Pertanyaan:
Apa dan bagaimana sebenarnya ajaran Gereja Katolik tentang KUTUK seperti yang misalnya tersebut baik di Perjanjian Lama (mis. Ul.11: 26, 28) atau di Perjanjian Baru (mis. Yak.3: 9,10 dll).
Terima kasih banyak atas tanggapannya.
Soenardi Djiwandono
Jawaban:
Shalom Pak Soenardi,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang kutuk. Kutuk dapat kita definisikan sebagai “to call down evil on someone or something“. Dan hal ini dapat berupa suatu perintah, dan dapat juga dalam bentuk keinginan yang diekspresikan dalam kata-kata yang begitu kuat. “Evil” dapat bersifat spiritual atau fisik dan dapat berupa sementara atau selamanya.
Di dalam Perjanjian Lama kita sering menjumpai kutuk, seperti yang kita baca di “14 Lalu berfirmanlah TUHAN Allah kepada ular itu: “Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah engkau di antara segala ternak dan di antara segala binatang hutan; dengan perutmulah engkau akan menjalar dan debu tanahlah akan kaumakan seumur hidupmu. 17 Lalu firman-Nya kepada manusia itu: “Karena engkau mendengarkan perkataan isterimu dan memakan dari buah pohon, yang telah Kuperintahkan kepadamu: Jangan makan dari padanya, maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu:” (Kej 3:14,17)
Namun kalau kita lihat motif dari semuanya itu adalah berkat, seperti yang kita baca “22 Lalu Allah memberkati semuanya itu, firman-Nya: “Berkembangbiaklah dan bertambah banyaklah serta penuhilah air dalam laut, dan hendaklah burung-burung di bumi bertambah banyak.” 28 Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kej 1:22,28)
Kita melihat bahwa berkat dan kutuk adalah dua hal yang memang terbentang di hadapan manusia, dua hal yang ditawarkan oleh Tuhan. Kutuk adalah jalan kematian, karena mengikuti dosa, yang berarti mengikuti jalan yang bertentangan dengan Tuhan. Dan berkat adalah merupakan konsekuensi untuk mengikuti jalan Tuhan, sehingga manusia memperoleh hidup. Tuhan mengatakan “26 Lihatlah, aku memperhadapkan kepadamu pada hari ini berkat dan kutuk: 27 berkat, apabila kamu mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini; 28 dan kutuk, jika kamu tidak mendengarkan perintah TUHAN, Allahmu, dan menyimpang dari jalan yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini, dengan mengikuti allah lain yang tidak kamu kenal.” (Deu 11:26-28). Oleh karena itu, kutuk merupakan satu paket dengan dosa, karena memang kodrat dari dosa yang membawa maut. (lih. Rm 6:23).
Kita melihat beberapa contoh di Perjanjian Lama bagaimana Tuhan mengutuk barang / orang-orang yang berdosa (lihat sumber ini – silakan klik), seperti Tuhan mengutuk: a) ular (Kej 3:14); b) bumi (Kej 3:17); Kain (Kej 4:11); c) orang yang tidak tidak menjalankan hukum Tuhan (Im 26:14-25; Ul 27:15). Lebih lanjut kita juga menjumpai a) Nabi Nuh mengutuk Kanaan (Kej 9:25); b) Yoshua mengutuk orang yang akan membangun kota Yerikho (Yos 6:26-27). Di dalam Perjanjian Baru, Yesus juga mengutuk pohon ara (Mk 11:13-14), mengutuk Khorazim, Betsaida (Mt 11:21), mengutuk orang kaya, farisi, juga mengutuk orang-orang yang akan dimasukkan ke dalam api neraka (Mt 25:41).
Namun demikian, Yesus memerintahkan para murid untuk memberkati orang yang mengutuk mereka (Lk 6:28), yang juga dipertegas oleh rasul Paulus untuk memberkati siapa yang menganiaya mereka (Rm 12:14). Namun demikian rasul Paulus juga mengutuk mereka yang berkotbah tentang Injil yang lain selain yang dikotbahkannya (Gal 1:8) dan juga orang yang tidak mengasihi Tuhan (1 Kor 16:22) dan juga (Kis 23:3). Namun sekali lagi rasul Paulus juga mengatakan bahwa Kristus telah menebus manusia dari kutuk hukum taurat (Gal 3:13).
Dari beberapa contoh di atas tentang berkat dan kutuk, maka kita dapat menyimpulkan bahwa:
1) Ada kutuk yang ditujukan kepada manusia maupun kepada alam. Namun, kita tidak dapat mengartikan kutuk secara literal. Sebagai contoh, kalau Tuhan mengatakan terkutuklah tanah (Kej 3:17), maka kita harus melihat bahwa alam yang harus diolah terlebih dahulu untuk dapat menghasilkan adalah suatu hukuman bagi manusia karena dosa manusia. Atau kalau kita melihat Ayub yang mengutuk hari kelahirannya (Ay 3:1), maka kita harus mengartikannya sebagai suatu ungkapan yang merujuk kepada penderitaan yang harus ditanggungnya.
2) Kutuk (dalam arti yang lebih luas) dalam bentuk suatu perintah dari orang yang mempunyai kuasa atas kita, yang merupakan manifestasi keadilan adalah bukan suatu dosa. Hal ini dapat dilihat misalkan seorang hakim menjatuhkan hukuman kepada penjahat. Dan dalam supernatural order (adi-kodrati), Tuhan juga memanifestasikan keadilan dengan memberikan hukuman abadi kepada orang-orang yang melawan kasih dan kebenaran (Mt 25:41). Pada saat Tuhan memberikan kutuk, seperti yang tercatat di Alkitab, maka Tuhan pada saat yang bersamaan memberikan jalan kepada manusia untuk bertobat. Dalam konteks ini, sama seperti Gereja Katolik yang memberikan ekskomunikasi seseorang dengan harapan bahwa orang tersebut sadar dari kesalahannya dan kemudian kembali ke pangkuan Gereja, dan orang tersebut dapat menghindari kutuk abadi di neraka. Silakan klik di sini untuk mengetahui tentang ekskomunikasi. Atau contoh yang lain adalah seorang dokter dengan terpaksa memotong kaki pasien yang terkena suatu penyakit untuk menyelamatkan nyawanya.
3) Kutuk yang menginginkan seseorang mengalami kecelakaan, dll. adalah bertentangan dengan kasih dan keadilan. Rasul Paulus mengatakan “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan.” (Rm 12:1).
Kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kutuk. Kita harus meniru apa yang dicontohkan oleh martir pertama, Stefanus, dan juga yang dilakukan oleh martir-martir yang lain. Dan inilah yang ditunjukkan oleh Yesus, pada waktu Dia sendiri mengampuni segala kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang yang menyalibkan-Nya (lih. Lk 23:34). Ini adalah suatu tantangan bagi kita semua yang telah menerima Kristus melalui pembabtisan. Dan hal ini adalah merupakan perjuangan seumur hidup.
Rasul Yakobus mengingatkan kita semua bahwa sulit sekali untuk mengendalikan lidah. Dia berkata “9 Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, 10 dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi.” (Yak3:9-10). Hal ini dikarenakan “Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.” (Jm 3:6). Kalau kita menghitung mungkin ada begitu banyak “profanity” (kata-kata kotor dan tidak baik), yang tidak seharusnya diucapkan oleh anak-anak Tuhan. Kita sering mendengar, seperti di film-film yang mengeluarkan bahasa-bahasa yang tidak baik dan tidak santun, yang dianggap menjadi suatu bahasa yang normal. Walaupun orang tersebut tidak mempunyai maksud seperti apa yang diucapkan – misalkan “go to hell” -, maka orang tersebut tetap berdosa karena melakukan “vain speech” atau kata-kata yang sia-sia, yang tidak membangun.
4) Akhirnya, kita semua yang telah dibaptis tidak usah takut akan kutuk dari turunan sebelumnya, atau hal-hal lain, karena Sakramen Baptis telah memurnikan kita. Dengan menerima Sakramen Baptis, maka kita telah mengenakan Kristus, yang telah mengambil kutuk hukum Taurat (Gal 3:13). Oleh karena itu, retret pohon keluarga yang bertujuan untuk menghapus kutuk dari nenek moyang tidaklah sesuai dengan daya guna dari Sakramen Baptis. Untuk pembahasan tentang hal ini silakan untuk membaca link ini (silakan klik).
Semoga pembahasan singkat tentang kutuk dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – www.katolisitas.org
Salam Kristus Yesus.
Kutuk dalam perjanjian lama lbh byk tertulis dari perjanjian baru. Saya percaya kedatangan Kristus Yesus untuk melepaskan kutuk bagi umat manusia. Tapi, kutuk itu akan tetap ada bagi manusia sepanjang manusia msh berada diluar Kristus. Adakah kutuk dpt terbebas dari manusia. Saya sendiri mengalami kutuk karena mendapat sesuatu spiritual hingga bisa mendengar suara spiritual. [dari Katolisitas: edit]
[Dari Katolisitas: Oleh Baptisan segala kutuk dipatahkan. Namun adakalanya orang yang sudah dibaptis dapat mendekatkan dirinya dengan kuasa kegelapan, entah dengan keterlibatan dengan okultisme ataupun dengan perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan kuasa kegelapan. Hal ini dapat menjadikan dirinya rentan terhadap pengaruh kuasa gelap. Untuk itu, pentinglah agar semua orang yang sudah mengenal Kristus untuk tetap hidup sesuai dengan janji baptisnya untuk menolak setan, agar hidupnya tidak jatuh dan dikuasai oleh kuasa jahat tersebut.]
