1. Pengantar
Tujuan dasar dari paper ini adalah untuk memahami karakter dan dasar biblis discernment, memahami tujuan pokok discernment adalah melakukan kehendak Allah serta beberapa contoh petunjuk praktis berkaitan dengan metode discernment. ((Berkaitan dengan istilah, saya cenderung mempertahankan formula discernment untuk mempertahankan kedalaman makna yang terkandung di dalamnya. Dalam bahasa Indonesia, kata ini kerap diterjemahkan dengan kata: memilah-milah, pembedaan roh.)) Bermula dari beberapa pertanyaan praktis yang dijumpai sehari-hari, dibuka sebuah cakrawala kesadaran untuk menentukan sebuah pilihan. Misalnya: Kamu cenderung untuk lebih memilih:
- Seorang pendamping rohani yang kudus atau seorang pendamping rohani yang inteligen?
- Seorang teolog yang berdoa, atau Seorang rahib yang berteolog?
- Doa yang berangkat dari kehidupan sehari-hari atau Kehidupan sehari-hari yang ditopang oleh doa?
- Berbuat baik pada sesama untuk masuk Surga atau Sudah mengalami Surga, lalu berbuat baik pada sesama?
Contoh situasi yang lain bisa ditunjukkan misalnya:
- Apa yang bisa saya lakukan untuk mengubah dan memperbaiki keadaan saya?
- Apa yang harus saya lakukan?
- Bagaimanakah caranya mengambil sebuah keputusan?
- Kriteria apa saja yang harus dipakai untuk mengambil sebuah keputusan?
- Bagaimanakah caranya untuk menguatkan sebuah keputusan yang sudah dibuat?
- Bagaimanakah caranya untuk tetap setia pada sebuah keputusan?
Dalam tradisi kehidupan para pertapa di padang gurun, kemudian dilanjutkan oleh para rahib dalam kehidupan monastik, para saudara/i dalam konfraternitas religius, para religius dalam kongregasi misioner hingga pada persaudaraan kaum awam, ada sebuah praktek “Pendampingan rohani” yang terus menerus dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk mengatasi situasi di ambang dua pilihan tersebut.
Namun bukan tujuan dari praktek ini untuk mencari jalan pendek, mempermudah atau menghindari konflik dengan institusi atau, -kalau dalam kehidupan religius-, untuk menghindari kaul ketaatan. Misalnya, dapat saja seorang frater dari sebuah kongregasi misioner berkata, “Saya berefleksi dan membuat discernment pribadi bahwa bukanlah kehendak Tuhan bagiku untuk berangkat ke tanah misi di Amerika Latin, melainkan untuk tinggal dan berkarya di Indonesia saja”, atau seorang bapak dalam keluarga berkata, “Setelah bermeditasi selama satu jam tiap hari selama sembilan hari berturut-turut, saya ingin mengabdi Tuhan sepenuhnya dengan cara terlibat aktif di Gereja, maka anak dan istri saya harus memahami kalau saya sering kali tidak bisa hadir di tengah-tengah mereka”.
Terhadap situasi-situasi semacam ini, kita bisa bertanya: Ada apa di balik ini? Intuisi ini apakah benar merupakan kehendak Allah atau ada sesuatu dalam diriku yang membuat aku sulit untuk menerima pendapat orang lain, sulit untuk taat pada pimpinan, sulit untuk berdialog, mengabaikan tanggung jawab pokok sebagai religius atau kepala keluarga? Atau ada problem tentang kepribadian yang belum matang dan belum sepenuhnya memutuskan untuk membaktikan HIDUP SEPENUHNYA kepada Allah?
Menarik sekali bahwa St. Benediktus pernah menulis: “perlu mengenal di mana Allah hadir dan di mana Allah tidak hadir”
Maka, poin yang hendak kita dalami di sini adalah 1) Apakah artinya melakukan kehendak Allah? 2) Apakah yang diminta oleh Allah padaku? 3) Bagaimana caranya agar aku dapat melakukan kehendak Allah? Dengan jalan apa? Bagaimana itu diaktualisasikan?
Untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar ini, saya mengusulkan pemakaian tiga kata kerja yang kerap dipakai oleh St. Ignatius dari Loyola dalam latihan rohaninya: mencari, menemukan, melakukan (merasakan).
2. Sudut pandang biblis
Dalam teks Perjanjian baru, terdapat kata dalam bahasa Yunani “Dokimazeto” ( …hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri… bdk 1 Kor 11: 28-29). Kata ini digunakan untuk menggambarkan sistem kerja discernment rohani, yaitu olah diri atau cara untuk menguji diri sendiri. Maka, “Dokimazeto” dalam teks ini hendaknya diaplikasikan pada kesadaran hati nurani dan pada perilakunya, untuk melihat apakah sikap batinnya itu seirama dan menjadikan manusia layak untuk menyambut Tubuh Tuhan.
Paulus, dalam teks 1 Tes 5 : 21 (… ujilah segala sesuatu). Berbeda dari teks sebelumnya, Paulus mengaplikaikan kata “Dokimazeto” pada komunitas. Kata ini digunakan untuk membedakan mana yang merupakan ungkapan dari kehendak Allah melalui komunitas, mana yang merupakan tipuan dan hasutan belaka dari si jahat.
Para penginjil menggunakan kata ini untuk menekankan kemampuan dalam membedakan tanda-tanda zaman (bdk. Mt 16 : 3 – Luk 12 : 56).
1Yoh 4 : 1 “Saudara saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah: sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia”. Dalam teks ini, Yohanes ingin menasihatkan pembedaan roh. Yaitu sebuah kemampuan untuk melihat dan memilah-milah segala hal yang ditangkap dan dipahami. Tidak semua yang nampaknya baik adalah baik dan tidak semua yang menyengsarakan adalah sebuah kesengsaraan dan dosa. Kemudian hari, teks ini dikembangkan kemudian oleh St. Ignasius di dalam latihan rohani n° 313-336.
