Pertanyaan:

Syalom,

Dalam Mazmur, terdapat ayat yang mengatakan bahwa tepuk tangan, bahkan bersorak dan menari sebagai cara memuji Tuhan tidak dilarang, namun mengapa ’sikap’ tersebut tidak dimasukkan ke dalam liturgi Misa? Kalau boleh, tolong katolisitas menjelaskan mengenai sejarah pembentukan liturgi dan tahap-tahap yang ada di dalamnya. Seperti Pembukaan, Saya Mengaku, Tuhan Kasihanilah Kami, dst, sampai kepada Konsekrasi, dan Berkat Penutup.

Terima kasih banyak.

Tuhan Yesus memberkati!…

Jawaban:

Shalom Ferry,

Walaupun tidak disebutkan di dalam dokumen Gereja, nampaknya, ada beberapa alasan yang masuk akal mengapa tari- tarian, tepuk tangan dan sorak sorai tidak dilakukan di dalam perayaan Misa (Ekaristi) Kudus:

1. Ekaristi adalah perayaan di mana kita dapat menyambut Kristus dan mempersatukan diri kita dengan Kristus Tuhan kita. Jika kita memakai analogi ibadah pada Perjanjian Lama, maka tahap persatuan ini menyerupai penyembahan yang tertinggi di Tempat Maha Kudus dalam Kemah Suci. Segala bentuk pujian sorak sorai dapat dilakukan di pelataran bait Allah (lih. Mzm 100:4), namun sorak sorai itu terhenti setelah imam yang mempimpin ibadah mewakili seluruh umat memasuki Kemah Suci di mana di sana terdapat tabut perjanjian Tuhan. Sang imam itu harus mempersiapkan dirinya dan membersihkan dirinya dari dosa sebelum melakukan pelayanan itu, sebab jika tidak demikian, ia wafat seketika di dalam Kemah Suci itu (lih. Im 22:9). Setelah Yesus wafat, tirai yang memisahkan ruang Bait Suci itu terkoyak (lih. Mat 27:51), dan karena rahmat Allah yang kita terima melalui kurban Kristus, kita umat beriman dapat menghampiri tempat Maha Kudus itu, yaitu tabernakel di mana Kristus bertahta di dalamnya dalam rupa Ekaristi. Namun sikap kita untuk menghampirinya adalah dengan sikap tunduk dan hormat, dan sebelumnya kitapun memeriksa diri kita agar bebas dari segala dosa berat, agar dapat layak menyambut-Nya.

2.  Hakekat perayaan Ekaristi adalah perayaan kurban Kristus yang menyerahkan diri-Nya dengan wafat di kayu salib demi menyelamatkan kita.

KGK 1362    Ekaristi adalah kenangan akan Paska Kristus, yang menghadirkan dan mempersembahkan secara sakramental kurban satu-satunya dalam liturgi Tubuh-Nya, yaitu Gereja. Dalam semua Doa Syukur Agung, sesudah kata-kata penetapan, kita temukan sebuah doa yang dinamakan anamnese atau kenangan.

Walaupun Ekaristi merupakan kenangan Paska Kristus, namun kemenangan Paska ini tidak terlepas dari sengsara dan wafat-Nya yang juga kita kenangkan pada saat yang sama. Maka tidak sepantasnya kita bertepuk, bersorak ataupun menari pada saat kita mengenangkan wafat seseorang, apalagi jika yang kita kenangkan adalah Kristus, yang telah wafat setelah melalui penderitaan yang sedemikian hebat, demi menanggung dosa kita manusia. Sikap yang lebih tepat adalah tunduk dan khidmat sambil mengenang Dia dan bersyukur atas begitu besar rahmat-Nya kepada kita.

3. Karena di sebagian besar budaya di dunia, tari- tarian, sorak sorai dan tepuk tangan di saat ini tidak lagi umum digunakan dalam ibadah penyembahan kepada Tuhan. Tari- tarian di belahan dunia Eropa dan Amerika lebih berkonotasi kepada pertunjukan (performance) daripada ungkapan penyembahan kepada Tuhan. Dengan demikian dalam ritus Latin tidak dikenal tari- tarian dalam ibadah Misa Kudus, karena sejak awal memang tidak ada budaya menari pada bangsa tersebut sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Mungkin akan sedikit berbeda pada budaya Afrika dan Asia, namun secara umum tari- tarian di dalam ibadah, apalagi jika hanya dibawakan oleh sekelompok orang tertentu, akan cenderung menjadi tontonan, dan menggeserkan pusat perhatian yang harusnya diberikan kepada Tuhan.

Cardinal Arinze menjelaskan dengan sangat lugas di U-Tube, tentang hal ini, silakan klik

Atau lebih jelasnya, Cardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI) dalam bukunya The Spirit of the Liturgy (San Francisco: Ignatius Press, 2000), p. 198, menuliskan demikian:

“Tarian bukanlah merupakan bentuk ekspresi bagi liturgi Kristen. Sekitar abad ke-3, ada usaha dari kalangan Gnostic- Docetic untuk memperkenalkan tarian ke dalam liturgi. Untuk orang- orang ini, penyaliban Kristus hanya merupakan bayangan/ ilusi …. [Bagi mereka] Tarian dapat mengambil tempat bagi liturgi Salib, sebab, toh Salib bagi mereka hanya bayangan. Tarian cultic dalam agama- agama lain mempunyai maksud yang berbeda- beda – mantra, magis imitatif, ekstase mistik – yang semuanya tak ada yang kompatibel dengan maksud utama dari liturgi sebagai “kurban yang pantas” (reasonable sacrifice). Adalah suatu kekacauan untuk mencoba membuat liturgi menjadi “menarik” dengan memperkenalkan tarian pantomim (bahkan sedapat mungkin ditarikan oleh grop dansa ternama), yang sering kali (dan benar, dari sudut pandang profesionalisme) berakhir dengan applause -tepuk tangan. Setiap kali tepuk tangan terjadi di tengah liturgi yang disebabkan oleh semacam prestasi manusia, itu adalah tanda yang pasti bahwa esensi liturgi  telah secara total hilang, dan telah digantikan dengan semacam pertunjukan religius. Atraksi sedemikian akan memudar dengan cepat- ia tak dapat bersaing di arena pertunjukan untuk mencapai kesenangan (leisure pursuits), dengan memasukkan tambahan berbagai bentuk gelitik religius.”

Namun selanjutnya, Cardinal Ratzinger mengatakan juga demikian sehubungan dengan inkulturasi:

“Tak ada ritus Kristen yang memasukkan tarian. Apa yang orang- orang sebut sebagai tarian di bentuk ritus Ethiopia atau Zaire (Kongo) dalam liturgi Roma adalah sebenarnya prosesi ritmis yang teratur, yang sesuai dengan martabat kesempatan tersebut. Hal itu memberikan tata sikap yang teratur di batin dan keteraturan bagi variasi tahap-tahapan liturgi, yang memberikan keindahan, dan di atas semua itu, membuatnya menjadi pantas bagi Tuhan.” (Ibid. p. 199)

Atas pemahaman ini, maka memang masih diperbolehkan adanya semacam tarian (atau lebih tepatnya, disebut prosesi) penghantar persembahan dalam Misa Kudus, yang dalam budaya Afrika, atau budaya tradisional Asia, namun itupun bukan bersifat tontonan, namun hanya menggambarkan ungkapan penghormatan menurut budaya tersebut untuk menggabungkan kurban dari umat (dari “hasil bumi dan usaha manusia”) yang disatukan dengan kurban Kristus dalam Ekaristi.

Jadi prinsipnya, dalam perayaan Ekaristi, yang merupakan bentuk ibadah tertinggi, bentuk penyembahan tidak melibatkan tarian, tepuk tangan ataupun sorak sorai, agar umat dapat lebih memusatkan perhatian kepada kurban Kristus yang sedang dihadirkan kembali di altar, oleh kuasa Roh Kudus. Sedangkan di luar liturgi yang resmi, misalnya di dalam persekutuan doa ataupun pertemuan- pertemuan jemaat lainnya, diperkenankan cara memuji Tuhan dengan sorak sorai, tarian dan tepuk tangan, sebab memang cara- cara tersebut dicatat dalam Kitab Mazmur sebagai cara- cara memuji Tuhan (lih Mzm 47:1, 100: 1-4, 149:3). Namun tentu jika diadakan tarian, tepuk tangan ataupun sorak sorai, semua hal ini melibatkan semua umat yang hadir (jadi tujuannya bukan sebagai tontonan), dan semua ini ditujukan kepada Tuhan, dan bukan kepada para pemimpin pujian ataupun para penari. Selanjutnya jangan dilupakan, bahwa pujian dan penyembahan kepada Tuhan juga dapat dilakukan dengan sikap diam dan hening (lih. Mzm 46:11) karena justru di dalam keheningan itu, kita akan dapat semakin mengalami kehadiran Allah.

Selanjutnya tentang topik kenapa tepuk tangan yang sifatnya applause tidak diperkenankan di Misa Kudus, sudah pernah dibahas di artikel ini, silakan klik.

Sedangkan tentang topik tahapan liturgi Ekaristi memang belum secara mendetail kami uraikan, namun sekilas sudah pernah dibahas dalam artikel Cara Mempersiapkan Diri Menyambut Ekaristi, silakan klik.

Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org

45 COMMENTS

  1. shalom tim katolisitas
    sebelumnya saya ingin minta maaf jika terkesan menghakimi…tapi saya ingin bertanya mengenai drama yang sering dibawakan untuk mengganti waktu kotbah…hal ini sering saya alami waktu mengikuti perayaan ekaristi kaum muda (EKM) di mana pada saat kotbah, imam duduk lalu diganti dengan pentas drama atau tarian..apakah hal ii diperbolehkan?saya hanya merasa tidak enak saja melihat anak-anak muda itu berteriak atau melompat-lompat di depan tabernakel…terima kasih sebelumnya..

    • Shalom Rudolf,

      Silakan membaca ketentuannya tentang homili, klik di sini.

      Sesungguhnya bukan soal menghakimi di sini, tetapi hal apa yang seharusnya dilakukan sesuai dengan makna dan maksud homili dalam perayaan Ekaristi. Sedangkan tentang boleh atau tidaknya tarian, juga sudah dibahas di artikel di atas. Pada prinsipnya, perayaan Ekaristi adalah perayaan misteri Paska Kristus, di mana Kristuslah yang menjadi pusatnya, sehingga tidak pada tempatnya mengadakan pertunjukan apapun dalam perayaan Ekaristi, karena akan menggeserkan pusat perhatian yang seharusnya diberikan kepada Kristus.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  2. Dear pengasuh Katolisitas,

    Saya ingin menanyakan hal yang berkaitan dengan tari-tarian dan tata liturgi dalam perayaan Ekaristi.
    Saya tinggal di Bali. Rumah saya hanya 10 menit berjalan kaki ke gereja. Namun bisa dihitung dengan jari, saya dan keluarga mengikuti misa di gereja itu. Kami lebih memilih mengikuti misa di Kuta atau Renon yang kalau dihitung jaraknya setengah jam dan satu jam perjalanan dengan kendaraan.

    Alasannya adalah:

    1. Liturgi yang bertele-tele dan sering terlalu berlebihan. Sehingga misa yang biasanya berjalan selama satu atau satu setengah jam, di gereja ini sampai dua setengah jam. Itu bukan misa hari Minggu biasa. Dan hampir semua lagu-lagu yang dinyanyikan koor pada setiap Minggunya adalah bukan lagu liturgis. Mereka banyak menyanyikan lagu-lagu pop rohani saja.
    Sehingga gereja yang besar dan baru itu, tidak mempunyai umat yang banyak. Banyak sekali tetangga kami yang Katholik tidak bergereja di situ juga.

    2. Setiap mereka merayakan acara peringatan ulang tahun gereja mereka, yang diutamakan adalah kemeriahan acara mereka.
    Mereka pernah mempersembahkan drama tari yang mengisahkan tentang Yesus sebagai gembala yang baik. Namun acara ini diletakkan setelah doa pembukaan Misa. Mereka mengesampingkan inti perayaan Ekaristi ini sendiri. Para penari begitu banyaknya dan mereka menari persis di depan altar dan bahkan ada penari yg berperan sebagai Ibu Maria, menari di atas undakan tangga persis membelakangi Tabernakel, altar dan uskup. Suasana gereja saat itu begitu gaduhnya. Umat berlomba2 maju ke depan, mengabadikan anak/saudara mereka yang sedang menari.
    Saya dan suami yang merasa tidak nyaman dengan keadaan itu, memutuskan untuk pulang dan tidak melanjutkan mengikuti misa di situ.

    Yang ingin saya tanyakan, salahkah sikap kami yang tidak mengikuti misa di gereja tersebut hanya karena tidak menyenangkan hati kami, bukan untuk menyenangkan hati Tuhan.
    Bagaimanakah mengoreksi tata liturgi gereja tersebut? Saya sudah pernah mengirimkan email ke keuskupan Bali mengenai hal ini, tapi tidak mendapatkan tanggapan.

