Pertanyaan:

Terima kasih atas jawabannya. ……[kami edit, ini adalah kelanjutan dari tanya jawab di sini, silakan klik]

Sementara ini saya tdk menyebutkan spesifik parokinya dulu, alasannya krn saya tdk mempunyai bukti rekaman saat itu.
Tetapi jika memang hal tsb sudah menyalahi aturan liturgi, mungkin perlu dilakukan lagi semacam refreshment terhadap tata liturgi yg benar termasuk apa yg boleh dan apa yg tidak boleh.

Apakah boleh musik pengiring menggunakan band? Setahu saya alat musik di dalam gereja adalah orgel (CMIIW). Ceceps.

Jawaban:

Shalom Ceceps,

Pada awal abad ke 20, melalui Tra le Sollecitudini, (Instruksi tentang Musik Gerejawi) Paus Pius X menentukan bahwa alat musik gereja adalah orgel pipa. Sejak abad ke-16, alat musik lain seperti gitar, alat musik tiup dan brass instrument hanya boleh digunakan dengan ijin pemimpin Gereja setempat.

Menurut Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sacrosanctum Concilium/ SC), memang alat musik yang dianjurkan adalah organ (orgel pipa), lihat SC 120, yang mengatakan demikian:

“Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati umat kepada Allah dan ke surga.
Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman.”

Maka di sini seandainya mau digunakan alat musik lain, harus dipertimbangkan apakah cocok dan sesuai dengan kesakralan ibadat suci, dan cocok untuk liturgi, dan harus dengan persetujuan dengan pimpinan gerejawi setempat. Tentu maksudnya, adalah untuk menjaga kesakralan musik gerejawi, dan bahwa musik gerejawi tidak selayaknya disamakan dengan musik sekular. Prinsipnya, bukan musik liturginya yang harus direndahkan menjadi seperti musik pop sekular baru bisa dihayati. Sebaliknya, kita harus berusaha “meningkatkan” kemampuan musikal, sehingga dapat melagukan kidung-kidung surgawi, dengan alat musik yang sesuai.

Tentang penggunaan band di gereja, memang secara eksplisit dilarang seperti yang jelas tertulis dalam Motu proprio yang dikeluarkan oleh Paus Pius X tahun 1903 tentang Instruksi dalam hal Musik sakral gerejawi. Izinkan saya menyampaikan terjemahannya:

“20. Dilarang keras menggunakan alat musik band di dalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan penggunaan organ.”

Alasannya berhubungan dengan point 19, yaitu alat musik yang ribut dan berkesan tidak serius (noisy and frivolous) memang dilarang untuk digunakan di dalam liturgi seperti drum, cymbal, bermacam bell dan sejenisnya.

Memang disebutkan juga di SC 119, terdapat kekecualian pada tanah-tanah misi yang mungkin terpencil, -yang mungkin tidak ada listrik- sehingga alat musik orgel tidak bisa dipergunakan, maka diperbolehkan alat musik tradisional lainnya, asalkan sesuai dengan maksud religius/ penyembahan kepada Tuhan.

Menyikapi ketentuan ini, maka penggunaan drum/ band memang seharusnya tidak boleh digunakan untuk alat musik yang umum pada Misa Kudus. Atau, jika sampai diperbolehkan sekalipun disebabkan karena pertimbangan yang khusus dari pihak Ordinaris, harus ada alasan yang kuat dan ijin dari pihak pimpinan gerejawi setempat, yang disertai pembatasan-pembatasan tertentu, supaya ibadat tidak terkesan seperti bar dan tempat hiburan sekular.

Prinsip dasar dari musik liturgi ini harus diketahui oleh para pemusiknya, baik yang sudah profesional atau yang masih amatir, yang bermain musik di gereja karena ingin menyumbangkan talenta. Harap diketahui bahwa musik adalah bagian yang penting dalam liturgi dan maksudnya untuk menerapkan dan menjadi satu kesatuan dengan liturgi itu sendiri, sehingga bukan untuk sekedar menghibur/ entertain umat atau memuliakan para musikus itu sendiri. Mottonya seharusnya adalah: Non nobis Domine, sed nomini tuo da gloriam! (Bukan untuk kami, Tuhan, tetapi kemuliaan hanya bagi nama-Mu!)

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- www.katolisitas.org

50 COMMENTS

  1. Shalom Katolisitas, bagaimana dengan misa Karismatik sendiri, saya pernah mengikuti misa Karismatik yang diiringi dengna musik full band, memang disana bukan di gereja, tapi di suatu ruangan pertemuan yang cukup besar,mungkin saya mau bertanya mengenai pembahasan misa karismatik itu sendiri apa? terimakasih, mohon penjelasannya dari Katolisitas, Tuhan berkati

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca tanggapan kami atas pertanyaan serupa, silakan klik]

    • Setahu saya tidak ada yang namanya misa karismatik. Misa ya misa. Tapi mungkin karena diadakan oleh komunitas tertentu, maka ada ‘gaya’/’corak’ komunitas tersebut yg inkorporasi-kan ke dalam misa. Sama saja seperti pertanyaan, ada tidak misa Jawa? ya jelas tidak ada, tapi misa bisa dipersembahkan dalam bahasa Jawa dan menggunakan simbologi Jawa sejauh tidak bertentangan dengan Liturgi saya kira kan malah baik inkulturasi spt itu. Sebuah bukti lagi akan ke universalitas -an Gereja. Mohon dikoreksi kalau saya keliru.

      [Dari Katolisitas: Ya, Anda benar, misa ya hanya satu dan sama untuk Gereja universal, yaitu Perayaan Ekaristi. Yang disebut Misa Karismatik oleh sejumlah orang mungkin maksudnya adalah Misa yang diadakan dalam/ oleh komunitas karismatik, atau dengan lagu-lagu yang bergaya karismatik.]

  2. shalom..sekiranya mencipta lagu sendiri dengan liriknya diambil dari mazmur atau tema liturgi, adakah boleh? thank..selain gregorian chant, bolehkah memberi contoh musik yang sesuai untuk misa? thank.

    • Salam Well,

      Jawaban Rm Bosco Da Cunha O.Carm, sekretaris Komisi Liturgi KWI: “Persyaratan nyanyian Liturgi ialah bahwa kata-katanya berasal dari Kitab Suci dan teks Liturgi (Buku Misa). Cara paling praktis dan paling benar ialah jika liriknya itu langsung diambil dari: Antifon Pembuka (introitus), Antifon Komuni, Doa Persembahan, Doa Sesudah Komuni, Bacaan hari itu. Intinya, nyanyian Liturgi ialah menyanyikan teks-teks liturgi dari Hari Minggu atau Hari Raya yang bersangkutan. Contoh paling jitu ialah Buku “Liber Usualis”; nyanyian gregorian, sebab seluruh lagu gregorian itu menyanyikan teks dari Buku Misa. Ikutilah apa yang saya utarakan ini maka bereslah tanpa ragu! Dalam tingkat paroki, hasil ciptaan itu wajib dilaporkan ke Seksi / Tim Liturgi Paroki atau pastornya. Pastor dan Tim Liturgi yang bersama ahli musik, akan menilai, mengkritisi, dan memberi izin, atau menolak, atau menyuruh memperbaikinya, dsb”.

      Salam
      RD. Yohanes Dwi Harsanto

  3. Shalom Bu Ingrid,

    saya sudah baca kalo drum itu tidak diperbolehkan dalam perayaan Ekaristi, yang saya mau tanyakan itu adalah bagaimana jika penggunaan drum dalam lagu itu dimainkan seminimal mungkin(hanya untuk mengarahkan tempo yang konstan), karena digereja saya menggunakan drum dengan beat yang kurang dan tidak kuat, sehingga tidak ribut dan menurut saya tetap memberi kesan khidmat.

    Mohon bantuannya.
    Thanks.
    God bless.

    [Dari Katolisitas: Silakan membicarakannya dengan pastor paroki dan seksi liturgi di paroki Anda. Sejauh yang saya ketahui memang tidak diperkenankan menggunakan alat musik drum di gereja, karena alat musik drum umumnya berkonotasi sebagai alat musik sekuler. Nampaknya dalam hal ini diperlukan prudence/ kebijaksanaan untuk menyikapinya, dan juga pertimbangan dari pastor paroki selaku gembala umat di paroki Anda.]

  4. kalau penggunaan proyektor di gereja itu diperbolehkan atau tidak?

    [dari Katolisitas: Menurut keterangan dari Rm Bosco da Cunha O Carm, sekretaris KomLit KWI, pedoman mengenai Liturgi termasuk yang menyangkut penggunaan proyektor sedang dibahas. Sementara menunggu pedoman tersebut keluar, maka proyektor/ LCD dapat digunakan sepanjang dipakai untuk membantu mengarahkan diri pada misteri liturgi yg dirayakan, bukan malah mengalihkan perhatian atau mengganggu.]

  5. Bagus banget artikel ini.

    Tapi ijinkan saya share,

    Saya sering berpergian ke luar negeri, dimana ketika saya pergi ke gereja Katolik Roma, saya sering menjumpai sesuatu yang baru, dimana ada ciri khas di setiap daerah..

    Seperti Malaysia kental dengan irama melayu, misal lagu kudus dan bapa kami serta lagu liturgi lainnya, disana memakai keyboard, dan diperbolehkan untuk memakai rytm, dan itu memang sudah terjadi sejak lama, adanya gereja katolik disana..

    Di Itali pun, di kapel apa saya lupa namanya, saya menjumpai memakai gitar dan piano dan seruling..

    Dan juga di LA dan juga australi, di filipina, sy menjumpai mereka memakai alat band, tetapi mereka pakai dengan sangat bijak.. tidak hingar bingar..

    Dari semua itu menurut saya, gereja katolik di tiap daerah punya khas sendiri, dan menurut saya alat band boleh dipakai, jika kita memakai dgn bijak, dan pengalaman saya, tidak Merusak suasana khusuk utk berdoa kpd Tuhan..

    Malah saya sungguh merasa dapat berdoa lebih dalam.. dan dari situ saya menyadari bahwa katolik itu sangat universal, katolik tetap menjaga tradisi, tetapi juga dapat mengikuti perkembangan serta kebutuhan setiap daerah, dan setiap elemen umat gereja katolik.

    Kemudian di beberapa tempat, sy bertanya kpd tmn sy, apakah setiap kali memakai musik non-organ, ternyata ada giliran, misal hari minggu, ada misa pakai full organ, ada pakai akustik, dan ada wktu tertentu pakai band.

    Mungkin yg sy suka di indo, beberapa tmpat kdg memakai gamelan, akustik piano dan gitar, menurut saya itu tidak merusak suasana doa, malah membawa lebih dalam hidup doa saya..

    Mungkin ini share dari saya, semoga umat katolik juga lebih luas wawasannya.. dan mungkin saran buat temen2, klo misal ada yg pakai musik selain organ jgnlah marah2, tetapi kita lihat dari sisi positifnya dlu..
    apakah musik yang dimainkan itu membawa suasana doa lebih dalam atau malah mengganggu, berisik, kacau, ramai?

    tapi klo misal arasemen lagunya hingar bingar, boleh lah kita protes, tapi protes yg membangun.. dengan kasih..

    GBU..

    • Shalom Hari,

      Sejujurnya saya dapat memahami dasar pandangan Anda. Namun saya juga memahami bahwa suatu ketentuan tidak selayaknya didasari atas pandangan ataupun penilaian pribadi. Dan atas dasar inilah Gereja memberikan pedoman, yang maksudnya juga adalah untuk membantu umat semakin menghayati makna liturgi. Sejauh ini pihak komisi liturgi KWI juga sedang bekerja keras untuk mengadakan semacam workshop untuk menentukan alat musik manakah yang dapat dipergunakan dalam liturgi, dan marilah kita menunggu keputusan KWI. Namun sebelum diumumkan keputusannya, adalah baik jika kita berpegang kepada prinsipnya, sebagaimana telah disampaikan di atas, yaitu bahwa memang selayaknya dibedakan musik yang diperuntukkan untuk ibadah yang tertinggi kepada Allah dalam liturgi, dengan musik-musik sekuler atau musik lain yang dimainkan di luar konteks liturgi. Sebab memang musik liturgi, sebagai kesatuan dengan perayaan liturgi (yang merupakan karya Kristus dan Gereja) memiliki dimensi ilahi/ surgawi yang tidak dimiliki oleh musik lainnya.

      Artikel di atas ditulis bukan untuk ‘marah-marah’ tetapi untuk menyampaikan secara obyektif apakah sebenarnya ketentuan yang dikeluarkan oleh Gereja sehubungan dengan musik liturgi, dan apakah maksudnya dibuat ketentuan itu. Sebab dengan pemahaman yang benar, diharapkan kita dapat menghayati liturgi dengan lebih baik, dan dengan demikian dapat menerima buah-buah perayaan liturgi tersebut yang berguna untuk pertumbuhan iman kita.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. Syalom Bu Ingrid dan tim,
    setelah membaca diskusi diatas, saya jadi bingung, krn sptnya bbrp hal yg jelas2 dilarang, justru terjadi di gereja Katedral di kota kami, spt menggunakan alat musik keyboard (alat musik ini bisa menimbulkan suara2 spt drum/perkusi, genderang, trompet dll) kadang di tambah lagi dengan biola, biasanya alat musik ini di pergunakan saat hari raya spt natal dan paskah juga imlek. Nah, pada saat-saat itu, juga ada ‘pertunjukan’ nyanyian oleh koor dan biasanya di akhiri dgn applause oleh umat, biasanya ‘pertunjukan’ ini dilakukan setelah komuni dan lagu penutup. Pada perayaan imlek, Lagu yg dibawakan adalah lagu imlek yg syairnya sdh di ubah. Koor nya jg menyanyikan lagu rohani pop / umum. Apakah hal-hal ini jg terjadi di kota2 lain ya? Apa yg hrs saya lakukan? Saya sendiri tidak masuk dlm lingkungan gereja tsb. Terima kasih.

    • Shalom FX. Tjua,

      Dalam kasus beberapa pelanggaran liturgi yang terjadi dalam perayaan liturgi di kota Anda – dan juga terjadi di tempat lain -, maka Anda dapat membicarakannya dengan pastor yang bersangkutan dalam semangat kasih. Cobalah untuk membawa beberapa dokumen Gereja yang dapat menjadi rujukan, seperti Redemptionis Sacramentum maupun Pedoman Umum Misale Romawi (General Instruction of Roman Missal) dan cobalah untuk membandingkan apa yang terjadi di dalam liturgi dengan dokumen tersebut. Cara yang lain adalah dengan mengirimkan surat kepada mereka – baik seksi liturgi dan pastor paroki. Artikel tentang beberapa pelanggaran liturgi ini – silakan klik – mungkin juga dapat membantu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

      • terima kasih Pak Stefanus, atas masukannya. Saya rasa lebih mudah saya,
        menggunakan sarana surat saja. Sekali lagi terima kasih dan GBU

  7. Salam,

    Saya ingin menanyakan mengenai unsur musik profan dalam liturgi. Dalam beberapa lagu paduan suara untuk mengiringi misa, musik klasik populer kerap dimasukkan sebagai bagian intro dan interlude dalam susunan lagu.

    Sebagai contoh, “As The Deer” aransemen Mark Hayes memasukkan lagu “Air” karya J.S. Bach dalam intro dan interludenya. Apakah ini kasus yang sama dengan lagu Bapa Kami Bandung Selatan dan semestinya tidak boleh?

    Jikalau boleh, saya mengalami kesulitan memahami seberapa batas banyaknya unsur profanitas yang ditoleransi dalam liturgi. Hal ini juga berlaku untuk lagu pop rohani yang kerapkali dimasukkan dalam liturgi tanpa terlalu mempertimbangkan kesesuaian lirik dan isi lagu. Saya peduli dengan hal ini karena saya termasuk anggota komunitas karismatik katolik yang secara reguler mengadakan “misa karismatik”. Mohon bantuan tim katolisitas.

    Pacem,
    Ioannes

    • Shalom Ioannes,

      Sebenarnya, jika kita membaca dokumen- dokumen liturgi Gereja, kita mengetahui bahwa prinsip yang perlu dipegang adalah, fungsi koor/ paduan suara dalam liturgi adalah 1) untuk membantu umat mengarahkan hati kepada Tuhan, 2) membawakan lagu-lagu pujian (penyembahan, syukur ataupun tobat) yang merupakan ungkapan iman Gereja kepada Tuhan; 3) mendorong partisipasi umat secara aktif dalam liturgi.

