Pendahuluan
Ada suatu percakapan antara dua orang ibu, Tina dan Suti. Tina bertanya kepada Suti “Anak kamu kalau sudah besar ingin menjadi apa?” Suti menjawab, anakku ingin menjadi dokter bedah. Bagaimana dengan anak kamu yang selalu juara, Tina?” Kemudian Tina menjawab “Anakku ingin menjadi pastor.” Suti terdiam, dan perlahan-lahan berkata “Ehm… sayang juga ya, pintar-pintar kok mau jadi pastor.”
Disinikah kita melihat, seolah-olah kalau yang bagus dan baik, jangan menjadi pastor. Padahal kita melihat di Alkitab bahwa hanya yang terbaik sajalah yang dipersembahkan kepada Allah. Kita melihat bagaimana pemilihan kurban bakaran selalu memilih kurban yang terbaik (Im 14:10). Minyak yang dipakai di bait Allah, juga minyak yang terbaik (Bil 18:12). Hanya yang terbaiklah yang dapat kita persembahkan kepada Tuhan, termasuk imam.
Kalau kita renungkan, kita dapat mengatakan bahwa keberhasilan suatu paroki dalam membina umatnya dapat diukur dari berapa banyak kaum muda yang menjawab panggilan menjadi pastor dari paroki yang bersangkutan. Semakin baik kehidupan spiritual paroki tersebut, maka akan semakin banyak kaum muda yang terpanggil menjadi pastor, karena keinginan untuk menjadi pastor dimulai dari keluarga dan juga dari lingkungan gereja. Jadi hal pertama yang perlu kita renungkan adalah: berapakah yang menjadi pastor dari parokiku? Kalau jawabannya tidak ada, maka perlu dipikirkan bagaimana untuk menggalakkan panggilan, sehingga putera-puteri yang terbaik dari paroki masing-masing dapat menjadi pastor atau suster.
Bukan engkau yang memilih-Ku, namun Aku yang memilihmu
Namun yang terbaik menurut ukuran kita, bukanlah yang terbaik untuk ukuran Tuhan. Jadi, kalau mau ditanya siapa yang layak untuk menjadi pastor? Jawabnya adalah “tidak ada yang layak.” Namun, di tengah ketidaklayakan inilah, Tuhan memilih mereka, sama seperti Tuhan memilih Daud (1 Sam 16:6-13). Nabi Samuel berfikir dan ingin mengambil keputusan berdasarkan penilaian panca indera. Namun dikatakan bahwa Tuhan melihat hati. Dan karena inilah, Tuhan memilih Daud, seorang yang berkenan di hati-Nya(1 Sam 13:14).
Imam dengan segala suka dukanya
Mungkin kita sering melihat ada beberapa imam yang sudah ditahbiskan yang tidak memberikan contoh yang baik kepada umatnya. Dan kita sering mengatakan bahwa mereka juga manusia biasa, yang tidak lepas dari dosa. Hal ini memang ada benarnya, sama seperti para rasul yang dipilih oleh Yesus sendiri, mereka juga manusia biasa, sederhana, namun dipilih oleh Tuhan secara khusus menjadi rasul. Apakah semua rasul-Nya setia? Tidak, karena Yudas terbukti menghianati Yesus. Demikian juga dengan para imam jabatan (pastor), yang dipilih oleh Tuhan secara khusus, ada dari mereka yang karena kelemahan mereka tidak dapat berpartisipasi secara baik dalam imamat Kristus. Namun apakah semuanya atau banyak imam yang demikian? Tentu tidak! Bahkan kita dapat melihat betapa banyak imam yang hidupnya tulus dan sungguh menjadi cerminan kasih Kristus. Mereka adalah tanda kehadiran Kristus yang menyertai Gereja-Nya dan pengorbanan mereka sungguh menjadi teladan bagi kita untuk juga mau berkorban dan menyerahkan diri kepada sesama.
Mari kita renungkan sejenak, kalau melihat takaran dunia, apa yang menarik dari kehidupan para imam? Mereka tidak boleh menikah, diberi uang saku ala kadarnya, harus menuruti perintah atasan. Kalau mereka sudah hidup baik dan menyesuaikan diri dengan orang-orang di parokinya, maka atasannya memindahkan mereka, bahkan kadang ke tempat yang terpencil, yang tidak ada listrik dan transportasi yang mencukupi. Kalau mereka tinggal di dalam komunitas, mereka tidak dapat memilih teman satu rumahnya, sedangkan kita minimal masih dapat memilih teman hidup. Kalau mereka jarang ngobrol dengan umat, dibilang pastornya menjaga jarak, namun kalau pastornya akrab dengan umat, dibilang bahwa pastornya cari perhatian atau malah digosipin dekat dengan seseorang. Kalau ada yang sakit parah, maka pastor harus bergegas memberikan sakramen perminyakan orang sakit, tidak peduli jam berapa. Bukankah serba susah untuk menjadi pastor? Kadang saya pikir-pikir, pelayanan ini jauh lebih sulit daripada orang yang bekerja di kantor. Apa rahasianya, sehingga mereka dapat melakukan hal yang demikian? Ya, karena rahmat dan kasih Allah! Dan memang, tanpa mengandalkan rahmat kasih Allah itu, sungguh sangat sulit untuk menjadi pastor. Tetapi bersama Allah, lihatlah, betapa indah dan ajaibnya buah hasil kerja mereka: banyak orang dapat menyadari akan kehadiran Allah yang hidup. Banyak orang tergerak untuk mengenal dan mengasihi Allah, yang mengantar mereka kepada keselamatan kekal! Manusia biasa tak akan sanggup melakukan hal ini, sebab urusan mengubah hati itu hanya pekerjaan Tuhan, namun berbahagialah para pastor yang dipakai Allah untuk menjadi alat-Nya yang istimewa untuk pekerjaan Tuhan ini.
Syukur kepada Tuhan, di tengah-tengah tantangan yang besar ini, banyak kaum muda yang menjawab panggilan Tuhan ini dengan besar hati. Memang, para imam hanya dapat bertahan kalau mereka benar-benar menyadari akan hakikat mereka sebagai orang-orang pilihan Tuhan. Sama seperti sakramen perkawinan yang hanya dapat bertahan jika suami istri mempunyai komunikasi yang baik, demikian juga dengan Sakramen Imamat, para pastor akan bertahan dalam berkat imamatnya, kalau mereka mereka mempunyai komunikasi yang baik dengan Tuhan. Tanpa bertekun dalam doa, dan berani memberikan dirinya untuk orang lain, maka pastor tidak akan dapat memenuhi pelayanannya sesuai dengan yang Tuhan percayakan kepada mereka.
Imam bersama dan Imam tertahbis
Mari sekarang kita melihat hakikat dari Sakramen Imamat. Di artikel pengakuan dosa bagian-2, telah dibahas tentang imam bersama dan imam tertahbis. Seperti yang kita tahu, bahwa dengan Sakramen Baptis, kita semua menjadi imam, nabi, dan raja (lihat artikel: Sudahkah kita diselamatkan?). Walaupun panggilan sebagai imam belaku untuk semua yang sudah dibaptis, namun Tuhan menunjuk orang-orang pilihan-Nya untuk menjadi imam tertahbis (imamat jabatan).[1]
Dalam Perjanjian Lama.
Kel 19:5-6, menyatakan bahwa Tuhan memerintahkan Musa untuk memberitahukan kepada seluruh umat Israel, bahwa kalau mereka berpegang pada perintah Tuhan, mereka akan menjadi umat kesayangan, kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Di samping mengangkat Israel sebagai kerajaan imam, Perjanjian Lama juga mengatakan bahwa suku Lewi dipersiapkan secara khusus sebagai imam (Bil 3:5-13). Apakah kedua ayat di atas bertentangan? Tidak, sebab secara umum memang bangsa Israel dipersiapkan Tuhan menjadi imam dan bangsa yang kudus, namun secara khusus, Tuhan juga menunjuk suku Lewi untuk menjadi imam dan menjalankan tugas yang berhubungan dengan korban dan persembahan. Suku Lewi yang ditunjuk secara khusus oleh Tuhan untuk menjadi imam (imamat jabatan) melayani umat yang lain atau imam secara umum (imamat bersama). Hal yang sama dapat diterapkan di dalam ajaran Gereja Katolik. Gereja Katolik mengenal adanya dua imamat: (1) Imamat jabatan dan (2) imamat bersama. Dimana imamat jabatan melayani imamat bersama.[2]
Dalam Perjanjian Baru
Yesus tidak pernah melarang perantaraan imam sejauh hal tersebut berpartisipasi dalam karya keselamatan Yesus. Pada saat Yesus menyembuhkan sepuluh orang kusta, Yesus menyuruh mereka untuk memperlihatkan diri mereka kepada para imam (Luk 17:12-14) agar para imam dapat menyatakan mereka tahir. Rasul Petrus juga mengajarkan tentang partisipasi dalam karya keselamatan Tuhan, yaitu setiap dari kita menjadi batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi imamat kudus (1 Pet 2:5). Lebih lanjut Rasul Petrus menegaskan bahwa semua umat Allah adalah bangsa terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, kepunyaan Allah sendiri (1 Pet 2:9). Pemilihan bangsa Israel sebagai bangsa pilihan untuk mendatangkan keselamatan pada bangsa-bangsa lain membuktikan bahwa Tuhan menggunakan ‘perantara’ untuk melaksanakan rencana-Nya.
