Pertanyaan:

Saya ingin bertanya, bagaimana tanggapan Gereja Katolik Indonesia terhadap agama dengan kepercayaan masyarakat yang berinkulturasi,misalnya primbon? apakah primbon dsb merupakan penyimpangan ajaran Gereja? Terima kasih atas kesempatan untuk bertanya dan dijawab.

Stefanus Arbi

Jawaban:

Salam Stefanus Arbi,

Primbon adalah kumpulan pedoman hitung-hitungan adat setempat (khususnya suku Jawa) untuk menentukan hari baik untuk melakukan suatu hajatan, mengetahui watak seseorang dari tanggal lahirnya, menentukan jodoh dari hari kelahirannya, menentukan nama bayi yang pas, bahkan meramal nasib sesorang dari bentuk tubuh atau posisi tahi lalat, nama, dan sebagainya. Secara anthropologis-sosiologis, Primbon merupakan rumusan tertulis kebijaksanaan dari nenek moyang suku Jawa mengenai hal ikhwal misteri waktu dan kehidupan alam serta manusia sejauh yang mereka pahami saat itu. Pemahaman para penyusun Primbon ialah pengalaman riil yang tentu saja terbatas, namun sering pula spekulasi berdasar keyakinan. Konteks budaya kemunculan perhitungan seperti itu ialah budaya pertanian di Jawa yang sangat tergantung musim-musim, sesuai daur alam, khususnya abad-abad ketika Kerajaan-Kerajaan Jawa mulai memunculkan sastra tulisan. Konteks lainnya ialah cita-cita dan keyakinan kehidupan akan harmoni antar manusia dan alam.
Kini, masyarakat Jawa modern mulai berpikir ulang mengenai Primbon. Mereka mulai bertanya mengenai konteks penulisan primbon waktu itu untuk menemukan hakikat atau inti perhitungan tersebut. Jika dalam Primbon disebut bahwa orang Jawa dilarang menikah pada bulan Suro (bulan pertama dalam kalender Jawa), maka kini orang ingin mengetahui alasannya. Zaman dulu memang orang dilarang (tabu) untuk bertanya “mengapa” terhadap suatu perhitungan adat. Kini, setelah banyak ahli sastra dan anthropolog mempelajari tabu-tabu tersebut, maka telah diketahui maksud pokoknya. Tindakan bisa disesuaikan dengan kemajuan zaman tanpa mengubah maksud pokoknya yang baik. Misalnya, larangan menikah pada bulan Suro. Konteks waktu itu ialah, agar diadakan ada bulan istirahat dari perhelatan apapun dalam setahun. Dalam budaya pertanian waktu itu, tidak setiap waktu orang bisa berkumpul bersama untuk pesta, khususnya jika sedang musim tanam dan musim panen padi. Tak mungkin mengadakan pesta pada musim tanam dan musim panen, di mana budaya komunalisme di Jawa begitu kental. Setelah mengetahui konteksnya, masyarakat Jawa modern, apalagi yang sudah Katolik, mulai bisa menentukan hari baiknya sendiri. Hari baik sebuah perkawinan, misalnya, bukan lagi berdasar hitungan bulan Suro dan tanggal kelahiran kedua calon mempelai, namun berdasarkan sejauh mana sebanyak-banyaknya keluarga besar kedua mempelai bisa berkumpul, dan tentu saja jadwal pastor bisa memberkati. Perubahan sikap ini terjadi karena iman bahwa semua hari baik dalam Tuhan Yesus Kristus, namun juga alasan praktis bahwa kebanyakan orang Jawa modern sudah tidak lagi hidup berdasarkan daur musim tanam padi. Tambahan lagi, di masa perubahan iklim sekarang ini, perhitungan waktu dan musim bertani menjadi makin susah ditebak.
Orang Katolik wajib mengetahui konteks sebuah tata kultural masyarakat setempat, agar bisa mengetahui semangat dan tujuan dasarnya. Setelah mengetahuinya dengan relatif baik, kita bisa mengambil sikap yang tepat berdasarkan Ajaran Iman Katolik. Di sinilah inkulturasi terjadi, yakni menghargai semangat dasar adat pendahulu kita dengan tetap terutama berdasar pada Ajaran Gereja Katolik. Maka, orang Katolik sebaiknya bertanya mengenai konteks tujuan dari perhitungan-perhitungan adat suku-suku manapun, agar tahu tujuan dasarnya. Jika tujuan dasarnya ditemukan dan tujuan itu baik, maka kita bisa menginkulturasikannya dalam liturgi kita. Jika tujuannya ternyata tidak sesuai dengan iman kita, maka kita tidak usah memakainya. Ada hal-hal dalam Primbon yang memang menjadi magi atau kepercayaan membabi buta (ketakutan jika melanggar, takhyul) dan terlalu detil (klenik), sehingga tidak masuk akal dan hanya membuahkan ketakutan tak beralasan serta percaya yang sia-sia. Di sini berlaku KGK 2110 – 2117. Paling mudahnya, sebaiknya Primbon dihargai sewajarnya sebagai hasil peradaban pada zamannya, namun tak usah dipercayai karena toh bagi orang Katolik, baptisan dan sakramen-sakramen telah mengangkat mereka menjadi putra-putri Allah, putra-putri cahaya yang bersemangat kasih. Kasih Allah itu telah mengalahkan kegelapan.
Salam
Rm Santo