Shalom,
Kejadian 3:14
Lalu berfirmanlah TUHAN Allah kepada ular itu: “Karena engkau berbuat demikian, terkutuklah engkau di antara segala ternak dan di antara segala binatang hutan; dengan perutmulah engkau akan menjalar dan debu tanahlah akan kaumakan seumur hidupmu.
Apakah maksud tersirat “..debu tanalah akan kau makan seumur hidupmu”. Kalau menurut kata-kata biasa, debu bukanlah makanan ular.
Maaf atas pertanyaan saya dan terimakasih.
Rita
[Dari Katolisitas: Debu memang bukan makanan, namun istilah makan debu, artinya adalah kekalahan yang total (lih. Yes 65:25; Mi 7:17). Maka hukuman Tuhan atas setan adalah agar ia mengetahui bahwa ia akan dikalahkan.]
Shalom katolisitas,
Dalam artikel di atas dikatakan bahwa Sakramen Baptis memurnikan kita dari segala kutuk. Saya ingin menanyakan bagaimana pandangan Katolik tentang hal seperti ini:
Ada seseorang yang telah lama dibaptis. Ia mempunyai seorang ibu, tapi sejak kecil ibunya tidak suka padanya dengan alasan bahwa tahun kelahirannya bertentangan dengan tahun kelahiran ibu itu. Oleh karena itu hingga saat ini ibu itu masih sering mengatakan hal-hal yang bersifat kutukan kepada orang tersebut. Bagaimana cara melepaskan diri dari kutukan ibu itu?
Terima kasih. Tuhan memberkati.
Salam Desy,
Iman dan Baptisannya telah membebaskannya dan selalu memurnikan cintanya pada Tuhan. Ibunya sebenarnya memiliki soal dengan dirinya sendiri, bukan dengan baptisan anaknya. Ibunyalah yang harus didoakan dan diberi bimbingan serta pengetahuan yang cukup agar terbebas dari ketidaksukaan yang bercokol itu.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih Romo atas jawabannya, namun saya masih kurang mengerti apakah jawaban Romo berarti jika seseorang sudah pernah dibaptis, maka kutukan ibunya yang masih dilakukan secara terus-menerus itu tidak akan masuk pada diri orang itu? Jika benar demikian, mengapa hidup orang ini banyak dan berat sekali cobaannya tidak seperti hidup anak-anak lain dari ibu itu yang tidak pernah dikutuki?
Mohon penjelasan Romo. Terima kasih.
Salam Desy,
Memang, secara teologis dengan baptis sudah bebas dan tetap diusahakan dengan doa dan sakramen agar rahmat keselamatan oleh baptisan itu berkembang. Namun secara psikologis, kata-kata buruk mempengaruhi secara negatif. Anak itu harus dididik dengan kata-kata yang menumbuhkan. Kata-kata Tuhan sendiri yang mengasihi mesti diperdengarkan padanya. Pujian dan dukungan, pemahaman, teguran yang penuh kasih sayang akan menyembuhkan dan menumbuhkannya.
Salam
RD. Y. Dwi Harsanto
Terima kasih Romo Yohanes atas penjelasannya. Tuhan memberkati.
Karena semakin kita dekat dengan Tuhan Yesus. Iblis tidak suka. Maka itu org yg percaya kepada Tuhan hidupnya bukan semakin gampang melainkan banyak tantangan yg harus kita hadapi. Oleh karena itu mari kita teguhkan iman kita supaya kita tidak terjun ke dalam maut.
Saya masih berumur 12 tahun tetapi kalau saya belajar lebih banyak lagi pasti saya akan tahu lebih banyak tentang firman Tuhan.
[Dari Katolisitas: Selamat datang di situs Katolisitas, Benaya. Semoga dengan sama-sama mempelajari firman Tuhan, kita akan bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan, agar kitapun dapat bertumbuh untuk semakin mengasihi Dia.]
Salam dalam Kristus Yesus
Saya senang mengunjungi situs katolisitas karna banyak hal kerohanian bisa saya timba dan memperkuat iman Katolik saya. Saat ini ada ingin tahu tentang kutuk dari kuasa kegelapan. Dahulu banyak leluhur kita yang tidak beragama atau meskipun beragama tetapi masih mempercayai kuasa lain seperti membunuh atau membuat sakit musuhnya-orang yang dibenci dengan mistik. Saya pernah dengar kalau kutuk ini turun sampai 7 turunan. Pertanyaan saya, apakah benar sampai turun temurun ada pengaruh kuasa kegelapam itu dan adakah pastor yang khusus bisa mengeluarkan/memutuskan kuasa kegelapan. Terima kasih untuk tanggapannya. Tuhan Yesus memberkati.
[Dari Katolisitas: Pertanyaan serupa sudah pernah ditanyakan dan ditanggapi di sini, silakan klik. Silakan membaca terlebih dahulu di sana. Sebenarnya, Pembaptisan telah mematahkan segala kuasa kegelapan pada orang yang dibaptis (sampai pada saat dibaptis). Namun untuk selanjutnya, dapat saja orang yang bersangkutan mendoakan doa pelepasan untuk melawan kuasa kegelapan, yang adakalanya diperlukan. Untuk teks doanya, silakan klik di sini. Doa ini dapat diucapkan oleh orang yang bersangkutan, maupun keluarga/ kerabat/ sahabat yang mendoakannya. Hanya pada kasus-kasus tertentu, jika merupakan kasus yang sangat serius/ parah, maka silakan menghubungi pihak Keuskupan untuk meminta pelayan khusus (disebut eksorsisme) dari imam tertentu yang diberi kewenangan oleh Uskup].
Salam Era,
Definisi kutuk menurut Kamus Besar bahasa Indonesia ialah:
ku·tuk 1 n 1 doa atau kata-kata yg dapat mengakibatkan kesusahan atau bencana kpd seseorang; 2 kesusahan atau bencana yg menimpa seseorang disebabkan doa atau kata-kata yg diucapkan orang lain; laknat; sumpah: mereka tidak berani berbuat jahat krn takut kena –;
me·ngu·tuk v 1 mengatakan (mengenakan) kutuk kpd; menyumpahi; melaknati; 2 menyatakan dan menetapkan salah (buruk): kita harus ~ segala perbuatan korupsi.
Jika membaca pertanyaan Anda, maka yang Anda masalahkan ialah kutuk dalam arti kutuk sebagai kata benda di atas dengan arti nomer 1 dan 2. Inti kutuk ialah kebencian dan balas dendam, suatu lawan dari berkat, keselamatan, cinta kasih dan pengorbanan diri demi keselamatan sesama. Jelaslah bahwa asal kutuk ialah kejahatan, iblis sendiri. Dengan kebebasannya, manusia bisa memilih kutuk. Kita meyakini bahwa kutuk sudah dipatahkan sejak pembaptisan karena iman dan cinta kasih pada Allah melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Namun demikian, kendati kutuk dari leluhur sudah dipatahkan, namun kutuk setelah itu masih bisa muncul dari orang-orang jahat dan iblis yang tetap saja ada. Setiap orang beriman Katolik bisa mematahkan kutuk dengan doa dan cinta kasih karena iman akan Kristus. Sakramen-sakramen dan sakramentalia memiliki daya guna pada tingkatnya masing-masing.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Syalom Romo Yohanes
Saya tertarik dengan masalah kutuk. Saya ingin berbagi sedikit pengalaman saya. Kutuk ada beberapa jenis. Ada kutuk perkataan (yang diulang-ulang saat seseorang marah), kutuk mantra, dan kutuk perjanjian darah (Iblis-manusia). Saya percaya Sakramen Pembaptisan dapat membebaskan seseorang dari kutuk asalkan orang tersebut tidak berbalik kepada iblis. Saya melihat masih banyak saudara2 Katolik yang dibaptis tetapi perjanjian darahnya belum putus. ALLAH tidak menghendaki hal jahat terjadi pada hidup manusia. Ada orang Katolik mati ditabrak, ditembak, pada umumnya begitu ditelusuri sejarahnya, leluhurnya pernah mengadakan perjanjian darah yang belum sepenuhnya diputuskan. Sarana doa pelepasan sangat berguna bagi mereka. Ada baiknya gereja mengadakan misa atau doa pelepasan secara masal. Tetapi Ada kutuk yang sulit untuk dilawan yaitu kutuk perkataan yang sering diucapkan seorang Katolik dewasa terhadap anak-anak dengan ucapan2 kasar dan memaki yang dilakukan secara berulang-ulang justru sangat manjur dan sering terjadi dan hanya melalui PERTOBATAN saja dapat diputuskan. Trima kasih.
Salam Hermenigildus,
Terimakasih atas tambahan keterangannya. Sakramen yang diterima secara valid dan licit pasti mematahkan kutuk. Valid artinya absah sesuai yang dikehendaki Gereja, sedangkan licit ialah pantas, yaitu bahwa yang menerima sungguh-sungguh sepenuhnya bertobat. Namun demikian, kadang kala kebencian dari musuh masih ada terhadap orang yang baru saja dibaptis, bahkan bisa jadi bertambah kuat. Karena itu tetap perlu berdoa dan rajin menerima sakramen-sakramen Ekaristi dan tobat serta berdoa pelepasan. Kebencian dan dendam, ialah inti dari semua kutuk. Bahwa masih ada orang Katolik yang taraf rohaninya masih rendah sehingga mengikuti setan dan mengutuki, kita memang prihatin. Kita wajib menegurnya dengan kasih dan mendoakannya. Benarlah bahwa bahwa pertempuran kita ialah pertempuran rohani.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Syalom Romo Yohanes
Selamat hari minggu. saya punya pengalaman akibat dari sebuah kutuk. Ada seorang pejabat besar di daerah kami, beberapa minggu sebelum memberikan sumpah jabatan pada kami para PNS, pejabat tersebut pernah mengeluarkan kata-kata yang menghina, mengutuk dan menghojat ALLAH. Kebetulan saat itu salah seorang teman saya yang mendengar kata hojatan tersebut. Hati nurani kami juga tidak terima bila TUHAN kita dihojat. Tetapi yang dapat saya lakukan pada saat pengucapan janji dan sumpah pegawai, kebetulan yang memberikan sumpah itu adalah pejabat itu, saya berdoa Keadilan sebanyak 6 kali mohon rahmat TUHAN untuk mendatangkan KeadilanNYA. Biarlah siapa yang menabur dia juga yang menuai. Sungguh ajaib Tuhan, Keadilan Tuhan menjadi nyata. Berturut-turut pejabat itu mengalami musibah yang diawali dari anak hingga dia sendiri yang mengalami kecelakaan dengan menabrak portal penghalang jalan masuk ke rumah jabatannya. Saya semakin takjub kuasa Tuhan bekerja dengan orang yang percaya. Alleluya.
