Dari editor:

Kami sungguh berterima kasih atas T.A. Herdian, yang telah bermurah hati membagikan kisah perjalanan imannya yang begitu indah, yang membawanya bergabung ke pangkuan Gereja Katolik. Kisah ini merupakan bukti yang nyata, bahwa bukan kita yang memilih Dia, tetapi Tuhanlah yang terlebih dahulu memilih dan mengasihi kita, agar kita dapat mengenal-Nya dan mengasihi-Nya. Herdian sungguh telah menjawab panggilan Tuhan yang telah bergema di hatinya sejak masa kecilnya, dan Tuhan Yesus dengan setia menuntun langkahnya hingga ia sampai kepada-Nya, Sang Kebenaran sejati yang terus berkarya dalam Gereja Katolik.

Terima kasih Herdian, atas kebaikanmu membagikan kesaksian ini. Semoga Tuhan Yesus selalu menyertaimu dalam perjalanan imanmu selanjutnya. Melalui kisah hidupmu kami melihat betapa firman Allah ini digenapi,

“Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu…” (Yoh 15:16)

Semoga kesaksian hidupnya ini dapat memperkuat iman kita semua ….
Apakah anda mempunyai kesaksian perjalanan iman anda ke Gereja Katolik? Kirimkanlah kepada kami di: katolisitas [at] gmail.com
(Catatan: Katolisitas.org berhak untuk menampilkan, tidak menampilkan, maupun mengedit semua artikel yang masuk ke meja redaksi).

Sekilas mengenai saya

Pada 13 April 1978 aku dilahirkan di sebuah kota kecil, Indramayu, di Jawa Barat. Aku anak ketiga dari empat bersaudara. Delapan belas tahun pertama kehidupanku kuhabiskan di kota kelahiranku, lalu aku pergi ke Bandung untuk melanjutkan studi.

Aku tumbuh dari keluarga non-Nasrani yang “biasa-biasa saja,” dalam arti bahwa, karena nenek moyang kami beragama non-Nasrani, maka, mau tidak mau, kami pun memeluk agama yang sama, tanpa harus mengetahui alasan-alasannya, atau mempermasalahkan benar-tidaknya kepercayaan yang kami anut. Perjalananku memeluk iman Kristiani adalah sebuah perjalanan iman yang panjang, dan tidak selalu kusadari, sebuah proses yang, sejauh ingatanku, sudah dimulai sejak aku berumur enam atau tujuh tahun.

Yesus, Bethlehem dan Salib menggema di hatiku

Pada waktu itu, aku sedang belajar untuk menghadapi ulangan di kelas 2 atau 3 SD. Aku membaca sebuah buku pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, yang di dalamnya dijelaskan lima agama yang diakui secara resmi di Indonesia. Ketika aku sampai pada bagian agama Kristen, tentu saja mataku, untuk pertama kalinya, menjumpai dua kata, yang dengan segera begitu senang kuucapkan. Kata yang pertama adalah Yesus Kristus, yang digambarkan sebagai pendiri agama tersebut, dan yang kedua adalah Betlehem, tempat kelahiran-Nya. Selama hari-hari berikutnya, aku begitu gemar mengucapkan kedua kata itu, hanya karena aku suka dengan bunyinya. Namun, orangtua dan kakak sulungku menyuruhku untuk tidak lagi melakukannya. Mereka pikir tidak ada gunanya aku menghapal kata-kata itu, karena pasti tidak akan keluar di ulangan – dan ternyata mereka benar! Jadi, aku pun tidak lagi mengucapkan kata-kata itu, sampai suatu peristiwa ketika aku remaja membangkitkan kembali kegemaranku untuk mengucapkan kedua kata itu, yang selama ini terabaikan, namun belum sepenuhnya terlupakan.

Suatu malam, ketika aku berumur sekitar 15 tahun, pada bulan Desember menjelang Natal, aku menonton sebuah acara musik di TV. Aku lupa persisnya apakah itu di awal, di tengah-tengah, atau di akhir acara, ada sebuah lagu rohani (Kristen), yang dinyanyikan oleh seorang penyanyi dan pencipta lagu terkenal di era 80-an. Namun anehnya, lagu itu tidak bercerita tentang kisah Natal, melainkan tentang peristiwa penyaliban. Salah satu syair dalam lagu itu, yang sampai saat ini masih begitu lekat dalam ingatanku, berbunyi seperti ini: “Kau rela disalibkan untuk kita.” Syair ini menyentak pikiranku ketika itu, karena, sejauh yang kupahami, tidak ada unsur kerelaan dalam peristiwa penyaliban Yesus. Yang biasanya diajarkan (kepada anak-anak usia sekolah) dalam kepercayaanku dulu tentang penyaliban, adalah bahwa Yesus melarikan diri ketika orang-orang mencoba menyalibkan Dia. Lalu ketika Ia terpojok di suatu tempat, dan tidak bisa lari lagi, Allah mengangkat-Nya ke surga, dan orang-orang yang mengejar-Nya menangkap dan menyalibkan orang lain yang mereka kira, dan yang oleh Allah telah dibuat menyerupai, Yesus.

