Pendahuluan
Saya pernah mendengar bahwa ada orang-orang yang mengatakan liturgi di Gereja Katolik itu ‘membosankan’. Katanya lagu-lagunya itu-itu saja, kurang bersemangat dan kurang berkesan. Apa iya, demikian halnya? Sebelum berkomentar, mari kita lihat dulu apa sebenarnya arti liturgi di dalam Gereja Katolik. Lalu, setelah itu baru kita tilik kembali komentar itu. Sebab, jangan-jangan masalahnya bukan pada liturgi-nya tetapi pada diri si penerima. Ibaratnya, “kesalahan bukan pada stasiun pemancar radio, tetapi pada antena anda.” Walaupun demikian, mari kita lihat juga apa yang perlu kita lakukan supaya kita dapat menghayati liturgi dan menjadikannya bagian dari diri kita, supaya kita tidak sampai bosan. Ini adalah bentuk “perbaikan antena” sehingga radio kita dapat menangkap sinyal dengan lebih baik.
Pengertian liturgi
Telah kita ketahui bahwa sakramen adalah penghadiran Misteri Kristus (lihat artikel: Sakramen: Apa pentingnya dalam kehidupan iman kita?). Di dalam liturgi, Gereja merayakan Misteri Paskah Kristus yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga- yang membawa kita kepada Keselamatan. ((Lihat Sacrosanctum Concilium, Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci, 5, dan Katekismus Gereja Katolik 1067, 1068.)) Dengan merayakan Misteri Kristus ini, kita memperingati dan merayakan bagaimana Allah Bapa telah memenuhi janji dan menyingkapkan rencana keselamatan-Nya dengan menyerahkan Yesus Putera-Nya oleh kuasa Roh Kudus untuk menyelamatkan dunia. ((Lihat KGK 1066.)) Jadi sumber dan tujuan liturgi adalah Allah sendiri.
Katekismus Gereja Katolik menjabarkan tentang liturgi sebagai karya Allah dengan mengutip surat Rasul Paulus, demikian:
“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya.” (Ef 1:3-6) ((Lihat KGK 1077))
Maka “berkat rohani” merupakan karya Allah. Sumber dari segala berkat rohani ini adalah Allah Bapa, berkat ini dicurahkan kepada kita di dalam Kristus, oleh kuasa Roh Kudus. Sejak awal mula Allah telah memberkati mahluk ciptaan-Nya, secara khusus umat manusia ((lih. KGK 1080)). Dalam liturgi inilah berkat rohani surgawi dicurahkan kepada kita. Dan karena berkat rohani dari Allah yang terbesar adalah karya keselamatan Allah yang dilaksanakan oleh Kristus dan di dalam Kristus, maka karya keselamatan Allah itulah yang dihadirkan kembali di tengah Gereja dalam liturgi, oleh kuasa Roh Kudus.
Liturgi pada awalnya berarti “karya publik”. Dalam sejarah perkembangan Gereja, liturgi diartikan sebagai keikutsertaan umat dalam karya keselamatan Allah. Di dalam liturgi, Kristus melanjutkan karya Keselamatan di dalam, dengan dan melalui Gereja-Nya. ((Lihat KGK 1069.)) Pada jaman Gereja awal seperti dijabarkan di dalam surat rasul Paulus, para pengikut Kristus beribadah bersama di dalam liturgi (dikatakan sebagai “korban dan ibadah iman” di dalam Flp 2:17). Termasuk di sini adalah pewartaan Injil “(Rom 15:16); dan pelayanan kasih (2 Kor 9:12). Maka, dalam Perjanjian Baru, kata ‘liturgi’ mencakup tiga hal, yaitu ibadat, pewartaan dan pelayanan kasih yang merupakan partisipasi Gereja dalam meneruskan tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja. ((Lihat KGK 1070.))
Secara khusus, liturgi merupakan wujud pelaksanaan tugas Kristus sebagai Imam Agung. Dalam hal ini, liturgi merupakan penyembahan Kristus kepada Allah Bapa, namun dalam melakukan penyembahan ini, Kristus melibatkan TubuhNya, yaitu Gereja; sehingga liturgi merupakan karya bersama antara Kristus (Sang Kepala) dan Gereja (Tubuh Kristus). Konsili Vatikan II mengajarkan pengertian tentang liturgi sebagai berikut:
“Maka, benarlah bahwa liturgi dipandang sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus. Di dalam liturgi, dengan tanda-tanda lahiriah, pengudusan manusia dilambangkan dan dihasilkan dengan cara yang layak bagi masing-masing tanda ini; di dalam Liturgi, seluruh ibadat publik dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya.
Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama.” ((Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concilium, 7))
Oleh karena itu tidak ada kegiatan Gereja yang lebih tinggi nilainya daripada liturgi ((Lihat KGK 1070, Konsili Vatikan II, Sacrosanctum Concillium, 7.)) karena di dalam liturgi terwujudlah persatuan yang begitu erat antara Kristus dengan Gereja sebagai ‘Mempelai’-Nya dan Tubuh-Nya sendiri.
Paus Pius XII dalam surat ensikliknya tentang Liturgi Suci, Mediator Dei, menjabarkan definisi liturgi sebagai berikut:
“Liturgi adalah ibadat publik yang dilakukan oleh Penebus kita sebagai Kepala Gereja kepada Allah Bapa dan juga ibadat yang dilakukan oleh komunitas umat beriman kepada Pendirinya [Kristus], dan melalui Dia kepada Bapa. Singkatnya, liturgi adalah ibadat penyembahan yang dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Kristus secara keseluruhan, yaitu Kepala dan anggota-anggotanya.” ((Paus Pius XII, Mediator Dei, 20))
Atau, dengan kata lain, definisi liturgi adalah seperti yang dirumuskan oleh Rm. Emanuel Martasudjita, Pr. dalam bukunya Liturgi, yaitu: “Liturgi adalah perayaan misteri karya keselamatan Allah di dalam Kristus, yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung, bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.” ((Rm. Emanuel Martasudjita, Pr., Liturgi, Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), p.22))
Allah Bapa: Sumber dan Tujuan Liturgi
Alkitab mengatakan, “Terpujilah Allah Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia, Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia yang dikasihi-Nya” (Ef 1:3-6). Dari sini kita mengetahui bahwa Allah Bapalah yang memberikan rahmat sorgawi kepada kita, melalui Kristus dan di dalam Kristus. Dan karena rahmat itu diberikan di dalam sakramen melalui liturgi, maka sumber liturgi adalah Allah Bapa, dan tujuan liturgi adalah kemuliaan Allah.
Kristus Bekerja di dalam Liturgi
Karena Kristus telah bangkit mengalahkan maut, maka, Ia yang telah duduk di sisi kanan Allah Bapa, pada saat yang sama dapat terus mencurahkan Roh Kudus-Nya kepada Tubuh-Nya, yaitu Gereja-Nya, melalui sakramen-sakramen. ((Lihat KGK 1084)) Karena Yesus sendiri yang bertindak dengan kuasa Roh Kudus-Nya, maka kita tidak perlu meragukan efeknya, karena pasti Kristus mencapai maksud-Nya.
Puncak karya Kristus adalah Misteri Paska-Nya, maka Misteri Paska inilah yang dihadirkan di dalam liturgi Gereja. ((Lihat KGK 1085)) Jadi dalam liturgi, Misteri Paska yang sungguh-sungguh telah terjadi di masa lampau dihadirkan kembali oleh kuasa Roh Kudus. Karena Kristus telah menang atas kuasa dosa dan maut, maka Misteri Paska-Nya tidak berlalu begitu saja ditelan waktu, namun dapat dihadirkan kembali oleh kuasa Ilahi, yang mengatasi segala tempat dan waktu. Hal ini dilakukan Allah karena besar kasih-Nya kepada kita, sehingga kita yang tidak hidup pada masa Yesus hidup di dunia dapat pula mengambil bagian di dalam kejadian Misteri Paska Kristus dan menerima buah penebusan-Nya. Katekismus mengajarkan, “Liturgi Kristen tidak hanya mengingatkan kita akan peristiwa-peristiwa yang menyelamatkan kita, tetapi menghadirkannya juga. Misteri Paska Kristus dirayakan bukan diulangi; hanya perayaan-perayaan itu yang diulangi. Di dalam setiap perayaan terjadi curahan Roh Kudus yang membuat misteri yang terjadi hanya satu kali itu, menyata dalam waktu sekarang.” ((KGK 1104))
Kristus selalu hadir di dalam Gereja, terutama di dalam perayaan liturgi. Pada perayaan Ekaristi/ Misa kudus, Kristus tidak hanya hadir di dalam diri imam-Nya, namun juga di dalam wujud hosti kudus (lihat artikel: Sudahkah kita pahami arti Ekaristi?). Liturgi di dunia menjadi gambaran liturgi surgawi di mana Yesus duduk di sisi kanan Allah Bapa, dan kita semua sebagai anggota Gereja memuliakan Allah bersama seluruh isi surga. ((Lihat Konsili Vatikan II, tentang Liturgi suci, Sacrosanctum Concilium, 8.))
Roh Kudus dan Gereja di dalam Liturgi
Jika Roh Kudus bekerja di dalam diri seseorang, maka Ia akan menggerakkan hati orang tersebut untuk bekerjasama dengan Allah. Kita dapat melihat hal ini pada teladan Bunda Maria dan para Rasul. Demikian halnya liturgi menjadi hasil kerjasama Roh Kudus dengan kita sebagai anggota Gereja. ((Lihat KGK 1091)) Kerjasama Roh Kudus dan Gereja ini menghadirkan Kristus dan karya keselamatan-Nya di dalam liturgi, sehingga liturgi bukan sekedar ‘kenangan’ akan Misteri Kristus, melainkan adalah kehadiran Misteri Kristus yang satu-satunya itu. ((Lihat KGK 1099, 1104))
Peran Roh Kudus dinyatakan pada saat pembacaan Sabda Allah, karena Roh Kudus menjadikan Sabda itu dapat diterima dan dilaksanakan di dalam hidup umat. Kemudian Roh Kudus memberikan pengertian rohani terhadap Sabda Tuhan itu, yang menghidupkan perkataan doa, tindakan dan tanda-tanda lahiriah yang dipergunakan dalam liturgi, dan dengan demikian Roh Kudus menghidupkan hubungan antara umat (beserta para imam) dengan Kristus. ((Lihat KGK 1101,1102.)) Selanjutnya peran Roh Kudus nyata saat konsekrasi, yaitu saat roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Di sinilah puncak perayaan Ekaristi terjadi, saat Kristus berkenan menghadirkan Diri di tengah Gereja-Nya.
Oleh karena itu Sang Pelaku yang utama dalam liturgi adalah Kristus, dan kita sebagai anggota Gereja mengambil bagian di dalam karya keselamatan Allah yang dilakukan oleh Kristus itu. Dengan demikian bukan kita pribadi yang dapat menentukan segala sesuatunya dalam liturgi menurut kehendak sendiri, melainkan kita sepantasnya mengikuti apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan Yesus dalam perayaan tersebut, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para rasul dan diteruskan dengan setia oleh para penerus mereka.
Kristus mengajak kita ikut serta mengambil bagian dalam Misteri Keselamatan-Nya
Yesus mengajak kita semua ikut mengambil bagian dalam karya keselamatan-Nya, terutama dalam Misteri Paska-Nya yang dihadirkan kembali di dalam Liturgi. Karena kuasa kasih dan kebangkitan-Nya, Kristus memberikan kita kesempatan yang sama dengan orang-orang yang hidup pada zaman Ia hidup di dunia 2000 tahun yang lalu, yaitu menyaksikan dan ikut mengambil bagian dalam peristiwa yang mendatangkan keselamatan kita, yaitu wafatNya di salib, kebangkitan-Nya dan kenaikan-Nya ke surga. Secara khusus penghadiran Misteri Paska ini nyata dalam Ekaristi, yang merupakan penghadiran kurban Kristus yang sama dan satu-satunya itu oleh kuasa Roh Kudus. ((Kini Ekaristi diwujudkan sebagai kurban yang tidak berdarah, karena Yesus telah menang atas maut, sehingga tidak mungkin kurban Kristus yang satu-satunya itu dihadirkan kembali dengan penumpahan darahNya seperti yang terjadi secara historis 2000 tahun yang lalu.)) Kuasa Roh Kudus yang dulu menghadirkan Yesus dalam rahim Maria, kini hadir untuk menghadirkan Yesus di altar. Kuasa Roh Kudus yang dulu hadir pada hari Pentakosta kini hadir di dalam setiap perayaan Ekaristi, untuk mengubah kita menjadi seperti para rasul, dipenuhi kasih dan semangat yang berkobar untuk ikut serta melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah di dunia ini.
Jika kita menghayati kebenaran ini, kita seharusnya tidak bosan dan mengantuk dalam mengikuti misa. Sebab jika demikian, kita seumpama mereka yang hidup di jaman Yesus, hadir di bawah kaki salib Yesus, tetapi malah melamun dan tidak mempunyai perhatian akan apa yang sedang terjadi di hadapan mata mereka. Sungguh tragis, bukan? Memang Misteri Paska itu tidak hadir persis secara fisik seperti 2000 tahun lalu, namun secara rohani, Misteri Kristus yang sama dan satu-satunya itu hadir dan membawa efek yang sama seperti pada 2000 tahun yang lalu. Betapa dalamnya makna dari misteri ini, namun kita perlu menilik ke dalam hati kita yang terdalam untuk melihatnya dengan mata rohani dan menghayatinya dengan sikap tunduk dan kagum.
Bagaimana sikap kita di dalam liturgi
Bayangkan jika anda secara pribadi diundang pesta oleh Bapak Presiden. Tentu anda akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya bukan? Anda akan berpakaian yang sopan, bersikap yang pantas, mempersiapkan apa yang akan anda bicarakan, dan anda akan datang tidak terlambat, jika perlu siap sebelum waktunya. Mari kita memeriksa diri, sudahkah kita bersikap demikian di dalam ‘pertemuan’ kita dengan Tuhan di dalam liturgi. Karena Tuhan jauh lebih mulia dan lebih penting daripada Bapak Presiden, seharusnya persiapan kita jauh lebih baik daripada persiapan bertemu dengan Presiden.
Langkah #1: Mempersiapkan diri sebelum mengikuti liturgi dan mengarahkan hati sewaktu mengikuti liturgi
Untuk menyadari kedalaman arti misteri ini, kita harus mempersiapkan diri dengan sungguh-sungguh sebelum mengambil bagian di dalam liturgi. Persiapan ini dapat berbentuk: membaca dan merenungkan ayat kitab suci pada hari itu, hening di sepanjang jalan menuju ke gereja, datang di gereja lebih awal, berpuasa ( 1 jam sebelum menyambut Ekaristi dan terutama berpuasa sebelum menerima sakramen Pembaptisan dan Penguatan), memeriksa batin, mengaku dosa dalam sakramen Tobat sebelum menerima Ekaristi.
Lalu, sewaktu mengikuti liturgi, kitapun harus senantiasa mengarahkan sikap hati yang benar. Jika terjadi ‘pelanturan’, segeralah kita kembali mengarahkan hati kepada Tuhan. Kita harus mengarahkan akal budi kita untuk menerima dengan iman bahwa Yesus sendirilah yang bekerja melalui liturgi, dan bahwa Roh KudusNya menghidupkan kata-kata doa dan teks Sabda Tuhan yang diucapkan di dalam liturgi, sehingga menguduskan tanda-tanda lahiriah yang dipergunakan di dalam liturgi untuk mendatangkan rahmat Tuhan.
Sikap hati ini dapat diwujudkan pula dengan berpakaian yang sopan, tidak ‘ngobrol’ pada saat mengikuti liturgi, dan tidak menyalakan hp/ mengangkat telpon di gereja. Sebab jika demikian dapat dipastikan bahwa hati kita tidak sepenuhnya terarah pada Tuhan.
Langkah #2: Bersikap aktif: jangan hanya menerima tetapi juga memberi kepada Tuhan
St. Thomas Aquinas mengajarkan bahwa penyembahan yang sempurna itu mencakup dua hal, yaitu menerima dan memberikan berkat-berkat ilahi. ((Lihat St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, III, 63, 2.)) Di dalam liturgi, penyembahan kita kepada Tuhan mencapai puncaknya, saat kita kita turut memberikan/ mempersembahkan diri kita kepada Tuhan dan pada saat kita menerima buah dari penebusan Kristus melalui Misteri Paska-Nya. Puncak liturgi adalah Ekaristi, di mana di dalam Misteri Paska yang dihadirkan kembali itu, Kristus menjadi Imam Agung, dan sekaligus Kurban penebus dosa. ((Lihat KGK 1348, 1364,1365.))