22 COMMENTS

  1. Salam Romo Santo

    Saya punya teman yang ayahnya orang Katolik dan ayahnya mempunyai kerabat yang bisa menghitung tanggal baik untuk pernikahan teman saya (saya lupa apakah agama kerabat ayahnya teman saya Katolik/Protestan atau bukan) dan ayahnya tersebut menyuruh teman saya untuk pergi ke kerabatnya agar dihitung hari baiknya. Dan sejujurnya teman saya (termasuk pasangannya) sudah tidak percaya dan tidak nyaman akan keinginan ayahnya, dan teman saya sudah punya tanggal sendiri dan itu tidak berdasarkan “tanggal baik”. Teman saya dilema karena dia tidak enak jika melawan orang tua, dan takut tidak dapat restu dari orang tuanya untuk nikah hanya karena tak enak menolak keinginan ayahnya.

    Dalam hal ini saya ingin menyadarkan ayah teman saya tetapi sebelumnya saya ingin minta klarifikasi sekali lagi dari Romo atas jawaban mengenai perhitungan tanggal baik untuk pernikahan, intinya:

    Dalam sudut pandang agama Katolik berdasarkan 3 pilar kebenaran (kitab suci, tradisi, dan magisterium), apakah
    1) diperbolehkan dan 2) dibenarkan orang Katolik (dalam hal ini ayahnya teman saya menyuruh anaknya) mencari tanggal baik (dengan pergi ke orang yang pintar) untuk pernikahan?

    Terima kasih Romo

    • Salam Benedict,

      Silakan membaca juga keterangan mengenai tanggapan yang pernah muncul mengenai perhitungan hari baik berdasarkan primbon di artikel di atas, silahkan klik. Intinya ialah: bagi orang Katolik, perhitungan hari terbaik untuk menikah ialah hari di mana semua yang harus ada demi absahnya perkawinan bisa hadir. Pihak yang harus ada itu ialah: mempelai berdua, dua orang saksi, dan imam peneguh perkawinan, serta tambahan lain seperti orangtua dan kerabat. Jika imam peneguh perkawinannya tidak bisa hadir pada hari yang ditentukan oleh keluarga, maka jelas tanggal itu bukan merupakan hari terbaik. Maka, pergilah ke orang yang tepat, yaitu pastor yang akan meneguhkan perkawinannya. Itulah “orang pintar” yang sesungguhnya dalam konteks ini. Jelas jawaban pertanyaan nomer satu dan dua ialah: tidak benar berdasarkan Katekismus Gereja Katolik (KGK) pasal 2110 sampai dengan 2117.

      Salam,
      Yohanes Dwi Harsanto, Pr

  2. Yang terkasih Tim Katolisitas,
    Saya mau bertanya tentang interpretasi mengenai Roma 14:5, yang berbunyi:

    Roma 14:5 Yang seorang menganggap hari yang satu lebih penting dari pada hari yang lain, tetapi yang lain menganggap semua hari sama saja. Hendaklah setiap orang benar-benar yakin dalam hatinya sendiri.