    Terima kasih atas jawabannya.

    Salam kasih,

    Ewi

    • Ewi yth

      Saya memahami kesulitan dan keluhan yang anda alami mengenai tari-tarian masuk dalam liturgi. Sekarang ini KWI sedang membahas tarian apakah yang diperbolehkan masuk dalam liturgi. Tarian yang macam mana bisa masuk dalam perayaan liturgi. Tarian yang diperkenankan adalah yang memiliki makna dan mendukung liturgi gereja dan tidak mengganggu jalannya liturgi. Kalau membuat lama dan menjenuhkan sehingga liturgi menjadi lama dan membosankan lebih baik ditinjau kembali tarian itu. Saya mengenal dan tahu baik di mana anda ke Gereja. Jika anda tidak suka saya kira tidak berdosa kalau anda misa di tempat lain, namun haruslah dipikirkan kegiatan lingkungan paroki di mana anda tinggal atau berdomisili. Cara mengoreksi iturgi tersebut adalah dengan menyampaikan kepada Komisi Liturgi Keuskupan Denpasar di Pusat Pastoral dan bisa menyampaikan secara pribadi kepada ketua Komisi Liturgi. Di kemudian hari perlu perbaikan dalam berliturgi terutama tarian dalam liturgi.

      salam
      Rm Wanta

  3. Salam sejahtera katolisitas.org

    Saya seorang Katolik, namun sudah lama tdk mengikuti misa. Saya lebih banyak mengikuti gereja pacar saya yg beraliran karismatik. Namun dengan semua yg terjadi sy melihat keberagaman akan ajaran kristen yg berbeda beda walaupun saya kurang nyaman dengan gaya karismatik. Tp saya berusaha menghargai. Dengan adanya web ini katolisitas.org saya banyak terbantu dalam apologetik sy saat pacar saya menanyakan tentang iman katolik sy. Dia pd intinya jg mengalami sebuah pemikiran yg sama dan merasakan kenyamanan pd gereja katolik saat mengajaknya mengikuti misa. Namun keluhannya sama seperti komentar2 di atas yaitu bosan dan ngantuk. Melihat ajaran, cara ibadah, romo yg lembut dan sopan dia melihat sebuah perbedaan yg jauh dengan gereja yg karismatik yg rawan dengan konflik antar umat atau pendeta dengn umat atau pendeta dengan pendeta yg saling menyudutkan dan saling iri. Saya juga kurang paham apa yg menyebabkan banyak gereja gereja kecil karismatik seperti itu namun yg membuat saya kagum adalah kekuatan menghapal ayat alkitab pd setiap umat menjadi dasar mereka beriman. Saya juga ingin menanyakan tentang aliran aliran dalam Gereja. Apakah katolisitas.org memiliki artikel lengkap tentang aliran gereja mulai dr abad pertama sampai dengan skrg ini yg menjelaskan asal usulnya serta baik atau tidaknya jika ada. Terima kasih. Tuhan Yesus memberkati.

    • Shalom Rahadian Ario,

      Kalau kita sungguh mengerti apa yang terjadi di dalam Ekaristi – yang adalah menghadirkan kembali misteri Paskah Kristus – dan ini adalah cara yang diinginkan oleh Kristus untuk menyembah-Nya, maka sesungguhnya, tidak ada yang dapat menggantikan Sakramen Ekaristi. Silakan melihat beberapa artikel sehubungan dengan Ekaristi ini – silakan klik.

      Tentang perpecahan gereja, kita melihat bahwa sejarah membuktikan bahwa tanpa adanya otoritas dalam menentukan pengajaran dan administrasi – seperti yang terdapat dalam Gereja Katolik – maka akan timbul perpecahan. Perpecahan ini dapat anda lihat di grafik berikut ini:

       Mohon maaf, kami belum mempunyai waktu untuk menjabarkan semua denominasi. Sementara Anda dapat melihat di newadvent atau wikipedia.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      stef – katolisitas.org

  4. Dear Pengurus Katolisitas

    Saya mempunyai masalah seperti yang disebutkan teman-teman diatas. Pada saat saya mau ke Gereja saya benar benar rindu karena saya sudah cukup lama tidak ke Gereja.

    Masalahnya disini saya kurang dapat menghayati “arti” dari Misa itu sendiri. Jujur kalau saya boleh terus terang, memang tata liturgi dari Gereja Katolik saat mengadakan Misa sungguh membosankan. Cenderung monoton. Tidak membuat umat tertarik untuk bersemangat untuk menyanyi,dll.

    Inilah yang seharusnya diperbaiki dari Misa Gereja Katolik. Perlu diadakan perubahan misalnya,kalau bisa lagu lagunya dibuat agar tidak cenderung monoton tetapi tidak mengubah esensi Misa itu sendiri. Sekali-kali, boleh diadakan seperti Kebaktian Agama Kristen Protestan supaya tidak monoton dan membosankan.

    Saya yakin tidak hanya saya yang merasakan ini semua. Saya rasa orang tua dan saudara saya sudah malas untuk pergi ke Gereja kalau saya tidak yang mengusulkan. Jujur, saya lebih senang apabila saya ikut Misa tidak dengan keluarga saya (sendirian). Saya dapat memberi penjelasan tentang hal ini. Hal-hal yng menyebabkannya antara lain adik saya selalu bicara dengan ibu saya sehingga saya terganggu ketika menyanyi,berdoa,dll. Saya sebenarnya ingin menegur tapi saya yakin apabila saya menegur adik saya akan membalas lagi dengan komentarnya yang benar benar membuat saya marah. Karena apabila saya marah, otomatis saya tidak layak untuk mendapatkan Tubuh dan Darah Kristus.

    Saya sebagai manusia biasa tidak dapat memungkiri bahwa inilah yang membuat saya ingin pindah agama dari Katolik ke Kristen Protestan. Suasana keluarga yang tidak mendukung untuk bertahan di agama Katolik ditambah dengan suasana yang monoton di Gereja Katolik sendiri.

    Saya benar-benar meminta maaf kepada Saudara sekalian karena pendapat saya yang bodoh ini yang menunjukkan iman Katolik saya yang tidak berkembang. Hak kalian untuk berbicara seperti itu tetapi inilah yang hati saya rasakan.

    Oh ya Ibu Inggrid, selain itu saya ingin bertanya lagi seputar babtisan/pencurahan Roh Kudus (babtized/outporing by Holy Spirit) di agama Kristen Protestan. Bukannya saya ingin membela agama Kristen Protestan saya hanya ingin mengeluarkan pendapat saya mengenai hal ini.

    Apakah curahan Roh Kudus kepada mereka adalah yang menyebabkan mereka terpecah-belah belah menjadi sekitar 28,000 denominasi? Saya benar-benar tidak setuju apabila itu disebabkan oleh Roh Kudus. Pendapat itu sama saja menghujat Roh Kudus dan menyamakannya dengan Roh Pemecah Belah.

    Lalu dengan Hari Raya Pentakosta yang baru diadakan kemarin di Gereja.
    Seperti yang sudah kita ketahui bahwa apabila Roh Kudus dicurahkan kepada manusia, manusia itu akan berdoa dalam bahasa roh. Teapi romo di Gereja saya benar benar seperti “meremehkan bahasa roh itu sendiri”. Romo berkhotbah bahwa apabila menginginkan bahasa asing maka harus belajar. Disini saya merasakan makna tersembunyi yang disampaikan.

    Pada akhirnya saya harap Ibu Inggrid dapat membantu saya agar benar-benar mendalami iman Katolik. Karena apabila seperti ini terus-menerus saya benar benar merasakan bahwa ke Gereja hanya sebagai “kewajiban” bukan “kebutuhan” dan nantinya akan meninggalkan kesatuan dengan Gereja Katolik.

    Terima Kasih
    Aldi

    • Shalom Aldi,

      1. Menemukan Tuhan dalam keadaan yang rutin dan biasa-biasa saja.

      Adalah suatu kecenderungan manusia, untuk lebih menyukai hal-hal yang sensasional, suasana meriah, ataupun yang menyentuh perasaan. Manusia lekas bosan terhadap sesuatu yang sifatnya rutin dan berkesan “itu lagi, itu lagi”. Tetapi, sejujurnya, dalam realitas kehidupan, ada banyak hal di mana keadaan yang ‘itu-itu juga’ harus kita hadapi, seperti, setiap hari dimulai dengan matahari yang sama yang terbit di timur, kita memulai hari dengan bangun dari tidur, berdoa, mandi, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan rutin entah pergi ke sekolah/ kuliah, bekerja di kantor atau kegiatan lainnya, dst, yang hampir sama setiap hari. Hanya jika kita dapat memaknai keadaan yang ‘itu-itu juga’ dalam keseharian kita, kita akan dapat menikmati setiap jengkal kehidupan kita dengan penuh ucapan syukur, dan mengalami kedekatan dengan Dia di setiap saat.
      Maka, dalam kehidupan rohani, bukan hal-hal yang sensasional yang terpenting, namun bagaimana meresapkan apa yang sederhana dan yang nampaknya itu-itu juga, yang dikehendaki oleh Kristus. Yaitu bagaimana kita mengenangkan Dia dalam perayaan Ekaristi, sebagaimana dipesankan-Nya kepada para Rasul-Nya di saat Perjamuan Terakhir sebelum wafat-Nya. “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Aku.” (lih. Luk 22:19) Jika kita belum merasakannya atau mengalaminya, mari memohon kepada Tuhan Yesus, agar kita dapat ‘merasakan’ kehadiran-Nya itu dalam perayaan Ekaristi. Pada saat kita datang bukan untuk menyenangkan diri sendiri tetapi untuk menyenangkan Tuhan, maka di saat itulah Tuhan dapat menyentuh hati kita dengan cara-Nya yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.

      Ada sejumlah kesaksian orang Katolik, yang berpikir telah menemukan Dia dalam cara yang lebih meriah itu, namun ada suatu saat mereka kehilangan suasana doa yang khidmat dan khusuk, seperti yang dialami dalam perayaan Ekaristi dalam Gereja Katolik; dan akhirnya mereka kembali pulang ke Gereja Katolik. Suatu tanda, bahwa segala yang meriah dan menyentuh emosi itu bukanlah yang terpenting dalam penyembahan kita kepada Allah.
      Terima kasih atas kejujuran Anda mengungkapkan perasaan Anda tentang ‘kekeringan’ yang Anda rasakan ketika mengikuti perayaan Ekaristi. Sebab hal kekeringan rohani ini dapat dialami oleh siapa saja. Jika Anda memutuskan untuk meninggalkan Gereja Katolik dan mengikuti ibadah yang lebih menyentuh perasaan tersebut, di sanapun suatu saat Andapun dapat mengalami kekeringan rohani. Marilah bersama memohon belas kasih Tuhan dan campur tangan-Nya untuk membantu kita untuk sedikit demi sedikit keluar dari keinginan menentukan cara yang kita mau untuk mengenangkan Dia, kepada penyerahan diri seutuhnya kepada-Nya, untuk mengikuti cara yang Ia mau, untuk mengenangkan Dia.

      2. Pencurahan Roh Kudus

      Gereja Katolik berdasarkan Kitab Suci mengajarkan bahwa dengan kita dibaptis, kita menerima Roh Kudus. Sebab Baptisan merupakan kelahiran kembali dalam air dan Roh Kudus (lih. Yoh 3:5) yang menjadikan kita anak-anak Allah, sebab kita menerima Roh Allah itu (yaitu Roh Kudus). Dengan demikian, Roh Kudus yang membangkitkan Kristus dari kematian itu, dapat menghidupkan tubuh kita juga di dalam Kristus (lih. Rom 8:11). Oleh Baptisan itulah kita menerima hidup ilahi, yang memungkinkan kita menerima keselamatan/ kehidupan kekal. Selanjutnya, dengan menerima Sakramen Krisma, kita menerima pengurapan Roh Kudus yang menjadikan kita semakin dewasa di dalam Kristus, untuk mengambil tugas menjadi saksi-Nya di dunia ini. Sesudah sakramen Krisma, Roh Kudus tetap dapat dicurahkan kepada kita, entah melalui doa-doa pribadi maupun doa dalam komunitas, sebagaimana kita doakan dalam setiap perayaan Pentakosta, maupun dalam kesempatan-kesempatan lainnya, seperti dalam Seminar Hidup dalam Roh Kudus (SHDRK), dalam Adorasi Sakramen Mahakudus, dst.