Dalam liturgi Ekaristi, kita sebagai anggota Tubuh Kristus seharusnya tidak hanya ‘menonton’ atau sekedar menerima, tetapi ikut mengambil bagian dalam peran Kristus sebagai Imam Agung dan Kurban tersebut. Caranya adalah dengan turut mempersembahkan diri kita, beserta segala ucapan syukur, suka duka, pergumulan, dan pengharapan, untuk kita persatukan dengan kurban Kristus. ((Lihat Lawrence G. Lovasik, The Basic Book of the Eucharist, (Sophia Institute Press, New Hampshire, 1960), p.73, “To receive Communion is not only to receive, for it is a Treasure, but also to give, and to give something that will make of you and the Victim one gift. You cannot be one with the Victim without yourself being a victim. Your motto should be: “I live for Jesus, and Jesus Christ lives in me.”)) Setiap kali menghadiri misa, kita bawa segala kurban persembahan diri kita untuk diangkat ke hadirat Tuhan, terutama pada saat konsekrasi ((Doa Konsekrasi adalah saat imam mengangkat hosti dan berkata “Terimalah dan makanlah….” Dan mengangkat piala, dan berkata “Terimalah dan minumlah….”)), yaitu saat kurban roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Yesus. Dengan demikian kurban kita akan menjadi satu dengan kurban Yesus. Oleh karena itu, liturgi menjadi penyembahan yang sempurna karena Kristus yang adalah satu-satunya Imam Agung dan Kurban yang sempurna, menyempurnakan segala penyembahan kita. Bersama Yesus di dalam liturgi kita akan sungguh dapat menyembah Allah Bapa di dalam roh dan kebenaran (Yoh 4:24), karena di dalam liturgi kuasa Roh Kudus bekerja menghadirkan Kristus yang adalah Kebenaran itu sendiri.
Hal kehadiran Yesus tidak hanya terjadi dalam Ekaristi, tetapi juga di dalam liturgi yang lain, yaitu Pembaptisan, Penguatan, Pengakuan Dosa, Perkawinan, Tahbisan suci, dan Pengurapan orang sakit. Dalam liturgi tersebut, kita harus berusaha untuk aktif berpartisipasi agar dapat sungguh menghayati maknanya. Partisipasi aktif ini bukan saja dari segi ikut menyanyi, atau membaca segala doa yang tertulis, melainkan terutama partisipasi dari segi mengangkat hati dan jiwa untuk menyembah dan memuji Tuhan, dan meresapkan segala perkataan yang diucapkan di dalam hati.
Langkah #3: Jangan memusatkan perhatian pada diri sendiri tetapi pada Kristus
Jadi, agar dapat menghayati liturgi, kita harus memusatkan perhatian kita kepada Kristus, dan pada apa yang telah dilakukanNya bagi kita, yaitu: oleh kasihNya yang tak terbatas, Kristus tidak menyayangkan nyawa-Nya dan mau wafat bagi kita untuk menghapus dosa-dosa kita. Kita bayangkan Yesus sendiri yang hadir di dalam liturgi dan berbicara sendiri kepada kita. Dengan berfokus pada Kristus, kita akan memperoleh kekuatan baru, sebab segala pergumulan kita akan nampak tak sebanding dengan penderitaan-Nya. Kitapun akan dikuatkan di dalam pengharapan karena percaya bahwa Roh Kudus yang sama, yang telah membangkitkan Yesus dari kubur akan dapat pula membangkitkan kita dari pengaruh dosa dan segala kesulitan kita.
Jika kita memusatkan hati dan pikiran pada Kristus, maka kita tidak akan terlalu terpengaruh jika musik atau penyanyi di gereja kurang sempurna, khotbah kurang bersemangat, kurang keakraban ataupun hawa panas dan banyak nyamuk. Walaupun tentu saja, idealnya semua hal itu sedapat mungkin diperbaiki. Kita bahkan dapat mempersembahkan kesetiaan kita disamping segala ketidak sempurnaan itu- sebagai kurban yang murni bagi Tuhan. Langkah berikutnya adalah, apa yang dapat kita lakukan untuk turut membantu memperbaiki kondisi tersebut. Inilah salah satu cara menghasilkan ‘buah’ dari penerimaan rahmat Tuhan yang kita terima melalui liturgi.
Liturgi adalah sumber kehidupan
Jadi sebagai karya Kristus, liturgi menjadi kegiatan Gereja di mana Kristus hadir dan membagikan rahmat-Nya, ((Lihat KGK 1071.)) yang menjadi sumber kehidupan rohani kita. Walaupun demikian, liturgi harus didahului oleh pewartaan Injil, iman dan pertobatan, ((Lihat Sacrosanctum Concillium, 9, KGK 1072.)) sebab tanpa ketiga hal tersebut akan sangat sulit bagi kita untuk menghayati perayaan liturgi, apalagi menghasilkan buahnya dalam kehidupan sehari-hari. Ibaratnya tak kenal maka tak sayang, maka jika kita ingin menghayati liturgi, maka sudah selayaknya kita mengetahui makna liturgi, menerimanya dengan iman dan menanggapinya dengan pertobatan.
Liturgi yang bersumber pada Allah menjadi sumber dan puncak kegiatan Gereja. Bersumber pada liturgi ini, Gereja menimba kekuatan untuk melaksanakan pembaharuan di dalam Roh, misi perutusan, dan menjaga persatuan umat. Maka jika kita mengalami ‘kemacetan ataupun percekcokan’ di dalam kegiatan paroki, petunjuk praktis untuk memeriksa adalah: Sudah cukupkah keterlibatan anggota dalam Ekaristi -tiap minggu atau jika mungkin setiap hari? Adakah kedisiplinan anggota untuk mengaku dosa di dalam Sakramen Tobat secara teratur, misalnya sebulan sekali? Walaupun demikian, kehidupan rohani kita tidak terbatas hanya dari keikutsertaan dalam liturgi, tetapi juga dari kehidupan doa yang benar (doa pribadi (Mat 6:6) dan doa tanpa henti (1Tes 5:17)). ((Lihat Sacrosanctum Concillium, 12))
Kesimpulan
Seperti telah diuraikan di atas: liturgi merupakan partisipasi kita di dalam doa Kristus kepada Allah Bapa oleh kuasa Roh Kudus. Liturgi terutama Ekaristi yang menghadirkan Misteri Paska Kristus merupakan peringatan akan karya Allah Tritunggal untuk mendatangkan keselamatan bagi dunia. Maka liturgi merupakan puncak kegiatan Gereja, dan sumber di mana kuasa Gereja dicurahkan, ((Lihat Sacrosanctum Concillium, 10, dan KGK 1074.)) yaitu kehidupan baru di dalam Roh, keikutsertaan di dalam misi perutusan Gereja dan pelayanan terhadap kesatuan Gereja. ((Lihat KGK 1072)) Jadi bagi kita umat beriman, terutama yang ikut ambil bagian di dalam karya kerasulan awam, keikutsertaan di dalam liturgi merupakan sesuatu yang utama. Tidak bisa kita melayani umat, jika kita sendiri tidak diisi dan diperbaharui oleh rahmat Tuhan sendiri. Prinsipnya, “kita tidak bisa memberi, jika kita tidak terlebih dahulu menerima” rahmat yang dari Allah.
Rahmat Allah ini secara nyata kita terima melalui liturgi. Dalam hal ini, Ekaristi memegang peranan penting karena di dalamnya rahmat yang diberikan adalah Kristus sendiri. Kini tinggal giliran kita untuk memeriksa diri dan mempersiapkan hati untuk menerima berkat rahmat itu. Jika kita mempunyai sikap hati yang benar dan berpartisipasi aktif di dalam liturgi, maka Tuhan sendiri akan memberkati dan menjadikan kita anggota TubuhNya yang menghasilkan buah bagi kemuliaan nama-Nya. Menimba bekal rohani melalui liturgi merupakan salah satu cara yang paling nyata untuk menjawab undangan Tuhan Yesus, “Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu…. Barang siapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh 15:4-5).
Imam Mencium Altar
1.Apakah di semua altar gedung gereja-gereja baru masih menyimpan relikwi?
2.Apakah alasan teologis dan biblis imam mencium altar pada awal dan akhir misa?
3.Apakah imam harus mencium juga meja altar abal-abal (apa adanya ) yang digunakan untuk misa di luar gereja ( rumah, sekolah, rumah duka dll) ?
4.Bukankah meja altar abal-abal itu sangat temporer, asal comot dan tidak dirancang khusus untuk misa dan tidak punya relikwi?
5.Kayaknya imam-imam sudah otomatis dan tidak kritis lagi, pokoknya asal mencium altar saja walaupun altar abal-abal, tanpa memahami lagi makna mencium altar
Shalom Herman Jay,
Sambil menunggu jawaban dari Rm. Boli, izinkan saya menanggapi pertanyaan Anda.
1. Apakah di gedung-gedung gereja baru masih ada relikwi?
Dalam ketentuan PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) dikatakan bahwa seharusnya dipertahankan tradisi Gereja bahwa di setiap gedung gereja Katolik, terdapat relikwi orang kudus di altar.
PUMR 302 Hendaknya dipertahankan tradisi Gereja untuk memasang relikwi orang kudus, juga yang bukan martir, di dalam atau di bawah altar yang akan didedikasikan. Namun harus dijamin bahwa relikwi itu asli.
Sepanjang pengetahuan saya, setiap gedung-gedung gereja Katolik yang baru itu didedikasikan dalam suatu upacara khusus oleh Uskup, sehingga mestinya setiap altar tersebut memiliki relikwi orang kudus. Penempatan relikwi di altar ini mengacu kepada tradisi Gereja awal yang menjadikan kubur para martir sebagai altar (Baltimore Catechism III 937). Para martir itu mengingatkan kita akan betapa mereka telah sempurna mengikuti teladan Kristus hingga rela menyerahkan nyawa mereka untuk Kristus. Demikianlah kurban Kristus diperingati dalam kesatuan dengan para martir/ orang kudus-Nya, agar kitapun disatukan dengan mereka, bersama-sama memuliakan Allah.
2. Alasan mencium altar di awal dan akhir Misa?
Penghormatan imam kepada altar -dapat dengan mencium ataupun pada saat-saat yang khusus memberkatinya dengan ukupan- disebabkan karena altar adalah simbol Kristus. Salah satu prefasi Doa Syukur Agung di masa Paskah menyebutkan bahwa Kristus adalah “sacerdos, altare et agnus” (imam, altar dan anak domba) dari pengorbanan-Nya. (Menurut Rev. Jean Danielou, S.J., pernyataan ini dapat ditelusuri berasal dari St. Sirilus dari Aleksandria dan Origen, di abad ke 2 (cf. Rev. Jean Danielou, S.J, The Bible and the Liturgy, (Indiana, USA: University of Notre Dame Press, 1973), p. 130). St. Ambrosius, Uskup Milan di abad ke-4 juga telah mengajarkan bahwa altar adalah gambaran Kristus (cf. St. Ambrose, De Sacramentis, Book IV, 7; Book V, 7).
Jadi alasan mengapa imam mencium altar, adalah karena altar tersebut adalah lambang Kristus. Sebab di atas altar itulah, akan dirayakan dan dihadirkan kembali pengorbanan Kristus secara sakramental, yang akan menghasilkan buah keselamatan bagi Gereja-Nya. Maka ada atau tidaknya relikwi orang kudus tidaklah merupakan sesuatu yang terutama bagi meja altar, namun Kristus itu sendirilah yang menjadikan altar itu sesuatu yang utama dan layak dihormati.
PUMR 49 Setibanya di panti imam, imam, diakon, dan para pelayan menghormati altar dengan membungkuk khidmat. Kemudian, sebagai tanda penghormatan, imam dan diakon mencium altar; sesuai dengan tingkat perayaan, imam dapat juga mendupai salib dan altar.
PUMR 169 Akhirnya, sesuai ketentuan, imam menghormati altar dan menciumnya, dan setelah membungkuk khidmat bersama para pelayan awam, ia meninggalkan ruang ibadat.
Penghormatan semacam ini adalah penghormatan dulia relatif. Dasar-dasar dari Kitab Suci tentang dulia relatif ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
3&4. Apakah imam juga harus mencium meja altar yang digunakan untuk misa di luar gereja, meskipun meja tersebut tidak dirancang khusus untuk Misa dan tidak mempunyai relikwi?
Karena pengertiannya adalah, bahwa altar adalah lambang Kristus, maka memang tidak menjadi masalah apakah di altar itu ditempatkan juga relikwi orang kudus atau tidak. Sebab pertama-tama imam mencium altar bukan karena ada relikwinya, [walaupun kalau ada relikwinya, itu juga salah satu alasan penghormatan kepada altar itu], namun terlebih karena penghormatan akan tempat korban Kristus. Altar tersebut menjadi tempat suci karena di sana akan hadirlah Kristus yang tersalib itu, melalui proses transubstansiasi.
Untuk maksud yang mulia ini, maka adalah suatu keharusan bahwa jika perayaan Misa di luar gedung gereja (misalnya di gedung pertemuan wilayah, atau di rumah duka), meja altar dibuat sedemikian, sehingga tidak terkesan seadanya. Meja harus ditutup dengan taplak putih, pada altar atau di dekatnya dipasang sekurang-kurangnya dua lilin yang bernyala, dan ada salib dengan sosok Kristus dipajang pada altar atau didekatnya (lih. PUMR 117).
5. Anda berkata, “Kayaknya imam-imam sudah otomatis dan tidak kritis lagi, pokoknya asal mencium altar saja walaupun altar abal-abal, tanpa memahami lagi makna mencium altar.“
Jika saya boleh mengusulkan, dapatkah untuk lain kali Anda tidak menggunakan kata-kata yang menuduh seperti ini? Mari jangan mempunyai prasangka buruk terlebih dahulu. Selalu ada alasan di balik semua sikap tubuh yang dilakukan imam di dalam liturgi. Lebih baik mencari tahu dulu sebelum menuduh yang tidak perlu.
Memang umumnya di gedung gereja altar dibuat permanen dari batu atau bahan lain yang kokoh, yang memang layak untuk dijadikan altar. Mengapa batu sebagai bahan altar, itu karena Kristus digambarkan sebagai batu karang rohani (lih. 1Kor 10:4, Kel 17:6) dan batu penjuru (lih. Ef 2:20; 1Pet 2:6). Namun dapat terjadi meja sedemikian tidak ada di gedung-gedung di luar gereja, seperti di rumah duka. Hal ini tidak menghalangi kemurahan Tuhan Yesus untuk tetap hadir di tengah umat-Nya. Ini bahkan mengingatkan akan kerendahan hati-Nya yang tanpa batas, yang rela memilih kandang hewan sebagai tempat kelahiran-Nya, dan palungan tempat Ia dibaringkan. Demikianlah di atas meja sederhana itu, oleh kuasa Roh Kudus-Nya, kurban Yesus itu dapat tetap dihadirkan di tengah umat-Nya. Betapa imam itu sesungguhnya mewakili kita umat-Nya, yang sungguh layak untuk tertunduk khidmat dan mencium altar yang sederhana itu, yang atasnya korban Kristus kembali hadir untuk menyelamatkan kita. Kristus yang rela mengosongkan diri sehabis-habisnya di kayu salib, kini kembali melakukan hal yang sama, dengan hadir di atas meja sederhana, dalam rupa hosti kecil sederhana. Maka ciuman ke meja altar adalah ungkapan penghormatan dan kasih kepada Kristus, yang sungguh tidak dapat dibandingkan dengan kasih yang sudah lebih dahulu tercurah bagi kita umat-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Mengenai butir 5, sebenarnya tidak ada maksud menuduh sama sekali.
Namun secara manusiawi , kalau ditanyakan secara jujur kepada imam : apakah anda senantiasa menikmati tugas memimpin misa?
Bisa saja akan muncul jawaban bahwa sang imam juga mengalami kebosanan karena sudah menjalankan tugasnya secara mekanis.
Bahkan ada imam yang pernah ngomong bahwa dia memimpin misa seperti membaca mantra.
Kata-kata tersebut memberi kesan bahwa pemahaman dan penghayatan dari imam akan makna mendalam dari misa belum nyangkut ( diinternalisasi ) pada diri sang imam.
Hal itu antara lain menyebabkan imam tertentu akhirnya meninggalkan imamatnya.
Pemahaman dan penjelasan Ibu atas pertanyaan saya bisa saja tidak dapat dijawab secara memuaskan oleh imam.
Justru pertanyaan saya dan jawaban Ibu dapat bermanfaat sebagai bahan refleksi bagi imam agar mereka terpacu untuk lebih menghayati makna sejati misa ( bukan hanya secara teologis , tetapi juga dan terutama dari segi spiritualitas ) sehingga itu terpancar dalam bentuk pemberian dan pemeliharaan semangat umat.
Setelah pembacaan saya atas membaca buku Scott Hahn tentang perjamuan anak domba ,saya menyadari bahwa kedalaman makna misa yang diungkapkan oleh Scott belum tentu dimiliki oleh semua imam.
Justru buku Scott tersebut memberi orientasi , inspirasi dan pencerahan baru bagi imam dan juga umat agar lebih memahami arti sejati misa.
[Dari Katolisitas: Syukurlah kalau Anda tidak bermaksud menuduh para imam. Mari kita doakan para imam agar makin hari mereka semakin menghayati panggilan imamat mereka yang sungguh kudus dan mulia.]
Pengakuan / Tobat Pada Awal Misa
1. Dalam pengakuan diucapkan antara lain sebagai berikut : ” bahwa saya telah berdosa, dengan pikiran dan perkataan, dengan perbuatan dan kelalaian, saya berdosa, saya sungguh berdosa”
2. Mengapa tidak diucapkan : “……..dengan pikiran, perasaan, kemauan dan perkataan dan seterusnya?
3. Bukankah kedosaan terjadi dalam jiwa kita yang mengandung aspek ratio ( pikiran ) , emosi ( perasaan ) dan konasi ( kemauan ) ?