      Dengan prinsip ini kita melihat kepada arransemen lagu As the deer, maka pertanyaannya adalah: 1) sejauh mana arransemen itu sudah mengubah mode lagu sehingga berkesan menjadi lagu sekular? Memasukkan melodi suatu lagu sekular ke dalam lagu liturgi seharusnya tidak dilakukan (menurut dokumen Tra le Sollicitudini) sebab jika demikian malah hati umat tidak terarah kepada apa yang dirayakan di dalam liturgi, tetapi malah mengingat kepada asosiasi lagu sekular tersebut (entah film, pengarangnya, kisah atau kenangan sehubungan dengan lagu sekular itu); 2) Apakah lirik lagu juga sudah diubah? Sebab kalau tidak diubah, maka dari liriknya, nampaknya lagu As the deer memenuhi syarat lagu liturgi karena diambil dari kitab Mazmur 42; 3) Sudahkah lagu itu dipahami umat? Sebab kalau lagu itu dinyanyikan di Amerika, Eropa atau Australia, Singapura dst yang masyarakatnya umum menggunakan bahasa Inggris, dan lagu As the deer itu sudah diterima sebagai lagu liturgi, maka lagu tersebut boleh saja dinyanyikan. Tetapi jika dinyanyikan di Indonesia, maka memerlukan pertimbangan khusus, misalnya silakan diberikan juga teksnya kepada umat, atau diberikan teks dalam bahasa Indonesia di sebelahnya, agar dapat dipahami artinya. Silakan membicarakannya dengan Romo yang mempersembahkan Misa.

      Kasus ini menjadi berbeda dengan lagu Bandung Selatan dipakai menjadi lagu Bapa Kami. Sebab melodinya jelas total menjadikan lagu tersebut sama dengan melodi lagu sekular, dan kata-kata lagu Bapa Kami-nya pun sudah dirombak total/ tidak sesuai dengan teks lagu Bapa Kami.

      Dengan prinsip yang sama, silakan Anda memeriksa lagu- lagu yang dipilih untuk perayaan Misa Kudus, apakah sudah memenuhi ketentuan dasar tersebut. Tentang pembahasan topik ini, silakan membaca lebih lanjut di artikel ini: Lagu pop dinyanyikan di misa?, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

      • Benar, perlu dicermati agar kita tidak menggunakan lagu-nyanyian-melodi profan di dalam liturgi, juga musik-nyanyian rohani hendaknya tidak dipakai dalam liturgi. Batasannya yang pasti adalah nihil obstat dan imprimatur. Kreativitas dan inovasi dalam menggarap lagu-lagu liturgi yang lebih sesuai dengan kebutuhan umat memang perlu, tetapi harus mengindahkan sayarat-syarat yang dituntut oleh liturgi untuk menjadi lagu-nyanyian liturgis. Bila ada nihil obstat dan imprimatur, berarti syarat-syarat yang dituntut itu sudah dipenuhi (lihat artikel “Kesalehan Umat dan Liturgi: Kemungkinan Penyerasian”).

        Salam dan doa. Gbu.
        Rm Boli, SVD.

  8. Shalom Tim Katolisitas.

    Ada sebuah pertanyaan yang cukup mengganjal di benak saya.
    Umat non-Katolik selalu mengutamakan dan membangga-banggakan tentang pelayanan. Pada hari Minggu, mereka selalu mengatakan “selamat Hari Minggu dan selamat melayani”.

    Nah, yang ingin saya tanyakan, apakah “melayani” ini adalah pusat tujuan hidup umat Kristiani?
    Karena seolah-olah bagi umat non-Katolik hal ini sangatlah diagung-agungkan, dan tidak jarang juga membuat umat Katolik yang memiliki talenta dalam hal musik, akhirnya pindah ke gereja non-Katolik dengan alasan mereka dapat melayani Tuhan di gereja tersebut.

    Teman-teman Mudika ada beberapa yang pintar bermain drum (salah satu contoh) tetapi bingung ketika dia ingin menyalurkan serta mempersembahkan talentanya untuk Tuhan, sementara didalam Perayaan Ekaristi tentunya hanya memakai organ. Akhirnya dia sekarang tertarik untuk memakai talenta itu di gereja lain.

    Mohon jawabannya, karena hal ini membuat saya resah. Terimakasih dan Tuhan memberkati pelayanan Tim Katolisitas.org

    • Salam Sonny Ng,

      Pelayanan dalam pengertian Gereja Katolik ialah pelayanan demi yang dilayani, bukan demi si pelayan, berdasar sabda Tuhan Mat 20:28, Mrk 10:45.

      Ada 5 bidang hidup Gereja yang harus dihayati sebagai pelayanan: Koinonia (paguyuban, komunitas, persaudaraan), Leiturgia (Peribadatan), Kerygma (pengajaran dan pewartaan kebenaran iman), Diakonia (pelayanan dan karya sosial, karitatif maupun pemberdayaan masyarakat), Martyria (Kesaksian hidup, pengorbanan) yang meresapi keempat bidang lainnya.

      Jelaslah kata “pelayanan” dalam Gereja Katolik tidak hanya liturgi hari Minggu, melainkan sejak Senin sampai Sabtu pun bahkan Minggu lagi. Gereja Katolik melakukan kelima-limanya dari hari ke hari. Jika hanya dipahami sebagai pelayanan hari Minggu itu pun hanya dalam hal main musik dalam ibadat, maka bisa jadi pelayanan itu tidak utuh. Pelayanan dalam Gereja Katolik selalu mensyaratkan ketulusan, menanggapi panggilan Tuhan, dengan semangat martyria. Tanpa semangat martyria, pelayanan sangat mudah berubah menjadi profesionalisme dengan memasang tarif, atau harus diberi bayaran.

      OMK yang hobby memukul drum, memetik gitar, menari, pun tersedia pelayanan ibadat bagi mereka di Gereja Katolik seperti di aneka Persekutuan Doa (misalnya PD Karismatik Katolik, PD OMK, dll).

      Kebenaran iman Katolik dalam Gereja yang didirikan Kristus itulah yang harus diwartakan kepada orang muda atau orang Katolik, agar mereka tahu pasti isi iman Katolik yaitu Kristus yang hadir penuh dalam Gereja Katolik yang Dia dirikan, dan mereka bisa membandingkan penampilan luaran aliran-aliran protestantisme atau pantekostalisme atau Evangelisme, atau Anglikanisme atau Ortodoxisme dengan isi iman dan praktek pelayanan oleh Gereja Katolik. Orang Katolik selain berliturgi yang hanya 1 jam di hari Minggu, atau setengah jam di misa harian serta doa-doa pribadi, masih harus membawa Kristus kepada masyarakat. Semangat Mgr Soegijapranata, menjadi 100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia, atau semangat alm. Romo Mangunwijaya atau Ibu Teresa Kalkuta, atau sdr Leonardo Kamilus di Cilincing (klik http://www.orangmudakatolik.net/2011/11/berjuang-untuk-rakyat-miskin/) merupakan kebanggaan kita sebagai pengikut Kristus yang heroik dalam melayani masyarakat, bukan hanya berhenti pada kepuasan diri dalam egoisme beribadat saja apalagi hanya untuk bermain musik di gereja pada hari Minggu. Ingatlah bahwa tanpa alat musik pun, misa tetap berjalan. Tak ada liturgi dalam Gereja Katolik yang mensyaratkan harus ada alat musik, apalagi yang berlistrik, di mana jika aliran listrik padam lalu ibadat dibatalkan.

      Saya justru menantang para pintar dan ahli main musik atau apapun yang beragama Katolik, untuk mau menyumbangkan kemampuannya dalam melayani masyarakat. “Apa yang kita lakukan untuk saudara yang hina ini, kita lakukan untuk Yesus sendiri” (bdk. Mat 25:40)

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto, Pr

  9. Sangat disayangkan pelaksanaan perayaan Ekaristi seperti di KAJ tersebut, apalagi dengan Bapa Uskup sbg pemimpinnya. Penghayatan akan kurban Kristus diabaikan. Lalu saran-saran nyanyian untuk perayaan Ekaristi setiap tahun oleh komisi liturgi KWI yang sesuai dengan tema perayaan Ekaristi untuk siapa kalau bukan untuk pelayan-pelayan liturgi dan umat? Saya bayangkan begitu hingar bingar dan haru-biru suasana hati umat yang mengikuti perayaan yang seharusnya dalam suatu kesatuan umat. Karena pasti sebagian umat juga akan merasa tidak bisa konsentrasi, tidak khidmat, dan yang pasti yang dapat menerima adalah mereka yang terpuaskan alias ibadat untuk memuaskan diri sendiri bukan untuk menghayati kurban Kristus. Semoga kita semua lebih menghayati apa arti pengurbanan Kristus bagi kita, sehingga dalam merayakan Ekaristi kita benar-benar ikut terlibat dalam kurban itu. Semoga!

    • Shalom Stefanus Lebu,

      Kami tidak mengetahui apakah Misa tersebut dilakukan di dalam gedung Gereja, ataukah di gedung pertemuan KAJ. Jika diadakan bukan di gedung gereja, memang nampaknya masih dimungkinkan asalkan, lagu- lagu yang digunakan tersebut tidak berkesan menjadi lagu- lagu sekular yang hingar bingar. Jika persyaratan ini dipenuhi, kemungkinan karena pertimbangan- pertimbangan khusus, Bapa Uskup menyetujuinya, mari menghormati keputusan Bapa Uskup. Kita sama- sama tidak menghadiri perayaan Ekaristi di KAJ tersebut, maka sebaiknya tidak berasumsi yang negatif terlebih dahulu.

      Namun demikian, jika Anda tetap berkeberatan, itu juga adalah hak Anda, silakan menyampaikan keberatan Anda kepada komisi liturgi Keuskupan (KAJ), semoga dapat menjadi perhatian untuk perayaan Ekaristi serupa di masa mendatang.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  10. Salam,

    Artikel ini cukup menjelaskan mengenai larangan penggunaan alat musik band dalam gedung gereja. Saya ingin menanyakan apakah penggunaan alat musik band diperbolehkan saat diadakan liturgi diluar gedung gereja?

    Acuan yang digunakan memang dokumen Gereja. Akan tetapi, sangat sulit mencari batasan antara penggunaan yang diperbolehkan dengan yang tidak boleh. Selama ini, praktik di komunitas saya adalah lagu-lagu pujian pembukaan dengan band, liturgi dimulai dengan diiringi keyboard dan gitar bass (terkadang gitar listrik dengan melodi ringan), dan penggunaan drum dimulai lagi saat romo meninggalkan tempat. Terkadang, persembahan juga diiringi lagu dengan band. Apakah yang kami lakukan sudah sesuai?

    Terima kasih.

    Salam,
    Ioannes

    • Shalom Ioannes,

      Izinkan saya menjawab sementara menunggu jawaban Romo Boli. Jika beliau menjawab yang berbeda dengan jawaban saya, silakan Anda mengabaikan jawaban saya, sebab Rm. Boli adalah pakarnya dalam hal ini.

      Jika mengacu kepada dokumen Gereja, maka sesungguhnya alat musik band tidak diperkenankan untuk dimainkan di dalam gedung gereja. Sedangkan di luar gedung gereja, nampaknya masih terdapat kemungkinan untuk dimainkan, asalkan dengan persetujuan otoritas Gereja.

      Selanjutnya, jika ingin dimainkan band di luar gereja, maka yang diperbolehkan adalah untuk mengiringi lagu- lagu pujian sebelum dan sesudah diadakannya perayaan Ekaristi Kudus. Sedangkan untuk lagu-lagu sepanjang perayaan Ekaristi, selayaknya tidak digunakan alat musik band. Mari ditangkap spirit/ maksudnya dari ketentuan ini, yaitu, untuk memisahkan gaya musik sekular (termasuk pop rohani) dengan musik liturgis. Hanya musik liturgis yang dapat dimainkan untuk perayaan liturgis. Jika sampai di tengah- tengah perayaan (misalnya untuk lagu Persembahan) ingin dimainkan band, kemungkinan harus dibuat semacam persetujuan atas dasar pemahaman, bahwa alat musik tersebut harus dimainkan dengan cara sedemikian rupa sehingga tetap menghasilkan musik yang agung dan sakral dan bukan bernuansa musik pop apalagi rock. Untuk hal ini silakan didiskusikan dengan otoritas Gereja setempat, yaitu Bapa Uskup atau imam yang sudah diberi wewenang oleh Bapa Uskup, untuk menangani hal ini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  11. salam

    bagaimana dg drama di dlm liturgi? Di stasi dn paroki sy setiap paskah dn natal psti ada acra drama, biasanya pas bacaan injil, ditambh lg bacaan sabda jd 3 bacaan sabda dn 1 bacaan injil yg didramakan (wktnya jd 2 1/2-3 jam misa yg biasanya cm 1 1/2jm), sedangkn paroki lain cm misa biasa tp ttp dg semangat/suasana natal ato paskah, kdg jd males ngikuti misa natal ato paskah di gereja sy yg bertele2, ribet dn lamaaa…prnh muncul pertanyaan”di grj lainnya koq g neko2 kyk grj sy y, pdhl sama2 gereja Katolik” apalagi kalo liat misa natal dn paskah di Vatikan, khidmat bgt dn ada suasana sakralnya, sempat prihatin dn malu sm umat grj Protestan, soalnya pas drama pemainnya teriak2 kyk di sinetron(g ada bedanya kn sm Protestan yg pke musik band yg bising). Ada aturannya g sih drama didlm liturgi dlm Grj Katolik (dlm KHK mungkin)? Apalagi di setiap Grj Katolik ada Tabernakel yg berisi Tubuh Yesus masak mlh ada pentas drama pke musik non religi lg, mana rasa hormatnya kpd Tabernakel? Rutin tiap tahun lg, aduh…mohon penjelasannya, terima kasih

    • Shalom Maria,

      Dalam Instruction Redemptoris Sacramentum yang dikeluarkan oleh Congregation for Divine Worship and Discipline of the Sacrament (2004) dikatakan demikian:

      [78.] It is not permissible to link the celebration of Mass to political or secular events, nor to situations that are not fully consistent with the Magisterium of the Catholic Church. Furthermore, it is altogether to be avoided that the celebration of Mass should be carried out merely out of a desire for show, or in the manner of other ceremonies including profane ones, lest the Eucharist should be emptied of its authentic meaning.

      Terjemahannya:

      78. Tidak diizinkan untuk menghubungkan perayaan Misa kudus dengan event- event politik dan sekular, atau dengan keadaan- keadaan yang tidak sepenuhnya konsisten dengan Magisterium Gereja Katolik. Selanjutnya, haruslah benar- benar dicegah bahwa perayaan Ekaristi dilaksanakan semata- mata untuk pertunjukan, atau dengan cara upacara lain termasuk hal-hal yang profan lainnya, agar Ekaristi tidak kehilangan artinya yang otentik/asli.

      Pertanyaan tentang Drama Natal prinsipnya sama dengan Tablo Jumat Agung, pernah dijawab oleh Romo Boli sebagai berikut:

      Tablo pada pagi hari Jumat Agung sebagai bentuk dari renungan jalan salib bisa dilakukan, dan sangat baik asal disiapkan dan dilaksanakan dengan penuh penghayatan, dan umat yang mengikutinya tidak memandangnya sebagai tontonan tetapi sebagai kesempatan merenung dan berdoa. Pada saat perayaan kenangan sengsara dan kematian Yesus Kristus (sore hari jam 3), pemakluman kisah sengsara tidak boleh diganti dengan tablo.

      Dengan pemahaman ini maka, tablo/ drama Natal juga seharusnya diadakan di luar Misa Kudus; dan tidak untuk menggantikan bacaan Injil ataupun bacaan lainnya dalam liturgi Sabda.