Seusai acara musik itu, aku tetap bertanya-tanya di dalam hati mengapa Yesus Kristus, yang kelahiran-Nya di Betlehem sedang diperingati ini, rela disalibkan, apa untungnya itu bagi Dia, dan apa hubungannya dengan kita yang hidup pada masa sekarang. Pencarianku untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini menuntunku pada buku-buku yang mungkin saja menyediakan jawabannya, lalu pergi ke gereja-gereja, dan bertanya kepada orang-orang Kristen yang, sangkaku, dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Perjalananku untuk menemukan Yesus

Jadi, selama masa SMA, aku pun mulai memberanikan diri untuk pergi ke gereja, kendati dengan keraguan dan ketakutan yang kurasakan ketika pertama kali berniat untuk melakukannya. Di dekat tempat tinggalku, ada tiga gereja: Gereja Pentakosta, Gereja Protestan (Persatuan Gereja Indonesia), dan Gereja Katolik. Karena beberapa alasan yang tidak bisa dijelaskan, aku memilih pergi ke Gereja Katolik, yang terletak paling jauh dari rumahku; mungkin salah satu alasannya adalah karena aku takut ketahuan keluarga kalau aku pergi ke gereja yang terlalu dekat dengan rumahku. Lalu setelah itu aku mulai membeli barang-barang “Kristiani,” seperti kalung salib, kaset-kaset rohani, dan bahkan meminjam Alkitab dari tetangga Katolik yang baru saja pindah ke lingkunganku. Namun tak lama kemudian, semua barang tersebut ketahuan oleh orangtuaku, dan mereka bertanya mengapa aku menyimpan benda-benda seperti itu. Sebagai remaja, aku tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu dengan tepat, dan pada akhirnya aku tidak membuka mulut sedikit pun untuk memberikan jawaban. Selain itu, aku memang tidak tahu jawaban untuk pertanyaan itu. Aku hanya tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan Yesus, tetapi aku tidak tahu kenapa.

Setelah “interogasi” ini, hal berikutnya yang kutahu adalah bahwa semua barang “Kristiani” yang telah kubeli, dan kupinjam, kini lenyap, dan aku pun tidak lagi pergi ke gereja selama beberapa waktu. Namun, ini tidak berlangsung lama, sebab beberapa bulan kemudian, berangkat dari keinginan untuk memuaskan kerinduan rohani, pada hari Minggu pagi aku pergi diam-diam untuk pergi ke gereja (Katolik) lagi, meskipun kali ini aku hanya melakukannya kadang-kadang. Kebiasaan ini terus berlanjut sampai aku pergi ke Bandung untuk kuliah.

Untuk menyingkat cerita panjang, keputusanku menjadi Katolik tidaklah dibuat karena aku terburu-buru menentukan (karena dibutuhkan waktu sekitar 12 tahun bagiku untuk sampai pada keputusan itu), atau karena aku menganggap remeh perbedaan-perbedaan doktrin yang ada antara Gereja-gereja Protestan, dan Gereja Katolik. Atau, karena menganggap remeh perbedaan-perbedaan doktrin itu, maka aku mengambil jalan mudahnya saja, yaitu memilih gereja yang “tampak” bernilai historis, Gereja Katolik.

Sebagai seorang yang berlatar belakang non-Nasrani, yang tidak tahu apa-apa tentang perbedaan antara Gereja Protestan dan Gereja Katolik, (dan bahkan masih belum tahu meskipun kemudian aku menganut iman Kristen selama beberapa tahun), aku ingin menjadi bagian dari Gereja Katolik. Dan Gereja Katoliklah yang benar-benar kukunjungi untuk pertama kali. Tetapi karena waktu kuliah di Bandung aku kebetulan bertemu dengan banyak orang Protestan (Karismatik) yang semangatnya “menyala-nyala” untuk Allah, lalu berteman dengan mereka, dan tidak melihat alasan mengapa aku harus membedakan mereka dari orang-orang Katolik, maka aku pun pergi ke gereja-gereja mereka, dan juga banyak membahas masalah-masalah kekristenan dengan mereka.

