Dewasa ini ada sekelompok orang Katolik yang mendukung tahbisan wanita, walaupun pihak Vatikan dengan jelas mengajarkan bahwa tahbisan imam (imam jabatan) hanya diberikan kepada pria. Pembahasan tentang hal ini sesungguhnya bisa sangat panjang, yaitu tanggapan akan semua keberatan mereka, dan apakah dasarnya baik dari Kitab Suci maupun dari Tradisi Suci/ pengajaran Magisterium. Mungkin di lain kesempatan, kami dapat menuliskan artikel khusus tentang hal ini. Namun sementara ini, kami hanya dapat menyampaikan tinjauan secara umum saja.
1. Ajaran Katekismus Gereja Katolik dan Magisterium
Mereka yang mendukung tahbisan imam wanita umumnya menampilkan interpretasi mereka sendiri tentang apa yang tertulis di Kitab Suci, maupun Tradisi Suci namun meeka tidak mau menerima pengajaran Magisterium yang tertulis dalam oleh dokumen- dokumen Gereja Katolik. Tuntutan akan tahbisan wanita, yang seolah- olah menyatakan bahwa wanita ‘berhak’ menjadi imam, adalah menyalahi pengertian imamat sendiri. Sebab panggilan imamat itu bukanlah soal hak untuk dipenuhi, tetapi sebagai panggilan dari Tuhan melalui otoritas Gereja yang didirikan-Nya.
Katekismus Gereja Katolik mengajarkan demikian, tentang siapakah yang dapat menjadi imam:
KGK 1577 “Hanya pria [vir] yang sudah dibaptis, dapat menerima Tahbisan secara sah” (CIC, can. 1024). Yesus Tuhan telah memilih pria-pria [viri] untuk membentuk kelompok kedua belas Rasul (Bdk. Mrk 3:14-19; Luk 6:12-16), dan para Rasul pun melakukan yang sama, ketika mereka memilih rekan keja (Bdk. 1 Tim 3:1-13; 2 Tim 1:6; Tit 1:5-9), yang akan menggantikan mereka dalam tugasnya (Bdk. Klemens dari Roma, Kor 42:4; 44:3). Dewan para Uskup yang dengannya para imam bersatu dalam imamat, menghadirkan dewan kedua belas Rasul sampai Kristus datang kembali. Gereja menganggap diri terikat pada pilihan ini, yang telah dilakukan Tuhan sendiri. Karena itu, tidak mungkin menahbiskan wanita (Bdk. MD 26-27; CDF, Pernya. “Inter insigniores”).
KGK 1578 Seorang pun tidak mempunyai hak untuk menerima Sakramen Tahbisan. Sungguh tidak seorang pun [dapat] menuntut tugas ini bagi dirinya. Untuk itu seorang harus dipanggil oleh Allah (Bdk. Ibr 5:4). Siapa yang beranggapan melihat tanda-tanda bahwa Allah memanggilnya untuk pelayanan sebagai orang yang ditahbis, harus menyampaikan kerinduannya itu dengan rendah hati kepada otoritas Gereja yang mempunyai tanggung jawab dan hak untuk mengizinkan seorang menerima Tahbisan. Seperti setiap rahmat, maka Sakramen ini juga hanya dapat diterima sebagai anugerah secara cuma-cuma.
KGK 1579 Kecuali diaken-diaken tetap, semua pejabat tertahbis Gereja Latin biasanya diambil dari para pria beriman, yang hidup secara selibater dan mempunyai kehendak menghayati selibat “demi Kerajaan surga” (Mat 19:12). Dipanggil untuk mengabdikan diri kepada Tuhan dan “tugas-Nya” secara tidak terbagi Bdk. 1 Kor 7:32., mereka menyerahkan diri secara penuh kepada Allah dan sesama. Selibat adalah tanda hidup baru yang demi pelayanannya ditahbiskan pelayan Gereja; bila diterima dengan hati gembira, ia memancarkan Kerajaan Allah (Bdk. Presbyterorum Ordinis 16).
