Pertama, kita harus mengerti kodrat Kristus yang sungguh Allah dan sungguh manusia, serta hubungan dari kedua kodrat ini, kita dapat tersesat pada bidah atau pengajaran sesat. Di dalam sejarah Gereja, kita mengenal adanya beberapa bidah tentang kodrat dari Kristus. Mari sekarang kita membahasnya.
Kodrat Kristus sebelum Inkarnasi:
1) Kita tahu bahwa pada waktu di dunia ini, Kristus mempunyai dua kodrat, yaitu sungguh Allah dan sungguh manusia, dimana keduanya terikat dalam persatuan yang tak terceraikan (hypostatic union). Kodrat Allah dari Kristus bersifat kekal dan tidak terikat oleh waktu. Kristus telah ada – karena sebelum Abraham Dia telah ada (lih Yoh 5:58) dan Dia bersama-sama dengan Allah dan Dia Allah (lih Yoh 1:1), serta segala sesuatu dijadikan oleh-Nya (lih Yoh 1:3). Dengan demikian, sebelum Inkarnasi, Kristus bersama-sama dengan Allah dan Kristus adalah Allah.
Namun, kodrat manusia di dalam Kristus, sama seperti ciptaan yang lain, sesuatu yang mempunyai material (bodily things) adalah terikat oleh waktu. Atau dengan kata lain, sesuatu yang bersifat material akan terikat dalam waktu. Oleh karena itu, kodrat manusia dari Pribadi ke-dua dari Trinitas – yaitu Kristus – dipunyai oleh Kristus di dalam waktu, yaitu pada saat terjadinya Inkarnasi. Namun demikian, hal ini tidak berarti ada perubahan di dalam kodrat Allah. Kodrat Allah adalah tetap, karena Allah adalah kekal (eternal) dan tidak mungkin berubah (immutable). Yang berubah adalah kodrat manusia dari Kristus, yang dilahirkan, bertumbuh dari bayi menjadi dewasa, yang dapat menderita dan dapat mati.
2) Kalau kita mengatakan bahwa kemanusiaan Kristus adalah kekal, maka kita akan terjerumus kepada bidah monophysite. Bidah Monophysite, dimulai dari seorang kepala biara di Konstantinopel, yang bernama Eutyches. Bidah ini mengajarkan bahwa sebelum inkarnasi, Kristus berasal (in / from) dari dua kodrat, namun bukan di dalam (in) dua kodrat.
Pengajaran tersebut dinyatakan bidah dalam Tome of Leo, yang juga dipakai di konsili Chalcedon (451). Intinya adalah setiap kodrat (manusia dan Allah) dari Kristus mempunyai sifat masing-masing, dan bertindak sesuai dengan sifat-sifat tersebut walaupun terikat dalam persatuan yang tak terceraikan (hypostatic union). Dengan demikian, kodrat Allah adalah bersifat kekal dan tak berubah, sedangkan kodrat manusia dari Kristus bersifat seperti kodrat manusia pada umumnya, yang dapat berubah.
a) Berikut ini adalah ringkasan dari the Tome of Leo:
Without detriment therefore to the properties of either nature and substance which then came together in one person, majesty took on humility, strength weakness, eternity mortality: and for the paying off of the debt belonging to our condition inviolable nature was united with passible nature, so that, as suited the needs of our case, one and the same Mediator between God and men, the Man Christ Jesus, could both die with the one and not die with the other. Thus in the whole and perfect nature of true man was true God born, complete in what was His own, complete in what was ours. And by “ours” we mean what the Creator formed in us from the beginning and what He undertook to repair. For what the Deceiver brought in and man deceived committed, had no trace in the Saviour. Nor, because He partook of man’s weaknesses, did He therefore share our faults. He took the form of a slave without stain ofsin, increasing the human and not diminishing the divine: because that emptying of Himself whereby the Invisible made Himself visible and, Creator and Lord of all things though He be, wished to be a mortal, was the bending down of pity, not the failing of power. Accordingly He who while remaining in the form of God made man, was also made man in the form of a slave. For both natures retain their own proper character without loss: and as the form of God did not do away with the form of a slave, so the form of a slave did not impair the form of God…. Consequently, the Son of God entered into these lowly conditions of the world, after descending from His celestial throne, and though He did not withdraw from the glory of the Father, He was generated in a new order and in a new nativity. In a new order, because invisible in His own, He was made visible in ours; incomprehensible [in His own], He wished to be comprehended; permanent before times, He began to be in time; the Lord of the universe assumed the form of a slave, concealing the immensity of His majesty; the impassible God did not disdain to be a passible man and the immortal [did not disdain] to be subject to the laws of death. Moreover, He was generated in a new nativity, because inviolate virginity [that] did not know concupiscence furnished