Namun, ketika beberapa tahun kemudian aku kehilangan kontak dengan mereka, aku pun mulai mencari sebuah gereja internasional di Bandung, lalu menemukannya. Tak lama kemudian aku segera terlibat dalam satu dua pelayanan, dibaptis di gereja itu, dan bahkan akhirnya bekerja untuk beberapa yayasan asing (Protestan) di Bandung dan lalu di Jakarta.

Film Martin Luther membuka mata hatiku kepada Gereja Katolik

Tetapi situasi ini segera berubah ketika pada suatu malam (pada bulan Oktober 2005), dengan mengikuti ajakan dari bosku di tempat kerja, aku melihat film “Luther” di rumah seorang pendeta dari Australia; ia adalah pendeta dari salah satu gereja internasional di Jakarta Selatan yang rutin kukunjungi setiap minggu pada waktu itu. Ketika sedang melihat film itu, dan sesudahnya, tiba-tiba aku tersadar bahwa di dalam kekristenan ada dua pilihan utama, yaitu Katolikisme dan Protestantisme, dan bahwa aku harus menentukan pilihanku sendiri.
Istilah “kekristenan” yang kabur, yang kepercayaannya kusangka sudah kupeluk, tidaklah mengandung satu kesatuan ajaran yang utuh; banyak orang yang menyebut diri sebagai orang Kristen sering kali mempercayai banyak hal, yang kadang-kadang mendukung, namun sering juga menentang, satu sama lain. Dan untuk pertama kalinya aku tersadar bahwa di antara mereka terdapat “ketidaksepakatan yang serius,” yang tidak boleh kuanggap enteng.
Di dalam film itu, ada seorang uskup, aku lupa siapa tepatnya, yang berkata bahwa Alkitab itu terlalu dalam untuk dipahami oleh orang biasa. Ucapan ini, menurutku, mungkin sengaja dibuat oleh produser film, atau siapa pun yang terlibat di dalamnya, berdasarkan alasan-alasan tertentu, sebagai suatu serangan terhadap ajaran Katolik mengenai Alkitab. Tetapi ucapan itu terus menggema dalam pikiranku. Setelah film itu berakhir, si pendeta membuka diskusi tentang film yang baru saja kami saksikan, namun tidak seorang pun langsung menanggapinya – hanya kemudian ada orang Amerika yang memberikan komentar ringan bahwa semua orang yang hadir di situ bekerja di tempat yang sama – maka aku pun memutuskan untuk mengetengahkan apa yang diucapkan oleh uskup tadi.
Kukutip lagi kata-kata dari sang uskup itu – bahwa Alkitab terlalu dalam untuk dipahami oleh orang biasa – dan kutanyakan kepada mereka apakah itu sebabnya di dalam Protestantisme ada begitu banyak denominasi, yang masing-masing menganggap benar kelompok sendiri, sebagai akibat dari cara mereka menafsirkan Alkitab secara pribadi? Semua pun tersentak diam selama sekitar 30 detik, sampai akhirnya bosku, orang Jerman, yang mengajakku menonton film ini, berkata bahwa memang ada banyak ajaran yang berbeda di dalam Protestantisme, tetapi bahwa perbedaan-perbedaan itu hanya bersifat sekunder, dan sama sekali tidak mempengaruhi baik iman kepercayaan maupun keselamatan. Semua orang tampak lega dengan usulan ini, dan mereka pun mengangguk-anggukkan kepala sebagai tanda setuju. Namun, aku tetap tidak yakin, meskipun aku cukup puas dengan jawaban tersebut pada saat itu. Tetapi ini sama sekali tidak menghalang-halangiku untuk mencari jawabannya sendiri; dan selanjutnya aku mengerti bahwa perkataan bosku itu sesungguhnya lebih tepat diterapkan kepada Gereja Katolik daripada gereja-gereja Protestan.

Perjalananku menuju ke Roma

Aku pun mulai membaca profil agama Katolik di situs Wikipedia, dan dari situ aku mendapat banyak situs Katolik sebagai rujukan, salah satunya, yang paling sering kukunjungi waktu itu, adalah Catholic Answers. Selain itu, aku juga menggunakan Catholic Encyclopedia dari situs New Advent sebagai sumber utama untuk mengetahui sudut pandang Katolik tentang berbagai hal, dan, tentu saja, aku pun mengunduh The Catechism of the Catholic Church dari situs Vatikan. Di samping itu, aku juga mulai membaca beberapa tulisan dari para teolog Katolik, terutama John Henry (Kardinal) Newman dan G.K. Chesterton, dua orang berkebangsaan Inggris, yang banyak membantuku memahami ajaran-ajaran Katolik dalam hubungannya dengan Protestantisme, dan yang semakin meneguhkan niatku untuk diterima di dalam Gereja Katolik; Newman dengan Essay on the Development of Christian Doctrine, dan Chesterton dengan The Catholic Church and Conversion.