Tema yang sama ditemukan di 2 Kor 11: 13-15. Kepada jemaat di Korintus, Paulus mengingatkan agar mereka mengenal betul, untuk menghindari akibat buruk yang mungkin ditimbulkan. Yesus sendiri di Mt 7: 15-20 “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka …”. Di sini ada sebuah anjuran yang amat kuat bahwa Yesus menasihatkan para murid agar sanggup membedakan dengan seksama antara pohon dan buah-buahnya.
Sadar akan situasi real di mana umat Katolik hidup dan berada, St. Paulus menganjurkan umat di Efesus agar hidup seperti anak-anak terang, melakukan discernment dan belajar untuk masuk dalam communio, agar tidak masuk ke persekutuan yang tidak menghasilkan buah atau justru membuahkan kegelapan (bdk. Ef 5: 10).
Lahan lain di mana harus dipraktekkan discernment adalah kehidupan. Misalnya di Gal 6: 3-4: setiap orang dapat melakukan discernment sendiri, tentang keadaan mereka dalam terang Allah, sebelum penghakiman Allah, atas apa yang layak di hadapan Allah dan yang tidak layak. Teks yang lain tentang discernment dalam Perjanjian baru ditemukan dalam Flp 1: 9-10 (untuk membedakan antara yang baik dan terbaik), 1 Kor 1: 10 (kebijaksanaan Katolik yang berbeda dengan logika dunia), Ibr 5: 14 (discernment sebagai karakter sejati dari seorang Katolik yang dewasa, dengan demikian dia ditransformasi menjadi manusia baru, menurut Kristus).
Sebagai sebuah rangkuman singkat, dari sudut pandang biblis, obyek formal dari discernment adalah melakukan kehendak Allah terhadap diri kita. Ini berarti bahwa kita harus bertindak atau menghindari, menerima atau menolak nasehat, anjuran dan arah…mengenali kecenderungan mana yang harus diikuti dan mana yang tidak.
Maka, Discernment tidak muncul dalam Perjanjian Baru sebagai refleksi hukum positif-negatif moral pada norma-norma atau tindakan-tindakan, melainkan menyimpulkan dan mengumpulkan berbagai hal lalu mengakui akar validitasnya di dalam Kristus atau bukan.
Jika ini ditempatkan lebih baik, pada level religius – spiritual, dinamika kehidupan manusia dalam situasi konkret akan belajar banyak dari metode ini untuk mencari apa yang baik dan benar menurut kehendak Allah. Memang, tidak seorangpun bisa langsung mendengar Allah berbicara, namun dorongan hati ke arah nilai-nilai injili yang diajarkan oleh Yesus bisa menduga dan mengakui kehendak yang menyelamatkan dan menguduskan dari Allah di dalam kehidupan pribadi sendiri.
Menjadi semakin jelas sekarang bahwa dalam discernment, pisau yang digunakan untuk memilah-milah adalah Yesus Kristus ! Di dalam Kristus ditemui manifestasi kehendak Allah Bapa di dalam hidupnya, di dalam kesetiaannya, melalui latihan discernment spiritual setiap waktu. Pada praksis konkritnya, kriteri injili diasimilasi bagi orang Katolik melalui relasi dengan Allah (doa, meditasi, kontemplasi, perayaan iman komuniter, bacaan rohani, hidup berkomunitas …) dengan tuntunan Roh Kudus. Situasi-situasi seperti ini menciptakan secara alamiah sebuah keakraban yang memfasilitasi discernment rohani.
Yohanes menggarisbawahi pentingnya pengalaman batin dan persekutuan dengan pribadi ilahi, sebagai sebuah kondisi yang diperlukan untuk melakukan discernment spiritual, yang akan ditampilkan dalam pengakuan dan credo tentang Yesus sebagai Anak Allah, dalam kesetiaan pada cinta kasih yang konkret dan kesetiaan kepada otoritas Gereja (1 Yoh 2: 20.24.27; 1 Yoh 3: 24; 1 Yoh 4: 6.13.17-18; 1 Yoh 5: 6-9)
Maka, hanya dalam terang iman dalam Kristus dan “docilitas” kepada Roh-Nya, (hati yang terbuka, penuh kesiapsediaan seperti tanah yang subur menerima benih untuk ditumbuhkan), dimungkinkan bagi manusia, dengan bantuan rahmat ilahi, untuk berkembang menjadi dewasa, menjadi “sehati dan sejiwa dengan Kristus”. Ini adalah sebuah kepekaan (docilitas) yang mempengaruhi kekuatan kognitif dan kebijaksanaan, untuk memahami dan membiarkan diri dibimbing oleh Roh, yang bergerak dengan sangat lembut di dalam praktek discernment.
Hasil dari proses ini adalah sebuah manusia baru, manusia rohani di dalam Kristus, karena orang yang telah menerima Kristus dengan iman adalah manusia baru. Dia menerima hak untuk menjadi anak-anak Allah, untuk menjadi generasi yang berbeda dari generasi yang dihasilkan dari daging, dari darah dan seturut kehendak manusia, melainkan dari Roh Allah (bdk. Yoh 1: 12-13; Yoh 3: 5-7, Gal 6: 15; 2 Kor 5: 17).
3. Membedakan variasi discernment
Ada berbagai jenis discernment. Pembedaan yang amat sederhana adalah discernment non-spiritual dan discernment spiritual.
