Walaupun umumnya kita tidak ingin dan bahkan tidak suka bersungut-sungut, tapi nampaknya sungut-sungut itu dapat terjadi sebelum kita sempat menyadarinya. Komplain dapat otomatis keluar dari mulut kita, atau timbul di pikiran kita, sebelum kita sempat mencegahnya. Bahkan kebiasaan bersungut-sungut ini dapat terjadi pada saat kita sedang melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti dalam berbagai kegiatan gerejawi. Bagaimana caranya menghilangkan kebiasaan buruk ini?
St. Fransiskus dari Sales mengajarkan kepada kita bahwa untuk memperbaiki kelemahan kita, cara pertama yang harus kita lakukan adalah: kita mau dengan rutin memeriksa batin kita. Pemeriksaan batin membantu kita untuk secara jujur melihat kelemahan kita, dan agar kita semakin terdorong untuk memperbaikinya. Pemeriksaan batin ini minimal dilakukan sekali sehari, pada malam hari. Tentu jika diperlukan, dapat diadakan lebih sering, jika kita sedang berjuang keras mengalahkan kebiasaan buruk tertentu. Semakin sering pemeriksaan batin dilakukan, semakin meningkatlah kesadaran untuk menghindari kelemahan tersebut. Contoh doa dengan pemeriksaan batin, klik di sini.
Selanjutnya, Kitab Suci mengajarkan kepada kita beberapa cara untuk meninggalkan kebiasaan bersungut-sungut ini. Pertama adalah, kita mengingat bahwa Allah tidak menyukai tindakan ‘bersungut-sungut’ (Bil 11:1; 14:27-29). Allah tidak berkenan kepada sikap bangsa Israel yang bersungut-sungut di padang gurun, sehingga akhirnya mereka menerima akibatnya: mereka harus mengembara selama empat puluh tahun (lih. Ul 8:2), dan tak satupun dari generasi mereka dapat masuk ke tanah terjanji, kecuali Kaleb dan Yosua (lih. Bil 14:30; 15:30). Rasul Yakobus kembali mengingatkan kita agar kita jangan bersungut-sungut, agar jangan sampai kita dihukum (lih. Yak 5:9).
Namun, dikatakan juga dalam Kitab Suci, bahwa kasih melenyapkan ketakutan (1 Yoh 4:18). Maka bukan semata-mata ketakutan akan hukuman, yang seharusnya mendorong kita untuk tidak bersungut-sungut. Sebab yang utama perlu kita ingat adalah betapa besar kasih Allah yang sudah dicurahkan kepada kita terlebih dahulu, lewat pengorbanan Kristus, agar kita dapat diselamatkan. Kristus melakukan semuanya ini dengan rela, karena kasih-Nya yang begitu besar kepada kita. Maka jika kita ingin mengurangi kebiasaan bersungut-sungut ini, baiklah kita semakin sering merenungkan Jalan Salib Kristus, atau Peristiwa-peristiwa Sedih dalam doa Rosario. Kita biarkan teladan Kristus ini meresap di dalam hati kita, agar sedikit demi sedikit, Ia membentuk kita untuk menjadi lebih serupa dengan Dia. “Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kitapun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.” (1 Yoh 3:16). Betapa kita perlu terus memandang Dia dan merenungkan pengorbanan-Nya, agar kita tidak cepat mengeluh dalam menjalani tugas dalam kehidupan kita sehari-hari. Sungguh, pengorbanan kita dalam hidup ini tak dapat dibandingkan dengan pengorbanan Kristus demi menyelamatkan kita.
Maka langkah selanjutnya, setelah kita merenungkan teladan kasih Kristus kepada kita, kita didorong untuk melakukan segala tugas kita dengan rela hati, dan bahkan dengan suka cita. Sebab bukankah sudah sepantasnya, kita membalas kasih Tuhan yang sudah tercurah tanpa batas bagi kita itu? Keinginan untuk mengasihi Tuhan ini akan selalu memurnikan hati kita, dan membuat kita tidak lekas kecewa ataupun bersungut-sungut, jika ternyata keadaan yang kita hadapi tidaklah semudah yang kita bayangkan. Saat menghadapi kesulitan- kesulitan, misalnya: saat bantuan kita tidak/ kurang dihargai, saat kita menerima kritik pedas dari orang lain, atau saat maksud baik kita bahkan dicurigai- kita tidak menjadi lekas tawar hati. Sebab kasih kepada Tuhan akan memberikan kepada kita kekuatan dan dorongan untuk tetap setia melakukan tugas-tugas kita, karena kita tahu bahwa melalui semua itu, kita dimurnikan, dan dibentuk oleh Allah untuk menjadi semakin menyerupai Kristus. Kita dapat menyemangati diri kita sendiri dengan mengatakan, “Aku melakukan semua tugas ini untuk Tuhan, dan bukan untuk manusia.” Sebab kita mengingat apa yang diajarkan oleh Rasul Paulus, agar dalam melakukan tugas, kita “jangan hanya… untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia.” (Ef 6:6-7).
Maka, mari kita berdoa, agar Tuhan memberikan kepada kita hati seorang hamba yang siap sedia melayani Tuhan. Semoga kita dimampukan oleh Allah untuk melakukan segala tugas panggilan hidup yang dipercayakan-Nya kepada kita dengan rela, dengan kasih yang seutuhnya, dan dengan suka cita, tanpa mengeluh ataupun bersungut-sungut. Sebab kita menyadari bahwa semua pengorbanan kita -betapapun sederhananya- adalah kesempatan yang Tuhan berikan, agar kita semakin bertumbuh dalam kekudusan, yang dapat menghantar kita kepada kehidupan kekal. Semoga di saat akhir nanti, sabda Allah ini boleh kita dengar, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba-Ku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, Aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” (Mat 25:21)
mungkin ini pertanyaan yg simpel, dan kurang berarti…
tapi buat saya, ini sungguhlah hal yg penting..
mungkin bbrp dari pembaca, pernah mengalami hal demikian…
saat ketika anda diberi tugas/ dimintai tolong..
saat itu juga anda melakukan nya, tanpa melihat susah atau mudah nya, sejauh itu untuk kpentingan pribadi Romo ataupun untuk kepentingan Gereja, it’s Ok lah..
saat sedang setengah jalan anda melakukan pkerjaan itu, hati anda “bersungut-sungut”…
sedangkan anda sendiri tidak menginginkan nya.. bahkan bila saja diminta untuk melakukan yg lebih, anda pasti melakukan nya..
yg saya mau tanya,
bagaimana cara menghilangkan nya…?
terima kasih sblumnya,
-AP91-
[Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik.]
Comments are closed.