Yesus adalah Imam yang sejati dan selamanya
Dari konsep imam di Perjanjian Lama dan Perjanjian baru, kita melihat bahwa imam di Perjanjian Lama adalah merupakan persiapan untuk imam yang lebih sempurna di Perjanjian Baru, yang dipenuhi di dalam diri Kristus, imam menurut peraturan Melkisedek, yang sempurna, yang berlangsung untuk selamanya (Ibr 5:1-10). Dengan pengorbanan Kristus di kayu salib, maka Yesus telah melengkapi semuanya, baik sebelum kedatangan-Nya, pada waktu kedatangan-Nya, dan setelah kedatangan-Nya. Pertanyaannya, apakah dengan mengakui Yesus sebagai Imam satu-satunya menutup kemungkinan adanya imam yang lain? Sama seperti penjelasan tentang imam jabatan di dalam Perjanjian Baru dan Perjanjian lama, maka imam-imam jabatan hanyalah menjadikan Imam yang abadi, yaitu Kristus untuk hadir kembali tanpa menghilangkan keunikan imamat Kristus. Imam-imam yang ditahbiskan hanyalah menjadi pelayan dari Imam satu-satunya, yaitu Kristus.[3]
Mungkin ada yang merasa berkeberatan dengan hal ini. Namun kita dapat melihat bahwa Yesus adalah satu-satunya perantara antara Allah dengan manusia. Jadi doa-doa yang kita panjatkan didaraskan dalam nama Yesus. Namun bukankah kita sering meminta seseorang yang kita anggap punya hubungan baik dengan Tuhan untuk juga mendoakan permasalahan kita? Apakah dengan demikian kita menghilangkan keagungan Yesus yang menjadi satu-satunya Perantara kita dengan Allah? Tentu saja tidak, karena semua orang yang mendoakan kita turut berpartisipasi dalam karya keselamatan Kristus. Jadi sampai tahap ini, kita menyetujui bahwa imam yang tertahbis tidak menghilangkan keagungan dan kebenaran bahwa Kristus adalah satu-satunya Imam Agung.
Dan berdasarkan pembuktian di atas dalam Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, kita tahu bahwa Tuhan telah menjadikan seluruh umat Allah menjadi imam. Namun Yesus menunjuk secara khusus imam yang ditahbiskan untuk melanjutkan karya-Nya di dunia ini sampai akhir jaman, dan juga untuk melayani imam bersama.[4]
Apakah Sakramen Imamat?
Imamat jabatan:
Katekismus, 1536 menyebutkan bahwa Tahbisan adalah suatu Sakramen, di mana perutusan yang dipercayakan Kristus kepada Rasul-rasul-Nya, dilanjutkan sampai akhir zaman. Dari sini jelas, bahwa konsep Gereja bukan hanya tak kelihatan, namun juga kelihatan. Namun demikian, hal yang tak terlihat (spiritual) dan terlihat, tak dapat dipisahkan, sama seperti tubuh dan jiwa manusia tak terpisahkan. Dalam hal struktur yang terlihat (Sakramen) ini, terdapat bagian, yaitu: episkopat, presbiterat, dan diakonat.
Episkopat atau uskup adalah penerus dari para rasul, yang diutus oleh Yesus sendiri. Sama seperti Yesus menunjuk rasul Petrus, sebagai kepala dari para murid, maka uskup Roma menjadi penerus dari rasul Petrus menjadi kepala dari seluruh Gereja di seluruh dunia.[5] Sedang para uskup adalah pemimpin dari gereja lokal, yang dibentuk menurut gambaran Gereja universal (semesta) dan dalam kesatuan dengan Bapa Paus.[6] Dan pembantu dari uskup adalah para pastor (presbiterat), yang biasanya membawahi paroki. Sedangkan diakonat diperbantukan untuk membantu pelayanan para pastor dan uskup. Diakonat dan presbiterat ditahbiskan oleh uskup, sedangkan uskup ditahbiskan oleh para uskup yang lain dengan persetujuan dari uskup Roma, atau Paus. Dari sinilah, kita melihat bahwa seluruh tahbisan di Gereja Katolik saling terkait dan dapat ditelusuri sampai kepada para Rasul, yang diutus oleh Yesus sendiri. Karena inilah maka salah satu ciri Gereja Katolik adalah apostolik (berasal dari para Rasul).
Imamat bersama:
Pada saat kita dibaptis, maka kita juga dipanggil untuk menjadi imam, nabi dan raja. Melalui baptisan, kita juga harus menjadi imam, yaitu dengan menjadi saksi Kristus yang baik, hidup menurut iman, pengharapan, dan kasih. Melalui kesaksian hidup kita, maka kita akan menjadi pancaran terang kasih Kristus, sehingga secara tidak langsung, kita berpartisipasi untuk membawa umat yang lain kepada Sang Imam Agung, yaitu Kristus. Dan cara kedua untuk menjalankan imamat bersama adalah dengan mengikuti perayaan Ekaristi. Dimana dengan persiapan, dan partisipasi aktif, kita semua menyatukan persembahan kita, suka duka kita, dan kehidupan kita dalam kurban Ekaristi.
Imam Jabatan dan Imam bersama berjalan berdampingan untuk membangun Gereja.
Yang menjadi masalah adalah kalau ada orang yang mencoba mencampuradukkan kedua jenis imamat ini. Imam jabatan semakin ingin menyatu dengan umat, dan mengaburkan identitasnya. Dan imam bersama begitu antusias untuk berpartisipasi di pelayanan, sehingga juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan imam jabatan. Padahal, baik imam jabatan maupun imam bersama mempunyai identitas sendiri-sendiri dan keduanya mempunyai tujuan untuk membangun jemaat Allah. Imam bersama terjun ke masyarakat dan menjadi garam di tengah-tengah masyarakat yang nilai-nilainya belum tentu sesuai dengan nilai-nilai kristiani. Sedangkan imam jabatan membangun dan melayani imam bersama, sehingga imam bersama akan semakin dikuatkan untuk menjadi saksi yang hidup di tengah masyarakat.
Imam Jabatan yang melanjutkan tiga misi Kristus: Imam, Raja, dan Nabi
Sebagai Imam, para imam melanjutkan karya Kristus dengan merayakan sakramen dan memimpin umat di dalam liturgi, terutama di dalam liturgi Ekaristi. Di sinilah peran imam menjadi begitu jelas, yang mewakili Kristus (persona Christi) untuk menghadirkan kembali kurban Paskah Kristus. Mereka memberikan sakramen Baptis, Penguatan, Pengakuan Dosa, Sakramen Perminyakan, dan memberikan penguburan kepada yang meninggal. Dalam kesehariannya, mereka juga berdoa brevier, doa yang menjadi doa Gereja.
Sebagai Nabi, para imam melaksanakannya dengan berkotbah, mengajar di sekolah atau persiapan Pembaptisan. Secara prinsip seorang pastor harus menyampaikan kebenaran, yang bersumber pada Kitab Suci, Tradisi Suci, dan Magisterium. Imam yang menyampaikan ajaran yang dianggapnya benar namun tidak berdasarkan tiga pilar kebenaran di atas, sebenarnya tidak menjalankan fungsinya sebagai nabi. Karena sebagai nabi, dia hanyalah meneruskan Kebenaran kepada umat, bukan mengarang kebenaran, berdasarkan pendapat pribadi, atau berdasarkan suara umat, karena kebenaran tidak tergantung dari suara terbanyak.
Sebagai Raja, para pastor melaksanakannya dengan pelayanannya di bidang kepemimpinan umat, baik di paroki atau komunitas yang dipercayakan kepada mereka. Mereka bekerja sama dengan dewan paroki, sehingga kegiatan paroki dapat berjalan dengan baik
Uskup, Imam, dan diakon menurut Bapa Gereja
Mungkin ada yang berfikir bahwa uskup, imam dan diakon hanyalah karangan Gereja Katolik semata. Namun kalau kita melihat sejarah dan belajar dari para bapa Gereja, maka kita akan melihat, bahwa sebenarnya semua itu berakar pada tradisi.
- Ignasius dari Antiokia (AD. 110): “Sekarang, sungguh merupakan kehormatan bagiku untuk bertatap muka denganmu secara pribadi dengan uskup (bishop) yang diberkati Tuhan, Damas; dan juga bertemu secara pribadi dengan para imam (presbyters), Bassus dan Apollonius l dan teman satu pelayanan, diakon, Zotion. ..” (Letter to the Magnesians 2).
- Ignasius dari Antiokia (AD. 110): “Perhatikanlah untuk melakukan segala sesuatu selaras dengan Tuhan, dengan uskup menempati posisi Tuhan dan dengan para imam di posisi para murid, dan dengan para diakon, yang paling dekat denganku, yang dipercaya dengan pelayanan Kristus, yang berasal dengan Allah Bapa sejak permulaan dan yang pada akhirnya telah dinyatakan (ibid, 6:1).
- Ignasius dari Antiokia (AD. 110): “Perhatikanlah, untuk menyelaraskan diri dalam perintah-perintah Allah dan para murid, sehingga di dalam setiap perbuatanmu, kamu dapat berhasil, baik di dalam tubuh maupun jiwa, baik dalam iman dan kasih, dalam Putera, Bapa dan dalam Roh Kudus, di awal dan di akhir, bersama dengan yang terhormat uskupmu; dan dengan para imam, yang terjalin secara baik dalam mahkota rohani; dan dengan para diakon, putera-putera Allah. Tunduklah kepada uskup dan satu sama lain seperti Yesus Kristus taat kepada Allah Bapa, dan para murid kepada Kristus dan Allah Bapa … (ibid, 13:1-2).
- Ignasius dari Antiokia (AD. 110): “Memang, engkau harus tunduk kepada uskup seperti engkau tunduk kepada Yesus Kristus, sudahlah jelas bagiku bahwa engkau hidup bukan dengan cara manusia namun di dalam Kristus, yang telah wafat untuk kita… Dengan demikian adalah penting …bahwa engkau tidak melakukan segala sesuatu tanpa persetujuan uskup, dan engkau juga harus tunduk kepada para imam, seperti kepada para murid Kristus…Adalah penting juga bahwa para diakon, pemberi sakramen-sakramen Kristus, dalam segala sesuatu menyenangkan semua orang. .. (Letter to the Trallians 2:1-3).
- Ignasius dari Antiokia (AD. 110): ” Setiap orang yang menghormati para diakon menghormati Kristus, dan juga yang menghormati uskup menghormati Allah Bapa, dan menghormati para imam sebagai perwakilan Allah dan persekutuan para murid. Tanpa hal tersebut, maka tidak dapat dikatakan sebuah Gereja. (ibid., 3:1-2).
- Ignasius dari Antiokia (AD. 110): “Dia yang ada di dalam tempat kudus adalah kudus; tetapi dia yang berada di luar tempat kudus adalah tidak kudus. Dengan kata lain, seseorang yang bertindak tanpa uskup dan imam dan para diakon tidak mempunyai hati nurani yang bersih” (ibid., 7:2).