      Maka pencurahan Roh Kudus (outpouring of the Holy Spirit) yang Anda sebutkan itu dapat dialami dalam Gereja Katolik. Bahwa pencurahan Roh Kudus juga dapat dialami di gereja-gereja lain yang non- Katolik, itu memang dapat saja terjadi, sebab Tuhan dapat berkarya di luar sakramen-sakramen Gereja. Allah menentukan sakramen sebagai sarana untuk menyalurkan rahmat-Nya, namun Ia tidak terikat dan dibatasi oleh sakramen-sakramen itu. Allah bebas berkarya menurut kehendak-Nya.
      Nah, bahwa faktanya kemudian terjadi perpecahan, itu bukan kesalahan Roh Kudus, tetapi adalah karena faktor kesalahan manusianya. Sebab keadaan perpecahan jemaat, bahkan setelah mereka menerima Roh Kudus, itu juga terjadi sejak zaman para Rasul, seperti yang terjadi di Korintus. Oleh karena itu, Rasul Paulus menegaskan pentingnya Kasih, sebagai karunia Roh dan sekaligus buah Roh yang utama dan terpenting (lih. 1 Kor 13). Melihat fakta ini, mari jangan menyalahkan Roh Kudus, tetapi mari memeriksa diri kita sendiri yang menerima Roh Kudus, sudahkah kita hidup menampakkan kasih, sebagai buah Roh yang utama? Nah kasih inilah yang harusnya mencegah perpecahan, namun sebaliknya mengusahakan persatuan.

      3. Tentang bahasa roh

      Bahasa roh memang disebutkan sebagai salah satu karunia karismatik Roh Kudus. Namun Kitab Suci tidak menyebutkannya sebagai karunia yang terpenting, ataupun segala-galanya. Dalam penyebutan karunia karismatik Roh Kudus untuk membangun jemaat, yang disebutkan pertama oleh Rasul Paulus adalah karunia sebagai rasul, dan baru di urutan terakhir adalah karunia berkata-kata dalam bahasa roh (1 Kor 12:28). Selanjutnya, Rasul Paulus juga mengajarkan bahwa daripada mengeluarkan beribu-ribu kata dalam bahasa roh, lebih baik ia mengucapkan lima kata dimengerti oleh orang lain (lih. 1Kor 14:19).

      Nah, dari sini kita dapat melihat, bahwa karunia berbahasa roh memang adalah salah satu karunia Roh Kudus untuk membangun jemaat, dan karena merupakan karunia Allah, tentu saja berharga dan penting. Tetapi karunia itu bukan segala-galanya, seolah-olah karunia yang lain malah menjadi kurang penting. Sebab karunia bahasa roh (dalam hal ini umumnya berdoa dalam bahasa roh) tidak langsung dapat dimengerti oleh umat secara umum. Karunia itu pertama-tama memang membangun iman orang yang mendoakannya, namun tidak secara langsung dapat membangun iman umat yang tidak mendoakannya. Adakalanya malah menimbulkan pertanyaan, dan bahkan keberatan. Sedangkan karunia yang lain seperti karunia mengajar, melayani, memimpin, mengadakan mukjizat dalam nama Tuhan Yesus, dst merupakan karunia yang membangun iman jemaat secara langsung. Dalam sejarah Gereja Katolik, ada banyak orang kudus yang dapat memperoleh karunia-karunia ini, tanpa disebutkan bahwa mereka mempunyai karunia bahasa roh. Silakan Anda membaca riwayat para orang kudus. Mother Teresa, misalnya, tidak disebutkan bahwa ia berdoa dalam bahasa roh, tetapi buah-buah pelayanan kasihnya jauh melampaui pelayanan kasih kebanyakan orang.
      Di atas semua itu mari kita sadari bahwa karunia-karunia Roh Kudus itu adalah pemberian cuma-cuma dari Allah. Maka karena karunia merupakan ‘pemberian’, kita tidak dapat memaksa Allah untuk memberikannya kepada kita, atau memberikannya menurut cara dan waktu yang kita inginkan. Mari belajar untuk menyerahkan diri ke dalam tangan kasih Allah, dan membiarkan diri kita dibentuk oleh-Nya seperti bejana tanah liat di tangan Sang Pengrajin. Apapun yang Tuhan beri, kita terima dengan rasa syukur; jika Ia memutuskan untuk belum atau tidak memberi, juga kita bersyukur. Sebab kita percaya Tuhan memahami yang terbaik bagi kita. Ia dapat memakai banyak cara untuk membawa kita lebih dekat kepada-Nya, dengan ataupun tanpa bahasa roh. Percayalah jika permohonan kita adalah agar kita dapat semakin dekat dengan-Nya, dan menerima Roh Kudus-Nya, itu adalah permohonan yang pasti akan dikabulkan-Nya, sebab itulah yang dikendaki-Nya. “Ia [Bapa] akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya” (Luk 11:13), demikianlah janji Kristus.

      Untuk memiliki sikap penyerahan diri ini, memang diperlukan kerendahan hati dari pihak kita, dan seringkali merupakan proses pembelajaran yang panjang. Kemungkinan dalam konteks inilah Romo itu mengatakan bahwa untuk menerima karunia bahasa roh (dan karunia-karunia lainnya) itu seseorang harus ‘belajar’. Belajar di sini bukan mempelajari suatu bahasa seperti kita belajar bahasa Inggris ataupun Perancis, yang bahkan ada sekolahnya. Tetapi belajar di sini mengacu kepada belajar merendahkan hati, untuk meninggalkan ke-aku-an kita dan untuk membiarkan Tuhan membentuk kita seturut kehendak-Nya. Singkatnya, untuk menghidupi sabda ini dalam kehidupan kita, “Supaya Tuhan menjadi semakin besar, dan aku menjadi semakin kecil” (lih. Yoh 3:30). Sebab dalam ketidakberdayaan dan kelemahan kita inilah, Tuhan dapat lebih menunjukkan kuasa-Nya (2 Kor 12:9).
      Demikianlah Aldi, tanggapan saya. Saya menyadari bahwa tanggapan ini tidak berkuasa apapun untuk mengubah hati Anda. Hanya Tuhan-lah yang dapat melakukannya, jika itu memang kehendak-Nya.

      Saya mengundang Anda untuk membaca beberapa artikel di situs ini yang mungkin dapat membantu Anda berdialog dengan hati nurani Anda sendiri, di saat-saat pencarian Anda ini:
      Apa artinya menjadi seorang Katolik?
      Sudahkah kita pahami Pengertian Ekaristi?
      Ekaristi adalah Komuni Kudus
      Ekaristi, sumber dan puncak Spiritualitas Kristiani
      Thank You Jesus, I am Home

      Teriring doa dari kami di Katolisitas.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      Tambahan dari Triastuti :

      Shalom Aldi,

      Terima kasih buat sharing yang jujur dan rendah hati ini, yang didorong kerinduan Aldi untuk mengalami persekutuan penuh dengan Tuhan Yesus yang kita cintai,  dalam perayaan Ekaristi. Bolehkah saya turut berbagi, sebagai sesama umat Katolik yang saling meneguhkan dan memperkaya dalam pergumulan iman kita. Ya, satu saat dalam hidup, saya pun pernah berpikir bahwa Misa sebaiknya dilakukan dengan memberikan penekanan /perhatian pada bagaimana mengakomodasi keinginan dan kebutuhan umat. Supaya umat bisa berdoa dengan lebih gembira, dikuatkan, tersemangati, dan berperan aktif. Tapi kemudian saya berpikir bahwa perayaan Ekaristi di dalam Gereja Katolik (yang dirayakan dengan setia dalam format yang taat pada ajaran Bapa Gereja dan Kitab Suci), bukan pertama-tama untuk memenuhi kebutuhan manusia atau berfokus pada manusia, tetapi untuk sungguh memenuhi pesan Tuhan Yesus sendiri , di mana merayakan Ekaristi adalah pesan-Nya kepada kita murid-murid-Nya , “…..perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku”, sebagaimana yang kita baca dalam Luk. 22:19.

      Saya teringat seorang kakak saya sempat merasa enggan dan bosan merayakan Misa karena merasa jemu, kering, tidak mendapat apa-apa. Setelah mengalami masa-masa pertobatan yang signifikan dalam hidupnya, ternyata pandangan kakak saya mengenai Misa juga berubah, ia kini rajin dan setia merayakan Misa karena ia sadar bahwa Misa bukanlah mengenai kita. Bukan bagaimana memuaskan keinginan kita, atau mengenai apa yang menarik bagi kita. Misa adalah mengenai Kristus, untuk Kristus, demi Kristus. Kristus yang sudah wafat dan bangkit bagi saya, Kristus yang sangat mengasihi saya dan selalu rindu untuk memberikan Diri-Nya pada saya agar saya bisa bersatu sepenuhnya denganNya dalam keabadian, sekalipun saat ini saya masih ada dalam dunia. Kristus yang layak saya sembah dan puji setinggi-tingginya dengan ketaatan yang penuh kepada Gereja yang Dia dirikan sendiri di atas Rasul-Nya.

      Saya juga diingatkan oleh tulisan Pak Stef dan Bu Ingrid dalam salah satu diskusi tanya jawab, bahwa beriman sebenarnya bukan masalah perasaan (atau kalau pun memang melibatkan perasaan, bukan semata hanya mengenai perasaan saja). Iman menyangkut juga ketaatan, dan kasih. Karena kasih kita kepada Yesus Kristus yang telah mendirikan Gereja-Nya di atas Rasul Petrus dan penerusnya dalam Gereja Katolik, maka apapun yang Tuhan Yesus minta dalam kehidupan beriman, termasuk untuk merayakan Ekaristi Kudus, terasa baik, indah dan menyenangkan untuk dilakukan. Ada kasih dan kerinduan untuk menyenangkan hati Tuhan Yesus dengan taat pada pesan-Nya.  Maka segala bentuk ketaatan kepada perayaan Misa tidak lagi menjadi beban. Bahkan makin lama makin terasakan berkat-Nya yang tumbuh di dalam jiwa , sehingga merayakan Misa (bahkan Misa harian) bukan lagi kewajiban atau keterpaksaan, namun menjadi suatu kebutuhan, suatu kerinduan yang manis untuk bersama Yesus dan menjadi satu dengan-Nya saat menyambut Komuni Kudus.  Hal itu yang saya alami. Saya sulit menemukan aktivitas tandingannya atau dengan kata lain tidak ada bentuk kedekatan lain dengan Kristus di dunia ini yang lebih indah dan nyata daripada perayaan Ekaristi. Saya bertemu Kristus sendiri dan bersatu denganNya di dalam perayaan Misa, Kristus yang mengatakan demikian pada kita, “ Aku sangat rindu makan Paskah ini bersama-sama dengan kamu, sebelum Aku menderita” (Luk.22:15).  Pada saat saya mengingat kata-kata-Nya itu, apa yang saya mau menjadi tidak penting lagi. Apa yang membuat saya senang dan puas tidak lagi menjadi perhatian saya dan tidak menarik lagi bagi saya. Saya hanya tertarik mengenai bagaimana saya dapat menanggapi kerinduan dan cinta-Nya yang begitu besar pada kita semua, dengan seluruh cinta dan ketaaatan saya padaNya, melalui Gereja-Nya.

      Oleh karena berpusat pada Kristus, maka saya tidak lagi merasa risau kalau koornya sumbang karena kebetulan sumber dayanya sedang terbatas, tidak lagi merasa kesal kalau homilinya pastor kurang mak nyess, karena Misa adalah mengenai persembahan pujian dan bakti kita kepada Allah, tanggapan kita atas kasih setia dan pemeliharaan-Nya pada kita, fokusnya bukan lagi masalah menyenangkan manusia dan melayani selera manusia.

      Namun di dalam suatu perayaan Ekaristi, karena itu adalah perayaan cinta kasih-Nya pada kita, begitu banyak kasih setia Tuhan diwujudkan secara nyata kepada manusia dan kita alami dengan nyata pula, karena di dalamnya kita tak jarang mengalami penyembuhan, baik penyembuhan jasmani maupun rohani, damai sejahtera saat bersalam damai dengan umat lain di dekat kita, semangat kebersamaan dan pengampunan, kekuatan baru untuk kembali melanjutkan karya dan doa, serta kekuatan untuk bangkit dari dosa dan merasakan kembali dipeluk Allah yang selalu mengasihi kita. Itu adalah hadiah kehidupan yang sering terjadi di dalam Ekaristi, karena Dia sungguh hadir dan bersatu dengan kita secara nyata jasmani dan rohani.

      Akhirnya, ibaratnya sepanjang hidup saya sibuk memikirkan diri sendiri, melayani kebutuhan dan keinginan diri pribadi, alangkah indahnya bila satu hari pertama dalam minggu saya berhenti memikirkan diri sendiri, untuk memusatkan seluruh tenaga, waktu, dan pikiran saya untuk memikirkan Kristus, menyenangkan hati-Nya, dan melakukan penyembahan yang layak Ia dapatkan dari manusia, sesuai dengan cara yang Dia inginkan, dalam semangat kasih dan ketaatan penuh kepada Gereja yang telah didirikanNya di dunia ini, sambil menantikan Ia datang kembali untuk kedua kalinya. Seperti dinyatakan oleh Rm Ron Rolheiser, OMI, “..and so, I lean heavily on the invitation Jesus left us on the night before He died: to break bread and drink wine in His memory and to trust that this, if all else is uncertain, is what I should be doing while I wait for Him to return. … We can be faithful in this one deep way: we can go to the Eucharist regularly.”