      Prinsipnya pada Perayaan Ekaristi fokus utamanya adalah Kristus, sehingga tidak selayaknya dalam Misa Kudus diadakan semacam pertunjukan (entah itu drama, tarian atau konser) yang mengalihkan perhatian umat dari Kristus sendiri. Silakan, mencari waktu yang baik, dengan semangat kasih, Anda membicarakannya dengan seksi liturgi dan pastor paroki Anda. Jangan lupa, tetap hormatilah pastor kepala Anda, sebab ia adalah gembala umat.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Shalom ibu Ingrid,

        Kl diparoki sy sudah sering mengadakan drama pas natal atau jumat agung, pas saat pertengahan misa lagi. Seperti misa pekan suci baru2 ini, misa sampai 3 jam, bahkan sampai 4 jam ( terpaksa sy bw air minum utk anak dan permen), bukan tidak menghargai atau melawan aturan gereja atau tidak menghormati, tapi kasihan anak sy yg sangat kehausan, apalagi gereja panas krn romo anti memakai AC, Tp kl misa minggu biasa kami tdk bw air minum krn hanya 2 jam misanya. Sy sangat tau ini salah, dgn alasan apapun. anak sy jg bisa mengerti kl tidak boleh makan dan minum 1 jam saat mau misa, tp pekan suci baru kemaren ini, anak sy baru baikan dari sakitnya tp ttp berusaha datang, jd air dan permen sy yg siapkan. Dosakah saya?

        Kami sangat menghormati Romo kami, tapi membaca keterangan yg ibu sampaikan, apakah baik atau bijak kl kami hanya membiarkannya?

        Soal musik atau drum yg dipakai dalam misa, diparioki kami, sering menggunakan gong (alat musik daerah bali), alat ini kan mempunyai suara yg sangat keras (terkadang anak sy menutup telinga krn anak sy tidak suka suara keras tapi suka musik), apa bedanya gong dgn drum? Maksudnya secara suara kan sama2 mengeluarkan bunyi yg keras. Memang gong ini dipakai utk melengkapi drama atau tarian yg dibuat tapi tetap saja dlm misa, bukan setelah misa.
        Bagaimana dgn aturan berpakaian di gereja? Harus sopan kan? Trus utk tari2an adat bali, kan pakaiannya agak minim didada (maaf), pertanyaan ini sy buat bukan utk melecehkan atau tidak menghargai, hanya utk tau bagaimana pandangan gereja thdp ini?
        Saat menari juga mereka memunggungi Tabernakel, sopankah? Krn ini berlangsung saat misa. Walaupun sy menyukai drama dan tarian yg disuguhkan, tp terkadang altar jadi seperti panggung hiburan.

        Adakah batasan umat utk bisa mendekat kealtar? Krn dibeberapa gereja yg ada ditempat sy, ada batasan umat sampai mana boleh berdiri (ada tulisannya). Tapi diparoki sy tidak ada batasannya, benarkah ini?
        Selama ini saya hanya berprinsip kl Tuhan tidak akan kaku dgn banyaknya aturan yg ada, tp membaca beberapa keterangan yg sdh disampaikan diatas, menurut sy juga benar, tempat ibadat itu hrs suci, apalagi Tabernakel, krn kita percaya Yesus ada disana.

        Pertanyaan yg sy buat bukan utk memojokkan romo diparoki saya, sy sangat hormat dgn romo, apalagi romo baik, nggak merepotkan kl mau melayani (kl masih sehat, nggk suka diantar jemput, mandiri) walau sedikit pemarah dan kaku, krn sy sadar romo jg manusia biasa, yg sempurna hanya Tuhan dan kita sebagai umatnya jg belajar menguduskan diri spt yg Tuhan inginkan walau tidak akan bisa sesempurna DIA.

        Terimakasih
        Salam kasih,
        Yindri

        • Shalom Yindri,

          1. Tentang makan dan minum.

          Saya percaya bahwa Anda sendiripun telah menyadari bahwa tidak selayaknya kita makan dan minum di gereja pada saat perayaan Ekaristi berlangsung. Juga ketentuan ini berlaku untuk anak-anak. Justru jika Anda membiasakan hal ini pada anak Anda, maka ia akan tumbuh dengan sikap hormat terhadap perayaan Ekaristi. Dengan demikian, sesungguhnya Anda mendidik anak Anda, walau tanpa kata-kata, tentang sikap hormat yang sudah selayaknya diberikan kepada Tuhan Yesus yang sungguh hadir dalam perayaan Ekaristi.

          Kalau perayaan Ekaristinya sangat panjang, dan dengan proses menunggunya bisa sampai 4 jam (ini juga pernah saya alami), dan anak Anda haus, silakan mengajaknya keluar sebentar dan minumlah di luar gedung gereja. Setidaknya Anda tetap menjaga sikap hormat terhadap apa yang sedang dirayakan di dalam gereja. Ini serupa pada saat anak Anda ingin ke kamar kecil/ toilet, tentu Anda boleh keluar sebentar mengantarnya.

          2. Tentang gong

          Menurut pengetahuan saya, penggunaan gong pada waktu perayaan Ekaristi umumnya tidak sering. Biasanya hanya pada saat konsekrasi, tepatnya setelah kata, “Inilah Tubuh-Ku…… ” dan “Inilah Darah-Ku….” untuk mengarahkan perhatian umat pada saat yang suci itu, di mana saat itu hosti diubah menjadi Tubuh Kristus dan anggur menjadi Darah Kristus. Maka walaupun keras, penggunaan gong berbeda sifatnya dengan penggunaan drum sebagai alat musik. Karena drum umumnya dibunyikan dalam bentuk ‘beat‘ atau irama lagu, namun gong tidak demikian, jikapun dibunyikan hanya sesekali. Kalau Anda merasa terlalu keras, silakan sampaikan hal ini sebagai masukan kepada Romo atau kepada misdinar yang memukul gong itu, semoga dapat dicari jalan keluarnya.

          3. Tentang tari-tarian

          Lalu tentang tari-tarian di Misa, hal ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Menurut Kardinal Arinze, kalaupun ada semacam tarian pengiring dalam perayaan Ekaristi, yang diperbolehkan adalah gerakan pengiring dalam prosesi, dan bukan sebagai pertunjukan tari.

          Tentang cara berpakaian yang sopan, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Maka jika memang Anda terganggu dengan adanya tari-tarian itu dan apalagi dengan cara berpakaian para penarinya, silakan membicarakan dengan pastor paroki dan seksi liturgi, sebab kemungkinan ada pula umat yang merasa terganggu seperti Anda. Sebab perayaan liturgi sesungguhnya sudah lengkap, tanpa harus ada tari-tarian. Jika mau ada tarian, silakan paroki mengadakan pentas seni, di luar perayaan liturgi. Jika Anda tertarik tentang topik ini, silakan Anda membaca artikel-artikel ini:

          Sekilas tentang Makna Liturgi dan Pelanggaran Liturgi
          Apa yang harus kuketahui tentang Liturgi
          Bagaimana Sikap kita dalam Liturgi?

          4. Batasan mendekat ke tabernakel/ altar

          Selanjutnya tentang sampai batasan mana umat boleh mendekat ke Altar, memang sejauh yang saya ketahui, tidak ada aturan eksplisitnya, misalnya berapa meter dari tabernakel, atau berapa meter dari meja altar. Maka yang perlu kita pakai di sini adalah sikap kelayakan dan “prudence“/ kebijaksanaan demi penghormatan kepada tempat kudus Tuhan. Kalaupun sampai ada aturan eksplisit di beberapa paroki, tentu aturan itu diadakan dengan prinsip agar menjaga penghormatan kepada Tuhan Yesus yang sungguh hadir di Tabernakel tersebut. Ketentuan tersebut tentu sifatnya tidak kaku sebab kaum awam yang mendapat tugas sebagai Lektor, misdinar, maupun petugas Pembagi Komuni tak lazim (yang dikenal dengan sebutan prodiakon), juga ketika menjalankan tugas mereka, dapat mendekati altar, tentu sesuai dengan tugas yang dilakukan.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Shalom bu Ingrid

            Terimakasih atas penjelasannya,
            Sy sangat mengerti dan tidak layak kl saat ekaristi makan atau minum didalam misa, biasanya jg tidak sy lakukan, berhubung anak sy lagi sakit, jd sy kasi saat itu, lain kali akan sy sarankan utk minum diluar.

            Utk gong yg sy maksud, bukan gong saat Tubuh dan Darah Kristus diangkat itu, maksud sy jenis gong (alat musik tradisional bali, lengkap), jadi gong yg sy maksud adalah alat musik lengkap tradisional bali, menurut sy suaranya itu lebih keras dari band.
            [Dari Katolisitas: Jika demikian, silakan diskusikan dengan pastor paroki/ seksi liturgi, semoga ada jalan keluarnya, dan bagaimana mengatasinya, agar musik dapat mendukung suasana kekhidmatan dalam liturgi.]

            Tarian yg disuguhkan juga bukan tarian pengiring, tapi pertunjukkan, hal ini pernah dibicarakan beberapa umat, tapi tidak ada yg berani bicara dgn romo paroki. Sy maklumkan saja berhubung Romo sdh Tua dan setia dlm melayani umat.
            [Dari Katolisitas: Sebagaimana telah disampaikan, seharusnya tarian yang berupa pertunjukan, tidak pada tempatnya dipentaskan di tengah-tengah perayaan liturgi, sebab akan mengalihkan perhatian umat dari Kristus, yang seharusnya menjadi fokus utama dalam perayaan liturgi].

            Masalah berpakaian jg berhubungan dgn tari2an yg disuguhkan, tapi susah jg krn budaya tarian bali memang dgn tradisi spt itu, jadi sy maklumkan saja.

            Masalah batas altar, saya sdh bisa mengerti dari penjelasan ibu, jadi masing2 paroki punya aturannya sendiri

            Terimakasih atas penjelasan ibu, kesalahan2 yg sy sdh lakukan akan sy perbaiki.

            Salam Kasih,
            Yindri

  12. Para pengasuh yang saya cintai…
    memperhatikan penjelasan tim tentang boleh atau tidak musik band masuk dalam liturgi resmi (Ekaristi) ini saya banyak terbantu. Demikian juga kalau membaca penjelasan tentang tema-tema yang lain. Dengan memberikan penjelasan-penjelasan itu, maka kita berteologi. Lalu pertanyaan saya, apa artinya berteologi? Bukankah St. Anselm menjelaskan bahwa teologi itu iman (hidup) yang mencari pemahaman, bukan penjelasan ajaran (kata-kata) Gereja? Kalau dikontekskan di Asia, yang penuh dengan kebudayaan dan masuk dalam era modern, bagaimana liturgi yang inkulturatif bisa dilakukan (kultur bisa sama dengan tradisional, tapi juga yang modern. Intinya, kultur adalah apa yang hidup dalam diri manusia – Hidup Lebih Penting dari pada Ajaran). Intinya, mengapa katolisitas.org malah menyarankan orang Katolik menuruti kata-kata, bukan kata-kata yang mengikuti manusia? Bukankah Hidup Manusia (Liturgi yang Hidup) lebih penting di hadapan Allah, dari pada kata-kata? Mengapa katolisitas.org tidak malah mengajak orang beriman memperjuangkan Hidup, tetapi justru memperjuangkan Kata-kata? Bukankah Sang Sabda sudah menjadi Manusia?
    Terima kasih kalau mau menanggapi permenungan saya ini.
    Salam Damai Kristus…
    cinta @yogya

    • Salam Cinta,

      Dalam hal aturan liturgi ini, pengelola Katolisitas memaparkan kata-kata yang bukan subjektif sesuai selera sendiri, melainkan objektif sesuai data-data dari dokumen tertulis resmi Gereja. Jika tidak mengacu pada dokumen resmi Gereja Katolik Roma, lalu pengelola Katolisitas ini Anda sarankan harus mengikuti siapa? Namun mengenai kreativitas dalam liturgi, kalau kita pelajari baik-baik, juga sudah ada dalam dokumen-dokumen resmi yang disebut-sebut itu.

      Kalau kita mau taat Kristus, maka kita taat melalui Gereja karena Kristus mendirikan Gereja. Para pejabat Gereja-lah yang memproduksi keputusan-keputusan yang kemudian ditulis. Namun jangan lupa bahwa dokumen-dokumen Gereja itu pun hidup dan dihidupi dalam hidup nyata. Aneka dokumen mengenai Liturgi pun berkembang. Namun, pedoman pokok ialah mengikuti pedoman yang tertulis dahulu. Bacalah pedoman tertulisnya dahulu dalam merancang liturgi, khususnya jika Anda mau menyelenggarakan Misa untuk kelompok khusus dengan intensi tertentu. Langkah selanjutnya ialah berkonsultasi dengan imam atau uskup atau paus yang akan memimpin Ekaristi itu, jika Anda ingin menekankan hal-hal tertentu.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

      • Terima kasih Pastor Yohanes Dwi atas tanggapannya. Pertama, tentang katolisitas.org: Pastor Dwi menulis “pengelola Katolisitas memaparkan kata-kata yang bukan subjektif sesuai selera sendiri, melainkan objektif sesuai data-data dari dokumen tertulis resmi Gereja. Jika tidak mengacu pada dokumen resmi Gereja Katolik Roma, lalu pengelola Katolisitas ini Anda sarankan harus mengikuti siapa?” Benar bahwa katolisitas.org memaparkan ulang apa yang diajarkan – saya memberi catatan: tentu dengan membuat penjelasan (bc: penafsiran) menurut yang menulis (masih obyektifkah?).
        Contoh: penafsiran tentang apa saja alat “band”, Ibu Ingrid menulis (No. 2.1) “Yang dipermasalahkan di sini adalah, jika dipergunakan alat musik drum, terompet, dan gitar bass, dst, yang memang dapat berkonotasi lagu- lagu sekular dan menciptakan suasana ‘hingar bingar’. Benarkah alat-alat itu sekedar hingar bingar ketika dipakai dalam Ekaristi? Buat orang lain, musik rohani yang diambil dari Madah Bakti/Puji Syukur dan diiringi dengan band, rasanya lebih nyes tuh? (masihkah obyektif?).
        Lagi, ada pernyataan “Prinsip utamanya sebelum menentukan alat musik liturgi adalah kita harus mengadakan pemisahan antara yang sakral dan yang profan” (No.1). Wow! Kaget saya dengan kata-kata ini. Bukankah Ekaristi itu sakramen? Sakramen itu tanda manusiawi yang menghadirkan yang ilahi. Apakah tidak sama dengan “realitas profan yang menghadirkan yang sakral”. Yang profan dan yang sakral disatukan, atau yang profan disucikan? Lagi, bagi orang desa organ itu mahal (dan asing) tuh. Apakah bagi orang desa organ itu sakral. Kan ada pentas musik dangdut “organ tunggal” yang sering ditonton saat resepsi di desa-desa?? (masihkah obyektif?) — [maaf, saya protes banyak, he he] —

        Kedua, Pastor Yohanes Dwi menulis “Kalau kita mau taat Kristus, maka kita taat melalui Gereja karena Kristus mendirikan Gereja. Para pejabat Gereja-lah yang memproduksi keputusan-keputusan yang kemudian ditulis….dokumen-dokumen Gereja itu pun hidup dan dihidupi dalam hidup nyata”. Pertanyaan saya: bagaimana dengan aliran-aliran teologi di dalam Gereja Katolik? Bukankah para pejabat Gereja itu juga teolog dengan aliran tertentu yang seringkali berbeda pendapat dengan teolog yang lain? Contoh: antara J. Ratzinger (Bapa Suci kita) dengan Hans Kung (menurut apa yang saya dengar dari teman mereka berdua adalah dua teolog besar yang sejajar pada era K. Vatikan II). So, apa itu ketaatan? Ketaatan apakah berarti sekedar mengabdi pada kata-kata yang dikeluarkan para pejabat gereja? Apakah kita gak boleh protes (bc: bersikap kritis-bertanggungjawab)? Atau, ketaatan berarti menguji iman di tengah-tengah dunia, di hadapan Yang ilahi? Karena menguji iman, maka bukan sekedar tahu-paham-ikut produksi para pejabat. Tetapi, sungguh-sungguh mengalami bahwa aku berjumpa dengan yang ilahi (dalam konteks pembicaraan ini – melalui liturgi yang aku rayakan, musik yang aku dendangkan, pujian yang aku lagukan, doa yang aku lafalkan). Apakah itu bukan liturgi yang hidup (Kalau band rohani kita dengarkan setiap hari, menggerakan hidup saya, Apakah band bukan musik yang hidup bagi kita? — seperti Bapak saya yang mendengarkan gamelan tiap hari)
        — [maaf, saya protes lagi, supaya ketaatan saya teruji, he he he] —