the material of His body. From the mother of the Lord, nature, not guilt, was assumed; and in the Lord Jesus Christ born from the womb of the Virgin, because His birth was miraculous, nature was not for that reason different from ours. For He who is true God, is likewise true man, and there is no falsehood in this unity, as long as there are alternately the lowliness of man and the exaltedness of the Divinity. For, just as God is not changed by His compassion, so man is not destroyed by His dignity. For each nature does what is proper to it with the mutual participation of the other; the Word clearly effecting what belongs to the Word, and the flesh performing what belongs to the flesh. One of these gleams with miracles; the other sinks under injuries. And just as the Word does not withdraw from the equality of the paternal glory, so His body does not abandon the nature of our race. For (and this must be stated again and again) one and the same person is truly the Son of God and truly the Son of man. (Denz 143-144)
b) Berikut ini adalah definisi dari The Council of Chalcedon:
We unanimously teach that the Son, our Lord Jesus Christ, is one and the same, the same perfect in divinity, the same perfect in humanity, true God and true man, consisting of a rational soul and a body, consubstantial with the Father in divinity and consubstantial with us in humanity, ‘in all things like as we are, without sin’ (Heb 4:15), born of the Father before all time as to his divinity, born in recent times for us and for our salvation from the Virgin Mary, Mother of God, as to his humanity. We confess one and the same Christ, the Son, the Lord, the Only-begotten, in two natures, without confusion, without change, undivided and inseparable. The difference of natures will never be abolished by their being united, but rather the properties of each remain unimpaired, both coming together in one person (prosopon) and substance (hypostasis), not parted or divided among two persons, but in one and the same Only-begotten Son, the divine Word, the Lord Jesus Christ. . . (Denz. 148; DS 301-2)
Kodrat Kristus pada waktu Inkarnasi:
Kita dapat melihat kodrat Kristus yang sungguh Allah dan sungguh manusia pada waktu Kristus berada di dunia ini. Silakan melihat artikel Kristus, sungguh Allah dan sungguh manusia (silakan klik).
Kodrat Kristus setelah Ascension (kenaikan Yesus ke Sorga)
Kristus terangkat ke Sorga dengan kodrat sungguh Allah dan sungguh manusia, dimana Kristus tetap mempunyai tubuh yang telah dimuliakan, seperti yang dilihat oleh para murid. Oleh karena itu, apa yang telah menjadi kodrat Kristus, termasuk kodrat manusianya tetap akan ada untuk selamanya. Kodrat manusia Yesus di Sorga adalah sama seperti kodrat kita kalau kita masuk dalam Kerajaan Sorga, yaitu dalam kondisi tubuh yang telah dipermuliakan. Kita tidak tahu secara persis seperti apakah tubuh yang telah dipermuliakan. Namun, kita tahu dari rasul Paulus: “Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.” (Rm 14:17) Yesus juga mengatakan “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga” (Mt 22:30). Dengan demikian kebahagiaan kita di Sorga bukan bersifat material namun spiritual. Kebahagiaan di Sorga terletak pada mengetahui dan mengasihi Tritunggal Maha Kudus sebagaimana adanya Dia (lih. 1 Kor 13:12).
Kebahagiaan manusia bukan diukur berdasarkan makan dan minum serta bukan pada kawin dan dikawinkan. Sesuatu yang bersifat materi hanya mempunyai efek sesaat. Kalau kita kenyang, kita tidak akan mau makan makanan yang paling enak dan mahal se dunia, karena kebutuhan kita telah terpenuhi. Kebahagian yang bersifat materi senantiasa bersifat sementara dan tidak akan memberikan kebahagiaan secara penuh. Artikel ini dapat dilihat di sini (silakan klik). Kalau Surga adalah kebahagian kekal dan tanpa henti, maka tidak mungkin tergantung dari kegiatan fisik seperti yang kita kenal di dunia ini, namun harus dari sesuatu yang bersifat spiritual. Hanya kebahagiaan spiritual yang dapat bersifat selamanya. Pada akhirnya, kita mengingat bahwa Manusia diciptakan sesuai dengan gambaran gambaran Allah, bukan karena manusia dapat makan dan minum, namun karena manusia dapat mengenal dan mengasihi Tuhan. Di dalam Sorga, kita akan dapat mengenali dan mengasihi Tuhan secara sempurna atau sebagaimana adanya Dia.
Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1024) mengatakan “Kehidupan yang sempurna bersama Tritunggal Mahakudus ini, persekutuan kehidupan dan cinta bersama Allah, bersama Perawan Maria, bersama para malaikat dan orang kudus, dinamakan “surga”. Surga adalah tujuan terakhir dan pemenuhan kerinduan terdalam manusia, keadaan bahagia tertinggi dan definitif.”