      Semoga sharing sederhana ini dapat bermanfaat bagi Anda. Doa kami menyertai.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan yang setia hadir bagi dan bersama kita dalam Ekaristi,
      Triastuti – katolisitas.org

      • Hi Ingrid,
        Memang, banyak orang yang menyayangkan kenapa di gereja Katolik misanya membosankan, dan kurang variasi. Saya sendiri sering mempertanyakan hal itu meskipun tidak ada sedikit pun pikiran untuk ‘pindah’, tapi saya melihat fenomena bahwa banyak orang yang imannya goyah karena hal ini.

        Saya mungkin bisa menjawabnya dengan perumpamaan begini:

        Skenario 1: Anda lapar, dan anda masuk ke warung sederhana dimana makanannya hanya nasi dan tempe, dan minumnya air putih. Semuanya serba swalayan, dan anda tinggal masuk dan makan, semua gratis, anda bisa tambah sepuasnya.

        Skenario 2: Anda lapar, dan anda masuk ke restoran yang mewah, anda masuk dijamu, diajak bicara oleh para pramusaji dengan ramah, dan anda ditawarkan makanan yang luar biasa meriah: lengkap dari appetizer, main course, dan dessert, dan juice, tapi harganya mahal sekali.

        Skenario 1 adalah gereja Katolik. Anda lapar tapi pada akhirnya anda pulang dengan perut kenyang. Nothing fancy, tapi semua kebuturan terpenuhi.

        Skenario 2 adalah gereja non-Katolik. Anda lapar dan anda pulang dengan perut yang setengah kenyang. Anda sangat menikmati semuanya: suasana, keramahan si pramusaji, variasi makanannya, sampai anda lupa bahwa anda dapatkan ini dengan harga yang sangat mahal, karena anda tidak menerima tubuh Yesus.

        Bagian terpenting dari Misa adalah persatuan kita dengan Kristus melalui ekaristi. Hosti yang kita terima itu bukan simbol dari Yesus, hosti yang kita terima itu adalah Yesus sendiri (transubstantiation). Hanya gereja Katolik yang meneruskan tradisi yang dimulai oleh Yesus sendiri (saya tidak tahu mengenai Gereja Orthodox).

        Jadi sebelum anda protes betapa ‘boring’ nya gereja Katolik, mungkin anda harus bertanya pada diri sendiri, apakah anda benar2 mengerti apa yang terjadi dalam misa gereja Katolik.

        Yah, saya bukan ahli teologi, tapi ini yang saya bisa share menggunakan parabel yang sederhana.

        Congrats, Ingrid & Tay buat karya2nya. GBU. (Hidup ARS Unpar!)

        • Shalom Pierre,

          Wah, surprise juga saya mendapat pesan dari bekas teman sekelas di Unpar….!

          Terima kasih juga atas kiriman analoginya. Mungkin analogi ini membantu banyak orang? Tetapi saya kok merasa sepertinya kurang pas kalau Ekaristi diumpamakan sebagai ‘nasi dan tempe’; sedangkan yang bukan Ekaristi diumpamakan sebagai ‘makanan yang luar biasa lengkap dari appetizer, main course, dan dessert, dan juice’. Bukankah kalau dengan makna yang kita hayati, tidak ada ‘main course‘ lain yang lebih baik daripada Ekaristi? Dan juga dalam perayaan Ekaristi, ‘menu’-nya justru lengkap (jadi sepertinya bukan ‘hanya’ nasi dan tempe), sebab melestarikan apa yang dirayakan oleh para rasul dan jemaat perdana (ada liturgi Sabda, liturgi Ekaristi, ada unsur doa pujian, penyembahan, doa tobat, pengajaran, kebersamaan dalam komunitas, persembahan, permohonan). Jadi sepertinya analogi yang lebih pas adalah:

          Skenario 1: Warung dengan makanan yang lengkap, namun penyajiannya sederhana, apa adanya.

          Skenario 2: Restoran dengan tampilan yang wah, dengan segala jenis makanan yang tampil menarik, namun tanpa main course.

          Di atas semua itu, ya kita sama-sama setuju, bahwa yang terpenting dalam perayaan Ekaristi adalah persatuan dengan Kristus melalui Komuni kudus, sebab hosti bukan hanya lambang Tubuh Kristus, tetapi melalui kuasa Sabda Tuhan dalam konsekrasi yang dilakukan oleh imam yang tertahbis, diubah menjadi sungguh-sungguh Tubuh Kristus.

          Semoga Tuhan memberkatimu dan keluarga.
          Terima kasih atas dukungannya, mohon doakan kami di Katolisitas.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid dan Stef Tay- katolisitas.org

          • analogi yang sangat pas dari Bu Ingrid.
            dan saya tetap bangga dengan kesahajaan (tanpa band, tanpa kotbah yang “membahana”) namun dengan “menu” tetap dan utama serta istimewa (yang tidak mungkin ada di tempat lain) yaitu Ekaristi.
            Saya justru tidak bisa ikut acara doa yang “rame”. namanya juga berdoa/beribadah ya memang harus khusuk. dan kekhusukan memang harus berdekatan dengan kesederhanaan.

  5. Dear Katolisitas,
    Salam damai dalam Kristus

    saya ingin menanyakan, apakah di dalam Misa Kudus diperbolehkan beberapa orang menari/ bergerak di depan altar saat lagu pujian? (katanya suasana meriah) NB: tetapi tidak setiap lagu.
    berhubung teman saya ada yang tidak setuju, saya jadi ingin menanyakan kepada pihak Katolisitas agar diluruskan. Jujur saja saya juga merasa aneh jika Misa Kudus yang seharusnya khidmat malah ada yang menari di depan altar, dan juga karena cenderung ke Protestan.

    Terima kasih, mohon bimbingan.

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel di atas, silakan klik]

  6. Teman, saya bertanya kalo tarian , nyanyi , sorak sorai tidak boleh di misa
    berati persekutuan doa pada Katolik Karismatik tidak diperbolehkan ??
    Soalnya saya sering mengikuti misa karismatik dan Persekutuan doa , awal2nya ada lagu pujian seperti tarian , nyanyian, puji2an , paz romo masuk sudaj msk ke dalam misa
    Kenapa sekarang saat misa biasa harian atau sabtu minggu kenapa tidak dibuat format misa karismatik ??
    Ketika kita di surga maka kita akan menyayikan lagu pujian terus menerus bahkan bersorak sorai kalo di dunia kita gak terbiasa gimana nanti di surga ?

    • Shalom Gorby,

      Nampaknya Anda salah paham. Tidak ada larangan orang untuk menyanyi pada waktu Misa Kudus. Ada banyak lagu dalam Misa, dan tentu itu malah harus kita nyanyikan. Namun tentang tarian dan sorak sorai memang umumnya tidak diperkenankan, mengingat hal itu tidak sesuai dengan makna perayaan Ekaristi, yang merupakan kenangan akan sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus.

      Dalam budaya-budaya tertentu (pihak Tahta Suci memberi contoh budaya Asia dan Afrika) jika dalam perayaan Ekaristi pada kesempatan- kesempatan khusus ada semacam iringan bersama dengan masuknya Romo ke gedung gereja, maka itu sesungguhnya adalah prosesi, bukan tarian. Dengan demikian, gerakan yang diperbolehkan merupakan gerakan prosesi mengiringi para petugas liturgi dan imam, dan bukan gerakan tarian seperti dalam pertunjukan tari. Perlu disadari bahwa perayaan Ekaristi adalah doa bersama yang dilakukan dalam kesatuan dengan Kristus dan Gereja, sehingga sama sekali bukan untuk maksud pertunjukan tari ataupun pertunjukan olah vokal.

      Di luar konteks liturgi, misalnya dalam PDKK, silakan saja, jika diinginkan, untuk menyanyi, menari dan bersorak sorai bagi Tuhan. Gereja mengakui ada banyak cara berdoa, baik itu doa vokal, atau hening, rosario, ataupun doa spontan, dengan menyanyi dan menari, atau meditasi dan kontemplasi; hal ini memperkaya spiritualitas dalam Gereja. Jadi silakan saja dilakukan, jika cara berdoa seperti yang dilakukan dalam kelompok Karismatik itu membantu Anda untuk berdoa. Namun hal ini tidak dapat dipaksakan ataupun diwajibkan kepada seluruh Gereja.

      Para malaikat dan dan semua orang kudus memang memuji Tuhan di surga, dan kalau kita dianggap layak oleh Tuhan untuk bergabung dengan para Kudus-Nya, maka kitapun sudah siap untuk memuji-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Jika belum, kita mungkin masih perlu dimurnikan terlebih dahulu, entah lewat pemurnian di dunia ini ataupun pemurnian di Api Penyucian. Namun di saat Tuhan memandang bahwa kita telah siap untuk bersatu dengannya di Surga, kita tak perlu kuatir, sebab Tuhan sendiri akan memampukan kita untuk memuliakan dan memuji Dia di dalam kesatuan dengan semua para Kudus-Nya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

    • Shalom Gorby
      cuma sekedar sharing, suatu kali sebelum saya berdoa rosario, pagi hari kira-kira jam 9 pagi, saat itu suana hening,di rumah saya sendirian, tetangga kanan kiri pun sepi karena sekolah dan kerja, waktu saya duduk dan siap berdoa, tiba-tiba saya mendengar suara koor dari kejauhan… ternyata lagunya lagu “GLORIA (kemuliaan)”, dan itu saya merasa seperti suara koor dari surga karena umat katolik di sini (mataram) adalah minoritas, dan tidak mungkin ada suatu persekutuan yang menyanyikan lagu itu begitu indah dan sempurna. Setelah itu baru saya sadari, bahwa kelak kita di surga, lagu-lagu pujian yang akan kita nyanyikan adalah Kyrie-Gloria.

      Salam Kasih
      Regina

      [Dari Katolisitas: Kitab Wahyu antara lain menyebutkan bahwa kita akan memuliakan Allah dengan nyanyian pujian, seperti Kudus, kudus, kudus …. (Why 4:8); Kemuliaan … (Why 7:12). Karena di surga memang yang ada adalah puji-pujian kepada Allah, maka dapat saja dinyanyikan lagu Gloria. Tentang hal ini akan kita ketahui secara pasti pada saat kita sampai di Surga].

  7. pertanyaannya adalah Kenapa Tidak Ada Tarian, Sorak sorai dan Tepuk Tangan di Misa?
    yang akhirnya menjadi monoton dan membosankan..
    melihat hal di atas saya jadi tertarik menambahkan kenapa kenapa yang lainnya..
    misalnya: kenapa lagunya tidak pop (populer)?, kenapa tidak boleh bersorak sorai?, kenapa romo berjubah, tidak ber jas yg keren?, kenapa gereja bentuknya tidak dibikin minimalis modern?, dan kenapa warna temboknya itu itu melulu tidak ceria dan bikin ngantuk? kenapa di dalam gereja tidak dihiasi dengan tata cahaya (lighting) yg keren?, kenapa soundsistemnya juga biasa biasa aja? aduuuhh.. kenapa kegiatannya itu itu melulu, gak kreatif?, kenapa kok sepi?
    kemudian saya berpendapat (hanya pendapat saya) bukankah hal hal yang kita inginkan itu sebenarnya bisa dapat dengan mudah kita dapatkan di luar gereja? lalu saya membayangkan gereja yang ada di yerusalem atau di vatikan… seperti apakah gereja di sana? saya hanya bisa melihat di foto dan nampaknya jauh berbeda dengan keinginan keinginan tadi.. jika kita sepakat bahwa gereja katolik itu satu, kudus, katolik, apostolik.. apakah kita tidak ingin merasakan teduhnya misa seperti misa di yerusalem atau di vatikan? bukankah misa harusnya memang seperti misa yang di sana? kenapa kita harus memaksakan gereja untuk memenuhi selera kita? kenapa kita tidak mencontoh para gembala saja?
    kesimpulan saya adalah menjadi sebuah pertanyaan… “siapa yang harus mengikuti siapa?”
    mohon maaf jika ada tulisan yang kurang berkenan, Tuhan memberkati…

    • Shalom Thomas,

      Sepintas komentar Anda terdengar menggelitik, karena memang mungkin banyak orang bertanya demikian. Namun hasil permenungan Anda, menurut saya juga tak kalah menarik, yaitu bahwa bukankah kita harus melihat yang pertama- tama sebagai fokusnya adalah: bagaimana cara yang dikehendaki oleh Tuhan, dan bukan bagaimana cara/ selera kita sendiri. Anda mengatakannya, “siapa yang harus mengikuti siapa?”, bagi saya merupakan ungkapan yang jujur dan terus terang. Sebab jika kita dengan tulus menelisik, maka kita akan diarahkan pada permenungan ini: Sebenarnya jika kita sungguh mengasihi Tuhan, maka bukankah dalam segala kehidupan kita, termasuk dalam hal doa dan ibadah, pertama- tama kita akan bertanya, “Tuhan bagaimanakah seharusnya yang Engkau kehendaki?” Dan dengan kerendahan hati kita akan berusaha melakukannya dan menghayatinya. Dan saya percaya, dengan sikap batin yang demikian Tuhan akan membuka mata hati kita untuk mengalami kehadiran-Nya di dalam kesederhanaan, keheningan, dan dengan cara yang dipilih-Nya sendiri, yaitu di dalam Ekaristi. Dan jika kita sudah mengalaminya, maka tidak akan ada yang monoton dan membosankan dalam perayaan Misa yang nampak ‘biasa-biasa’ saja itu.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  8. selamat pagi, dan selamat Natal & tahun baru bwt para pengasuh sekalin yg terkasih……
    ne pengalamanku sewaktu mengikuti perayaan ekaristi pergantian tahun di Gereja St.Antonius Kotabaru Yogya,,,,,,
    di awal missa ada sekelompok anak muda yang menari dengan bagusnya (sayangnya ini dilakukan di Gereja dengan ceweknya yang memakai rok diatas lutut) dan di sepanjang missa banyak dinyanyikan lagu-lagu pop rohani yang entah diambil darimana, yang pasti tidak ada imprimatur dan nihil obstatnyakarena lagunya ada yangn berisi lirik-lirik yang tidak sesuai dg iman kita, misalnya percaya takdir, dsb
    saat seruan tobat selesai (memakai visualisasi di layar) mungkin karena saking terharunya, imam lupa menyeruhkan Gloria sehingga dalam missa itu tdk ada Gloria…..
    bagaimana pendapat Katoisitas ?
    karena menurutku di Gereja ini (St. Antonius Kotabaru,red) sangat-sangat banyak inovasi baru yang dilakukan, terutama oleh apa yang dinamakan Missa kaum muda…….!