- Ignasius dari Antiokia (AD. 110): “…saya berbicara dengan suara yang keras, suara dari Tuhan: “Perhatikanlah uskup dan imam dan para diakon“. Sebagian orang mengira bahwa saya mengatakan hal ini karena saya tahu adanya perpecahan di antara beberapa orang; namun Dia, yang menjadi alasan mengapa saya dirantai, menjadi saksi bahwa saya tidak mengetahuinya dari manusia; melainkan dari Roh yang membuatku mengatakan hal ini, ‘Jangan melakukan sesuatu tanpa uskup, jagalah badanmu sebagai bait Allah, cintailah persatuan, jauhkanlah dari perpecahan, turutilah Kristus, seperti Dia telah menuruti Allah Bapa” (Letter to the Philadelphians 7:1-2).
- Clemens dari Alexandria (AD. 191): “Banyak nasehat-nasehat untuk orang-orang tertentu telah ditulis di dalam Kitab Suci: sebagian untuk para imam, sebagian untuk para uskup dan para diakon; … (The Instructor of Children 3:12:97:2).
- Clemens dari Alexandria (AD. 208): “Di dalam Gereja, gradasi dari para uskup, para imam, dan para diakon terjadi sebagai suatu gambaran, menurut pendapatku, dari kemuliaan malaikat dan dimana susunan tersebut, seperti yang dikatakan di dalam Alkitab, menantikan orang-orang yang telah mengikuti langkah-langkah dari para murid dan yang telah hidup di dalam kepenuhan kebenaran menurut Kitab Suci” (Miscellanies 6:13:107:2).
- Origen (AD.234): “Tidak hanya perzinahan, namun juga perkawinan membuat kita tidak pantas untuk penghormatan ekklesiastikal; karena tidak juga seorang uskup, juga imam, atau seorang diakon, …” (Homilies on Luke, number 17).
- Konsili Elvira (AD. 300): “Para uskup, para imam, dan para diakon tidak dapat meninggalkan tempat mereka untuk keperluan dagang, dan mereka juga tidak dapat bepergian ke daerah-daerah, atau jual-beli untuk keuntungan mereka sendiri” (canon 18).
- Konsili Nicea I (AD. 325): “Sinode yang kudus dan besar telah mengetahui bahwa di beberapa daerah dan kota, para diakon memegang Ekaristi untuk para imam, dimana tidak ada dalam kanonik atau kebiasaan yang memperbolehkan bahwa mereka tidak mempunyai hak untuk memberikan Ekaristi atau Tubuh Kristus kepada mereka yang melakukan persembahan (dalam hal ini imam). Dan juga menjadi perhatian, bahwa beberapa diakon sekarang menyentuh Ekaristi sebelum para uskup. Biarlah praktek-praktek seperti itu harus dihentikan, dan biarlah para diakon bertindak sesuai dengan wewenangnya, mengetahui bahwa mereka adalah para pelayan uskup dan lebih rendah dari para imam, dan biarlah mereka menerima Ekaristi sesuai dengan urutan mereka, setelah para imam, dan baik uskup atau imam memberikannya kepada mereka.” (Canon 18).
Kenapa imam tidak menikah
Dari penjabaran di atas, kita melihat bahwa uskup, imam, dan diakon merupakan suatu tradisi dari jemaat awal yang terus berlaku sampai sekarang. Hal lain yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah mengapa imam tidak diperbolehkan untuk menikah? Apakah ini hanya merupakan karangan Gereja Katolik semata? Mari kita melihat bukti-bukti bahwa kaul kemurnian mempunyai dasar yang kuat:
- Para rasul telah menjalankan kaul kemurnian sebelum penderitaan Yesus, seperti yang dikemukakan oleh St. Petrus “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?” (Mat 19:27). Dan Yesus menjawab “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, atau istri (istri termasuk dalam terjemahan Douay Rheims, Vulgate and King James Bible) anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal (Mat 19:29). Meninggalkan segalanya dan istri disini, ditafsirkan sebagai tindakan untuk tidak melakukan lagi hubungan badan. Kalau kita mempelajari riwayat Mahatma Gandhi, beliau juga pada umur tertentu tidak menggunakan haknya sebagai suami demi untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Jadi, hal ini bukanlah sesuatu yang aneh.
- Di dalam Gereja perdana, karena terbatasnya kandidat yang belum menikah untuk diakon, imam, dan uskup yang, maka mereka dapat menikah sebelum ditahbiskan (lih. 1 Tim 3:1-4), namun mereka dituntut untuk mempraktekkan kaul kemurnian setelah ordinasi.
- Dokumen pertama yang menyatakan secara explisit tentang hal ini adalah Konsili Elvira di Spanyol tahun 306 dan Carthage tahun 390, serta dekrit dari Paus Siricius dan Innocent, sekitar akhir abad ke-4 dan awal abad ke-5. Semuanya itu menunjukkan bahwa hidup selibat setelah ordinasi bukanlah inovasi semata, namun merupakan hal yang telah dijalankan oleh para murid, bapa gereja, dan menjadi bagian dari tradisi. Paus Siricius mengatakan bahwa peraturan untuk hidup selibat dimaksudkan untuk memberikan segenap jiwa dan raga untuk Tuhan dalam kaul kesucian mulai dari hari ordinasi. Dan Konsili Carthage menekankan hidup selibat untuk meneruskan ajaran dan praktek hidup selibat seperti yang telah dijalankan oleh para rasul.
- Gereja Timur tidak lagi mempraktekan tradisi apostolik ini karena perubahan yang dilakukan di Konsili Trullo (sekitar abad ke-7), namun disebutkan bahwa hanya imam yang tidak menikah yang dapat ditahbiskan menjadi uskup, dan seorang iman tidak dapat menikah setelah dia ditahbiskan.
- Yang menjadi motif dari Konsili Trullo adalah begitu banyak penyimpangan, seperti simoni, penyimpangan kehidupan seksual para iman, atau masih menggunakan hubungan suami-istri walaupun sudah ditahbiskan. Menanggapi hal itu, Gereja Latin dibawah kepemimpinan St. Gregory VII mengambil jalan untuk menjalankan peraturan secara ketat, sebaliknya Gereja Timur mengambil cara untuk memperlunak peraturan tersebut. Cara yang sungguh patut dipuji dari St. Gregory VII membuahkan hasil dengan meletakkan pondasi yang kokoh, sehingga membuat Gereja berkembang pesat di abad 12-13.
- Alasan yang utama dari kaul ketaatan adalah seorang imam secara sakramental mewakili Kristus sebagai mempelai pria dari Gereja, sehingga tidaklah pantas bahwa dia sendiri mempunyai istri bagi dirinya sendiri.
- Jalan yang ‘sulit’ yang ditempuh oleh Gereja Katolik menambahkan kepadanya “motive of credibility” sebagai Gereja yang sejati. Sebuah doktrin yang bertentangan dengan kecenderungan alami tidak dapat diharapkan untuk bertahan selama 2000 tahun tanpa bantuan dari yang Ilahi.
Dari segi kepraktisan, kita dapat melihat bahwa dengan tidak menikah maka seorang imam dapat mencurahkan segenap hati, jiwa, dan pikirannya untuk melayani Tuhan dan sesama. Rasul Paulus sendiri memberikan nasehat ” Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya” (1 Kor 7:32). Dengan hidup selibat, seorang imam hanya memikirkan apa yang terbaik bagi Tuhan dan umat yang dipercayakan kepadanya.
Siapakah yang berani menjawab panggilan suci ini?
Pada kesempatan ini, saya ingin memberikan tantangan kepada kaum muda. Kalau engkau ingin memberikan dirimu secara khusus kepada Tuhan, mempunyai hati untuk melayani sesama, mengasihi Tuhan dan Gereja-Nya, pertimbangkanlah untuk menjadi imam. Menjadi imam adalah suatu berkat yang istimewa; sebab imam menjadi gambaran nyata atas kasih Kristus yang hidup bagi Gereja dan dunia ini. Yesus sendiri menjanjikan kelimpahan berkat bagi mereka yang menjawab panggilan-Nya ini, dan jika Yesus sendiri yang menjanjikannya, pasti Ia akan memenuhinya.
Saya juga ingin membagikan cerita tentang pemain sepakbola yang terkenal, yaitu Chase Hilgenbrinck. Dia yang sedang mempunyai karir yang hebat dan cerah, kemudian memutuskan untuk meninggalkan karirnya untuk menjadi pastor. Diperlukan suatu keberanian untuk menjawab panggilan Tuhan. Namun kita percaya bahwa berkat dari Tuhan tercurah dengan melimpah bagi orang yang mau menjawab panggilan-Nya. Siapakah yang mau menjadi Chase-chase yang lain? Siapakah yang mau menjawab seruan Tuhan “Siapakah yang akan Kuutus, dan siapakah yang mau pergi untuk Aku?” Siapa yang akan menjawab bersama nabi Yesaya “Ini aku, utuslah aku!” (Yes 6:8)
https://www.youtube.com/watch?v=aNgH_e8U0g8
Dan saya juga ingin mengundang seluruh pembaca untuk bersama-sama berdoa setiap hari untuk kekudusan para imam. Sebutlah satu-persatu imam yang kita kenal, dan mintalah Bunda Maria menuntun para imam agar mereka dapat semakin menyerupai Putera-Nya. Biarlah para imam dapat menjadi imam yang kudus, sehingga mereka dapat menjadi pancaran kasih Kristus.
Saya ingin mengutip puisi yang dibuat oleh Paus Yohanes Paulus ke-II dalam “Pastores Dabo Vobis“. Ia memohon agar Bunda Maria sendiri menjadi pelindung para imam:
O Mary,
Mother of Jesus Christ and Mother of priests,
accept this title which we bestow on you
to celebrate your motherhood
and to contemplate with you the priesthood
of, your Son and of your sons,
O holy Mother of God.O Mother of Christ,
to the Messiah-priest you gave a body of flesh
through the anointing of the Holy Spirit
for the salvation of the poor and the contrite of heart;
guard priests in your heart and in the Church,
O Mother of the Savior.O Mother of Faith,
you accompanied to the Temple the Son of Man,
the fulfillment of the promises given to the fathers;
give to the Father for his glory
the priests of your Son,
O Ark of the Covenant.O Mother of the Church,
in the midst of the disciples in the upper room
you prayed to the Spirit
for the new people and their shepherds;
obtain for the Order of Presbyters
a full measure of gifts,
O Queen of the Apostles.O Mother of Jesus Christ,
you were with him at the beginning
of his life and mission,you sought the Master among the crowd,
you stood beside him when he was lifted
up from the earth
consumed as the one eternal sacrifice,
and you had John, your son, near at hand;
accept from the beginning those
who have been called,
protect their growth,
in their life ministry accompany
your sons,
O Mother of Priests.Amen.