Paus Yohanes Paulus II dalam surat Apostoliknya, Ordinatio Sacerdotalis, dengan jelas menyatakan bahwa tahbisan imam hanya dapat diberikan kepada para pria. Selengkapnya, silakan membaca surat apostolik tersebut di sini, silakan klik. Di surat itu mislanya Paus mengutip Paus Paulus VI, yang mengatakan alasan sesungguhnya, yaitu bahwa, “Kristus menentukan demikian.” (lih. OS 2). Paus Yohenes Paulus II juga menegaskan kembali pernyataannya sebagaimana pernah disebutkan dalam surat Apostoliknya Mulieris Dignitatem:
“Dengan memanggil hanya pria sebagai para rasul-Nya, Kristus bertindak dalam cara yang sepenuhnya bebas dan berdaulat. Dengan berbuat demikian, Ia melaksanakan kebebasan yang sama yang dengannya dalam semua tingkah laku-Nya, Ia menekankan martabat dan panggilan hidup, para wanita, tanpa menyesuaikan dengan kebiasaan- kebiasaan yang berlaku dan tradisi-tradisi yang disetujui oleh perundang-undangan pada zaman itu.” (MD 26)
Akhirnya sebagai kesimpulan, Paus Yohanes Paulus II menyatakan demikian di akhir surat Apostoliknya, yang menutup segala keraguan akan apakah boleh wanita ditahbiskan menjadi imam,
“Meskipun ajaran bahwa tahbisan imam yang hanya dikhususkan untuk para pria saja telah dipertahankan oleh Tradisi Gereja dan diajarkan dengan teguh oleh Magisterium dalam dokumen-dokumen yang lebih baru belakangan ini, namun dewasa ini di sejumlah tempat hal ini dianggap masih dapat diperdebatkan, atau penilaian Gereja bahwa para wanita tidak dapat diterima dalam tahbisan dianggap hanya memiliki kekuatan disipliner saja.
Oleh karena itu, agar semua keraguan dapat dilenyapkan tentang hal yang sangat penting ini, hal yang berkenaan dengan konstitusi ilahi Gereja itu sendiri, berdasarkan atas jabatan saya untuk meneguhkan saudara-saudara saya (lih. Luk 22:32) saya menyatakan bahwa Gereja tidak memiliki otoritas apapun untuk menyampaikan tahbisan imamat kepada para wanita dan bahwa keputusan ini harus dipegang secara definitif oleh semua umat beriman di Gereja.” (OS 4)
Maka Magisterium Gereja Katolik jelas telah menentukan bahwa yang dapat ditahbiskan menjadi imam adalah pria, yang mau mempersembahkan seluruh hidupnya bagi Kerajaan Allah, dengan hidup selibat. Pengkhususan panggilan imam hanya kepada kaum pria bukan disebabkan karena Gereja merendahkan kaum perempuan, atau bahwa perempuan dianggap tidak mampu. Gereja mengakui adanya persamaan derajat antara pria dan wanita, namun mengakui adanya perbedaan peran antara keduanya di dalam masyarakat dan Gereja.
Katekismus yang sama mengajarkan:
KGK 369 Pria dan wanita diciptakan, artinya, dikehendaki Allah dalam persamaan yang sempurna di satu pihak sebagai pribadi manusia dan di lain pihak dalam kepriaan dan kewanitaannya. “Kepriaan” dan “kewanitaan” adalah sesuatu yang baik dan dikehendaki Allah: keduanya, pria dan wanita, memiliki martabat yang tidak dapat hilang, yang diberi kepada mereka langsung oleh Allah, Penciptanya (Bdk Kej 2:7.22) Keduanya, pria dan wanita, bermartabat sama “menurut citra Allah”. Dalam kepriaan dan kewanitaannya mereka mencerminkan kebijaksanaan dan kebaikan Pencipta.
KGK 2334 “Ketika menciptakan manusia sebagai pria dan wanita, Allah menganugerahkan kepada pria dan wanita martabat pribadi yang sama dan memberi mereka hak-hak serta tanggung jawab yang khas” (FC 22, Bdk. GS 49,2) “Manusia bersifat pribadi: itu berlaku sama untuk pria dan wanita; karena kedua-duanya diciptakan menurut citra dan keserupaan Allah pribadi” (MD 6).
Jadi sungguhlah keliru jika ada pandangan yang menyangka bahwa Gereja Katolik tidak mengakui persamaan martabat antara pria dan wanita. Namun demikian, persamaan martabat ini tidak untuk diartikan bahwa peran, tugas dan tanggung jawab antara pria dan wanita di dalam Gereja harus sama persis.
2. Benarkah ada banyak diaken tertahbis wanita di jaman abad- abad awal?
Link tersebut menyebutkan adanya nama- nama yang konon adalah diaken wanita di jaman abad- abad awal. Namun sepanjang pengetahuan saya, dari riwayat hidup mereka (seperti St. Genevieve, St. Irene, St. Justina, St. Apollonia, dst), tidak disebutkan secara jelas/ eksplisit bahwa mereka adalah diaken yang ditahbiskan, apalagi imam. Sebagai contohnya, Phoebe (Febe) yang disebut oleh Rasul Paulus di Rom 16:1. Di sana tidak disebutkan Febe ini sebagai diaken, namun sebagai ‘saudari kita yang melayani jemaat di Kengkrea’. Para wanita yang menjadi pelayan jemaat awal ini merawat orang sakit, orang miskin, orang asing dan mereka yang di penjara. Mereka mengajar para wanita yang lebih muda dan anak- anak (lih. Tit 2:3-5). Maka di surat Rasul Paulus tidak dikatakan bahwa Febe adalah seorang diakon wanita, apalagi sebagai imam. Rasul Paulus juga tidak memperbolehkan wanita mengajar dalam pertemuan- pertemuan ibadat (lih. 1 Kor 14:34), maksudnya di sini adalah menjalankan kuasa/ wewenang mengajar Gereja yang dikhususkan bagi para rasul dan para penerus mereka, yang adalah pria.