Akhirnya, aku diterima di dalam Gereja Katolik pada bulan Desember 2006 menjelang Natal, di Paroki Santo Stefanus, Cilandak, Jakarta Selatan. Aku menjadi Katolik karena alasan bahwa, setelah banyak berdoa dan mempelajari isu-isu mengenai Protestantisme dan Katolikisme, aku benar-benar tidak dapat (lagi) berpegang pada panji-panji utama Protestantisme, yaitu sola scriptura, sola fide, dan sola gratia. Dan, sebagai akibatnya, aku pun harus masuk sepenuhnya ke dalam persekutuan dengan Gereja Katolik, Gereja yang selama ini kuinginkan tanpa sepenuhnya kusadari, dan Gereja yang cara pewartaannya menggugah keinginan di dalam batinku dulu sewaktu aku masih kecil, dan masih sampai saat ini. Panggilan itu terus menggema di hatiku, yaitu untuk lebih mengenal Tuhan yang diwartakan oleh Gereja Katolik dengan lebih dalam lagi.

Harapanku adalah bahwa dengan adanya siapa saja yang masuk, atau kembali, kepada pangkuan Gereja Katolik, maka itu akan membangkitkan minat dan penghargaan terhadap Gereja Katolik. Semoga kesaksian perjalanan iman seperti yang kualami ini dapat memberikan ‘kesegaran’ bagi anggota-anggota Gereja yang sudah lama terlelap dan tenggelam dalam rutinitas ibadah, dan akan memberikan keyakinan serta penghiburan bagi umatNya yang setia, yang pada saat ini mungkin tengah mengalami godaan, baik dari pihak dalam maupun pihak luar, untuk meragukan kepercayaan mereka terhadap ajaran-ajaran Gereja. Sebab sungguh ajaran Gereja Katolik benar-benar diterima dari Yesus Tuhan, dan dengan setia diteruskan oleh para rasulNya, dan dengan hati-hati dijaga oleh para penganutNya. Gereja ini secara perkasa akan terus dilindungi sampai akhir zaman oleh Roh Kudus, yang dengan bimbinganNya, dan dengan menuruti perintah Tuhan, akan terus dengan penuh semangat dan kebijaksanaan mewartakan kebenaran sampai ke ujung-ujung bumi!

Aku bersyukur, bahwa Tuhan membawaku masuk dalam pangkuan Gereja Katolik, walaupun melalui perjalanan panjang dan berliku. Di sinilah ‘rumahku’, yang akan menghantarkanku kepada Tuhan yang telah lama dan senantiasa kurindukan. Betapa aku berdoa agar semakin banyak orang mengalami pengalaman kasih Tuhan, yang penuh dan melimpah dicurahkan dalam Gereja Katolik….

Penulis tinggal di Jakarta, bekerja sebagai penerjemah, dan sedang mengikuti program matrikulasi S2 di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.

Previous articlePerkenalan dengan Kitab Suci (bagian ke-2)
Next articleKalau Yesus Tuhan, mengapa Dia marah?
Editor
Editor katolisitas.org

17 COMMENTS

  1. Sangat terkesan dengan sharingnya. Terima kasih pa T.A Herdian, bagaimana dengan anggota keluarga yang lain. TUHAN pasti memampukan pa untuk membawa mereka ke jalan yang benar. TUHAN Yesus memberkati.

  2. Kalau ada teman protestan yang jago mengajar tentang Alkitab,
    mereka biasanya lebih tertarik gereja yang beraliran Evangelis…
    Kalau ada teman Protestan yang jago dalam hal doa dan karunia-karunia (penyembuhan, nubuatan, dll),
    mereka biasanya lebih tertatri masuk gereja beraaliran Pantekostal…
    Kalau ada teman Protestan yang jago dan Pujian dan Penyembahan kepada Tuhan,
    mereka biasanya lebih tertarik masuk gereja beraliran Kharismatik…
    Dan masih banyak gerjea-gereja lain dengan pemahaman yang berbeda-beda

    Kalau di Katolik…Semua unsur-unsur itu ada (Evangelis, Pantekostal, Kharismatik, dll)…
    Misalnya di PD Kharismatik Katolik, Komunitas Tritunggal Mahakudus, Kursus-kursus Evangelisasi, dll…
    Tapi semua tetap SATU ….
    SATU dalam Liturgi (Pada saat Misa Kudus)
    SATU pemahaman dalam kitab suci.
    SATU otoritas dalam Kepausan, meski banyak karunia yang berbeda-beda…

    Anda tidak salah memilih gereja kok…
    Selamat Ya!!!