Pada umumnya, discernment non-spiritual menggunakan teknik perusahaan. Misalnya, ada sebuah persoalan tentang jenis barang apa yang hendaknya ditarik dari pasar atau dijual pada awal tahun baru, pada liburan sekolah, pada liburan lebaran dst. Metode pemecahan masalah adalah sebuah pengambilan keputusan secara etis. Titik awal adalah keinginan untuk menebak sebuah resolusi tepat untuk sebuah masalah. Discernment ini pun selesai ketika diambil sebuah keputusan yang tepat dan problem pun tuntas. Sebagian besar unsur yang masuk di sini berkarakter horizontal.
Kedua, adalah Discernment spiritual. Bentuk ini menggunakan materi pokok pengalaman iman. Materi untuk discernment adalah hidup pribadi, di mana kita mempercayai kehadiran karya Allah dalam hati manusia. Ini adalah rahmat dari Roh Kudus dan buah dari cinta kasih (Ordo Penitentiae § 10). Titik awal untuk masuk dalam proses discernment ini adalah keinginan untuk melakukan kehendak Allah. Apakah cukup hanya sebuah keinginan? Tentu bukan semata-mata sentimentalisme ingin akan sesuatu, melainkan sebuah dinamika berkesinambungan untuk mencari Kehendak Allah dalam kehidupan pribadi, dalam komunitas dan dalam karya misi atau tugas yang sedang diemban. Discernment ini selesai jika kehendak Allah itu “ditemukan”.
Pembedaan yang lain bisa berupa beberapa jenis discernment:
- Discernment injili: Menginterpretasi situasi dan kondisi historis dalam terang Injil, Yesus Kristus dan dalam terang rahmat dari Roh kudus. Perlu kebijaksanaan yang matang.
- Discernment spiritual: Adalah sebuah gaya hidup yang menginterpretasi, menilai dan bekerja dari kacamata Allah. Ini adalah satu bentuk untuk memahami diri sendiri (mencari identitas) dalam terang Allah.
- Discernment komuniter: Melibatkan semua anggota komunitas untuk melihat karya Allah lewat tanda-tanda zaman yang hadir dalam komunitas
- Discernment panggilan: Obyeknya adalah panggilan. Tujuannya melihat apakah subyek memiliki karakter dan disposisi yang dibutuhkan untuk menjawab panggilan Allah dalam cara hidup tertentu.
4. Tujuan Discernment
Melihat berbagai aplikasi dan berbagai kerumitan yang ada dalam proses discernment, kita bisa bertanya, Mengapa perlu melakukan discernment dalam hidup? Allah mengambil inisiatif terlebih dahulu untuk memanggil kita. Dia menghendaki agar hidup kita PENUH. Di sini, sejarah hidup dan hati manusia berada dalam tarik ulur dan dalam perjuangan terus menerus. Inilah konsep yang mendasari mengapa discernment itu perlu dan mendesak untuk dilakukan.
5. Peran pendamping dalam discernment
Namun, dalam proses discernment, kita tidak sendiri. Proses ini memerlukan kehadiran seseorang yang mendampingi. Peran pendamping discernment adalah bekerja sama dengan Allah melalui Gereja. Itulah sebabnya dia menjadi musuh dari musuh-musuh dari kodrat manusiawi manusia yang berusaha menjauhkan manusia dari Allah. Dalam menjalankan fungsinya sebagai seorang pendamping, dia tidak bisa mengikutsertakan pandangan pribadinya sendiri. Justru merupakan kewajibannya untuk mengatakan apa yang diajarkan oleh Gereja.
Tugas pokok pendamping adalah mengevaluasi apakah argumentasinya berdasarkan fakta dan bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya untuk sebuah discernment. Apakah keputusan yang diambil itu benar ataukah hanya ilusi dari subyek.
Misalnya, aku ingin menjadi missionaris di Afrika. Tetapi kondisi kesehatanku meminta satu makanan tertentu untuk bisa hidup dan aku punya alergi. Kalau aku tidak sehat, aku harus pergi ke rumah sakit.
Di sini, pendamping rohani akan melihat adanya motivasi kuat untuk menjadi misionaris. Di lain pihak, dia melihat juga bahwa demi kebaikan karya misi Gereja, kehadirannya akan merepotkan komunitas di mana dia akan tinggal.
Peran yang lain adalah menegur dan memperingatkan. Seorang pendamping rohani hendaknya memiliki kemampuan untuk mengenali perasaan, ketakutan, pengalaman negatif dan kebiasaan-kebiasaan yang bertentangan. Misalnya, dia bisa saja menegur yang didampingi untuk tidak membuat pilihan dalam discernment kalau melihat bahwa yang bersangkutan masih memiliki banyak ketakutan dan kecemasan.
Seorang pendamping diharapkan juga memiliki wawasan yang luas tentang kekayaan karisma di dalam Gereja. Misalnya, jika seorang pendamping berasal dari tarekat misionaris dan melihat bahwa yang didampingi tidak memiliki kualitas dan ada banyak halangan untuk menjadi seorang misionaris, maka dia bisa mengusulkan agar yang bersangkutan bisa berkunjung dan mengenal kehidupan para rahib, tarekat atau imam diosesan.
Sekarang mulai nampak jelas bahwa peran pendamping adalah memahami subyek, mendengarkan, melihat, menginterpretasi perkembangan rohaninya, mengintuisi kebebasan interior yang diperlukan subyek untuk mengambil keputusan dan tahu saat yang tepat untuk mendorong orang membuat keputusan. Jika pendamping melihat bahwa memang sudah saatnya bagi yang didampingi untuk mengambil keputusan, maka dengan tegas dia harus mengatakan: Sekarang adalah waktu bagimu untuk mengambil keputusan atau jika engkau mengambil keputusan sekarang, engkau akan membuat kesalahan cukup besar.