[1] Gereja Katolik , Katekismus Gereja Katolik, Edisi Indonesia., 787-796, 1268, 1546
[2] KGK, 1547.; Vatican II, Dogmatic Constitution on the Church: Lumen Gentium (Pauline Books & Media, 1965), 10.
[3] KGK, 1545, mengutip St. Thomas Aquinas dalam komentarnya di Ibrani 8:4.
[4] KGK, 1547
[5] KGK, 880-883.
[6] KGK 833, Lumen Gentium, 23.
Dear Katolisitas.
Saya ingin bertanya bagaimana contoh surat lamaran ke biara untuk menjadi postulan calon imam?
Terimakasih
Salam Kizito Denoel,
Jika Anda masuk biara maka Anda akan menjadi biarawan. Jika Anda ingin masuk seminari, maka Anda ingin menjadi imam. Jika Anda ingin menjadi imam yang biarawan, Anda bisa memilih tarekat imam biarawan. Sebenarnya intinya bukan pada rumusan atau format surat melainkan pada komunikasi yang baik. Anda mengkomunikasikan jati diri Anda kepada pemimpin biara atau seminari, menyatakan maksud, dan mohon bimbingan selanjutnya. Nyatakankah bahwa Anda mau dibimbing. Selanjutnya bisa bertemu langsung dengan pemimpin biara atau seminari dan mengikuti petunjuk beliau. Semoga membantu.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Kepada pengasuh, saya pernah membaca kalau sebelum Konsili Vatikan II pada hirarki Gereja Katolik terdapat jabatan Sub-Diakon. Apa saja tugas dan wewenangnya ? Mengapa jabatan ini dihapuskan ?
Terima Kasih
Davin yth
Subdiakon adalah tahbisan rendah/kecil untuk Lektor dan Akolit saat frater menjalani TOP (Tahun Orientasi Pastoral) diberi kewenangan untuk membaca sabda Tuhan sebagai lektor dan membantu membagi komuni sebagai Akolit.
salam
Rm Wanta
shalom tim katolisitas,
Saya mau tanya,bagaimana tata urutan acara sakramen imamat? Seperti kapan para calon imam bertelungkup dll. Juga peralatan-peralatan apa saja yang dibutuhkan dalam sakramen imamat? Mohon jawabannya, terimakasih.
Salam, Anneke
Salam Anneke,
Demikian ini unsur-unsur urutan upacara tahbisan imam:
sesudah Injil, pemanggilan calon imam, (Doa Penyerahan Orangtua Calon), Penerimaan Calon, Amanat/Homili, Penyelidikan Calon, Janji Setia, Doa Litani Para Kudus pada saat ini diakon bertelungkup dan yang lain berlutut, Penumpangan Tangan Uskup Pentahbis dan para konselebran, Doa Tahbisan, Pengenaan Kasula dan Stola, Pengurapan Tangan Imam Baru, Penyerahan Bahan Persembahan Hosti Anggur, Salam Damai, yang disusul dengan Liturgi Ekaristi yaitu Persiapan Persembahann, Doa Syukur Agung dll.
Salam dan Doa. Gbu.
Rm Boli.
shalom,
1.saya ingin bertanya, apakah jika ingin masuk ke seminari harus mempunyai pengetahuan yang luas tentang ajaran katolik selain daripada keinginan untuk menjadi imam?
2.apakah sekolah seminari mempunyai tahap atau peringkat-peringkat tertentu?
Yoseph yth
Masuk seminari harus memiliki kemampuan intelektual, kerohanian dan fisik yang sehat.
Tentu ada tahap tahap pembinaan, bukan peringkat.
Salam
Rm Wanta
Syalom Tim Katolisitas..
Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan :
1. Apakah seorang Imam yg telah tertahbis boleh berpindah ordo?
Contoh : Imam A dia pada awalnya ikut ordo Pr. Lalu setelah bertahun2 dia melayani sebagai imam Pr, mendadak dia mengundurkan diri dari pr & menjadi imam CM (sekali lg maaf, ini hanya contoh)
2. Kalau boleh, apakah dia harus ditahbiskan / menerima Sakramen Imamat ulang? Bagaimana tata cara & peraturan sebenarnya?
3. Setau saya, setelah imam (pada saat tahbisan) mengucapkan imamatnya, itu berarti sdh menjadi ikatan seumur hidup. Jika dia berpindah ordo, berarti dia tidak setia dgn jalan yg dia pilih di awal.
Mohon jawaban dr Tim Katolisitas
Trimakasih & Jesus bless u all
Chris Yth
Jawaban pertama, imam boleh pindah ke tarekat atau ke diosesan. Kedua, dia tidak ditahbiskan lagi. Jika dia berpindah ke tarekat/ordo bukan berarti dia tidak setia pada panggilan melainkan karena dia ingin memenuhi motivasinya yang dulu ada di dalam hatinya ketika mau menjadi imam. Tidak berdosa asalkan dia tetap setia dalam panggilannya dan bukan karena mencari kenyamanan duniawi.
salam
Rm Wanta
Syalom,
saya ingin bertanya,
1. bagaimana hendak penguatkan lagi semangat dan keinginan untuk menjadi seorang imam ?
2. apakah seseorang yang pernah berbuat dosa boleh menjadi imam?
Salam Yoseph,
1. Cara menguatkannya ialah dengan menghayati tradisi Gereja Katolik: berdoa harian, liturgi, dan bacaan harian, memiliki pembimbing rohani / bapa pengakuan yang tetap, perayaan Ekaristi, bacaan rohani, dan berkomunitas dan berbagi pengalaman iman.
2. Jika Tuhan memanggil maka pasti semua halangan bisa diatasi dengan kekuatan-Nya, asalkan bukan halangan kodrati. Yang disebut halangan kodrati di sini antara lain ialah ikatan perkawinan. Staf seminari bisa mempertimbangkan keadaan si peminat, dan si peminat sendiri bisa memeriksa dengan jujur, kemampuannya untuk lepas dari akibat dosa tersebut. Yang disebut akibat dosa ialah, jika kita menerima Sakramen Pengampunan maka dosa itu sudah diampuni dalam sakramen itu. Namun akibat-akibat dari dosa yang sudah diampuni itu biasanya masih ada. Akibat dosa yang masih dirasakan oleh diri sendiri maupun orang lain itu harus diatasi dengan dengan usaha yang menyandarkan diri pada rahmat Allah. Untuk masuk seminari, akibat dosa itulah yang dilihat, apa saja akibatnya dan apakah bisa diatasi atau tidak untuk menjadi imam.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Alangkah baiknya singkatan RD dikembalikan pada bahasa asal mulanya. Jangan lagi ditulis sebagai Romo Deosesan. Penulisan ini menjadi rancu terutama di umat kebanyakan.
Salam Yustinus,
Semua itu masalah konvensi atau kesepakatan umum. Umat di wilayah berbahasa Jawa misalnya di Keuskupan Agung Semarang dan Keuskupan Purwokerto, misalnya, merasa tidak cocok dengan istilah “RD”. Mereka tetap menyebut “Romo” untuk imam-imamnya dalam tulisan resmi. Memang, istilah “Reverrendus Dominus” ialah juga soal konvensi pada zamannya di Barat (Eropa). Maunya orang yang mengusulkan “RD” sebagai “Romo Diosesan” ialah agar ada penyesuaian budaya dengan Indonesia. Namun, menjadi pertanyaan, kalau begitu, “RP” atau “Reverrendus Pater” (Imam biarawan) kita sebut apa dalam bahasa Indonesia? Hal ini bukan soal prinsip teologis dan dogma maupun kanonik. Pembicaraan mengenai hal ini melulu soal konvensi. Aslinya, tulisan di depan nama imam ialah “RD” yang artinya “Reverrendus Dominus”. Anda boleh mengusulkan akan kebenaran hal ini, namun orang lain pun berhak mengusulkan singkatan lain dari RD tersebut untuk menegaskan tekanan pada sifat Diosesan imam tersebut. Di Eropa, asal muasal kedua istilah RD dan RP, pembicaraan mengenai hal ini tidak terjadi, karena mereka pun tak pernah mengenal “Pr” sebagai “Praja”. Pembicaraan mengenai hal ini hanya terjadi di Indonesia khususnya KA Jakarta. Mungkin karena memang sejak awal ketika para imam misionaris datang, mereka tidak menjelaskan hal ini, dan mereka menyesuaikan saja dengan umat setempat yang menuliskan sapaan bagi imam dengan bahasa setempat: “Romo”, “Padri”, “Bapa”, “Amu”, dsb. Maka, silahkan saja.
RD. Yohanes Dwi Harsanto
shalom,
saya ingin bertanya,bagaimana hendak merasakan panggilan menjadi imam.
[pertanyaan berikut ini digabungkan karena masih satu tema:]
Submitted on 2013/08/25 at 5:11 pm
saya ingin bertanya,apakah jika ingin menjadi imam mempunyai syarat-syarat khusus dan bagaimana menjadi seorang imam.
Salam Yoseph,
Dulu dikatakan, untuk masuk seminari, seorang remaja pria/pemuda Katolik haruslah memiliki kerinduan atau keinginan yang berkobar-kobar untuk menjadi imam, atau memiliki idealisme akan misi. Namun pada masa kini, keinginan atau kerinduan yang lemah pun asalkan ada, bisa dicoba untuk tes masuk seminari. Baik kerinduan yang berkobar maupun yang lemah, bisa diuji dengan tes masuk seminari. Setelah masuk seminari pun masih harus diuji dalam studi, doa, interaksi sosial, dan aneka latihan ketrampilan diri dan kemampuan pastoral. Tentu saja, remaja pria / pemuda Katolik ini harus sehat jiwa raga (dibuktikan dengan tes kesehatan dan psikologi).