Salam Hermenigildus,
Terimakasih atas sharing Anda. Jika kita melihat dengan jernih, dalam peristiwa tersebut yang menyebabkan orang itu mengalami musibah ialah kombinasi berbagai faktor, dan faktor yang terkuat ialah sifat gegabahnya. Sikap gegabah itu saya simpulkan dari kenyataan bahwa dengan enteng ia menghujat Allah dengan kata-katanya. Tentu bisa dimengerti bahwa jika dalam menghadapi Allah Yang Mahaagung saja ia bersikap gegabah, maka dalam hal-hal lain pun akan sembrono atau tidak berhati-hati. Karena itu, tidak heran kegabahannya atau kelalaiannya membuat kecelakaan lalu lintas di jalan yang aman yaitu di halaman rumahnya sendiri.
Kata-kata yang baik yang mengalir dari hati yang berkehendak baik bagi Allah, sesama dan lingkungan, tentu akan membuat kebaikan karena kata-kata mengalir dari niat hati.
Bagaimana sikap kita kita menghadapi orang yang menghojat bahkan membenci Allah? Kita boleh berprihatin jika mengetahui ada orang yang menghojat Allah. Namun demikian, kita tidak perlu menghojatnya dengan kata-kata yang pedas. Cukuplah jika kita mendoakannya dengan penuh kasih agar oleh kasih Allah, dibuka hatinya untuk kenyataan bahwa kita manusia rapuh namun Allah pencipta kita mengasihi kita. Seperti dalam Mazmur 139 ayat 19-22 terhadap orang yang membeci Tuhan, kita bersikap berprihatin, berdoa dalam hati saja di hadapan Tuhan dengan istilah “membenci mereka, dan mereka menjadi musuhku”. Namun pada ayat 23-24 kita berdoa untuk diri kita sendiri, agar tidak berjalan salah dan mau dituntun di jalan yang kekal.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
syalom romo
Trima kasih banyak Tuhan Memberkati.
Salam Romo Yohanes dan Team Katolisitas
Terima kasih untuk penjelasan, jawabannya serta doa-doa untuk melepas kuasa kegelapan. Setelah membaca banyak tanya jawab tentang kutuk, saya merasa tenang bahwa kutuk sudah dilepaskan pada waktu kita dibaptis dan bila kita hidup dalam iman, pengharapan dan kasih akan Tuhan Yesus yang telah menyelamatkan maka kuasa kegelapan diputuskan. Pertobatan, banyak berdoa dan menerima sakramen Ekaristi Maha Kudus sarana memperkuat relasi kita dengan Kristus. Tuhan Yesus memberkati.
Salam
Era
syalom pak….thank’s buat penjelasannya. Mau tanya “apakah untuk saat ini bagi kita orang percaya, kuasa kutuk itu ada dan apakah ia bersifat mengikat?” dan “Apakah orang Kristen saat ini boleh mengutuk?”
Shalom Yayo,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang kutuk. Sebagai umat beriman, kita harus yakin Sakramen Baptis yang telah kita terima telah menghapus kutuk yang terbesar, yaitu neraka Dengan kata lain, rahmat Baptisan membebaskan manusia dari segala kutukan, karena dengan baptisan, maka seseorang telah mati bersama dengan Kristus, sehingga dia dapat dibangkitkan bersama dengan Kristus (lih. Rom 6:4). Namun, tentu saja walaupun seseorang telah menjadi manusia baru, dengan kebebasannya (yang salah), dia dapat memilih hidup dalam kegelapan, sehingga dia dapat kembali kepada manusia yang lama. Dalam kondisi seperti ini, maka seseorang dapat jatuh dalam dosa dan kalau diteruskan sampai akhir hidupnya, dia dapat memperoleh penghukuman di neraka.
Pertanyaan anda yang kedua, apakah orang Kristen dapat mengutuk, maka jawabannya tidak. Mengutuk seseorang agar memperoleh hal yang tidak baik adalah bertentangan dengan hukum kasih. Sebaliknya, Kristus mengajarkan bahwa kita harus mengasihi musuh-musuh kita dan mendoakan orang-orang yang menganiaya kita (lih. Mat 5:43). Pembalasan adalah hak Tuhan dan bukan hak kita dan biarlah Tuhan sendiri menghakimi (lih. Ibr 10:30). Tugas kita adalah mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama kita atas dasar kasih kita kepada Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
thank’s buat penjelasannya, namun ada beberapa hal yang masih belom saya mengerti. Saya setuju bahwa orang Kristen tidak boleh mengutuk (hukum kasih), namun bagaimana dengan tokoh-tokoh Alkitab yang mengutuk? Khususnya dalam kitab Mazmur, banyak mencatat tentang hamba-hamba Tuhan yang mengutuk musuhnya. Contohnya Mazmur 83, yang merupakan keluhan asaf. Apakah firman Tuhan membenarkan hal itu? Dan apakah kita juga boleh meniru hal tersebut? Trimakasih pak.
Shalom Yayo,
Kita harus mengingat bahwa pendidikan Tuhan dilakukan secara bertahap (divine pedagogy) dan bahwa kesempurnaan wahyu Allah dan kesempurnaan pengajaran Allah terpenuhi dalam Perjanjian Baru. Dengan demikian, kita harus membaca PL dalam terang PB. Mzm 83 tidak boleh diartikan bahwa kita boleh mengutuk musuh-musuh kita. Yang ingin dinyatakan dalam Mzm tersebut adalah agar dalam kesesakan, kita menyerahkan segala sesuatu dalam pengadilan Tuhan dan yang terpenting adalah seperti yang disebutkan pada ayat yang terakhir “supaya mereka tahu bahwa Engkau sajalah yang bernama TUHAN, Yang Mahatinggi atas seluruh bumi.” Dalam terang Perjanjian Baru, kita juga mengingat perkataan Yesus “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.” (Luk 6:27-28). Dengan demikian, mari kita juga mencoba mengampuni kesalahan musuh-musuh kita dan mulai mendoakan mereka, agar mereka juga boleh mengenal Tuhan dan menjalankan perintah Tuhan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
maksaih ya om stef,,,,udah banyak membantu. Tuhan Yesus memberkati pelanan om,
Shalom,
Saya pernah menonton kesaksian dr mantan peramal/dukun sejenisnya dan membaca artikel terkait. Dinyatakan apabila org tua atau generasi sebelumnya suka bermain dg hal2 gaib/praktek perdukunan dan sejenisnya, maka generasi setelahnya (anak/cucu) bisa terkena imbas buruk dan kutuk dr dosa generasi sebelumnya. Tapi disebutkan bhw setelah dibaptis (tentu dalam keadaan dg hati yg menerima) maka kutuknya telah dipatahkan. Dari hal ini saya punya pemikiran bhw Kutuk dapat turun kepada keturunan apabila berurusan dg hal2 gaib/praktek perdukunan dan sejenisnya, tetapi apabila mereka bertobat dan menerima Yesus serta dibaptis maka segala kutuk akan dipatahkan. Jadi statement dr Nabi Yehezkiel yg bapak kemukakan diatas berlawanan dg statement dr Kitab Keluaran ini :
Sebab di Kel 20:5 dikatakan “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku”
Bagaimana tanggapan bpk dalam memahami 2 statement yg berbeda ini?
Terima kasih.
Shalom Tere,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang kutuk. Kita dapat mengharmonisasikan ayat Kel 20:5 dan Yeh 18:20, sebagai berikut:
Yeh 18:20 berbicara bahwa anak tidak turut menanggung dosa dari ayahnya. Setiap dosa yang dilakukan oleh seseorang harus dipertanggungjawabkan oleh orang tersebut di hadapan Allah. Sebagai contoh, kalau ayahnya pembunuh, maka anak tersebut tidak menanggung dosa membunuh. Namun, karena tidak ada dosa yang bersifat pribadi, maka orang-orang yang terdekat akan menanggung akibat dari dosa tersebut. Jadi, Kel 20:5 menekankan konsekuensi dari dosa tersebut. Sebagai contoh, kalau ayahnya pembunuh, maka anaknya akan turut menanggung malu, atau kalau ayahnya berhutang, maka bisa saja anaknya menanggung hutang tersebut. Dengan kata lain, ayat yang satu (Yeh 18:20) berbicara tentang dosa itu sendiri dan ayat yang lain (Kel 20:5) berbicara tentang akibat dari dosa. Semoga keterangan ini dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
dear katolisitas
Sy ingin beri gambaran kutuk keturunan yang tdak ada pada kami. sy punya kakek hobynya judi, ayah saya juga sering judi. Generasi kami tak ada satupun yang suka akan judi. Mungkin hal ini adalah kutuk yg bukan kutuk ketrunan. Trims.