Argumen bahwa Maria Magdalena adalah imam, tidak dapat dibuktikan. Umumnya mereka yang berpandangan demikian adalah kaum Gnostics (ajaran sesat di abad- abad pertama) yang mengutip injil Tomas, yang bukan injil kanonik dan tidak dapat dibuktikan ke-otentikannya.
Maka ada suatu pernyataan tentang tahbisan imam wanita, silakan diperiksa, apakah link/ berita tersebut menampilkan data/ dasar yang valid? Dan apakah sumbernya dokumen resmi dari Vatikan atau bukan, sebab besar kemungkinan bukan dari Vatikan, dan karenanya tidak memiliki dasar yang kuat.
3. Imamat khusus bagi kaum pria adalah ajaran Gereja di Abad Pertengahan?
Maka adalah keliru, pandangan yang mengatakan bahwa imamat yang eksklusif hanya untuk kaum pria hanya merupakan ajaran Gereja di Abad Pertengahan. Tertullian, seorang Bapa Gereja di abad ke-2 sudah menuliskan demikian, “Bahkan para bidat wanita, betapa kelirunya mereka! Mereka yang dengan berani mengajar, berdebat, mengadakan eksorsisme, menjanjikan kesembuhan, juga kadang membaptis! Pentahbisan mereka adalah sembrono, tidak serius, tidak konsisten….” (Tertullian, The Prescription of Heretics, chapter 41)
4. Wanita tidak dapat menjalankan peran ‘in persona Christi’ dalam ibadat
Di atas semua itu yang menyebabkan bahwa wanita tidak dapat menjadi imam, adalah karena wanita tidak dapat menjalankan peran imam ‘in persona Christi‘, terutama pada saat mempersembahkan Misa Kudus. Sebab di dalam perayaan Ekaristi, Kristus sebagai Mempelai Pria mempersembahkan Diri-Nya kepada Gereja yang adalah Mempelai wanita-Nya (lih. Ef 5:22-33). Ekaristi menjadi lambang persatuan kasih antara Kristus dan Gereja, seperti halnya persatuan antara suami dengan istri dalam perkawinan kudus. Maka menjadi tidak cocok/ fitting di sini, jika gambaran Kristus itu diambil oleh seorang imam wanita, sebab perkawinan yang diajarkan oleh Kristus adalah antara seorang pria dan wanita. Menjadi aneh di sini, jika di dalam ibadah/ sakramen yang menjadi sumber dan puncak kehidupan Kristiani, malah menerapkan gambaran yang keliru tentang makna perkawinan dalam hubungannya dengan kesatuan Kristus dan Gereja. Jadi masalahnya di sini bukan wanita tidak dapat atau tidak boleh menampakkan Kristus, sebab setiap orang baik pria dan wanita sama- sama dipanggil untuk menjadi saksi Kristus dan menampakkan wajah Kristus kepada sesama. Tetapi dalam hal ibadah, terdapat ketentuan seperti yang telah diterapkan oleh Kristus sendiri dan para rasul, dan sudah selayaknya kita hormati ketentuan ini.
Dalam hal ini, sangatlah relevan untuk mengingat apa yang diajarkan dalam KGK 1578, yaitu bahwa seseorang tidak dapat menuntut haknya untuk ditahbiskan menjadi imam, tetapi bahwa seseorang menerima panggilan sebagai imam dari Tuhan sendiri, melalui Gereja-Nya. Jadi tidak bisa seseorang menahbiskan dirinya sendiri terlepas dari Gereja, atau membuat orang lain menahbiskan dirinya, tanpa persetujuan dari pihak pimpinan Gereja universal. Prinsipnya, imamat jabatan itu adalah rahmat yang diberikan cuma- cuma oleh Kristus melalui Gereja-Nya, dan bukan sebagai suatu ‘hak’ yang bisa dituntut untuk harus diberikan kepada semua orang terlepas dari pihak otoritas Gereja. Yang diberikan kepada setiap umat adalah peran imamat bersama (lih. 1 Pet 2:9), namun imamat jabatan dikhususkan bagi orang- orang tertentu yang dipanggil Allah untuk melaksanakan tugas tersebut.