6. Discernment = Melakukan kehendak Allah
Manjalankan kehendak Allah itu tidak sama untuk semua orang. Masing-masing pribadi memiliki tugas sendiri-sendiri sesuai dengan rahmat dan karunia yang diterimanya dari Allah. Bukankah setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda, ketrampilan yang majemuk, kekuatan fisik dan dan karakter pribadi yang bervariasi? Dengan titik tolak yang beragam ini, manusia mendapat tantangan untuk menentukan kebebasan yang dia miliki itu mau dibawa ke mana? Bukankah dengan kebebasan ini manusia mengenal batas, kelemahan, kekuatan, bakat… maka, otonomi yang dia genggam dalam tangan itu mau disalurkan ke jalur mana? “Melakukan kehendak Allah” dikondisikan oleh kemampuan manusia untuk memahami kebebasannya atau kemampuannya untuk memahami dirinya sendiri.
Dengan demikian, “menjalankan kehendak Allah” adalah misteri resiko dari kebebasan manusia. Sebuah kebebasan yang diberikan dan diserahkan di bawah kaki salib dengan bobot cinta. Bukankah dengan salib, Yesus pun meletakkan kebebasannya ke dalam tangan manusia yang ingin menyalibkan-Nya? Inilah tantangan dasar dari kesediaan untuk melakukan discernment dan kemudian memeluk kehendak Allah sebagai sebuah pilihan hidup saya.
Namun, resiko “menjalankan kehendak Allah” yang dilakukan dalam mentalitas kewajiban akan menjebak manusia dalam sebuah ritme kehidupan yang ritual: menjalankan sesuatu dengan pemikiran dasar: kubuat ini agar selamat. Misalnya, jika peraturan berdoa mewajibkan tangan di dada, kepala tegak, mata terkatup… maka, apa yang tertulis seperti itu akan kulakukan seperti itu juga. Kata “menjalankan” di sini berarti mengikuti apa adanya. Tidak kurang dan tidak lebih. Di sini ditampilkan “menjalankan” sebagai sebuah intuisi komunal, mendasarkan pada struktur yang sudah dicanangkan dan terbatas pada hal itu saja. Pertanyaannya, di sini tidak ada perjuangan untuk menyingkap makna yang tersirat di balik yang tersurat. Lemahnya kebebasan dan minimnya kemampuan reflektif untuk bertanya lebih dalam tentang apa yang diminta Tuhan dariku.
Resiko yang lain adalah ketika upaya untuk “menjalankan kehendak Allah” dilakukan dalam mentalitas hukum Farisi. Misalnya dalam kasus orang kaya yang ingin masuk surga (Mt 19: 16-22). Ada sebuah kesediaan manusia untuk mengikuti Kristus, namun ada tetapinya… misalnya asal tidak merepotkan saya, asal tidak merugikan saya, asal tidak mengganggu kerja saya dst. Kata “menjalankan” di sini terungkap seperti membangun atau menciptakan sesuatu. Di sini ditampilkan “menjalankan” sebagai sebuah intuisi personal. Oleh sebab itu, perlu ditelaah lebih lanjut pernyataan seperti: seorang pemimpin yang mengatakan, “Saya tahu bahwa ini adalah kehendak Allah bagimu”, atau seorang frater mengatakan,”Setelah berdoa, saya mendengar suara bahwa ini adalah Kehendak Allah bagiku.”
Dalam berbagai resiko ini, ada sebuah anjuran untuk lebih tajam dalam melakukan proses discernment. Berhati-hatilah untuk mengenali cara bekerja roh jahat. Ada bahaya laten dalam menjalankan proses discernment ini, yaitu perfezionisme. Ini tampak misalnya dalam pemikiran dan pernyataan: Saya merasa sakit karena tidak ikut misa; Saya sedih karena tidak mendapat nilai 10, tapi cuman 9,9; Saya kecewa karena tidak mendapat pujian; Saya merasa dihina karena tidak ada yang memuji hasil kerja saya; …. Syukur kepada Allah karena segala sesuatu dibuat sedemikian sempurna!!! Ini semua adalah tanda-tanda ketidakdewasaan, tidak adanya kebebasan dalam mengambil sikap dan menentukan pilihan.
Fakta bahwa saya sedang “menjalankan kehendak Allah” adalah bahwa saya bahagia, saya sedang melakukan yang terbaik untuk menggapai ideal hidup, dengan mengikuti Yesus Kristus. Ada sesuatu yang misterius, seperti jalan-jalan Allah itu misterius adanya dan manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya itu adalah misteri. Maka, “melakukan kehendak Allah” dalam hal ini berarti kemampuan manusia, dalam dinamika kehidupannya sehari-hari, untuk menciptakan dan memperbaharui kembali panggilan setiap hari. Itulah sebabnya, perlu kerendahan hati seperti Musa, yang ketika dipanggil Allah untuk mendekatkan diri pada semak-semak yang bernyala, diminta untuk melepas sandal ketika masuk ke tanah yang dikuduskan.
Sebagai penutup, kriteria dalam melakukan discernment untuk “menjalankan kehendak Allah” ada bermacam-macam. Di sini diuraikan beberapa poin yang menjadi benang merahnya:
- Kriteri teologis: Cinta kasih
- Kriteri kristologis: Kerendahan hati
- Kriteri pneumatologis: kreativitas, yaitu kehadiran berbagai macam karisma, kebudayaan di mana Roh Kudus berkarya
- Kriteri eklesiologis: kesatuan (communio), yaitu berada dalam satu gereja
- Kriteri antropologis: kebahagiaan
7. Subyektivitas manusia sebagai kriteri pokok dalam discernment
Sudah sedikit disinggung di atas kata-kata “subyek”. Apa makna kata “subyek” dalam discernment?
Subyek yang dimaksud bukanlah seorang manusia, berpangkat, berkuasa, berduit dan terkenal, melainkan sebuah kemampuan untuk mengambil keputusan, menjatuhkan pilihan secara bertanggungjawab untuk kehidupannya. Yang menjadi tekanan adalah kemampuan seorang individu untuk melihat di manakah problem yang sedang kuhadapi sekarang dan mengenal berbagai kelekatan yang tidak teratur yang kumiliki.