Shalom Bu,
Mengenai penjelasan “kutuk” dituliskan oleh katolisitas.org bahwa….
Baptisan melepas semua kutuk dosa? Baptisan memang melepaskan kutuk dosa yang paling utama, yaitu keterpisahan antara manusia dan Tuhan untuk selamanya. Namun tidak semua akibat dosa dilepaskan, seperti kematian, penderitaan, kecenderungan berbuat dosa, dll. Dalam kebijaksanaan Tuhan, semua hal tadi dipakai untuk memurnikan manusia. Mungkin kebingungan ini disebabkan karena ada beberapa pertanyaan tentang kutuk, dimana kutuk dapat dipakai dalam beberapa kondisi, seperti: retret pohon keluarga yang seolah-olah dapat melepaskan kutuk turunan (pemabuk, sial, dll). Dalam konotasi inilah, maka saya mengatakan bahwa Sakramen Baptis mematahkan semua hal tersebut, karena dengan baptisan, maka kita semua menjadi manusia baru.
Saat ini di Gereja Karismatik ada pengertian lain tentang “kutuk” meskipun tidak secara jelas mengartikan sebagai sebuah kutuk. seolah-olah telah diganti dengan kata istilah lain yaitu “Pelepasan” yang konotasinya ada hubungannya dengan kutukan2 akibat dosa manusia sebelum orang tersebut di Baptis.
Saya pernah membahas arti sebuah “pelepasan” dan sebagai contohnya adalah: seseorang yang telah di baptis berarti telah menjadi manusia baru, dimana oleh Baptisan tadi semua dosa di patahkan, namun sebelum di baptis seseorang pernah bergaul dengan kuasa2 hitam (katakanlah orang tsb pernah di kuasai oleh roh hitam, intim dengan kekuatan jin, termasuk juga seseorang sering ke dukun, minum darah ayam, mandi air kembang, pernah mohon perlndungan kuasa kegelapan dan yang sejenis). Dengan menjadi manusia baru berarti semua kegelapan telah di patahkan oleh Baptisan….namun pertanyaan saya adalah ‘mengapa masih di butuhkan “Pelepasan” yang berarti untuk melepaskan akibat kuasa2 kegelapan yang di katakana bahwa apabila tidak ada Pelepasan2 orang tersebut akan gampang sekali mendapat serangan balik dari kuasa iblis. (hal ini boleh dilakukan berkali2)
Sekian menurut pemahaman saya dan mohon penjelasannya. Terima kasih.
Salam.
Felix SB.
Shalom Felix,
Terima kasih atas tanggapannya tentang topik kutuk. Memang kata kutuk dapat dipakai dalam beberapa pengertian, sehingga kita harus melihat konteksnya.
Seseorang yang dulunya pernah main-main dengan dukun, dan kuasa-kuasa hitam, sesungguhnya pada waktu mereka dibaptis telah mendapatkan pelepasan, karena telah diadakan exorcism oleh pastor dan rahmat pembaptisan yang mengalir kepada para terbaptis. Namun, tidak semua orang yang dibaptis mempunyai disposisi hati yang baik dan benar-benar ingin hidup baru dan kudus. Jadi, walaupun telah menjadi manusia baru, dia secara perlahan-lahan kembali lagi ke kebiasaannya semula. Kita harus mengingat bahwa walaupun Sakramen Baptis memberikan begitu banyak rahmat, namun Sakramen Baptis tidak menghapuskan kecenderungan untuk berbuat dosa (conscupiscence).
Kecenderungan berbuat dosa ini tentu saja akan semakin berat bagi orang yang pernah berbuat dosa, karena seseorang telah merasakan kenikmatan sesaat dalam berbuat dosa. Sebagai contoh: bagi orang yang bermain dengan dukun dan ilmu-ilmu gaib, merasakan kekuatan, dapat menyelesaikan perkara dengan jalan pintas, dll. Sama seperti orang yang hidupnya penuh dengan ketidakmurnian sebelum dibaptis. Setelah dibaptis, walaupun orang tersebut telah mendapatkan karunia Roh Kudus dan rahmat pengudusan, namun orang tersebut mengalami jatuh bangun dalam perjuangannya untuk hidup kudus.
Jadi, kalau dikatakan apabila tidak ada pelepasan-pelepasan orang tersebut akan gampang sekali mendapat serangan balik dari kuasa iblis, mungkin kurang tepat. Pertama, orang yang pernah melakukan suatu dosa yang berulang (baik berhubungan dengan kuasa berat, dosa ketidakmurnian, dll) akan menjadi suatu dosa yang menjadi kebiasaan (habitual sin). Dan memang sulit untuk terbebas dari habitual sin. Di sini diperlukan kerjasama dari orang tersebut dengan rahmat Allah, dengan cara bertekun di dalam doa, Firman Tuhan, menerima sakramen-sakramen (terutama Sakramen Ekaristi dan Tobat), dan menjauhkan diri dari dosa-dosa berat, dan terlibat dalam komunitas umat beriman. Kedua, orang yang tidak pernah melakukan dosa yang berhubungan dengan kuasa berat sebelum dibaptis, maka orang tersebut juga dapat jatuh ke dalam dosa ini. Ketiga, kalaupun pelepasan memang terjadi dan dapat membebaskan orang tersebut dari kuasa-kuasa kegelapan, maka kita tidak terlalu dapat menghubungkan secara langsung dengan dosa turunan. Bahwa apa yang dilakukan sebelumnya dapat mempengaruhi kehidupan orang tersebut, memang tidak dapat dipungkiri. Keempat, kita juga dapat menghubungkan pelepasan dengan karunia-karunia dari Sakramen Baptis yang mungkin sebelumnya belum termanifestasi dengan baik, namun dengan adanya pelepasan ini, maka karunia-karunia tersebut lebih dapat dimanifestasikan, sehingga hidup orang tersebut menjadi lebih baik. Seringkali efek / manifestasi ekternal dari suatu sebab (dalam hal ini Baptisan) memakan waktu yang lama, karena yang dibaptis tidak mempunyai disposisi hati yang baik.
Akhirnya, dalam pelepasan, kita harus mentaati hirarki Gereja, yang biasanya telah menunjuk beberapa pastor untuk melakukan exorcism. Hal ini adalah untuk melindungi umat, sehingga mereka mendapatkan pelepasan yang benar kalau memang benar-benar diperlukan pelepasan. Kadang terjadi bahwa orang sering menghubungkan dengan mudah suatu dosa, kesalahan, kesialan, dll, dengan kuasa gelap, yang berujung pada pelepasan. Dan inilah yang harus dihindari, karena dapat membuat orang yang bersangkutan menjadi semakin tertekan dan kurang berfokus pada perjuangan untuk hidup dalam kekudusan.
Semoga uraian ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Salam damai sejahtera
Dear Stef
Anda menulis :
Gereja Katolik tidak mempercayai kutuk turun-temurun, apalagi setelah orang tersebut dibaptis. Pada SAAT SESEORANG DIBAPTIS, MAKA KUASA KUTUK DIPATAHKAN karena penebusan Kristus.
Pada jawaban anda yang lain tertulis :
Dikatakan di dalam kitab Kejadian, bahwa Tuhan mengutuk ular (Kej 3:14-15), Hawa (Kej 3:16) dan Adam (Kej 3:17-20). Dan MEMANG KUTUKAN ITU MASIH TERUS BERLANGSUNG SAMPAI SAAT INI, dimana semua wanita mengandung dengan kesakitan, orang tua harus persusah payah bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Pertanyaannya :
Apakah kutuk tsb sudah ditiadakan pada waktu seseorang dibaptis ataukah kutuk tsb masih ada sampai sekarang, yang berarti baptisan tidak mematahkan kutuk tsb ?
Mana jawaban anda yang benar ?
Mohon penjelasan ?
Terima kasih
Mac
Shalom Machmud,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang kutuk. Saya memang mengatakan bahwa Gereja Katolik tidak mempercayai kutuk turun-temurun, dalam pengertian bahwa kalau bapanya pemabuk/pembawa sial, maka anaknya menjadi seperti bapaknya, dan juga cucunya seperti kakeknya. Dengan menerima Sakramen Baptis, maka seseorang menjadi manusia baru. Surat kepada umat di Roma mengatakan
“Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?
Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.
Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya.” (Rm 6:3-5)
Tuhan juga telah mencabut kutuk dosa dengan menerima Sakramen Baptis yang bersumber dari misteri Paskah Yesus, sehingga manusia dapat kembali bersatu dengan Tuhan. Namun di dalam kebijaksanaan-Nya, akibat dari dosa, seperti manusia dapat meninggal, mengalami penderitaan, sakit-penyakit, dan kecenderungan berbuat dosa (concupiscence) tetap ada untuk memurnikan manusia dan menjadi kesempatan bagi manusia untuk membuktikan kasihnya kepada Allah.