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
[tambahan dari Katolisitas: kami mengirimkan juga info alamat email Rm Santo melalui email Anda, silakan berkonsultasi secara pribadi dengan Rm Santo jika Anda merasa perlu untuk bertanya lebih lanjut]
Sejak kapan ya sebutan romo-romo Diosesan (Pr) menjadi RD, koq saya ketinggalan jaman nich. Ada info? Trims
Salam Subagyo Yohanes,
Sebenarnya sebutan RD (Reverendus Dominus) untuk imam diosesan dan RP (Reverendus Pater) untuk imam biarawan itu sudah lama lazim. Di Indonesia, beberapa keuskupan dalam surat resmi keputusan penugasan imam memakai istilah RD dan RP ini. Sejak semula, KWI memakai istilah ini dalam surat-surat tertulis. Kedua istilah ini baik RD maupun RP makin marak sejak sekitar dua tahun lalu ketika tulisan Romo Simon Lili Tjahyadi (imam Keuskupan Agung Jakarta) yang membahas mengenai hal ini, dimuat di majalah HIDUP. Kemudian semarak semua tulisan mengganti “Rm Nama Pr” menjadi RD Nama. Sedangkan Rm Nama SJ/MSF/SVD, dll menjadi RP Nama SJ/MSF/SVD, dll.
Beberapa keuskupan seperti Keuskupan Agung Semarang tetap memakai tulisan Rm Nama Pr atau Rm Nama SJ/MSF/SVD. Pertimbanganya ialah bahwa RD yg terjemahan aslinya “Tuan yang Terhormat” dan RP yang berarti “Bapa yang Terhormat”, kurang kena di hati umat Jawa Tengah Keuskupan Agung Semarang dibandingkan dengan sapaan “Romo”. Sedangkan “Pr” yg sebenarnya “Presbyter” (imam/penatua jemaat) dimaknai sebagai “Projo” yang berarti “rakyat”, dengan harapan, imam diosesan atau imam keuskupan sungguh merakyat.
Di Jakarta, “RD” sering diistilahkan “Romo Diosesan” yang artinya romo milik dioses atau keuskupan. Namun jika demikian, lalu “RP” agak susah dicarikan padan katanya dalam bahasa Indonesia: kalau RD “Romo Diosesan”, lalu “RP” Romo apa?
Namun, entah ditulis “RD Nama” entah “Rm Nama Pr”, entah “RP Nama SJ/MSF/SVD” entah Rm Nama SJ/MSF/SVD dll, semua benar asalkan jelas maksud dan konteksnya.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Salam damai Paska, “indahnya hidup dalam kasih Kristus” begitulah kata-kata yang sering saya dengar dari para imam namun tidak nampak pada sikap dan tutur katanya contoh kecilnya indahnya ketika kita saling memberi salam ketika bertemu apa lagi ditambah sebuah senyuman ohh begitu menenang jiwa yang haus akan damai, namun sikap ini sungguh sulit saya temukan di oleh imam-imam di kota kupang, mereka begitu angkuh untuk menyapa umat lebih dahulu, mereka lebih senang disapa dari pada menyapa dahulu. yang kedua hidup mengembala ke rumah umat-umat gembalaannya, aduhhhh sangaat saya sayangkan pola hidup para imam sekarang yang lebih suka bertamu ke rumah orang-orang berada daripada rumah orang-orang yang dipinggirkan oleh dunia. Bagaimana mau menjadi gembala yang baik kalau keadaan umatnya baik secara jasmani maupun rohani tidak ia ketahui, bagaimana imam mampu masuk dalam dunia umatnya jikalau imam sibuk dengan dunianya sendiri dan sibuk mengurus keluarga…. mohon komentarnya salam damai Kristus
Salam Dion,
Saya setuju dengan pandangan Anda. Sebagai cita-cita ideal, konsep Gembala Yang Baik harus menjadi arah dan perutusan para pastor khususnya akan lebih intensif yang sedang bertugas di tengah umat di paroki. Dokumen KWI berjudul “Pedoman Imam” menggariskan dengan tegas agar imam memupuk sikap sederhana dan mengutamakan yang umat yang kecil dan lemah. Kita melihat Bapa Suci Fransiskus ketika masih Mgr Mario Kardinal Borgeglio Uskup Agung Buenos Aires, sangat menyatu dengan rakyat khususnya yang kecil lemah miskin. Sekarang ketika jadi Paus Fransiskus pun beliau tak mau meninggalkan kesederhanaan. Semoga para imam meneladan sikap sederhana Kristus sendiri, Ia yang Mahakaya mau menjadi miskin demi keselamatan kita. Saya mengajak Anda agar berani mengingatkan dengan penuh kasih, para imam.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Salam sejahtera,
Yang saya maksudkan adalah st petrus adalah paus/pemimpin umat katolik yg pertama lalu di lanjutkan oleh paus-paus yg selanjutnya pertanyaan saya adalah apakah petrus menikah? Klo st petrus menikah kenapa paus dan pastor tdk menikah? Kayaknya st petrus tdk melarang org menikah deh.
“Alasan yang utama dari kaul ketaatan adalah seorang imam secara sakramental mewakili Kristus sebagai mempelai pria dari Gereja, sehingga tidaklah pantas bahwa dia sendiri mempunyai istri bagi dirinya sendiri.
Jalan yang ‘sulit’ yang ditempuh oleh Gereja Katolik” kok aneh ini kan peratiran egois manusia.
Shalom Riswan,
Terima kasih atas komentar Anda. Apakah Anda telah membaca link artikel di atas sebagai berikut?
Dari penjabaran di atas, kita melihat bahwa uskup, imam, dan diakon merupakan suatu tradisi dari jemaat awal yang terus berlaku sampai sekarang. Hal lain yang menjadi pertanyaan banyak orang adalah mengapa imam tidak diperbolehkan untuk menikah? Apakah ini hanya merupakan karangan Gereja Katolik semata? Mari kita melihat bukti-bukti bahwa kaul kemurnian mempunyai dasar yang kuat:
Dari segi kepraktisan, kita dapat melihat bahwa dengan tidak menikah maka seorang imam dapat mencurahkan segenap hati, jiwa, dan pikirannya untuk melayani Tuhan dan sesama. Rasul Paulus sendiri memberikan nasehat ” Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya” (1 Kor 7:32). Dengan hidup selibat, seorang imam hanya memikirkan apa yang terbaik bagi Tuhan dan umat yang dipercayakan kepadanya.
Petrus menikah namun setelah dipanggil menjadi rasul, dia tidak menggunakan hak perkawinannya. Apa buktinya? Silakan melihat tulisan dari Clement of Alexandria ini:
Silakan memberikan tanggapan atas argumentasi yang telah diberikan di atas. Gereja Katolik tidak menempuh jalan yang sulit, namun jalan yang benar. Kalau memang langkah tersebut benar, maka tidak menjadi masalah kalau itu sulit atau gampang.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Hi Riswan,
Menjadi lebih egois kalau seorang gembala hanya peduli dengan nafsu seksnya daripada keselamatan jiwa umatnya.
Gereja berhak mengatur umatnya, tidak ada paksaan untuk mengikutinya. Seorang pria memilih dengan bebas mau menjadi imam atau tidak. Tetapi yang harus diingat, menjadi imam atau menikah itu panggilan dari Allah. Allah pasti memampukan orang yang dipanggilnya. Yang menikah pun banyak yang selingkuh dan bercerai, poinnya itu pada pengendalian diri.
Salam
Edwin ST
Syalom Katolisitas.
Satu hal yang mengganjal di benak saya ketika melihat pengalaman di tempat saya, dimana seorang Imam (sudah cukup lama menjadi pastor) yang akhirnya gagal memenuhi Kaulnya, bahkan (maaf) berzinah dengan seorang Biarawati. Pengalaman Iman apa yang harus saya petik sehingga bertumbuh, berakar dan berbuah Positif bagi Iman saya yang seorang awam ini. meskipun sesungguhnya yang harus saya Imani adalah Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus dan bukan lah sosok Imam.
Shalom Tepenus,
Memang ada sebagian dari kaum klerus yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan bahkan dapat menjadi batu sandungan bagi umat Katolik maupun non Katolik, sama seperti kita kaum awam, yang juga sering gagal untuk dapat menjadi saksi Kristus dan juga dapat menjadi batu sandungan bagi orang lain. Pelajaran iman yang kita dapatkan dari peristiwa yang menyedihkan ini adalah sama seperti pelajaran yang kita terima ketika melihat kenyataan Yudas Iskariot yang walaupun telah dipilih oleh Kristus sendiri namun mengkhianati Tuhan kita.
(1) Kita menyadari bahwa walaupun kita semua dipilih Allah, namun kita adalah makhluk yang lemah, yang tidak dapat menolak godaan tanpa bantuan Allah. Jadi, kita harus terus bergantung pada rahmat Allah agar dapat hidup sesuai dengan perintah Allah.
(2) Iman kita tidak tergantung dari individu-individu yang tidak menjalankan perintah Kristus. Iman kita senantiasa berpusat pada Kristus dan pengajaran yang diberikan oleh Magisterium Gereja. Kehidupan sebagian kaum klerus yang melakukan kesalahan bukanlah cara kehidupan yang diajarkan oleh Kristus dan Gereja, bahkan justru bertentangan dengan apa yang diajarkan. Kalau kita senantiasa mencari kesempurnaan dari individu-individu, maka kemanapun kita pergi, kita akan senantiasa dikecewakan, karena semua institusi pasti mempunyai oknum-oknum yang salah. Jangan melupakan juga bahwa kita juga sering gagal untuk menjadi saksi Kristus.
(3). Khusus untuk kesalahan yang dilakukan oleh kaum Klerus, sudah seharusnya sebagai kaum awam, kita harus mendukung tugas yang dipercayakan oleh Kristus kepada mereka. Dalam kapasitas kita masing-masing, kita mendukung mereka – terutama dalam doa-doa kita.
Demikianlah apa yang dapat saya sampaikan. Mari kita mengarahkan pandangan kita kepada Kristus dan Gereja-Nya dan tidak tergoncang dengan oknum-oknum yang tidak menjalankan apa yang diajarkan oleh Kristus dan Gereja-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Syalom bu ingrid
saya mau bertanya mengapa dalam greja katholik para pemuka agamanya tidak di perbolehkan menikah,saya sangat kurang bisa memahami tentang ini,apakah tidak menikah yang dilakukan dalam greja katholik alkitabiah??.mohon penjelasannya
trimah kasih.Tuhan Yesus memberkati
[Dari katolisitas: Singkatnya adalah untuk mengikuti teladan Kristus dan dapat melayani umat dengan lebih baik. Penjelasannya silakan melihat artikel ini – silakan klik]
Ytk, Rm. Yohanes DH, Pr
Kembali saya mengeluh tentang “Pelayanan” yang diberikan oleh para imam yang nota bene adalah gembala umat, tentunya mereka sebelum menjalani proses keimamatannya sudah memilih jalan hidup untuk menjadi “IMAM” dan kita mengartikan semua itu adalah “PANGGILAN TUHAN”. Saya memilih panggilan hidup saya untuk “Berkeluarga” menjadi suami sesuai dengan Iman kristiani katolik dan dengan berusaha untuk menjadi seorang suami, ayah, kepala keluarga, dan sebagai lelaki yang baik dengan tidak mudah untuk menyakiti orang lain.