4. Apakah Komisi Liturgi KWI tidak sebaiknya merevisi doa tobat tersebut ?
Salam Herman Jay,
Dalam teks asli memang tidak ada kata: perasaan dan kemauan, karena kata pikiran meliputi perasaan dan kemauan meskipun sebenarnya ada perbedaan antara pikiran dan perasaan-kemauan. Komisi Liturgi KWI tidak dapat mengubah rumusan itu.
Salam dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Mau tanya buat tugas agama. Apakah fungsi gong dan bel dalam perayaan ekaristi?
Terima Kasih :)
[Dari Katolisitas: PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) 150, mengatakan:
“Bila dianggap perlu, sesaat sebelum konsekrasi, putra altar dapat membunyikan bel sebagai tanda bagi umat. Demikian pula, sesuai dengan kebiasaan setempat, pelayan dapat membunyikan bel pada saat hosti dan piala diperlihatkan kepada umat sesudah konsekrasi masing-masing….”
Maka bel dan gong yang dibunyikan pada saat konsekrasi maksudnya adalah untuk menjadi tanda bagi umat, untuk mengarahkan perhatian umat akan puncak perayaan liturgis, di mana Misteri Paska Kristus dihadirkan kembali dalam rupa roti dan anggur.]
Mau bertanya terkait dengan hosti yang belum dikonsekrasi apakah diperkenankan ditempatkan di meja altar sejak awal pembuka Misa, demi alasan praktis spy tidak terlalu lama ketika persiapan persembahan. Ini dilakukan ketika Misa hari Minggu yang kisaran hosti sampai 9 sibori? Terima kasih Romo
Salam Purwanto,
Berikut ini jawaban Rm Bosco Da Cunha O.Carm, sekretaris eksekutif Komisi Liturgi KWI: “Letakkan saja sibori di meja kredens sesuai dengan peraturan liturgi. Waktu persiapan persembahan, sibori-sibori itu dihantar ke altar. Prinsipnya, altar bebas dari barang-barang yang belum saatnya diletakkan di situ”.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Salam Purwanto,
Melengkapi jawaban Rm Bosco, sebaiknya diletakkan di meja bahan persembahan agar dihantar ke altar sehingga menjadi jelas perarakan bahan persembahannya, walaupun dilakukan dengan cara yang sederhana. Bisa diperbanyak pembawa bahan persembahan dan pelayan yang membantu imam menerima bahan persembahan.
Tks dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Syallom…
saya sekarang lagi mendalami simbol-simbol yang hidup dalam tradisi gereja Katolik, yang ditempatkan dalam konteks penghayatan iman umat. Dari apa yang saya pelajari bisa mengerti dengan baik apa peran simbol-simbol dalam penghayatan iman. Bahkan saya sendiri menarik satu kesimpulan bahwa ternyata simbol-simbol yang hidup dalam tradisi gereja Katolik itu bisa menjadi sumber spiritualitas.
Namun, di sana saya juga mengalami sedikit kendala ketika membaca tentang simbolisme pakaian. Fungsi dan perannya saya bisa pahami, tapi yang menjadi pertanyaan saya, yakni bagaimana simbol pakaian bisa menjadi sumber spiritualitas?
sekian dan terima kasih…Tuhan Yesus memberkati..
[dari Katolisitas: Kami menyarankan Anda membaca di situs Tradisi Katolik mengenai busana liturgis, jika memang itu yang Anda maksudkan. Silakan klik di sini. Semoga membantu.]
Shalom, maaf sehubung pengetahuan saya masih minim, bolehkah saya bertanya doa apakah yg didoakan ketika Doa Syukur Agung berlangsung saat bunyi gong dipukul? Terimakasih,
Salam Sheiz,
Di tempat tertentu gong dibunyikan pada awal unsur doa “epiklesis”, yaitu rumusan doa dalam Doa Syukur Agung yang berisi permohonan kepada Allah Roh Kudus untuk menguduskan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Yesus Kristus. Ketika gong dibunyikan kita siapkan hati untuk dengan tenang dan penuh perhatian mengikuti doa yang diucapkan imam sambil menumpangkan tangan atas atas roti dan anggur dan memberkatinya. Jadi umat tidak mengucapkan apa-apa ketika gong dibunyikan pada saat itu. Di tempat lain gong dibunyikan pada awal “kisah institusi”, yaitu kisah perjamuan malam terakhir yang diucapkan hanya oleh imam. Ketika gong dibunyikan umat hendaknya sungguh hening dan penuh perhatian serta iman mendengarkan kisahnya dan mengalami lagi suasana perjamuan malam terakhir. Jadi bunyi gong pada saat ini mengajak umat untuk merasakan hadirnya Yesus Kristus dalam diri imam yang mengambil roti mengucap syukur, memecahkannya dan membagi-bagikannya kepada para murid seraya berkata… mengambil piala berisi anggur, mengucap syukur dan mengedarkannya kepada para murid seraya berkata… Hampir di semua tempat gong dibunyikan ketika imam menghunjukkan hosti kudus (Tubuh Kristus) setelah mengucapkan kata-kata konsekrasi atas roti, dan ketika imam menghunjukkan piala anggur kudus (Darah Kristus) setelah mengucapkan kata-kata konsekrasi atas piala anggur. Pada saat gong dibunyikan seluruh umat sungguh hening dan memandang Tubuh Kristus dan Darah Kristus lalu tunduk menyembah ketika Tubuh/Darah Kristus diletakkan kembali di atas altar dan imam berlutut. Jadi umat tidak mengucapkan/menyanyikan doa bersama-sama pada saat ini secara lantang (kecuali ada keputusan para uskup dalam Konferensi Waligereja Indonesia yang disetujui Kongregasi Ibadat untuk mengucapkan/menyanyikan seruan tertentu, sejauh ini belum ada keputusan resmi untuk hal ini). Tetapi dalam hati masing-masing bisa diucapkan (tentu tanpa suara) seruan singkat yang bernada puji-syukur, sembah-sujud, iman-kepercayaan, permohonan, misalnya: Puji Tuhan yang agung mulia atau Syukur bagi-Mu ya Tuhan, atau Sembah sujud bagi-Mu Tuhan, atau Tuhanku dan Allahku, atau Teguhkan imanku dll.
Oremus pro invicem. Gbu.
Rm Boli.
Yth Tim Katolisitas
Selamat paskah dan salam damai.
Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan:
1. Utk sisa tubuh Kristus yang masih tertinggal di sibori (remah-remah yg menempel). Bila tidak sempat dibersihkan oleh romo; bagaimanakah cara membersihkannya.
2. Utk purificatorium, korporal ataupun pala yang sudah sobek atau tua atau sudah usang, dan tidak dipakai lagi; bagaimanakah cara “nglabuhnya” (sebetulnya yang saya maksudkan adalah membuang atau membakarnya, menyempurnakannya).
3. Demikian juga utk stola, alba dan kasula yang sudah usang.
4. Bagaimana cara membuat makam suci utk material tersebut di atas (nomor 2 dan 3)
Terima kasih atas perhatiannya.
Shalom F Widyarsi,
Izinkan saya mengacu kepada jawaban yang diberikan oleh Fr. William Saunders tentang hal yang Anda tanyakan, yang dapat Anda baca keseluruhannya di link ini, silakan klik:
1. Sisa Tubuh Kristus (remah-remah yang masih menempel di sibori) bila tidak sempat dibersihkan oleh Romo, cara membersihkannya adalah: diberi air, dibiarkan agar remah-remah itu larut, sehingga hancur seluruhnya ke dalam air (tidak terlihat lagi) lalu dibuang di sacrarium di sakristi. Sacrarium adalah bak cuci dengan pipa yang langsung ke tanah, dan bukan ke saluran pembuangan kota.
2, 3. Purificatorium, korporal, pala, stola, alba, kasula, pakaian liturgis dst yang sudah rusak, usang dan tidak dipakai lagi, dihancurkan, lalu dikubur di tanah (atau dibakar, abunya dikuburkan). Prinsipnya adalah apa yang sudah pernah didedikasikan kepada Tuhan dikembalikan kepada Tuhan (yaitu kepada alam ciptaan-Nya), tidak dibuang begitu saja.
4. Cara membuat kuburnya tidak disebutkan detailnya. Silakan dimasukkan ke dalam semacam kotak kayu dan ditutup, lalu dikuburkan. Atau jika dibakar, mungkin lebih mudah, lalu abunya dimasukkan ke dalam kotak, lalu dikuburkan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Bu Ingrid terima kasih responnya.
Sudah lama saya tunggu ternyata sudah direspon, terima kasih banyak.
Oya bu kami juga pernah diskusi dengan romo: bahwa utk membersihkan remah-remah hosti, ataupun piala yang masih belum bersih, masih ada sisa “darah Kristus”; memang betul dituang dengan air, tetapi kemudian airnya diminum. Kalau nggak salah dalam suatu seminar, rm Bosco da Cunha pun mengatakan seperti itu. Sibori dibilas dengan air, dan airnya diminum. Baru setelah itu dibersihkan sebagaimana seharusnya membersihkan piala atau sibori. Sebaiknya bagaimana yaaa …
Prihatin bu Ingrid, setiap kali mampir ke sakristi saya melihat sibori yang masih ada remah-remah Sakramen Mahakudus. Atau juga piala yang langsung dilap begitu saja dengan korporal atau purificatorium . . .
Mengenai sakrarium bu Ingrid, apakah gereja Katolik katakanlah di KAJ, sudah banyak yang mempunyainya atau nggak yaaa … Sudah banyakkah yang memberi perhatian. Bukankah perlakuan yang pantas juga layak kita berikan. Terutama untuk Sakramen Mahakudus, sekecil apapun kalau sudah dikonsekris, bukankah itu tetap tubuh Kristus . .
Benarkah pernyataan saya ini, ataukah saya terlalu berlebihan.
Mohon tanggapannya.
Terima kasih, Tuhan memberkati.
Shalom F Widyarsi,
Ya, Anda benar, seharusnya memang sisa-sisa remah-remah hosti atau piala yang belum bersih itu dibersihkan dahulu oleh Romo, dengan dituangkan air, lalu airnya diminum oleh Romo. Tetapi kalau hal tersebut tidak dilakukan oleh Romo, maka cara membersihkannya (setelah misa) adalah dengan menuangkan air, sampai larut, lalu airnya dituangkan di sakrarium. Atau kalau dilap dengan kain-kain untuk meja kudus, maka kain-kain tersebut dibasuh di sakrarium, sebelum dicuci seperti biasa.
Ketentuannya ada dalam Redemptionis Sacramentum, demikian:
120. Para Pastor hendaknya memperhatikan agar menjaga kebersihan kain-kain untuk meja kudus, khusus yang di atasnya diletakkan hosti atau piala, dan bahwa kain itu dicuci secara tradisional. Patut dipuji jika air dari pembasuhan pertama dituangkan ke dalam sakrarium gereja, atau di tanah di tempat yang pantas. Selanjutnya pembasuhan kedua dapat dibuat menurut cara biasa.
Saya kurang tahu apakah setiap gereja paroki di KAJ mempunyai sakrarium. Mohon maaf saya tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Namun jika tidak ada, silakan mencari sebidang permukaan langsung berhubungan dengan tanah/ bumi, dan air pembasuhan pertama dituang di situ, sebab prinsipnya air tersebut dibiarkan menyatu dengan tanah, dan tidak dibuang di saluran kota. Ya, semua ini dilakukan demi penghormatan kita akan Kristus yang hadir dalam setiap partikel hosti pada saat konsekrasi dan seterusnya, selama partikel itu masih ada (lih. KGK 1377).
KGK 1377 Kehadiran Kristus dalam Ekaristi mulai dari saat konsekrasi dan berlangsung selama rupa Ekaristi ada. Di dalam setiap rupa dan di dalam setiap bagiannya tercakup seluruh Kristus, sehingga pemecahan roti tidak membagi Kristus (Bdk. Konsili Trente: DS 1641).
Jika Anda terpanggil, silakan membicarakannya dengan Romo, koster dan petugas liturgis lainnya (para prodiakon/ pelayan pembagi Komuni tak lazim) untuk bersama-sama memberikan perhatian yang selayaknya terhadap cara membersihkan piala-piala ataupun sibori setelah perayaan Ekaristi, demi penghormatan kita terhadap Kristus yang hadir di dalam setiap partikel hosti dan dan setiap tetes anggur itu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
saya Seorang katholik…istri saya dulunya adalah seorang Non kristen Katholik…tetapi yang merubah keinginanya untuk menjadi Seorang katholik Bukan dikarenakan saya..melainkan beberapa Mujizat yang memang ia Rasakan Sendiri melalui Perantara DOA MARIA…bahkan saya memberi kesaksian Terhadap Orang Non kristen katholik di daerah saya( kebetulan Saya Bergabung Dengan Satu Pelayanan yang didalam nya Terdiri dari Umat katholik dan Protestan)…..tetapi apa yang terjadi mereka mendengarkan dan Percaya..Bahwa Mujizat yang terjadi bisa terjadi karena KUASA ALLAH,,,,hanya Satu Pesan saya..tidak Pernah TUHAN ALLAH mengajarkan Kita Untuk memojokan agama yang satu dgn yang lain…masalah benar atau tidaknya tata cara Ibadat Sebuah Agama Didalam Gereja…Itu wewenang TUHAN ALLAH…Yang terpenting Jalanilah Apa yang telah TUHAN JESUS KRISTUS AJARKAN KEpada Kita….Sebab Semua tindakan Qta..Baik Sikap Ataupun Pikiran Dan Perkataan..Semua Tentu Ada ganjaran yang Setimpal Dari ALLAH..Sebab itu gunakan lah,Hati,Pikiran,Mulut,dan Tubuh Kita..Sesuai Dengan Gambaran ALLAH..agar semua BErkenan Dihadapan ALLAH…bukan Mengikuti KEEGOISAN KITA..
TUHAN JESUS MEMBERKATI Setiap PRibadi Kita..AMIN
[Dari Katolisitas: Ya, sebagai murid-murid Kristus kita selayaknya mengikuti teladan Kristus dalam hal kasih dan ketaatan-Nya. Perayaan ibadat dalam Gereja Katolik adalah perayaan kenangan akan kasih dan ketaatan Kristus yang nyata dalam Misteri Paska-Nya yaitu sengsara, wafat, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Tiap -tiap komunitas gerejawi mungkin saja memiliki tata cara ibadat yang berbeda, dan bukan wewenang dari situs ini untuk mengomentarinya. Namun sehubungan dengan ibadat Gereja Katolik yang akrab juga dikenal dengan istilah liturgi, memang diwartakan dan dibahas di situs ini, agar semakin dapat dihayati sebagai bagian dalam kehidupan umat Katolik sendiri. Pelaksanaan liturgi dengan layak dan benar, merupakan salah satu ungkapan kasih kepada Allah, sebab dengan demikian kita melestarikan apa yang diajarkan oleh Kristus kepada para murid-Nya, sebagaimana telah dilaksanakan juga dengan setia, oleh Gereja sejak zaman Gereja perdana].
boleh kah saya bertanya, apa latar belakang kitab suci dan maknanya menurut liturgi ? serta apa manfaat dan dampak positif dari liturgi ?
terima kasih :D
[dari katolisitas: Silakan membaca artikel liturgi di atas – silakan klik – terlebih dahulu dan mohon untuk memperjelas pertanyaannya.]
Yth. Pengasuh Katolisitas,
Saya masih baru dengan situs ini, walau sudah pernah beberapa kali membacanya.
Ada pertanyaan yang mudah-mudahan mendapat jawaban memuaskan dari pengasuh Katolisitas.
Di gereja kami, beberapa bulan terakhir doa tobat diganti dengan percikan air suci sambil menyanyikan lagu “Percikilah aku (Asperges me). Ini memang dilakukan tidak pada setiap perayaan Ekaristi, hanya sebulan sekali. Meski hanya sekali, rasanya dengan doa tobat cara ini lebih mengena, lebih menyentuh.
Belakangan, terdengar kabar, atas kebijakan romo paroki, cara doa tobat dengan percikan air sambil menyanyikan Asperges me tidak lagi dipakai. Alasan beliau, cara ini hanya dipakai saat Paskah. Pertanyaan saya, benarkah? Agaknya pada TPE atau buku PUMR tidak seperti itu. Adakah semacam aturan bahwa doa tobat cara itu dipakai hanya saat Paskah? Sebab pada penjelasan pada TPE, Madah Bakti, atau PUMR, memang terdapat kata dapat/boleh. Mohon penjelasan. Terima kasih.
Salam Paul,
Percikan air suci diiringi lagu “Asperges me” bisa dibuat dalam perayaan-perayaan di luar masa Paskah. Berarti bisa dibuat pada masa Adven, masa Natal, masa Prapaskah dan masa biasa. Sedangkan dalam masa Paskah bisa dibuat percikan air suci tetapi hendaknya diiringi lagu “Vidi aquam”.
Tks dan doa. Gbu.
Rm Boli.
