Luk 2:7). Bahkan setelah sekitar 2000 tahun telah berlalu, di Yerusalem dan sekitarnya, atau yang kerap disebut “Holy Land”, konon umat Kristennya hanya sekitar 1.5% sampai 2.1% saja. Hal ini membuat kita pantas merenung, tentang betapa kerasnya hati manusia, yang menolak Allah sendiri, ketika Ia mengambil rupa manusia dan datang di tengah mereka. Betapa masih kerasnya hati banyak orang sampai saat ini, yang walaupun mengetahui bahwa Tuhan Yesus telah menggenapi nubuat para nabi, namun tetap memutuskan untuk tidak percaya kepada-Nya.

Namun janganlah kita menuding kepada orang-orang yang hidup di Timur Tengah nun jauh di sana. Sebab sesungguhnya, bisa jadi kita pun termasuk dalam bilangan orang-orang yang cuek terhadap kedatangan Tuhan Yesus. Atau, kita tidak memberikan perhatian yang selayaknya untuk kedatangan-Nya. Itulah sebabnya, Gereja mengajak kita setiap tahunnya untuk mempersiapkan diri untuk menyambut hari Natal dengan masa Adven. Adven yang artinya kedatangan, mengacu kepada kedatangan Kristus, yang kita rayakan secara khusus pada hari Natal. Setiap tahun di sepanjang kehidupan kita, Gereja mengajak kita menyambut kelahiran Kristus secara baru di dalam hati kita. Hidup kita adalah masa persiapan yang panjang akan kedatangan Kristus yang kedua, yang pasti akan terjadi. Oleh karena itu, bacaan-bacaan Kitab Suci di masa Adven mengingatkan kita untuk berjaga-jaga menantikan kedatangan Yesus yang kedua itu, baik di Akhir Zaman, maupun di saat kematian kita, sebagaimana kita dengar di Bacaan Injil hari ini (lih. Mat 24:44). Sebab kita tak dapat mengetahui kapan saat itu akan datang secara persis. Kita hanya dianjurkan untuk berjaga-jaga secara aktif. Bacaan Pertama mengajak kita untuk berjaga-jaga dengan “berjalan dalam terang Tuhan” (Yes 2:5); Mazmur mengajak kita untuk beribadah di rumah Tuhan bersama-sama dengan sesama saudara seiman, menuju ke altar Allah dengan sukacita (lih. Mzm 122:1-9). Dan Bacaan Kedua mengajak kita untuk bertobat, meninggalkan perbuatan-perbuatan kegelapan dan hidup sebagai anak-anak Terang (lih. Rm 13:11-14).  

Bagi kita umat Katolik, ajakan untuk bertobat paling nyata diwujudkan dengan mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa. Dosa adalah penghalang yang membuat pertumbuhan hidup Kristiani kita terhambat. Dosa-dosa inilah yang menyebabkan hati nurani kita menjadi tumpul dan membuat kita menjadi cuek, kurang menghargai kedatangan Tuhan  Yesus sehingga otomatis menjadi kurang siap menyambut kedatangan-Nya. Rasul Yohanes menyebutkan ada tiga akar dosa, yaitu “keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup” (1Yoh 2:16). St. Jose Maria Escriva menjelaskan tentang hal ini: “Keinginan daging tidak terbatas pada kecenderungan panca indera yang tak teratur secara umum atau keinginan seksual secara khusus. Hal ini juga mengacu kepada kesenangan akan kenyamanan, kepada keengganan untuk menggerakkan diri kita sendiri atau bahkan untuk menjadi siap siaga, sehingga membuat kita mencari sekecil-kecilnya hal yang tidak nyaman,  mencari apa yang paling menyenangkan, mencari jalan yang ditawarkan kepada kita yang kelihatannya lebih pendek dan tidak menyusahkan, bahkan jika itu harus dibayar dengan kegagalan kita untuk tetap setia kepada Allah. Musuh yang lain adalah keinginan mata, keserakahan yang mendalam yang menganggap tidak berharga apa yang tak dapat diwariskan. Mata jiwa menjadi rabun; akal budi berpikir dirinya sendiri sudah cukup memadai, menyingkirkan Allah sebagai yang tidak perlu. Ini adalah godaan halus yang didukung oleh martabat kecerdasan yang telah dikaruniakan Allah Bapa kepada kita agar kita dapat mengenal dan mengasihi-Nya tanpa terpaksa. Terbujuk oleh godaan ini, akal budi manusia menganggap dirinya sendiri sebagai pusat alam semesta,  dengan sukacita [mengingat] kembali kepada perkataan ular di Kitab Kejadian, ‘kamu akan menjadi seperti Allah’ (Kej 3:5) dan dipenuhi dengan cinta diri, ia berpaling dari cinta Allah. Dengan cara ini, kita dapat menyerahkan diri secara tak bersyarat ke dalam tangan musuh yang ketiga, yaitu ‘keangkuhan hidup’. Ini bukan hanya semata-mata hal fantasi sesaat, hasil khayalan dari kesia-siaan cinta diri, [tapi] ini adalah segala bentuk dosa kesombongan—menganggap diri pasti selamat. Jangan kita menipu diri sendiri. Ini adalah dosa yang paling parah daripada segala kejahatan, akar dari setiap penyimpangan yang dapat dibayangkan…” (St. Jose Maria Escriva, Christ is passing by, 5-6).