Kali ini saya menyampaikan keluhan-keluhan di mana untuk kesekian kali saya masih mengalami kekecewaan dengan para romo di paroki saya yang menolak memberikan pelayanan kepada warga di lingkungan saya yang mengalami kedukaan, padahal sudah berkali-kali kami mengkritisi romo-romo itu tetapi masih saja berkilah dan selalu beralasan ( Saya tidak akan menceritakan semua permasalahan di sini ).
Kesimpulan saya : Masih konsekuenkah mereka untuk menjadi imam ??, sebab jika banyak domba yang keluar kandang dan masuk kekandang kambing atau mungkin menghilang janganlah “Para Gembalanya” dengan mudah menyalahkan dombanya. Yang saya takuti jika dombanya tidak keluar kandang tetapi malah mengambil sikap untuk “Menyeruduk Gembalanya”.
Mohon Rm. Yohanes DH, Pr mau menyikapi dan menindak lanjuti masalah ini ke KAJ dan keluhan ini merupakan masukan awal untuk dijadikan proses, serta carilah informasi yang valid dari umat paroki Santo B di C (dari Katolisitas: kami edit) khususnya di beberapa wilayah.
Buatlah team investigasi untuk menelusuri permasalahannya, semoga “Domba-domba Kristiani yang Katolik” tidak keluar dari kandangnya untuk pindah ke kandang kambing (walaupun di dalam kandang kambing sesungguhnya masih ada kambing-kambing yang baik dan benar yang diberkati Allah), atau semoga domba-domba kristiani yang katolik tidak “menyeruduk para gembalanya” yang semakin mengecewakan dalam hal pelayanan. Amin
Salam Dionisius Ganesha,
Bersyukurlah kita orang Katolik karena memiliki otoritas hierarkis untuk menyikapi masalah. Karena itu tahapnya pun selalu hierarkis menurut Sabda Tuhan sendiri. Langkah pertama dan semoga terakhir ialah: Anda bisa menegur langsung romo yang bersangkutan, dan itu sangat terpuji. Teguran di bawah empat mata, dengan berbagai cara dan metode yang baik dan semangat penuh kasih. Cara ini harus ditempuh sebagai cara pertama-tama. Semoga cara ini berhasil. Cara ini pun sangat diharapkan oleh imam yang juga merupakan murid Kristus yang dalam mengikuti Dia, bisa lalai dan alpa pula. Seharusnyalah romo itu akan dengan rendah hati berterimakasih karena telah diingatkan akan kewajibannya. Untuk itu Anda sendiri mesti dalam keadaan penuh kasih dan mantap bahwa Anda benar, dengan fakta-fakta dan data-data yang valid. Jika sekian waktu masih saja membandel, bawalah soalnya kepada satu-dua orang lain yang berpengaruh di paroki, agar turut mengingatkan. Barulah jika belum mengubah situasi, Anda ke keuskupan dan/atau provinsial/ atasan langsung romo tersebut.
Mengenai umat yang menderita kedukaan tersebut, mesti juga Anda berupaya agar warga dan pengurus lingkungan memperhatikan mereka. Jika masalahnya ialah pelayanan liturgi dan imam paroki tidak bisa hadir karena sedang melakukan pelayanan di tempat lain, pengurus lingkungan dengan seijin pastor paroki bisa meminta imam-imam paroki tetangga atau rumah-rumah / komunitas imam di luar paroki untuk memimpin liturgi yang diminta.
Jika soal kedukaan itu ialah soal penyakit dan kemiskinan, maka lingkungan bisa mengusahakan bantuan ke Panitia APP Paroki atau Keuskupan dengan tandatangan pastor paroki. Jika kedukaan itu terkait keadaan yang rumit dan masalah yang membelit, maka memang kunjungan pastor paroki dan umat sangat diharapkan untuk membantu menemani mereka demi pemecahan masalah kedukaannya itu. “Gembala yang baik” pasti mengenal domba-dombanya, dan domba-dombanya mengenal gembalanya.
Saya tidak dalam kapasitas untuk menjadi investigator dan pelaku yang langsung penanganan masalah ini. Pejabat Hierarki yang berwenang dalam hal ini ialah Provinsialat maupun Keuskupan. Namun saya mendukung dan menyemangati Anda untuk mengupayakan yang terbaik.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto Pr
(NB Jika berkenan, mohon menulis secara japri ke alamat email saya)
Salam Damai untuk Dionisius dan Romo Santo,
Keluhan Dionisius tentunya tidak jarang kita temui. Di Paroki saya di Jakarta romonya hanya 2 dan harus melayani 15 ribu umat. Setiap harinya ada saja yang minta Sakramen Orang Sakit, Misa Arwah, Pelepasan Jenasah, Baptis, dll. Upaya pendelegasian ke asisten imam sudah dilakukan tetapi umat merasa kurang afdol kalau tidak romo yang hadir. Umat menyadari betul romo cuma dua dan ada kesan siapa cepat dia dapat. Tetapi ada yang kemudian berpikir negatif, ah si romo cuma suka melayani wilayah B yang banyak orang kaya dan stipendium besar.
Secara singkat, jumlah romo kurang memadai, umat terlalu besar, solusinya jumlah romo diperbanyak atau umat dikurangi. Kalau umat dikurangi sama seperti pindah kandang kambing menurut Dionisius. Maka solusi lainnya, romo harus diperbanyak. Tetapi ketika ada pemuda mau menjadi romo, pasti keluarga menghalang-halangi segala cara. Pembaca Katolisitas mungkin sebagian besar sudah paham betapa mulianya panggilan menjadi imam, lebih mulia dan terhormat dibandingkan dipanggil Presiden untuk jadi Menteri. Tetapi berapa persen umat Katolik di paroki Anda dan saya yang menyadari hal ini? Belum lagi terkadang ada olok – olok dari teman – teman atau tetangga, tampang kayak kamu koq mau jadi romo, apa ga kasian umatnya? apa ga iya malah bubar semua? Orang – orang seperti ini lupa bahwa Yesus datang untuk memanggil orang yang berdosa. Para Rasul pun bukanlah orang yang suci saat mereka dipilih dan sampai akhir hayat mereka. Tetapi mereka adalah orang – orang yang terus berjuang untuk menggapai mahkota surgawi.
Semoga Dionisius sendiri nantinya memiliki banyak anak dan semua anak prianya saya doakan jadi imam yang mau berbakti sehingga nanti bisa ditugaskan di paroki Dionisius untuk menguatkan imam – iman sekarang yang ada yang katanya kurang baik.
Ad Maiorem Dei Gloriam.
Edwin ST
Jika keselamatan jiwa begitu penting di mata Tuhan, mengapa saat ini pengabdian para imam terasa sangat minim? Cth kecil saja tapi sangat penting, pengakuan dosa. Rasanya kog ngga ada upaya para imam “membudayakan” pengakuan dosa itu? Para imam cenderung utk mempertahankan hidup nyamannya….jauh dari citra para kudus pendahulu kita.
Semoga para imam membaca komentar ini. Pax Christi!
Salam Thomas More,
Saya setuju dengan pandangan Anda. Para imam yang digelari kudus, misalnya Santo Yohanes Maria Vianney menghabiskan banyak waktu di kamar pengakuan dan orang banyak berbondong-bondong mengantre. Belum lama ini di Jakarta, bertemu para imam keuskupan se-regio Jawa. Tema pertemuan ialah “Imam kami Suci dan Pandai”. Menurut saya, tolok ukur kesucian dan kepandaian imam ialah pada pelayanan, sejauh mana pelayanan imam itu “bermakna keselamatan” bagi umat yang dilayani. Karena itu, silahkan Anda meminta pelayanan pada imam dalam hal yang memang dikhususkan bagi mereka: pelayanan pengudusan, khususnya dalam hal yang Anda prihatinkan yaitu Sakramen Tobat. Para imam sendiri wajib menerima sakramen tobat secara berkala kepada imam bapa pengakuan mereka masing-masing. Maka, sebaiknya para imam itu pun melaksanakan pelayanan dengan penuh kasih kepada umat. Misalnya, menjadwalkan secara jelas di gereja paroki: diadakan pelayanan pengakuan dosa setiap Sabtu setengah jam sebelum misa. Hal ini penting pula untuk kekudusan si imam itu sendiri, juga jika dalam suasana menunggu di kamar pengakuan, tiada orang yang datang mengaku dosa. Mengapa? Karena hal ini menjadi cermin kecil dari sikap kerahiman Allah Bapa sendiri yang selalu menunggu dengan kasih, anak-anak-Nya yang berdosa.
Salam
RD. Yohanes Dwi Harsanto
Di Paroki Paskalis Jakarta, tiap Jumat pertama jam 11-12 siang disediakan waktu bagi umat yang ingin mengakukan dosa.
Walaupun rasanya masih kurang (karena tidak setiap minggu, dan Jumat adalah hari kerja), tapi menurut saya hal tersebut cukup baik.
Dan selama ini saya kalau mau mengaku dosa dengan mencegat Romo sesudah misa, tidak pernah ditolak.
Tetapi akan lebih baik lagi kalau setiap sebelum misa, ada Romo yang selalu menunggu di kamar pengakuan dosa, supaya bagi umat yang sedang dalam dosa berat dapat segera mengakukan dosanya sebelum mengikuti misa.
Oh yah, mohon bantuan doanya juga, semoga anak saya yang pertama (saat ini masih berusia 10 tahun sih), mendapat panggilan untuk melayani sebagai Imam.