Maka, seseorang yang memiliki karakter subyek ini, tidak berarti orang bebas tanpa masalah. Bukan mereka yang pandai, yang baik dan berhasil dalam studi, memiliki kemampuan dalam 10 bahasa asing, selalu mendapat 10 dalam ujian, pandai dalam menggunakan sarana teknologi, melainkan yang matang dan bisa menemukan ritme dinamis kehidupannya, meskipun sedang jatuh dalam studi, sedang gagal dalam pekerjaan atau sedang mengalami berbagai permasalahan. Dalam situasi seperti ini, seseorang yang bersubyek, memiliki kemampuan untuk mengintegrasikan kegagalannya dan berjuang semaksimal mungkin. Orang seperti ini memiliki kemampuan untuk berkembang, menjadi dewasa, siap dikoreksi dan menerima dengan rendah hati bantuan orang lain. Semua itu dilakukan demi kemuliaan Allah yang lebih besar (AMDG).
Dengan demikian, seseorang yang memiliki subyek, dia memiliki kemampuan untuk menerima batas dan kelemahan pribadi. Karakter subyektivitas seperti inilah yang diharapkan dari seseorang yang siap masuk dalam proses discernment.
8. Tiga waktu untuk melakukan discernment
St. Ignasius dari Loyola, dalam buku latihan rohani, mengkategorikan tiga waktu untuk melakukan discernment.
Pertama, dengan rahmat khusus. Yang menentukan kategori pertama ini adalah “karena Allah menghendaki”. Pada saat ini, Dia mewahyukan diri-Nya dan rencana-Nya pada waktu dan pada pribadi yang dikehendaki-Nya sehingga orang yang menerimanya tidak memiliki keragu-raguan. Misalnya, ketika aku tiba di sebuah pertapaan, aku merasakan dengan yakin bahwa panggilanku adalah hidup sebagai seorang rahib. Di tempat itu, aku merasa seperti ada di rumahku sendiri. Seolah-olah aku mencium udara di kampung halaman. Aku merasa tenang dan bahagia pada lubuk batin terdalam… Karena inisiatif berasal dari Allah, maka tidak ada keragu-raguan sedikitpun dan tidak ada pertanyaan. Ketika diputuskan untuk memilih dan menjalaninya, dan ternyata setelah sekian puluh tahun, intuisi pertama itu terkonfirmasi dengan fakta bahwa orang itu memang bahagia dan merasakan betul panggilan Tuhan di tempat itu, maka situasi semacam ini bisa dikategorikan dalam kelompok pertama.
Kedua, Dengan rahmat yang kita miliki kita berusaha. Pada saat ini, intuisi yang muncul bermacam-macam. Misalnya seorang anak muda yang sedang dalam proses pencarian panggilan hidup, ketika berkunjung ke sebuah biara, amat terkesan dengan gaya hidup seorang biarawan di sana dan berkata, “Pastor, saya bahagia melihat bagaimana engkau menghidupi panggilanmu. Engkau merasa berkecukupan meski tidak memiliki apa-apa. Kaul kemiskinanmu, yang merupakan identitasmu itulah yang menarik perhatianku”. Mungkin kesan dari seorang frater muda yang lain semacam ini: “Pastor, saya bahagia tinggal di Roma ini. Ada mobil banyak, ada kemungkinan menjadi sekretaris uskup. Aku merasa bahagia karena tidak kekurangan suatupun”. Pendapat manakah yang lebih mendukung dalam sebuah proses discernment? Dalam situasi ini, perlu sebuah pribadi yang memiliki “subyek” untuk berani memutuskan.
Langkah yang ditempuh misalnya dengan membuat sebuah daftar tentang hal-hal yang menghibur dan tidak, hal-hal yang menguntungkan dan sebaliknya. Apakah aku merasa bahagia dalam kedua situasi ini? Ketika menimbang-nimbang di depan tabernakel, mintalah rahmat: di mana aku merasa lebih bebas bertindak demi kemuliaan Allah?
Ketiga, waktu tenang / waktu teduh. Dalam periode ini, tidak ada peristiwa yang bergejolak, tetapi aku harus mengambil keputusan. Maka bisa dibuat misalnya sebuah analisis tentang poin apa yang paling berat, paling indah dan paling memikat. Namun, musti tetap dicanangkan dalam hati dan tidak boleh diubah: aku ingin melakukan kehendak Allah. Hanya saja, persoalannya adalah aku masih memiliki keragu-raguan…!!! Bagaimana ini dijembatani? Mari kita gunakan 3 langkah untuk mengambil keputusan:
- Bayangkan saat ini sebagai waktu ajal, apa yang akan kau putuskan?
- Jika masalah ini dimiliki orang lain, kamu sebagai sahabat dekatnya, nasehat apa yang akan kauberikan kepadanya?
- Di hadapan pengadilan Allah, Dia tahu segala-galanya. Aku harus mengambil keputusan dengan kebebasan batin
Dengan melaksanakan latihan-latihan ini, diharapkan agar kita bisa memahami sebuah pilihan panggilan yang valid, bebas, terbuka, bertanggung jawab dan seiring dengan rahmat Allah.
9. Bibliografia
- COSTA, M., Direzione spirituale e discernimento, AdP, Roma 2009
- RAMBLA BLANCH, JOSÉ Ma, Discernir en comunidad: El Espíritu habla a las comunidades, Frontera Hegian 37 (2002)
- RUIZ JURADO, El discernimiento espiritual, Madrid, BAC 2010
- SCHIAVONE, P. (ed.), Ignazio di Loyola: Esercizi spirituali. Ricerca sulle fonti, San Paolo, Cinisello Balsamo 1995
- SOVERNIGO, G., Le dinamiche personali nel discernimento spirituale, Messaggero di Sant”Antonio – Facoltà teologica del Triveneto, Padova 2010
doximazeto de anqropos eauton
doximazeto de anqropos eauton
Suara Hati, Malaikat, Roh Kudus
Kotbah Paus Fransiskus tanggal 2 Oktober lalu mengingatkan sekali lagi kepada umat bahwa malaikat itu ada dan menjadi perjalanan umat dalam peziarahan di dunia.