Selamat Hari Minggu Palma
Saya ingin membagikan sedikit pengalaman saya ketika saya berkunjung ke kota Pontianak selama 1 bulan terakhir. Dalam 1 bulan itu, saya mengikuti beberapa Misa disana baik di gereja, biara, kelompok, maupun lingkungan. Dalam beberapa kesempatan, saya mengikuti Misa dengan liturgi yang sebenarnya hampir tidak pernah saya alami dan saya sendiri merasa kurang nyaman. Dalam beberapa kesempatan ketika merayakan Misa dengan kelompok, mereka mengganti pernyataan tobat dengan lagu “Hanya Debulah Aku” dan kemudian tetap dilanjutkan dengan absolusi, Tuhan Kasihanilah Kami dst. Pertanyaan saya singkat saja, apakah ini dapat dibenarkan?
Shalom Mikael,
Jika kita berpatokan kepada teks Redemptoris Sakramentum, maka kita ketahui bahwa teks Misa adalah sesuatu yang sudah baku, dan kita tidak dapat, atas inisiatif pribadi, mengubah ataupun menggantinya.
Dikatakan demikian:
59. Di sana sini terjadi bahwa Imam, Diakon atau umat dengan bebas mengubahkan atau menggantikan teks- teks litugi suci yang harus mereka bawakan. Praktek yang amat tidak baik ini harus dihentikan. Karena dengan berbuat demikian, perayaan Liturgi Suci digoyahkan dan tidak jarang arti asli liturgi dibengkokkan.
Nah dalam hal teks pernyataan Tobat, menurut TPE (Tata Perayaan Ekaristi), ada tiga macam caranya (Cara A, B, dan C) dan dari ketiga cara itu memang tidak ada teks ‘Hanya Debulah Aku’.
Jadi jika memang kita berpegang kepada TPE, seharusnya tidak terjadi pengubahan yang tidak sesuai dengan apa yang sudah ditetapkan.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
salam kasih Tim Katolisitas,
Di paroki kami beragam jenis nyanyian untuk perayaan Misa dan beragam pula cara membawakan nyanyian Perayaan Ekaristi. Sebagai contoh: penggunaan nyanyian-nyanyian karismatik dan nyanyian pop dari kaset atau cd yang sedang populer, penggunaan band dan tarian anak-anak dengan melodi dan ritme serta syair profan setelah komuni dan masih banyak kekeliruan lain lagi. Saya, karena cukup concern dengan liturgi (pengajar liturgi), rasanya susah sekali mengikuti suasana Misa seperti itu. Tetapi saya mengalami kesulitan bagaimana mensosialisasikan liturgi yang sebenarnya karena dari Bapa Uskup dan Pastor-pastor di paroki saya tampaknya belum ada reaksi apapun mengenai keadaan tersebut. Pertanyaan saya adalah apakah Tim Katolisitas mempunyai solusi untuk masalah ini? Terima kasih atas bantuannya. Salam kasih dalam Tuhan Yesus.
Salam Blasius Bagung,
Menurut Rm Bosco Da Cunha, Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI, kuncinya ada pada uskup dan para imam. Karena itu, berikanlah keprihatinan Anda pada imam dan uskup. Entah Anda anggota Tim Liturgi Keuskupan atau Paroki atau pengajar liturgi ataupun umat “biasa”, Anda tetap berhak mengemukakan keprihatinan ini. Coba-lah membicarakan hal ini dengan penanggung jawab liturgi keuskupan dan paroki (Komisi Liturgi Keuskupan, Tim Liturgi Paroki, Uskup dan Imam), dengan acuan dari dokumen-dokumen Gereja mengenai Liturgi misalnya Konstitusi Liturgi (Sacrosanctum Concilium), Ecclesia de Eucharistia, dan lain-lain.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
Salam Damai,
mau tanya tentang rumusan “Aku Percaya” dalam bahasa Latin yaitu Credo III (abad 17?), yang ada di buku Puji Syukur. Saya lihat tidak ada pernyataan turun ke tempat penantian. Mohon penjelasannya? Apakah semata-mata redaksional (kelewatan memasukkan) atau ada dasar iman untuk tidak mencantumkannya?
Gbu
lino
Shalom Lino,
Memang kalimat tentang Kristus “yang turun ke tempat penantian, pada hari ketiga bangkit dari antara orang mati” disebutkan di dalam Syahadat para Rasul, namun tidak disebutkan di dalam Syahadat Nicea. Menurut Rufinus (400) perkataan “turun ke tempat penantian” memang tidak disebutkan dalam Syahadat Roma (salah satu rumusan syahadat di awal abad ke-2 yang menjadi cikal bakal Syahadat para rasul yang kita kenal sekarang), tetapi di disebutkan di Syahadat/ Credo Aquileia, Yunani dan catatan syahadat menurut St. Jerome/ Hieronimus, yang juga mencatat pernyataan iman menurut ajaran para rasul. Kalimat “turun ke tempat penantian” tersebut mengacu kepada 1 Pet 3:19, sebagaimana diinterpretasikan oleh St. Irenaeus dan para Bapa Gereja lainnya. Menjelang akhir abad ke-2 dapat dilihat bahwa tulisan pengajaran St. Irenaeus di Gaul (sekarang Perancis) dan pengajaran Tertullian yang jauh di Afrika, kita memperoleh teks syahadat yang hampir lengkap dan sesuai dengan rumusan syahadat Roma, sebagaimana dikatakan oleh Rufinus.
Dengan demikian, kemungkinan hal Yesus yang turun ke tempat penantian ini tidak menjadi perdebatan di jaman Gereja perdana, sehingga tidak perlu ditegaskan kembali dalam Syahadat Nicea (325). Sebab seperti kita ketahui Syahadat Nicea dirumuskan untuk meluruskan ajaran sesat Arianisme yang ada pada saat itu, sehingga ajaran tentang Allah Trinitas dijabarkan di dalam syahadat itu- untuk menegaskan ajaran tentang keTuhanan Yesus. Hal ini nyata dengan frasa dalam syahadat Nicea yang menyatakan bahwa Kristus “dilahirkan bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa”. Sebenarnya syahadat yang kita kenal dengan syahadat Nicea itu dihasilkan setelah disempurnakan oleh Konsili Konstantinopel (381), yang antara lain menambahkan frasa “kerajaan-Nya (Kristus) takkan berakhir” untuk memerangi ajaran sesat Modalisme dari Marcellus yang seperti ajaran Sabellius membagi- bagi rencana keselamatan seolah peran Yesus (Allah Putera) mempunyai jangka waktu tertentu. Selanjutnya Syahadat tersebut juga menyebutkan tentang Roh Kudus, untuk meluruskan ajaran yang menerima ke-Tuhanan Yesus namun menolak ke-Tuhanan Roh Kudus.
Maka memang rumusan Syahadat Nicea tidak persis sama dengan Syahadat para Rasul, karena syahadat Nicea/ Konstantinopel ditulis pertama- tama untuk menanggapi ajaran sesat pada saat itu, sehingga yang dijabarkan di sana adalah pernyataan iman dengan maksud untuk meluruskan ajaran yang sesat tersebut. Itulah sebabnya di Syahadat Nicea/Konstantinopel juga tidak disebutkan secara detail bahwa setelah kebangkitan-Nya, Yesus duduk di sebelah kanan Allah Bapa yang Maha Kuasa, dan adanya persekutuan para kudus, yang tidak dipersoalkan pada saat itu. Namun demikian, baik Syahadat Para Rasul maupun Syahadat Nicea adalah syahadat yang sah, karena keduanya menyampaikan pokok-pokok dasar iman yang diajarkan oleh para Rasul.
Selanjutnya tentang Syahadat para Rasul, silakan membaca di link ini, silakan klik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Bu Ingrid,
Saya merasa cukup janggal ketika sebuah rumusan pokok tidak menulis secara eksplisit (sehingga merupakan elipsis) suatu pengakuan iman hanya karena tidak menjadi bahan perdebatan/apologia.
Mengapa juga Gereja kita masih memakai (sekurang-kurangnya mencantumkan dalam buku umat – Puji Syukur – ) rumusan yang tidak lengkap? Bahkan dalam syahadat panjang yang orang awam akan menganggapnya sebagai rumusan yang lengkap kata-kata turun ke tempat penantian tidak ada, dan itu masih dimuat dalam buku umat.
Gbu
lino
Shalom Lino,
Dari namanya, Syahadat Para Rasul memang merupakan syahadat yang berasal dari pengajaran para rasul, sehingga walaupun rumusannya lebih pendek namun memuat pokok-pokok ajaran iman yang lebih lengkap, daripada Syahadat Nicea-Konstantinopel, yang memang ditujukan untuk meluruskan ajaran Gereja pada saat itu. Memang syahadat Nicea lebih panjang, sehingga kadang orang berpikir bahwa itulah syahadat yang lebih lengkap. Namun, jika kita mempelajari sejarah, maka kita mengetahui alasannya mengapa pernyataan syahadat Nicea itu dibuat, dan rumusan yang lebih panjang itu merupakan penegasan/ penjelasan pokok-pokok yang sudah dijabarkan dalam syahadat Para Rasul. Namun demikian, penjabaran Shahadat Nicea tersebut tetap relevan bagi Gereja di sepanjang zaman, maka rumusan tersebut tetap dipergunakan sampai sekarang. Maka kita melihatnya demikian: Syahadat Para Pasul ditegaskan di Syahadat Nicea-Konstantinopel, terutama di bagian- bagian yang saat itu dipertanyakan oleh sekelompok orang tertentu, yaitu hal ke-Tuhanan Yesus dan Roh Kudus.
Itulah sebabnya dalam buku Katekismus, Puji Syukur (dan buku- buku doa Katolik lainnya), yang disebut pertama kali adalah Syahadat Para Rasul, dan baru di sampingnya/ sesudahnya Syahadat Nicea, maksudnya agar diketahui bagaimana Syahadat Nicea menegaskan apa yang sudah diimani dalam Syahadat Para Rasul. Jadi mari, jangan menganggap bahwa Syahadat Nicea itu tidak lengkap. Syahadat Nicea memang bukan untuk menggantikan Syahadat Para Rasul, melainkan untuk memperjelaskannya.
Demikian, semoga keterangan singkat ini berguna.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan, Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Bu Ingrid,
Bagi orang awam seperti saya, maksud Gereja membuat penegasan kok malah memunculkan kebingungan, karena pada umumnya suatu rumusan yg dalam perkembangannya menjadi lebih ringkas/berkurang, rumusan yg terakhir itu yang dipakai. Maka saya menyimpulkan bahwa Saya mendapat pelajaran baru bahwa ternyata pengakuan iman kita tidak terumus dalam hanya satu formula tetapi dalam beberapa credo…..walaupun jawaban Bu Ingrid masih memakai kata “kemungkinan” (di awal kalimat paragraf kedua jawaban pertama di atas)….Apakah ada data historis yang menyatakan secara eksplisit bahwa kelompok kata “yang turun ke tempat penantian” sengaja tidak dicantumkan karena tidak relevan dalam credo nikea?
Terima kasih
Gbu
lino
Shalom Lino,
Prinsip yang perlu kita ketahui untuk memahami ajaran Gereja Katolik adalah, bahwa Gereja tidak akan pernah mengubah suatu ajaran tentang iman dan moral yang telah dinyatakan secara definitif. Maka dalam hal pernyataan iman (Credo/ syahadat), terlebih lagi prinsip ini berlaku. Artinya, apa yang sudah dinyatakan dalam syahadat para rasul tidak akan dibatalkan, namun diperjelas dengan adanya syahadat Nicea. Jadi dalam hal ajaran iman dan moral ini, prinsip yang berlaku bukan ajaran yang dikeluarkan belakangan membatalkan yang terdahulu (ataupun sebaliknya), namun ajaran tersebut melengkapi dan memperjelas apa yang sudah pernah ditetapkan sebelumnya.
Dengan prinsip ini kita dapat menerima, mengapa di Credo Nicea tidak menyebutkan secara eksplisit, “[Kristus] yang turun ke tempat penantian….”; namun kita percaya bahwa Kristus memang telah wafat dan karena itu turun ke dunia orang mati/ tempat penantian, walaupun tidak disebut secara eksplisit demikian pada Credo Nicea. Ada banyak ayat dalam Kitab Suci yang menunjukkan bahwa Kristus Sang Mesias turun ke dunia orang mati, sebelum bangkit dari kematian-Nya, contohnya:
Nubuatan tentang Sang Mesias dalam Kitab Mazmur: “TUHAN, Engkau mengangkat aku dari dunia orang mati, Engkau menghidupkan aku di antara mereka yang turun ke liang kubur.” (Mzm 30:4) “… sebab Engkau tidak menyerahkan aku ke dunia orang mati, dan tidak membiarkan Orang Kudus-Mu melihat kebinasaan.” (Mzm 16:10) “Tetapi Allah akan membebaskan nyawaku dari cengkeraman dunia orang mati, sebab Ia akan menarik aku.” (Mzm 49:15; lih. Mzm 86:13)
“Karena itu ia telah melihat ke depan dan telah berbicara tentang kebangkitan Mesias, ketika ia mengatakan, bahwa Dia tidak ditinggalkan di dalam dunia orang mati, dan bahwa daging-Nya tidak mengalami kebinasaan.” (Kis 2:31)
Karena Ia telah menetapkan suatu hari, pada waktu mana Ia dengan adil akan menghakimi dunia oleh seorang yang telah ditentukan-Nya, sesudah Ia memberikan kepada semua orang suatu bukti tentang hal itu dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati.” (Kis 17:31)
“Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh, dan di dalam Roh itu juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti dengan sabar waktu Nuh sedang mempersiapkan bahteranya, di mana hanya sedikit, yaitu delapan orang, yang diselamatkan oleh air bah itu.” (1 Pet 3:18-20)
Jadi walaupun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Credo Nicea, Gereja sudah sejak awal mengimaninya sebagaimana dinyatakan dalam Credo Para Rasul, yaitu bahwa Kristus sungguh telah wafat di salib, turun ke tempat penantian, sebelum bangkit dari kematian di hari ketiga, dan kemudian naik ke Surga dengan jaya. Memang kita tidak pernah bisa mengetahui dengan pasti, mengapa para Bapa Gereja tidak menyebutkan ‘turun ke tempat penantian’ secara eksplisit di Credo Nicea, maka saya sebutkan di jawaban saya dengan kata kemungkinan, yaitu bahwa pada saat itu Bapa Gereja tidak merasa bahwa hal itu perlu dipertegas, karena tidak ada permasalahan sehubungan dengan pernyataan itu. Ini lain halnya dengan hal ke-Allahan Yesus yang dipermasalahkan oleh aliran Arianism yang berkembang saat itu, sehingga perlu dipertegas dalam Credo Nicea tersebut, dengan kata “Ia [Kristus] sehakekat dengan Bapa….”. Keterangan perihal kemungkinan tersebut saya peroleh dari diskusi yang ada di Catholic Answers, dan memang ini merupakan perkiraan dan tidak dapat kita ketahui secara pasti alasannya karena sepanjang pengetahuan saya tidak pernah tertulis di dokumen manapun.
Demikian, Lino, yang dapat saya sampaikan menanggapi pertanyaan dan komentar anda. Karena dialog kita sudah memasuki putaran yang ketiga, saya mohon maaf jika tidak dapat melanjutkan dialog ini, karena memang kami di katolisitas membatasi dialog sampai tiga kali. Saya sudah menyampaikan apa yang saya ketahui tentang hal ini, sekarang tinggal tergantung Anda bagaimana menyikapinya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Dear Bu Ingrid,
terima kasih banyak atas penjelasannya. Saya sudah cukup merasa terjawab.
Gbu
lino
Menambahkan jawaban yang sudah diberikan Ibu Ingrid, kalau yang dimaksudkan Credo yang dimuat dalam Puji Syukur no. 474 (karena tak ada credo Latin lain dalam Puji Syukur), maka teksnya sesuai dengan teks asli (hasil Konsili Nikea Konstantinopel), yaitu tanpa rumus “yang turun ke tempat penantian”. Jadi bukan kelewatan. Para Bapa Konsili Nikea Konstantinopel memandang isi iman “yang turun ke tempat penantian” sudah secara implisit terkandung dalam rumus “wafat dan dimakamkan”
Semoga menjadi jelas. Doa dan Gbu.
Pst. B.Boli, SVD.
Sejarah Cara Pemilihan Kutipan Teks Kitab Suci dalam Misa Harian sepanjang Tahun Liturgi ( A, B, C) :
Gereja Katolik sudah menetapkan daftar kutipan teks Kitab Suci yang berlaku tetap sepanjang tahun sesuai dengan tahun liturgi yang berlaku.
Pertanyaan :
1.Berdasarkan daftar kutipan tetap tersebut, bahkan diajarkan kepada semua umat : jika mengikuti Misa harian selama tiga tahun berturut-turut maka anda sudah membaca dan atau mendengar seluruh isi Kitab suci. Apakah kesimpulan (aksioma) itu sudah teruji dan dibuktikan secara tuntas?
2. Sejak kapan ( tahun berapa) dan oleh siapa daftar tetap tersebut difinalisasi untuk tiga tahun liturgi yang berturut-turut?
