[Hari Minggu Biasa ke XVI:  Yer 23:1-6; Mzm 23:1-6; Ef 2:13-18; Mrk 6:30-34]

“Aduh capek banget rasanya badan ini…. Pengen tidur, tapi tugas belum selesai. Aduh… seandainya saja satu hari ini lebih dari 24 jam….” Jujur saja, sekali-kali keluhan macam ini muncul di hatiku. Tetapi aku agak lega mendengar Injil hari ini, sebab sepertinya pengalaman serupa juga dialami oleh para rasul dan bahkan oleh Kristus sendiri. “Sebab memang begitu banyaknya orang yang datang dan yang pergi, sehingga makan pun mereka tidak sempat…” (Mrk 6:31). Bisa dibayangkan betapa banyaknya orang yang mengelilingi Tuhan Yesus dan para rasul-Nya, entah mohon disembuhkan, ataupun sekedar ingin mendengarkan pengajaran mereka. Sampai mereka bahkan tidak sempat makan. Mungkin saja, dalam keadaan yang berbeda, kita semua pernah mengalami keadaan semacam ini. Sibuk dalam tugas-tugas kita sendiri, entah itu pekerjaan di kantor, tugas studi, pekerjaan di rumah, ataupun pelayanan gerejawi. Melalui semua kesibukan itu, sesungguhnya kita melakukan tugas pelayanan, sesuai dengan panggilan hidup kita masing-masing.  Jika kita merasa lelah, mari mengingat apa yang dikatakan Tuhan Yesus, “Marilah ke tempat yang sunyi, …. dan beristirahatlah” (Mrk 6:31). Artinya, beristirahat adalah sesuatu yang penting, sebab tanpa istirahat, badan kita menjadi lemah, atau malah sakit. Bukan itu saja, kurang istirahat dapat membuat kita menjadi kurang fokus, kurang sabar, dan lekas marah. Akibatnya orang-orang di sekitar kita dapat menjadi korban, entah itu suami, istri, anak-anak, teman sekelas, rekan se-kantor atau rekan se-pelayanan. Maka pesan Injil hari ini menjadi relevan bagi kita.

Masalahnya, kadang kita mencari tempat yang salah atau cara yang salah untuk beristirahat. Karena itu, setelah beristirahat, rasa segarnya tidak bertahan lama. Kita mesti jujur melihat bagaimana biasanya kita beristirahat. Apakah di tempat yang sunyi untuk menimba kekuatan dari Tuhan? Atau di tempat yang ramai untuk memuaskan diri dan mengikuti kesenangan daging? Beristirahat bersama dengan anggota keluarga atau teman-teman yang dapat membangun iman? Atau bersama orang-orang yang bahkan malah melemahkan iman kita? Injil hari ini mengajarkan kita cara yang terbaik untuk beristirahat. Yaitu, menyendiri bersama Tuhan, dan bersama dengan orang-orang yang dapat menguatkan kita untuk kembali melayani Tuhan. Supaya ketika kita kembali melakukan tugas-tugas kita, kita memperoleh kekuatan, kesegaran dan semangat yang baru yang bersumber dari Tuhan sendiri. Bukankah Mazmur mengatakan, “Tuhan adalah Gembalaku…. Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku….” (Mzm 23:1-2). Tuhan Yesus—yang pernah mengalami kelelahan seperti kita—pasti  memahami keadaan kita dan akan menolong kita. Sebab Ia berjanji, “Marilah kepadaku, kamu yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28). Kelegaan kita pertama-tama datang dari Tuhan, dan bukan dari siapa-siapa atau apa-apa yang lain. Karena itu, St. Agustinus mengatakan bahwa jika jiwa berpaling kepada cara-cara lain dan bukan kepada Tuhan, jiwa itu akan menemukan kepedihan, kesakitan  (Confession, 4,10,15). Sedikitnya, kepedihan karena telah menyingkirkan Tuhan, Sumber air hidup yang sejati. Bukankah kita memiliki begitu banyak contoh nyata dalam kehidupan yang menunjukkan hal ini? Banyak orang mencari istirahat di tempat yang salah, yang bukannya memberi kelegaan jiwa, tetapi malah mendatangkan resiko kebinasaan jiwa. Kecanduan obat, minuman keras, dugem, seks bebas ataupun pornografi, hanya sebagian contohnya. Terhadap hal ini kembali St. Agustinus mengatakan, “Apa maksudmu untuk bersusah-susah menjalani cara-cara yang menyakitkan itu? Tak ada istirahat di mana kamu mencarinya. Silakan terus mencari, tapi jangan di tempat di mana kamu  mencarinya. Kamu mencari hidup bahagia di tempat kematian… Sebab bagaimana dapat ditemukan kebahagiaan hidup, di tempat di mana bahkan tidak ada kehidupan?” (Confession, 4,12,18). Mungkin saja, istirahat kita tidak “se-ekstrim” contoh di atas. Bisa saja, istirahat kita hanyalah tidur, atau makan di rumah makan, nonton film, jalan-jalan ke mall, atau sekedar berkunjung ke rumah teman. Tapi pertanyaannya adalah, apakah istirahat semacam itu sudah cukup?