dear katolisitas
maaf saya christian,saya ingin bertanya apa maksud dari artikel di atas dari bidah Monophysite yang mengajarkan bahwa sebelum inkarnasi,Kristus berasal (in/from) dari dua kodrat bukan di dalam (in) dua kodrat?dan apa bedanya dengan ajaran Origen dan Priscillia bahwa kodrat manusia sudah ada di dalam kekekalan?dan yang ingin saya tanyakan lagi kalau Kristus merupakan pribadi kedua dari Allah Tritunggal dan sering disebut Allah Anak/Putera mengapa dalam kitab nabi yesaya dinubuatkan bahwa seorang putra akan diberikan dan namanya disebutkan orang Penasihat Ajaib,Allah yang perkasa,Bapa yang kekal,Raja damai?bukankah kata Bapa yang kekal,merujuk kepada Allah Bapa,pribadi yang pertama?mohon penjelasannya
Shalom Christian,
Terima kasih atas pertanyaannya. Monophysitism adalah ajaran yang menolak adanya kemanusiaan Kristus, dan adanya dua kodrat dalam diri Yesus (sebagai Allah dan manusia). Dikatakan oleh bidaah ini bahwa sebelum inkarnasi ada dua kodrat, namun setelah inkarnasi hanya satu, yaitu ke-Allahan-Nya. Di satu sisi Origen melihat keberadaan jiwa manusia sebelum dia dikandung. Walaupun terlihat bahwa keduanya memandang adanya keberadaan jiwa sebelum menjadi manusia, namun keduanya memberikan penekanan pada konteks yang berbeda. Monophysitism ingin menekankan pada kodrat Kristus yang satu pada saat Inkarnasi, walaupun ajaran ini mempercayai adanya dua kodrat Kristus (sungguh Allah dan sungguh manusia) sebelum Inkarnasi. Sedangkan Origen menekankan bahwa jiwa manusia telah ada sebelum bersatu dengan tubuh. Jadi, monophysitism pengajaran yang salah secara khusus pada Kristologi sedangkan pengajaran pre-existance soul dari Origen, tidak terbatas pada Kristologi namun pada manusia secara umum.
Dalam Yesaya 9:6 dituliskan “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai.” Ayat ini memang merujuk kepada Kristus. Namun mengapa Kristus yang adalah Pribadi ke-2 berkesan sebagai Bapa yang Kekal – yang adalah Pribadi pertama? Kalau kita melihat terjemahan DRB (Douay Rheims Bible), Bapa yang kekal adalah “the Father of the world to come” (Bapa dari kehidupan yang akan datang / kekal). Dengan kata lain, kalau kita melihat bahwa Bapa adalah asal dari segala sesuatu, maka kehidupan kekal adalah berasal dari Kristus sendiri, yang dicapai-Nya dengan misteri Paskah Kristus. Semoga dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Shalom Pak Stef,
Di halaman ini, http://www.sarapanpagi.org/25-itulah-malaikat-tuhan-vt1660.html, saya menemukan kalimat ini:
1. Banyak penafsir berpendapat, bahwa malaikat TUHAN adalah Tuhan Yesus Kristus yang muncul dalam Perjanjian Lama dengan bentuk manusia (perwujudan Kristofani).
2. Namun, bagian yang benar-benar menyelesaikan masalah identifikasi yang terkenal ini adalah Keluaran 23:20-23. Di sana Allah berjanji mengutus malaikatnya didepan anak-anak Israel tatkala mereka berjalan di padang gurun. Bangsa Israel diperingatkan bahwa mereka harus taat dan tidak memberontak terhadap malaikat ini. Alasannya mengejutkan: sebab nama-Ku ada di dalam dia. Allah takkan pernah berbagi nama-Nya yang berharga itu dengan siapapun juga, sebab Yesaya 42:8 mengatakan bahwa la takkan pernah berbagi kemuliaan dengan yang lain. Jadi nama Allah melambangkan diri-Nya sendiri. Dan jika terhadap seseorang dikatakan memiliki nama Allah dalam dirinya, orang itu adalah Allah!
Mohon penjelasan Pak Stef bagaimana pandangan agama Katolik atas tafsir di atas, lalu apa itu Teofani, Kristofani.
Salam
Anto Dwiharja
Shalom Anto,
Pertama-tama, prinsip dasar untuk dapat menafsirkan Kitab Suci dengan benar, adalah: suatu ayat dalam Kitab Suci harus dibaca dan dipahami dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang lain. Demikianlah prinsip utama menginterpretasikan Kitab Suci, sebagaimana diajarkan oleh Gereja.
Nah, tafsiran yang Anda kutip itu menafsirkan ayat itu dengan melihat kepada ayat itu saja, tanpa mengkaitkannya dengan ayat-ayat yang lain. Sebab malaikat itu adalah utusan Tuhan dan hanya berbicara/ melakukan segala sesuatu menurut perintah Tuhan, sehingga malaikat itu bertindak atas nama Tuhan. Demikianlah kita mengetahui bagaimana para malaikat itu melaksanakan tugas mereka melindungi umat-Nya ataupun memberikan kabar sukacita kepada kaum pilihan-Nya. Maka benar jika dikatakan bahwa “nama-Ku (namaTuhan) ada di dalam dia (malaikat)” (Kel 23:21)
Namun kepada semua malaikat itu, tidak pernah Allah mengatakan apa yang pernah dikatakan-Nya kepada Yesus Kristus, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan” (Mat 3:17, Mat 17:5; Mrk 9:7, 2 Ptr 1:17), dan bahwa seluruh kepenuhan Allah ada di dalam Dia (Yesus): “Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia” (Kol 1:19). Pada Yesuslah seluruh kepenuhan Allah ada, bukan hanya nama-Nya, tetapi seluruh diri Allah. Maka Sabda Allah mencatat juga bahwa Yesus, yang adalah Firman Allah itu, adalah Allah (Yoh 1:1), dan Yesus dan Allah Bapa adalah satu (lih. Yoh 10:30), sehingga siapa yang melihat Yesus, melihat Bapa (lih. Yoh 14:7,9). Tak satupun malaikat dapat berkata demikian tentang diri-Nya, dan tak satu ayatpun dalam Kitab Suci yang mengatakan demikian untuk menjelaskan malaikat. Semua ayat-ayat ini mengacu kepada Tuhan Yesus. Namun sejumlah penafsir yang memang sudah mempunyai kesimpulan sendiri sebelum membaca Kitab Suci, hanya mau memilih ayat-ayat tertentu saja yang sepertinya mendukung pandangannya, kemudian menggunakan ayat-ayat itu untuk menentang ke-Tuhanan Yesus.