    • Salam Manns,

      Mengenai misa OMK dengan tarian. Berikut ini adalah tanggapan saya terhadap pernyataan Anda:

      Anda: …di awal missa ada sekelompok anak muda yang menari dengan bagusnya …

      Tanggapan saya:
      Ini sungguh bagus, apalagi kalau koreografinya cocok dengan teks nyanyian liturgi pada perayaan yang bersangkutan, dan tarian itu bukan untuk pertunjukan, melainkan untuk mengiringi perarakan masuk sampai di kaki altar sehingga mempunyai fungsi liturgis, bukan jadi tontonan belaka. Bahkan kalau memungkinkan seluruh umat dapat membuat gerakan di tempat (menurut rubrik Tata Perayaan Ekaristi 2005 yang telah disetujui oleh Kongregasi Ibadat)

      Anda:…(sayangnya ini dilakukan di Gereja dengan ceweknya yang memakai rok diatas lutut)…

      Tanggapan saya:
      Umumnya kita merasa/ memperoleh kesan kurang sopan kalau penari wanita memakai rok di atas lutut dalam menjalankan perannya sebagai penari liturgis. Pakaian yang sopan sesuai dengan citarasa umat setempat perlu kita perhatikan.

      Anda:…dan di sepanjang missa banyak dinyanyikan lagu-lagu pop rohani yang entah diambil darimana, yang pasti tidak ada imprimatur dan nihil obstatnyakarena lagunya ada yangn berisi lirik-lirik yang tidak sesuai dg iman kita, misalnya percaya takdir, dsb…

      Tanggapan saya:
      Pada dasarnya lagu- lagu pop rohani diciptakan bukan dengan tujuan untuk dipakai dalam liturgi, sehingga tidak terikat pada tuntutan- tuntutan liturgi termasuk tuntutan untuk mendapat Nihil Obstat dan Imprimatur. Lagu- lagu pop rohani demikian tidak dapat dipakai dalam liturgi, karena tidak dimaksudkan untuk itu, apalagi kalau liriknya tidak sesuai dengan iman kita. Kalau komponis mau menggubah lagu liturgi dengan menggunakan melodi- melodi pop yang digemari orang muda, itu adalah suatu inisiatif yang sangat terpuji; namun hendaklah ia mematuhi tuntutan-tuntutan liturgi, termasuk tuntutan memperoleh Nihil Obstat dan Imprimatur, agar terhindar dari hal- hal yang tidak kita inginkan.

      Anda:…saat seruan tobat selesai (memakai visualisasi di layar) mungkin karena saking terharunya, imam lupa menyeruhkan Gloria sehingga dalam missa itu tdk ada Gloria…..

      Tanggapan saya:
      Kalau Misa Pergantian tahun itu dirayakan pada hari ketujuh Oktaf Natal (Hari Sabtu pagi sampai sore tanggal 31 Desember 2011) atau pada hari terakhir Oktaf (hari kedelapan, Sabtu sore-malam), maka Gloria merupakan satu unsur yang tidak dapat dihilangkan, sebagaimana ditulis dalam penanggalan liturgi. Kalau pastornya lupa, suatu hal yang bisa saja terjadi, hendaknya kita maafkan dengan tulus. Tetapi kalau dengan sengaja ia memutuskan untuk menghilangkan unsur yang seharusnya dibuat juga bersama dengan orang muda pada hari Oktaf Natal, maka ia kurang mengindahkan apa yang diminta oleh Gereja.

      Sekian, salam dan terima kasih. Doa dan Gbu.
      Rm Boli.

  9. Syalom Romo Harsanto dan bu Ingrid,
    Bagi saya dan sebagian umat memang tidak masalah mengimani dan menghayati Misa, sekalipun itu Misa harian. Tetapi lain halnya dengan umat yang masih belum matang rohaninya atau masih setengah-setengah menjalani hidup mengikuti Kristus dalam Gereja Katolik. Terhadap umat seperti ini akan sulit dengan hanya mengatakan persiapkan diri sebaik-baiknya sebelum Misa. Umat spt ini sudah bagus datang tidak terlambat. Kita juga harus melihat kenyataan, mungkin tidak sampai separuh umat Katolik yang menghayati Misa. Kalau umat Katolik bisa menghayati dan mengimani Misa, paling tidak umat ini akan datang juga paling tidak seminggu sekali dalam misa harian. Kalau kita mau memajukan rohani umat Katolik hingga bisa menghayati dan mengimani Ekaristi kita harus terbuka terhadap kondisi riil umat Katolik. Supaya kita bisa tahu kita harus berangkat dari titik mana? Menurut saya sesekali Gereja perlu mengadakan Misa meriah untuk mengundang banyak orang muda dengan band dan tarian asal ditempatkan di sesi yg tepat. Tidak perlu sering2x krn tujuannya hanya membuat mereka sadar Misa itu bisa menjadi menarik dan berisi jamahan Tuhan. Baru di akhir misa diberikan katekese tentang Ekaristi bahwa semua misa sama rahmatnya dan jangan lekat dengan Misa meriah spt ini.

    Terima kasih

    • Salam Chianx,

      Terima kasih atas usulannya. Para pastor paroki di bawah reksa pastoral uskup tentu tahu berdasarkan dokumen dan situasi umat, apa yang harus dibuat. Maka, usulan Anda sudah sering dilaksanakan dan dievaluasi. Jangan lupa, selalu berkomunikasi dengan pastor paroki karena mereka tahu situasi lapangan dan jika Anda pun mengajukan usul berdasarkan data, bukan asumsi, tentu mereka akan mempertimbangkan bagaimana pelaksanaan liturgi yang baik.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

      Tambahan dari Ingrid:

      Shalom Chianx,

      Menurut hemat saya, terbuka terhadap kondisi riil umat Katolik memang penting, namun bukan berarti bahwa prinsip utama yang harus diterapkan kemudian seolah ‘dikalahkan’ demi mengikuti selera umat. Penyesuaian semacam ini bahkan nantinya malah kontraproduktif dengan apa yang kemudian ingin dijelaskan kepada umat tentang makna perayaan Ekaristi.

      Maka mengadakan Misa meriah tentu boleh saja. Namun jika demikian, silakan memohon izin dari pihak ordinaris (keuskupan) setempat, jika ingin mengadakan dengan band dan tarian, namun silakan dipahami prinsip yang sudah digariskan oleh Vatikan, yaitu:

      1. Jika sampai diadakan dengan band, adakan di luar gedung gereja.
      2. Jika diadakan dengan band, silakan diskusikan dengan imam yang bersangkutan bersama dengan koor dan pemain musik, agar tidak dimainkan irama yang riuh rendah/ hingar bingar (‘noisy dan frivolous‘, sebagaimana yang dilarang oleh Paus Pius X dalam Tra le Sollecitudini 19, “… forbidden in church, as is also that of noisy or frivolous instruments such as drums, cymbals, bells and the like. 20. It is strictly forbidden to have bands play in church).
      3. Lagu dengan band dapat dinyanyikan sebelum atau sesudah Misa Kudus.
      4. Tarian yang diizinkan adalah tarian prosesi (graceful/ refined movement showing respect) dan bukan tarian untuk pertunjukan.
      Kita tidak datang ke Misa untuk melihat pertunjukan tari dan kemudian bertepuk tangan sesudahnya. Jika tarian menjadi pertunjukan, malah akan mengalihkan perhatian umat  dari fokus utama perayaan yaitu Kristus sendiri.
      Cardinal Arinze sudah pernah menjawab pertanyaan tentang boleh tidaknya tarian liturgis (liturgical dance) dengan cukup jelas di sini, silakan klik.

      Demikian, mari kita pahami terlebih dahulu esensi dari perayaan Ekaristi Kudus, sehingga dalam merayakannya tidak dilakukan hal-hal yang tidak mendukung/ tidak sejalan dengan maksud dan esensi perayaan tersebut.

      Salam kasih dari Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati – katolisitas.org

  10. Yth. Pengasuh Katolisitas

    Sehubungan dengan pengalaman saya mengikuti Perayaan Ekaristi pada mana selama ini bait Mazmur tanggapan didaraskan/dinyanyikan oleh Pemazmur, namun di stasi dimana saya mengikuti Perayaan Ekaristi, bait Mazmur tanggapan selain didaraskan/dinyanyikan oleh Pemazmur juga didaraskan/dinyanyikan oleh Paduan Suara bersama dengan Pemazmur.
    Yang menjadi pertanyaan saya, apakah hal ini dibenarkan? Bagaimana seharusnya?
    Terima kasih atas penjelasannya..
    Salam.

    • Salam Bonar,

      Tentang pembawa ayat-ayat Mazmur, menurut Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) no 61, “pemazmur melagukan ayat-ayat Mazmur dari mimbar atau tempat lain yang cocok”. Kalau tidak ada pemazmur, Mazmur dapat dibawakan oleh lektor (PUMR no 196), bukan oleh koor. Jadi kalau ada koor, sebaiknya dipilih salah satu anggota koor untuk melatih dan membawakan Mazmur dari mimbar sabda.

      Salam dan doa. Gbu.
      Rm Boli.

  11. syaloom…
    dear Katolisitas

    bagaimana umat Katolik yg tidak merayakan/menerima sakramen Ekaristi setiap minggunya?
    biasanya ini terjadi di stasi masing2.
    terimakasih

    • Salam Ion Salam,

      Untuk keperluan ibadat hari Minggu tanpa imam yang otomatis tanpa Ekaristi, Komisi Liturgi KWI menerbitkan buku “Perayaan Sabda Hari Minggu”. Tahun 2012 akan terbit buku PSHM yang baru, terjemahan sesuai editio typica dari Vatikan.

      Jadi, umat Katolik tetap berkumpul dan beribadat dengan merayakan Sabda Allah di hari Minggu di mana tanpa imam. Pemimpin liturginya ialah asisten imam atau awam stasi setempat yang disetujui pastor paroki.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  12. Shalom Ingrid.
    Namun selanjutnya, Cardinal Ratzinger mengatakan juga demikian sehubungan dengan inkulturasi:

    “Tak ada ritus Kristen yang memasukkan tarian. Apa yang orang- orang sebut sebagai tarian di bentuk ritus Ethiopia atau Zaire (Kongo) dalam liturgi Roma adalah sebenarnya prosesi ritmis yang teratur, yang sesuai dengan martabat kesempatan tersebut. Hal itu memberikan tata sikap yang teratur di batin dan keteraturan bagi variasi tahap-tahapan liturgi, yang memberikan keindahan, dan di atas semua itu, membuatnya menjadi pantas bagi Tuhan.” (Ibid. p. 199)

    Atas pemahaman ini, maka memang masih diperbolehkan adanya semacam tarian (atau lebih tepatnya, disebut prosesi) penghantar persembahan dalam Misa Kudus, yang dalam budaya Afrika, atau budaya tradisional Asia, namun itupun bukan bersifat tontonan, namun hanya menggambarkan ungkapan penghormatan menurut budaya tersebut untuk menggabungkan kurban dari umat (dari “hasil bumi dan usaha manusia”) yang disatukan dengan kurban Kristus dalam Ekaristi.
    =================================================
    Kalau memang tradisi sudah demikian – so…?
    Tapi jika sengaja mengadakan sebuah tarian untuk dipertontonkan menjadi sebuah ajang penuh kreatifitas agar Ekaristi tidak “monoton”, berlanjut dengan iringan lagu pop disertakan alunan musik band dalam ibadat DI HADAPAN SAKRAMEN MAHA KUDUS dan ini sering dilakukan oleh SEBAGIAN Umat Katolik; ini abuse?