Dalam pengalaman hidup, sulit sekali membedakan antara suara hati, malaikat dan Roh Kudus apabila seseorang melakukan diskusi dalam dirinya sendiri.
Bagaimana membedakan tanya jawab batin itu sebagai suara batin sendiri, suara dari Malaikat atau suara Roh Kudus?
[Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas terlebih dahulu, silakan klik].
Dear katolisitas.org,
Adakah sesi dalam web ini yang membahas tentang bagaimana pandangan iman Katholik terhadap suatu tugas perutusan ? Bagaimana membedakan bahwa itu perutusan yang kita jalani tersebut memang dari Allah dan mana yang bukan? Bagaimana pandangan dari Iman Katolik terhadap suatu kondisi bahwa seorang suami yang karena kondisi tertentu dan terpaksa harus meninggalkan anak dan istrinya jauh di perantauan untuk mencukupi kebutuhan anak dan istrinya, apakah hal ini dapat dibenarkan dalam keimanan Katolik? Terimakasih sebelumnya dan mohon maaf apabila penyampaiannya salah kamar. Berkah Dalem.
Regards, Kukuh.
Shalom Kukuh,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang tugas perutusan. Allah mengutus kita dalam segala situasi sesuai dengan kondisi dan hidup yang kita jalankan. Ada yang mengambil jalan untuk menjadi imam dan diutus untuk menjalankan tugas sebagai imam. Namun, ada yang diutus ke dunia dalam konteks berkeluarga. Maka orang yang berkeluarga sebenarnya telah diutus Tuhan untuk mewartakan Injil kepada semua orang melalui kehidupan keluarga. Pewartaan ini terutama harus dijalankan mulai dari anggota keluarga, istri dan anak-anak. Suami dan ayah dituntut untuk menjadi kepala keluarga, yang juga pertama-tama mengajarkan iman kepada anak-anak serta membimbing anak-anak dalam kekudusan.
Dalam konteks inilah, sebenarnya semua keputusan yang lain harus mempertimbangkan aspek perutusan ini. Apakah dengan Anda mengambil tugas yang terpaksa harus memisahkan Anda dengan anak-anak dan istri, maka Anda tetap dapat melakukan tugas perutusan yang diberikan oleh Tuhan? Di sisi yang lain, mengarungi kehidupan rumah tangga bersama-sama sudah cukup berat, dan menjadi lebih berat kalau harus mengarungi rumah tangga secara terpisah karena pekerjaan. Jadi, ada baiknya Anda dapat mempertimbangkan untuk dapat mencari pekerjaan yang memungkinkan Anda mempunyai waktu untuk membina rumah tangga dengan baik. Atau carilah kemungkinan kalau memang harus berpisah untuk sementara karena kondisi yang sungguh sulit dan tidak ada alternatif apapun, apakah secara berkala Anda tetap dapat berhubungan dengan anak dan istri? Atau dapatkan kunjungan terhadap anak dan istri dapat dilakukan lebih sering? Namun, menurut saya pribadi, pekerjaan yang menuntut untuk berpisah dengan istri dan anak-anak dalam jangka yang panjang tidak dapat menjadi solusi yang tetap. Semoga Tuhan memberikan jalan kepada Anda dan keluarga Anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear Katolitas
Saya sejak kecil boleh nampak roh-roh jahat,baik dan orang yang telah meninggal dunia. Di dalam keluarga saya,saya yang terpilih untuk mewarisi ilmu animisme ini yang diturunkan oleh nenek moyang kepada saya, nenek moyang kami memang terkenal dengan kehandalan menyembuhkan penyakit-penyakit malah bermacam-macam penyakit nenek moyang saya boleh sembuhkan. Ramai yang mengatakan orang-orang yang mempunyai kebolehan melihat roh-roh seharusnya menjadi bomoh, tapi saya menolak untuk menerima ilmu-ilmu animisme dari nenek moyang dan menolak untuk menjadi bomoh sebab saya seorang sebagai umat katolik tidak boleh menjadi bomoh dan menyembah berhala kerana perbuatan ini boleh menyebabkan saya mendapat dosa berat. Saya mengetahui yang saya adalah orang terpilih mewarisi warisan selepas ibu saya berjumpa dengan seorang bomoh, dan bomoh itu memberitahu kepada ibu saya yang saya ini memang orang yang terpilih mewarisi ilmu dari nenek moyang kami, tapi saya tidak ikut ibu saya berjumpa dengan bomoh sebab saya berfikiran yang jika saya berjumpa bomoh, saya akan berdosa kerana menduakan tuhan dan hanya tuhan Yesus Kristus tuhan dan allah saya. Saya sudah cuba menghalang ibu saya untuk berjumpa dengan bomoh itu, saya tegur ibu saya dan berdoa novena hati kudus yesus supaya ibu saya tidak berjaya berjumpa bomoh itu lagi, namun saya gagal. Saya mula risau, mungkin ibu saya meminta bomoh itu membuat ritual untuk saya, jadi dari masa itu saya mula rajin berdoa rosari dan sampai sekarang saya saya masih berdoa rosari namun tidak apa-apa perkara yang aneh pun berlaku kepada saya, hanya saya masih boleh melihat roh-roh kerana saya percaya bunda maria senantiasa melindungi saya. Suatu hari saya mendapat berita mengenai seminar hidup baru dalam roh kudus daripada seorang rakan saya, saya pun sertai seminar ini sebab rakan dan katekis (pastor) saya menyarankan saya pergi supaya saya tahu yang kebolehan nampak roh-roh saya ini dari sumber baik ataupun jahat dan ternyata saya masih boleh nampak apa yang jarang orang boleh lihat malah saya dapat lagi karunia bercakap dalam bahasa lidah dan karunia iman. Jika seseorang membawa jimat-jimat ,guna-guna atau mengamalkan amalan animisme (orang yang mempunyai amalan yang berkaitan ilmu hitam atau putih), saya boleh tahu sebab saya nampak roh-roh yang mereka bawa sama berasa tidak selesa apabila berdekatan dengan mereka. Saya sudah pernah mengikuti seminar hidup baru dalam roh kudus namun masih boleh nampak apa yang orang jarang-jarang boleh lihat. Apakah ini juga boleh dipanggil discernment (kebolehan membedakan-bedakan roh)? Dan apa yang saya boleh sumbangkan kepada gereja dengan menggunakan karunia ini?