Maka, Anto, jika saya boleh mengusulkan, mari kita menginterpretasikan Kitab Suci secara utuh, sebagaimana diajarkan oleh Gereja. Suatu ayat dalam Kitab Suci tidak berdiri sendiri, namun berada dalam kaitannya dengan ayat-ayat yang lain. Silakan juga untuk mendengarkan ajaran Gereja. Sebab kepada Gereja Kitab Suci diberikan, dan Gerejalah juga yang menentukan kanon Kitab Suci, maka Gerejalah yang dapat dan berhak menafsirkan Kitab Suci dengan benar.
Teofani, Theophany, (ἡ) θεοφάνεια, theophaneia artinya penampakan Tuhan. Perayaan penampakan Tuhan contohnya ini dirayakan pada hari Minggu di akhir masa Natal, yaitu saat Gereja memperingati kunjungan tiga raja menghormati bayi/ kanak-kanak Yesus. Sebab melalui peristiwa itu, Allah menyatakan kedatangan-Nya di tengah umat manusia di dunia. Di Perjanjian Lama, peristiwa Teofani misalnya adalah saat Musa melihat semak duri yang menyala, ataupun tiang awan yang menyertai bangsa Israel di padang gurun.
Kristofani, artinya penampakan Kristus, umumnya dikaitkan dengan penampakan Kristus setelah kebangkitan dan juga setelah kenaikan-Nya ke Surga.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Stef dan Ingrid Tay.
Mohon pelurusan saja jika argumen aku keliru, karena setelah merenungkan antara SEBELUM Kristus menyerahkan nyawa-Nya dengan SETELAH Dia bangkit, kita akan melihat ada perbedaan yang serius.
1. SEBELUM Dia menyerahkan nyawa-Nya, Dia terikat ruang dan waktu.
2. SETELAH Dia bangkit maka waktu dan ruang tidak lagi menguasai-Nya.
Pertanyaan sederhana dari aku, melihat kondisi ini; maka selama 40 hari; Yesus berziarah secara “bebas” dengan tidak diikuti oleh para murid-Nya. Dia sungguh hadir di dunia dalam rupa sungguh manusia namun tubuh-Nya sudah menjadi mulia dan kudus sehingga tak seorangpun dimampukan untuk menyentuh kemuliaan Allah, bahkan bagi para murid karena tak tercatat dalam Injil, bagaimana setelah periode kebangkitan-Nya, Yesus tidak lagi melakukan mukjizat dan menyentuh manusia.
Mohon diluruskan jika ternyata aku keliru dan sesat pikir.
Duc in altum.
Shalom Maximillian Reinhart,
Secara prinsip apa yang anda tuliskan benar, bahwa sebelum kebangkitan Kristus, maka Kristus mempunyai kodrat sungguh manusia dan sungguh Allah. Namun, setelah Kristus bangkit, maka sebenarnya Kristus tetap mempunyai kodrat sungguh manusia dan sungguh Allah. Kodrat manusia tidak berubah, karena pada saat kedatangan Kristus yang kedua, manusia juga akan mempunyai tubuh yang telah dimuliakan, seperti Kristus. Jadi, kodrat manusia yang telah diambil Kristus tidak akan pernah dilepaskan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear Katolisitas;
Maaf saya masih agak bingung dgn penjelasan kodrat Yesus di atas. Dari penjelasan di atas, bolehkah saya simpulkan adanya 3 tahap sbb:
Tahap-1: sebelum Inkarnasi
Kodrat Yesus adalah “sungguh Allah”
Tahap-2: ketika Inkarnasi s/d bangkit dari mati
Kodrat Yesus adalah “sungguh Allah dan sungguh manusia”
Tahap-3: setelah naik ke surga
Kodrat Yesus adalah “sungguh Allah dan sungguh manusia”, dgn kodrat manusia yg sdh mulia.
Pertanyaan saya:
1. Tahap-1 dan Tahap-3 keduanya mempunyai dimensi kekekalan (tidak dalam dimensi waktu), maka bagaimana bisa Yesus di Tahap-1 (kodrat sungguh Allah saja) dan Yesus di Tahap-3 (kodrat sungguh Allah plus sungguh manusia-mulia) bisa berbeda? Maksud saya di Tahap-1 tidak ada hypostatis-union sedangkan di Tahap-3 ADA hypostatis-union, padahal kedua Tahap tsb (1&3) sama-sama kekal?