5. Maria, seorang perempuan yang mengambil tempat istimewa dalam Gereja walaupun bukan imam.
Akhirnya marilah mengingat bahwa di antara semua orang kudus, para anggota Gereja, Maria menempati tempat yang istimewa dan memperoleh penghormatan tertinggi setelah Kristus, walaupun ia bukan imam. Ini membuktikan bahwa bukan hanya pria yang dapat mengambil peran penting dalam Gereja. Kaum perempuanpun dapat mengambil peran yang penting dalam Gereja, hanya saja perannya bukan sebagai imam.
Pastor Wanita, Komuni bagi Anak Kecil, Infalibilitas Paus
Saya heran seorang Imam dalam kotbah misa menyatakan bahwa dia tidak mengerti mengapa gereja tidak memperbolehkan adanya imam wanita dan komuni bagi anak kecil.
Sepintas , umat akan bertanya apakah sang imam memang benar-benar tidak paham atau sekadar memancing / trigger umat?
Terlepas dari keheranan itu, ada hal mendasar di balik keheranannya.
Sebenarnya mana saja yang merupakan ajaran inti dari gereja, mana yang merupakan “embel-embel/ pernak-pernik” yang dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman. Apakah ketentuan imam hanya lelaki merupakan suatu dogma atau hanya ajaran derivatif yang sewaktu-waktu dapat berubah?
Misalnya , dulu sebelum konsili vatikan II, imam membelakangi umat ketika memimpin misa. Sekarang imam menghadap umat selama misa. Jadi jelas , soal ketentuan misa dapat dirubah sesuai dengan perkembangan jaman. Dan hal ini rupanya tidak terkait dengan dogma/konsep infalibilitas Paus.
Nah, apa alasan gereja (yang tidak dapat digoyahkan ) dalam mempertahankan pembatasan imamat khusus hanya bagi lelaki, begitu juga larangan komuni bagi anak kecil.
Lantas kalau suatu saat, mungkin kita semua sudah kembali ke rumah Bapa, gereja mengijinkan adanya imam wanita, maka apakah itu berarti ajaran pembatasan sebelumnya adalah salah? Di mana relevansi infalibilitas dari Paus?
Shalom Herman Jay,
Menurut saya, sudah seharusnya kita semua dan terutama klerus untuk mempelajari ajaran yang diberikan oleh Magisterium Gereja, termasuk doktrin tentang imam yang harus seorang pria. Di dalam artikel di atas – silakan klik, maka kita dapat melihat bahwa pengajaran ini adalah bersifat definitif, sehingga Paus Yohanes Paulus II dalam akhir surat Apostoliknya, Ordinatio Sacerdotalis, menuliskan “Saya menyatakan bahwa Gereja tidak mempunyai otoritas apapun untuk memberikan tahbisan imam kepada para wanita dan keputusan ini adalah untuk dipegang secara definitif oleh semua umat beriman di Gereja.” Pada saat Gereja mengeluarkan pernyataan definitif seperti ini, maka dapat dikatakan bahwa pengajaran ini tidak akan berubah sampai akhir zaman. Dan hal ini perlu kita syukuri, karena dengan demikian kita dapat sungguh-sungguh meyakini bahwa pengajaran iman dan moral yang kita pegang adalah sungguh-sungguh benar.
Kalau Anda ingin melihat ajaran-ajaran yang bersifat de-fide (of faith), maka Anda dapat melihat artikel ini – silakan klik dan untuk melihat tingkatan pengajaran Magisterium, silakan melihat ini – klik ini. Kalau kita kaitkan dengan liturgi, maka kita dapat melihat bahwa liturgi adalah bagaimana umat beriman merayakan apa yang diimaninya. Walaupun apa yang diimani tidak akan berubah, namun ekspresi dari perayaan dapat berubah (bahasa, musik, dll) – yang tentu saja harus menjaga keseragaman liturgi di seluruh dunia. Walaupun demikian, liturgi bukanlah milik pribadi, namun milik Gereja, sehingga seyogyanya ia tidak dapat diubah seenaknya sendiri. Lihat juga artikel dari Romo Boli tentang inkulturasi di sini – silakan klik. Saya ingin menyoroti bahwa di dalam Vatikan II tidak pernah ada dokumen yang menyatakan bahwa imam harus menghadap umat ketikan memimpin Misa. Semoga keterangan ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
mungkin sudah ada aturan baru menurut gerja khatolik”
Shalom Aryestha,
Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 22 Mei 1994 mengeluarkan surat apostolik “Ordinatio Sacerdotalis” tentang ordinasi imam hanya kepada pria saja. Dalam point ke 4, Paus menuliskan “4. Although the teaching that priestly ordination is to be reserved to men alone has been preserved by the constant and universal Tradition of the Church and firmly taught by the Magisterium in its more recent documents, at the present time in some places it is nonetheless considered still open to debate, or the Church’s judgment that women are not to be admitted to ordination is considered to have a merely disciplinary force.