Mohon Penjelasan……
Eric Stewart
Salam Eric Stewart,
Sebagai orang Katolik, sikap Anda sudah benar yaitu berpegang pada iman Katolik dan ajaran Gereja Katolik. Saran saya, sejauh karunia itu masih ada pada Anda, pergunakanlah karunia itu sebagai sarana untuk menyiarkan kebenaran iman Katolik. Dengan karunia itu, Anda bisa menyatakan kebenaran terhadap orang yang Anda jumpai yang Anda lihat memiliki kuasa kegelapan, agar mau mengakui kemahakuasaan Allah dalam Kristus dan Gereja-Nya.
Silahkan bergabung dalam komunitas doa di paroki atau keuskupan, misalnya Persekutuan Doa Karismatik Katolik untuk melayani. Lama-lama Anda sendiri akan merasakan dan mengalami bagaimana menyikapi kemampuan Anda itu.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
syalom,
menanggapi topik discernment diatas, adalah menarik jika dilihat dari pemilihan bangsa Israel menjadi umat pilihan Allah. Pada saat bangsa Israel berjalan di padang gurun, ternyata yang dapat bertahan hidup adalah orang yang tidak bersungut-sungut dan yang secara fisik juga dilatih berjalan. Sehingga menurut saya hanya keturunan yang kuat dan mempunyai ciri-ciri unggul sajalah yang dapat hidup, terseleksi, dan dapat diandalkan. Baik menurut pandangan Allah dan manusia.
Mohon penjelasannya, apakah memang demikian.
GBU,
pardohar
Shalom Pardohar,
Sesungguhnya, yang menjadi alasan mengapa Allah menghukum semua orang Israel yang keluar dari Mesir [kecuali Kaleb dan Yosua] sehingga mereka tidak dapat masuk ke Tanah Terjanji, adalah ketidaktaatan/ ketidakpercayaan mereka kepada Allah. Hal ini disebutkan secara eksplisit di kitab Ibr 3:15-19, secara khusus ayat 19, dan juga kitab Bil 14:1-35. Setelah Allah membebaskan mereka dari penjajahan Mesir, bangsa Yahudi malah bersungut-sungut kepada Allah dan kepada Nabi Musa, dan Allah tidak berkenan akan hal ini. Maka Allah membiarkan mereka mengembara di padang gurun selama 40 tahun, sehingga generasi mereka habis, dan mereka meninggal dunia sebelum memasuki Tanah Kanaan yang dijanjikan Allah. Maka yang memasuki Tanah Perjanjian adalah generasi berikutnya. Dari perikop-perikop tersebut, kita mengetahui bahwa Allah tidak menyukai ketidaktaatan, dan selalu ada konsekuensi dari perbuatan-perbuatan kita, jika kita menentang Allah. Tanah Terjanji itu sendiri merupakan gambar samar-samar akan Surga, sehingga kesimpulannya, jika kita ingin sampai ke Surga kita harus hidup dalam ketaatan kepada Allah.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
syalom,
terimakasih atas penjelasan ibu Inggrid, saya semakin yakin bahwa Yesus Kristus adalah pokok anggur yang benar. Dan kita adalah ranting-rantingnya.
Tuhan Yesus pun akan taat pada kebenaran, sehingga kitapun menjadi satu dalam kebenaran.
Salam sejahtera,
Pardohar
Doalah yang banyak. Jika tak bisa berbuat tapi ingin berbuat atau menginginkan sesuatu tapi tak bisa : maka yang baik adalah diam. Tapi jika ada dorongan melakukan sesuatu dan memang kondisi memungkinkan maka lakukanlah. Semua pasti akhirnya kita mengerti dorongan itu menghasilkan sesuatu entah baik atau buruk pada akhirnya kita terlatih mengikuti dorongan Roh. Tapi jangan lupakan doa. Sebab doa adalah nafas dari Roh Tuhan di dalam diri anda.
[dari katolisitas: Cobalah melihat konteks dari artikel di atas secara keseluruhan. Dalam proses discernment tidaklah semudah itu. Pointnya adalah untuk melihat apakah dorongan tersebut adalah sungguh-sungguh dari Roh Kudus atau bukan. Kalau doa ya memang dalam segala hal kita harus berdoa.]
Dear Katolisitas,
Bagaimana cara/langkah-langkah untuk discernment untuk keperluan mengambil keputusan dengan tepat, seperti misalnya : memutuskan untuk pindah pekerjaan/tidak, pasangan hidup, dsb.
Seperti apa saja bentuk jawaban dari Tuhan ?
Terima Kasih
Shalom Devi,
Jika pilihannya adalah antara baik dan buruk, maka patokannya jelas adalah manakah yang sesuai dengan perintah Tuhan dan manakah yang tidak. Dalam keadaan ini akan lebih mudah kita memilih, sebab yang menjadi kehendak Tuhan pasti adalah hal-hal yang sesuai dengan perintah-Nya.