Salam,
Agatha
[dari Katolisitas: terima kasih untuk sharing infonya. Mengenai jadwal rutin Sakramen Tobat setiap sebelum Misa, hal itu dapat Anda usulkan kepada romo paroki Anda, supaya dapat ditindaklanjuti. Terima kasih juga atas doa pengharapan yang indah untuk anak pertama Anda, kami di Katolisitas turut mendoakan dan ujud doa Anda sudah pula kami sampaikan kepada Rm Krist dan tim doanya]
Salam Thomas More,
Saya ingin bertanya, mengapa imam perlu membudayakan pengakuan dosa? Menurut hemat saya, kalau kita sendiri tidak peduli terhadap keselamatan jiwa kita masing – masing. Mengapa orang lain/imam perlu peduli?
Saya yakin kebanyakan imam sudah sekuat tenaga untuk mengajar, memerintah, dan menguduskan kita. Tapi berapa banyak umat Katolik yang senang belajar Kitab Suci atau belajar ajaran dari Bapa Gereja seperti yang dijabarkan di Katolisitas.org ini? Berapa banyak yang dengan rendah hati datang ke romo paroki masing – masing untuk menanyakan, apakah ada yang bisa dibantu? Berapa banyak umat Katolik yang datang ke Misa Minggu atau harian dengan penuh kerinduan untuk menyambut Tubuh Tuhan? Yang paling penting mungkin berapa banyak dari kita yang mendoakan para imam supaya mereka menjadi imam yang kudus? Berapa banyak yang mendoakan supaya anak muda banyak yang mau menjadi imam supaya jumlah imam tidak minim.
Seumur-umur saya paling senang waktu tinggal di Stockholm, Swedia. Di paroki saya ada sekitar 7 imam Jesuit. Tidak pernah kekurangan imam. Semua umat yang butuh pelayanan pastoral bisa dilayani. Kalau ada imam yang mendadak berhalangan untuk merayakan misa, selalu ada romo yang stand by di pastoran untuk menggantikan. Setiap hari sebelum misa, selalu ada pengakuan dosa 15 menit sebelumnya. Mau sesudah misa juga boleh kalau romonya tidak ada acara lain. Kalau situasi ini menjadi mimpi Anda dan pembaca lainnya, mari berdoa bersama – sama supaya Bapa yang punya ladang mengutus para pekerjaNya.
Demi semakin besarnya kemuliaan Allah. (AMDG)
Edwin
Salam Edwin ST,
Tentu saja umat juga memiliki kesalahan, hanya saja saya melihat lebih banyak KETIDAKTAHUAN seseorg akan pentingnya penerimaan sakramen, khususnya pengakuan dosa. Secara umum saya lihat org2 katolik akhirnya berpikir dirinya kristen tidak berbeda dari seorg protestan, dimana penyelenggaraan rahmat Tuhan lewat sakramennya begitu fundamental terlewatkan, salah satu contoh. Mengapa ini bisa terjadi?? Saya pikir semua harus bermula dari para pengajar iman sendiri, para imam. Perlu upaya revitalisasi secara menyeluruh dari hirarki Gereja utk menyatakan dgn setepat2nya apa model kehidupan kudus yg harus dijalankan setiap org2 katolik, khususnya terkait pentingnya penerimaan sakramen.
Dear Thomas More,
Saya di sini tidak mau menyalahkan umat atau romo. Kita semua harus saling mengingatkan. Saya senang karena Anda memandang penting penerimaan Sakramen2. Ijinkan saya untuk tidak sependapat dengan Anda bahwa semua harus bermula dari imam. Kalau orang Katolik pindah agama saya rasa tidak bisa terus menyalahkan orang lain. Hari ini saya baru dikabari oleh seorang teman yang baru saja kembali menjadi Katolik. Dia dulunya Katolik, tetapi kemudian karena satu dan lain hal menjadi Protestan bersama dengan adik dan orang tuanya. Lalu saya sempat diskusi mengenai Katolik dengan ayahnya selama kurang lebih 5 jam non-stop. Bapak itu pun menyadari ternyata sedikit sekali yang ia ketahui mengenai Katolik walaupun puluhan tahun jadi orang Katolik. Tetapi di tempat baru pun sudah aktif sekali. Saya cuma berkata, “Biar Tuhan yang buka jalan untuk om dan keluarga untuk kembali.” Kalau saja saya punya sedikit saja talenta seperti Petrus atau Paulus mungkin hari itu juga mereka kembali. Tiga tahun berselang saya dihubungi kawan saya itu katanya ingin kembali ke Katolik tetapi sekarang ingin paham dulu mengenai Katolik dan ya hari ini tadi saya dikabari sudah resmi pulang kampung. Rome Sweet Home. Semoga nanti adik dan kedua orang tuanya menyusul.
Jadi saya rasa daripada menunggu orang lain (baca: si romo) untuk berubah, mengapa tidak dimulai dari sendiri untuk merevitalisasi Gereja. Arah dasar Gereja sudah diremajakan dengan amat seksama dalam Konsili Vatikan II. Silahkan baca dokumen2nya, tinggal diterapkan saja yang butuh kemauan kuat Anda dan saya. Diskusikan lewat dewan paroki supaya ada jam yang tetap untuk pengakuan dosa. Kalau romo tidak mau, jewer sedikit nda papa. Selamat berjuang ya, semoga kepedulian Anda dapat ditularkan ke semua umat Katolik.
AMDG
Edwin ST
Katolisitas yang bijaksana, selamat hari minggu TUHAN memberkati. Kalau melihat doktrin hidup selibat sebagaimana tertulis diatas saya berkesan bahwa ada kelonggaran yang seolah-olah membolehkan kaum imamat untuk mempunyai anak meski tidak menikah. Jika pendapat saya salah, nah pertanyaannya adalah:
1. Bagaimana dengan para pastor yang mulia yang pada kenyataannya banyak yang memiliki anak?
2. Bagaimana dengan kedudukan dan status pastor tersebut dalam gereja?
3. Bagaimana dengan kedudukan dan status, serta kehidupan anak itu sendiri dalam segala aspeknya?
4. Bahkan ada pastor yang hingga saat ini masih hidup KUMPUL KEBO dengan “peliharaannya” sementara seseorang dipakai untuk jadi tameng penutup perilakunya. Nah bagaimanakah ini? (selidikilah di Keuskupan Agung luar Jawa waktu Indonesia bagian tengah)
5. Sebagai umat katolik sejak nenek moyang kami sangat menghormati jabatan Imam. Akan tetapi kamipun memohon jangan memalukan umat. Sehubungan dengan itu saya ingin usulkan agar para frater TOP khususnya dari Flores, untuk menjalankan masa TOP -nya di kota-kota besar seperti kota-kota di tanah Jawa, agar kalau sudah ditahbiskan tidak memalukan umat. Terima kasih.
Ferry Yth
Setiap kasus imam (seksual) tentu ada tindakan hukum, kalau sungguh terbukti. Tidak ada kasus dibiarkan apalagi dipelihara, itu keliru kecuali tidak diketahui oleh pimpinannya. Dalam hukum demi ketertiban umat, semua tindakan yang melanggar tugas jabatan (imamat) pasti kena sanksi. Jadi tidak benar dibiarkan, kalau ada imam yang jatuh dalam kasus dan memiliki anak. Itu kasus kesalahan dia, bukan imamatnya. Jadi personnya bukan panggilan dan jabatannya disalahkan. Kita harus berdoa banyak untuk imam. Statusnya jelas jika melanggar aturan pasti kena sanksi, tidak diperkenankan melakukan tugas jabatan imamat di depan publik. Anak yang dihasilkan wajib diberi nafkah hidup oleh orang tuanya (keputusan Mahkamah Konstitusi, anak yang lahir dari luar perkawinan resmi wajib mendapat hak hukum dari ayahnya). Soal frater TOP itu urusan antara Seminari tinggi dan Uskup/Provinsial di mana dia akan membaktikan panggilan hidupnya. Katolisitas tidak berkompeten dalam mengatur tempat TOP. Semoga dapat dipahami jawaban kami.
salam
Rm Wanta
Shalom Ferry Gh. Beu
Terima kasih atas tanggapannya..
“Kalau melihat doktrin hidup selibat sebagaimana tertulis di atas saya berkesan” ( Ferry Gh. Beu )
Kalau saudara hanya melihat mengenai doktrin hidup selibat maka yang timbul hanyalah kesan2 pribadi semata.. cobalah untuk mengerti dan memahami apa yang hendak disampaikan di sana..
Mengenai mempunyai anak meski tidak menikah ini harus dibuktikan, kalau pun saudara mengetahuinya silakan melapor kepada Uskup / Ordinaris setempat..
Hal seperti ini akan lebih memalukan saudara apabila tidak melaporkannya dan malahan melaporkan kepada umat lain (gosip) atau hanya diam.. Diam di sini berarti anda kurang peduli thd org lain..
itulah definisi memalukan yang sebenarnya, memilih diam ketika tidak bisa memperjuangkan kebenaran..
[Dari Katolisitas: Mungkin maksudnya adalah: memilih diam, ketika seharusnya bisa -walaupun dengan cara yang sederhana- untuk memperjuangkan kebenaran (?)]
“Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.
(Matius 7:12)
lalu mengenai “agar kalau sudah ditahbiskan tidak memalukan umat”
daripada saudara berspekulasi yang buruk/ negatif thd calon Imam bukankah lebih baik kalau kita mendoakannya..?
Berpikirlah positif…^^
Doakanlah para Imam dan calon Imam, atau bawalah sebagai intensi pribadi pada waktu misa, itu akan lebih baik..
Dan benarlah yang dinyatakan oleh Rm. Wanta “Setiap kasus imam dalam hal seksual tentu ada tindakan hukum, kalau SUNGGUH TERBUKTI. Tidak ada kasus dibiarkan apalagi dipelihara, itu keliru kecuali tidak diketahui oleh pimpinannya. Dalam hukum demi ketertiban umat, semua tindakan yang melanggar tugas jabatan (imamat) PASTI kena sanksi. Jadi tidak benar dibiarkan, kalau ada imam yang jatuh dalam kasus dan memiliki anak”
_______________________________________________________________________
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. Sebab pengetahuan kita tidak lengkap dan nubuat kita tidak sempurna. Tetapi jika yang sempurna tiba, maka yang tidak sempurna itu akan lenyap.
( 1 Korintus 13 : 4 – 10 )
_______________________________________________________________________
Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.
( 1 Korintus 13 : 13 )
Berkah Dalem Gusti
Fiat Voluntas Tua^^
Terima kasih Katolisitas..
Yaap..! Begitulah maksudnya..
Vielen dank..
_____________________________________________________________________
Berkah Dalem Gusti
Fiat Voluntas Tua^^
Romo Wanta dan Yohanes yth.