    JBU

  3. saya sangat tertarik untuk membaca bacaan yang berhubungan dengan pertanggungjawaban iman katolik. Tapi sayangnya….hanya sebatas untuk menambah wawasan, tidak banyak menumbuhkan keyakinan. Pada hal saya sangat mengharapkan supaya keyakinan saya betul-betul tumbuh shingga pada akhirnya saya betul-betul hanya bersandar pada Yesus Kristus, Bunda Maria dan para orang kudus dalam seluruh kehidupan saya. Bagaimana caranya ya…..?

    • Shalom Piony,
      Anda sudah memulai suatu langkah yang baik, karena kasih kepada seseorang selalu dimulai dengan pengenalan/ pengetahuan akan orang itu, dan itu memang juga berlaku dalam hubungan kita dengan Tuhan. Topik ini pernah saya bahas di sini, silakan klik. Maka selanjutnya, mohonlah rahmat Tuhan agar pada saat kita lebih mengenal-Nya, Tuhan juga menambahkan kasih kita kepada-Nya. Sebab bahkan keinginan kita untuk berdoa adalah suatu karunia, demikian juga dengan keinginan untuk mengenal Dia, itu juga suatu karunia yang harus kita syukuri. Sebab, (akan) ada masanya kita dapat mengalami kasih-Nya pada saat kita mengetahui betapa besar kasih-Nya yang tercurah kepada kita, yang sudah dinyatakan-Nya kepada kita.
      Ya, Allah Bapa tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, agar dapat menyelamatkan kita.
      Kristus tidak menyayangkan nyawa-Nya untuk mengampuni dosa-dosa kita. Ia memberikan segalanya, hidup-Nya, Tubuh dan Darah-Nya, dan juga Ibu-Nya, untuk diberikan kepada kita.
      Kristus tidak meninggalkan kita sendiri, diberikannya Roh Kudus, yang bekerja melalui Gereja-Nya sampai akhir jaman. Oleh Gereja-Nya ini kita menerima rahmat-Nya yang selalu baru, terutama melalui sakramen-sakramen, khususnya Ekaristi. Melalui Ekaristi ini kita dapat menyambut Kristus sendiri: Tubuh, Jiwa dan ke Allahan-Nya, sebagai santapan surgawi yang menghantar kita kepada kehidupan yang kekal bersama Dia di surga.

      Mari kita berdoa agar kita semakin menghayati kebenaran ini, dan agar apa yang kita ketahui di kepala dapat turun sampai di hati.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- http://www.katolisitas.org

  4. Terima kasih sdr.T.A Herdian atas kesaksiannya …. kita sekampung halaman.

    Pak Sakerah, saya seorang yang pernah meninggalkan iman katolik, melalui doa istri, saya ditarik kembali oleh Yesus dengan cara yang tidak pernah saya duga.
    Saat ini saya merasa iman saya dan keluarga bertumbuh jauh lebih baik dari pada dulu.
    Semoga 3 keluarga bapak dapat terbuka hatinya …… kita berdoa untuk mereka.
    Salam dalam kasih Yesus Kristus

  5. Memang harus diakui bahwa menjadi Katolik ternyata tidak mudah. Yesus bilang, kalau mau ikut Yesus ternyata harus panggul salib, sangkal diri, baru bisa ikut Yesus. Tentu semuanya memiliki makna yang sangat dalam. Banyak orang Katolik merasa sudah cukup kalau seminggu sekali pergi Gereja dan terima ekaristi. Pada hal menjadi Katolik tidak seperti itu. Banyak prasyarat yang harus dipenuhi. Tanggal 15 Maret yang lalu, saya ikut misa di paroki pinggiran Jakarta. Pastor dalam homilinya menyatakan bahwa Gereja Katolik sudah tidak mempunyai daya tarik lagi. Rumah Sakit Katolik yang dibanggakan oleh umat Katolik tidak lagi menarik, karena biayanya mahal. Umat kecil tak mungkin dirawat di rumah sakit itu. Sekolah Katolik yang dahulu luar biasa, tak mempunyai daya tarik lagi, lagi-lagi sekolah Katolik mahal. Yang lebih kecewa lagi, orang Katolik yang dibanggakan, ternyata banyak yang kawin cerai. Gereja Katolik sudah tak berdaya pikat lagi. Homili pastor itu berkaitan dengan Injil Yohanes 2:13-25, di mana Yesus marah besar sehubungan Bait Suci telah dipakai untuk berdagang.