Semoga dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Dari Sugiman (Mahasiswa STT Cipanas)
Salam Sejahtera Dalam Kasih Tuhan kita Yesus Kristus
Baptisan adalah tanda lahir baru bagi orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Lahir baru berarti menjadi murid Kristus atau memiliki relasi dengan Allah. Karena baptisan tidak akan berarti jika seseorang dilahirkan kembali. Artinya adalah seharusnya baptisan menjadi salah satu media bagi orang percaya untuk tetap memelihara relasinya dengan Allah, dengan demikian ia menjauh dari kutuk. Apa itu kutuk? Dalam PL, kutuk berasal dari kata alah,ta’alah,arar, qalal, dan ala (bhs. Ibrani). Kata ini sering ditujukan kepada umat Israel yang tidak setia pada “perjanjian Allah di Sinai”. Jika kita kaitkan dengan Kejadian 3:17-20, maka kutuk di situ berarti adalah keterpisahan atau putusnya relasi manusia dengan Allah. Masalah mengenai apakah kutukan itu masih ada sampai saat ini, maka saya mengatakan masih. Masih dalam arti ketika manusia melepaskan atau memutuskan relasinya dengan Allah, maka saat itulah kutuk itu berlaku. Namun saya sendiri kurang setuju jika kesakitan yang dialami kaum perempuan adalah efek dari kutuk. Karena jika demikian kita tidak ada bedanya dengan Adam maupun Hawa yang saling menuduh atau saling melempar kesalahan saat Allah bertanya siapa yang berbuat dosa. Di lain pihak juga kita mengiakan adanya dosa turunan. Karena menurut saya dosa turunan itu tidak ada, tetapi kecendrungan manusia untuk berbuat dosa itu yang ada yang akhirnya mendatangkan kutuk baginya. Jadi menurut saya, kutuk adalah keterpisahan manusia dari Allah dan segala sesuatu yang bersifat memisahkan kita dari Allah adalah kutuk.
Terima kasih
Shalom Sugiman,
Terima kasih atas tanggapannya tentang kutuk. Berikut ini adalah tanggapan saya akan komentar dari Sugiman.
1) Dalam hal ini, kita mempunyai pandangan yang berbeda tentang Sakramen Baptis. Baptisan bukanlah hanya suatu tanda, namun adalah gerbang keselamatan. Sakramen Baptis memberikan rahmat kekudusan (sanctying grace), sehingga membuat seseorang berkenan kepada Allah. Beserta dengan rahmat kekudusan, seseorang yang dibaptis juga menerima tujuh karunia Roh Kudus seperti yang disebutkan di dalam Yesaya 11, diangkat martabatnya menjadi anak Allah, menjadi bait Roh Kudus (indwelling place of the Holy Spirit). Pembahasan lengkap tentang Sakramen Baptis dapat dilihat di sini (silakan klik). Namun tentu saja orang yang dibaptis harus terus bertumbuh di dalam iman, pengharapan dan kasih, sehingga buah-buah baptisan dapat dimanifestasikan secara nyata.
2) Pemakaian kata kutuk memang beragam, sesuai dengan konteksnya dan juga mempunyai bobot yang berbeda-beda. Kita dapat melihat pemakaiannya: ku?rs, ‘a?la?h (Bil 5:21, Bil 5:23, Bil 5:17, dll.), me’e?ra?h (Ams 3:33; Mal 2:2, dll.), kela?la?h (Kej 27:12, Kej 27:13); kata?ra (Gal 3:10, Gal 3:13).
Dari Kej 3:16-20, memang Tuhan mengutuk tanah, wanita, dan pria. Namun kutukan yang paling berat adalah dikatakan di ayat 22-23, yaitu “Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu tentang yang baik dan yang jahat; maka sekarang jangan sampai ia mengulurkan tangannya dan mengambil pula dari buah pohon kehidupan itu dan memakannya, sehingga ia hidup untuk selama-lamanya. Lalu TUHAN Allah mengusir dia dari taman Eden..” Di ayat ini terlihat bahwa dosa pertama – yaitu dosa kesombongan – membuat manusia terpisah dari Allah. Manusia tidak lagi tergantung pada Allah untuk menentukan baik dan buruk, namun bergantung pada diri sendiri. Dan perkataan “tidak hidup untuk selama-lamanya” adalah akibat dari dosa manusia pertama, sehingga kesengsaraan dan kematian tetap menjadi bagian dari kodrat manusia. Kesengsaraan sementara (sakit-penyakit, kematian) memang masih berlangsung terus, namun kesengsaraan kekal (keterpisahan dengan Allah untuk selamanya) telah dipatahkan oleh Kristus melalui misteri Paskah Kristus (penderitaan, kematian, kebangkitan dan kenaikan Yesus).
3) Karena kata “kutuk” mempunyai arti yang luas, maka kita harus melihat konteksnya. Kalau dikaitkan dengan kutuk dosa, maka kutuk ini telah dipatahkan oleh misteri Paskah Kristus. Namun, akibat kutuk seperti yang disebutkan di Kej 3 – tanah, wanita, pria – terus berlangsung sampai saat ini, sebagai cara untuk memurnikan manusia. Kalau kutuk dikaitkan dengan dosa turunan atau kesialan turunan (contoh: bapak pemabuk, maka anaknya pemabuk), maka Gereja Katolik tidak mempercayai hal ini. Pada akhirnya, umat beriman harus percaya akan Sakramen Baptis yang membebaskan manusia dari kutuk dosa dan menjadikannya manusia baru. Ini berarti Sakramen Baptis dapat melepaskan manusia dari kutuk abadi, yaitu siksa abadi di neraka. Rasul Paulus mengatakan “3 Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya? 4 Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.” (Rm 6:3-4)
Semoga keterangan tambahan ini dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Pengasuh Katolisitas
Mengenai pertanyaan dari pak Soenardi :
Bagaimana dengan sabda Tuhan pada Kej.3 yang ditujukan kepada ular (ayat 14-15), Hawa (ayat 15-16) , dan Adam (ayat 17-19), yang jelas-jelas didahului dengan kata “terkutuklah”, dan sepertinya berlaku hingga kini dalam bentuk ular yang “menjalar”, perempuan yang “susah payah waktu mengandung” dan laki-laki yang “.. dengan susah payah angkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu .. dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu…” dst. Bukankah kutuk tsb. terus berlangsung, juga untuk orang-orang yang dibaptis? Dan rasanya hal-hal lain itu yang pada dasarnya merupakan “kutuk’ yang masih berlangsung.
Saya belum melihat jawaban dari pengasuh katolisitas seperti yang ditanyakan tentang :
1. ular yang “menjalar” (mungkin dahulunya ular tidak menjalar )
2.perempuan yang “susah payah waktu mengandung” (sebelum kejatuhan tidak ada perempuan yang mengandung, jadi kita tahu apakah melahirkan itu sakit atau tidak.Nampaknya tidak ada penderitaan waktu mengandung atau melahirkan sebelum kejatuhan)
3.laki-laki yang “.. dengan susah payah angkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu .. dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu” (sebelum kejatuhan manusia hanya tinggal ambil saja buah2an dan tidak perlu harus mengolah tanah,sehingga tidak usah berpeluh. Namun setelah kutuk dosa tersebut dijatuhkan sampai sekarang laki2 harus berkeringat untuk mencari makanannya)
Itu yang saya kira ditanyakan oleh pak Soenardi, bukan tentang yang lainnya.
Pengasuh malah menjawab tentang keturunan perempuan tsb yang menginjak dan meremukkan kepala ular dan tentang baptisan air KGK, 2520. Pertanyaannya sendiri malah tidak terjawab.
Kalau sekiranya baptisan melepaskan semua kutuk dosa (seperti yang diterangkan oleh pengasuh katolisitas), mengapa sampai sekarang ini laki2 harus keluar keringat untuk mendapatkan makanannya dan perempuan harus merasakan kesakitan sewaktu melahirkan. Bukankah itu berarti kutuk dosa itu masih tersisa sampai saat sekarang ?
Mungkin pak Soenardi sama dengan saya tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan tsb, maka saya mencoba untuk bertanya sekali lagi kepada pengasuh katolisitas.
Mudah2an jawabannya sesuai dengan apa yang ditanyakan oleh pak Soenardi.
Aaron
Shalom Aaron,
Terima kasih atas tanggapannya tentang kutuk. Saya minta maaf kalau menurut Aaron, saya tidak menjawab pertanyaan Pak Soenardi. Saya memang tidak membahas tentang apakah kondisi ular, Adam dan Hawa sebelum terkena kutuk, karena saya pikir bukan itu yang ditanyakan. Mari sekarang kita membahasnya, sehingga kalau memang benar ini yang ditanyakan, maka kita dapat menganalisanya.
1) Tentang ular yang menjalar. Menurut KGK, 116 “Arti harafiah adalah arti yang dicantumkan oleh kata-kata Kitab Suci dan ditemukan oleh eksegese, yang berpegang pada peraturan penafsiran teks secara tepat. “Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam arti harafiah” (Thomas Aqu., s.th. 1,1,10 ad 1).” Dari sini, kita harus berpegang bahwa pada awalnya semua harus dimengerti secara harafiah. Namun kalau dalam mengartikan secara harafiah tidak sejalan dengan akal sehat atau menunjukkan kontradiksi, maka kita mencoba melihat dengan alegori, moral, atau anagogi (Lih. KGK, 118). Oleh karena itu, ular disini, kita dapat mengartikan bahwa ular tersebut adalah benar-benar ada atau setan mengambil rupa ular. Rasul Paulus mengatakan “Hal itu tidak usah mengherankan, sebab Iblispun menyamar sebagai malaikat Terang.” (2 Kor 11:14) Namun, tidak ada yang tahu secara persis apakah sebelumnya ular menjalar atau tidak.
2) Perempuan yang bersusah payah waktu mengandung. Kita tahu bahwa Tuhan sendiri berfirman “Beranakcuculah dan bertambah banyak…” (Kej 1:28). Dari ayat ini, kita tahu bahwa menjadi rencana Tuhan bahwa melalui Adam dan Hawa, maka mereka akan beranak cucu, baik mereka jatuh ke dalam dosa maupun tetap setia kepada Tuhan. Kalau Adam dan Hawa setia kepada Tuhan, maka mereka dan semua anak cucu akan mengalami kebahagiaan di Sorga. Dan karena di Sorga terdapat kesempurnaan dan kebahagiaan sejati, maka tidak mungkin ada kesakitan, karena kesakitan adalah suatu ketidaksempurnaan.