3. Sering makna dua bacaan Kitab Suci dalam Misa harian terasa tidak nyambung dengan pesta peringatan orang kudus yang dirayakan pada hari bersangkutan. Kami kesulitan menafsirkan kedua kutipan teks Kitab Suci yang dimaksud dengan riwayat hidup santo/a yang dirayakan. Jadi terkesan kutipan itu semacam dipaksakan atau diurutkan begitu saja tanpa memperhatikan makna pesta yang diperingati pada hari itu. Bahkan makna antara bacaan pertama dan kedua menjadi sangat sulit dihubung-hubungkan.
Shalom Herman Jay,
Jawaban saya tulis dalam huruf miring di bawah pertanyaan Anda
Sejarah Cara Pemilihan Kutipan Teks Kitab Suci dalam Misa Harian sepanjang Tahun Liturgi ( A, B, C) :
Gereja Katolik sudah menetapkan daftar kutipan teks Kitab Suci yang berlaku tetap sepanjang tahun sesuai dengan tahun liturgi yang berlaku.
Pertanyaan :
1.Berdasarkan daftar kutipan tetap tersebut, bahkan diajarkan kepada semua umat : jika mengikuti Misa harian selama tiga tahun berturut-turut maka anda sudah membaca dan atau mendengar seluruh isi Kitab suci. Apakah kesimpulan (aksioma) itu sudah teruji dan dibuktikan secara tuntas?
Bacaan Tahun A, B, C, bukanlah lingkaran bacaan tiga tahunan untuk Misa harian, tetapi untuk hari-hari Minggu dan hari raya. Sedangkan lingkaran dua tahunan (Tahun I dan II) adalah lingkaran bacaan untuk Misa harian. Bila umat setia merayakan Misa hari Minggu dan hari raya (tahun A, B, C) serta Misa harian (Tahun I dan II), maka sebagian besar isi Kitab Suci dibaca-didengar-direnungkan jadi perlu dikoreksi ungkapan “seluruh isi Kitab Suci”
2. Sejak kapan ( tahun berapa) dan oleh siapa daftar tetap tersebut difinalisasi untuk tiga tahun liturgi yang berturut-turut?
Secara resmi daftar tetap itu diumumkan ketika buku bacaan Misa (Lectionarium, tiga jilid) diterbitkan pada tahun 1970-1972, pada masa Paus Paulus VI.
3. Sering makna dua bacaan Kitab Suci dalam Misa harian terasa tidak nyambung dengan pesta peringatan orang kudus yang dirayakan pada hari bersangkutan. Kami kesulitan menafsirkan kedua kutipan teks Kitab Suci yang dimaksud dengan riwayat hidup santo/a yang dirayakan. Jadi terkesan kutipan itu semacam dipaksakan atau diurutkan begitu saja tanpa memperhatikan makna pesta yang diperingati pada hari itu. Bahkan makna antara bacaan pertama dan kedua menjadi sangat sulit dihubung-hubungkan.
Bila ada kesulitan seperti itu, diusulkan untuk boleh memilih bacaan dari rumus umum Misa orang kudus, misalnya bacaan umum untuk para martir, pujangga Gereja, gembala umat.
Salam Damai dalam Kristus.
Tks dan doa,
Rm.B.Boli
Pertanyaan seputar Liturgi Tri Hari Suci :
1. Sejak kapan Liturgi Kamis Putih, Jumat Agung dan Malam Paskah dalam bentuknya yang berlaku sampai sekarang mulai berlaku?
2. Bagaimana sejarah pengembangan Liturgi Tri Hari Suci sehingga mencapai bentuknya seperti yang sekarang ini?
3.Siapa sebenarnya tokoh atau event organizer asli dari Liturgi Tri Hari Suci , sebagaimana tercatat dalam sejarah gereja katolik?
[Dari Katolisitas: pertanyaan digabungkan karena masih satu topik]
Pertanyaan seputar Liturgi Malam Paskah:
1. Terdapat 26 Santo/Santa yang disebutkan secara eksplisit dalam Litani Para Kudus. Para santo/santa tersebut hidup pada jaman yang berbeda. Kapan Litani Para Kudus sebagaimana yang dipakai sekarang ini dalam Gereja Katolik menjadi formula tetap?
2.Apakah Litani Para Kudus dibacakan juga dalam acara malam Paskah di gereja Anglikan dan Ortodoks?
3. Apakah Santo Mikael yang disebut dalam Litani menunjuk kepada malaikat Mikael ataukah benar-benar manusia yang pernah hidup di dunia dan bernama Mikael? Kalau yang dimaksud malaikat Mikael, mengapa hanya dia yang disebut padahal ada juga malaikat Gabriel dan Rafael? Kalau yang dimaksud memang malaikat , mengapa dimasukkan ke dalam Litani Para Kudus? Bukankah santa/santo merujuk kepada manusia yang pernah hidup di dunia?
Salam Herman Jay,
Pertanyaan- pertanyaan ini sangat luas cakupannya. Mungkin jawaban di bawah ini amat singkat dan tidak sesuai dengan harapan, mohon dimaafkan.
1. Liturgi Kamis Putih, Jumat Agung dan Malam Paskah dalam bentuknya yang berlaku sampai sekarang dimulai sejak 1951, sebagai Ad experimentu selama 3 tahun, lalu pada tahun 1955 ditetapkan secara definitif hingga sekarang.
2. Sekilas sejarah pengembangan liturgi Tri Hari Suci, yang paling awal adalah perayaan hari Minggu, yaitu hari Kebangkitan Kristus sebagai hari Tuhan. Agak jelas pada pada abad ke- 2 mulai dibuat perayaan Paskah tahunan pada tanggal 14 Nisan, berdasarkan tradisi Yahudi, tetapi dengan isi dan makna Kristiani. Sejak abad ke- 4 muncullah upaya untuk mengenangkan hari- hari historis menjelang hari Minggu Kebangkitan, yaitu: ibu dari segala Vigili (hari Sabtu), peringatan penderitaan dan kematian Yesus dengan puasa dan pantang (hari Jumat) dan perayaan Perjamuan Malam Terakhir (hari Kamis). Inilah cikal bakal Triduum (Tri Hari Suci) Paskah.
Ketika diperbaharui pada tahun 1951 dan 1955, Triduum yang dilakukan dalam kurun waktu tiga hari itu terdiri dari:
Hari pertama: mengenangkan penderitaan dan kematian Yesus yang dimulai sejak Perjamuan Malam (Kamis malam), dan seluruh hari Jumat Agung.
Hari kedua: Mengenangkan masuknya Tuhan Yesus ke dunia orang mati, pada hari Sabtu pagi sampai sore.
Hari ketiga: Mengenangkan kebangkitan Tuhan Yesus, dimulai hari Sabtu malam sampai Minggu sore.
3. Tokoh asli Tri Hari Suci adalah Yesus Kristus sendiri yang bangkit mulia setelah menderita dan mati untuk menebus manusia yang berdosa.
4. Tentang sejak kapan litani para 26 Santo/a dipakai, terus terang saya belum menemukan informasinya, demikian pula informasi tentang apakah litani para kudus ini juga disebutkan di dalam gereja Anglikan dan Orthodoks. Mohon maaf.
5. Santo Mikael yang disebut dalam litani, apakah malaikat Mikael ataukah orang kudus yang bernama Mikael, memang tidak jelas disebut dalam litani. Namun jika dilihat urutannya, nampaknya adalah malaikat Mikael. St. Mikael adalah penghulu malaikat, sehingga tingkatannya memang di atas malaikat Gabriel dan Rafael. Maka wajar jika yang disebut dalam litani St. Mikael disebut lebih dahulu, (baru kemudian disusul dengan St. Gabriel dan St. Rafael), atau jika yang disebut secara khusus hanya St. Mikael, sedangkan malaikat St. Gabriel dan St. Rafael digabungkan dalam bilangan “para malaikat lainnya” yang disebut setelah St. Mikael.
Sebutan Santo, ditujukan kepada para kudus, termasuk juga kepada malaikat. Katekismus mengajarkan demikian:
KGK 335 Dalam liturginya Gereja mempersatukan diri dengan para malaikat untuk menyembah Allah yang Maha Kudus (Bdk. MR “Sanctus”); ia minta bantuan mereka (Bdk. “Supplices te rogainus…”) dalam Doa Syukur Agung I (Romawi); “In paradisum deducant te angeli…” dalam Upacara Pemakaman dan “Himne Kherubim” dalam liturgi Santo Yohanes Krisostomus, dan merayakan terutama peringatan akan malaikat tertentu (St. Mikael, St. Gabriel dan St. Rafael, dan para malaikat pelindung yang suci).
Salam,
Pastor Boli
PS: St. Mikael yang bukan malaikat adalah St. Mikael Garicoits, pengaku iman, yang peringatannya jatuh pada tanggal 14 Mei.
Tentang mulai kapan ada litani para kudus: sudah ada sejak abad 4, seperti di Gereja Timur dari kesaksian di jaman St. Basilius (+ 379) dan bahkan jauh sebelumnya dari St. Gregorius Thumaturgus (270).
Untuk Gereja Barat, sudah menyebar hampir semua Gereja lokal sejak abad ke-5. Ada litani yang dikenal dengan nama Litani Minor atau Galicana dari St. Mamertus, uskup Wina tahun 477. Beliau menyeruhkan kepada umat untuk mendoakan litani ke para kudus ini ketika gempa bumi dan mala petaka melanda kota Wina dan sekitarnya. Dari litani ini oleh St. Gregorius Agung menyeruhkan kepada warga kota Roma ketika bencana banjir tahun 589 & 590 dan wabah pes melanda Roma akibat meluasnya sungai Tiber. Paus Pelagius menjadi korban dari bencana ini. St. Gregorius Agung menyerukan warga Roma untuk melakukan doa dan prosesi dari tujuh gereja di Roma menuju Basilika St. Yohanes Lateran. Prosesi itu seraya mengenangkan St. Mamertus, dengan intensi dengan perantaraan para kudus mohon keselamatan dari bencana banjir ini. Prosesi doa dan litani inilah yang disebut : LITANIA SEPTIFORMIS dari St. Gregorius Agung dan PROSESI St. Mamertus pada tahun 590.
Oleh karena beredarnya beragam litani, maka paus Klemens VIII membuat suatu dekrit inquisi tanggal 6 september 1601, untuk menyeragamkan suatu bentuk litani para kudus seperti dalam buku² liturgi dan litani dari Loreto (Litani St. Maria),
Selain itu kita juga mengenal Litani Nama Yesus tersuci, litani Hati Yesus yang mahakudus dan litani St. Yoseph.
semoga bermanfaat
salam
[Dari Katolisitas: Terima kasih atas masukan anda.]
Pertanyaan seputar Liturgi Kamis Putih
1. Apa sebab Syahadat tidak dibacakan? Apakah hanya kerena alasan waktu upacara yang sudah panjang?
2.Di dalam doa Prefasi disebutkan para malaikat dan laskar surgawi. Apa beda kedua “makhluk” tersebut?
3. Di dalam kitab suci ada ayat yang isinya kurang lebih :jangan menambah atau mengurangi isi kitab suci . (tolong disebutkan karena kami tidak mengetahui letak persisnya). Sejalan dengan hal tersebut, sebenarnya teks kitab suci tidak menyebutkan bahwa Yesus di samping mencuci kaki para murid juga mencium kaki mereka.Namun, Paus Yohanes Paulus II bukan hanya mencuci tapi juga mencium kaki orang yang terpilih untuk dibasuh kakinya. Apa tindakan tersebut tidak menambah-nambah perbuatan yang sebenarnya tidak tercantum dalam teks asli kitab suci?
Salam Herman Jay,
Jawaban singkat bisa dilihat langsung sesudah tiap pertanyaan.
Pertanyaan seputar Liturgi Kamis Putih
1. Apa sebab Syahadat tidak dibacakan? Apakah hanya kerena alasan waktu upacara yang sudah panjang? Bukan karena sudah panjang, tetapi menurut Tradisi, peragaan pembasuhan kaki sesudah homili merupakan satu bentuk pengungkapan iman akan Tuhan yang adalah Guru yang mengajar juga dengan contoh jelas untuk mengasihi, melayani dengan sukacita dan rendah hati.
2.Di dalam doa Prefasi disebutkan para malaikat dan laskar surgawi. Apa beda kedua “makhluk” tersebut? Ada malaikat atau mahluk surgawi yang digambarkan sebagai penjaga keamanan, misalnya Malaikat Agung Mikael, yang memegang pedang dan menghalau setan.
3. Di dalam kitab suci ada ayat yang isinya kurang lebih :jangan menambah atau mengurangi isi kitab suci . (tolong disebutkan karena kami tidak mengetahui letak persisnya). Sejalan dengan hal tersebut, sebenarnya teks kitab suci tidak menyebutkan bahwa Yesus di samping mencuci kaki para murid juga mencium kaki mereka.Namun, Paus Yohanes Paulus II bukan hanya mencuci tapi juga mencium kaki orang yang terpilih untuk dibasuh kakinya. Apa tindakan tersebut tidak menambah-nambah perbuatan yang sebenarnya tidak tercantum dalam teks asli kitab suci? Paus Yohanes melakukannya bukan terutama untuk menambah- nambahi tetapi lebih sebagai bentuk penegasan dari makna tindakan Tuhan Yesus mencuci kaki. Yesus mencuci kaki sebagai tanda melayani dengan kasih yang mendalam. Mencium kaki yang dibasuh mempertegas makna tindakan itu.
Salam,
Pst. Boli Ujan SVD
Syalom Romo Boli,
Saya ada pertanyaan. Selama masa pra-paskah ini mengapa Gereja Katolik tidak boleh melakukan kemuliaan pada saat Sakramen Ekaristi ? Sedangkan saya di Persekutuan Doa Kharismatik Katolik juga DILARANG berdoa DOA KEMULIAAN. Apakah ajaran ini betul ? kalau betul mungkin bisa disertakan bukti – buktinya
Terima kasih & Tuhan YESUS memberkati
Budi Yth
Liturgi Gereja memiliki aturan sebagai ungkapan iman Gereja. Lingkaran liturgi menampilkan sejarah keselamatan umat beriman, agar seluruh umat dapat mengimani dalam perayaan iman. Lingkaran liturgi sepanjang tahun terdiri dari A, B, C. Tahun ini tahun A maka akan ditampilkan bacaan yang khusus sepanjang tahun. Demikian ada masa-masa liturgi seperti Pra Paskah, Paskah, Advent, Natal dll. Masa Pra Paskah dikhususkan bagi umat beriman untuk merenungkan kisah sengsara dan penderitaan Yesus sebelum Hari KebangkitanNya. Nada dasar Pra Paskah adalah keprihatinan, tobat dan puasa bersama Yesus di jalan salibNya. Maka warna liturgi Ungu. Karena nada dasar yang demikian maka tidak ada doa dan lagu Kemuliaan dan Alleluia. Kemuliaan dan Alleluia akan dinyakan secara meriah ketika saat Yesus Bangkit di Hari Paskah. Dimana saja di dunia ini seluruh umat Katolik memahami perayaan iman dalam liturgi yang sama.
Semoga dapat dipahami dan menjadikan iman anda dikuatkan.
salam
Rm Wanta
Syalom Romo Wanta yang dikasihi TUHAN
Jadi kalau saya berdoa rosario, bagian kemuliaan saya tidak doakan ya ?
Tuhan Yesus memberkati & Bunda Maria selalu menuntun anda pada putraNYA
Budi Yth
Wahhhh beda sekali, kemuliaan di dalam Perayaan Ekaristi beda dengan kemuliaan di saat doa Rosario. Kalau kemuliaan trinitaris tidak apa apa doakan saja tidak menyalahi hukum apapun. Kemuliaan yang tidak didoakan atau nyanyikan saat perayaan ekarisiti pada masa prapaskah. Ada hal lain lagi kecuali Hari Raya meski dalam masa Prapaskah harus diucapkan/dinyanyikan. Jadi kuncinya pada Masa liturgi saat itu dan hirarki perayaan liturgi saat itu: Hari Raya, Pesta, Peringatan, Biasa, Votif. Semoga menjadi maklum.
Salam
Rm. Wanta
Pater Bernard, Romo Wanta & Tim Katolisitas (Pa Stef & Bu Ingrid) Yth.
Saya punya pertanyaan yang sampai sekarang saya belum menemukan jawabannya. Pada November 2010 kemarin, seksi Liturgi di paroki kami mengadakan beberapa kali pertemuan dalam rangka persiapan Liturgi pada saat Natal dan juga untuk menata Perayaan Ekaristi tiap minggu yang sesuai dengan aturan baku dalam Gereja Katolik. Dalam beberapa diskusi muncul beberapa masalah (minimal bagi saya) antara lain:
1). Ada jg penugurus liturgi yang menghendaki adanya KOMENTATOR, pemandu perayaan, apakah ini memang diatur dalam suatu aturan tertentu?
2). sebelum lagu PEMBUKA, dianjurkan untuk dinyanyikan lagu persiapan umat yang menurut mereka untuk mengiringi umat saat masuk untuk mencari tempat duduk. Apakah ini boleh dan kalau boleh apa maksudnya?
3). Berkaitan dengan Mazmur Tanggapan, Di beberapa artikel saya menemukan bahwa Pemazmur melagukan ayat-ayat mazmur dari “mimbar” atau tempat yang PANTAS. Apakah yang dimaksudkan dengan mimbar tersebut adalah mimbar Sabda? Dan apakah yang dimaksukan dengan tempat lain yang pantas? Menghadap ke umat atau di tempat koor dan menghadap ke Altar?