    Terima kasih.

    [Dari Katolisitas: Jika mengacu kepada pada yang diajarkan di dalam Katekismus dan pengajaran Bapa Paus, maka tari- tarian yang diadakan sebagai tontonan di dalam Misa Kudus, memang merupakan abuse. Sangat disesalkan bahwa hal ini terjadi, yang mungkin disebabkan karena ketidaktahuan pihak penyelenggara maupun umat yang mendukung, namun tidak mengubah kenyataan bahwa hal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan penyelenggaraan Misa Kudus. Secara prinsip adalah pelanggaran, karena dengan mengadakan tontonan di dalam perayaan Ekaristi itu berarti mengalihkan perhatian umat kepada para pelaku liturgis dan bukan kepada Tuhan sendiri yang dirayakan di dalam liturgi tersebut.]

  13. Selamat pagi, saya baru beberapa kali membuka website ini dan menemukan beberapa artikel yang cukup menarik.
    saya mau bertanya mengenai pujian dan penyembahan. umumnya dalam suatu persekutuan doa senantiasa diawali dengan hal tersebut, ada yang menyebutnya praise and worship, yang bertujuan menyegarkan roh dan jiwa. memang saya betul merasakan itu. dalam suatu artikel lain dituliskan bahwa perayaan Ekaristi juga merupakan pujian dan penyembahan bahkan dikatakan sebagai puncak dari hal tersebut. Lantas apa yang berbeda dari keduanya? mengapa ada orang yang saat mengikuti misa kemudian terasa kering, padahal dikatakan pujian penyembahan menyegarkan jiwa dan roh.

    terima kasih.

    • Shalom Gabriel,

      Benar bahwa perayaan Ekaristi merupakan perayaan pujian dan penyembahan yang tertinggi dalam Gereja Katolik. Namun, justru karena merupakan pujian dan penyembahan tertinggi, maka diperlukan persiapan hati bagi yang ingin mengambil bagian di dalamnya. Dalam persekutuan doa, hal persiapan itu dapat dipermudah dengan lagu- lagu pengantar, namun dalam perayaan Ekaristi, persiapan itu sudah harus dilakukan di dalam hati, jauh sebelum merayakan Ekaristi. Seseorang harus pertama- tama memahami makna Ekaristi, dan mempersiapkan batin sungguh- sungguh  sebelum mengikuti perayaan Ekaristi. Sebab jika sudah dihayati dengan sungguh maknanya, yaitu bahwa yang disambut dalam Ekaristi adalah Kristus sendiri, maka seharusnya kita tidak merasa kering saat mengikuti Misa Kudus.

      Saya mengundang Anda untuk membaca terlebih dahulu artikel- artikel tentang Ekaristi di situs ini:

      Sudahkah Kita Pahami Pengertian Ekaristi
      Ekaristi Sumber dan Puncak Kehidupan Kristiani
      Sejarah yang mendasari Pengajaran tentang Ekaristi
      Cara Mempersiapkan diri Menyambut Ekaristi

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  14. dear Katolisitas,

    terimakasih atas pengajarannya. Saya menjadi semakin mengenal tentang ajaran gereja Katolik.

    Namun demikian, pada praktiknya tari-tarian dilakukan saat Misa Kudus di gereja di Indonesia.
    Hari ini, 29 oktober 2011, saya merayakan Ekaristi di paroki Katedral Santa Maria Diangkat ke Surga. Kebetulan saat itu Misa orang muda Katolik se-dekenat Jakarta Pusat. Pada arak-arakan diawali dengan tari-tarian Bali, lalu ada juga orang muda yang membawa bendera merah putih karena bertepatan dengan peringatan Sumpah Pemuda, lalu juga dinyanyikan satu dua lagu pop yang diaransemen ulang dengan indah. Itu hanya terjadi saat Misa orang muda itu saja.

    Saat saya mahasiswa di Jogja dulu, saya juga kerap mengikuti Ekaristi kaum muda di paroki Santo Antonius Kotabaru. Ada tarian, drama, pembacaan puisi, dll. Banyak kaum muda yang tertarik menghadiri Ekaristi, dan kemudian gereja menjadi salah satu sentral perjumpaan iman di kalangan kaum muda. Memang hanya pada misa-misa khusus saja.

    Ingrid, bukannya saya hendak membenturkan pengajaran dengan praktik-praktik yang senyatanya dilakukan tersebut di atas. Tapi sebagai umat saya merasa bingung, di satu sisi anda mengajarkan demikian, tapi praktik di paroki tidak seperti yang anda ajarkan.

    Bagaimana sikap saya sebagai umat, apalagi kaum muda lebih tertarik dengan konsep misa kaum muda seperti saya ceritakan di atas.

    Terimakasih dan Tuhan memberkati Ingrid dkk.

    • Salam Flo,

      Yang dipaparkan Ingrid bukan ajarannya sendiri namun peraturan/ajaran Gereja Katolik Roma dalam hal Liturgi Suci. Sebagai warga Katolik, kita wajib mengetahui dan berusaha mentaati ajaran Gereja Katolik, juga dalam hal liturgi.

      Mengenai aturan liturgi, aturan liturgi dibuat para bapa Gereja demi perlindungan martabat perayaan iman agar ungkapan iman umat selaras dengan tujuan Kristus mendirikan Gereja-Nya. Dalam hal ini, aturan liturgi jika dibaca baik-baik dan lengkap (sayangnya ada pula imam pemimpin liturgi yang tidak sempat membacanya) akan mendorong kita mempersiapkan dan melaksanakan liturgi yang sungguh sesuai dengan kehendak Gereja, bukan kehendak atau selera sendiri.

      Mengenai patokan inkulturasi, sudah ada pula. Sehingga setiap penanggungjawab liturgi harus benar-benar membuat liturgi yang benar.

      Maka sebaiknya, selalu ada dialog antara penanggungjawab liturgi dengan para penggiat “selera pribadi dan kelompok”. Ada hal-hal yang tetap dan tak boleh diubah, ada hal-hal yang bisa dimasuki unsur budaya setempat. Dalam hal ini, pihak keuskupan-lah (Komisi Liturgi Keuskupan) harus bertanggungjawab atas pedoman liturgi yang menjawab tantangan zaman.

      Yang dibuat di paroki Kotabaru Keuskupan Agung Semarang saat itu ialah eksperimen. Dan uskup sudah menyatakan bahwa masa eksperimen sudah selesai. Kesimpulannya, liturgi, dikembalikan ke aturan Gereja. Karena liturgi ialah panggung ibadah, bukan pertunjukan dan panggung hiburan.
      Liturgi selalu memberi tempat bagi ungkapan iman setempat/lokal, namun tidak berlebihan. Misalnya, arak-arakan vandel keuskupan, vandel santo-santa, lambang kelompok, lambang negara selalu bisa ketika arak-arakan masuk. Menyimbolkan bahwa keuskupan, para kudus, kelompok-kelompok itu semua menghadap Allah. Namun tidak pada persembahan, karena inti persembahan ialah Kristus sendiri yang mempersembahkan diri pada kita. Kita hanya “mempersiapkan persembahan” (bukan mempersembahkan), yaitu menyiapkan roti – anggur.

      Mengenai tarian ada pula aturannya dalam Pedoman Inkulturasi, yang intinya harus mendorong perhatian akan makna persembahan Kristus sendiri. Ini tidak mudah. Jika berlebihan memang akan terkesan pertunjukan, apalagi jika umat peraya liturgi tidak diberi penjelasan. Di sini dialog-lah yang diharapkan terjadi antara para penanggungjawab liturgi dengan aturan liturgi. Memang satu dua kali kita keliru, karena tidak sesuai dengan maksud Liturgi. Namun sebagai usaha agar lebih banyak orang berjumpa Kristus dalam Liturgi, hendaknya tetap diindahkan aturan baku yang di dalamnya sudah mencakup pedoman bagaimana orang beriman Katolik bisa khusuk ber-liturgi dengan seluruh hidupnya termasuk unsur budayanya.

      Sebagai imam pendamping OMK, saya sendiri berusaha selalu taat pada pedoman liturgi karena di dalam pedoman liturgi itu sudah tercakup upaya penyerapan ungkapan iman berdasarkan budaya setempat secara pas. Di sini, diperlukan kerendahan hati untuk taat pada pedoman liturgi. Karena, perayaan liturgi yang hanya kira-kira satu jam saja (di kota besar) dalam seminggu, bisa akan menginspirasi pola beriman pada tujuh hari ke depan. Pedoman sudah ada dibuatkan oleh para ahli yang disetujui uskup, tinggal dipakai. Jika terlalu repot menyiapkan kreativitas akan menyita banyak energi, waktu, dan perhatian untuk liturgi satu jam yang sebenarnya sudah ada aturannya, hal itu rasanya kurang efektif. Energi kreatif untuk liturgi tetap ada namun jangan banyak-banyak. Energi kreatif OMK yang terbanyak harusnya digunakan untuk langkah setelah ibadat/ liturgi: misalnya untuk kreativitas devosi, pembangunan jaringan, pengajaran iman (ini masih minim di OMK), pengkaderan, aneka acara kreatif, dan lain-lain. Namun untuk ibadat, tetaplah begitu.

      Refleksi pribadi saya: Walaupun mungkin salah perbandingan ini, namun bolehlah.
      Saya bandingkan dengan para pemuda-pemudi pesantren, yang ibadahnya taat begitu saja aturannya, namun kreatif di luar jam ibadah, maka seharusnyalah OMK berefleksi. Mengapa pusat perhatian oleh OMK seringkali hanya mengenai kreativitas liturgi Misa, sementara kita tidak mencoba lebih kreatif menghayati pembinaan, pengkaderan, pengajaran, komunitas yang mengalir dari perutusan setelah Misa. Padahal, liturgi ialah puncak dan sumber hidup iman. Puncak dan sumber itu hanya setitik. Satu jam saja kurang lebih dalam seminggu, dan tinggal terima jadi saja dua ribu tahun ini. Yang lebih penting ialah “yang dipuncaki” dan “yang disumberi”, yaitu gerakan hidup harian, jaringan, pengorganisasian, kegiatan, pengajaran iman (termasuk pengajaran tentang liturgi itu sendiri) dan lain-lain yang lebih memerlukan energi kreatif OMK itu.

      Flo, tidak usah bingungkan liturgi. Laksanakan saja sesuai pedoman, di mana dasarnya ialah buka hati untuk Kristus. Selanjutnya, energi positif kreativitas hendaknya lebih banyak dipusatkan di luar liturgi, yang mengalir dari liturgi dan kita syukuri lagi dalam liturgi. Liturgi itu pertama-tama doa, dan doa yang kreatif hanyalah doa yang membuka diri pada kehadiran Allah. Dalam doa / liturgi yang terbuka pada kehadiran penuh Allah, kita bisa dan berani kreatif mengasihi sesama dan beraktivitas.
      Selamat berdoa dan bekerja.

      Salam,
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  15. Pengasuh Katolisitas yth.

    mohon penjelasan mengenai tata gerak bagi umat maupun anggota koor pada saat Doa Syukur Agung, dalam TPE buku merah ada bagian panduan sikap tubuh untuk ” berlutut / berdiri “, mana yg harus kita prioritaskan ‘berlutut’ atau ‘berdiri’. Terimakasih atas penjelasannya.