3) Laki-laki harus bekerja keras. Dengan prinsip yang sama, maka laki-laki dan semua manusia tidak harus bekerja, karena semuanya telah dicukupi di taman Eden. Dan kalau Adam setia dengan perintah Allah, maka Adam dan Hawa beserta dengan keturunan mereka akan mengalami kebahagiaan sejati di Sorga, dan ini berarti mereka tidak lagi perlu bekerja.
4) Baptisan melepas semua kutuk dosa? Baptisan memang melepaskan kutuk dosa yang paling utama, yaitu keterpisahan antara manusia dan Tuhan untuk selamanya. Namun tidak semua akibat dosa dilepaskan, seperti kematian, penderitaan, kecenderungan berbuat dosa, dll. Dalam kebijaksanaan Tuhan, semua hal tadi dipakai untuk memurnikan manusia. Mungkin kebingungan ini disebabkan karena ada beberapa pertanyaan tentang kutuk, dimana kutuk dapat dipakai dalam beberapa kondisi, seperti: retret pohon keluarga yang seolah-olah dapat melepaskan kutuk turunan (pemabuk, sial, dll). Dalam konotasi inilah, maka saya mengatakan bahwa Sakramen Baptis mematahkan semua hal tersebut, karena dengan baptisan, maka kita semua menjadi manusia baru.
Semoga keterangan tambahan ini dapat memperjelas. Kalau masih ada yang belum terjawab, silakan untuk menyampaikannya lagi. Silakan membaca tanya jawab tentang kutuk beserta dengan semua komentar-komentar yang ada, sehingga dapat melihat diskusi yang beragam tentang kutuk.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Terima kasih atas jawabannya. Namun yang masih mengusik saya adalah fakta bahwa ada orang-orang yang telah menerima Sakramen Baptis yang sedang bergulat dengan masalah-masalah yang nampaknya merupakan kutukan yang masih melekat dari generasi terdahulu. Apakah dengan menerima Sakramen Baptis, orang Katolik juga dengan sendirinya bebas dari kutuk? Atau apakah ada kemungkinan bahwa merekapun juga masih bisa terpengaruh oleh kutukan? Jika retret pohon keluarga tidak sesuai, lalu apa yang harus dilakukan oleh orang-orang Katolik seperti ini?
Terima kasih.
Shalom Patrisius,
Terima kasih atas pertanyaannya. Pertanyaan ini hampir mirip dengan pertanyaan yang diajukan Apri. Silakan melihat jawaban yang telah saya berikan di sini (silakan klik). Kalau masih belum menjawab pertanyaan Apri, silakan untuk menanyakannya kembali. Secara prinsip, Sakramen Baptis telah menghapus semua kutuk, terutama kutuk yang terbesar, yaitu kutuk dosa. Namun untuk melihat buah-buahnya, maka seseorang harus terus bertumbuh di dalam iman, pengharapan, dan kasih, dengan cara bertekun di dalam doa, sakramen – terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Pengampunan Dosa), serta memperlengkapinya dengan Firman Tuhan. Bergabung dalam komunitas Gereja juga dapat membantu.
Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Apa dan bagaimana sebenarnya ajaran Gereja Katolik tentang KUTUK seperti yang misalnya tersebut baik di Perjanjian Lama (mis. Ul.11: 26, 28) atau di Perjanjian Baru (mis. Yak.3: 9,10 dll).
Terima kasih banyak atas tanggapannya.
Soenardi Djiwandono
[dari katolisitas: silakan melihat jawaban di atas – silakan klik]
Yth.Bapak Stef,
Terima kasih banyak untuk jawabandan penjelasan tentang KUTUK. Berikut adalah pertanyaan-pertanyaan terkait (lanjutan):. Kutuk diucapkan oleh Tuhan (memang semestinya begitu) baik di PL maupun PB (Yesus) Namun ternyata kutuk juga dilakukan oleh manusia, meskipun terbatas (?) pada orang-orang besar, terutama para nabi seperti Nuh dan Yoshua. Pertanyaan:
1. Apakah “orang sembarangan” (seperti orang tua dari golongan kebanyakan) dapat mengucapkan kutuk, dan efektif berlaku terhadap yang dikutuk? Bila hal itu terjadi, atas dasar kuasa apa manusia memiliki “kekuatan” (kehebatan) untuk mengucapkan kutuk?
2. Bagaimana mungkin Tuhan mengizinkan kutuk dari “orang sembarangan” (bukan nabi dll), atau sesorang, terhadap orang lain, termasuk keturunannya? Atau dalam hal ini kutuk itu bukan dari orang kebanyakan itu sendiri, melainkan sebagai kelanjutan/akibat dari perbuatan dosa salah satu orang tua atau nenek moyang terdahulu yang belum selesai “dibayar kembali”?
Semoga pertanyaan ini “make sense”, dapat dipemngerti, dan dapat diberi penjelasan. Untuk itu saya ucapkan terima kasih.
Soenardi Djiwandono
Shalom Pak Soenardi,
Terima kasih atas tanggapanya tentang masalah kutuk. Mungkin perlu saya tambahkan bahwa:
1) Kalau Tuhan memberikan kutuk, ini ada beberapa arti, misalkan berarti: menarik berkat yang diberikan (Kej 3:17; 4:11), menyatakan penghakiman (Kej 3:14), peringatan akan hukuman karena pelanggaran hukum atau atauran (Ul 27:15-26; 28:15; Yes 24:6). Oleh karena itu, kutuk dapat dilihat sebagai istilah antrhopomorphis (anthropomorphic term) untuk mengekpresikan ketidaksenangan Allah dan keadilan Allah.
2) Seseorang mengutuk terhadap sesuatu atau seseorang yang Tuhan kutuk, sehingga dikatakan “Bagaimanakah aku menyerapah yang tidak diserapah Allah? Bagaimanakah aku mengutuk yang tidak dikutuk TUHAN?” (Num 23:8). Dan untuk mengutuk seseorang karena pembalasan pribadi adalah suatu perbuatan dosa, sehingga dikatakan “aku takkan membiarkan mulutku berbuat dosa, menuntut nyawanya dengan mengucapkan sumpah serapah!” (Ay 31:30).
3) Di dalam Perjanjian Lama, orang yang mengutuk Tuhan hukumannya mati (lih. Im 24:15). Orang yang mengutuk orang tua akan mengalami hukuman yang sama (lih. Kel 21:17; Im 20:0; Ams 20:20). Menurut hukum Musa, seseorang tidak boleh mengutuk Allah dan penguasa bangsa (Kel 22:28) atau orang tuli (Im 19:14).
Dengan prinsip di atas, maka bagaimana kita melihat beberapa orang di dalam Perjanjian Lama yang melakukan kutuk. Mari kita melihat salah satu kutuk yang dilakukan oleh Nabi Nuh kepada anaknya Ham (bapa Kanaan). Nabi nuh mengatakan “Terkutuklah Kanaan, hendaklah ia menjadi hamba yang paling hina bagi saudara-saudaranya” (Kej 9:25). Dalam konteks ini, kita harus melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Ham adalah salah. Dan pada saat seorang nabi memberikan kutuk, maka sebenarnya nabi tersebut menyatakan kutuk yang diberikan oleh Allah, yang pasti akan terjadi. Dan ini hanya terjadi dengan seijin Allah. Kemudian di dalam Perjanjian Lama kita menemukan bahwa Kanaan memang menjadi terkutuk (lih. Yos 9:23, Yos 9:27; Hak 1:28-30; 1 Raj 9:20-21; 2 Taw 8:7-8). Dan kanaan memang mengalami begitu banyak kekalahan dan penderitaan, seperti yang terjadi pada waktu melawan Israel pada jaman Musa, dan kemudian anak-anak Sem juga menghancurkan mereka di bawah komando Yoshua.
Namun, kalau kutuk tersebut ditujukan kepada orang yang diberkati oleh Allah, maka kutuk tersebut tidak mempunyai kuasa apapun, karena memang dengan tidak seijin Allah. Sebagai contoh, ketika Balak memerintahkan Bileam untuk mengutuk orang-orang Israel (lih. Bil 22:6). Yang terjadi, bukanlah kutukan yang keluar dari mulut Bileam namun berkat (lih. Bil 23:11).
Dari contoh-contoh di atas, mari kita menjawab pertanyaan Pak Soenardi:
1) Orang sembarangan tidak boleh untuk mengutuk kepada siapapun, baik diberikan oleh orang tua kepada anak, maupun seseorang kepada sesama. Apa yang dilakukan di dalam Perjanjian Lama harus dibaca dalam terang Perjanjian Baru, dimana Yesus memberikan pesan moral yang lebih sempurna. Yesus mengatakan “mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.” (Lk 6:28). Dan sikap inilah yang harus dipunyai dan diterapkan oleh umat Allah, yang telah menerima Roh Allah lewat Sakramen Baptis.
2) Tuhan tidak mengijinkan kutuk berlangsung terus-menerus. Oleh karena itu, Allah mengutus Putera-Nya yang tunggal untuk menjadi penebusan bagi semua dosa-dosa kita. Dan rasul Paulus mengatakan “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: “Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!” (Gal 3:13). Oleh karena itu, Gereja Katolik tidak mempercayai kutuk turun-temurun, apalagi setelah orang tersebut dibaptis. Pada saat seseorang dibaptis, maka kuasa kutuk dipatahkan karena penebusan Kristus.