Wherefore, in order that all doubt may be removed regarding a matter of great importance, a matter which pertains to the Church’s divine constitution itself, in virtue of my ministry of confirming the brethren (cf. Lk 22:32) I declare that the Church has no authority whatsoever to confer priestly ordination on women and that this judgment is to be definitively held by all the Church’s faithful.“
Dari dokumen tersebut terlihat jelas, bahwa ada sebagian orang yang masih mempertanyakan bahwa “ordinasi wanita” masih dapat didiskusikan. Namun, Paus memberikan pernyataan bahwa ordinasi menjadi imam hanya diperuntukkan untuk pria saja adalah pengajaran yang konsisten sedari awal, merupakan Tradisi Gereja dan diajaran oleh Magisterium dari awal sampai sekarang. Dan dalam kapasitasnya sebagai Paus, maka Paus Yohanes Paulus II menyatakan Gereja tidak mempunyai otoritas untuk memberikan ordinasi wanita, atau dengan kata lain tidak mungkin ada ordinasi wanita dalam Gereja Katolik. Semoga dokumen ini dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Benarkah wanita ditahbiskan menjadi imam? Dalam website ini, sudah tertulis nama imam, bahkan uskup wanita di Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa. Benarkah?
http://romancatholicwomenpriests.org/ordained.htm
[dari katolisitas: Tidak mungkin di dalam Gereja Katolik ada tahbisan imam untuk wanita. Seseorang yang mentahbiskan iman wanita dan yang ditahbiskan akan secara otomatis mendapatkan ekskomunikasi (latae sententiae).]
Shalom Pak Stefanus,
Terima kasih atas penjelasannya. Mengenai alasan “in persona Christi”, dalam kaitan dengan “ekaristi” saya menjadi lebih jelas, terima kasih. Tapi saya masih ada satu hal, yakni “dalam kaitan dengan pengajaran” atau hak mengajar, apakah gereja juga melarang perempuan untuk berkotbah misalnya, mohon penjelasannya. Terima kasih, Tuhan Memberkati.
Shalom Rani,
Sepanjang pengetahuan saya, Gereja Katolik tidak melarang para wanita untuk mengajar (mungkin istilahnya ‘mengajar’, bukan berkhotbah’) tentang iman Katolik tetapi tidak di dalam konteks liturgi. Sebab dalam liturgi, khotbah atau homili hanya dapat dilakukan oleh para tertahbis, dalam hal ini, hanya para imam atau para diakon tertahbis, dan tidak sama sekali oleh kaum awam. Dalam Instruksi Redemptoris Sacramentum (RS), hal ini jelas sekali dituliskan, demikian:
Jadi larangan berkhotbah/ berbicara dalam homili ini bukan saja ditujukan kepada kaum awam wanita, tetapi juga kepada kaum awam pria. Bahkan uskup-pun tidak dapat memberikan dispensasi tentang hal ini. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan Pontifical Council for the Interpretation of Legilative Texts, untuk menjelaskan Kan. 767,1.
Uskup diosesan tidak dapat memperbolehkan seorang awam untuk memberikan homili (kan. 767,1)
Pertanyaan: Apakah uskup diosesan dapat memberikan dispensasi dari rumusan Kan 767, 1, yang mengatakan bahwa homili hanya dapat diberikan oleh para imam dan diakon tertahbis?
Jawaban: Tidak
20 Juni 1987
AAS (Acta Apostolica Sedis) 1249
Periodica 77 (1988) 613-624; Apollinaris 62 (1989) 123-169.
Maka jika dikatakan dalam 1 Kor 14:34 bahwa wanita dilarang berbicara/ mengajar dalam pertemuan-pertemuan jemaat, itu konteksnya adalah pertemuan ibadat, yaitu dalam upacara liturgi Gereja. Perlu juga diketahui bahwa kuasa/ wewenang mengajar Gereja dikhususkan bagi para rasul dan para penerus mereka, yang adalah pria, sehingga memang Magisterium (Wewenang Mengajar Gereja) yang terdiri dari Paus dan para uskup dalam kesatuan dengannya, semuanya adalah pria, dan tidak ada satupun wanita. Namun demikian, para wanita tentu saja boleh mengajar dalam konteks non-liturgis, seperti menjadi katekis, guru Bina Iman ataupun menjadi pembicara/ pembimbing dalam pertemuan-pertemuan lingkungan maupun kegiatan- kegiatan rohani lainnya. Tentu dalam hal ini yang disampaikannya harus sesuai dengan ajaran Gereja Katolik, dan ia tidak dapat mengajar atas dasar interpretasinya sendiri, yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom ibu Ingrid
Terima kasih atas penjelasannya. sekarang saya lebih paham, yang dilarang adalah pengajaran melalui mimbar gereja di dalam upacara liturgi/misa. Sementara kuasa mengajar melalui media yang lain, tidak ada masalah, misalnya mempersiapakan calon komuni pertama, calon baptis, mengajar sekolah minggu dll. Namun masih ada hal mengganjal: (1) Di kelompok-kelompok doa, tidak jarang seorang ibu memimpin upacara sabda, di sana ada bacaan injil, yang selanjutnya diikuti dengan renungan/sharing (sebenarnya juga semacam kothbah juga)oleh pemimpin upacara sabda, dan ini tidak dipermasalahkan; (2) Kalau saya tidak salah di dalam upacara misa, terdiri dari 2 bagian utama, yakni liturgi sabda (kothbah masuk bagian liturgi sabda) dan liturgi ekaristi. Dalam konteks ini semestinya dalam bagian liturgi sabda peran wanita tidak ada masalah lihat kasus (1). Bagaimana dengan hal ini, mohon bantuan penjelasan dari ibu.
