Dari Yesaya ke Yohanes Pembaptis: dari keadilan ke kedamaian

[Minggu Adven II: Yes 11:1-10; Mzm 72:1-17; Rm 15: 4-9; Mat 3:1-12]

Minggu ini kita mendengar seruan dua orang nabi:  Yesaya dan Yohanes Pembaptis. Nabi Yesaya memberikan gambaran akan sebuah tunas sampai kepada buahnya, yaitu Seseorang yang akan mengadili dunia dengan keadilan, yang menghasilkan damai sejahtera. Semua yang bermusuhan jadi berteman, berdampingan satu sama lain tanpa saling bertengkar: serigala dan domba; macan tutul dan kambing; anak lembu dan anak singa; lembu dan beruang, anak kecil dan ular tedung. Dan semua itu tenang-tenang saja; yang ada hanya ada damai! Bagaimana kita mengartikan ini? Walaupun yang disebut di sana adalah berbagai binatang yang secara “tradisional” bermusuhan satu sama lain, tapi gambaran itupun dapat mewakili kita, manusia. Bukankah di dunia ini kita mengenal adanya kelompok-kelompok yang secara “tradisional” bermusuhan? Korea Utara dan Korea Selatan. Tiongkok dan Taiwan. India dan Pakistan. Serbia dan Kroasia. Myanmar dan Rohingya. Dan, tak usah jauh-jauh, hiruk pikuk politik di negeri ini, sudah cukup membuat kita melihat adanya kelompok-kelompok yang tidak sejalan, yang dengan susupan segelintir orang, konon berpotensi menyulut perpecahan dan pertikaian. Miris mendengarnya, tetapi inilah realita. Bukankah juga realita, bahwa pertikaian bukan hanya monopoli kelompok masyarakat dan bangsa, tetapi juga bisa terjadi di dalam keluarga. Tetap bisa ada pertentangan, ataupun hubungan yang kurang harmonis. Antara anak dan orangtua. Suami dan istri. Kakak dan adik. Menantu dan mertua… Justru keadaan ini membuka mata hati kita, akan relevannya pesan sabda Tuhan hari ini, bahwa di masa Adven ini, kita diajak menumbuhkan pengharapan akan kedatangan Sang Mesias yang sanggup memberikan kedamaian itu kepada semua umat manusia, termasuk yang tadinya bermusuhan ataupun yang kurang harmonis.

Nah, menurut Yohanes Pembaptis, gambaran ideal tentang damai sejahtera di antara umat manusia itu, secara nyata hanya dapat dicapai melalui  pertobatan. Pertobatan didahului dengan mengenali dosa-dosa kita, dan diikuti oleh membalikkan seluruh hati kita ke jalan Tuhan yang kita nantikan itu. Pertobatan itu dimulai, menurut Rasul Paulus, saat kita “saling menerima satu sama lain, sama seperti Kristus juga telah menerima kita untuk kemuliaan Allah” (Rm 15:7). Demikianlah, untuk mengusahakan damai itu, kita dapat memulai dengan pertobatan diri kita sendiri, dan tidak perlu menunggu pihak lain bertobat lebih dulu. Bagi kita umat Katolik, pertobatan dinyatakan dengan mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa, yang didahului oleh pemeriksaan batin yang memadai. Dengan menerima sakramen Pengakuan dosa, kita menerima rahmat pengampunan dari Tuhan dan kita dipulihkan ke keadaan semula, saat kita menerima ketujuh karunia Roh Kudus, melalui Baptisan dan Penguatan. Kita kembali diteguhkan dalam karunia Roh Tuhan, yaitu: roh hikmat, pengertian, nasihat, keperkasaan, pengenalan akan Allah, takut akan Tuhan dan kesalehan, yaitu yang kesenangannya adalah takut akan Tuhan (lih. Yes 11:1-3).

Namun pengakuan dosa mensyaratkan kerendahan hati. Tentang kerendahan hati ini, kita dapat belajar dari teladan St. Yohanes Pembaptis itu sendiri. Ia adalah seorang nabi yang terbesar (lih. Mat 11:11), justru karena kerendahan hatinya. Ia tidak memperkenalkan dirinya sebagai nabi, namun hanya sebagai “suara yang berseru-seru di padang gurun…” untuk mempersiapkan jalan bagi Tuhan (lih. Yoh 1:23). Bahkan Yohanes Pembaptis mengatakan dirinya tak layak membuka kasut Yesus (lih. Mat 3:11), sebuah tindakan paling sederhana yang umumnya dilakukan seorang hamba. Ia pun hidup dalam kemiskinan dan mati raga demi melaksanakan misinya sebagai perintis bagi Kristus. Ia membiarkan murid-muridnya pergi menjadi murid-murid Kristus. Semboyannya adalah agar Kristus semakin besar, dan dirinya sendiri menjadi semakin kecil (lih. Yoh 3:30). Sudahkah ini menjadi semboyan kita juga?