        Ketiga, “Bacalah pedoman tertulisnya dahulu dalam merancang liturgi, khususnya jika Anda mau menyelenggarakan Misa untuk kelompok khusus dengan intensi tertentu. Langkah selanjutnya ialah berkonsultasi dengan imam atau uskup atau paus yang akan memimpin Ekaristi itu, jika Anda ingin menekankan hal-hal tertentu”. Saya setuju bahwa liturgi memang harus cerdas dan komunikatif. Maka liturgi adalah PEWARTAAN. Bukan hanya “suatu ‘pemberian’ untuk dilestarikan” (kata No. 4.1). Karena liturgi itu PEWARTAAN maka, harus ada improvisasi supaya isi pewartaan sampai kepada para pendengar (pendengar masa sekarang: bukan hanya orang katolik, tetapi juga semua orang: muslim, lutheran, baptis, calvinis, bethel, hindu, budha, atheis, scientist; anak kecil – orang muda – orang tua – di desa – di kota, dll). Apakah di tengah pluralitas ini, (musik) liturgi hanya akan satu macam? Tak perlu improvisasi?
        Lalu, saya tak setuju (malah sakit hati) kalau dikatakan Ekaristi yang di-improvisasi itu sebuah “KREATIFITAS” (dalam arti: menciptakan hal baru yang sekedar berbeda), lalu dihakimi BENAR atau SALAH, BOLEH atau TIDAK BOLEH (ini tidak cerdas!). Sejauh saya mengalami Ekaristi dengan improvisasi (di Jogja dan sekitarnya sering dikenal dengan EKM: Ekaristi Kaum Muda, Misa Inkulturasi, Misa Alam, dsb.), Ekaristi ini bukan ekaristi sekedar berbeda, tetapi sungguh muncul dari rasa iman yang mendalam dan keinginan berjumpa dengan Yesus dalam situasi konkret yang dialami. Buktinya: ada panitia, beserta rapat-rapat dan argumentasi yang dipersiapkan dengan matang. So, bagaimana liturgi katolik yang meng-Indonesia (bc: men-Jawa, mem-Batak, mem-Papua, meng-anak muda, mem-dll.), yang “memuji-muji nama-Nya dengan tari-tarian, bermazmur kepada-Nya dengan rebana dan kecapi!”, yang “hidup, menyentuh, menggerakkan, mencerdaskan dan menambah dalam iman orang katolik Indonesia” bisa dijalankan, kalau tak ada improvisasi?
        Sekian dulu dari saya.
        Terima kasih banyak atas kesediaan membaca dan menanggapi uneg-uneg saya dan beberapa teman di sini.
        Maaf kalau tanggapannya panjang.
        Bravo katolisitas.org (“yang cerdas”)
        Cinta@Jogja

        • Shalom Cinta,

          Izinkan saya yang menjawab, karena banyak keberatan Anda ditujukan kepada tulisan saya.

          Sebenarnya yang kami lakukan di sini adalah memaparkan pengajaran Gereja Katolik sesuai dengan yang tertulis di dokumen Gereja tentang topik terkait. Memang setelah dokumen itu disampaikan kami menyampaikan ulasan, namun sesungguhnya ulasan itu bukan tafsiran semata, karena ada pernyataan dokumen yang umumnya jelas menyampaikan maksudnya, sebagaimana yang kami ulas. Mari kita melihat satu persatu keberatan Anda:

          1. Penafsiran tentang band dan istilah “hingar bingar”

          Saya memang menulis, “Yang dipermasalahkan di sini adalah, jika dipergunakan alat musik drum, terompet, dan gitar bass, dst, yang memang dapat berkonotasi lagu- lagu sekular dan menciptakan suasana ‘hingar bingar’.” Saya tidak mengatakan penggunaan band selalu hingar bingar, tetapi memang secara umum dapat/ berpotensi menghasilkan musik yang keras sehingga saya mengatakan “dapat …menciptakan suasana hingar bingar”.

          Dasar saya mengatakan demikian adalah larangan yang disebutkan di dalam Motu proprio yang dikeluarkan oleh Paus Pius X tahun 1903 tentang Instruksi dalam hal Musik sakral gerejawi (Tra le Sollecitudini). Izinkan saya menyampaikan terjemahannya:

          “20. Dilarang keras menggunakan alat musik band di dalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan penggunaan organ.” (It is strictly forbidden to have bands play in church, and only in special cases with the consent of the Ordinary will it be permissible to admit wind instruments, limited in number, judiciously used, and proportioned to the size of the placeprovided the composition and accompaniment be written in grave and suitable style, and conform in all respects to that proper to the organ.)

          Sedangkan untuk istilah ‘hingar bingar’ ini berkaitan dengan point 19, “Permainan piano dilarang di gereja, demikian juga alat- alat musik yang berisik ataupun berkesan tidak serious (noisy and frivolous), seperti, drum, cymbals, bel dan sejenisnya. (The employment of the piano is forbidden in church, as is also that of noisy or frivolous instruments such as drums, cymbals, bells and the like.)

          Selanjutnya, Konsili Vatikan II dalam dokumennya Sacrosanctum Concilium memang tidak membatasi alat musik hanya pada organ saja; dapat digunakan alat musik lain sepanjang telah disetujui oleh pihak otoritas Gereja, namun demikian, harus tetap layak digunakan untuk musik gerejawi (lih. SC 120), sebagaimana sudah disampaikan di artikel di atas.

          2. Prinsip umum adalah bahwa musik gerejawi adalah musik yang kudus, tidak mengandung profanitas.

          Dalam dokumen yang sama (Tra le Sollicitudini) Paus Pius X mengatakan, “Musik gerejawi harus memiliki, dalam tingkatan yang tertinggi, kualitas yang layak bagi liturgi, dan secara khusus mempunyai bentuk yang kudus dan baik, yang akan secara spontan menghasilkan kualitas universalitas yang final/ terbaik.

          “Musik gerejawi harus kudus, dan karena itu harus, tidak memasukkan segala profanitas tidak hanya di dalam dirinya sendiri, tetapi juga di dalam cara penyampaiannya oleh para pemusik yang memainkannya.” (Sacred music should consequently possess, in the highest degree, the qualities proper to the liturgy, and in particular sanctity and goodness of form, which will spontaneously produce the final quality of universality. It must be holy, and must, therefore, exclude all profanity not only in itself, but in the manner in which it is presented by those who execute it.)

          Jadi pernyataan inilah yang saya jadikan dasar ketika saya mengatakan, “Prinsip utamanya sebelum menentukan alat musik liturgi adalah kita harus mengadakan pemisahan antara yang sakral dan yang profan”…. Sebab sebelum kita dapat untuk tidak memasukkan hal yang profan ke dalam yang sakral, maka kita harus dapat membedakan antara keduanya, supaya kita tidak mencampur adukkan keduanya. Dalam konteks musik, jika disebut musik profan maksudnya adalah musik sekular, sedang musik sakral adalah musik yang khusus untuk musik liturgi.

          Anda mengatakan, “Wow! Kaget saya dengan kata-kata ini. Bukankah Ekaristi itu sakramen? Sakramen itu tanda manusiawi yang menghadirkan yang ilahi. Apakah tidak sama dengan “realitas profan yang menghadirkan yang sakral“.

          Nampaknya di sini ada kesalahpahaman terminologi. Sebab Ekaristi sebagai sakramen memang merupakan tanda lahiriah yang menghadirkan yang ilahi, tetapi tanda lahiriah di dalam sakramen (seperti roti dan anggur, atau air dan minyak) itu sifatnya netral, bukan profan. Kamus bahasa Inggris menyatakan arti kata profane sebagai 1) irreligious; 2) unconsecrated, secular ;3) unholy, heathen; pagan, 4) not initiated into religious rites or mysteries. Jadi memang hal yang profan itu maksudnya adalah sesuatu yang tidak sakral, dalam hal ini mengacu kepada hal- hal sekular. Dalam konteks musik, hal profan mengacu kepada musik- musik yang umum dimainkan untuk maksud non- liturgis; dan untuk ini Paus mengatakan agar jangan memasukkan unsur- unsur profan di dalam musik sakral gerejawi/ musik liturgis.

          3. Aliran Teolog

          Para Teolog memang dapat saja mempunyai pandangan sendiri- sendiri, namun sesungguhnya, bagi seorang Teolog Katolik, patokannya jelas, yaitu, mereka harus taat kepada prinsip pengajaran yang telah ditetapkan oleh Magisterium Gereja Katolik. Yang masih dapat didiskusikan adalah ajaran- ajaran yang memang belum ditentukan secara definitif oleh pihak Magisterium. Namun begitu suatu ajaran iman dan moral sudah ditentukan secara definitif, maka mereka, walaupun teolog terkenal sekalipun, harus tunduk dan taat kepada ketentuan itu, sebab kita percaya bahwa Magisterium memperoleh kuasa mengajar dari Kristus sendiri untuk mengajar umat-Nya (lih. Mat 16:18; 18:18).

          Dengan prinsip inilah kita melihat apakah seorang Teolog Katolik itu sungguh- sungguh mempunyai integritas yang baik sebagai seorang Teolog Katolik. Tentang Hans Kung, walaupun ia memang merupakan seorang teolog Katolik yang terpelajar, namun beberapa pandangannya tidak sesuai dengan ajaran Magisterium Gereja Katolik.

          4. Liturgi adalah “pemberian” untuk dilestarikan

          Anda menekankan bahwa pemberian adalah pewartaan, dan itu benar, namun apa yang diwartakan ini merupakan suatu pemberian secara turun temurun sejak jemaat jaman para rasul, sehingga tidak dapat begitu saja diimprovisasikan. Dalam dokumen tentang liturgi, Redemptoris Sacramentum, dikatakan demikian, “Gereja sendiri tidak mempunyai kuasa apapun atas hal-hal ini yang telah ditentukan oleh Kristus sendiri dan yang merupakan bagian yang tak dapat diubah di dalam liturgi.” (RC 10). Hal -hal yang dimaksud di sini adalah doa-doa liturgis, orasi dan lagu- lagu liturgis, tanda- tanda yang dipergunakan dalam liturgi, struktur dan bentuk perayaan (lih. RC 9), di mana adalah tugas Gereja untuk melestarikannya dengan setia dan hati- hati kepada generasi mendatang. Semua ini dijaga dan dilindungi secara bijaksana oleh ketentuan- ketentuan liturgis (Ibid.).

          Selanjutnya dalam bukunya The Spirit of the Liturgy, Cardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) mengatakan, “Liturgi merupakan semacam sebuah antisipasi, gladiresik, pendahuluan akan kehidupan yang akan datang yang dijelaskan oleh St. Agustinus, yang kontras dengan kehidupan di dunia ini, yang seperti sepotong kain, tidak terjalin atas kebutuhan mendesak dan kebutuhan [lainnya], tetapi atas kemerdekaan kemurahan hati dan pemberian [Allah].” (Cardinal Ratzinger, The Spirit of the Liturgy, (San Francisco, Ignatius Press: 2000), p. 14). Dengan kata lain, perayaan liturgis mempunyai dimensi kosmis/ keilahian, yang disebut oleh Paus Benediktus sebagai, “the cosmic character“. Dalam hal musik liturgis, ciri ilahi ini “berada dalam pertentangan dengan dua kecenderungan musik modern, yang menganggap bahwa musik adalah hal yang murni subyektif dan musik sebagai ekspresi kehendak semata- mata. Kita bernyanyi bersama malaikat. Namun ciri kosmis ini pada akhirnya didasari oleh penentuan penyembahan semua umat Kristen kepada Sang Sabda.” (Ibid., p. 155). 

          Jadi diajarkan di sini bahwa hal ilahi ini harus dipertahankan dalam musik liturgi, yang tercermin dari lirik lagu- lagu, maupun dari alat musik maupun cara memainkannya; di mana harus pada akhirnya mengacu kepada penyembahan kepada Tuhan. Maka silakan Anda mendiskusikannya dengan pihak otoritas Gereja jika Anda ingin mengajukan improvisasi dalam musik liturgi (misal penggunaan alat musik tertentu atau adaptasi lagu tertentu). Mari kita pahami esensinya, bahwa harus  ada pembedaan antara musik liturgis dan bukan liturgis, dan bahwa musik liturgis harus dapat lebih mengarahkan umat kepada misteri Paska Kristus yang kita rayakan, yang merupakan antisipasi dari perayaan perjamuan surgawi di dalam kehidupan kekal. Karena fokusnya adalah Kristus dalam kesatuan dengan keseluruhan Tubuh-Nya (yaitu Gereja); maka hal ini tercermin dalam lirik lagu- lagunya maupun alat- alat musik yang digunakan. Dengan prinsip ini maka logis untuk tidak memilih lagu- lagu jazz atau dangdut untuk lagu liturgis, yang secara obyektif berhubungan dengan selera sekular daripada maksud mengarahkan umat kepada Kristus bersama paduan suara para malaikat di surga.

          Maka tidak ada masalah dengan lagu- lagu liturgis yang bergaya Jawa ataupun daerah lainnya, namun tetap harus dibawakan dengan lirik yang mengarah kepada Kristus dan dengan cara sedemikian sehingga mencerminkan keanggunan musik surgawi. Yang memang patut dihindari adalah menyanyikan lagu- lagu pop yang liriknya diganti, atau bahkan lagu- lagu pop yang liriknya bahkan tidak diganti, padahal lagu- lagu tersebut bukan lagu yang cocok/ sesuai digunakan sebagai lagu liturgis untuk penyembahan kepada Tuhan. Mengapa? Sebab itu secara obyektif berpotensi mengalihkan perhatian umat dari Kristus yang menjadi pusat liturgi, karena yang umum timbul di pikiran umat adalah sang penyanyinya, melodinya, pemain musiknya atau filmnya (jika itu berkaitan dengan film), sehingga dengan ini maksud liturgi tidak tercapai.

          Demikian, semoga dapat menjadi masukan bagi Anda, walaupun mungkin tidak sesuai dengan harapan Anda. Harap diketahui bahwa maksud saya bukan defensif (mempertahankan pendapat saya sendiri) tetapi menyampaikan informasi yang obyektif tentang batasan- batasan dalam musik liturgis, karena memang demikian yang dapat disimpulkan kalau kita membaca banyak pengajaran tentang liturgi di dalam Gereja Katolik.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

          Tambahan dari Rm Santo:

          Salam Cinta,

          Mengenai perdebatan teologis, selalu ada ruang dalam Gereja Katolik. Namun Gereja tidak mendasarkan diri pada ajaran teolog. Gereja mendasarkan diri pada ajaran resmi Gereja. Kadang kala, ajaran teolog masuk dalam ajaran Gereja, kadang tidak masuk dalam ajaran Gereja, yang membuat teolog tertentu kecewa. No problem, karena para pejabat Gereja-lah (kolegialitas para uskup dalam kesatuan dengan Paus) yang menentukan ajaran. Di situlah kerendahan hati untuk taat diperlukan. Karena ketaatan dalam Gereja Katolik itu indah dan dasarnya spiritualitas. Almarhum Pater Tom Jacobs, teolog yg hebat dengan pemikirannya yang maju itu toh menyatakan ketaatan kepada uskup Keuskupan Agung Semarang waktu itu, sahabatnya dalam berteologi, Mgr Ign Suharyo, dalam soal-soal ide pembaharuan. Gereja. Di situlah keindahan iman. Karena, bisa saja yang dipermasalahkan adalah hal yang baik, namun uskup tahu situasi batin dengan perbagai pertimbangan pada masanya.

          Mengenai alat musik band, menurut pengalaman saya mendampingi aneka misa OMK, yang penting ialah bahwa prinsip dalam pedoman dipahami baik-baik oleh para pelaksana liturgi itu. Didiskusikan, dengan saling terbuka. Akhirnya yang dipilih ialah mengadakan Misa OMK tidak di dalam gedung gereja, dengan musik band yang tidak “merontokkan jantung”. Banyak OMK pintar mengolahnya, bukan musik murahan. Liturgi dalam ruang non gedung gereja maupun outdoor dengan kelompok khusus OMK selalu harus memperhatikan studi dokumen dahulu, menyerap semangatnya dan aplikasinya harus sesuai semangat itu. Pengalaman, karena studi dokumen yang mendalam dalam persiapan, para pemain musik itu bisa memainkankan iringan sedemikian rupa sehingga suasana dinamik tetap integral dengan liturgi yang adalah penghormatan pada Allah dan pengudusan manusia. Mana yang perlu hentakan drum, mana yang tak perlu, mereka tahu dengan baik.