    Seolah-olah ayat ini membenarkan tradisi petung atau hari baik, hari buruk.
    Mungkin bisa dijelaskan penafsiran, agar tidak terjadi salah kaprah. Karena tradisi tersebut ditentang oleh Gereja Katolik.

    Terima Kasih

    • Salam Arief Prilyandi,

      Konteks dari teks yang Anda tunjuk ialah surat Paulus kepada umat di Roma. Dalam surat kepada umat Roma, St. Paulus menanggapi secara sistematis hal-hal yang ditanggapi secara langsung dalam suratnya untuk umat Galatia. Ia menanggapi aneka perselisihan dalam berbagai tema.

      Masalah yang ditanggapi St Paulus dari teks yang Anda kutip disebut pada bab 13 ayat 13 yaitu bahwa umat Roma waktu itu berselisih satu sama lain. Sedangkan inti perselisihan yang dibahas dalam bagian ini tampak pada ayat 1. Ada “orang yang lemah imannya” melontarkan ide dan bertindak membuat perpecahan. Catatan kaki pada Kitab Suci dengan catatan dan pengantar terbitan LBI 1974 menerangkan “orang yang lemah imannya” sebagai orang yang sudah Kristen namun imannya masih kurang terdidik. Karena itu, suara hatinya untuk memutuskan dan bertindak sesuai imannya menjadi kurang mantap, kurang bertindak sesuai iman Kristennya (ayat 2, 5, 22). Mereka tetap merayakan hari-hari raya kafir tertentu. Pada ayat 5 kengototan itu mungkin secara terus menerus. Pada ayat 21 mereka ngotot merasa harus berpantang. Ayat 2, 21 merasa wajib melakukan ulah tapa yang lazim di dunia kafir (pengikut-pengikut Pitagoras) dan di dunia Yahudi (kaum Eseni, kaum Yohanes Pembaptis).

      Paulus di situ memberikan pegangan umum yang sama seperti yang diberikannya dengan soal serupa dalam 1 Kor 8; 10:14-33, yakni: setiap orang harus berbuat untuk Tuhan asal saja (ayat 5 dan 6) hati nuraninya mantap, ayat 23, tidak bimbang; tetapi kasih-lah yang harus menjadi pedoman “orang yg kuat iman” (ayat 1: agar menerima orang lemah iman), juga ayat 1, 15, 19-21, dan 15: 1-13.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  3. Untuk Tim Katolisitas,

    Maaf saya bertanya kembali.
    Tadi pagi saya ke Gereja dan di interiornya telah dihias dengan rangkaian bunga2 yg sungguh indah, beda seperti biasanya, dalam hati saya pikir ini karena mau ada pemberkatan perkawinan. Bagi saya ada yg tidak beres, dan indera saya : hidung mencium aroma yg ada di orang meninggal dan saya merasakan energi negatif yg cukup kuat di dalam Gereja. Dalam hati saya berdoa, supaya Tuhan mengusir semua roh2 jahat, karena itu Rumah Tuhan. Ini di dalam Gereja, bayangkan di acara siraman dan acara resepsi yg dengan adat jawa.

    Menurut saya, ini dikarenakan adanya ritual oleh perangkai bunga / rias penganten, yg setahu saya memang ada ritual khusus utk mereka (kejawen). Memang tidak semua tukang rias menggunakan ritual khusus, saya dengar2 ritual ini supaya penganten dan keluarga tidak lekas cape dan supaya tamu bayak yg datang, dan tujuan2 lain. Walaupun sebagian besar org2 hanya menganggap ini adalah adat yg harus dilestarikan, tetapi menurut saya kok tetap salah bekerjasama dng kekuatan kuasa gelap, pasti minta imbalan walaupun tdk tahu / tdk percaya.
    Makanya dikenal kalau di Jawa ada istilah “kena sawan manten”. Benar itu ada dan itu sakit karena kuasa setan yg berasal dari tempat resepsi pernikahan adat Jawa.