4). Apakah lagu SALAM DAMAI yang sering dinyanyikan saat kita mengucapkan salam damai, wajib dinyanyikan? Adakah aturan yang bisa kita pakai sebagai pendasarannya? Sering di paroki kami banyak yang sangat kretif sehingga lagu salam damai diganti dengan lagu rohani.
Saya sangat mengharapkan bantuan dari Pater Bernard, Romo Wanta, Pa Stef dan Bu Ingrid untuk memberikan penjelasan pertanyaan-pertanyaan saya tersebut, sehingga kami boleh menerapkan apa yang benar dan seharusnya untuk membantu penghayatan kami dalam merayakan Ekaristi Kudus. Untuk itu, kami menyampaikan banyak terima kasih.
Flotamar
Flotamar yth., Berikut ini saya menjawab pertanyaan- pertanyaan anda:
1). Ada jg pengurus liturgi yang menghendaki adanya KOMENTATOR, pemandu perayaan, apakah ini memang diatur dalam suatu aturan tertentu? Sebenarnya menurut PUMR 31, Pengantar (komentar) dapat dibuat oleh imam sebelum Ritus Tobat, sebelum bacaan- bacaan prefasi, sebelum pengutusan.
2). sebelum lagu PEMBUKA, dianjurkan untuk dinyanyikan lagu persiapan umat yang menurut mereka untuk mengiringi umat saat masuk untuk mencari tempat duduk. Apakah ini boleh dan kalau boleh apa maksudnya? Biasanya dimainkan musik instrumental untuk menciptakan suasana khidmat yang membantu umat mempersiapkan hati untuk mengambil bagian secara aktif dalam perayaan.
3). Berkaitan dengan Mazmur Tanggapan, Di beberapa artikel saya menemukan bahwa Pemazmur melagukan ayat-ayat mazmur dari “mimbar” atau tempat yang PANTAS. Apakah yang dimaksudkan dengan mimbar tersebut adalah mimbar Sabda? YA. Dan apakah yang dimaksukan dengan tempat lain yang pantas? Menghadap ke umat atau di tempat koor dan menghadap ke Altar? Dari tempat yang mudah dilihat dan didengar dengan jelas. Menurut tradisi, pemazmur menyanyikan Mazmur dari anak tangga menuju Mimbar Sabda, dan menghadap ke umat. Itulah sebabnya nyanyian ini disebut Graduale (Gradus, dalam bahasa Latin berarti anak tangga).
4). Apakah lagu SALAM DAMAI yang sering dinyanyikan saat kita mengucapkan salam damai, wajib dinyanyikan? Adakah aturan yang bisa kita pakai sebagai pendasarannya? Sering di paroki kami banyak yang sangat kreatif sehingga lagu salam damai diganti dengan lagu rohani. Dalam tata perayaan Ekaristi (TPE) tidak ditulis ribrik tentang nyanyian. Hanya ditulis dalam PUMR no. 82 bahwa cara Salam Damai ditentukan oleh Konferensi Uskup sesuai dengan kekhasan dan kebiasaan masing- masing. Sejauh saya tahu KWI belum pernah menentukan bahwa Ritus Damai diiringi nyanyian Salam Dami atau nyanyian lain.
Salam,
Pst. Bernardus Boli SVD
Terima kasih Pater, jawaban pater sangat penting bagi kami! Semoga Tuhan selalu memberkati Pater dalam tugas pelayanannya!
Flotamar
Mengapa ada doa novena yang menyuruh kita untuk menyalakan lilin di gereja? Buat apa? Apa gunanya menyalakan lilin di gereja?
Apakah ada dasar alkitabnya? Dasar tradisi sucinya?
Shalom Alexander,
Lilin itu merupakan simbol terang, dan pada perayaan Ekaristi, lilin di altar dinyalakan, yang menjadi lambang kehadiran Kristus yang adalah Sang Terang dunia (Yoh 8:12). Sedangkan lilin yang ada di depan patung Bunda Maria melambangkan doa- doa kita yang naik ke hadapan Tuhan. Simbol lilin ini seperti halnya makna ukupan, melambangkan doa- doa jemaat yang naik ke hadirat Allah. Tentang makna ukupan sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Sedangkan, makna doa dengan menyalakan lilin di hadapan patung Bunda Maria, telah pernah dijawab di sini, silakan klik.
Prinsipnya, lilin memang dapat membantu kita untuk mengarahkan hati pada saat berdoa, namun kita tidak boleh tergantung dengan lilin, seolah tanpa lilin tidak bisa berdoa.
Menyalakan lilin pada saat berdoa itu merupakan tradisi (bukan Tradisi) yang sudah dilakukan sejak jemaat abad awal, diketahui dari bekas- bekas yang ada pada katakomba (gereja bawah tanah). Kebiasaan ini bukan merupakan ajaran dogmatik, namun hanya praktek yang umum dilakukan jemaat sejak dulu. Namun karena maknanya yang dalam, Gereja Katolik tetap melaksanakannya sampai sekarang.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- https://katolisitas.org
Yth Katolisitas,
Sebenarnya pada jam berapa saja lonceng gereja dibunyikan? Ada teman saya tinggal di Italia bercerita kalau lonceng disana berbunyi tiap 15 menit / 30 menit sekali mulai pukul 07.00-21.30. Pada hari biasa satu lonceng dibunyikan, sementara hari Minggu lebih dari satu lonceng dibunyikan. Sementara kalau di paroki saya disini lonceng hanya berbunyi pada jam doa Malaikat Tuhan dan 30 menit sebelum misa dimulai.
Shalom Chris,
Terus terang saya tidak mengetahui soal lonceng ini. Pertanyaan ini sudah saya tanyakan kepada Romo Boli, dan jika ia sudah menjawab nanti saya teruskan kepada anda. Memang benar di Eropa pada umumnya lonceng gereja dibunyikan lebih dari setengah jam sekali. Namun kemungkinan juga berkaitan dengan jam dimulainya Misa Kudus, karena sebelum Misa Kudus, umumnya lonceng dibunyikan sampai selama beberapa menit, demikian juga pada saat konsekrasi. Sedangkan tiap- tiap gereja mempunyai jadwal sendiri- sendiri: misalnya pada misa harian ada yang jam 6 pagi tapi juga ada yang jam 7, maupun tengah hari dan sore hari. Demikian pula pada hari Minggu, misa diadakan pada jam- jam yang berbeda- beda, kadang berselisih 15 sampai 30 menit, sehingga otomatis bunyi lonceng juga berselang sesuai dengan perbedaan waktu itu.
Di Indonesia, mungkin bunyi lonceng tidak/ belum menjadi keseharian dalam kehidupan umat. Walaupun tentu saja, baik jika lonceng dibunyikan pada jam- jam umum didoakan doa malaikat Tuhan yaitu jam 6 pagi, 12 siang dan jam 6 sore, ataupun jam 3 siang, memperingati jam wafatnya Tuhan Yesus; demikian pula saat- saat sebelum Misa Kudus. Namun tentang praktis pelaksanaannya, saya rasa itu perlu didiskusikan dengan pastor paroki dan dewan paroki.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Chris,
Fungsi lonceng sebenarnya bermacam-macam, dan tidak selalu sama di setiap gereja. Misalnya untuk memberi tanda akan dimulai perayaan Ekaristi, bisa tiga kali sebelum misa: satu jam, setengah jam dan lima menit sebelum dimulai misa. Ada yang hanya sekali sebelum waktu misa bisa 30 menit, bisa 15 menit, bisa 5 menit saja, tergantung pada kebiasaan. Lonceng juga bisa dibunyikan sebagai tanda untuk doa Angelus pada jam 06, 12, dan 18. Bisa juga sebagai tanda bahwa ada anggota umat beriman di lingkungan gereja itu telah meninggal dunia (sebagai berita kematian untuk umat) supaya mendoakan peristirahatan kekal bagi orang yang baru meninggal. Dan lonceng itu juga bisa berfungsi sebagai penunjuk waktu sesuai dengan jam besar yang digantung di dinding depan menara lonceng, bisa setiap seperempat atau setengah atau satu jam.
Salam. Doa n Gbu.
Rm Boli.
Jawaban atas pertanyaan no. 5 soal keikutseratan atau kehadiran dalam liturgi Malam Paskah, kok bagi saya kurang pas dan mengganjal di hati…. seakan-akan liturgi Malam Paskah dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya disamakan dengan liturgi Malam Natal, atau misa malam minggu…dst. Ada ungkapan yang mengatakan : “menjaga dan memelihara liturgi secara otentik sama dengan menjaga dan memelihara kemurnian iman kekatolikan”. Di situs ini selalu menekankan MISTERI PASKAH KRISTUS menjadi inti dan pusat iman kita sebagai orang katolik, dan saat kapan diarayakan secara liturgis? ya liturgi Malam Paskah…. Memang bahwa misteri Paskah Kristus terus menerus kita rayakan dalam setiap kali merayakan Ekaristi, entah itu mingguan, harian, atau kesempatan2 tertentu dalam penerimaan sakramen lainnya atau kesempatan atau peristiwa lain. Namun dalam lingkaran Tahun Liturgi Gereja, liturgi Malam paskah punya makna yang sangat mendalam dan memiliki liturgi yang khas dalam perayaan tahunan (liturgi yang dirayakan setahun sekali). Liturgi yang kaya akan nilai2 keimanan kita, punya makna theologis, eklesiologis, sakramen (inisiasi), liturgis dan katekese yang mendalam… juga biblis. Saya tidak tahu dari makna iurisnya….
Terima kasih dan mohon tanggapan
Phiner Yth
Gagasan anda benar dan kita benar bahwa puncak perayaan iman pada Misa Malam Paskah merupakan perayaan iman yang mendalam dan memiliki makna yang sangat penting dalam sejarah keselamatan manusia. Dalam liturgi itu dikisahkan sejarah keselamatan manusia. Sebaiknya setiap umat katolik ikut merayakan malam Paskah ini meski kadang dirayakan sore hari karena situasi pastoral mereka merayakan Minggu Paskah di pagi hari. Makna yuridisnya bahwa perayaan ekaristi adalah tindakan Krsitus sendiri dan Gereja di dalamnya, Kristus Tuhan melalui pelayanan imam mempersembahkan diriNya kepada Allah Bapa dengan kehadiranNya secara substansial dalam rupa rioti dan anggur, serta memberikan diriNya sebagai santapan rohani kepada umat beriman yang menggabungkan diri dalam persembahan-Nya. (bdk kan 899)
salam
Rm Wanta
Romo Boli, saya berterima kasih atas jawaban-jawaban Romo. Kini saya mau tanya, apakah “Mazmur Tanggapan” antara bacaan I dan bacaan II / Injil boleh diganti (digusur) dengan lagu antarbacaan. Teman saya mengatakan tak boleh, teman lain mengatakan boleh. Saya sendiri berpendapat digabung saja., Mazmur Antar Bacaan dan disusul Lagu. Bagaimana menurut aturan liturgi? Terima kasih. Salam: Isa Inigo.
Salam Isa Inigo,
Mazmur Tanggapan adalah teks biblis yang didaraskan/dinyanyikan untuk meresapkan/merenungkan bacaan yang baru saja dimaklumkan. Demi tujuan itu Mazmur Tanggapan telah dipilih yang sesuai dengan bacaan. Karena itu tidak boleh diganti dengan teks yang bukan dari alkitab (bdk. Pedoman Umum Misale Romawi, no. 57; 61). Kalau ada teks Lagu Antar Bacaan yang berisi mazmur bersangkutan, bolehlah dipakai sebagai pengganti. Itu berarti tidak digabung.
Romo Bernardus Boli Ujan SVD
Shalom, Stef & Ingrid
Terimakasih banyak atas bantuannya. Semoga Katolisitas terus menjadi suluh penerang bagi mereka (kita) yang mencari kebenaran iman sejati. Berkah Dalem.
Shalom Stef dan Inggrid,
Saya ingin menanyakan dua hal menyangkut ekaristi, khususnya dasar atau dokumen yang mendukung praktek misa sabtu sore dan komuni dalam satu rupa. Secara umum alasan-alasannya saya sudah tahu, namun saat ditanya dasar atu dokumen gereja yang mendukung saya tidak mengetahuinya. Misalnya alasan Misa Sabtu sore, bahwa sore sudah termasuk dalam hari Minggu, atau alasan pastoralnya adalah mengurangi kepadatan Misa Minggu atau demi mereka yang karena alasan tertentu (bukan malas atau demi “molor” di hari Minggu) tidak bisa mengikuti misa Minggu. Berkaitan dengan komuni dalam satu rupa, alasan yang diberikan antara lain demi efektivitas waktu atau toh dalam satu rupa pun sebenarnya kita sudah menerima Tubuh dan Darah Kristus. Mohon bantuannya. Thanks. (catatan: silakan edit pertanyaan saya ini).
Shalom Masroms,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang Misa Sabtu Sore dan komuni satu rupa. Pembahasan tentang komuni satu rupa, anda dapat melihatnya di sini – silakan klik. Kemudian tentang Misa Sabtu sore:
a. Misa Sabtu Malam dikenal dengan nama Anticipated Mass dan memang maknanya sama dengan Misa Hari Minggu. Misa Sabtu malam juga berkaitan dengan tradisi Yahudi yang menghitung hari dari matahari terbenam sampai matahari terbenam keesokan harinya (sekitar jam 6 sore).
Dalam tradisi Gereja, kita mengenal bahwa Misa Sabtu malam ini terutama diperuntukkan bagi orang-orang yang berhalangan datang pada Misa hari Minggu, misalnya jika hari Minggu mereka harus pergi ke luar kota di mana mereka tidak tahu apakah mereka dapat menemukan gereja/ mengikuti misa Minggu. Jadi sesungguhnya sifatnya bukan untuk dijadikan kebiasaan, tetapi hanya jika sangat diperlukan, yaitu jika seseorang tidak bisa mengikuti misa pada hari Minggu tersebut.
Jadi seharusnya motivasi orang yang datang ke misa Sabtu malam itu bukan supaya bisa bangun lebih siang pada hari Minggu, atau supaya bisa bersenang-senang sepanjang hari Minggu, dst. Karena seharusnya setiap hari Minggu adalah saatnya kita mengenang hari Paskah Kebangkitan Kristus dan saatnya kita beristirahat dari kegiatan rutin/ pekerjaan selama seminggu. Dan dalam masa beristirahat itu tetap kita mengutamakan Tuhan dahulu, baru kemudian keluarga. Jadi sesungguhnya jika tidak ada halangan khusus, kita sedapat mungkin mengikuti Misa pada hari Minggu.
b. Dokumen Gereja yang mendukung hal ini adalah:
Semoga keterangan ini dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Dear Pak Stef dan ibu ingrid,
Mohon penjelasan kenapa kata AMIN pada akhir Anamnese di TPE baru dihilangkan. Maksud saya apa dasar dari penghapusan kata amin diakhir anamnese TPE baru.
Berikutnya apakah benar bahwa sewaktu kita akan pulang/ keluar dari gedung gereja, mencelupkan jari ke air suci dan membuat tanda salib itu merupakan hal yang salah kaprah ? kalau disaat masuk gereja memang harus dilakukan karena itu mengingatkan kita pada baptisan kita dan juga merupakan simbol yang diadopsi dari bangsa yahudi bahwa setiap akan masuk rumah dilakukan pembasuhan (bersih diri). Mohon penjelasan pak Stef dan ibu Ingrid. Terima kasih atas jawabannya. tuhan memberkati
Salam
Hubert Yth,
Amin yang dimaksud tidak ada dalam teks asli bahasa Latin, karena itu dalam terjemahan sesuai teks asli Amin tidak ditambahkan seperti dalam seruan Anamnese yang lain. Pada dasarnya seruan Anamnese adalah seruan umat untuk mengamini misteri yang dialami dalam DSA (Doa Syukur Agung) yang didoakan oleh imam. Dengan kata lain Anamnese merupakan perpanjangan dari Amin, yaitu mengamini kenangan yang menyelamatkan. Maka kata Amin dirasa tidak perlu diucapkan lagi. Sudah cukup dengan seruan yang memperpanjang Amin itu.
Menandai diri dengan air suci pada saat masuk gereja atau pada saat keluar dari gereja bukanlah suatu tindakan liturgis tetapi lebih merupakan suatu tindakan devosional, yang dilakukan sebelum dan sesudah kegiatan liturgis. Jadi boleh dilakukan atau boleh juga tidak. Kalau dilakukan hal itu mengingatkan kita bahwa kita mau mengambil bagian dalam liturgi sebentar lagi sebagai orang yang sudah dibaptis. Kesadaran itu diungkapkan secara resmi (liturgis) pada saat membuat tanda salib di awal perayaan dan perecikan air suci (alternatif yang mengganti rumus pernyataan tobat lain). Dan sesudah perayaan liturgi, kita diingatkan bahwa kita mau menghayati misteri yang baru saja dirayakan dalam hidup sehari-hari sebagai orang orang utusan yang telah dibaptis. Dengan demikian kegiatan devosional itu menyadarkan kita akan hubungan yang erat antara Pembaptisan, Krisma (menjadi utusan yang saksikan iman) dengan Ekaristi.