          Keluarga besar kami menjadi Katolik juga karena musik gamelan gaya Yogyakarta, dan saya masih suka menabuh gamelan serta menghayati misa dengan gamelan. Namun, musik gamelanpun tetap mempertimbangkan bahwa hanya gaya tertentu saja yang boleh masuk liturgi. Tak mungkin menyambut Sang Raja Segala Raja dengan irama model “sampakan” yang lekoh dan vulgar gaya tayuban.
          Iringan Rebana Daud untuk memuji Yahwe pun tentu iringan yang bukan untuk mengiringi pesta andrawina murahan.
          Gaya musik Papua pun ada ketukan tertentu yang tidak boleh dilakukan dalam liturgi. Maka, di situlah kita belajar memahami (membaca, taat) pedoman.
          Pedoman dibuat oleh para ahli di bidang masing-masing sebelum disahkan pejabat Gereja. Jika Anda berminat, aktiflah dalam tim liturgi kevikepan atau keuskupan.

          Salam,
          Yohanes Dwi Harsanto, Pr

          • Shalom Katolisitas,

            Kebetulan saya diberi kesempatan pelayanan sebagai organis dan cukup terkejut disebutkan di atas perihal larangan bahkan untuk menggunakan piano di gereja. Padahal, bukankah di banyak gereja termasuk gereja Katedral Jakarta sendiri ada piano sejak lama? Saya juga pernah ikut Misa di mana diiringi oleh kelompok orkestra (tidak hanya alat musik gesek tetapi lengkap dengan brass dan perkusi) dan apabila yang diperkenankan hanya organ, maka menjadi ironis karena yang bermain saat itu adalah para anggota seminari.

            Selain itu, walaupun menggunakan organ semata, bisa saja cara memainkannya menghentak-hentak sementara meski menggunakan piano juga bisa dimainkan dengan suasana yang sakral dan anggun.

            Saya pernah membaca kalau dahulu Gereja Katolik juga pernah melarang wanita bernyanyi sebagai petugas di gereja (pls cmiiw). Sebagai perbandingan, bukankah nyanyian gereja di abad2 awal tidak memakai notasi, tetapi setelah ada notasi dan tangga nada kromatis, musik gereja semakin kaya? Bukankah lagu2 dinyanyikan satu suara, tetapi kemudian menjadi semakin meriah dengan harmoni suara? dan dulu dinyanyikan tanpa bantuan alat musik, lalu kemudian diperindah dengan orgel pipa? Kalau demikian, maka larangan alat musik ini juga dapat berubah suatu hari?

            Terima kasih
            Salam,
            Yustinus

          • Shalom Yustinus,
            Nampaknya yang perlu ditangkap adalah esensinya, yaitu tidak boleh digunakan alat musik yang ribut dan berkesan tidak khusuk (noisy and frivolous) seperti yang jelas disebutkan di dokumen Tra le Sollecitudini, 19,20 tersebut. Namun kalau dimainkan sedemikian, dengan memperhatikan persyaratan musik liturgis, maka alat musik piano bahkan dengan orkestra dapat diizinkan. Dilarangnya alat musik piano, drum, alat musik tiup dan seterusnya, itu berhubungan dengan perkembangan yang terjadi di sepanjang sejarah liturgi. Cardinal Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI), dalam bukunya The Spirit of the Liturgy menjelaskan hal ini, dan menarik untuk disimak, sebab penjabaran perkembangan sejarah musik liturgis menjelaskan kepada kita prinsip-prinsip utama yang harus dipegang dalam musik liturgis, sebagai berikut (disarikan dari tulisan Cardinal Ratzinger, The Spirit of the Liturgy, (San Francisco: Ignatius Press, 2000), p. 147-156):

            Prinsipnya yang pertama adalah “…Musik liturgis harus melayani pelayanan Sabda….” (Cardinal Ratzinger, The Spirit of the Liturgy, (San Francisco: Ignatius Press, 2000), p. 147. Artinya, musik tidak boleh sampai mengalahkan lirik/ doa yang ingin disampaikan. Karena tujuan ini di Gereja- gereja Timur seperti ritus Byzantine tetap mempertahankan murni musik vokal. Di abad pertengahan memang terjadi perkembangan di Gereja Barat, di mana musik vokal tidak dinyanyikan dengan satu suara tetapi beberapa suara (polyphony), dengan koor para pria. Kemudian masuklah penggunaan alat musik di dalam liturgi. Pada masa itu, berkembang musik sekular yang juga turut mempengaruhi musik gerejawi. Musik tidak lagi berkembang dari doa tetapi berkembang sesuai dengan tuntutan artistik dari dirinya sendiri, sehingga menjauhkan diri dari tujuan liturgi. Pada saat inilah Konsili Trente membuat intervensi dan menetapkan ketentuan agar musik liturgis tunduk melayani pelayanan Sabda, yaitu pesan Injil/ doa yang disampaikannya, sehingga jumlah alat musik yang diperbolehkan untuk dimainkan sebagai alat musik liturgis secara substansial dikurangi. Prinsip inilah yang ditegaskan juga oleh Paus Pius X di dalam dokumen tentang musik liturgis yang dituliskannya, Tra le Sollecitudini, yang melarang penggunaan alat musik yang cenderung berisik (noisy) tersebut.

            Prinsip kedua, yang juga penting adalah “…Perbedaan antara musik sekular dan musik sakral liturgis jelas diteguhkan.” (Ibid.) Pada jaman Baroque, memang terjadi perpaduan/ kesatuan antara musik sekular dan musik liturgis. Sebab hampir setiap lagu gubahan Mozart dan Bach dapat merupakan pujian kemuliaan bagi nama Tuhan yang layak dinyanyikan/ dimainkan di dalam gereja. Namun, jika demikian, tetap ada bahayanya, yaitu bagaimana musik liturgi kemudian dapat dijadikan semacam ajang pengalaman subyektif dan penyaluran ‘passion‘ sebagaimana dituntut dalam dunia musik, yang menekankan kepada teknik ataupun mentalitas, yang tidak lagi sesuai dengan maksud liturgi yaitu untuk melayani pewartaan Sabda. Dalam keadaan inilah Konsili Trente kemudian mengintervensi, yang juga ditegaskan kembali oleh Paus Pius X, yang menyatakan bahwa lagu- lagu Gregorian (Gregorian chant) dan paduan suara (polyphony) di jaman reformasi Katolik (contohnya Palestrina) sebagai standar musik liturgis. Dengan demikian dibuat suatu pembedaan antara musik liturgis dan musik religius secara umum; sebagaimana karya seni liturgis dibedakan dengan karya seni religius pada umumnya.

            Prinsip ketiga, adalah dengan masuknya Gereja ke abad dua puluh, maka ada tantangan yang besar sehubungan dengan budaya universal, sehingga Gereja perlu berpikir melampaui (“get beyond“) pola pikir Eropa, untuk masuk ke bagian dunia lainnya untuk memperkenalkan universalitas identitas Kristiani di dalam budaya- budaya lokal (inkulturasi). Di samping itu dewasa ini musik klasik sepertinya menjadi semacam “pulau elit” tersendiri, yang hanya dapat dimainkan oleh sekelompok orang. Kelompok lainnya mungkin termasuk ke golongan musik pop atau bahkan “rock” yang tentu tidak sejalan dengan tradisi musik Kristiani. Musik ‘rock’ dengan ritme, keributan, dan efek- efek lighting seakan membuai dan menenggelamkan penyanyi/ pemusiknya. Di sini Paus tidak mengeluarkan solusi, namun memberikan patokan umum untuk pembaharuan liturgis, yang harus merupakan pembaharuan yang dari dalam dan tidak melupakan esensinya, yaitu bahwa: Musik liturgis berhubungan dengan Sang Sabda, dengan tiga cara:

            1) Musik liturgis berhubungan dengan tindakan penyelamatan Tuhan sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci, dan dihadirkan kembali dalam liturgi. Maka lirik lagu dalam musik liturgis menjadi sangat penting. Itulah sebabnya menyanyi dalam liturgi mempunyai prioritas lebih tinggi daripada musik instrumental, meskipun tidak berarti bahwa musik instrumental tidak termasuk dalam musik liturgi.

            2) Sebagaimana doa adalah karunia Roh Kudus (lih. Rom 8:26), cara doa yang khusus yaitu dengan bernyanyi dan bermain musik di hadapan Tuhan juga adalah karunia Roh Kudus. Kesadaran untuk bernyanyi dan bermain musik bagi Tuhan ini menjaga agar tidak terjadi hal- hal yang tidak rasional dan tidak layak untuk ditampilkan di dalam liturgi.

            3) Liturgi Kristiani adalah liturgi kosmis, yang artinya melampaui/ tidak terbatas pada hubungan individu dengan Tuhan, tetapi merangkum persekutuan para kudus, yang tak terbatas oleh waktu dan tempat. Liturgi merupakan doa pujian kepada Allah yang didoakan bersama dengan para malaikat dan paduan suara surgawi. Liturgi merupakan gambaran dari Yes 6:1-3, di mana dinyanyikan lagu pujian kepada Allah, “Kudus, Kudus, Kuduslah Tuhan….” Dengan demikian, musik liturgi bukan musik yang subyektif dan bukan ekspresi keinginan semata- mata, namun harus didasari oleh sifat kosmis ini, yaitu mengarahkan semua penyembahan kepada Sang Sabda [dengan demikian permainan musik dalam liturgi tidak pernah bersifat sebagai pertunjukan untuk diberi applause, tetapi sebagai doa pujian dan penyembahan kepada Tuhan].

            Nah dengan memahami ketiga prinsip ini, maka memang diketahui bahwa yang terpenting bukan semata pada alat musiknya tetapi juga cara memainkannya. Dalam hal ini, Anda benar, sebab permainan organ/orgel yang menghentak- hentak juga tidak sesuai dengan maksud liturgi, dan jika demikian permainan piano yang baik (bahkan yang diiringin orkestra) dapat sesuai dengan maksud liturgi.

            Untuk itu, kita berpegang kepada ketentuan Konsili Vatikan II, dalam konstitusinya tentang Liturgi, Sacrosanctum Concilium, yang menentukan tentang alat musik liturgi, sebagai berikut:

            “120. Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada Allah dan ke surga.
            Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman.”

            Jadi memang harus diakui, ada perkembangan dalam hal musik liturgis yang terjadi dalam sejarah Gereja. Dengan perkembangan ini, musik liturgis semakin diperkaya, namun terdapat prinsip- prinsip yang harus tetap dipegang di dalam perkembangan itu, yaitu bahwa musik liturgis harus menjadi pelayan bagi pewartaan Sabda, sebagaimana telah diuraikan di atas.

            Demikian yang dapat saya sampaikan menanggapi pertanyaan Anda, semoga berguna.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

             

          • Shalom Bu Ingrid,

            Terima kasih atas waktu dan penjelasan Anda, apapun ketentuan dari Gereja Katolik, akan kami hayati dan ikuti.

            Bertahun-tahun yang lalu ketika saya mulai conduct kelompok koor mudika, waktu misa kami sering menyanyikan lagu dengan akhiran dinamika yang kontras, sehingga memancing tepuk tangan. Ini tidak terlepas dari pengalaman saya ketika bertemu dengan seorang dari gereja lain yang mengatakan, “Kalau di Katolik, lagunya kurang meriah ya… umatnya kurang bersemangat”. Maka saya sering berusaha agar kelompok koor kami berusaha menyanyi “meriah”.

            Setelah membaca beberapa buku mengenai Perayaan Ekaristi, terlebih sejak membaca artikel dan diskusi di Katolisitas mengenai liturgi, saya menjadi lebih menghayati pelayanan kami. Kami membatasi lagu yang dinyanyikan koor sendiri, tetapi lebih banyak nyanyian bersama umat, dari Puji Syukur; cara bernyanyi juga kami sesuaikan. Beberapa umat ada yang mengatakan semacam, “mengapa koor mudika lagunya lebih membosankan?” atau “koor ibu-ibu saja lagunya lebih keren”.

            Tapi yang jelas, kelompok koor mudika kami sekarang sedang belajar, bahwa pelayanan koor saat misa bukan soal memegahkan diri, bukan juga untuk entertainment; meriah bukan soal upbeat dan tepuk tangan, karena orientasi pelayanan bukan perasaan pribadi. Kami juga sedang berusaha menggali kekayaan lagu2 sakral warisan Gereja, termasuk karya Tomas Luis de Victoria, ternyata indah luar biasa…

            Salam,
            Yustinus

          • Shalom Yustinus,
            Sejujurnya saya terharu membaca tulisan Anda. Ya, demikianlah seharusnya sikap kita sebagai murid Kristus, dalam pelayanan kita terhadap Tuhan melalui musik liturgis, yang pertama- tama harus kita ingat adalah kita menyanyi atau bermain musik untuk Tuhan, dan kemuliaan hanya bagi Tuhan. Pemahaman ini akan sangat menjiwai nyanyian ataupun permainan musik yang kita lakukan. Semoga penghayatan Anda juga sampai kepada semua anggota koor yang Anda pimpin, sehingga lagu- lagu yang dinyanyikan tidak hanya berupa untaian nada dan kata, tetapi sungguh adalah ungkapan doa dan iman kepada Allah. Dengan semangat ini, walaupun lagunya ‘hanya’ dari Puji Syukur, namun percayalah akan tetap hidup dan mengangkat hati umat. Berdoalah agar Roh Kudus memampukan Anda dan seluruh anggota koor Anda untuk melakukan pelayanan yang penting ini.
            Benar, bahwa warisan musik liturgis dalam Gereja Katolik sungguh kaya, dan bersyukurlah, jika Anda dapat menggalinya dan menghidupkannya kembali.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

          • Rm Santo dan Ibu Ingrid yang terkasih,
            Terima kasih atas response dari Anda berdua. Saran Rm Santo tentang keterlibatan itu sudah saya lakukan, meski tidak banyak. Makasih atas sarannya. Dari apa yang kita diskusikan, pertama, ada satu hal yang sebenarnya sependapat yakni bahwa liturgi haruslah dipersiapkan dengan matang, karena merupakan pemujaan kepada Allah, liturgi ekaristi itu luhur dan suci. Tetapi, yang ingin saya katakan (dan dijawab oleh Rm Santo) adalah bahwa supaya kita tidak mudah MENGHAKIMI sebuah usaha dari kaum awam yang bersama dengan para klerus sebagai Umat Allah sebagai Benar atau Salah, Boleh atau Tidak Boleh, atau malah Suka atau Tidak Suka, (termasuk mngatakan setiap band itu pasti Hingar Bingar!!). Harus DIDISKUSIKAN, dengan saling terbuka, kata Rm Santo. Menghakimi sebuah Misa yang sudah terjadi adalah ABUSE!!

            Kedua, masih ada masalah, selain soal ‘improvisasi’ untuk kalangan tertentu, bagaimana dengan Ekaristi yang bisa berdampak sosial (ini yg saya maksud dengan pewartaan-Kerygma, yang tak lepas dari Diakonia), seperti bagaimana Ekaristi mewartakan cinta pada alam semesta (Misa Alam seperti di Paroki Sumber, Magelang), atau Ekaristi untuk mewartakan cinta bangsa-negara+keadilan sosial+anti korupsi (Misa Sumpah Pemuda/Tujuh Belasan/dll, yang menggunakan musik -kadang langgam keroncong, kadang band, kadang model campuran (ada organ, drum, flute, violin, plus saron, kendang, dan sindennya) dan menyanyikan lagu-lagu kebangsaan yg kadang ada unsur ilahinya kadang tidak), mungkinkah ada improvisasi?? Tentu, unsur pokok (materia dan forma sacramenti nya) gak bakal diimprovisasi. Tetapi, musik dan lagu-lagunya diimprovisasi shg mampu menyampaikan pesan cinta alam, keadilan, dll. Saya punya pengalaman dengan hal ini.