Semoga hal ini dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan.
stef – http://www.katolisitas.org
Yth.Bapak Stef,
Terima kasih untuk jawaban dan pencerahan tentang kutuk. Agar pemahaman saya lebih tuntas dan atas penjelasan bahwa “Tuhan tidak mengizinkan kutuk berlangsung terus-menerus” dan “Kristus telah membebaskan kita dari kutuk Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita ……” (Gal 3:13).
1. Bagaimana dengan sabda Tuhan pada Kej.1 yang ditujukan kepada ular (ayat 14-15), Hawa (ayat 15-16) , dan Adam (ayat 17-19), yang jelas-jelas didahului dengan kat “terkutuklah”, dan sepertinya berlaku hingga kini dalam bentuk ular yang “menjalar”, perempuan yang “susah payah waktu mengandung” dan laki-laki yang “.. dengan susah payah angkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu .. dengan berpeluh ngkau akan mencari makananmu…” dst. Bukankah kutuk tsb. terus berlangsung, juga untuk orang-orang yang dibaptis? Dan rasanya hal-hal lainrti itu yang pada dasarnya merupakan “kutuk’ yang masih berlangsung.
2. Atas dasar (potensi) perutusan Allah Putera menjadi manusia serta sengsara dan wafat Yesus Kristus disalib, dosa-dosa manusia ditebus. Dengan demikian kutuk kepada manusia yang secara eksplisit dinyatakan dalam PL itu terhapus dan tidak berlaku (?). Hal semacam ini banyak ditemukan dalam pasal dan ayat PL — terutama seperti isi kitab Imamat yang penuh dengan peraturan ibadah dan dosa dan hukumannya yang teramat njlimet, banyak di antaranya telah dikoreksi oleh Kristus, bahkan juga tentang meluliakan hari sabat, dll. Menjadi sulit bagi umat (kebanyakan) untuk memastikan apa saja yang merupakan suatu ketentuan/larangan yang jelas-jelas termuat di PL, sebenarnya sudah “dianulir” oleh berbagai pernyatan Yesus Kristus di berbagai peristiwa dan kesempatan. Ini benar-benar memusingkan bagi umat (kebanyakan) seperti saya.
Terima kasih, dan syalom.
Soenardi Djiwandono
Shalom Pak Soenardi Djiwandono,
Terima kasih atas tanggapanya tentang kutuk. Mari kita melihat beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Pak Soenardi.
1) Dikatakan di dalam kitab Kejadian, bahwa Tuhan mengutuk ular (Kej 3:14-15), Hawa (Kej 3:16) dan Adam (Kej 3:17-20). Dan memang kutukan itu masih terus berlangsung sampai saat ini, dimana semua wanita mengandung dengan kesakitan, orang tua harus persusah payah bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Namun jangan kita lupa, bahwa setelah kutukan tersebut, maka Tuhan juga berfirman “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.” (Kej 3:15). Perempuan ini adalah Maria, dan keturunannya adalah Yesus. Dan Yesus inilah yang akan meremukkan kutuk dosa. Kutuk dosa (silakan klik – untuk melihat pengertian tentang kutuk dosa) ini jauh melebihi dari semua kutuk yang lain, karena kutuk dosa adalah keterpisahan dengan Allah untuk selamanya. Kutuk dosa ini adalah satu paket dengan kodrat dari dosa itu sendiri. Tuhan yang adalah kudus, tidak akan mungkin dapat mentolerir dosa.
Akibat dari dosa manusia pertama, maka manusia kehilangan rahmat kekudusan dan juga preternatural gifts: tunduknya nafsu-nafsu kepada akal budi, tidak adanya penderitaan fisik, tidak dapat mati. Dan dengan kedatangan Kristus, maka Kristus mengambil kutuk dosa dengan mengembalikan rahmat kekudusan (sanctifying grace) pada waktu manusia menerima Sakramen Baptis. Di dalam kebijaksanaan-Nya, Tuhan tidak mengembalikan preternatural gifts, namun menggunakan kelemahan ini sebagai suatu kesempatan bagi manusia untuk berjuang dan membuktikan kasihnya kepada Tuhan.
KGK, 2520 mengatakan ” Pembaptisan memberi kepada yang dibaptis rahmat pemurnian dari segala dosa. Tetapi selanjutnya orang yang dibaptis itu harus berjuang melawan keinginan daging dan hawa nafsu yang tidak teratur. Dengan rahmat Allah ia mampu untuk itu : a) oleh kebajikan dan anugerah kemurnian, karena kemurnian memungkinkan untuk mencintai dengan hati yang jujur dan tidak terbagi; b) oleh maksud yang jujur, yang melihat tujuan manusia yang sebenamya, karena yang sudah dibaptis mencari dengan mata yang bersahaja untuk mengetahui dan memenuhi kehendak Allah di dalam segala-galanya. c) dengan cara melihat yang jujur secara lahir-batin, oleh pengendalian perasaan dan fantasi, oleh penolakan setiap kepuasan akan pikiran yang tidak senonoh, yang menyesatkan dari jalan hukum-hukum ilahi: “Pemandangan merangsang hawa nafsu pada orang bodoh” (Keb 15:5); d) oleh doa: “Dulu aku sangka bahwa pantang adalah masalah kekuatan pribadi… karena dalam kebodohanku aku tidak tahu apa yang tertulis: bahwa tidak ada seorang pun dapat berpantang, kecuali Tuhan memberikan itu kepadanya. Engkau rela menganugerahkan itu kepadaku, kalau andaikata aku dengan kerinduan batin menyerang telinga-Mu dan dengan kepercayaan yang kokoh menyerahkan kepentingan saya kepada-Mu” (Agustinus, conf. 6,11,20).“
2) Untuk menjawab pertanyaan tentang hubungan peraturan-peraturan atau hukum-hukum di dalam Perjanjian Lama, maka kita harus mengerti tentang tiga kategori hukum di dalam Perjanjian Lama yang harus dilihat dalam terang Perjanjian Baru. Silakan melihat pembahasan tentang 3 macam hukum di Perjanjian Lama (silakan klik).
Jadi pada dasarnya, kita harus belajar tentang apa yang dikatakan oleh Gereja melalui Magisterium Gereja, dan menjalankannya dengan sukacita, karena peraturan-peraturan Gereja berdasarkan kebenaran, yang pada akhirnya akan membebaskan kita, seperti yang dikatakan oleh Yesus “… kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32).
Semoga uraian di atas dapat menjawab pertanyaan Pak Soenardi.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Saya ingin bertanya mengenai jawban bapak Stef pada poni no. 4 ” tidak usah takut akan kutuk dari turunan sebelumnya, atau hal-hal lain, karena Sakramen Baptis telah memurnikan kita.” Masih belum jelas pada bagian ini pak Stef !! Contoh di tempat tinggal saya Orang tuanya tiap malam sering mabuk-mabukan…ketika anaknya laki-laki beranjak dewasa ikut jadi pemabuk padahal sudah terima sakramen Baptis Kemudian ada seorang ibu kerjanya suka bohong pembohong dan menipu padahal padahal kehidupan ekonominya berlebihan …..anaknya pun ada yang ikut seperti orang tuanya padahal sudah menerima sakramen baptis..
Pertanyaan saya : Apakah itu bukan disebut kutuk turunan ? Mohon Penjelasan pak …di lingkungan tempat tinggal saya banyak anak mengikuti tabiat orang tua…. Kalo orang tuanya jahat otomatis anaknya ada yang menjadi jahat, sebaliknya kalo Orang tuanya baik otomatis anaknya pun menjadi baik…
Trimah kasih
Apri
Shalom Apri,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang dosa yang mungkin terlihat seperti efek dari kutuk. Dalam contoh yang diberikan oleh Apri – ayah pemabuk maka anaknya pemabuk, atau ibu pembohong maka anaknya pembohong – bukanlah karena kutuk. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut:
1) Kutuk yang diturunkan oleh nenek moyang kita, sebenarnya telah dipatahkan pada waktu kita dibaptis. Dan kita percaya bahwa dengan Sakramen Baptis, kita menjadi manusia yang baru di dalam Kristus. Namun tantangannya adalah bagaimana kita semua setia terhadap janji yang kita ucapkan pada saat di Baptis, yang salah satunya adalah menolak setan.
Pertanyaannya: mengapa orang yang dibaptis terlihat masih terkena kutuk turunan? Mungkin kita harus melihat dari sisi yang berbeda, karena tidak benar kalau sesuatu salah maka dapat dihubungkan dengan kutuk turunan. Dalam contoh di atas, walaupun rahmat Tuhan pasti mengalir dalam Sakramen Baptis, namun manifestasi pada diri orang-orang yang menerimanya berbeda. Rahmat yang dicurahkan sama, namun disposisi hati berbeda. (Catatan penting: dalam sakramen, apapun disposisi hati kita maupun tingkat kekudusan pastor, selama sakramen tersebut diberikan secara sah – sesuai dengan forma dan materi – maka rahmat Tuhan mengalir dan dicurahkan. Dalam istilah teologis, kita mengenal: ex opere operato).
Manifestasi dari rahmat Tuhan inilah yang dapat berbeda-beda dalam diri setiap orang. Kalau orang tersebut dipersiapkan dengan baik, mempunyai pertobatan yang benar, bertekun dalam doa, mengerti pengajaran Gereja Katolik secara benar, maka orang tersebut akan memperlihatkan buah-buah yang berlimpah. Bandingkan dengan bayi yang dibaptis, yang belum memberikan manifestasi apapun secara kasat mata. Namun perlahan-lahan, manifestasi dari rahmat Tuhan yang bekerja di dalam diri bayi tersebut akan menghasilkan buah-buah yang limpah jika bayi tersebut tumbuh di dalam keluarga dan komunitas Katolik yang taat dan baik.