    • Salam Stefanus Tribudi,

      Prioritas untuk gerak tubuh “berlutut atau berdiri” ialah dengan memperhatikan situasi riil dan budaya setempat. Karena itulah rubrik mengatur dengan pilihan tersebut, yaitu “atau berlutut atau berdiri”. Jika tempat duduk dilengkapi tempat berlutut dan budaya setempat lebih cocok dengan berlutut, maka sebaiknya berlutut. Jika budaya setempat, misalnya Eropa-Amerika lebih menyatakan tanda “hormat” jika berdiri, maka berdirilah. Jika tidak ada tempat berlutut, sebaiknya berdiri, kendati secara budaya lebih pas untuk berlutut. Silahkan tim Liturgi memutuskan, agar ada gerakan yang disepakati demi kekhusukan dan dukungan antar para peraya liturgi. Sikap berlutut dan berdiri hanya bisa dilakukan di gereja dengan situasi yang mendukung, yaitu ada bangku, ada tempat berlutut dan kondisi umat itu sendiri. Jika gereja hanya dialasi karpet atau tikar, ada umat berusia tua, mesti dimaklumi jika tidak melakukannya. Yang dicetak dalam rubrik ialah kondisi ideal. Kondisi nyata harus diperhatikan dengan bijaksana, kendati kita tetap menuju kondisi yang ideal sesuai kaidah liturgi.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  16. Syalom Ibu Ingrid Listiati,

    terima kasih banyak atas penjelasannya yang sungguh baik!… Kemarin saya membaca sebuah buku yang berjudul “Bertemu Yesus di Surga” oleh Dean Braxton (seorang Kristen Protestan), di mana saat dirawat di RS karena batu ginjal, mengalami penurunan kesadaran hingga ke tingkat koma dan bahkan di-CPR selama 1 jam 45 menit. Dan selama waktu tersebut, Dean Braxton bertemu dengan Yesus di Surga.. Memang Braxton mengatakan bahwa tidak ada kata-kata yang pas untuk mendeskripsikan keadaan surga karena begitu indahnya, megahnya, dan agungnya Tuhan Yesus di sana. Braxton melihat makhluk-makhluk di surga, seluruhnya memuji dan menyembah Allah, dari posisi berlutut ke posisi berdiri, dan sebaliknya (ini yang menurut saya, sangat mendukung dalam tata cara Perayaan Ekaristi dengan berbagai macam posisi), dan juga ternyata ada yang MENARI dengan suara-suara yang keluar dari para makhluk dengan sangat indahnya… Lagu-lagu pujian dan penyembahan yang mereka nyanyikan pun tak dapat ditandingi oleh lagu-lagu yang manusia di bumi (di dalam gereja, baik itu di gereja Katolik, Protestan, atau Pentakosta)…
    Braxton juga mengatakan bahwa makhluk-makhluk di Surga begitu menghormati Allah sehingga sampai bersikap menunduk untuk menghadap Allah dan berjalan mundur sambil menunduk untuk undur dari hadapan Allah… Mereka melakukan demikian karena mereka sangat menghormati Allah…

    Namun, bukan penghormatan seperti penghormatan manusia kepada manusia yang terjadi di surga, melainkan penghormatan karena begitu besar pancaran Kasih Allah kepada semua makhluk di sana… TubuhNya bersinar terang dalam rangkaian warna-warni…

    Dan satu hal lagi, Braxton pun melihat Bunda Maria berada di Surga sedang melakukan sesuatu pada Air Hidup di Surga…

    Marilah kita semua, jangan melakukan segala ritual liturgi sebagai suatu kewajiban dan keharusan, tapi lakukanlah itu sebagai kasih kita kepada Yesus Kristus, Juruselamat kita!

    Terpujilah ALLAH selama-lamanya!!!! Amin!

    • Shalom Ferry Tigor,

      Terima kasih atas masukan anda.

      Kisah pengalaman rohani pribadi memang bisa beraneka ragam, dan kita semua mengetahui bahwa kita umat Katolik tidak menggantungkan iman kita kepada wahyu pribadi. Walaupun wahyu- wahyu pribadi itu bisa saja menguatkan ajaran Gereja Katolik, namun kepercayaan kita tidak tergantung oleh apa yang dinyatakan oleh wahyu- wahyu pribadi itu.

      Hal menari dan menyanyi yang dilakukan sebagai pujian kepada Allah memang dicatat di dalam di Kitab Suci (lih Mzm 149:3, 150:4), dengan demikian tidak mengherankan jika ada tarian dan nyanyian surgawi dalam Kerajaan Surga. Namun demikian, tidaklah menjadi suatu keharusan bahwa dengan demikian di dalam Misa Kudus harus diperbolehkan adanya tarian, mengingat makna perayaan Ekaristi adalah peringatan akan wafat dan kebangkitan Kristus, dan bukan hanya kebangkitan-Nya saja. Sedangkan di Surga kelak perayaan Ekaristi tidak ada lagi karena kita sudah langsung melihat Allah muka dengan muka, dalam keadaan-Nya yang sebenarnya (lih 1Yoh 3:2), dan karenanya kita mempunyai alasan untuk sepenuhnya bergembira, bersuka, dan ya, menari dan menyanyi untuk memuji kemuliaan-Nya!

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  17. Berkah dalem Bu Ingrid

    Bagi “saudara” kita yang lain, menari, tepuk tangan dan sorak sorai adalah ungkapan syukur mereka kepada Yesus karena berkat Yesus mereka terselamatkan, dan juga mereka melakukannya merupakan persembahan bagi Yesus dan hanya untuk Yesus sebagai ungkapan syukurnya.

    • Shalom Dominicus,

      Tentu saja menari, bertepuk tangan dan bersorak sorai sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan, adalah sesuatu yang baik. Ini mungkin hampir mirip dengan bentuk pujian dan penyembahan yang dilakukan di Persekutuan Doa Karismatik Katolik. Tetapi memang hal menari, bersorak dan bertepuk tangan ini tidak dilakukan di dalam Perayaan Ekaristi Kudus, dengan alasan yang sudah disebutkan di atas.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  18. Tanggapan singkat :
    Agar umat lebih dapat yakin menyambut komuni sebagai Tubuh dan Darah Kristus, apakah kita harus dalam suasana “mourning” terus, harusnya tegas, gembira dan yakin, apalagi Yesus Kristus sudah bangkit 2000 tahun lebih, sudah bangkit ! TIDAK ADA LAGI “mourning” nya, apalagi terus menerus sedemikian lamanya! Mungkin liturginya harus dirubah sedikit, suasananya harus seperti meyakinkan sebelum konsekrasi dan kita akan dijamah/bersatu pada saat menerima di dalam mulut umat, harus lebih “hidup” yang membawa umat ke suasana bahwa Yesus Kristus sudah bangkit, karena Dia memang bangkit ! Amin.

    • Shalom Hendrik Tang,

      Nampaknya Anda salah paham di sini. Sebab Gereja Katolik tidak mengajarkan agar umatnya berduka ataupun berkabung/ mourn (dalam bahasa Inggris) di saat Misa Kudus. Yang diajarkan adalah umat Katolik bersyukur atas kurban Kristus, sebab Ekaristi sendiri artinya adalah perayaan syukur, dengan sikap yang layak/ pantas, seperti yang diajarkan oleh para Rasul. Dan dari tradisi awal Gereja memang perayaan Ekaristi tidak diisi dengan tari- tarian, sorak sorai dan tepuk tangan, maka Gereja Katolik melestarikan tradisi yang sedemikian. Jadi alasan pokoknya mengapa tidak ada tari-tarian dan sorak sorai dalam Misa Kudus nampaknya adalah: 1) karena hal itu tidak pantas untuk mengenang kurban Kristus; 2) karena hal itu tidak dilaksanakan oleh para rasul dan jemaat perdana; 3) karena doa dan ungkapan dalam liturgi merupakan ungkapan iman yang sifatnya merupakan pemberian untuk dilestarikan dan bukannya suatu ide inovasi baru yang dapat diciptakan.

      Maka meskipun perayaan Ekaristi adalah perayaan kebangkitan Kristus dan sesungguhnya kita layak bersorak karenanya, namun kita tidak boleh lupa bahwa kebangkitan Kristus didahului oleh sengsara dan wafat-Nya, dan untuk hal ini tidak pantas kita bersorak, sebab Ia menderita dan wafat karena dosa-dosa kita. Jika ada orang berkorban sampai mati bagi kita maka tentu tanggapan yang layak dari kita kepadanya adalah ucapan haru dan syukur, dan bukan meloncat menari dan bersorak. Seluruh rangkaian perayaan Ekaristi memuncak pada saat konsekrasi, yaitu saat imam mengucapkan kata- kata Yesus, “Terimalah dan makanlah, inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagi-Mu….. Terimalah dan minumlah, inilah piala darah-Ku yang ditumpahkan…. bagi pengampunan dosa…. Lakukanlah ini sebagai peringatan akan daku.” Oleh kuasa Roh Kudus, kurban Kristus yang satu- satunya itu dihadirkan kembali di tengah umat-Nya, dan kita dimungkinkan untuk mengambil bagian di dalam kurban Kristus yang terjadi 2000 tahun yang lalu itu. Maka harusnya kita mengandaikan diri kita, jika kita hadir di Perjamuan terakhir, dan hadir pula di bawah kaki salib Kristus, saat perkataan konsekrasi itu menembus kedalaman jiwa kita; dan mari kita tanyakan dengan jujur kepada diri kita sendiri, apakah kita layak bersorak dan menari untuk menanggapinya?

      Maka, jika kita sungguh menghayati makna yang mendalam akan misteri kasih Tuhan ini, kita akan tunduk dan bersyukur. Ada suka cita tentu, sebab wafat Kristus ini diikuti dengan kebangkitan dan kenaikan-Nya ke Surga, tetapi kita tidak dapat menekankan hanya kepada sukacita saja, tanpa mengingat perjuangan dan pengorbanan Kristus yang harus dilalui-Nya sebelum kebangkitan-Nya. Sebab Kristuspun menghendaki agar kita mengenangkan peristiwa kurban Tubuh dan Darah-Nya itu (lih. Luk 22:19), dan bukan semata mengenangkan kebangkitan-Nya. Adalah Kristus yang memilih sendiri untuk dikenang dengan cara sedemikian. Jika kita dapat menghayati keduanya, yaitu wafat dan kebangkitan Kristus, maka kita akan dapat mengalami kehadiran Kristus di dalam hidup kita dengan lebih penuh.

      Ya, Kristus memang telah bangkit! Tetapi kita harus tetap mengingat bahwa kebangkitan-Nya didahului oleh sengsara dan wafat-Nya. Dan hanya dengan mengenangkan wafat-Nya, maka kita akan dapat lebih menghayati makna kebangkitan-Nya demi keselamatan kita. Ya, Kristus memang telah bangkit! Tetapi semuanya itu dilalui-Nya setelah habis- habisan mencurahkan darah dan air mata demi kasih-Nya yang tak terbatas kepada kita manusia. Marilah kita renungkan hal ini sepanjang hidup kita, agar kita dapat memberikan tanggapan yang layak atas tanda kasih-Nya ini.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Terima kasih Ingrid, atas cepatnya tanggapan dan jawabannya, maaf saya masuk dalam forum topik diatas tidak ikut dalam, tarian, sorak sorai, tepuk tangan dalam Misa Kudus, tapi adalah terutama gaya bahasanya, lagunya, terutama pastornya tidak monoton, lebih menarik umat, membangun jemaat, mungkin diijinkan juga sedikit tepuk tangan, semacan applaud kemenangan (hanya setelah konsekrasi) sebagai tanda kita akan disatukan dan dilepaskan dari segala macam penat-penat hidup, kalau tari-tarian seperti dalam Perjanjian Lama, banyak yang tidak lepas dari anggur, pesta, demikian juga sorak sorainya, namun kalau lagu sedikit pop selektif satu/dua, dengan tepuk tangan sesuai dengan iramanya, saya kira tidak begitu menjadi masalah, jiwa kita juga bisa mengikuti itu, jadi kategori tepuk tangan, sekedar applaud dan tepuk seirama lagu pop selektif, itu bisa diajarkan batas-batasnya dan umat pasti akan mengerti, mungkin bisa diatur setiap minggu 1x misa dengan gaya insert tepuk tangan dan applaud tadi.
        Gereja Katholik terkenal dengan kakunya ( strict yang berkelebihan ), tapi seperti sekarang ini beatifikasi Johanes Paulus II agak dipercepat, kalau memang itu sudah menjadi bukti figur mendunia, demikian juga Mother Teresa dari Calcuta, tidak pernah terikat contoh gereja Katholik seperti dulu, memakan waktu berpuluh-puluh tahun lamanya.
        Sebagai contoh sebuah klinik terbesar, kan tidak bisa semua spesialist yang sama kita masukin di
        situ, namun selayaknya semua spesialist akan ada di situ, agar masing-masing mencari sesuai dengan kebutuhannya, agar klinik itu tetap hidup dan memenuhi semua lapisan kebutuhan. sedikit saja saran saya, tidak kaku, seperti Roh Kudus juga bebas tidak terikat, namun Roh Kudus selalu membimbing umatnya agar berjalan di gerejaNya dan tidak keluar jajan, biar bagaimanapun berkembangnya PDKK di gereja Katholik, umatnya di situ masih menomor 1 kan Ekaristi, sambut Tubuh dan Darah Kristus, amin.

        [Dari Katolisitas: komentar ini digabungkan karena masih satu topik]

        Ingrid, tambahan : hanya sebagai bahan pertimbangan saja, di dalam Kor.14:39-40
        (orang yang berbahasa roh jangan dilarang!), ini adalah firman!
        ” Karena itu, saudara-saudaraku, usahakanlah dirimu untuk memperoleh karunia
        untuk bernubuat dan janganlah melarang orang yang berkata-kata dalam bahasa
        roh. Tetapi segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur. ” Di sini harus dengan
        sopan dan teratur, akan tetapi dalam segala sesuatu, bukan bahasa roh saja yang harus sopan dan teratur.