    Terimakasih dan saya mohon petunjuk

    • Salam Antonius,

      Saya setuju sepenuhnya dengan Anda, bahwa sebaiknya tidak usah memakai ritual yang mengundang setan dalam kegiatan apapun. Doa secara agama kita penuh kuasa melebihi segala kuasa lain. Mungkin juga bukan sepengetahuan keluarga penganten jika ternyata juru paes yang mereka sewa memakai kuasa kegelapan. Maka Anda yang memiliki kepekaan mengenai hal ini berkewajiban moral untuk mendoakannya dan memasrahkan segalanya pada Allah, agar semuanya berjalan baik sesuai kehendak Allah sendiri. Saya yakin, doa Anda pasti berkenan pada Allah.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  4. Romo Santo yang terkasih,
    Saya orang dari suku Jawa, saya ingin menanyakan beberapa adat di Jawa yang menurut saya adalah tidak benar tetapi mengapa banyak orang Katolik yang masih melakukan dan mempercayainya:

    1. Pada saat peringatan orang sudah meninggal (1 th, 2 th, dan 1000 hari), mengapa masih digunakan adat2, yang saya sendiri merasakan bahwa seperti ketika kita memasang dupa hio, sesaji, bunga tabur, maka kuasa kegelapan justru akan datang (kebetulan Tuhan memberi kepada saya anugerah untuk merasakan adanya kuasa gelap, dan kekuatan kebaikan melalui telapak tangan kiri dan kanan : misal orang kerasukan, sakit karena kuasa gelap, tangan kiri saya yang berdenyut, dan kalau di altar gereja air suci, benda2 devosi tangan kanan saya yang berdenyut ).
    Ada yang aneh, ketika saya doakan seperti bunga2 tabur itu menjadi tidak wangi lagi dan agak busuk. Bunga tabur kan tidak semua diperciki air suci. Saya sebenarnya sangat setuju, asal kalau itu hanya mendoakan jiwa2 di api pencucian. Apakah saya yang salah, anugerah ketajaman indra saya salah?

    2. Yang saya tahu jimat2 seperti keris, cincin akik, tombak, penglaris di toko (seperti yang dikatakan sdr Constantine) yang didapat dari dukun / paranormal, sebetulnya pasti ada kontrak (tumbal) dengan kuasa kegelapan, entah itu kontrak kematian anak/istri/cucu/cicit. (minimal upah dengan memberikan sesaji, tetapi ketika lupa bisa nagih hal2 lain ). Kalau setahu saya orang serumah wajib mengingatkan karena ikut menanggung efeknya (sakit, emosi tinggi)..
    3. Romo Santo, saya sebenarnya ingin bisa kontak langsung dengan Romo, karena saya sendiri banyak pergumulan hidup dengan kuasa kegelapan.

    Terima kasih atas perhatiannya.
    Salam, Tuhan memberkati

    • Salam Antonius,

      1. Sudah ada norma atau kaidah liturgi penggunaan simbol adat budaya setempat dalam liturgi. Komisi Liturgi di keuskupan masing-masing diharapkan membuat pedoman menurut situasi setempat. Penggunaan bunga tabur untuk diberkati dan ditabur sudah diatur dalam buku “Tata Laksana Pemberkatan Jenazah” dan “Ibadat Arwah”. Sebaiknya mengikuti saja apa yang digariskan dalam buku pedoman tersebut sesuai maksud pemaknaannya secara Katolik. Jenis dan jumlahnya pun tidak berlebihan, hendaknya proporsional.

      Pemaknaan simbol bunga tabur ada dalam doa-doanya ketika imam memberkatinya, yang intinya agar iman, harapan dan kasih almarhum menjadi bagaikan persembahan yang harum mewangi seperti bunga-bunga itu. Secara praktis, wangi bunga memang dimaksud untuk memberi suasana nyaman yang mengatasi bau jenazah atau formalin yang kurang nyaman.

      Sedangkan hio yang dibakar dimaksudkan secara praktis sebagaimana bunga, namun juga untuk menyimbolkan permohonan kita yang naik ke hadirat Allah (asap yang naik ke udara).

      Jadi, setiap simbol harus diarahkan ke makna ajaran iman Katolik sejauh bisa. Jika tidak bisa, tidak usah dipakai. Lagipula semua itu harus diberkati imam, agar membawa suasana keselamatan pula, sehinggga tangan Anda yang kanan-lah yang berdenyut. Saya kira Anda tidak perlu terganggu merasa bersalah dengan anugerah kepekaan yang Anda miliki sekarang ini. Semoga makin memantapkan iman dan pujian kepada Allah yang Mahabaik pada Anda.