2. Apakah kodrat manusia Adam sebelum jatuh ke dalam dosa-pertama, sama mulianya dengan kodrat kemanusiaan Yesus yg sudah mulia (setelah kebangkitan?).
3. Mungkinkah bahwa dalam kekekalan di dalam Trinitas, Pribadi Kedua (Allah Putra) memang mempunyai kodrat sungguh Allah dan sungguh manusia-mulia (sama seperti kita manusia tetapi tanpa dosa)? Lalu dalam penciptaan, Allah memberikan kodrat manusia-mulia (tdk berdosa) itu kepada Adam, namun karena Adam tidak memeliharanya dgn berbuat dosa pertama, maka kodrat manusia-mulia itu menjadi rusak. Lalu Pribadi Kedua Trinitas berinkarnasi untuk memulihkan kodrat yg rusak itu. Maka setelah kebangkitan kodrat manusia menjadi mulia seperti pada awalnya. Bila seperti ini maka Pribadi Kedua Trinitas selalu sungguh Allah dan sungguh manusia (di sini manusia mulia, tanpa dosa), baik di Tahap-1 maupun di Tahap-2 dan Tahap-3.
Mohon bimbingan bagi saya yg baru belajar mendalami iman saya. Terima kasih. Semoga Tuhan memberkati kita.
Shalom Fxe,
Berikut ini adalah tanggapan atas pertanyaan anda:
1. Bagaimana memahami kodrat Allah yang tidak berubah (immutable)?
Pengertian bahwa Allah tidak berubah (immutable) harus dilihat dalam konteks bahwa Ia yang adalah Allah, tidak mungkin berhenti menjadi Allah. Maka yang harus dipahami adalah, bahwa sejak awal mula dan selamanya, Allah tetaplah Allah, dan kodrat-Nya sebagai Allah tidak berubah. Jadi pada saat sebelum Inkarnasi (pada awal mula), semasa Inkarnasi, dan sesudah Ia naik ke surga sampai selamanya, kodrat ke-Allahan Kristus tetap sama. Yang menjadi kekhususan adalah, pada masa Inkarnasi, kodrat Allah dan kodrat manusia disatukan secara hipostatik (hypostatic union) dalam satu pribadi Yesus. Artinya sifat- sifat/ karakter yang berkenaan dengan kedua kodrat itu tetap ada dalam Pribadi Yesus. Kedua kodrat ini sungguh sempurna dalam diri Yesus, sehingga Ia disebut sungguh Allah dan sungguh manusia. Karena itu dalam masa Inkarnasi sekalipun, Yesus tetaplah Allah yang kekal; walaupun karena kodrat manusia-Nya, maka Yesus tetap dapat mengalami segala sesuatu yang dialami manusia, yaitu lahir, bertumbuh, dan akhirnya wafat.
Dalam skema tahapan yang anda buat itu, terlihat sekilas bahwa anda mencampuradukkan kodrat Allah dan kodrat manusia dalam diri Yesus pada tahap Inkarnasi (tahap 2), sehingga anda tidak melihat bahwa kodrat ke- Allahan Yesus tetap sama pada saat Inkarnasi. Pandangan ini menganggap seolah Tuhan Yesus berhenti menjadi Allah pada saat Inkarnasi, dan ini tidak benar. Kodrat ke-Allahan Yesus pada saat Inkarnasi masih tetap sama dengan tahap sebelum dan sesudahnya (tahap 1 dan 3). Ijinkan saya mengutip apa yang tertulis dalam penjelasan dari Fundamentals of Catholic Dogma (Ludwig Ott, p. 145), tentang persatuan hipostatik antara kodrat ke-Allahan dan ke-manusiaan dalam pribadi Yesus, berikut ini terjemahannya:
Dengan penjelasan ini maka hendaknya kita memahami Allah yang tidak berubah ini dari sisi kodrat-Nya sebagai Allah. Sebab pada saat menjelma menjadi manusia, Yesus tidak berhenti sebagai Allah, dan kodrat ke- Allahan-Nya tetap sempurna di dalam Dia. Silakan membaca kembali artikel ini, Yesus sungguh Allah sungguh manusia, silakan klik, yang sudah membahas hal ini.
2. Apakah kodrat manusia Adam sebelum jatuh dalam dosa sama dengan kodrat kemanusiaan Yesus yang sudah mulia?
Tidak persis sama. St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa sebelum jatuh ke dalam dosa, manusia pertama dikaruniai Allah dengan rahmat pengudusan dan 4 preternatural gifts yaitu: 1) keabadian atau immortality, 2) tidak dapat menderita, 3) pengetahuan akan Tuhan atau ‘infused knowledge’ dan 4) berkat keutuhan atau ‘integrity’ maksudnya, adalah harmoni atau tunduknya nafsu kedagingan pada akal budi. Namun semua ini tidak menjadikan manusia pertama menjadi “tidak dapat berdosa”. Sebab manusia pertama (dan keturunannya) diciptakan oleh Tuhan dengan kehendak bebas, sehingga ia dapat memilih untuk tidak melakukan dosa ataupun sebaliknya. Sayangnya, Adam dan Hawa memilih yang kedua.