Shalom Rani,
Nampaknya harus dimengerti bahwa terdapat perbedaan antara Liturgi Sabda dengan Ibadat Sabda. Silakan membaca terlebih dahulu artikel ini, silakan klik.
1) Apa yang dilakukan di kelompok-kelompok doa tersebut adalah Ibadat Sabda, sehingga di sini, pengajaran/ renungan dapat disampaikan oleh kaum awam, termasuk wanita.
2) Dalam perayaan Misa, yang dilakukan adalah Liturgi Sabda, sehingga di sini ketentuan liturgis berlaku, di antaranya homili yang hanya dapat disampaikan oleh kaum tertahbis, yaitu uskup, imam atau diakon tertahbis.
Demikian tanggapan saya, semoga berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Semakin jauh perjalanan jaman, semakin orang merasa bahwa sebuah kebenaran dapat berubah, dan pembenaran2 dapat ditampikan sehingga orang lain dapat dipengaruhi. Apalagi kalau argumen dinyatakan melalui Ilmu Pengtahuan untuk mengungkapkan kebenaran iman. Sumber2 dapat dimanipulasi. Itu yang dinamakan penyesatan melalui akal pikiran manusia. Tetapi bagi Allah semuanya tetap seperti rencananNya. Bagi saya dengan keyakinan sebagai seorang warga Gereja Katolik Roma, saya tetap berpegang teguh pada 3 pilar, yaitu Tradisi, Kitab Suci dan Magisterium. Itulah kewajiban saya untuk mentaati segala ajaranNya.
Maaf kalau komentar saya salah. Sebagai orang Katolik Roma saya merasa masih banyak kekurangan dan saya bersyukur bahwa Tuhan mengirim sesama melalui web ini untuk pencerahan iman yang lebih hidup.
Saya setuju dengan praktik saat ini, yakni imam hanya dipilih dari kaum laki-laki, dengan alasan Kristus sendiri telah menunjuk jalan secara tidak langsung, yakni hanya memilih kaum adam menjadi rasul-Nya, walaupun dalam kelompok murid/orang yang mengikuti dan melayani Dia terdapat kaum hawa juga. Namun alasan butir ke-4 di atas, karena wanita tidak dapat menjalankan peran “in pesona christi” dalam ibadat, adalah terlalu dibuat buat logikanya sangat lemah. Karena persatuan Kristus itu bukan dengan imamnya tetapi dengan gerejanya. Kalau logika jenis kelamin itu tetap dipertahankan maka kaum lelaki tidak boleh menjadi anggota gereja karena bagaimana mungkin Kristus yang adalah laki-laki menjadi mempelai bagi kaum laki-laki anggota gereja. Saya berkeyakinan, Yesus menghargai tradisi sejauh tradisi tersebut tidak mengaburkan inti ajarannya, karena itu Dia tetap menghargai tradisi kaum lelaki menjadi imam yang dipraktikan oleh kaum Yahudi, dalam hal Dia memilih pada RasulNya. Begitupun ajaran para bapak gereja tidak terlepas dari tradisi yang ada. Inilah komentar saya tentang gagasan imam wanita. Mohom tanggapan bu Igrid dan pak Stefanus.
Shalom Rani,
Terima kasih atas tanggapan anda tentang imam wanita. Secara prinsip anda menyetujui tidak boleh ada imam wanita namun anda tidak menyetujui alasan in persona Christi. Menjadi satu fakta bahwa Kristus datang sebagai laki-laki, menunjuk rasul-rasul laki-laki yang kemudian diteruskan oleh Paus dan para uskup, para tetua yang juga adalah laki-laki yang kemudian diteruskan oleh para pastor atau imam. Dan kalau kita menengok kepada sejarah, maka kita dapat melihat bahwa tidak ada imam wanita di sepanjang sejarah Gereja.