      2. Saya setuju dengan Anda bahwa sebaiknya kita saling mengingatkan dalam hal ini. Gereja mempunyai buku “Aneka Pemberkatan”, yang di dalamnya memuat upacara sakramentali untuk memusnahkan barang jimat. Jika ada barang dari kuasa jahat, hendaknya dimusnahkan dengan upacara sakramentalia tersebut.

      3. Karena tugas saya tidak di bidang pelayanan yang Anda maksud, maka saya sarankan agar Anda mencari informasi pada pastor atau uskup di keuskupan Anda, siapakah imam yang bertugas menangani eksorsisme, atau pelayanan doa. Anda seharusnyalah berkonsultasi kepada mereka. Namun tak ada salahnya juga jika Anda berniat menemui saya untuk berkenalan karena kita bisa saling berbagi pengalaman iman.

      Salam

      Yohanes Dwi Harsanto Pr

      • Terima kasih Romo Santo, atas penjelasannya.
        Saya percaya kalau Tuhan menghendaki kita pasti bisa bertemu. Tuhan memberkati …

        Salam,

        antonius

  5. Kepada tim Katolisitas,

    Saya ingin meminta pandangan tentang hidup berkeluarga dengan latar belakang iman yang berbeda.
    Istri saya seorang Katolik, namun dibesarkan dengan pengaruh kebudayaan Tionghoa, agama Konghucu, dan sedikit pengaruh budaya Sunda. Keluarga istri saya boleh disebut keluarga yang didikannya keras, bahkan ayahnya tidak suka untuk ditentang.

    Kadang saya sering mengalami pertentangan dengan keluarganya namun saya hanya menyimpannya di dalam hati.

    Beberapa hal misalnya:
    1. Pamali, beberapa pamali misalnya, dilarang mancing, memaku, berkata-kata sembrono jika istri sedang hamil. Memang yang terakhir sepertinya baik untuk dilaksanakan namun tujuannya sudah dicampuradukkan ke dalam tahayul.
    Mengenai pamali ini saya pernah beradu argumen namun istri saya marah, katanya apa ada salahnya melakukan hal tersebut toh tujuannya kan baik daripada suatu hari menyesal gara-gara hal pantangan yang dilanggar tersebut.

    2. Suatu hari pernah malam-malam memutar jalan, karena jalan utama terkena longsor. Saat melewati jembatan dia mengucapkan permisi kepada “makhluk penunggu” bahwa ia mau lewat. Sehingga istri saya takut akan hal-hal mengenai hantu.

    3. Jimat. Di laci toko ayah istri saya ada uang yang dibungkus plastik, dan dilarang dibuka, katanya jimat. Namun tidak ada ritus-ritus tertentu, namun tetap saja benda tersebut dijimatkan oleh mereka sendiri,

    4. Penentuan tanggal perkawinan kami dihitung berdasarkan shio. Saya sendiri masa bodoh dengan menentukan tanggal perkawinan, saya toh hanya mengormati mereka. Dalam hal-hal tertentu yang penting ayah istri saya suka menanyakah hari baik, misalnya dalam menentukan tanggal perkawinan, kapan membangun gudang, dsb.

    Saya sungguh terganggu oleh hal-hal tersebut karena saya sebagai Katolik ingin menjadi orang Katolik seutuhnya. Namun hal-hal tersebut selalu ada dan menjadi dilema, saya selama ini hanya diam saja tanpa menentang ayah istri saya daripada merusak hubungan dengan mereka.

    Pertanyaan saya:
    1. Kiranya bagaimana melepaskan mereka dari hal tahayul tersebut?
    2. Apakah tanggal perkawinan kita yang ditentukan berdasarkan shio, akan menimbulkan kutuk? Karena bukan kehendak saya dalam menentukan tanggal perkawinan. Penentuan tanggal perkawinan yang ditanyakan kepada “tukang hitung” adalah keinginan dari ayah istri saya, keluarga saya hanya mengikuti karena alasan menghormati saja.