            Ketiga, saya masih belum puas dengan jawaban Ibu Ingrid No. 2. “Prinsip umum adalah bahwa musik gerejawi adalah musik yang kudus, tidak mengandung profanitas.”
            Kalimat dokumen “Musik gerejawi harus kudus, dan karena itu harus, tidak memasukkan segala profanitas tidak hanya di dalam dirinya sendiri, tetapi juga di dalam cara penyampaiannya oleh para pemusik yang memainkannya.” BERBEDA artinya dengan “kita harus mengadakan pemisahan antara yang sakral dan yang profan”. Dan, kalimat itu sama sekali tidak berarti “Paus mengatakan agar jangan memasukkan unsur- unsur profan di dalam musik sakral gerejawi/ musik liturgis”. Argumentasi Ibu: Sebab sebelum kita dapat untuk tidak memasukkan hal yang profan ke dalam yang sakral, maka kita harus dapat membedakan antara keduanya, supaya kita tidak mencampur adukkan keduanya. Dalam konteks musik, jika disebut musik profan maksudnya adalah musik sekular, sedang musik sakral adalah musik yang khusus untuk musik liturgi”.
            Menurut saya, kalimat dokumen itu maksudnya begini: Adalah DILARANG KERAS untuk tetap membawa hal-hal (benda dan tindakan) yang dalam dirinya profane (tidak mungkin disucikan atau mengungkapkan hal suci, dalam dirinya jahat). Misalnya: alat musik dari kepala manusia, kulit manusia, dimainkan dengan cara jumpalitan a la konser rock. Nah, itu baru bisa diterima., bahwa hal-hal itu per se profane, shg tidak dimasukkan dalam liturgi.
            Tetapi, kalau alat-alat musik yang sekarang ada dan wajar digunakan, bukankah semuanya itu alat musik profane (termasuk organ), ketika dipakai di luar liturgi? Kalau dipakai dalam liturgi dengan gaya permainan yang hormat, santun dan penuh penyembahan pada Allah, seperi OMK yang disharingkan Rm Santo, bukankah membawa pada kesucian?? Yang profane bisa disakralkan.
            Lalu, ibu membedakan tiga macam kualitas: sakral, profan dan netral. Menurut saya, ini pembedaan yang (maaf!) menyesatkan. Dalam logika biner hanya ada dua sisi, tidak mungkin tiga, yaitu kalau tidak sakral ya pasti profan, dan sebaliknya, kalau tidak profan ya sakral. Netral? Sama dengan profan. Hosti, anggur, air dan minyak yang belum diberkati itu profane (irreligious, unconsecrated, unholy, heathen; pagan, not initiated into religious rites or mysteries.), tidak ada unsur sakramental di dalamnya. Dalam hal musik, seperti di atas, kalau dalam dirinya profane (tak mungkin disucikan atau membawa pada kekudusan) memang itu profane sejati. Tetapi, ada alat-alat musik yang profane bisa disucikan dan membawa pada kesucian.
            Jadi, tidak perlu dipisahkan yang profane dan yang sakral. Malah disatukan!! Dan yang sakral pasti lebih unggul dari pada yang profane!!. Yang sakral mensakralkan yang profane!! Bukankah itu juga daya guna liturgi: menyucikan dunia!!
            Contoh: Bagaimana jenis musik langgam & keroncong (yang profane itu) dipakai dalam liturgi. Bukankah ini sebuah keuntungan bagi iman kita?
            Terima kasih.
            Salam
            Love God, Love the Church
            Cinta@Jogja

          • Shalom Cinta,

            1. Hingar bingar

            Agaknya anda salah paham jika menganggap bahwa kami mengatakan bahwa setiap band itu pasti hingar bingar. Kami tidak mengatakan demikian. Tetapi kami mengatakan bahwa band mempunyai potensi, dapat menciptakan suasana hingar bingar. Kata hingar bingar ini kami pilih sebagai terjemahan dari kata “noisy and frivolous”  (terjemahan lainnya adalah ribut dan tak beraturan) seperti yang disebutkan dalam dokumen Tra le Sollecitudini yang ditulis oleh Paus Pius X tersebut, klik di sini, pada point 19 dan 20. Jika komunitas Anda memainkan band tidak demikian, maka tidak perlu merasa tersinggung dan menuduh kami menghakimi, karena tidak ada yang sedang menghakimi ataupun dihakimi di sini. Kami hanya menyampaikan apa yang tertulis dalam dokumen tersebut, dan bagaimana korelasinya jika ingin diterapkan di sini.

            2 & 3 Improvisasi dan profanitas

            Selanjutnya tentang improvisasi dalam musik dan lagu pujian tentu saja diperbolehkan sepanjang masih menerapkan prinsip- prinsip umum musik liturgis, yaitu sebagaimana disampaikan di dalam dokumen Tra le Sollecitudini yaitu (lihat point 1 dan 2):

            1. Fokusnya adalah untuk kemuliaan Tuhan, pengudusan dan pendidikan/kemajuan rohani umat, menyumbangkan kemuliaan perayaan gerejawi; ‘membungkus‘ teks liturgis dengan melodi yang cocok agar dapat dimengerti umat, agar teks tersebut dapat lebih dihayati.
            2. Musik tersebut harus memiliki derajat tertinggi, dalam hal kesucian dan kebaikan bentuknya.

            Selanjutnya di prinsip kedua ini, disebutkan apa yang menjadi keberatan Anda:

            It must be holy, and must, therefore, exclude all profanity not only in itself, but in the manner in which it is presented by those who execute it.” Terjemahannya: “Musik tersebut harus kudus, dan karena itu, harus tidak memasukkan segala yang bersifat profan, tidak hanya di dalam dirinya sendiri, tetapi juga di dalam cara dimainkannya oleh pemusiknya.”

            Maka yang mengatakan demikian itu bukan saya pribadi, tetapi Paus Pius X dalam dokumennya tentang Sacred Music (Tra le Sollecitudini) tersebut.

            Selanjutnya, Paus juga melanjutkan bahwa musik liturgis tersebut harus benar- benar seni musik (true art) yang dapat diapresiasi dengan baik secara universal oleh bangsa manapun (“….these forms must be subordinated in such a manner to the general characteristics of sacred music that nobody of any nation may receive an impression other than good on hearing them.”)

            Maka apa yang disampaikan oleh Paus Pius X hanya merupakan penegasan dari apa yang diajarkan dalam Konsili Trente (Seas. XXII), “All musical forms, whether for the organ or for voices, which are of a frivolous or sensuous character, should be excluded from the Church.”

            Dalam artikel tentang Musik gerejawi di New Advent Catholic Encyclopedia, yang seutuhnya dapat dibaca di link ini, silakan klik, dapat dibaca bahwa maksud profanitas dalam musik berhubungan dengan karakter tak beraturan dan sensual (frivolous or sensuous) tersebut. Maka dikatakan organ merupakan alat musik yang dapat secara lebih luas mencegah kesan tersebut, “The nature of the organ is, to a great extent, a protection against its misuse; its power and fullness lend themselves admirably to the majesty of the Divine service, while other instruments more readily serve profane purposes.”

            Maka walaupun memang berbagai alat ataupun irama musik dapat memperkaya, namun jangan sampai hal itu mengaburkan musik vokal yang ingin diiringinya, sebab pada dasarnya musik liturgi adalah musik vokal, yaitu doa yang dinyanyikan. Dengan demikian, alat musik gunanya adalah untuk mengiringi nyanyian, dan meskipun penting, tidak menjadi yang utama.

            There is no doubt but that those qualities absolutely necessary to church music, namely modesty, dignity, and soulfulness, are more inherent in the purely vocal style than in any other. Reserve and humble restraint befits the house of God. Sentimental and effeminate melodies are incompatible with the dignified seriousness of the polyphonic a capella style, and a composer’s temptation to indulge in them is more easily counteracted by this style than any other. Like the external attitude of the worshipper in church, the vocally interpreted liturgical word and the organ-playing must be respectful and decorous. That vocal music is in general more expressive than the mechanically produced tone of instruments is undeniable. Religious feeling finds its most natural expression in vocal utterance, for the human heart is the source of both devotion and song.”

            Dengan prinsip ini, maka permainan organ dengan tempo dan ritme yang teratur lebih sesuai digunakan sebagai musik liturgis daripada alat musik lain ataupun orkestra yang dimainkan dengan ritme musik yang dapat berubah- ubah sesuai dengan mode yang disusun oleh komposernya (atau dibawakan oleh dirigennya).

            From these considerations it follows that the tone quality, tempo, and rhythm of vocal music accompanied 1y the organ are more in conformity with the religious mood than is the character of orchestral instruments. The organ can indeed be sweeping and powerful, but its tone volume is always more even, and is not so subject to the arbitrary will of the player as is the orchestra. Orchestral instruments permit of a wide range in the division and subdivision, retarding, and acceleration of time — subtleties which are not conducive to the calm necessary for prayer. The same holds good with regard to rhythm. Just as the great flexibility, the frivolous or passionate character of irregular rhythm in general are expressive of a worldly, superficial, and restless mood, so is reposeful and symmetrical rhythm expressive of and conducive to a prayerful mood. A slow and orderly movement is more in keeping with the nature of the organ.”

            Maka, jika sampai ingin digunakan alat musik lain selain organ, dan sudah disetujui oleh pihak otoritas Gereja, maka prinsip yang harus digunakan di sini adalah menjaga kualitas nada, tempo dan ritme/ irama, yang harus teratur sedemikian yang dapat mendukung suasana doa. Organ dipandang sebagai alat musik yang lebih cocok untuk musik liturgis, mengingat kualitas suara, nada yang dihasilkannya lebih mendukung suasana doa. Walaupun memang organ juga dapat digunakan dalam musik sekular, tetapi secara umum kita mengetahui bahwa nada, ritme ataupun mode suara organ yang dipilih untuk musik sekular umumnya tidak sama dengan yang digunakan pada musik gerejawi.

            Selanjutnya, sebagai kesimpulan dikatakan demikian:

            It is as important today as ever that we carefully distinguish between simply religious music — be it never so beautiful, artistic, and conducive to private devotion — and that kind of music which the Church requires for her services. Outside of the Church each one may sing such melodies to religious texts as best satisfy his own pious mood; he may even indulge his æsthetic predilections in choosing his hymns. The house of God, however, demands an entirely different attitude; we must realize that we are there to pray, that we may not force our personal mood on our fellow Christians, but that, on the contrary, we must follow with devout attention and pious song, according to the will and in the spirit of the Church, the liturgical action at the altar. And, in according to the Church our filial obedience, we need entertain no fear that she, the venerable mother and protector of the arts, will assign to music a function unworthy of its powers.

            Maka mari kita membatasi pembicaraan tentang profanitas ini dalam hal musik, dalam topik yang sedang kita bahas. Anda mempertentangkan sakral dan profan, sedangkan saya tidak memakai istilah tersebut karena bisa menjadi rancu, sebab tidak semua hal yang unholy (profan) tersebut dapat disakralkan. Maka yang disakralkan itu saya beri istilah netral, yaitu yang dalam sakramen dikenal dengan sebutan sebagai materia. Saya sendiri tidak pernah membaca bahwa materia itu adalah benda profan. Sebab istilah ‘profan’ cenderung mempunyai konotasi negatif yang secara diametrik bertentangan dengan kekudusan. Silakan Anda ketik di kamus Inggris- Indonesia, maka di sana dikatakan bahwa terjemahan ‘profane‘ adalah kotor, duniawi, najis, tidak suci, murtad, mencemarkan. Sedangkan hal materia di sini, seperti air, minyak, atau apapun yang lain yang digunakan dalam ibadah Gereja tidak mempunyai konotasi ke arah sana. 

            KGK 1218    Sejak awal dunia, air – ciptaan yang sederhana, tetapi mengagumkan ini – adalah sumber kehidupan dan kesuburan. Menurut Kitab Suci ia seakan-akan dinaungi oleh Roh Kudus (Bdk. Kej 1:2):
            “Sudah sejak awal ciptaan Roh melayang-layang di atas air dan memberi kekuatan kepadanya, supaya menyelamatkan dan menguduskan” (MR, Malam Paska 42: Pemberkatan air pembaptisan).

            Maka tidak semua ciptaan/ mahluk di dunia itu berkonotasi profan/ cemar.

            Dalam konteks musik liturgis, profanitas maksudnya adalah unsur- unsur musik duniawi. Magisterium Gereja Katolik sudah memberi ketentuan, agar segala unsur yang mengarah kepada musik duniawi ini, tidak dimainkan/ dinyanyikan di dalam upacara liturgis Gereja. Sebenarnya itu saja intinya. Jika mau dibuat improvisasi, silakan, namun sepanjang prinsip utama ini diperhatikan (lihat point 1 dan 2 dalam Tra le Sollecitudini).

            4. Tidak perlu dipisahkan yang profane dan yang sakral?

            St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa kata kekudusan/ kesucian mengacu kepada suatu yang murni (terpisah dari yang tidak murni) dan keteguhan. Dalam bahasa Inggrisnya “purity/separation from unholy things, and firmness” (lihat Summa Theology, II-II: q. 81,a.8); dan dalam hal ini kemurnian/ keterpisahan ini berkaitan dengan pemisahan dari hal- hal duniawi. Silakan selanjutnya membaca arti “holiness” di link ini, silakan klik.

            Maka Anda benar bahwa tujuan sakramen dan bahkan Gereja adalah untuk menguduskan dunia, tetapi dalam proses dan caranya bukan berarti bahwa segala sesuatunya disatukanlah hal yang sakral dan sekular sampai tidak ada bedanya. Sebagai contohnya, St. Thomas menjelaskan, “All who worship God may be called ‘religious’, but they are specially called so who dedicate their whole lives to the Divine worship, and withdraw themselves from worldly concerns, just as those are not termed ‘contemplatives’ who merely contemplate, but those who devote their whole lives to contemplation”. The saint adds: “And such men subject themselves to other men not for man’s sake but for God’s sake”, words which afford us the keynote of religious life strictly so-called.” (ST, II-II, q. 81,a.7). Maka dalam proses menguduskan ini, justru hal kudus harus dijaga agar tetap kudus (contohnya para religius/ biarawan dan biarawati) dalam Gereja. Mereka menguduskan dunia tanpa harus menyatukan diri sepenuhnya dengan dunia. Mereka tetap menjalankan aturan religius mereka, memakai jubah dan mematuhi aturan biara, dan dengan demikian mereka dapat memberikan teladan kekudusan kepada dunia yang ingin dikuduskan.

            Dengan prinsip yang sama kita memahami bahwa semua musik yang ditujukan untuk memuji Tuhan dapat disebut musik rohani, tetapi istilah musik rohani untuk penyembahan liturgis (sacred music) adalah musik yang tidak memasukkan unsur- unsur musik duniawi  di dalamnya. Musik liturgis mempunyai aturannya sendiri, yang tidak harus sama atau menerima semua unsur musik sekular. Sebab musik liturgis harus mendukung vokal yang merupakan doa dan ungkapan iman Gereja, dan bukan hanya lagu yang pertama- tama untuk menyampaikan perasaan.

            Silakan Anda menyimak jawaban Cardinal Arinze tentang dapatkah musik sekular dimainkan di Misa, di sini, silakan klik. Dalam keterangannya kitapun dapat melihat bahwa pada dasarnya harus dibedakan; musik yang cocok dimainkan di perayaan Ekaristi, dan musik yang tidak cocok dimainkan di perayaan Ekaristi.

            Demikianlah yang dapat saya sampaikan sehubungan dengan komentar Anda. Selanjutnya tentang musik liturgis, silakan mendiskusikannya dengan otoritas Gereja setempat, yaitu pihak ordinaris keuskupan, sebab pada akhirnya uskup-lah yang berhak menentukan apakah suatu musik/ alat musik dapat disetujui untuk untuk dimainkan sebagai pengiring dalam upacara liturgi di dalam keuskupannya.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

             

          • Shalom Ibu Ingrid,
            Terima kasih banyak atas tanggapan – diskusi – yang luas dan mendalam ini. Senang sekali saya atas tanggapan ibu, sehingga membuka banyak hal baru dalam musik liturgi. Dengan diskusi yang terbuka seperti ini, saya berharap kita sebagai orang katolik – indonesia, tidak menjadi takut untuk membuat sebuah usaha pembaruan liturgi terus menerus, mengingat ketika kita membaca pertama kali tentang musik berpotensi hingar bingar dan dilarang dimainkan oleh Tra le Sollecitudini, pandangan kita diarahkan pada musik band yang (hanya) berpotensi untuk itu. Hal itu terjadi karena seringkali kata-kata dokumen hanya dipahami sebagai larangan dan diperbolehkan (lihat komentar Sdr. Yustinus no. 6.1.1.1.1 — ada dua larangan: piano dan wanita), bukan sebagai sebuah usaha penjelasan atas pencarian iman.