Salah satu alasan mendasar dari pengajaran ini, karena memang imam adalah bertidak sebagai Kristus (in persona Christi), karena di dalam Misa, yang dikurbankan dan yang mengorbankan adalah Kristus sendiri. Dengan demikian, karena Kristus dilahirkan sebagai laki-laki dan menunjuk para rasul, para imam yang semuanya adalah laki-laki, maka sudah seharusnya para imam – yang bertindak sebagai Kristus (in persona Christi) – juga harus laki-laki.
Kristus memang hadir di dalam jemaat Allah, dalam Sabda Allah, dalam Gereja. Namun secara khusus, Dia juga hadir pada imam yang memang bertindak sebagai Kristus, yaitu dalam perayaan Ekaristi. Dengan demikian, persatuan Kristus bukan terbatas dengan Gereja-Nya, namun juga dengan imam-Nya, karena mereka dipakai secara khusus untuk menghadirkan Kristus dalam setiap perayaan Ekaristi.
Dengan logika yang anda pakai, maka yang bertindak sebagai Kristus adalah para imam yang adalah laki-laki. Walaupun Rasul Paulus mengumpamakan bahwa Gereja adalah mempelai wanita (Ef 5), namun bukan berarti Gereja harus terdiri dari wanita saja, karena kita tahu bahwa jemaat Allah adalah terdiri dari pria dan wanita yang tergabung dalam Gereja. Namun, sebaliknya, kita tahu bahwa dari dulu sampai sekarang tidak ada imam wanita.
Dari sini, kita dapat melihat bahwa mengapa imam harus pria, karena menjadi fakta bahwa Kristus menjadi manusia sebagai pria dan para rasul dan para tetua yang dipilih adalah pria, yang kemudian diteruskan oleh para paus, uskup dan imam. Dan praktek ini memang menjadi satu tradisi apostolik, yang ditegaskan oleh Magisterium Gereja. Dan secara teologis, karena imam adalah bertindak sebagai Kristus (in persona Christi). Semoga penjelasan ini dapat diterima.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
maaf saya ikut nimbrung pula,
saya pernah menjumpai di youtube video tahbisan imam wanita, bahkan uskup (Katolik), hal ini bagaimana? Maksudnya mereka tetap menyelenggarakan pelayanan. Klo di Anglikan memang bahkan ada hingga uskup wanita. Akan tetapi di Katolik Roma, kok saya pernah melihat berbagai video spt itu. Berarti pelayanan mereka tidak sah? Apakah tidak ada sanksi?
Terima kasih
gabriel
[dari katolisitas: Kalau seseorang mentahbiskan imam wanita, maka secara otomatis dia akan diekskomunikasi.]
Pacem,
Sehubungan dengan peran wanita dalam Gereja, saya ingin menanyakan mengenai dua ayat. 1 Kor 11:5 menunjukkan bahwa wanita memiliki peran dalam komunitas Gereja awal. Beberapa Bab berikutnya, saya menangkap 1 Kor 14:34 menunjukkan seolah-olah wanita tidak diijinkan untuk “bersuara”. Dua ayat ini terlihat saling bertentangan. Bagaimana dengan tafsiran Gereja tentang hal ini?
Saya juga ingin mengetahui sikap gereja mengenai pergerakan feminism yang mungkin berlebihan, terutama mengenai imam wanita. Banyak argumen populer menggunakan cerita mengenai peran Maria Magdalena dalam penyebaran Injil yang diceritakan melalui tradisi gereja untuk melukiskan kesamaan peran imamat wanita dengan pria.
Saya mendapat sharing dari seorang teman yang pulang dari kerja praktek bahwa di Belanda terdapat imam-imam wanita. Teman saya yakin bahwa gereja tersebut menggunakan tulisan “Katolik”. Walau demikian, saya agak meragukan hal tersebut karena setahu saya Gereja tidak mengijinkan ordinasi imam wanita. Adakah penjelasan mengenai gereja tersebut? Sementara ini saya berpendapat gereja tersebut menggunakan nama Katolik tanpa tergabung di dalamnya (sebagaimana sedvacantism atau denominasi lain).
Terima kasih atas bantuan Romo, Pak Stef atau Bu Inggrid.