Salam,
Romo Bernardus Boli Ujan SVD.
Terima kasih Romo Bernardus Boli Ujan SVD. atas jawaban Romo. Saya bisa menyampaikan kepada umat penanya di lingkungan kami
Semoga Tuhan memberkati karya Romo, Pak stef dan Ibu Ingrid.
Dominus Vobiscum
Hubert
Salam Romo,
Saya mau bertanya, adakah kemungkinan bahwa lay-out altar gereja Katolik disesuaikan untuk mengakomodasikan perayaan misa kudus Novus Ordo (dengan altar yang berdiri sendiri) maupun misa Tridentina – ad orientum (dengan altar yang menjadi kesatuan/ menghadap Tabernakel?
Apakah mungkin, untuk mengakomodasikan kedua hal ini maka, misalnya seolah ada ‘dua’ bagian altar, yaitu satu berdiri sendiri, sedang yang lainnya ada dibelakangnya, menjadi kesatuan dengan tabernakel? Kalau boleh, bukankah seolah-olah ada “dua altar”? Kalau tidak boleh, bagaimana untuk mengakomodasi misa Tridentina di kemudian hari?
Terima kasih
Salam – Stefan
Pak Stefan,
Setahu saya Takhta Apostolik tidak menganjurkan membangun tempat baru yang khusus untuk pelaksanaan Misa Tridentin sebagai konsekuensi perluasan izin untuk Misa itu. Ada gereja lama yang dulu dibangun dalam masa berlakunya Misa Tridentin dan kini digunakan untuk Misa Vatikan II masih merawat altar lama, yang biasanya ada tabernakelnya (meskipun tidak selalu begitu). Altar lama itu bisa saja digunakan kembali untuk Misa Tridentin sekarang. Namun, praktek ini akan menimbulkan kesan adanya dua altar dalam satu gereja, padahal dianjurkan hanya ada satu altar. Menurut saya, lebih baik menggunakan altar baru saja, namun orientasinya di balik. Imam membelakangi umat secara langsung (tidak terhalang altar baru, seperti jika imam menggunakan altar lama, sementara ada altar baru di belakangnya). Maka, perlengkapan yang dibutuhkan untuk Misa Tridentin itu disesuaikan saja dengan kondisi altar baru. Dengan begitu, altar lama tetap diperlakukan sebagai altar-tabernakel saja, bukan altar-ekaristi, sehingga tetap terjagalah ajaran tentang satu gereja dengan satu altar untuk Liturgi Ekaristi. Praktek ini pernah saya lihat sendiri di satu paroki di kota Essex, dekat London.
Tks, salam.
CHS
Shalom,
Apabila seseorang secara “accidental” menghadiri sebuah perayaan ekaristi yang invalid, apakah orang tersebut terikat dengan kewajiban untuk mencari perayaan ekaristi lain yang valid pada hari itu?
NB: Di http://www.ewtn.com/vexperts/showmessage.asp?Pgnu=1&Pg=Forum8&recnu=1&number=452379 Colin B. Donovan, STL pernah menulis:
“If you were traveling and unintentionally went to a truly invalid Mass, you do not need to go to the inconvenience of tracking down another Mass. Its on the celebrant’s conscience not yours. Though, I hope you would write his bishop and complain.”
Tetapi saya kurang mengerti akan maksud pendapatnya tersebut (mungkin karena kemampuan bahasa Inggris saya kurang baik)
Mohon pencerahannya.
Terima kasih,
Kenneth
Kenneth yth
Prinsip kan 144 bisa diterapkan dan tidak perlu misa lagi karena kekeliruan anda. Lain kali mencari imam yang valid.
Terimakasih
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Kenneth,
Kitab Hukum Kanonik 1983 berkata:
144 § 1 Dalam kekeliruan umum mengenai fakta atau hukum, demikian juga dalam keraguan yang positif dan probabel, baik mengenai hukum maupun mengenai fakta, Gereja melengkapi kuasa kepemimpinan eksekutif, baik untuk tata lahir maupun untuk tata batin.
Jadi dalam hal ini, karena jika seseorang tidak sengaja dan tidak tahu bahwa ia menghadiri misa yang dipersembahkan oleh imam yang tidak sah, kesalahannya tidak pada umat itu. Dalam hal ini Gereja- lah yang melengkapi tata lahir dan tata batin yang seharusnya ada, dan ini istilahnya ecclesia supplet.
Maka jika anda tidak sengaja, dan anda tidak tahu sebelumnya jika misa tersebut tidak sah (karena imamnya tidak sah), maka Gerejalah yang melengkapinya oleh kuasa Kristus sendiri. Namun, ini tidak berlaku kalau seandainya anda sudah tahu atau anda sengaja mengikuti misa yang tidak sah, karena misalnya di adakan oleh imam yang tidak dalam kesatuan dengan Gereja Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Salam dalam kasih Kristus,pada temapat pertama saya ucapkan terima kasih atas jawaban tentang penggunaan kata baik itu inkulturasi atau akulturasi. Saya ingin bertanya tentang penggunaan lilin saat misa,setahu yang saya pelajari lilin tertpusat pada altar tapi ada hal yang menarik karena saat misa lilin justru banyak dinyalakan di patung Bunda Maria dan Yesus, sebenarnya apakah penting dalam ekaristi lilin dinyalakan pada patung???mohon penjelasannya
Shalom Christo Ngasi,
Makna doa dengan menyalakan lilin di hadapan patung Bunda Maria, telah pernah dijawab di sini, silakan klik.
Lilin itu merupakan simbol, dan pada perayaan Ekaristi, lilin di altar dinyalakan, yang menjadi lambang kehadiran Kristus yang adalah Sang Terang dunia. Sedangkan lilin yang ada di depan patung Bunda Maria melambangkan doa- doa kita yang naik ke hadapan Tuhan.
Prinsipnya, lilin memang dapat membantu kita untuk mengarahkan hati pada saat berdoa, namun kita tidak boleh tergantung dengan lilin, seolah tanpa lilin tidak bisa berdoa.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
1.Mengapa pada saat konsekrasi, ketika hosti besar dan piala berisi anggur diangkat oleh imam, dibunyikan lonceng 3 kali . Kalau lonceng tidak dibunyikan , apa efeknya. Kalau hanya satu kali dibunyikan , lantas gimana? Kalau sepuluh kali gimana?
Shalom Herman Jay,
Terima kasih atas pertanyaannya tentang lonceng yang dibunyikan pada saat konsekrasi. Kita dapat melihat General Instruction of the Roman Missal (GIRM, #150), dimana dikatakan “A little before the consecration, when appropriate, a server rings a bell as a signal to the faithful. According to local custom, the server also rings the bell as the priest shows the host and then the chalice.” Dari sini kita dapat melihat bahwa bel dibunyikan dalam tiga kali kesempatan, yaitu: (a) sebelum konsekrasi, (b) pada saat hosti diangkat dan (c) pada saat piala diangkat. Membunyikan bell sangat penting terutama pada waktu misa diselenggarakan dalam bahasa Latin, dimana tidak semua umat yang hadir mengerti bahasa Latin. Dengan dibunyikan bel, maka umat yang mengikuti misa dalam bahasa Latin, dapat mengerti bahwa bel pertama adalah untuk memberikan kesadaran bahwa akan terjadi peristiwa paling penting dalam Misa, yaitu konsekrasi, dimana akan terjadi bel yang kedua dan ketiga. Namun, walaupun Misa yang baru (Paus Paulus VI) menggunakan bahasa lokal, membunyikan bel tetaplah penting dan baik, sehingga umat dapat mengarahkan hati kepada konsekrasi. Tidak ada ketentuan untuk membunyikan bel sebanyak 1 x, 3x, atau 10x. Semuanya ini adalah sesuatu yang “common sense“, di mana 1x umat tidak terlalu jelas, 3x baik – karena jelas maksudnya, 10x umat merasa terganggu, 100x ada orang yang mencoba sabotase. Semoga dapat membantu.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
salam kasih Kristus saya minta bantuan tentang pengunaan kata yang pas apakah Liturgi Adaptasi atau Inkulturasi atau Akultarsi atau Kontekstualisasi. trimakasih atas bantuannya
Christo Ngasi Yth,
Sejarah Liturgi sebagai ungkapan iman dalam ritus khususnya Gereja Katolik sangat panjang dan kaya. Kontekstualisasi ungkapan iman dalam ritus tersebut mengalami apa yang disebut dengan penyesuaian. Sikap terbuka liturgi terhadap konteks zaman yang terus berubah patut mendapatkan apresiasi. Dari penyesuaian itu muncullah isitilah: Inkulturasi, adaptasi-akulturasi. Maka muncullah Liturgi Inkulturasi: sebuah usaha ungkapan iman dalam ritus itu yang sungguh kontekstual dengan budaya setempat (kultur). Perbedaannya dengan akulturasi yang bertitik tolak dari ritus Romawi adalah: yang diubah dalam akulturasi-adaptasi adalah ciri-ciri khas budaya Romawi yang kurang cocok bahkan bertentangan dengan ciri khas budaya orang setempat. Sedangkan Inkulturasi bertitik tolak dari upacara-upacara pra kristiani yang harus diubah jika ada sesuatu yang bertentangan dengan iman yang benar. Kemudian proses adaptasi-akulturasi adalah ritus Romawi yang mendapat unsur-unsur pengungkapan dengan ciri khas budaya setempat seperti budaya Jawa. Hasil akulturasi adalah ritus Romawi Jawa. Sedangkan Inkulturasi adalah ritus asli pra kristiani misanya ritus Jawa menjadi perayaan kristiani dan bisa disebut perayaan Jawa Kristiani, misalnya pada perayaan perkawinan.
Demikian penjelasan saya semoga bermanfaat.
salam
Rm Wanta
Pengasuh situs katolisitas yang terkasih,
Selama ini saya memahami bahwa menghadiri Misa Malam Paskah dan Misa Minggu Paskah adalah pilihan. Kita diwajibkan hadir pada salah satu misa tersebut. Kalau sudah datang Misa Malam Paskah, tidak wajib lagi untuk ikut Misa Minggu Paskah, dan sebaliknya.
Namun, seorang teman berkata, bahwa dari seorang Pastor, ia dijelaskan bahwa umat wajib hadir kedua misa tersebut. Tata upacara kedua misa itu berbeda. Demikian juga dengan bacaan injil-nya. Sehingga kedua misa tersebut wajib diikuti. Apakah benar demikian?
Apakah hal yang sama juga berlaku untuk Misa Malam Natal dan Misa Natal pagi, karena kedua misa tersebut juga memakai bacaan yang berbeda?
Terima kasih.
Erwin Susilo
Erwin Yth
Tidak ada kewajiban mutlak dalam aturan Gereja merayakan misa Paskah, pada hari Sabtu malam dan Minggu pagi atau siang. Umat yang sudah merayakan Paskah Sabtu Malam jika tidak hadir pada Misa Minggu Paskah Pagi tidak berdosa atau melanggar aturan. Hanya kalau ada umat beriman mau merayakan lagi sampai dua kali Malam Paskah dan Paskah pagi juga baik. Jadi tidak terikat kewajiban, namun kalau ada kesempatan lebih baik karena bacaan berbeda namun ada pengulangan janji baptis yang sama diterimakan pada Sabtu Malam Paskah.
salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Erwin,
Saya hanya menambahkan sedikit, yaitu kanon-nya dari KHK
Kan. 1248 § 1 Perintah untuk ambil bagian dalam Misa dipenuhi oleh orang yang menghadiri Misa di manapun Misa itu dirayakan menurut ritus katolik, entah pada hari raya itu sendiri atau pada sore hari sebelumnya.
Maka sebenarnya dengan menghadiri Misa Malam Paska saja atau Minggu Paska saja, (atau Malam Natal saja dan Minggu Natal) saja sudah dipenuhi kewajiban kita sebagai umat Katolik. Namun, jika bicara “kewajiban” ini adalah syarat minimal, dan yang namanya kasih tentu selalu berusaha melakukan lebih daripada syarat minimal, sehingga tentu baik jika datang keduanya, karena itu semakin menyatakan penghayatan kita akan masa istimewa tersebut.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Shaloom..Rm. Wanta dan Inggrid
Seingat saya ada Buku Pedoman Pelaksanaan Triharipaskah (cat:tidak ingat jelas lagi apakah ini nama buku instruksi tersebut). Seingat saya dan setahu saya, dalam pedoman tersebut, vigilia paskah sangat dianjurkan (apa persis kandungan makna kata tersebut) dihadiri umat beriman. Dianjurkan juga umat menghadiri vigilia paskah tersebut, menyambut komuni, dan bergabung dengan beberapa gereja yang berdekatan. Bahkan para religius dan seminaris dianjurkan untuk menghadiri vigilia paskah di paroki bukan di seminari? Barangkali sekaitan ini jugalah, di beberapa paroki di Keuskupan Agung Medan, masih melakukan vigilia paskah separoki. Umat dianjurkan datang menghadiri vigilia paskah di Gereja Paroki. Memang benar bila dikatakan kita jangan syarat minimal. Tetapi sekali lagi muatan kata “hendaknya” dalam pedoman tersebut, apakah bernada menharuskan atau muatan lain? saya tidak tahu. Barangkali vigilia paskah tidak pernah menggantikan Hari Raya Paskah! terimakasih
Simon Yth
Lettere circulazione celebrandi vigili pasqua…diterjemahkan dalam seri dokpen nomor 71 menyatakan hendaknya bukan keharusan bagi seminaris, religius merayakan misa vigilia Paska di Paroki. Kalau seminari memiliki kapel yang memadai dan sudah biasa merayakan misa hari Minggu dan hari Raya Besar lainnya bersama Rektor dan seminaris bahkan umat juga datang tidak perlu ke Paroki. Seminari adalah lembaga khusus dan memiliki kewenangan khusus dalam pembinaan calon imam termasuk perayaan liturgi di bawah kuasa yurisdiksi Rektor yg diberikan oleh Uskup setempat.
Demikian jawaban saya semoga dapat dipahami.
salam
Rm Wanta
Terimakasih Romo
Saya minggu-minggu ini berusaha menemukan buku pedoman tersebut, dan syukurlah Saya telah menemukannya dan saya sedang mempelajari dokumen tersebut.
Romo Wanta: Pertanyaan ini tidak menindaklanjut yg sebelumnya, tetapi yang baru yakni persoalan perkawinan. Seorang cewek yang dibaptis di katolik hendak menikah dengan seorang protestan (Bethania). Mereka berdua pada dasarnya sama-sama berkeras dalam iman masing-masing. Dan si cewek merestui untuk menikah di Bethania. Akan tetapi cewek ini tetap menyatakan diri akan tetap katolik. Bagaimana dengan hal ini romo? Apakah perlu mereka melakukan dua kali pemberkatan menurut Gereja masing-masing? dan Ditanyakan lebih lanjut apakah cewek tersebut terhalang untuk menerima komui kudus?
Terimakasih
Simon Yth,
Prinsip yang harus dipegang adalah setiap orang katolik wajib hukumnya mengikuti aturan Gereja dalam hal ini KHK 1983. Maka wajib melaksanakan perkawinan di Gereja Katolik ikuti forma canonica. Jika akan melaksanakan upacara perkawinan di depan pendeta mohon izin ke ordinaris wilayah setempat (Uskup atau Vikep). Mohon dispensasi beda Gereja ke Ordinaris juga. Perkawinan akan sah jika halangan tadi dapat diatasi, dan pihak Katolik bisa menerima komuni kudus. Harus diingat tidak diperkenankan peneguhan ganda setelah Protestan baru Katolik atau sebaliknya, maka cukup sekali peneguhan. Saya anjurkan peneguhan di Gereja Katolik sehingga memudahkan pemberian dispensasi tak perlu izin. Semoga dapat dipahami dan bacalah artikel di ruang hukum Gereja di web katolisitas.org (silakan klik)
salam
Rm Wanta
Penerbitan Redemptionis Sacramentum dengan berbagai pelanggaran liturgi.
Dear Katolisitas
Sebuah instruksi VI perihal liturgi Ekaristi telah diterbitkan dengan judul Redemptionis Sacramentum. Di dalamnya tercantum berbagai bentuk pelanggaran yang sering terjadi dalam perayaan Ekaristi. Ketika aku mempelajari butir-butirnya, memang nyata terjadi dan cukup sering terjadi, ambil contoh pada art. 71, ““Salam damai hendaknya diberikan oleh setiap orang hanya kepada mereka yang terdekat dan dengan suatu cara yang sederhana”. Imam boleh memberikan salam damai kepada para pelayan, namun tidak akan meninggalkan panti imam agar jalannya perayaan jangan terganggu….”. Pada pelaksanaannya seringkali imam turun dari panti imam dan memberikan salam damai kepada umat, tak jarang hingga ke barisan belakang, bahkan mengajak para pelayan (Putra Altar, dsb) untuk turun serta memberikan salam damai ke umat. Kita bisa melihat sendiri bahwa ini adalah suatu pelanggaran karena juga menganggu kekhusyukan misa Kudus.
Jika kita menengok sekilas pada liturgi Tridentina, di sana tidak ada bagian Salam Damai, yang mana umat saling bersalaman bahkan diiringi tepuk tangan. Bagian tersebut ada, namun hanya sebatas imam kepada para pelayan (server), tidak turun dari panti imam.