Sedangkan kodrat kemanusiaan Yesus setelah kebangkitan adalah keadaan yang sempuna, artinya: tanpa dosa/ tidak dapat berdosa. Maka jika kita kelak dibangkitkan oleh Tuhan Yesus, dan memperoleh tubuh kebangkitan yang mulia, kita juga tidak dapat berdosa (lagi). Seperti apa persisnya tubuh kebangkitan ini, tidak ada yang dapat menjabarkannya secara persis, namun kita percaya, bahwa jika kita setia beriman sampai akhir, maka Tuhan akan memberikan kepada kita tubuh yang mulia, pada saat kebangkitan badan di akhir jaman nanti. Dalam keadaan yang sempurma ini maka kita tidak akan pernah lagi jatuh ke dalam dosa, sebab kita sudah berada dalam persatuan yang sempurna dengan Allah dan sudah memandang Allah dalam keadaan-Nya yang sebenarnya (1 Yoh 3:2). Selanjutnya tentang tubuh kebangkitan sudah pernah dibahas di sini, silakan klik, pada bagian sub judul kebangkitan badan.
3. Mungkinkah bahwa dalam kekekalan di dalam Trinitas, Pribadi Kedua (Allah Putra) mempunyai kodrat sungguh Allah dan sungguh manusia-mulia ?
Kalau maksudnya bahwa kodrat manusia di dalam Trinitas sudah ada sebelum Inkarnasi, maka jawabnya adalah tidak. Sebab kodrat manusia dalam diri Yesus Allah Putera baru dikenakanNya “in time“/ pada saat penjelmaan-Nya menjadi manusia di dalam rahim Bunda Maria. Paham yang menganggap bahwa sejak awal mula ada kodrat kemanusiaan dalam diri Trinitas mengandaikan bahwa kemanusiaan Yesus sudah ada (pre- existing Christ) sebelum kelahiran-Nya; dan ini adalah ajaran yang salah. Ajaran tentang pre-existing soul (jiwa manusia yang sudah eksis di surga sebelum dilahirkan di dunia) dikenal dengan istilah teori pre-existianism yang diajarkan oleh Origen dan Priscillia; dan ajaran ini ditolak oleh Sinoda di Konstantinopel (543) dan Sinoda di Braga (561). (lihat Ludwig Ott, Fundamentals of Catholic Dogma, p. 99)
Namun, setelah Yesus bangkit dari alam maut, dan naik ke surga dengan memiliki tubuh kebangkitan yang mulia, dan bersamaan dengan itu Ia tetaplah sungguh Allah; maka dalam pengertian inilah memang terdapat persatuan antara kodrat ke-Allahan Yesus di dalam Trinitas dengan kemanusiaan-Nya. Persatuan yang kudus antara Allah dan manusia ini yang sesungguhnya terjadi pada kita juga, sebagai anggota Tubuh Kristus, pada saat kita menyambut Ekaristi (yang adalah Kristus: Tubuh, Jiwa dan ke- Allahan-Nya) dalam Misa Kudus. Tuhan Yesus mengundang kita untuk mengambil bagian di dalam persatuan-Nya yang sempurna dengan Pribadi Allah dalam Trinitas. Persatuan ini kelak mencapai puncak kesempurnaan-Nya pada saat kita bersatu dengan-Nya di surga pada akhir jaman, saat kitapun telah beroleh tubuh kebangkitan. Inilah yang disebut sebagai “Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor 15: 28).
Jadi untuk menjawab pertanyaan anda, maka tidak benarlah anggapan anda bahwa Pribadi Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia, sebelum Inkarnasi. Allah Putera baru mengambil rupa (kodrat) manusia pada saat penjelmaan-Nya menjadi manusia, namun pada saat penjelmaan-Nya itu tidak ada sesuatupun yang berkurang dari kodrat ke-Allahan-Nya. Dengan demikian, maka kodrat ke- Allahan Yesus tidak berubah dari sejak awal mula, saat Inkarnasi, maupun setelah kebangkitan-Nya sampai selamanya.
Demikian yang dapat saya sampaikan sehubungan dengan pertanyaan anda. Memang tidak mudah untuk memahami makna persatuan hipostatik antara kodrat ke- Allahan Yesus dan kemanusiaan-Nya. Sejarah Gereja merekam banyaknya heresi/ ajaran sesat yang berusaha merasionalisasi ataupun menyederhanakan adanya misteri ini. Magisterium Gereja Katolik menyatakan tentang hal ini sebagai artikel iman (De fide) sebagai berikut:
terjemahannya:
Semoga, dengan memahami hal ini, maka anda tidak melihat adanya “jeda” antara tahap 1 maupun tahap 3 dalam skema yang anda tuliskan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih Katolisitas atas penjelasan yg diberikan.
Ada kesalahpahaman. Saya percaya saat inkarnasi Yesus sungguh manusia dan sungguh Allah dalam hypostatic union (kedua kodrat tidak bercampur).