Pacem,
Ioannes
[Dari Katolisitas: Silakan Anda membaca kembali artikel di atas, karena saya sudah menambahkan di sana pengajaran dari Paus Yohanes Paulus II yang dengan tegas telah menepis pertanyaan tentang apakah wanita dapat ditahbiskan menjadi imam. Magisterium Gereja Katolik sudah menganggapnya definitif bahwa tahbisan hanya dapat diberikan kepada para pria, sebab Tuhan Yesus sendiri menentukannya demikian, dan inilah yang dilestarikan dalam Tradisi Suci Gereja Katolik]
Salam,
Saya menemukan mengenai Maria Magdalena dan sikap Gereja mengenai tahbisan imamat wanita pada artikel diatas. Akan tetapi, saya masih kebingungan mengenai tafsiran untuk 1 Kor 11:5 dan 1 Kor 14:34. Apakah ada penjelasan dari Navarre Bible atau sumber lain mengenai ayat ini? Terima kasih
Pacem,
Ioannes
[Dari Katolisitas: Tentang interpretasi 1 Kor 11: 3-15, silakan klik di sini; sedangkan untuk 1 Kor 14:34, silakan klik di sini]
Martabat Pria dan Wanita itu sama, tapi fungsi peranannya berbeda-beda. Ini yng harus kita jadikan pedoman dalam memangku jabatan gerejani. Jadi kita harus bisa membeda-bedakan fungis tugas pria dan wanita., sehingga pandangan wanita bisa jadi imam, atau tahbisan imam itu, yang ngak cocok untuk agama katolik yang kita tekuni dn yakin. Ingat akan kaum lewi yang tidak ada wanitanya, untuk tugas-tugas persembahan di bait Allah. Itulah sebagai dasar keyakinan kita dalam pandangan wanita tidak bisa menerima tahbisan imam.
[Dari Katolisitas: Ya, pandangan ini benar; sebab martabat yang sama antara pria dan wanita tidak untuk diartikan bahwa peran dan tugasnya juga sama dalam Gereja/Tubuh mistik Kristus.]
dalam perjanjian lama imam yahudi dan orang lewi saja yang mempersembahkan korban suci..tak ada seorangpun dari mereka yang adalah seorang wanita…. imam haruslah seorang laki-laki. thanks for katolisitas…….
Pak Stef dan bu Ingrid mohon perkenankan saya yang bodoh ikut nimbrung dalam topik ini dari arsip tempat lain dengan maksud untuk melengkapi
Dalam sebuah kesaksian yang dimuat dalam situs lain. Bunda Maria berkata : “Aneh bagimu melihatku sedikit di belakang Monsignor, bukankah begitu? Demikianlah seharusnya…. Sekalipun begitu besar kasih PutraKu kepadaku, Ia tidak memberiku martabat seperti yang Ia berikan kepada seorang imam, yakni dapat mendatangkan Putraku dalam tangan-tanganku setiap hari, seperti yang dilakukan tangan-tangan imamatnya. Karena itulah, aku merasakan hormat mendalam bagi seorang imam dan bagi segala mukjizat yang Tuhan selenggarakan melalui seorang imam, yang membuatku berlutut di sini.” Lengkapnya lihat di http://www.indocell.net/yesaya/pustaka3/id109.htm
Hal tersebut menegaskan bahwa walaupun Yesus sangat menghormati dan mengasihi Bunda Maria, Yesus tidak memberi peranan Bunda Maria (perempuan) menjadi imam, Namun dalam tugas pewartaan penyelamatan manusia, Yesus memberi peranan yang berbeda kepada Maria (perempuan) yang antara lain telah disebutkan oleh saudaraku Edwin yang menurut saya sama mulianya dengan imam (laki-laki).
Saya juga pernah menanyakan hal ini kepada seorang biarawati di Belanda dan suster ini menjawab sama persis seperti poin ke 5 di atas mengenai Maria. Beliau mengatakan, kalau Yesus memang menghendaki wanita ditahbiskan menjadi imam maka sudah dari dulu dinyatakanNya dan Maria tentunya akan menjadi (priestess) yang pertama. Tetapi kenyataannya tidak demikian.
Beliau juga menyatakan sama seperti Bunda Maria dan wanita – wanita lain yang dahulu mengikuti Yesus dan menunjang pelayanan mereka dari belakang layar. Begitu juga tugas para biarawati sekarang menunjang pelayanan para pria tertahbis. Karena itu sering kita jumpai para suster membuat hosti, menjahit perlengkapan imam seperti stola dll, mengurus sakristi, mengajar anak – anak, dan tentunya juga seperti Maria mereka selalu berdoa agar para pria tertahbis sungguh dapat menghadirkan Kristus dalam pelayanan mereka.
Salam Damai Kristus.
pas baca bagian st Theresia, kok, rasanya gimana, ya? Sepertinya, mereka memilih kutipan yang mereka mau saja. Kalau cuma begitu, sih, lama-lama ajaran ‘berkorban bagi sesama’ seperti Tuhan Yesus disalib juga bisa dibolak-balik entah dibilang salah, kah, atau apapunlah untuk menjustifikasi keinginan kita sendiri, berdasarkan fakta bahwa Tuhan Yesus berdoa (lupa kata-kata persisnya tapi intinya: )seandainya penderitaanKu ini diambil daripadaku & Allahku, ya, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku. Lalu, kalau kita sedang menderita, Tuhan sedang meninggalkan kita…terus, justifikasi buat faith switching…
Comments are closed.