    • Salam Constantine7

      Semua hal yang kita lakukan dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus, pastilah akan diberkatiNya. Karena itu, walaupun Anda ada dalam budaya pamali dan takhayul, percayalah bahwa tidak akan ada kutuk karena iman Anda akan Yesus Kristus. Anda tetap menjadi Katolik yang baik. Anda tak bisa melepaskan keyakinan mereka akan takhayul, sebagaimana mereka tak bisa melepaskan keyakinan Katolik Anda. Maka baiklah hidup berdamai dengan orang-orang itu. Seperti halnya Anda bisa hidup dengan orang beragama lain, maka demikianlah juga anda dapat hidup dengan orang yang berpola hidup berkeyakinan takhayul. Hanya saja, kita tidak memakai cara-cara mereka. Semoga dengan melihat cara-cara Anda yang masuk akal dan hidup penuh kasih, maka mereka justru akan mendengarkan Anda. Jangan biarkan roh pemecah mempengaruhi Anda terlalu jauh sehingga ketika Anda mempersoalkan pamali-pamali yang kecil-kecil, justru keluarga retak. Perasaan terganggu oleh pamali-pamali itu bisa Anda atasi. Sambil dengan penuh prihatin menyaksikan mereka repot-repot dengan remeh-temeh takhayul, Anda bisa melakukan pekerjaan dan tugas pokok Anda, tanpa menyinggung perasaan mereka. Anda bisa tunjukkan lawan tak terkalahkan dari pamali dan takhayul yaitu doa-doa Katolik, dan kasih pengorbanan Anda kepada keluarga.

      Salam
      Yohanes Dwi Harsanto Pr

  6. berkaitan tentang adat istiadat, khususnya daerah Sunda dan tercampur dengan budaya Tionghoa..
    terdapat aturan pamali..

    contohnya:
    1. ketika istri hamil dilarang memaku (memasang paku dengan palu)
    2. ketika istri hamil dilarang memancing
    3. ketika istri hamil dilarang melayat orang yang meninggal
    4. setelah melayat dilarang masuk kamar, harus mandi dahulu, baru boleh masuk kamar

    aturan-aturan ini tidak pernah saya ketahui sebelumnya, dan hal-hal tersebut berasal dari keluarga istri saya.

    Secara pribadi saya menolak mempercayai hal-hal tersebut karena tidak masuk di akal dan berbau tahayul.

    Bagaimana menyikapinya, jika dengan melakukan ‘pamali’ tersebut justru akan memperburuk hubungan dengan keluarga istri saya yang mempercayainya (kebetulan non-Kristen)?

    • Salam Constantine7,

      Saya setuju bahwa Anda wajib untuk tidak memercayai keyakinan yang sia-sia itu (pamali, dan semacamnya). Secara akal sehat, semua itu gugur di hadapan logika akal budi. Bagi orang yang sudah tercerahkan (karena informasi dan pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di era modern), tentu hal-hal itu juga sudah tidak dipercaya lagi.

      Namun demikian, sebaiknya Anda bersikap bijaksana dalam menanggapinya. Tetap menyatakan kebenaran dan keyakinan, namun tidak frontal dan kalem serta ceria saja. Paling tidak, dengan hubungan baik yang tetap terjalin, Anda bisa mulai merangsang logika mereka, dengan menanyakan konteks dan alasan adanya pamali. Dengan demikian, mereka pun akan berpikir ulang mengenai budayanya. Semoga mereka sendiri akan menjadi bertanya-tanya dan belajar, mencari tahu inti budaya setempat, mengapa ada pamali. Siapa tahu jika diketahui inti kerinduan budaya tersebut, malahan membuahkan pewartaan Kabar Gembira bagi mereka seperti halnya Paulus ketika berdialog secara damai mengenai budaya orang Athena (Kisah Para Rasul 17:16-34).

      Namun jika hal itu belum sanggup Anda lakukan, sebaiknya Anda mengikuti nasehat St Paulus ketika dia (diperkirakan tahun 0057-0058 M) menghadapi umat Roma yang terdiri dari orang eks Yahudi dan eks kafir yang keduanya kadang-kadang saling meremehkan. Saya mohon Anda membaca surat Paulus kepada jemaat di Roma 12: 9-21. Khususnya pada ayat 10, 12, 15 dan 18: “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yg menangis. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa. Sedapat-dapatnya jika itu tergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang”.

      Salam: Rm Yohanes Dwi Harsanto Pr

      • Terima kasih romo..

        Doakan supaya terang Kristus lah akhirnya yang menerangi mereka dan membawa kami semua kepada-Nya.