            FABC mengingatkan kita untuk terus menerus menjadi orang katolik-asia sesungguhnya dan berliturgi dalam konteks kita di Asia (yang mungkin berkesan-berkonotasi asing dengan ‘bahasa musik organ’). Kata para Bapa Uskup Asia (1991) “Prejudices are very much alive in Asia. As a social institution the Church is perceived as a foreign body in its colonial origins, while other world religions are not. The lingering colonial image survives in its traditional ecclesiastical structures and economic dependence on the west. This gives ground for suspicion. The Church is even sometimes seen as an obstacle or threat to national integration and to religious and cultural identity. The Church remains foreign in its lifestyle, in its institutional structures, in its worship, in its western-trained leadership and in its theology. Christian rituals often remain formal, neither spontaneous nor particularly Asian”

            Maka, (i) kalau “The Church is at its deepest level a communion (koinonia), and thus in its essential reality a sacrament (mysterium et sacramentum) of the loving self-communication of God and the graced response of redeemed mankind in faith, hope and love” (FABC III, article 7.1), (ii) “its eucharistic assembly is the paradigmatic realization of its inner life as participation in the mystery of Christ, the people of God, and the fellowship of the Holy Spirit: the Church from the Trinity (Ecclesia de Trinitate)” (Theses on the Local Church, Thesis 4, article 4.02) ; and (iii) liturgy is “always an act of the Church’s self-understanding and self-expression,”

            Dalam hal ini, inkulturasi musik liturgi, yang di dalamnya ada improvisasi, yang di dalamnya mungkin memakai musik-musik netral – bukan profan – adalah sesuatu yang harus dilakukan, kalau kita memang mencintai iman kita. Dulu, kata seorang Pastor, seorang uskup pernah mengatakan “Kalau baik kita ikut senang, kalau kurang baik dimaafkan”. Saya yang berkecimpung di dunia orang muda lega dengan kata-kata Bapa Uskup ini.
            Terima kasih.
            Love God – Love the Church
            Cinta@Yogya

          • Shalom Cinta,
            Terima kasih juga atas keterbukaan Anda dalam diskusi ini. Sungguh beruntunglah kita sebagai umat Katolik, karena kita mempunyai pegangan yang jelas dalam suatu diskusi, yaitu pengajaran dari Magisterium Gereja, sehingga tidak perlu kita saling berkeras mempertahankan pendapat pribadi.

            Dalam hal liturgi, yang adalah “karya publik” Gereja, maka pasti ada keterlibatan langsung dari Gereja dalam perkembangannya. Namun apapun juga perkembangan liturgi, tidak dapat meninggalkan prinsip utamanya, bahwa apa yang didoakan/ dinyanyikan adalah pernyataan iman (lex orandi lex credendi), sehingga ini berpengaruh juga terhadap lagu- lagu dan alat musik yang dipilih, yaitu apakah semua itu dapat membantu umat untuk berdoa dan menyatakan iman. Di Asia, mungkin saja alat musik yang digunakan tidak sama dengan yang di Eropa, tetapi prinsip utama bahwa lagu-lagu dan alat musik untuk liturgi tidak boleh disamakan dengan yang lagu- lagu dan alat musik sekular. Dengan pengertian ini, maka mari kita terima bersama bahawa irama lagu rock dan dangdut, dengan alat musik untuk mendukung irama tersebut, tidak cocok untuk dimainkan sebagai musik liturgi.

            Seiring dengan berjalannya waktu, dapat saja diadakan penyesuaian dalam liturgi, terutama di Asia, tetapi tanpa mengorbankan prinsip dasarnya. Tentang musik liturgi, kadang dimungkinkan penyesuaian ini, sejauh sudah disetujui oleh pihak Ordinaris/ keuskupan. Maka mungkin baik kita ingat tiga prinsip sederhana dalam musik liturgi yang diajarkan oleh Cardinal Arinze, yaitu harus: 1) mendalam secara teologis (theologically deep), 2) berakar secara liturgis (liturgically rooted), dan 3) dapat diterima secara musikal (musically acceptable).

            Dengan demikian saya menutup diskusi tentang musik liturgi ini, semoga berguna bagi semua yang membacanya.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

  13. Bu Ingrid yang baik
    Terima kasih atas komentar dan tanggapannya..
    Semoga tidak ada lagi pelanggaran dalam Liturgi, untuk apapun alasannya kecuali sudah diterbitkan IJIN dari pihak ordinaris setempat…

    Pax Christi..

  14. Shalom Pastor Dwi..
    Saya juga mendapat refernsi dari http://www.adoremus.org/MotuProprio.html#anchor40146479 pada point 20 tertulis ” It is strictly forbidden to have bands play in church, and only in special cases with the consent of the Ordinary will it be permissible to admit wind instruments, limited in number, judiciously used, and proportioned to the size of the placeprovided the composition and accompaniment be written in grave and suitable style, and conform in all respects to that proper to the organ”

    Saya dan beberapa teman lain dalam jejaring sosial FB yang prihatin adanya pelanggaran pada Misa Kudus, merasa bingung dengan kejadian ini, di satu sisi, kami (saya dan teman-teman lain) meyakini bahwa aturan dari Dok. Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci/SC 112 dan 120 -121 tidak direvisi, namun pelanggaran seperti ini kerap terjadi.
    Memang saya dan beberapa teman, belum mengajukan saran kepada penyelenggara dan Bapa Uskup, saya ingin mendapat kejelasan berdasarkan Dokumen Gereja dan pendapat team Katolisitas mengenai Misa TLC itu sudah terjadi ABUSE atau masih dalam batas kewajaran?

    Jika masih dianggap wajar, mohon juga kami bisa mendapat sedikit dokumen yang bisa kami diskusi bersama teman-teman lain.
    Terima kasih…

    Pax Christi

    • Shalom Steve,

      Terima kasih atas informasi yang anda berikan sehubungan dengan dilarangnya penggunaan band seperti yang jelas tertulis dalam Motu proprio yang dikeluarkan oleh Paus Pius X tahun 1903 tentang Instruksi dalam hal Musik sakral gerejawi. Izinkan saya menyampaikan terjemahannya:

      “20. Dilarang keras menggunakan alat musik band di dalam gereja, dan hanya di dalam kondisi- kondisi khusus dengan persetujuan Ordinaris dapat diizinkan penggunaan alat musik tiup, yang terbatas jumlahnya, dengan penggunaan yang bijaksana, sesuai dengan ukuran tempat yang tersedia dan komposisi dan aransemen yang ditulis dengan gaya yang sesuai, dan sesuai dalam segala hal dengan penggunaan organ.”

      Alasannya berhubungan dengan point 19, yaitu alat musik yang ribut dan berkesan tidak serius (noisy and frivolous) memang dilarang untuk digunakan di dalam liturgi seperti drum, cymbal, bermacam bell dan sejenisnya.

      Selanjutnya, izinkan saya mengutip perkataan Paus Yohanes Paulus II dalam surat Ensikliknya, Ecclesia de Eucharistia (2003) sebagai berikut:

      “Perlu disesalkan bahwa, terutama di tahun- tahun setelah reformasi liturgi setelah Konsili Vatikan II, sebagai hasil dari rasa kreativitas yang tidak terbimbing dan adaptasi, terdapat banyak kasus pelanggaran (abuse) yang telah menjadi sumber penderitaan/ kesusahan bagi banyak orang. Reaksi menentang “formalisme” telah memimpin beberapa orang, terutama di daerah- daerah tertentu, untuk menganggap bentuk- bentuk yang dipilih oleh tradisi liturgi Gereja yang agung dan Magisteriumnya sebagai sesuatu yang tidak mengikat dan [mereka] memperkenalkan inovasi-inovasi yang tidak sah dan yang sering sama sekali tidak patut.

      Saya menganggapnya sebagai tugas saya untuk memohon dengan sangat bahwa ketentuan/ norma liturgis bagi perayaan Ekaristi dilaksanakan dengan kesetiaan. Ketentuan- ketentuan ini adalah ekspresi nyata dari kodrat gerejawi yang otentik dari Ekaristi; ini adalah artinya yang terdalam. Liturgi tidak pernah menjadi milik pribadi, entah itu selebran maupun komunitas di mana misteri tersebut dirayakan….. Imam-imam yang dengan setia merayakan Misa sesuai dengan ketentuan liturgis, dan komunitas- komunitas yang menyesuaikan dengan ketentuan- ketentuan tersebut, dengan tanpa bersuara namun dengan sangat fasih membuktikan kasih mereka kepada Gereja. Justru untuk memperjelas makna yang lebih dalam tentang ketentuan liturgis, saya telah meminta ofisi yang kompeten di Roman Curia untuk mempersiapkan dokumen yang lebih mendetail, termasuk rumusan kodrat yuridis tentang topik yang sangat penting ini. Tak seorangpun diizinkan untuk merendahkan misteri yang dipercayakan kepada tangan kita: terlalu ekstrimlah bagi seseorang untuk merasa bebas memperlakukan hal itu dengan remeh sehingga kesakralannya dan ketentuan universalnya menjadi dikaburkan.” (EdE, 51-52)

      Dokumen yang lebih mendetail ini dikeluarkan kira- kira setahun berikutnya, oleh Congregation for Divine Worship and Discipline of the Sacraments, yang berjudul Redemptoris Sacramentum (RS). Beberapa point yang berkenaan dengan ketentuan umum yang dapat berpengaruh kepada musik liturgi adalah sebagai berikut:

      1. Secara prinsip dokumen ini mengingatkan rumusan hubungan antara lex orandi dan lex credendi: perkataan doa (termasuk nyanyian) merupakan pernyataan iman Gereja, dan karena itu bersumber pada Kitab Suci (lih. RS 9, RS 10, Sacrosanctum Concilium 24).

      Dengan demikian perlu dihindari penggunaan lagu- lagu pop rohani yang syairnya tidak secara langsung mengambil sumber dari Kitab Suci; ataupun lagu- lagu yang syairnya tidak berhubungan/ tidak sesuai dengan pernyataan iman Katolik.

      2. Pengaturan Liturgi Suci tergantung sepenuhnya pada otoritas Gereja, yang bersandar pada Tahta Apostolik dan sesuai dengan ketentuan hukum, pada Uskup (lih. RS 14). Menjadi bagian dari Uskup, di dalam batas- batas kompetensinya, untuk menerapkan ketentuan liturgis di keuskupannya, namun adaptasi yang dapat dilakukan harus memperhatikan cara yang layak/sesuai dengan bangunan gereja, atau kelompok umat beriman yang hadir atau keadaan pastoral yang khusus sehingga ritus yang sakral tersebut dapat dipahami (lih. RS 21).

      Uskup berhak menentukan penerapan ketentuan liturgis dan melakukan penyesuaian jika diperlukan, tetapi tetap harus bersandar kepada apa yang ditentukan oleh Tahta Apostolik.

      3. Adalah menjadi hak semua umat sendiri bahwa Uskup harus memperhatikan untuk mencegah kejadian pelanggaran/ abuse dalam disiplin gerejawi, terutama dalam penyampaian Sabda Tuhan, perayaan sakramen dan sakramental, penyembahan kepada Tuhan dan devosi kepada Santo/a (lih. RS 24).

      Umat sendiri mempunyai tugas dan hak untuk mencegah pelanggaran- pelanggaran yang terjadi di dalam liturgi.

      4. Walaupun Konsili mendorong partisipasi umat secara aktif di dalam liturgi (dalam aklamasi, tanggapan, Mazmur, antifon dan lagu- lagu maupun gerakan- gerakan penghormatan dalam liturgis), namun tetap menyerukan keheningan sakral agar tetap dipertahankan pada waktu- waktu yang sesuai (lih. RS 39).

      Dengan demikian tidak pada tempatnya jika Misa dirayakan dengan riuh rendah sepanjang perayaan berlangsung. Saat saat hening diperlukan misalnya sesaat sebelum Misa dimulai, setelah homili atau sesaat setelah Komuni.

      5. Adalah menjadi hak umat, terutama di perayaan Misa hari Minggu, agar dimainkan musik sakral gerejawi yang sejati dan sesuai (RS 57).

      Umat berhak mengusahakan adanya musik gerejawi yang dimainkan dalam Misa hari Minggu, seperti adanya koor dan pengiringnya, namun kesakralan musik tersebut harus dijaga.

      6. Tidak diperkenankan untuk menghapus atau mengganti bacaan- bacaan Kitab Suci atas inisiatif sendiri, secara khusus “mengganti teks-teks yang non biblis dari bacaan- bacaaan -baik bacaan pertama, kedua, Injil dan Mazmur, yang mengandung Sabda Tuhan.” (RS 62, Missale Romanum, Institio Generalis, 57).

      Dengan demikian, tidak diperkenankan mengganti Mazmur Antar Bacaan dengan lagu rohani. Jika tidak dapat dinyanyikan, Mamur dapat dibacakan saja, tetapi tidak diganti dengan lagu lain, sebab Mazmur merupakan satu kesatuan dengan bacaan lainnya dalam Liturgi Sabda.

      7. Ketika imam mengatakan Doa Syukur Agung, “tidak boleh ada doa- doa atau nyanyian lain, dan iringan organ atau alat musik lainnya harus berhenti/ diam” (Missale Romanum, Institutio Generalis, 32), kecuali aklamasi umat yang telah disetujui, yaitu “prefasi, Kudus, aklamasi setelah konsekrasi dan Amen setelah doksologi, dan aklamasi lain yang disetujui oleh konferensi Uskup dengan persetujuan/ recognitio dari Tahta Suci.” (Ibid., lih. EdE, 28, RS 53,54)

      Maka tidak diperkenankan permainan alat musik instrumental pada saat Doa Syukur Agung didaraskan. Demikian pula teks aklamasi yang diperkenankan adalah yang sesuai dengan TPE.

      8. Semua umat berhak terhadap perayaan Ekaristi yang telah dipersiapkan sebelumnya, di dalam semua bagiannya, di mana Sabda Tuhan dibacakan dan dijelaskan dengan layak, dan teks liturgi dan ritus dilaksanakan dengan sungguh- sungguh sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan iman mereka dijaga dan dikuatkan dengan perkataan yang dinyanyikan dalam perayaan liturgi (lih. RD 58)

      Dengan demikian, teks liturgi, termasuk yang umumnya dinyanyikan yaitu-Tuhan Kasihanilah, Kemuliaan, Kudus, Anak Domba Allah- dan Bapa Kami tidak dapat diubah, diganti atau dinyanyikan dengan syair yang berbeda dari teks yang sudah disetujui oleh pihak otoritas Gereja.

      9. Adalah layak jika “tiap-tiap orang memberi salam damai hanya kepada orang- orang terdekat dan dengan cara yang tidak berlebihan. Imam dapat memberi salam damai kepada para pelayan ibadah tetapi tetap berada di sanctuary (daerah altar). (lih. RS 72)

      Oleh karena itu, tidak diperlukan lagu Salam Damai yang panjang dengan iringan yang riuh rendah. Umat tidak perlu berjalan- jalan pada waktu memberi Salam Damai dan imam tidak perlu sampai turun dari altar. Maksudnya agar perhatian umat tidak terpecah dari fokus utama yang terpenting yang terjadi sesudahnya, yaitu perayaan kurban Kristus yang wafat dan bangkit, yang dilambangkan dengan pemecahan hosti pada saat doa Anak Domba Allah diucapkan.

      10. Harus dihindari perayaan Misa yang diadakan hanya seperti untuk pertunjukan (show) atau dengan cara perayaan lain seperti perayaan profan, sebab jika tidak, Ekaristi kehilangan makna otentiknya (lih. RS 78). Pengajaran yang tetap dari Gereja adalah kodrat Misa Kudus bukan hanya perjamuan tetapi yang terutama adalah kurban, di mana mengundang partisipasi umat di dalam sakramen yang agung ini (RS 38).