    Sebenarnya yang kita lihat sekarang ini adalah semangat pelayanan yang makin luntur, sehingga tidak memiliki daya tarik lagi. Pada hal sebelum berkat terakhir, pastor selalu bilang”Pergilah kamu diutus”. Nah, bagaimana kita menanggapi perutusan itu. Apakah kita semua diutus. Jawabnya adalah ya. Oleh karena itu kita harus berani menjawab homili pastor itu bahwa Gereja masih mempunyai daya pikat. Mari kita melayani sesuai dengan talenta kita masing-masing. Tuhan berkati.

    • Shalom Bp. Jus,
      Terima kasih atas sharing bapak. Saya juga turut prihatin mendengarnya; dan memang mungkin selayaknya sebagai orang Katolik kita semua turut prihatin atas kenyataan ini. Biaya perawatan di RS Katolik dan pendidikan di Sekolah Katolik semakin mahal, sehingga tidak/kurang dapat lagi melayani masyarakat yang miskin.
      Namun, saya ingin mengajak kita semua untuk melihatnya dari sisi yang lain. Sebab seringkali, Tuhan mengizinkan hal yang negatif terjadi untuk mendorong terjadinya hal yang lebih positif. Ibaratnya," Jika Ia menutup pintu, Ia sesungguhnya membuka jendela." Maka selalu ada jalan ataupun bagian yang dapat kita lakukan, seperti kata P. Jus.

      1. Soal semakin mahalnya RS Katolik misalnya, mungkin dapat mendorong sesama umat, terutama yang lebih mampu untuk bekerjasama dengan para dokter Katolik, untuk mengadakan pelayanan kesehatan bagi umat yang miskin, entah gratis, atau jika ditarik biaya, ya semurah mungkin. Dalam hal ini mungkin bisa bekerja sama dengan Seksi sosial kemasyarakatan Paroki, dan lingkungan. Hal ini mungkin bisa diadakan setiap minggu misalnya hari Sabtu. Atau para dokter Katolik di paroki bisa secara bergilir mengkoordinasikan klinik murah, sehabis misa hari Minggu di gedung kegiatan paroki. Ya, ini hanya sekedar usulan. Tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan masalah, tetapi dapat dicoba untuk sedikit meringankan beban umat yang berkekurangan, sekaligus juga bagi umat yang memberi/ yang melayani ini adalah kesempatan emas yang diberikan kepada Tuhan untuk melaksanakan perbuatan kasih yang diperhitungkan Tuhan pada saat nanti kita menghadap Tuhan. Sebab Ia berkata, "Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku." (Mat 25:40)

      2. Soal semakin mahalnya biaya pendidikan di sekolah Katolik, dan menjamurnya sekolah national-plus yang tidak mengajarkan iman Katolik, seharusnya mendorong kita umat Katolik untuk lebih memperhatikan hal pendidikan iman Katolik kepada anak-anak kita. Dahulu mungkin ketika sekolah Katolik masih jaya (dalam arti tidak ada ‘saingan’), banyak keluarga mempercayakan anak-anak ke sekolah Katolik, tanpa bersusah payah untuk mengajarkan kepada mereka iman Katolik di rumah. Hal ini sesungguhnya keliru, namun sekarang, jika anak-anak disekolahkan di sekolah non-Katolik, maka problem pendidikan iman anak bahkan menjadi semakin penting dan mendesak. Padahal Katekismus jelas menyebutkan bahwa orang tua adalah pendidik anak yang utama dan pertama (lihat KGK 1653). Mungkin kenyataan di atas selayaknya menjadi ‘wake-up call‘ bagi para orang tua, untuk melaksanakan peran mereka sebagai pendidik iman katolik kepada anak-anak mereka. Hal ini baik di rumah maupun bersama-sama dengan keluarga yang lain yang memiliki masalah serupa. Ini dapat dikoordinasikan juga di dalam paroki misalnya. Dalam hal ini, maka sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk terlebih dahulu mempelajari dan memahami iman Katolik, sehingga mereka dapat meneruskannya kepada anak-anak.

      3. Soal banyak pasangan Katolik yang berpisah, seharusnya juga membuat kita semakin sadar akan pentingnya proses persiapan perkawinan, maupun pembimbingan pasangan terutama di tahun-tahun pertama pernikahan. Hal ini selayaknya menjadi bahan masukan bagi para pastor paroki untuk bekerja sama dengan Seksi Kerasulan Keluarga, untuk menanggapi realitas ini. Dan bagi para orang tua, sekali lagi, teladan dan pendidikan iman Katolik kepada anak sangat penting; sebab hanya dengan bekal iman, maka anak-anak yang nantinya membentuk keluarga sendiri dapat menghadapi tantangan hidup dengan lebih positif, tidak mudah menyerah, memiliki semangat berkorban, dan selalu mengutamakan kebaikan bagi keluarga.