Sebab hanya jika kita memiliki kerendahan hati seorang hamba, kita tidak mengandalkan kekuatan kita sendiri, namun mengandalkan Allah, yang telah memberikan perkataan sabda-Nya sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci untuk memberi kekuatan, ketekunan dan penghiburan kepada kita. Sehingga kita dapat berdoa, “Semoga Allah, sumber segala kesabaran, ketekunan dan penghiburan, memampukan kita untuk hidup dalam perdamaian dengan semua orang, menurut semangat Yesus Kristus, supaya dengan satu hati dan satu suara, kita dapat memuliakan Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” (lih. Rm 15:5-6). Kita dipanggil untuk dengan tekun membina hidup dalam perdamaian dengan semua orang. Panggilan tersebut mengambil rupa bahkan dalam bentuk-bentuk sederhana, seperti memulai dengan senyuman, lebih dahulu menyapa, tidak mudah terprovokasi ataupun memprovokasi, tidak meneruskan informasi yang menyulut emosi, melainkan menyampaikan informasi yang membangun pengertian dan cinta kasih, tidak enggan berdialog, termasuk dengan pihak yang sedang tidak sepikiran dengan kita, dan sebagainya.

Mari kita berhenti sejenak untuk merenungkan sabda Tuhan Minggu ini, yang mengajak kita berdamai dengan Allah, dengan diri sendiri dan dengan sesama. Kita memperolehnya melalui pertobatan. Mari kita berdoa semoga kita diberi rahmat untuk dapat mengenali dosa-dosa dan kelemahan kita, serta kerendahan hati untuk mengakuinya. Semoga St. Yohanes Pembaptis turut mendoakan kita, saat kita mendaraskan doa damai yang disusun oleh St. Fransiskus Asisi:

Jadikanlah aku saluran damai-Mu
Ketika ada kebencian, biarlah aku membawakan kasih-Mu.
Ketika ada luka, [kubawa] kuasa penyembuhan-Mu.
Dan ketika ada keraguan, iman sejati di dalam Engkau.

Jadikanlah aku saluran damai-Mu.
Ketika ada keputusasaan dalam hidup, biarlah aku membawa pengharapan.
Ketika ada kegelapan, [kubawa] hanya terang.
Dan ketika ada kesedihan, sukacita yang sesungguhnya.

O, Roh Kudus, berilah supaya aku tidak pernah mencari
Sedemikian banyak ingin dihibur daripada menghibur
Dipahami daripada memahami
Dikasihi daripada mengasihi dengan segenap jiwaku.

Jadikanlah aku saluran damai-Mu.
Dalam memaafkan kita dimaafkan
Dalam memberi kepada semua orang, kita menerima
dan dengan kematian, kita akan lahir dalam kehidupan kekal.

19/12/2018
Romo pembimbing: Rm. Prof. DR. B.S. Mardiatmadja SJ. | Bidang Hukum Gereja dan Perkawinan : RD. Dr. D. Gusti Bagus Kusumawanta, Pr. | Bidang Sakramen dan Liturgi: Rm. Dr. Bernardus Boli Ujan, SVD | Bidang OMK: Rm. Yohanes Dwi Harsanto, Pr. | Bidang Keluarga : Rm. Dr. Bernardinus Realino Agung Prihartana, MSF, Maria Brownell, M.T.S. | Pembimbing teologis: Dr. Lawrence Feingold, S.T.D. | Pembimbing bidang Kitab Suci: Dr. David J. Twellman, D.Min.,Th.M.| Bidang Spiritualitas: Romo Alfonsus Widhiwiryawan, SX. STL | Bidang Pelayanan: Romo Felix Supranto, SS.CC |Staf Tetap dan Penulis: Caecilia Triastuti | Bidang Sistematik Teologi & Penanggung jawab: Stefanus Tay, M.T.S dan Ingrid Listiati Tay, M.T.S.
top
@Copyright katolisitas - 2008-2018 All rights reserved. Silakan memakai material yang ada di website ini, tapi harus mencantumkan "www.katolisitas.org", kecuali pemakaian dokumen Gereja. Tidak diperkenankan untuk memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dari website ini untuk kepentingan komersial Katolisitas.org adalah karya kerasulan yang berfokus dalam bidang evangelisasi dan katekese, yang memaparkan ajaran Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja. Situs ini dimulai tanggal 31 Mei 2008, pesta Bunda Maria mengunjungi Elizabeth. Semoga situs katolisitas dapat menyampaikan kabar gembira Kristus.