Oleh karena itu, sebenarnya hari libur atau istirahat bukanlah waktu yang dimaksudkan agar kita bersantai tidak melakukan apapun, asalkan badan merasa enak. Saat istirahat memang kita melepas kelelahan jasmani, namun sebenarnya kita pun perlu memberi perhatian kepada kelelahan rohani. Sebab pada dasarnya, istirahat merupakan waktu pemulihan, untuk menimba kekuatan, membentuk cita-cita, dan membuat rencana untuk menghadapi hari-hari selanjutnya. Dengan demikian, waktu istirahat adalah waktu untuk memperkaya jiwa, untuk memberi kesempatan kasih Allah berkarya di dalam kita, agar kita dapat menumbuhkan kembali devosi-devosi yang dapat menghantar kita kepada keeratan hubungan kasih dengan Tuhan. Dengan demikian kita mempunyai kekuatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan kasih kepada sesama, baik yang paling sederhana sekalipun, maupun yang tersulit karena berlawanan dengan tendensi kita sebagai manusia. Contohnya, untuk tersenyum dan menyapa terlebih dahulu orang yang telah menyakiti hati kita, dan mendoakannya. Tanpa kekuatan yang dari Tuhan, tak mungkin kita dapat melakukan hal semacam ini. Namun dengan  kekuatan dari-Nya, tak ada yang mustahil.

Seberapapun pentingnya istirahat bagi kita, namun Injil hari ini juga mengingatkan satu hal yang lain. Yaitu agar kita tetap menempatkan kepentingan orang lain terlebih dahulu, di atas kepentingan kita untuk beristirahat. Sebab demikianlah yang dilakukan oleh Kristus dan para rasul-Nya, ketika melihat begitu banyaknya orang yang datang kepada mereka, karena mereka “seperti domba yang tidak mempunyai gembala” (Mrk 6:34). Hari itu baik Yesus maupun para murid-Nya tidak jadi beristirahat.  Mengikuti teladan Yesus, adakalanya kita pun harus menunda istirahat kita, demi melayani orang-orang yang membutuhkan perhatian dan pertolongan kita. Jika kita mengalami keadaan ini, marilah kita dengan siap sedia melakukannya. Mungkin saja ini merupakan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk melatih agar kita tidak mengandalkan rencana kita sendiri, tetapi menyerahkan segalanya ke dalam rencana-Nya. Termasuk dalam hal kapan dan bagaimana caranya Tuhan akan menyegarkan kita.

Tuhan Yesus, Engkaulah Gembalaku. Aku tak akan berkekurangan. Kumohon, bimbinglah aku ke air yang tenang, dan segarkanlah jiwaku. Amin.