      Demikian komentar saya, P. Jus. Saya teringat pepatah ini, "Daripada mengeluh soal kegelapan yang ada di sekitar kita, lebih baik kita menyalakan lilin." Maka dari sedikit terang yang kita punya, mari kita menerangi orang-orang di sekitar kita. Karena terang kita datang dari Terang Kristus, maka kita memiliki pengharapan, bahwa meskipun terjadi banyak hal yang negatif di dunia ini, kita akan tetap dapat melakukan hal positif. Dan, ya, saya percaya Gereja Katolik akan tetap dapat menarik banyak orang, sebab yang menarik hati mereka bukan manusia, tetapi Kristus sendiri. Mari kita semua berdoa agar Tuhan memampukan kita untuk membagikan Terang Kristus itu, agar semakin banyak orang dapat mengalami kasih Kristus.

      Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
      Ingrid Listiati

    • Saya pun sempat kecewa atas perihal sekolah/rumah sakit Katolik yang mahal dsb. Tetapi memang sekolah/rumah sakit Katolik tokh adalah lembaga manusiawi pula – dalam arti: tidak mungkin bertahan hidup jika terus merugi. Pegawai2 sekolah/rumah sakit Katolik mau makan apa pula kalau sekolah/rumah sakit Katolik 100% jadi karya sosial

      Apakah semangat pelayanan yang makin luntur ? saya tidak tahu bagaimana orang melayani jika ia sendiri punya anak-anak yang lapar, rumah kontrakan yang perlu dibayar bulanan, dsb. Begitulah dunia yang nyata.

      [quote] Mari kita melayani sesuai dengan talenta kita masing-masing [unquote] setuju, dan bila perlu dengan kata-kata,

  6. saya heran..bagaimana seseorang bisa memahami panggilan yang tulus itu, sedangkan kita sendiri yang telah dibaptis secara katolik masih bisa lepas (murtad), apakah tidak ada tuntunan rohani yang bisa disampaikan kepada umat yang masih tinggal dipedesaan yang semakin terjepit dengan keadaan (non-katolik, lingkungan, keluarga, ekonomi dll. akibatnya banyak umat katolik sendiri merasa tidak mau tahu, yang penting datang, dengar, terima komuni pulang selesai.(itu terjadi digereja kita) apakah tidak ada metode yang lebih sederhana dan komunikatif yang bisa membuat umat merasa nyaman dan tertarik untuk memahami iman katolik, sehingga kita berani muncul sebagai garam dunia (meskipun dilingkungan kita sendiri)..???? mudah-mudahan dengan proses iman dari sdr. TA herdian ini bisa membuka pikiran kita ” bahwa kuasa tuhan tidak bisa ditebak “…..

  7. Selamat buat T.A. Herdian, yang telah menemukan keselamatan penuh di dalam Gereja Katolik. Salam EENS.

    Ada cerita menarik. Hari Jumat, 27 Pebruari 2009, aku mengikuti PD Ekumene, sementara teman-temanku yang lain pada Jumat’an di masjid besar dalam kompleks perusahaan. Dalam ekumene tsb, dipimpin oleh orang yang biasa disebut “hamba Tuhan”. Biasa setelah puji-pujian yang kelihatan seperti dipaksakan (sebab kami diminta menirukan gerakan seperti syair lagu pujian, supaya tidak kaku, aku hanya tepuk tangan saja…).

    Selesai pujian, kini giliran “hamba Tuhan” tsb diminta memberikan “kotbah”. Dibuka dengan pertanyaan” apa yang saudara cari dalam hidup ini ?, hammpir semua terdiam… akhirnya ada yang jawab “hidup bahagia”, yang lain menjawab “hidup damai-sejahtera”, dan aku beranikan jawab dg mantab “keselamatan”.

    Eee.. rupanya “hamba Tuhan” tadi tertarik kepada jawabanku ! Hah..keselamatan? lalu dia bertanya lagi, apakah saudara belum diselamatkan ? Dengan mantab pula aku jawab “belum, sebab kita masih berjuang…”. Rupanya “hamba Tuhan” tsb tertarik untuk megomentari jawaban saya bukan karena jawaban saya yang dianggap benar, tetapi jawaban sebagai orang yang tidak percaya Yesus (kalau dijawab apa adanya, dia mungkin lebih tepat menilai saya sebagai “orang yang tidak beriman….”.