Masalahnya bukan jeda antara Tahap-1 dan Tahap-3, tetapi saya melihat ada KONTRADIKSI pada Tahap-1 dgn Tahap-3. Dari penjelasan Anda, pada Tahap-1 kodrat Yesus adalah Allah saja, sedangkan di Tahap-3 kodrat Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia-mulia dalam hypostatic union. Kontradiksi nya adalah Yesus di Tahap-1 dan Yesus di Tahap-3 adalah sama-sama KEKAL, maka bagaimana bisa Yesus yg KEKAL ada dalam dua kondisi yg berbeda, Tahap-1 tidak ada hypostatis union sedangkan di Tahap-3 ada hypostatis union…?
Maka pertanyaan saya adalah : Apakah solusi dari kontradiksi ini. Maaf saya belum menemukan solusi tsb di jawaban Anda. Saya telah mengajukan kemungkinan solusi bahwa kodrat manusia ada secara kekal dalam Trinitas (tapi sebelum penciptaan kodrat tsb belum bernama manusia), jadi hypostatis union adalah kekal / ada dari semula. Tapi penjelaan Anda di atas menolak solusi ini, dgn merujuk paham pre-eksistensi yg ditolak oleh Konsili. Jadi apa solusi yg benar atas kontradiksi ini?
Shalom Fxe,
Pertama- tama, mohon maaf jika saya salah paham dengan pernyataan anda. Namun sejujurnya, anda melihat adanya ‘kontradiksi’ itu karena anda memaksakan pembagian tahapan kronologis waktu kepada Tuhan yang tidak terbatas oleh waktu. Dan nampaknya tahapan inilah yang anda pegang, tanpa anda memusatkan perhatian pada hakekat Allah dan rencana keselamatan Allah yang sesungguhnya tidak dapat dibatasi oleh ketiga tahapan tersebut.
Maka, seharusnya fokus perhatian kita sewaktu mengartikan ayat bahwa Yesus tetap sama, baik kemarin, maupun hari ini dan sampai selama- lamanya (Ibr 13:8) adalah karena Ia adalah Allah. Dalam kodrat ke-Allahan-Nya ini, Ia kekal, tidak terbatas waktu dan tidak dapat berubah. Namun kita ketahui, bahwa untuk menyelamatkan manusia, Allah harus masuk ke dalam sejarah manusia, dan menjadi terbatas oleh ruang dan waktu; dan karena inilah pada saat yang ditentukan Allah, maka Ia mengutus Pribadi kedua dalam ke- Allahan-Nya untuk menjelma menjadi manusia. Pada penjelmaanNya menjadi manusia ini, Kristus tetaplah Allah, sehingga ayat Ibr 13:8, tetap berlaku. Demikian pula, pada saat Kristus selesai melaksanakan tugas-Nya, yaitu setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga, kemanusiaan-Nya yang jaya bersatu dengan ke-Allahan-Nya yang tetap sama sepanjang segala abad itu. Dengan demikian, tidak ada yang berubah dalam kodrat ke- Allahan Kristus. Demikian pula, tidak ada yang berubah dari Kristus, yang merupakan puncak rencana keselamatan Allah bagi manusia.
Demikianlah Fxe, yang dapat saya sampaikan sehubungan dengan pernyataan anda. Saya tidak dapat menerima solusi yang anda tawarkan, karena saya tidak sependapat dengan tolok ukur yang anda pakai untuk membagi hakekat Allah dalam tiga urutan kronologis waktu. Kodrat manusia ada secara kekal dalam Trinitas itu tidak mungkin ada, karena itu tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci dan Tradisi Suci, seperti yang telah saya paparkan pada jawaban sebelumnya, dan tidak perlu saya ulangi lagi di sini. Agaknya anda perlu melihat hal ini dengan fokus utama bukan kepada pembagian kronologis, tetapi kepada hakekat Allah itu sendiri yang tak terbatasi oleh waktu, yang memutuskan bahwa pada suatu titik dalam sejarah, mengambil kodrat sebagai manusia, demi menggenapi rencana-Nya untuk menyelamatkan kita manusia. Hypostatic union antara kodrat ke-Allahan dan kemanusiaan Yesus adalah konsekuensi dari rencana Allah ini, di mana pada saat menjelma menjadi manusia, Yesus menjadi sungguh Allah dan sungguh manusia. Bahwa setelah kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga, kodrat manusia yang mulia tetap ada dalam diri Yesus, dan bersatu dengan kodrat ke- Allahan-Nya, itu adalah penggenapan rencana keselamatan Allah. Yaitu, Kristus akan menjadi yang sulung dari segala yang diciptakan (Kol1 :15) untuk bersatu dengan Allah, yang secara sempurna akan dipenuhi di akhir jaman nanti, di mana Allah akan menaklukkan segala sesuatu di bawah Kristus, sehingga Allah menjadi semua di dalam semua (1Kor 15:28).
Besar harapan saya, bahwa jika anda melihat dengan sudut pandang ini, maka anda tidak akan melihat adanya kontradiksi, seperti yang anda sampaikan sebelumnya.