Ini baru tentang salam damai, masih ada lagi yaitu Doa Syukur Agung, terutama ucapan Konsekrasi yang tidak jarang pula imam mengucapkannya dengan karangannya sendiri, jelas sekali ini melanggar kaidah dan norma liturgi secara umum. Hanya Uskup yang berwenang mengatur liturgi, namun Uskup pun juga tidak menciptakan liturginya sendiri, bahkan jelas sekali bahwa segala macam bentuk perubahan pada liturgi harus memiliki suatu alasan berat dan harus mendapat recognitio dari Tahta Suci (RS 16, 27).
Jika, anggaplah, saya, hendak memberikan masukan akan liturgi yang benar, namun justru dianggap “awam pengatur liturgi”, bagaimana hal ini bisa dijelaskan dan para awam dan klerus menyadari akan pentingnya liturgi Ekaristi yang benar? Memang hal tersebut yang aku nyatakan belumlah terjadi pada diri saya, tetapi hal serupa terjadi dengan rekan-rekan saya yang berusaha dengan baik dan secara sopan untuk senantiasa memberikan masukan akan hal ini. Tanpa aku sebutkan paroki mana secara spesifik, cukup sering ketika romo paroki diperingatkan, justru malahan meminta untuk “mendiamkan” pelanggaran yang terjadi dan meminta untuk pura-pura tidak tahu. Sebaliknya, jika urusan kreatifitas liturgi, gaya ini, gaya itu, kostum ini dan itu, semangat sekali. Mana yang lebih penting? Bentuk atau isi? Tanpa bermaksud membanding-bandingkan, aku terkadang iri dengan umat Muslim yang begitu teguh dan kokoh dengan tata cara sholat mereka, dan tidak timbul sama sekali hasrat untuk memodifikasi sesuai dengan perkembangan jaman.
Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan, aku hanya ingin memaparkan apa yang sedang terjadi dan ingin mengembalikan hakikat perayaan Ekaristi kudus kembali pada sifatnya yang sungguh terlalu agung untuk dirusak oleh berbagai hal profan. (RS 8)
Pax Christe
Julius Paulo
Julius Paulo Yth
Kita menyadari betapa sulitnya melakukan penyeragaman dan memang itu tidaklah mudah. Kecendernungan yang terjadi adalah liturgi sebagai perayaan iman dirayakan secara kontekstual sehingga kadang ada imam yang berani bereksperimen lewat macam ragam tambahan upacara dari yang biasa. Praktek yang ada memang banyak pelanggaran namun tidaklah besar dan menyangkut essensinya, seperti mengganti anggur dengan minuman lain atau hosti dengan roti lain. Anda bisa memberikan masukan kepada rama tidak apa. Jangan berpikir kok awam yang ngajari imam? Awam wajib ikut serta dalam pembinaan liturgi umat beriman di paroki dimana anda tinggal. Kalau boleh saya usul anda adakan seminar tentang liturgi ekaristi bagaimana merayakan dengan benar. Bisa kerja sama dengan komisi liturgi. Sebab kalau hanya keluhan dan tidak ada tindakan akan sama terus masalah yang muncul. Mari kita benahi bersama kalau memang ada pelanggaran atau ketidakberesan dalan ber-liturgi. Saya bertetangga dengan komlit KWI, jika anda sungguh mau meluruskan apa yang anda lihat adanya pelanggaran mari kita lakukan sarasehan atau seminari tentang liturgi. Saya yakin Rama Bosco O,Carm akan senang dan saya juga ikut senang jika ada awam yang mau melakukan pembinaan bagi imam dan awam. Semua yang mencintai liturgi Gereja bisa diundang. Satu komentar pembandingan anda dengan ritus islam. Ritus Gereja Katolik bagi saya sangat kaya dan dinamis bermakna dan nilainya luar biasa. Hanya sayang banyak dari kita belum tahu dengan benar dan kurang menghayatinya. Saya tunggu niat baik anda untuk liturgi Gereja Katolik, bisa hubungi saya di KWI 021-3193-5541.
Salam
Rm Wanta
(tulisan-tulisan dibawah ini merupakan SALINAN dari yang saya tulis di form KONTAK)
————-
Pelanggaran Liturgi – Bagaimana Menyikapinya?
Di gereja paroki saya di Hong Kong, saya pernah menulis e-mail kepada Katolisitas mengenai pelanggaran-pelanggaran liturgi yang ada (yang sangat membuat ‘gerah’).
Bagaimana menyikapinya sebagai umat awam?
-Saya pernah e-mail ke pastor parokinya malah dijawab dengan interpretasi ngawur dari Konsili Vatikan II (dilampirkan dibawah pesan ini dengan berbagai sensor untuk nama orang ybs)
Kemudian saya mulai ikut misa di Gereja Katedral HK yang jaraknya jauh sekali (1 jam dari kampus saya)
Sebaiknya, apa yang harus saya lakukan?
=================================
A. Tetap lanjutkan ikut misa di Katedral dan jangan pernah datang misa ke paroki yang banyak pelanggarannya itu
atau
B. Misa di paroki yang banyak pelanggarannya karena itulah “ladang” saya untuk mewartakan kebenaran liturgi Gereja Kudus
atau
C. Saran lain?
Terima kasih dan Tuhan memberkati,
Laurentius
Catatan kaki:
LIST PELANGGARAN LITURGI: setelah lampiran di bawah ini
——————
Lampiran balasan e-mail dari pastor paroki yang banyak pelanggaran liturginya:
Dear Laurentius,
Your email shocked me! But when I read underneath your name that you are also ‘a liturgy enthusiast’, I had a better understanding, why you are just curious and want to give some suggestions.
I know the suggestions. But what is the purpose of those suggestions? Are you so sure that they will improve ‘the experience of the presence of Christ’ in the Eucharistic Celebration—which must be the main purpose of the liturgy.
Maybe you are more versed in liturgy or educated in another environment, but I entered the novitiate at the time of the Vatican Council II and was impressed by the spirit that blew from it. I learned that the liturgy of the Eucharist should be simple; should not reveal class-distinctions; not be a performance; but an experience of the presence of the loving Christ among us, the One who empowers the weak and the poor. The One who calls us “friends” in the Gospel does not see a need for ceremony between friends.
I have still vivid memories of the “old church” of my youth where crisis was caused by liturgical deficiencies and horror was experienced by treading in sacred space or touching sacred vessels. I learned that the Church believes in a loving God, not a self-centered God.
Now the spirit that blew in Vatican II is slowly driven out and the spirit of Empire is coming back. I see the symptoms in your suggestions. If you want to promote the 4 rules you mentioned, it is up to you; but I wonder whether you would promote ‘the experience of the presence of Christ’— which it the purpose of the liturgy. I have always thought that the liturgy law-maker is reasonable; if the purpose of the law is fulfilled, the law-maker (with the same belief in the loving God) will be satisfied (there are other beliefs in God from other “periods; from other theologies).
But as the aftermath of Vatican II has shown, some “sign of the time” (where the presence of the Lord through the “cry of the poor” and oppressed can been “seen”) have been avoided, such as more democratic structures, un-equality in the ministry, more indigenous liturgy… And then again, one sees more norms are revived; for what? for stricter control or creating church-identity.
In the same line: I feel sorry for you, Laurentius, that you are not allowed to give a homily to the community; as if your belief in Christ is not as valuable as mine; as if the presence of Christ in the Eucharist must always be personalized in the figure of the priest (exceptions are: penitential rite; prayers after the Lord’s Prayer, why not in the homily? ).
I hope to have brought some light in your ‘WHYs Fr. XXXXX doesn’t…’ If we differ in some aspects of our vision, let us pray to the Spirit of Jesus to make us one of mind and increase our love to become one of heart.
Fr. XXXXX.
—–
LIST PELANGGARAN LITURGI DARI E-MAIL SAYA SEBELUMNYA KE KATOLISITAS (apabila messagenya telah hilang, saya cantumkan lagi biar mudah dicari)
…
Singkatnya, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi adalah sebagai berikut:
> Tidak ada air suci di depan pintu
> Tidak ada tanda salib saat pembukaan misa
> Lagu-lagu tidak ada yang liturgis (dewan parokinya mengambil lagu seenak jidat asal “enak didengar”)
> Imam tidak berkasula. Tidak bersingel pula
> ANAK-ANAK CALON PENERIMA KOMUNI PERTAMA BERKUMPUL DI SEKITAR MEJA ‘ALTAR’ BULAT (alias masuk ke ruang altar seenaknya)
> KETIGA BACAAN (termasuk bacaan INJIL) diubah menjadi bentuk cerita dan di”DONGENG”kan oleh AWAM
> Lilin paskah masih dipakai (mungkin kurang modal untuk membeli lilin-lilin kecil)
> Dan yang paling menggerahkan: DOA SYUKUR AGUNG.
> DOA SYUKUR AGUNG DIBUAT SENDIRI SEENAKNYA.
> SAAT KONSEKRASI: “This is My Body” diucapkan imam, BUT selanjutnya…
> “THIS IS THE CUP OF THE….(diam sejenak, sepertinya si pastor bingung)…OF THE NEW AND EVERLASTING COVENANT…” (BUKAN “this is the cup of My Blood…”)
> selanjutnya lupa (karena saya sudah terlalu lelah untuk mengingat misa yang buruk itu)
…
Laurentius, yth
Ada tiga langkah dalam konsep yang sedang saya pelajari tentang Knowledge Management yakni Learn before, Learn during and Learn after. Baik kalau anda learn before tanya orang-orang di sekitar pastor itu tentang liturgi yang dilaksanakan apakah sudah biasa, bagaimana sikap umat, dll, kemudan learn during belajar bersama dalam liturgi dengan umat dan Rama itu. Untuk itu dialog komunikasi tidak lewat email-face to face saling belajar bersama. Kemudian learn after atau share after, melakukan adaptasi dan saling kerjsama. Untuk itu perlu eksplisit knowledge dalam bentuk buku ajaran Gereja seperti aturan liturgi Gereja, agar banyak yang bisa didapat. Dengan cara itu tidak akan saling melukai melainkan belajar bersama tidak saling menyalahkan tapi saling memperbaiki. Hal-hal kecil mungkin baik jangan mengatakan pelanggaran tapi kekurangan atau kurang diperhatikan.
Cobalah memakai metode pendekatan yang bersaudara antara umat dan imam sehingga tidak membuat imam atau umat itu terluka atau shock. Demikian anjuran saya.
Salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Laurentius,
Jika saya boleh menambahkan sedikit dari saran Romo Wanta, saya ingin mengusulkan agar anda memang menemui Pastor paroki anda itu (yang anda kirimi surat) dan berbicaralah kepadanya dengan baik-baik. Sebab memang kadang efek membaca surat dengan bicara langsung itu berbeda. Sebab betapapun anda menulis dengan maksud baik/ halus, jika tertulis dalam surat dapat terkesan formal dan “menggurui”, padahal pastor itu adalah gembala anda yang biar bagaimanapun harus anda hormati. Maka ada baiknya seperti saran Romo Wanta, anda menemui pastor itu dengan menunjukkan niat anda untuk sama- sama mengusahakan yang terbaik bagi paroki itu, sesuai dengan ketentuan Gereja Katolik. Jika perlu ajaklah pastor makan bersama sambil berbincang-bincang, agar suasana tidak “tegang”, apalagi kan ini maksudnya adalah demi kebaikan bersama.
Jika ia sudah setuju, dan memang kalau bisa, anda persiapkan juga copy dokumen liturgi yang dimaksud (GIRM), dst, agar diskusi bisa berjalan lancar, karena memang ada dasarnya, yaitu dari dokumen Gereja. Anda juga harus menghargai maksud baik Pastor itu, walaupun memang sayapun mengakui bahwa maksud baik apapun jangan sampai merusak kesakralan Misa Kudus, sebab jika demikian, maka akibatnya dapat menjadi tidak baik.
Janganlah anda lupa, untuk berdoa terlebih dahulu sebelum memulai pembicaraan dengan Pastor itu. Mohonlah rahmat kerendahan hati dan kelemah lembutan, agar anda dapat menyampaikan pandangan anda dengan baik. Mohon pula agar Roh Kudus memimpin pembicaraan anda, sehingga Pastor itu juga dapat menangkap maksud baik anda dan terbuka untuk mendengarkan dan mengikuti ketentuan Gereja. (GIRM).
Selamat berjuang, dan serahkan segalanya ke dalam tangan Tuhan. Doa kami menyertai anda.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Salam Damai,
Saya ingin menanyakan mengenai nyanyian (lagu pembukaan, lagu persembahan, lagu penerimaan komuni dan lagu penutup) yang diperbolehkan untuk dinyanyikan saat Misa Kudus dilakukan. Yang saya dengar bahwa untuk nyanyian tersebut hanya boleh diambil dari Puji Syukur atau Madah Bakti saja, diluar itu tidak diperbolehkan (menggunakan lagu rohani yang populer, dsb). Apakah benar ? Jika boleh menggunakan lagu-lagu rohani, yang seperti apa yang diperkenankan?
Terima kasih.
GBU
Lisa Yth
Aturan tentang musik liturgi Gereja ada di dalam dokumen Musicam Sacram anda bisa lihat pedoman menggunakan nayanyian liturgi pada majalah Liturgi KWI dan kalau tidak keliru rama A. Soetanto SJ menjelaskan pada majalan Hidup edisi pekan tgl 17-24 Jan 2010. Coba anda perhatikan, jika anda sungguh mencari pedoman itu silahkan ke KWI bagian komisi Liturgi anda akan mendapatkan banyak hal dan anda anjuran nyanyian di dalamnya (bisa langganan majalah liturgi). Lagu kharismatik adalah lagu rohani bukan liturgis maka tidak dianjurkan. Sebaiknya lagi rohani tidak dinyanyikan dalam liturgi Gereja meski untuk komuni saja.
salam
Rm Wanta
Terima kasih Romo Wanta atas informasinya.
Saya akan mencari majalah/pedoman yang Romo sebutkan…
Tuhan Memberkati…
Lisa
shalom bu inggrid,
Dalam gereja pasti ada salib besar diatas tabernakel sehingga setiap kali misa, salib kecil di meja altar menghadap kearah umat. Apabila misa ditempat lain yang tidak memasang salib Yesus, salib kecil di altar pasti menghadap ke arah Romo, hal ini dimaksudkan untuk apa?
berkah dalem
martha
Shalom Martha,
Sebenarnya ketentuan tentang salib dalam hubungannya dengan altar adalah sebagai berikut:
General Instruction on the Roman Missal (GIRM) No 308:
"There is also to be a cross, with the figure of Christ crucified upon it, either on the altar or near it, where it is clearly visible to the assembled congregation. It is appropriate that such a cross, which calls to mind for the faithful the saving Passion of the Lord, remain near the altar even outside of liturgical celebrations."
Terjemahannya:
"Harus juga ada sebuah salib, dengan tubuh Kristus yang tersalib padanya, baik di altar ataupun di dekat altar, di mana [salib itu] dengan jelas kelihatan oleh umat. Adalah layak bahwa salib itu, yang mengingatkan para orang beriman akan Kisah sengsara Tuhan, tetap ada di altar, bahkan [meskipun] di luar perayaan litugi."
Jadi memang disyaratkan ada salib agar para orang beriman dapat diingatkan akan Kisah sengsara Tuhan yang dirayakan dalam Ekaristi. Nah, the faithful atau para orang beriman ini maksudnya adalah imam tertahbis dan umatnya. Maka memang sebaiknya diusahakan agar baik imam maupun umat dapat melihat kepada salib dengan crucifix (tubuh Yesus) yang tergantung di sana. Maka penyelesaiannya, biasanya, jika pada perayaan imam menghadap ke umat, maka Salib yang besar diletakkan menghadap ke umat, dan salib yang lebih kecil di altar menghadap ke imam. (Hal ini yang disyaratkan oleh Bapa Paus pada saat ia memimpin misa). Pada tata perayaan di mana Imam menghadap ke altar (seperti pada saat sebelum Vatikan II, atau sekarang komunitas Christ the King dengan Misa berbahasa Latin) maka salib dipasang hanya satu, sebab baik imam dan umat menghadap ke arah yang sama.
Jadi sebenarnya, hubungan perletakan salib adalah dengan altar, dan bukan karena imamnya. Nah, pertanyaannya sekarang adalah bagaimana jika dalam perayaan imam menghadap ke umat dan jika diadakan misa tetapi bukan di gedung gereja, sehingga tidak ada salib yang besar yang dapat dipasang menghadap ke umat. Maka sering pada prakteknya dipasang salib kecil di altar yang menghadap ke imam (sebab posisi altar menghadap ke umat). Maksudnya terutama untuk mengingatkan imam sebagai pemimpin misa, bahwa segala yang dilakukannya adalah demi memenuhi pesan Yesus Kristus untuk menghadirkan kembali kurban Kristus yang satu-satunya itu, agar umat dapat memperoleh buah-buahnya. Ini memang bukan yang ideal, sebab sebaiknya memang baik imam maupun umat harus dapat melihat crucifix.
Lebih lanjut mengenai hal ini silakan klik link ini.
Salam kasih dalam Kristus Yesus,
Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org
Comments are closed.