        • Shalom Hendrik,

          1. Nampaknya perlu disadari di sini, bahwa ketentuan yang diterapkan secara turun temurun sepanjang sejarah Gereja tentang liturgi ini dibuat untuk membantu umat untuk semakin menghayati makna Ekaristi, dan bukan semata agar umat merasa ‘nyaman’ ataupun ‘agar tidak monoton‘. Sebab tepuk tangan yang bersifat applause itu sifatnya menggeserkan perhatian umat kepada para pelaku liturgi, dan bukannya kepada Yesus. Sedangkan kalau maksud anda applause itu diberikan kepada Tuhan melalui lagu-lagu ‘kemenangan‘ (saya meminjam istilah Anda) juga ini perlu ditinjau kembali apakah cocok. Sebab setelah konsekrasi dan menerima Komuni, bukankah saat yang terbaik adalah hening dan meresapkan indahnya hadirat Tuhan yang kini sungguh- sungguh bersatu dalam tubuh dan jiwa kita? Bahkan dalam persekutuan doa, saat penyembahan dilakukan tidak ada lagi tepuk tangan dan sorak sorai.

          Anda mengatakan Gereja Katolik kaku dan “strict yang berkelebihan“; namun nampaknya ada pengertian yang perlu kita sadari bersama di sini. Sebab Gereja Katolik perlu mempertahankan hal- hal yang memang merupakan prinsip dan esensial sehingga tidak dapat diubah, sedangkan hal yang tidak prinsip memang masih dapat diubah. Hal perayaan Ekaristi merupakan ibadah puncak yang menjadi sumber dan puncak kehidupan Kristiani, sehingga memang bukan bagian kita untuk mengubah- ubahnya sesuai dengan selera kita. Yang harus kita ubah adalah pikiran/ mindset kita jika kita masih kurang menghayatinya sehingga walaupun sudah menerima Kristus yang adalah “kepenuhan Allah” (Kol 1:19) dalam diri kita, tapi kita masih menganggap-Nya “monoton”. Semoga Tuhan mengampuni kita jika kita mempunyai pandangan demikian.

          Jika kita memahami prinsip ini, maka kita akan mengetahui mengapa dalam hal- hal lain misalnya dalam proses beatifikasi, dst, masih dimungkinkan penyesuaian- penyesuaian. Karena dalam hal esensi, hal beatifikasi tersebut memang tidak dapat dibandingkan dengan liturgi, apalagi liturgi Ekaristi.

          2. Gereja Katolik tidak melarang bahasa Roh. Ini sudah dengan panjang lebar dijabarkan di sini:

          Tentang Bahasa Roh, silakan klik
          Apakah Gerakan Karismatik Katolik sesat?, silakan klik
          Gerakan Karismatik: Hal Positif dan Negatif Karismatik, silakan klik.

          3. Anda benar bahwa segala sesuatu harus dilakukan dengan sopan dan teratur, tentu terutama berlaku dalam liturgi. Oleh karena itu, kita perlu mengikuti apa yang sudah ditentukan oleh Gereja tentang liturgi ini sebab maksudnya dilakukan juga adalah untuk mengatur agar liturgi yang merupakan karya seluruh Gereja (Kristus dan anggota-anggota Tubuh-Nya) yang menyampaikan rahmat penebusan Kristus tersebut dapat berjalan dengan sopan dan teratur, sesuai dengan makna luhur yang dikandungnya.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • syalom…

        Perayaan Ekaristi yg sudah berjalan kurang menggugah hati, suasana cenderung umat seolah-olah takjub, hening(berpura-pura ) dan akhirnya umat ngantuk, lagu2 yg syahdu tidak membangkitkan antusias umat, pujian/nyanyian karena ambil alih oleh paduan suara umat diam, doa-doa pembuka, penutup umat tidak diajak melafalkan lagi-lagi umat hanya diam sebagai pendengar dan mengaminkan saja (melihat pertunjukan) ada baiknya seluruh pujian, doa2 umat diajak berinteraksi untuk menuntun suasana hati umat lebih fokus dlm mengikuti Misa. Jangan katakan kita tidak sungguh hati merayakan Misa, daya dukung gereja sangat diperlukan, jangan sampai umat selama perayaan Misa jadi monoton, ngantuk dan tidak bermakna,

        • Shalom Tonwi,

          Nampaknya ada hal- hal yang perlu dilakukan oleh berbagai pihak di sini, yang dapat membuat perayaan Ekaristi menjadi lebih dapat dihayati oleh umat. Yang pertama memang perayaan Ekaristi tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dan didukung oleh para pelaku liturgi dengan sebaik- baiknya. Artinya, perayaan Ekaristi dipimpin oleh imam juga menjiwai makna Ekaristi, sehingga doa- doa yang diucapkannya bukan seolah hanya sekedar ‘membaca’, namun sungguh keluar dari hati. Penghayatan ini akan nampak pula dalam homili yang dipersiapkan dengan baik, sehingga dapat ‘berbicara’ kepada umat. Peran lagu- lagu yang dipilih sesuai, dan dinyanyikan dengan baik, dan mengundang partisipasi umat. Lalu peran para petugas liturgi juga cukup penting, seperti misdinar, para pembaca dan pengantar, para petugas pembagi Komuni Tak Lazim (umum dikenal dengan prodiakon), koor dan pemain musik, dst, dan semua pihak yang berperan serta untuk membuat perayaan Misa menjadi lebih ‘hidup’. Namun yang tak kalah penting adalah persiapan diri dan partisipasi dari umat yang hadir. Dalam hal ini peran katekese umat menjadi sangat penting, agar umat terus menerus diingatkan akan indah dan dalamnya makna Ekaristi. Jika umat sudah mengetahui/ memahami maknanya dan meresapkannya, maka besar kemungkinan umat akan dapat berpartisipasi secara aktif dalam perayaan Ekaristi, sehingga perayaan Misa tersebut tidak membosankan.

          Silakan selanjutnya untuk membaca beberapa artikel di bawah situs ini tentang Ekaristi:

          Sudahkah Kita Pahami Pengertian Ekaristi
          Ekaristi Sumber dan Puncak Kehidupan Kristiani
          Sejarah yang mendasari Pengajaran tentang Ekaristi
          Cara Mempersiapkan diri Menyambut Ekaristi

          Jika Anda mengetahui adanya masalah sehubungan dengan ‘lesu’-nya perayaan Ekaristi di paroki Anda, maka Anda dapat turut mengusahakan perubahan ke arah yang lebih baik. Anda dapat memulainya dari diri Anda dan keluarga Anda terlebih dahulu, untuk secara pribadi mendalami makna Ekaristi. Selanjutnya, jika Anda terpanggil, bergabunglah dengan seksi liturgi atau katekese untuk memikirkan bersama- sama dengan pastor paroki Anda, tentang apa yang dapat dilakukan bersama untuk memperbaiki keadaan di paroki Anda, supaya perayaan Ekaristi dapat diadakan dengan lebih baik dan semakin dapat dialami maknanya oleh umat sekalian.

          Sebab sesungguhnya jika kita menghayati dengan sungguh bahwa di dalam Ekaristi kita menyambut Tuhan sendiri, maka sudah selayaknya kita tidak mengantuk, bosan ataupun tidak tergugah. Jika kita masih merasa demikian di dalam Misa Kudus, artinya kita perlu sungguh menilik ke dalam hati/ batin kita sendiri, sebab besar kemungkinan kita tidak sungguh- sungguh menghayati makna yang dalam dan indah ini. Untuk hal ini kita perlu memohon ampun kepada Tuhan Yesus, yang sudah memberikan segala- galanya kepada kita, namun kita tidak atau belum juga memahaminya.

          Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
          Ingrid Listiati- katolisitas.org

  19. Syalom,

    Dalam Mazmur, terdapat ayat yang mengatakan bahwa tepuk tangan, bahkan bersorak dan menari sebagai cara memuji Tuhan tidak dilarang, namun mengapa ‘sikap’ tersebut tidak dimasukkan ke dalam liturgi Misa? Kalau boleh, tolong katolisitas menjelaskan mengenai sejarah pembentukan liturgi dan tahap-tahap yang ada di dalamnya. Seperti Pembukaan, Saya Mengaku, Tuhan Kasihanilah Kami, dst, sampai kepada Konsekrasi, dan Berkat Penutup.
    Terima kasih banyak.

    Tuhan Yesus memberkati!…

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

    • Dear Ingrid

      Apakah ayat yang dicantumkan berikut ini sudah betul ?

      Selanjutnya jangan dilupakan, bahwa pujian dan penyembahan kepada Tuhan juga dapat dilakukan dengan sikap diam dan hening (lih. Mzm 46:10) karena justru di dalam keheningan itu, kita akan dapat semakin mengalami kehadiran Allah.

      Maz 46 : 10 yang menghentikan peperangan sampai ke ujung bumi, yang mematahkan busur panah, menumpulkan tombak, membakar kereta-kereta perang dengan api!
      Maz 46 : 11 “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!”

      Ayat yang mana, yang menunjukkan bahwa pujian dan penyembahan dapat dilakukan dengan hening?

      Terima kasih
      mac

      • Shalom Machmud,

        Terima kasih atas koreksi Anda. Yang saya maksud adalah Mzm 46:11, “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!” Allah yang ditinggikan di seluruh bumi itu dapat diketahui, jika kita mau diam/ hening di hadapan Allah. Dalam keheningan, Allah akan menyatakan hal ini kepada kita.

        Namun sebenarnya doa hening tidak hanya mengambil dasar dari ayat Mazmur itu saja, tetapi dari contoh yang diberikan oleh Tuhan Yesus sendiri. Dalam doa-Nya kepada Allah Bapa, Ia mencari tempat yang sunyi (Luk 5:16, Mrk 1:35, Mat 14:13). Maka terlihat bahwa Yesus memilih tempat yang hening/ keheningan untuk berdoa. Sikap batin yang hening inilah yang merupakan sikap mendengarkan, dan sering dalam keheningan inilah Allah dapat menyatakan kehendak-Nya di dalam hati kita.

        Katekismus Gereja Katolik mengajarkan tentang doa hening (doa batin) ini dalam KGK 2709-2724, berikut ini beberapa kutipannya:

        KGK 2709    Apakah doa batin? Santa Teresia dari Yesus menjawab: “Menurut saya, doa batin itu tidak lain dari satu pergaulan yang sangat ramah, di mana kita sering kali berbicara seorang diri dengan Dia, yang kita tahu, mencintai kita” (vida 8,5). Doa batin mencari Dia, “yang jiwaku cintai” (Kid 1:7, Bdk. Kid 3:1-4). Ia adalah Yesus, dan di dalam Dia, Bapa….

        KGK 2712    Doa batin adalah doa seorang anak Allah, doa seorang pendosa yang sudah diampuni dan yang menghendaki agar menerima cinta kasih, yang dengannya ia dicintai, dan membalasnya dengan cinta kasih yang lebih besar lagi (Bdk. Luk 7:36-50; 19:1-10).

        KGK 2714    Doa batin adalah puncak doa. Di dalamnya Allah melengkapi kita dengan kekuatan melalui Roh-Nya, supaya “manusia batin” diperkuat di dalam kita, dan Kristus tinggal di dalam hati kita oleh iman, dan kita “berakar serta berdasar di dalam kasih” (Ef 3:16-17).

        KGK 2716    Doa batin ialah mendengarkan Sabda Allah. Mendengarkan ini bukanlah pasif, melainkan suatu ketaatan iman, penerimaan tugas tanpa syarat dari seorang hamba, dan komitmen kasih dari seorang anak.

        KGK 2717    Doa batin ialah keheningan/ berdiam diri. Ialah “lambang dunia yang akan datang” (Ishak dari Ninive, tract. myst.66) dan “cinta kasih yang tidak banyak kata” (Yohanes dari Salib). Dalam doa batin tidak dibutuhkan kata-kata yang panjang lebar; kata-kata adalah seumpama ranting-ranting kering yang dimakan api cinta kasih. Dalam suasana diam yang tidak dapat ditahan manusia “lahiriah”, Bapa menyampaikan kepada kita Sabda-Nya yang menjadi manusia, yang menderita untuk kita, yang mati dan bangkit lagi; di dalam keheningan ini Roh yang mengangkat kita menjadi anak- anak Allah, memungkinkan kita mengambil bagian dalam doa Yesus.

        KGK 2718    Doa batin adalah persatuan dengan doa Yesus, sejauh doa itu membuat kita mengambil bagian dalam misteri Kristus. Misteri Kristus dirayakan oleh Gereja di dalam Ekaristi, dan Roh Kudus membuatnya menjadi hidup lagi dalam doa batin, sehingga kasih kita dapat menyatakan diri dalam amal cinta.

        KGK 2724    Doa batin adalah ungkapan sederhana tentang misteri doa. Ia memandang Yesus dengan penuh iman, mendengarkan sabda Allah, dan mencintai tanpa banyak kata. Ia [doa batin] mempersatukan kita dengan doa Kristus, sehingga ia mengikutsertakan kita dalam misteri-Nya.

        Demikianlah sekilas tentang doa hening, menurut ajaran Gereja Katolik.

        Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
        Ingrid Listiati- katolisitas.org

Comments are closed.