Banyak hal dalam biara dilakukan secara bersama-sama, contohnya mencuci piring. Setelah selesai makan pagi, siang, atau malam, piring dan peralatan makan dicuci secara bergantian per kelompok piket yang bertugas. Tidak semua anggota suka melakukan pekerjaan ini, karena bisa dibayangkan rasanya mencuci piring bekas 30 lebih orang anggota biara. Itu belum termasuk panci-panci besar dan peralatan masak lainnya yang aduhai baik ukuran maupun kotornya. Maklum, memasak untuk sejumlah besar orang memerlukan peralatan yang besar pula. Namun, ada sekelompok oknum yang senang ketika kegiatan ini berlangsung : para anjing biara.
Para anjing biara telah menemani biara ini sejak lama sekali, entah sudah keturunan yang ke berapa. Ditambah dengan empat ekor anak anjing yang baru saja lahir beberapa minggu lalu, total anjing biara ada 12 ekor. Satu ekor telah dipotong beberapa hari yang lalu karena suka membunuh ayam ternak dan mengobrak-abrik sampah. Kasihan sih, tapi memang nakal. Yang penting, aku tidak mau ikut makan. Anjing-anjing ini begitu tekun mencari makan, dalam arti yang negatif, karena mereka suka mengobrak-abrik sampah. Biasanya, mereka melancarkan aksi ketika malam, ketika seluruh penghuni biara tidur, dan, tentu saja, waktu cuci piring.
Suatu ketika, aku dan kelompokku kebagian tugas mencuci piring. Semua piring dan peralatan masak yang kotor dicuci di dapur, yang terletak di sebelah belakang biara. Pintu belakang dapur terhubung dengan halaman belakang, daerah kekuasaan anjing-anjing ini. Ketika sedang mencuci piring, anjing-anjing ini berderet di depan pintu untuk menyelinap masuk ke dalam dapur. Setelah masuk, mereka akan membongkar tong sampah untuk mencari sisa-sisa makanan. Rupanya, mereka tidak cukup sabar untuk menunggu sisa makanan dikumpulkan dan dibagikan pada mereka di akhir cuci piring. Karena mengotori dapur dan menambah pekerjaan bersih-bersih, anjing-anjing ini aku usir. Tapi, mereka berulang kali kembali menyelinap ketika aku lengah. Karena jengkel, pintu belakang aku tutup supaya anjing-anjing tidak masuk. Eh, cape deh.. Pintu kembali terbuka karena teman-temanku yang berseliweran keluar masuk tanpa menutup kembali pintu tersebut. Akhirnya, sampah kembali ditumpahkan dengan suksesnya.
Jika dipikir-pikir, ini mirip dengan perjuanganku melawan dosa. St. Yohanes dari Salib pernah mengatakan : “Ada tiga musuh terutama manusia : Setan, dunia, dan dirinya sendiri.” Dari ketiganya, kelemahan dan kecenderungan dosa diri (concupiscentia) adalah musuh yang paling tekun dan paling rajin membayangi. Ketika kita lengah, kelemahan diri akan dengan cekatan menyelinap masuk untuk mengobrak-abrik jiwa yang telah bersih, terutama setelah pengakuan dosa, dan mengundang dua musuh lainnya untuk ikut berpesta pora. Jiwa yang awalnya sudah dibersihkan dari dosa akhirnya tercemar kembali. Kadang, sempat muncul perasaan jenuh mengaku dosa. Jenuh karena rasanya selalu mengulang-ulang dosa yang sama, malu dong sama romonya.
Namun, kalau dipikir-pikir, tidak pantas aku menyerah melawan dosa, melawan kelemahan-kelemahan diriku. Yesus saja tidak menyerah terhadap aku, kenapa aku harus menyerah berjuang bersama Dia? He didn’t give up on me, why should I give up on Him? St. Paulus pun turut menyemangati, bahwa sebenarnya aku mampu melawan kelemahan dan keputusasaan dalam pergumulan melawan dosa, berkat Dia yang dengan tekun memikul salib (Ibr 12. 3-4). Selain itu, Kristus telah memberikan jalan melalui Bunda Gereja untuk melawan kelemahan ini dalam Sakramen Tobat, yang bila aku lakukan dengan tekun, akan membantuku melawan kecondonganku yang jahat dan disembuhkan oleh Kristus (KGK 1458).
Memang, tidak mudah memintal gulali hidup yang sempurna. Selalu ada saja kekurangan atau kesalahan yang aku lakukan. Tapi, aku percaya bahwa aku akan mampu bila perjuanganku melawan dosa aku satukan bersama derita Kristus. Ia telah menjadi lemah supaya aku kuat. Gulali hidup yang sempurna adalah persembahan yang pantas untuk Ia yang telah berkorban secara sempurna untuk hidupku. Intra vulnera Tua absconde me, Domine (Dalam kelemahan-Mu, sembunyikanlah aku, Tuhan).
“Aku hanya bisa melakukan satu hal : mengikuti langkah Majikanku seperti seekor anjing kecil. Doakan supaya aku menjadi anjing yang ceria.” – Beata Teresa dari Kalkutta.
terima kasih frater / romo / pater sangat membantu bagiku dalam menapaki hidup ini agar tidak terlalu sering berbuat dosa.
wow! penghayatan yang luar biasa… tetap semangat teman..
aku pun ingin banyak belajar dari anjing2 itu, yang setia terhadap majikannya dan rela mati untuk orang yang dikasihinya..
GBU
Terima kasih frater / romo atas renungan yang sangat ringan dalam bahasa namun dalam dalam makna. Sangat cocok untuk saya yg sedang dalam godaan utk berbuat dosa
Comments are closed.