Salam kasih dalam Kristus Yesus,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom Pak Stef dan Bu Ingrid,
Mau tanya tentang Syahadat Para Rasul ” ……….yang naik ke Surga duduk di sebelah kanan Allah Bapa Yang Maha Kuasa ………………..dst
Yang mau saya tanyakan adalah mengapa dikatakan : duduk di sebelah kanan Allah Bapa Yg Maha Kuasa?
dan bagaimana hubungannya dengan Allah Tritunggal? Mohon penjelasannya.
Terima kasih, GBU.
Salam,
Simon
Shalom Simon,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang salah satu kalimat dalam sahadat para rasul, yaitu “Duduk di sebelah kanan Allah Bapa“. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka saya ingin mengutip dokumen Gereja, yaitu Katekismus Gereja Katolik 663-664, yang mengatakan:
Dari dokumen di atas, maka kita mendapatkan pengertian bahwa duduk di sebelah kanan Allah Bapa adalah menggambarkan 1) kesetaraan dengan Allah Bapa, 2) Yesus tetap membawa kodrat kemanusiaan-Nya setelah naik ke Sorga, 3) menyatakan kekuasaan Mesias, dimana kekuasaan-Nya tidak akan berakhir.
Duduk di sebelah kanan Allah Bapa tidaklah bertentangan dengan kodrat Trinitas, sama seperti ketika Yesus di dunia ini (yang duduk, berdiri, dll), tidak merubah kodrat dari Trinitas, karena Trinitas adalah tak berawal dan tak berakhir. Kalau masih bingung dengan hal terakhir ini, silakan memperjelas pertanyaannya. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Hai Bu Ingrid dan Pak Stefanus,
Saya bingung tentang masalah berikut:
Anggap saja Yesus Kristus lahir tahun 1 Masehi lalu wafat dan bangkit dan naik ke Surga tahun 33 Masehi. Tidak usah diperdebatkan masalah tahunnya. Pertanyaan saya:
Apakah sebelum tahun 1 Masehi Yesus Kristus itu:
“sungguh Allah dan sungguh manusia”
atau
“sungguh Allah saja”?
Mana yg benar?
Ada juga orang iseng bertanya jika setelah naik ke Surga Yesus Kristus “sungguh Allah dan sungguh manusia”, apakah di Surga Dia makan minum juga? Dan lain-lain sifat fisik manusia? Kalau sifat fisik tidak ada lagi kenapa di Surga Yesus Kristus tetap disebut “sungguh Allah dan sungguh manusia”?
Maaf pertanyaan saya aneh-aneh. Tapi bagi saya ini penting. Terima kasih.
[dari katolisitas: silakan melihat jawaban di atas – silakan klik]
Salam Andreas,
Mungkin saya diijinkan untuk menjawab? Saya hanya coba belajar untuk saling berbagi atas apa yang saya ketahui (sangat terbuka untuk dikoreksi). Tentang kemuliaan Allah, yah walau pengetahuan saya yang minim ini tidak dapat disamakan dengan para pengasuh web yang baik ini (ie. katolisitas), setidaknya sense of participation masih melekat di saya.
Baik, Yesus di dunia adalah sungguh Allah sungguh manusia, selayaknya Dia berkenan mengambil kodrat manusia yang terbatas; maka segala hal yang wajar terkait dengan urusan jasmani juga diterima-Nya.
Ketika Dia bangkit dari antara orang mati, perkiraan saya (subyektif) – Dia sudah tidak terikat lagi pada ruang dan waktu karena kehidupan-Nya yang *sungguh mulia* itu tidak lagi bertempat di bumi ini melainkan di surga, artinya (koreksi jika keliru) *wujud* kemanusiaan tetap melekat selamanya namun kodrat manusia-Nya (yang terbatas) itu sudah tidak lagi menguasai-Nya.
damai di hati, damai di bumi
Max.
Shalom Maximillian Reinhart dan Andreas,
Kita harus melihat bahwa menjadi Allah telah menciptakan manusia dengan kodrat yang mempunyai tubuh dan jiwa, di mana jiwanya bersifat spiritual. Dan Tuhan juga telah menunjukkan melalui peristiwa kebangkitan Kristus, bahwa pada waktunya, kita akan diubah (lih. 1Kor 15:51-52). Dengan demikian, manusia pada saat kedatangan Kristus yang ke-2 akan diubah, di mana umat Allah akan mempunyai badan yang telah dimuliakan, seperti yang dimiliki oleh Kristus setelah kebangkitan. Katekismus Gereja Katolik (KGK 997) menuliskan “Apa artinya “bangkit”? Pada saat kematian, di mana jiwa berpisah dari badan, tubuh manusia mengalami kehancuran, sedangkan jiwanya melangkah menuju Allah dan menunggu saat, di mana ia sekali kelak akan disatukan kembali dengan tubuhnya. Dalam kemaha-kuasaan-Nya, Allah akan menganugerahkan kepada tubuh kita secara definitif kehidupan yang abadi, waktu Ia menyatukannya lagi dengan jiwa kita berkat kebangkitan Yesus.” Dari pengertian ini, maka kita dapat melihat bahwa setelah kebangkitan-Nya, Kristus tetap mempunyai kodrat manusia, karena pada saatnya nanti, kita juga akan mempunyai tubuh yang dimuliakan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Comments are closed.