      Dengan demikian, tidak pada tempatnya jika lagu- lagu yang dipilih adalah lagu- lagu pop yang umum dinyanyikan di luar ibadah Gereja, atau lagu pop yang liriknya diganti. Juga harus dihindari lagu- lagu yang semuanya berirama cepat, yang tidak sesuai dan tidak membawa umat kepada penghayatan bahwa saat itu kurban Kristus sedang dihadirkan kembali di tengah mereka, dan umat juga mempersembahkan kurban syukur maupun permohonan yang disatukan dengan kurban Kristus itu. Selanjutnya, karena perayaan Ekaristi bukan pertunjukan, maka segala pertunjukan tari- tarian maupun pertunjukan kebolehan memainkan alat musik seperti di dalam pertunjukan, yang mengundang tepuk tangan umat, juga tidak sejalan dengan ketentuan ini. Sebab untuk mengenang wafatnya seseorang tidak layaklah kita menari ataupun bertepuk tangan, apalagi jika yang diperingati wafatnya adalah Tuhan kita. Jadi partisipasi yang dimaksud di sini bukan partisipasi untuk menunjukkan prestasi, tetapi partisipasi di dalam batin, yaitu kita mempersatukan kurban kita dengan kurban Kristus, agar kita juga menerima buah pengorbanan-Nya itu.

      Selanjutnya, secara lebih mendetail hal tentang musik Liturgi juga dapat dibaca di dokumen ini: Musicam Sacram (Instruksi tentang Musik Liturgi), silakan klik.

      Jadi, jika mengikuti ketentuan di atas, dan menyikapi ‘kebutuhan’ umat yang ingin memuji Tuhan dengan iringan band, maka yang mungkin dilakukan, menurut hemat kami adalah:

      a. Mengadakan ibadah perayaan Ekaristi bukan di dalam bangunan gereja, misalnya di Aula gereja.

      b. Ekaristi dengan didahului oleh puji- pujian dengan iringan band. Sesaat sebelum perayaan Ekaristi dimulai adakan saat- saat hening, dan selama perayaan Ekaristi, tidak ada iringan band.

      c. Setelah perayaan Ekaristi selesai, dapat dilanjutkan lagi dengan lagu- lagu puji- pujian dengan band.

      Demikianlah yang dapat saya sampaikan menanggapi pertanyaan dan komentar Anda. Mari bersama menyadari bahwa liturgi adalah suatu ‘pemberian’ untuk dilestarikan dan bukan sebuah percobaan untuk diimprovisasikan.

      Semoga berguna bagi kita semua, yang sama- sama menghendaki agar perayaan Ekaristi dilaksanakan sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan yang telah berlangsung sejak Gereja awal sampai sekarang.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

       

  15. Shalom Team Katolisitas yang dikasihi Allah…
    Sedikit saya ingin berbagi informasi mengenai perayaan Misa True Love Celebration kemarin di KAJ.
    Berikut ini saya kutipkan beberapa pernyataan:

    Dalam MEMIMPIN Perayaan Ekaristi di acara TRUE LOVE CELEBRATION yang begitu menggairahkan, band dan pembagian komuni yang menyegarkan, DSA yang dipersilahkan duduk dan menghilangkan semua “kekakuan” yang selama ini menjangkiti Perayaan Ekaristi Gereja Katolik.
    Gelak tawa dan tepuk tangan dari seluruh peserta yang hadir sebelum berkat penutup dan Pengutusan membuat suasana semakin hidup…
    HIDUP EKARISTI GAYA KAJ….!
    PROFICIAT…!

    BAPA KAMI yang dinyanyikan GREAT SONG…!!! With band…!
    Sebagian besar Umat Katolik yang hadir, menengadahkan tangan selayaknya acara begitu MERIAH …
    Sungguh menawan hati…., sampai aku yang menghadirinya mengerti bahwa selama ini telah KELIRU aku berdiri ketika DSA, dan mengatupkan tangan sewaktu bernyanyi DOA AGUNG BAPA KAMI.
    TERIMA KASIH YANG MULIA USKUP AGUNG JAKARTA.

    sumber : http://www.facebook.com/gerejakatolik/posts/10150522439484638

    Saya mohon tanggapan dari pihak Katolisitas :
    1. Benarkan sudah terjadi pelanggaran Liturgi pada Misa TLC kemarin (jika melihat dari pernyataan di atas, saya yang awam menganggap sudah terjadi pelanggaran)
    2. Apakah hal tersebut sebelum pelaksanaan Misa TLC sudah dikonfirmasikan mengenai penggunaan alat musik di luar kebiasaan misa (organ/piano) dan sudah diketahui Yang Mulia Bapa Uskup?
    3. Apakah misa TLC kemarin dikategorikan sebagai MISA dengan penuh keagungan sebuah MISA?
    4. Bagaimana dengan Dok. Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci/SC 112, 120 -121?
    5. Bagaimana seharusnya sikap awam seperti saya menyikapi kejadian ini? Apakah karena Misa dipimpin oleh Bapa Uskup, lalu sudah dianggap beliau sudah menyetujui penggunaan alat musik full band dan segala macam “kemeriahan”nya?

    Pax Christi…

    • Salam Steve,

      Usul saya, Anda memberikan masukan yang konstruktif dengan mempertimbangkan segala hal kepada penyelenggara dengan tembusan kepada uskup. Hal ini penting agar terjadi saling komunikasi yang sehat. Karena dengan demikian, sebagai Gereja kita pun belajar satu sama lain dengan acuan yang jelas yaitu dokumen Gereja dan realitas.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  16. Shalom Bu Inggrid.

    Saya adalah seorang Katolik yang profesi saya ada guru musik. Dan saya sangat ingin melakukan pelayanan dalam bermusik. Demikian pula banyak teman saya dari kalangan pemusik yang juga ingin melakukan pelayanan dalam suatu ekaristi. Saya ingin bertanya beberapa hal:
    1. Dalam Gereja di lingkungan saya, pemimpin Gereja (romo) dalam hal ini (maaf) sangat tidak setuju apabila ada musik pengiring selain organ. Seperti yang Bu Inggrid sebutkan di atas. Mungkin alasan beliau juga sama seperti kata ibu yaitu supaya tidak mengganggu kesakralan suatu misa. Namun dalam hal ini, khususnya musik2 ordinarium (Tuhan Kasihanilah kami, Kemuliaan, Kudus, dan Anak Domba Allah) sejauh yang saya tahu berasal dari suatu orkestrasi yang instrumen2 nya terdiri dari instrumen gesek (biola, cello, dll) dan tiup (woodwind & brass), dll. Mengapa dalam hal ini harus dipaksakan menggunakan alat musik organ? Apakah ada alasan tertentu lagu2 yang justru berasal dari suatu komposisi orkestra dimainkan dengan organ??
    2. Saya pernah melakukan pelayanan dalam paroki lain, dan untuk itu saya mengajak murid2 saya untuk juga melakukan pelayanan. Dan meskipun hanya bermain saat komuni dan persembahan, mereka sangat bersemangat bermain dalam pelayanan (mereka main biola). Pada saat mereka bermain saat misa hendak berakhir, umat melakukan tepuk tangan. Dan karena hal ini, Roma tersebut (maaf) marah karena umat bertepuk tangan. Alasan nya juga karena kalau diberi tepuk tangan, mereka akan menghilangkan makna dalam pelayanan karena mereka akan merasa takabur dengan tepuk tangan tersebut. Saya dapat menerima alasan tersbut, namun apakah untuk anak2 yang masih kecil2, hal ini wajib untuk diberlakukan? Karena menurut saya hal ini dapat memberi mereka semangat untuk semakin aktif dalam pelayanan. Ketika mereka mendengar kata2 romo tersebut, seketika juga banyak di antara mereka yang sedih. Apakah memang ada peraturan umat dilarang bertepuk tangan dalam suatu misa? (meskipun hanya untuk sedikit memberi semangat pada jiwa2 belia yang bersemangat dalam pelayanan)
    3. Apakah dalam menentukan suatu lagu, Romo (maaf) mempunyai kuasa dalam menentukan misa dalam suatu ekaristi? Misalnya, ada beberapa versi nyanyian Bapa Kami (yang pasti kata2 dan maknanya sama) Namun hanya berbeda melodinya. Melodi2 ini sering dijadikan masalah, sehingga nyanyian Bapa kami versi tertentu tidak dapat dinyanyikan. Apakah karena melodi ini dirubah sehingga kekudusan dan makan nyanyian Bapa Kami tersebut hilang??

    Terima Kasih atas kesempatan nya….:)
    God Bless
    Kevin

    • Shalom Kevin,

      1. Tentang alat musik yang digunakan dalam Misa

      Sebenarnya, berdasarkan ketentuan, maka alat musik yang dianjurkan digunakan dalam Misa adalah organ, seperti telah disebutkan di atas. Namun, itu tidak menutup kemungkinan digunakannya alat musik lainnya, asalkan tidak mengganggu kesakralan misa dan diijinkan oleh pihak otoritas Gereja. Caranya yang termudah adalah undanglah Romo paroki anda untuk menghadiri latihan orkestra kelompok anda. Sebab setahu saya, di negara- negara lain, dan bahkan di beberapa paroki di Jakarta, orkestra diijinkan untuk dimainkan mengiringi lagu- lagu di dalam Misa Kudus. Yang dipermasalahkan di sini adalah, jika dipergunakan alat musik drum, terompet, dan gitar bass, dst, yang memang dapat berkonotasi lagu- lagu sekular dan menciptakan suasana ‘hingar bingar’. Untuk alasan inilah, maka pihak otoritas Gereja tidak dengan begitu saja mengijinkan dimainkan sembarang alat- alat musik di gereja. Namun jika yang dimainkan adalah orkestra, dengan kesatuan dengan koor dan alat- alat musik seperti biola, piano, organ, cello, dst yang bahkan dapat menggambarkan keindahan musik gerejawi yang lebih agung, itu dapat dilakukan bahkan dianjurkan. Itulah yang terjadi di sekitar abad- abad pertengahan sampai jaman renaissance, di mana perkembangan musik tidak terlepas dengan kehidupan rohani dan liturgis Gereja.

      Maka Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci mengajarkan demikian tentang Sacred music (Musik agung/ kudus):

      “120. (Orgel dan alat-alat musik lainnya)

      Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada Allah dan ke surga.
      Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggungan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman.”

      2. Soal tepuk tangan di gereja

      Sebenarnya, yang perlu dihayati oleh umat, dan dalam hal ini yang dapat anda ajarkan juga kepada murid- murid anda adalah, jika mereka memainkan alat musik di dalam Misa Kudus, itu berbeda dengan memainkan alat musik di luar Misa Kudus. Di dalam Misa, kita menyanyi ataupun memainkan musik dengan fokus untuk memuji Tuhan dan untuk membawa semua umat agar bisa memusatkan perhatian kepada Tuhan. Dengan demikian, dalam Misa, fokusnya bukan si penyanyi ataupun si pemain musik. Sedangkan kalau si penyanyi dan si pemain musik itu sedang mengadakan pertunjukan, itu lain sifatnya, sebab merekalah yang memang mempertunjukkan kebolehan mereka kepada penonton, sehingga jika mereka bermain/ bernyanyi dengan baik, mereka memang layak mendapat tepuk tangan/ applause.

      Jadi walaupun memang terdengar kaku, tetapi maksud Romo yang anda ceritakan adalah benar (mudah- mudahan caranya tidak dengan marah, tetapi cukup dengan tegas saja menjelaskan kepada umat). Romo sebagai gembala umat dan para katekis di paroki memang bertugas untuk menyampaikan katekese sederhana tentang hal ini kepada umat, sehingga tidak terjadi salah paham apalagi sakit hati, berhubungan dengan tepuk tangan di gereja, yang ditujukan kepada koor atau pemain musik. Sebab sesungguhnya harus dipahami bersama bahwa Misa bukan tempat ‘manggung’/ pertunjukan, melainkan tempat semua umat untuk memusatkan perhatian kepada Kristus yang sungguh hadir di dalam perayaan Ekaristi tersebut. Jadi jika pusat perhatian bergeser, dan tidak lagi kepada Tuhan, maka dapat dikatakan bahwa keseluruhan umat tidak sungguh- sungguh mengetahui dan memahami maksud perayaan Ekaristi. Mari kita berikan apa yang layak diberikan kepada Tuhan dan jangan kita ‘mencuri’ kemuliaan yang harus diberikan sepenuhnya kepada Tuhan pada saat perayaan Ekaristi. Silakan memberi tepuk tangan kepada koor dan pemain musik setelah Misa Kudus selesai.

      Lebih lanjut tentang tepuk tangan di Misa, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

      3. Tentang lagu- lagu dalam Misa Kudus.

      Setahu saya belum keluar peraturan resminya tentang menggunaan lagu- lagu mana yang boleh dan mana yang sama sekali tidak boleh dalam Misa Kudus, maka pertanyaan- pertanyaan serupa pertanyaan anda sering muncul. Memang secara resminya, kita dianjurkan untuk menggunakan lagu- lagu dalam buku Puji Syukur. Tetapi dewasa ini ada juga lagu- lagu tambahan, termasuk lagu Bapa Kami, seperti yang anda sebutkan. Ini menjadi bahan diskusi tersendiri, walaupun sebenarnya ada lagu- lagu Bapa Kami yang baru juga dibuat dalam rangka Fesparawi, sehingga kemungkinan besar sudah mendapat persetujuan dari otoritas Gereja. Menurut pengetahuan saya, jika ada versi lagu Bapa Kami yang tidak diperbolehkan (atau tidak dianjurkan) untuk dinyanyikan dalam Misa Kudus adalah jika teksnya tidak sama persis dengan teks doa Bapa Kami.

      Maka saya menganjurkan, silakan and berbicara baik- baik saja dengan Romo Paroki anda, untuk mendiskusikan tentang lagu- lagu yang akan anda pilih, atau bisa juga dengan ketua seksi liturgi di paroki anda. Romo paroki adalah gembala kita, dan kita selayaknya menghormati beliau, sebagai pemimpin kita yang pasti menginginkan yang terbaik bagi perkembangan iman umatnya. Jika kita memiliki pola pikir seperti ini, maka kita tidak lekas curiga ataupun lekas menilai negatif tentang sikap- sikapnya. Jika sampai tidak disetujuipun, kita masih tetap dapat menyanyikan lagu Bapa kami dengan versi yang ada, dan silakan memberi aransemen yang baik, ini bahkan dapat mengundang kreativitas anda, yaitu bagaimana menampilkan lagu yang ‘biasa’ saja menjadi lebih indah dan agung di hadapan Tuhan. Jika anda menyanyikan lagu- lagu sesuai dengan ketaatan kepada Romo paroki selaku gembala umat, tentulah Tuhan Yesus berkenan, karena anda tidak sekedar bernyanyi, tetapi juga mempersembahkan hati anda, yang mau sepenuhnya taat kepada-Nya, dengan menaati juga romo paroki yang telah dipilih-Nya untuk menjadi gembala anda.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Dear Bu Listi,

        Ok, terima kasih atas tanggapannya bu. Sungguh sangat membantu…

        Salam damai Kristus…
        Kevin…:)

  17. Sebenarnya, karena Gereja Katholik Roma yang kudus dan apostolik itu berakar dari tradisi; maka karena alat musik yang sesuai dengan tradisi gereja selama berabad-abad adalah orgel yang dapat meningkatkan kesakralan Misa itu sendiri, maka tidak ada pilihan lain selain daripada Orgel itu sendiri. Kalau di daerah yang tidak/belum ada listriknya, sebaiknya jangan menggunakan alat musik manual (misalkan alat pukul) melainkan yang terbaik adalah acapella/tanpa iringan. Alasannya adalah karena suara manusia itu merupakan alat musik terbaik (ini pendapat Bapa Gereja pada jaman dahulu, saya sendiri lupa nama beliau) dan acapella lebih meningkatkan kekhidmatan ibadat. bukankah di biara-biara, para biarawan berdendang Lagu Gregorian tanpa orgel? Kalau untuk di Fellowship lain, baik yang Kharismatik maupun non; itu terserah mau menggunakan alat musik manapun juga, tetapi (paling tidak) pada misa Resmi diharapkan menjaga kekhidmatan seperti yang sudah saya uraikan di atas. Sekian dan semoga Allah Tritunggal Maha Kudus memberkati kita.

Comments are closed.