    Hamba Tuhan itu kemudian panjang lebar menjelaskan bahwa bila kita mengimani Yesus, maka keselamatan itu sudah diberikan, sekali lagi SUDAH diberikan. Jadi keselamatan itu tidak perlu dicari lagi dan bukan perbuatan baik kita yang menyelamatkan, tapi cukup dengan iman saja ! ….. dan masih banyak lagi kesaksian (baca:pernyataan)”hamba Tuhan” tsb yang membuat saya ingin berdua sambil saya tunjukkan berbagai firman yang menegaskan bahwa iman saja tidak cukup.

    Saya memang mengimani bahwa keselamatan itu rahmat semata-mata (bukan usaha manusia). Tapi apa artinya jika rahmat itu tidak dipelihara melalui cara yang dikehendaki Allah sendiri, yaitu agar serupa dengan-Nya. Bagaimana bisa serupa dengan-Nya kalau kita tidak mendengarkan-Nya ? Bagaimana bisa mendengarkan-Nya kalau tidak mengikuti-Nya ? Bagaimana bisa mengikuti-Nya kalau tidak menyatu dalam kepenuhan gereja-Nya……..

    Saya melihat memang harus banyak yang berani memberikan kesaksian-kesaksian, tetapi kesaksian itu tetap harus berdasarkan 3 pilar kebenaran (kitab suci, tradisi suci dan kuasa magisterium). Tidak cukup sekolah teologi setinggi apapun tanpa masuk ke dalam gereja-Nya.

  8. tetapi aku masih tidak berhasil mengembalikan 3 keluarga saudaraku untuk kembali, sebab mereka sudah dibutakan dengan iman yang salah.

    semoga tulisan itu , bisa membuat saudaraku juga untuk kembali ke kandang yang benar dan melahirkannya.

    • Kita doakan saja. Apabila kita tekun dan setia, saya yakin Tuhan akan mendengarkan doa-doa kita. Tak mungkin Tuhan tidak mendengarkan doa kita. Cuma Tuhan punya caranya sendiri untuk mengabulkan doa kita. Sekali lagi jalan yang terbaik adalah mendoakan mereka sampai Tuhan menjawab doa kita. Banyak pengalaman tentang jawaban Tuhan atas doa-doa kita. Doakan saudara-saudara kita agar Tuhan membukakan hatinya. Tuhan berkati.

    • Salam kenal Bapak,
      kalo saya percaya begini, tidak serta merta atau dengan usaha kita keluarga kita bisa kembali kpd Tuhan, tapi dengan doa yg penuh iman kita percaya suatu saat, entah kapan (brgkali kita sendiri sdh pergi dr alam fana ini) mereka akan kembali ke iman yg benar dengan cara yang kita g pernah tau.

      Namun, tentu saja didoakan terus dg iman, dg percaya penuh bhw Tuhan menyelamatkan kelg kita.

      Salam

  9. Tulisan Sdr. T.A. Herdian makin menguatkan iman banyak orang. Dengan kesaksian ini mata batin makin diasah untuk makin peka terhadap ajaran iman Katolik.

    • Terima kasih Pak Jus atas komentar Bapak. Bersama Bapak, saya pun berharap agar kesaksian ini, dan kesaksian-kesakisan orang lain yang masuk atau kembali ke Gereja Katolik, dapat menguatkan iman banyak umat, dan mengundang semakin banyak lagi orang di luar untuk tertarik mempelajari iman Katolik. Semoga.
      Salam damai Kristus.

      • Marilah saudara2ku yang beriman katolik suam2 kuku untuk terbangun dari kenikmatan duniawi, jadilah orang katolik yang mau belajar lebih dalam lagi tentang katolik jangan sampai orang yang tidak katolik lebih tahu mendalam tentang iman kita. malu rasanya jadi orang katolik napas (natal dan paskah) mintalah rahmat Tuhan supaya bisa bertumbuh lebih dalam dan menjadi terang dalam kegelapan. itu memang sulit tapi dengan bantuan ROH KUDUS tidak ada yang mustahil. Bangunlah katolik2 KTP. Amin GBU All

        • itulah kehidupan walau jalan yg harus ditempuh berliku-liku tapi akhirnya kita temukan suatu kepercayaan yg benar-benar kita imani.walau kita sebagai agama yg dapat dikatakan minoritas tapi jangan sampai dalam kehidupan ini merasa minder,mari kita tunjukan bahwa kita benar-benar melaksanakan hukum kasih kepada siapapun.Tuhan akan slalu membuka jalan pada siapa saja yg percaya kepadanya.amin

Comments are closed.