2) Jadi entah nenek moyangnya mendapat kutuk atau tidak, bagi orang yang telah diBaptis dan tidak berjalan sesuai dengan terang Kristus untuk hidup dalam kekudusan, maka orang tersebut mempunyai resiko untuk kehilangan keselamatannya, yaitu dengan cara melakukan dosa berat. Dan inilah yang terjadi pada banyak orang, termasuk kita semua, bahwa kita sering jatuh dalam dosa. Dalam contoh yang diberikan Apri, maka berlaku bagi semua orang. Kalau seseorang anak berada di lingkungan yang tidak baik, apalagi dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai peran penting dalam kehidupan seseorang (ayah, ibu, guru, dll), maka mau tidak mau akan berpengaruh terhadap perkembangan iman anak tersebut. Kita melihat bahwa pengaruh lingkungan dan masyarakat begitu mempengaruhi perkembangan iman seseorang. Sebagai contoh: dalam masyarakat Indonesia yang sendi-sendi kehidupan di masyarakat banyak terjadi korupsi, akan sangat sulit seseorang lepas dari hal ini.
3) Jadi bagi orang yang telah dibaptis, tidak usah takut kalau nenek moyangnya telah melakukan kesalahan, karena orang yang telah dibaptis telah menjadi manusia baru dan mengenakan Kristus. Namun tentu saja harus terus bertumbuh dalam iman, pengharapan dan kasih kepada Allah. Untuk berkembang, seorang yang dibaptis harus bertumbuh di dalam doa, sakramen (terutama Ekaristi dan Pengampunan Dosa), dan mengenakan seluruh perlengkapan senjata Allah (Ef 6:10-11), dimana lengkapnya dapat dilihat di Ef 6:13-17.
13) Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu.
14) Jadi berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran dan berbajuzirahkan keadilan,
15) kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera;
16) dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat,
17) dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu Firman Allah
Semoga uraian ini dapat menjawab pertanyaan Apri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Shalom Pak Stef,
Terimah kasih atas jawabannya ya pak Stef. Namun saya masih belum begitu mengerti dengan keadaan yang terjadi secara turun temurun. Oleh karena itu boleh ya pak kita sharing lagi . Sebelumya trima kasih banyak Tuhan Yesus Memberkati kita sekalian Amin.
1. Yang pertama Pak Stef mengatakan “Mungkin kita harus melihat dari sisi yang berbeda, karena tidak benar kalau sesuatu salah maka dapat dihubungkan dengan kutuk turunan. Kalo begitu Ayah yang pemabuk dan anak ikut jadi pemabuk hanya disebabkan oleh karena keadaan lingkungan ya pak Stef bukan karena kutuk ? Sedangkan Kakek dari anak yang pemabuk tersebut adalah juga seorang pemabuk ( kakek tersebut telah meninggal dunia ). Bukankah ini suatu keadaan yang harus ditanggung secara turun temurun ? Lalu disebut apakah itu jika bukan kutuk ? Trus bagaimana mempersiapkan anak tersebut dalam pertobatan yg benar serta bertekun dalam doa jika orang tuanya pun demikian .
2. Kemudian pertanyaan yang kedua di point ke 3 pak Stef mengatakan “Jadi bagi orang yang telah dibaptis, tidak usah takut kalau nenek moyangnya telah melakukan kesalahan, karena orang yang telah dibaptis telah menjadi manusia baru dan mengenakan Kristus.” Saya setuju sekali dengan hal ini pak kita tidak perlu takut akan tetapi apakah anak tersebut sudah menjadi manusia baru dan tidak perlu takut dengan keadaanya sekarang ( Peminum ). Siapakah yang dapat merubah anak tersebut ?
3. Apakah Dosa berat yang diperbuat oleh Orang tua harus ditanggung oleh anak ataupun cucu ? Bagaimanakah sikap gereja dalam menanggapi hal ini pak ? Karena Alkitab berkata “Apa yang kau tabur itulah yang kau tuai “ Bukankah sama artinya apabila saya menabur Dosa maka anak-anak saya akan mendapatkan tuaiannya . Mohon penjelasannya pak
Salam Kasih Kristus . Apri
Shalom Apri,
Terima kasih atas pertanyaannya. Mari kita melanjutkan diskusi kita tentang kutuk.
1) Dalam contoh yang diberikan oleh Apri, yaitu kakek seseorang adalah pemabuk, kemudian ayahnya juga menjadi pemabuk, dan anaknya juga menjadi pemabuk. Dan seolah-olah, hal ini menjadi suatu bukti tentang kutuk yang terlihat sesuatu yang buruk terjadi dari satu generasi ke generasi yang lain. Mari kita coba membayangkan dan menganalisa, apakah hal ini tetap terjadi, kalau ayah tersebut dipisahkan dari kakeknya, atau anak tersebut dipisahkan dari ayahnya, dan anak tersebut hidup terpisah dari ayahnya atau kakeknya yang pemabuk sejak dari bayi. Saya percaya bahwa kalau anak tersebut hidup dalam lingkungan yang berbeda dengan lingkungan ayah dan kakeknya, maka dia akan tumbuh menjadi manusia yang berbeda, dalam hal ini tidak menjadi pemabuk seperti ayah atau kakeknya. Kalau memang terjadi kutuk, maka walaupun anak tersebut terpisah dari ayah dan kakeknya sejak bayi, maka anak tersebut tetap menjadi pemabuk.
Mungkin Apri pernah mendengar pepatah “monkeys see, monkeys do” atau “guru kencing berdiri, murid kencing berlari“. Seorang anak, yang selalu melihat figur yang dihormatinya (ayah dan kakek) tenggelam dalam kemabukan, maka baik sadar maupun tidak sadar, dia akan berfikir bahwa apa yang dilakukan oleh ayah dan kakeknya tidaklah salah dan bahkan harus ditiru. Inilah sebabnya, anak yang dididik dengan nilai-nilai yang buruk, akan bertumbuh dengan kebiasaaan buruk (vice) tertentu yang sulit hilang, karena telah menjadi kebiasaan. Sebaliknya anak yang dididik dengan nilai-nilai yang baik, akan bertumbuh menjadi anak yang baik. Nilai-nilai yang baik yang terus diterapkan akan menjadi suatu kebajikan (virtue), yaitu kebiasaan yang baik di dalam jiwa seseorang, yang sulit hilang.
Oleh karena itu, anak-anak yang tumbuh dalam situasi yang buruk, sehingga menyebabkan anak tersebut mempunyai kecenderungan untuk berbuat dosa yang sama atau disebut “habitual sin“. Diperlukan kerendahan hati untuk mengakui dosa ini dan bergantung pada Tuhan untuk memberikan rahmat kepada orang ini, sehingga orang ini dapat berubah. Habitual sin, yang menjadi kebiasaan buruk dari jiwa seseorang hanya dapat dilawan dengan kebajikan (virtue) yang menjadi kebiasaan baik dari jiwa, sebagai contoh: orang yang terbiasa hidup tidak murni (misal: pornografi, perzinahan, dll), harus dilawan dengan kebajikan kemurnian (chastity). Dan Gereja juga membantu dengan sakramen-sakramen, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat. Kalau anak tersebut dapat secara teratur mengakukan dosa pada pastor yang sama, maka anak tersebut, secara perlahan-lahan dapat melepaskan dosa tertentu. Tentu saja doa pribadi dan Firman Tuhan akan membantu banyak. Secara prinsip, anak ini benar-benar membutuhkan rahmat Tuhan yang didapat lewat doa, sakrament, Firman Tuhan, sakrament, sehingga dosa yang menjadi kebiasaan ini dapat hilang.
2) Saya mengatakan bahwa kita tidak usah takut akan kutuk dalam pengertian bahwa seseorang seolah-olah kutuk dari generasi sebelumnya masih mengikat, walaupun telah dibaptis. Dari penjelasan di atas, kita menyadari bahwa kebiasaan dosa, terutama dosa berat, harus benar-benar dilawan dan dikalahkan dengan rahmat Tuhan dan bertumbuh dalam kebajikan (virtue) yang berlawanan dengan dosa tersebut. Jadi kalau anak tersebut mempunyai kebiasaan minum, maka harus dilawan dengan kebajikan pengendalian diri. Karena itu, anak tersebut harus bekerja sama dengan rahmat Tuhan, sehingga rahmat Tuhan dapat bekerja dengan baik dan menghasilkan sesuatu yang baik (efficacious grace). Dan komunitas yang baik juga dapat membantu anak ini untuk dapat bertumbuh dalam virtue.
3) Apakah Dosa berat yang diperbuat oleh Orang tua harus ditanggung oleh anak ataupun cucu? Karena dosa senantiasa mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horisontal, maka dosa yang dibuat oleh orang tua senantiasa mempunyai efek – secara langsung maupun tidak langsung – bagi seluruh anggota keluarganya. Jadi, walaupun orang tuanya berbuat dosa, anaknya akan terkena efek dari dosa, namun anak tersebut tidak menanggung dosa dari orang tuanya. Kita mengingat apa yang dikatakan oleh nabi Yehezkiel “(20) Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya. (21) Tetapi jikalau orang fasik bertobat dari segala dosa yang dilakukannya dan berpegang pada segala ketetapan-Ku serta melakukan keadilan dan kebenaran, ia pasti hidup, ia tidak akan mati. (22) Segala durhaka yang dibuatnya tidak akan diingat-ingat lagi terhadap dia; ia akan hidup karena kebenaran yang dilakukannya” (Yeh 18:20-21).
Semoga keterangan di atas dapat menjawab pertanyaan Apri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Comments are closed.