Namun untuk memilih hal yang paling baik di antara hal-hal yang nampaknya sama- sama baik, ini memang memerlukan kepekaan untuk mengetahui manakah yang dikehendaki Tuhan bagi kita sesuai dengan keadaan kita. Untuk ini diperlukan hubungan yang dekat/ akrab dengan Tuhan. St. Ignatius dari Loyola pernah memberikan patokan, yaitu, apakah pilihan yang paling memberikan kemuliaan bagi nama Tuhan (Ad Majorem Dei Gloriam), itulah jalan yang dapat ditempuh. Dengan semangat ‘magnanimity’/ kebesaran jiwa untuk memberi yang terbaik kepada Tuhan, semoga pilihan tersebut dapat diambil dengan hati lapang dan suka cita.
Nah jika ini dihubungkan dengan pekerjaan dan pasangan hidup, maka silakan ditimbang keadaannya: apakah dengan pekerjaan yang ada sekarang: Anda dapat memberikan waktu untuk Tuhan dan untuk melayani Dia? Apakah Anda dapat melayani Tuhan dan sesama melalui pekerjaan Anda? Apakah Anda dapat bertumbuh secara rohani dan mengembangkan kebajikan-kebajikan melalui pekerjaan Anda? Apakah pekerjaan itu cukup memberikan rejeki bagi keluarga dan sejumlah yang lain untuk disumbangkan bagi kepentingan Gereja/ sesama? Nah silakan ditimbang beberapa hal ini terhadap pilihan yang ada.
Sedangkan tentang panggilan hidup, silakan ditimbang tentang kemungkinan hidup selibat untuk Kerajaan Allah, ataukah untuk hidup berkeluarga. Baru jika kemudian disadari bahwa panggilan yang ada adalah untuk membentuk keluarga, mohonlah kepada Allah agar Anda diberi pasangan hidup yang seturut dengan kehendak-Nya. Sedapat mungkin carilah yang seiman. Jika Anda Katolik, carilah yang sama-sama Katolik, karena dengan itu akan lebih memudahkan Anda membangun keluarga dengan kesatuan yang penuh, sebagaimana diajarkan dalam ajaran iman Katolik. Baru setelah itu carilah yang lebih cocok dengan Anda, baik dalam hal pandangan dan prioritas hidup, sifat-sifat dan minat, dst. Namun jika Anda ada tahap menantikan jodoh, silakan juga Anda terus berjuang untuk bertumbuh dalam kebajikan dan kasih kepada semua orang, dan secara bijak melibatkan diri dalam lingkungan pergaulan yang sehat, baik jika Anda terlibat dalam kegiatan gerejawi, sehingga Anda dapat bertemu dengan seseorang yang dapat menjadi pasangan hidup Anda.
Secara umum, pilihan yang lebih mendatangkan kedamaian di hati, dapat menjadi pertanda bahwa itu adalah yang dari Tuhan. Jika selalu ada persoalan yang tak henti-henti, pertengkaran tak kunjung selesai, dan berujung kepada menjauhkan Anda dari Tuhan, maka dapat diketahui pilihan itu bukan dari Tuhan.
Akhirnya, silakan membawa apapun pergumulan hidup Anda dalam doa-doa Anda setiap hari, bahkan sepanjang hari, dalam doa-doa singkat di dalam hati. Dalam keeratan hubungan dengan Tuhan inilah, maka Anda akan diberi kepekaan yang lebih, untuk dapat mengetahui apa yang menjadi kehendak Tuhan, dan kesiapan/ keteguhan hati untuk melaksanakannya, dengan suka cita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terimakasih Romo Alfons atas pencerahannya.
Sekedar sharing, dalam menjalani kehidupan sehari2 dan menghadapi permasalahan hidup baik permasalahan keluarga, pekerjaan maupun study, pada saat menjalani discernment dengan berpegang pada Injil & Salib Kristus, dan dengan rendah hati mencari Kehendak Tuhan.
Hal yang terberat adalah “melaksanakan Kehendak Tuhan” yang dihasilkan dari proses discernment tersebut. Biasanya saya mengalami peperangan antara kedagingan dan keinginan untuk “melaksanakan Kehendak Allah”, apalagi bila melihat bahwa jalan yang harus ditempuh untuk melaksanakan “Kehendak Allah” tersebut adalah ‘jalan sempit & penuh semak duri’ (meminjam istilah St. Faustina). Kadang hal ini menimbulkan kegentaran bagi saya.
Dibutuhkan kerendahan hati, penyangkalan diri dan ketaatan total untuk mampu melaksanakan “Kehendak Allah”.
Kadang saya harus ‘mematikan rasa’ agar mampu “melaksanakan Kehendak Allah”, misalnya harus tetap mencintai dan melayani orang yang telah dengan sangat menyakiti kita.
Saya hanya selalu mohon diberikan Rahmat dan Kasih dari Allah Bapa, agar senantiasa dimampukan untuk melaksanakan kehendakNya sebagai pujian bagi kemuliaan namaNya.
Semoga Romo Alfons senantiasa dikuatkan dan bahagia dalam menjalani panggilan mulia ini.
Mohon doanya untuk David (9 tahun), Michael (3 tahun) & Rafael (6 bulan) agar dapat mengikuti jejak Romo.
Terimakasih Romo.
Berkah Dalem.
Thanks Katolisitas, sangat bermanfaat.
GBU
Thks a lot Katolisitas. Saya memang sangat tertarik dengan topik ini.
Terima kasih Katolisitas, banyak pertanyaan dalam hidupku mengenai discerment dan artikel ini memberikan banyak jawaban akan pertanyaan diriku. Terima kasih.
Comments are closed.