Sebagai umat Katolik yang percaya akan Kristus, tentu kita mempunyai harapan yang besar untuk menerima rahmat keselamatan dari Allah. Namun harapan yang besar ini tidak untuk diartikan sama dengan keyakinan absolut pasti selamat, tanpa mau melakukan apapun yang harus kita lakukan sebagai tanggapan atas rahmat Allah itu. Sebab sikap sedemikian dapat mengarah kepada kesombongan rohani. Seorang teolog besar di abad ke-16, Francisco Suarez (1548-1617), menjelaskan tentang dosa kesombongan rohani yang menganggap diri pasti selamat, yang mengambil 5 bentuk sikap, yaitu: 1) dengan berharap memperoleh kebahagiaan kekal atau pemulihan persahabatan dengan Allah setelah ia jatuh dalam dosa berat—dengan kekuatan kodratinya sendiri tanpa bantuan rahmat Allah; 2) menganggap dirinya pasti diampuni tanpa pertobatan yang memadai; 3) berharap bahwa Allah dapat membantunya melakukan kejahatan; 4) menganggap bahwa dirinya dapat mencapai kemuliaan adikodrati tanpa kesesuaian dengan ketentuan penyelenggaraan Allah; 5) menganggap bahwa dirinya dapat tetap hidup dalam dosa, dan tetap percaya diri seolah ia tak pernah kehilangan kemurnian yang diperolehnya saat Baptisan (Lih. Suarez, “De Spe”, disp. 2a. Sect 3, n.2).

Di awal Masa Adven ini, mari kita memeriksa batin kita. Mari kita bertobat, jika kita telah gagal menolak dosa, entah itu yang berkenaan dengan keinginan daging, keinginan mata ataupun keangkuhan hidup. Tentang keangkuhan hidup ini, kita perlu dengan jujur melihat, apakah pada kita ada salah satu dari kelima sikap yang menunjukkan kesombongan yang dikatakan oleh St. Escriva sebagai ‘dosa yang paling parah’ tersebut. Yaitu, menganggap diri pasti selamat, namun tidak mau melakukan bagian yang harus kita lakukan untuk bekerjasama dengan rahmat Allah yang menyelamatkan itu. Sikap sedemikian dapat mengarah kepada kurangnya penghargaan terhadap kedatangan Kristus ataupun kelahiran-Nya secara baru di hati kita, sebab sudah menjadi terlalu yakin bahwa tanpa memperbaiki diri sekalipun, keselamatan sudah pasti diperoleh. Sejujurnya, mungkin ini yang terjadi di banyak negara-negara maju maupun di masyarakat yang semakin sekuler dan konsumtif. Orang menjadi tak begitu peduli untuk menyiapkan hati menyambut kedatangan Kristus. Hari Natal hanya dianggap sebagai kesempatan berpesta atau berhura-hura, belanja ini itu, namun kehilangan makna rohaninya. Yaitu kedatangan Sang Mesias yang seharusnya disambut dengan hati yang bersih dan penuh kerinduan.

Mari kita belajar dari Bunda Maria, untuk memperbaiki diri di masa Adven ini. Kita meneladani sikap permenungannya dalam keheningan, tentang kelahiran Putra-Nya Yesus Sang Mesias. Semoga dengan demikian, kita semakin merindukan kedatangan-Nya dan hati kita tidak disibukkan dan dipenuhi oleh hal-hal lain yang tidak atau kurang penting jika dilihat dalam terang kedatangan Tuhan. “Tuhan Yesus, bantulah aku agar merindukan kedatangan-Mu dalam hidupku. Dan bantulah aku mempersiapkannya seturut kehendak-Mu. Amin.