  7. terima kasih Romo Santo atas jawaban yang diberikan. pengetahuan saya bertambah. pertanyaan tentang primbon tersebut muncul karena ada penafsiran dari bebrapa orang di lingkungan saya yang menurut saya bertentangan dengan iman katolik. semoga dengan modal pengetahuan ini saya bisa hidup lebih baik bertumpu kepadaNya dan bisa sharing dengan teman2 saya yang butuh diskusi mengenai hal ini.
    Crescat et floreat in nomine Iesu!!

    Salam Damai Kristus,

    Stefanus Arbi

  8. mo saya mau tanya knpa saya memohon mukjisat dari tuhAN lewat novena seakan tidak di jawab

    • Shalom Antonius Fery,
      Kadang Tuhan memang mengizinkan terjadinya masalah dalam kehidupan kita, untuk membentuk kita menjadi orang yang tekun, setia dan terus mengandalkan Tuhan. Di samping itu, kita juga harus menjalankan bagian yang harus kita lakukan. Maka jika pergumulan itu tentang dosa tertentu, maka kitapun harus berjuang untuk meninggalkan dosa tersebut. Jika itu masalah keluarga, kita juga harus melakukan bagian kita, dengan mau mengampuni dan mencari jalan keluar bersama. Jika itu masalah keuangan dan pekerjaan, tentu kita karus melakukan bagian kita dengan bekerja keras dan lurus sesuai dengan kehendak Tuhan. Demikian seterusnya.
      Taat, tekun berdoa dan jangan menyerah, itulah yang harus terus kita perjuangkan sepanjang hidup kita. Jadi jangan putus asa, andalkanlah juga rahmat Tuhan dalam sakramen- sakramen. Sudahkah anda rajin menerima Kristus dalam Ekaristi, dan teratur mengaku dosa dalam Sakramen Tobat? Sudahkah anda memeriksa diri anda sendiri, akan apakah ada dosa/ kesalahan yang belum anda akui di hadapan Tuhan dan jika sudah, langkah apa yang anda lakukan untuk memperbaiki diri?

      Tak ada yang mustahil bagi Allah, itu kita imani. Namun jangan lupa, kitapun perlu terus berusaha bekerja sama dengan rahmat Tuhan, agar kehendak-Nya dan rencana-Nya atas kita dapat terlaksana.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  9. Shalom,
    Sedikit sharing pengalaman. Saya berasal dari keluarga Jawa, meskipun kami sekeluarga Katolik, tetapi tetap menghargai nilai-nilai luhur Jawa. Bulan lalu kami baru saja memperingati 1000 hari meninggalnya ibu saya. Meskipun secara hitungan Jawa (primbon), seharusnya jatuh pada tanggal 7 Januari 2011, tetapi kami sekeluarga sepakat untuk memajukannya menjadi tanggal 30 Desember 2010, supaya semua bisa berkumpul pada hari liburan Natal & Tahun Baru. Jadi kami tetap melakukan peringatan 7 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari sebagaimana dianut adat Jawa.
    Namun intinya adalah iman Kristen-Katolik, jadi yang utama adalah Misa Kudus dalam setiap peringatan tersebut guna memohonkan pengampunan / pelunasan siksa di Api Penyucian agar arwah ibu kami segera beroleh kebahagiaan kekal di Surga. Segala bentuk simbol/lambang seperti batu nisan, bunga tabur bahkan pelepasan burung dara diperciki air suci oleh Pastor, sebagai tanda kasih dan kesetiaan dalam kesatuan keluarga dengan Tuhan. Kami bahagia dengan adanya inkulturasi ini, kami bisa mengasihi dan mengimani Tuhan sekaligus bisa tetap menjalankan adat Jawa sepanjang tidak bertentangan dengan iman Katolik.

    Terima kasih.
    Joseph S.

  10. Saya ingin bertanya, bagaimana tanggapan Gereja Katolik Indonesia terhadap agama dengan kepercayaan masyarakat yang berinkulturasi,misalnya primbon? apakah primbon dsb merupakan penyimpangan ajaran Gereja? Terima kasih atas kesempatan untuk bertanya dan dijawab.

    [Dari Katolisitas: Pertanyaan ini sudah dijawab di atas, silakan klik]

Comments are closed.