Terima kasih atas tanggapan serta sarannya. Soal mendoakan para biarawan/ti secara jujur kami katakan bahwa kami selalu mendoakannya setiap malam diakhir minggu.
Bahwa apa yang kami utarakan factualnya adalah benar-benar ada dan terjadi. Dan saran bahwa kami harus melaporkan masalah ini sebenarnya tidak tepat, karena kami memastikan sebenarnya masalah ini sudah diketahui pimpinan. Sebab peristiwa ini terjadi bukan di dalam hutan rimba tetapi terjadi di depan publik yang mayoritas adalah seiman. Bahkan kenyataan ini sudah menjadi pengetahuan umum umat setempat. Kalau menunggu laporan umat artinya pimpinan komunitas juga tidak peduli pada masalah yang menimpa anggotanya, dan anggota komunitas dalam konteks masalah ini hanya mau mengecapi kenikmatan duniawi tetapi tidak menyadari dan merenungi serta hidup sesuai kaul selibatnya. Memang sebagai umat kita malu, tetapi apakah kita harus melaporkan kalau melihat dari kondisi sekelilingnya fakta ini sebenarnya sudah diketahui oleh pimpinan.
Dan masalah ini sebenarnya tidak perlu dilaporkan umat, karena masalah ini masalah kesadaran sendiri dari komunitas baik pimpinan maupun anggotanya sendiri. Kayaq KPK saja. Terima kasih TUHAN MEMBERKATI. Semoga para kaum selibat selalu diteguhkan imannya oleh ALLAH.
Submitted on 2012/06/08 at 12:10 pm | In reply to Ferry Gh. Beu.
Romo Wanta & Yohanes yth
Maaf, ada yang saya lupa, saya ingin menambahkan sedikit, tetapi saya mau tahu dulu “apakah sdr. Yohanes adalah seorang Pastor?” Kalau sdr. Pastor saya mohon maaf yang sebesar-besarnya karena saya sangat suuuuuaaaaaaaaaaaaaangat menghormati jabatan Pastor. Kalau bukan pastor saya akan katakan “tau apa kau. Matamu buta atau melek. Kalau melek lihatlah di kehidupan nyata!” Apa yang saya sampaikan bukan kesan pribadi, tetapi nyata, nyata nyata77x. Saya paham mengenai apa yang disampaikan tentang doktrin hidup selibat. Justru saya berpatokan pada doktrin tersebut untuk kemudian saya menyampaikan fakta yang terjadi dalam kehidupan nyata. Meskipun fakta-fakta ini bukan merupakan kewenangan Katolisitas (apakah hanya alasan?) paling tidak saya berharap akan menjadi topik perbincangan serius guna mengawasi para kaum selibat yang menjadi panutan kami, yang kami umat saaaaaaaangat hormati, saaaaaaaangat mencintai. Dan wanti-wanti saya sebagai umat untuk sesama yang seiman khususnya kaum hawa “jagalah existensi, ekspresi kita dihadapan bapa-bapa kita kaum selibat yang menjadi panutan kita yang sangat kita cintai. Janganlah membuat sesuatu yang tercemar terhadap mereka (para Pastor). Dan kami berharap kaum selibatpun harus menyadari dan tahu diri”.Terima kasih.
Shalom Ferry,
Memang menjadi tugas kita bersama untuk senantiasa mendoakan para pastor, biarawan dan biarawati, sehingga mereka dapat senantiasa mencerminkan wajah Kristus. Namun, kita tidak menutup mata, bahwa ada sebagian dari mereka yang tidak setia, sama seperti kita, kadang juga tidak setia terhadap panggilan kita. Menurut saya, tanpa perlu memegang asumsi bahwa pimpinan mereka tahu akan kesalahan yang dibuat oleh biarawan atau biarawati tersebut, maka kalau Anda sungguh-sungguh mempunyai bukti, Anda dapat melaporkan kepada pimpinan mereka dengan dasar kasih. Dengan demikian, pimpinan mereka dapat mengetahui bahwa kejadian tersebut sesungguhnya membuat umat resah dan bukan menjadi contoh yang baik. Semoga pimpinan tersebut dapat mengambil tindakan yang diperlukan dan dapat memberikan solusi yang terbaik untuk mengatasi masalah ini.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Salam buat pak STEF.
Kalau kami yang ekonominya pas-pasan, menulis di Katolisitas masih terjangkau. Tetapi kalau membuktikan kebenaran masalah yang dibicarakan, memerlukan biaya tinggi. Karena harus membuktikan secara yuridis. Seperti harus tes DNA dan sebagainya yang memerlukan biaya tidak sedikit. Sementara oknum biarawan ybs sudah hidup enak diluar negeri. Bahkan untuk menyelamatkan status hukum si anak nya itu, tersiar kabar di kalangan bekas umatnya bahwa oknum selibat itu telah melakukan nikah siri. Luar biasa.
Shalom Ferry,
Menurut saya, Anda tetap dapat menyampaikan fakta-fakta yang ada kepada superior dari imam tersebut tanpa perlu mengeluarkan biaya apapun. Kalau dipandang perlu maka superior dari imam tersebut yang harus mengeluarkan biaya dan bukan Anda. Memang ada sebagian dari para imam yang tidak menjalankan tugasnya dengan baik, namun di satu sisi, kita juga harus mengakui bahwa Tuhan telah memilih imam-imam tersebut untuk membantu seluruh umat Allah bertumbuh dalam kekudusan, terutama melalui sakramen-sakramen dan pelayanan mereka yang lain. Dan mari kita lakukan bagian kita untuk mendukung para imam dengan doa-doa kita.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
syalom . . maaf saya belum mendalami tentang sejarah imam iman pada perjanjian lama, khususnya tradisi imam yang mengenakan baju efod. Salah satu asesoris baju efod adalah batu urim dan tumin. Apakah penggunaa batu urim dan tumim oleh iman sebagai kepasrahan iman kepada keputusan Tuhan melalui undi. Atau ada penjelasan lain mengenai tradisi untuk mengetahui keputusan Tuhan melalui para imam jaman perjanjian lama.
Shalom Pardohar,
Demikian keterangan yang saya terjemahkan dari buku Catholic Bible Dictionary oleh Scott Hahn, New York: Double Day, 2009, p. 248-249, 936:
“Efod: Sebuah pakaian yang dipakai hanya oleh imam besar, meskipun bentuk persisnya secara kodrati tetaplah tidak diketahui dengan pasti. Baju efod yang digunakan oleh Harun dijabarkan secara mendetail di dalam Kel 28:6-9 dan 39:2-4; mirip dengan bentuk kasula dan terbuat dari emas, [kain] ungu, dan merah tua, dengan dua batu onix di bagian bahunya, dan dihiasi dengan dua belas batu berharga. Kedua batu onix mencantumkan nama keduabelas suku Israel, bahwa “haruslah Harun membawa nama mereka di atas kedua tutup bahunya menjadi tanda peringatan” (Kel 28:12). Di atas efod adalah semacam kantung atau tas yang berisi Urim dan Tumim (Kel 28:15-30; 39:8-21). Hanya imam besar yang diizinkan memakai baju efod (1Sam 14:3).
“Baju efod linen” merupakan seragam dari para imam biasa (1Sam 2:18; 22:18). Baju efod [untuk imam biasa] tidak dihiasi seperti baju efod yang dipakai oleh imam besar. Raja Daud memakai baju efod ketika menari di hadapan tabut perjanjian (2 Sam 6:14), menandakan bahwa ia mengambil peran sebagai imam di dalam kerajaannya. Baju efod yang digunakan oleh Gideon (Hak 8:27; 1Sam 23:6-10, 30:7) kemudian dijadikan obyek yang disalahgunakan dan disembah setelah kematiannya (lih. baju efod Nabi Mikha di Hak 17:5; 18:14).
Urim dan Tumim: Benda kecil yang sakral yang dipakai di dada imam besar (Kel 28:30; Im 8:8). Benda-benda tersebut kemungkinan terbuat dari batang-batang yang ditandai atau batu-batu kecil, yang diundi untuk memperoleh bimbingan Tuhan ketika orang-orang menghadapi masalah-masalah (Bil 27:21; Ul 33:8). Asal kata dan arti dari kata urim dan tumim tidak diketahui dengan pasti, dan referensi tentangnya memberikan penjelasan yang sangat minim. Undian dianggap sebagai sebuah cara untuk meminta pertolongan Tuhan (1 Sam 28:6). Abiatar membawa baju efod kepada Raja Daud (1Sam 23:6), sepertinya dengan Urim dan Tumim, yang dengannya Raja Daud bertanya pertanyaan-pertanyaan langsung dan memperoleh jawaban ya atau tidak (1Sam 23:9-12). Konsultasi melibatkan Urim dan Tumim hampir tidak pernah disebutkan di dalam masa kerajaan Israel, meskipun keberadaannya tetap disebutkan di dalam periode setelah zaman Pembuangan (Ezra 2:63; Neh 7:65). Di luar dari detail yang disebutkan di dalam perikop-perikop tentang Urim dan Tumim, tak banyak yang dapat diketahui dengan pasti tentang hal itu.”
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Shalom, saya ingin menanyakan mengenai doktrin hidup selibat. Apa saja dasar-dasarnya, baik dari Kitab Suci, Magisterium, maupun Tradisi Suci Gereja?? Kalau bisa sekaligus juga ddengan penjelasannya. Terimakasih, GBU
NB: Maaf bila pertanyaan saya salah tempat, saya mencari-cari bagian Buku Tamu kok tidak ketemu yah…
[dari katolisitas: Silakan melihat artikel di atas – silakan klik]
Mengapa imam-imam yang selingkuh dengan wanita tidak di-excomunicatio…malah dipelihara…???
Banyak contoh dan tidak perlu diungkapkan.
Salam dalam kasih Tuhan,
Jacob
Jacob yth,
Pernyataan imam yang selingkuh malah dipelihara tidak benar karena kesannya pimpinan menyetujui perbuatan yang melanggar etika hidup imam. Pasti bahwa tindakan yang melanggar akan kena sanksi. Dan sanksi ada tingkatannya. Perbuatan selingkuh adalah tindakan amoral menyangkut sikap tingkah laku, bukan tindakan iman seperti murtad. Ekskomunikasi adalah untuk tindakan melawan ajaran Gereja dan pimpinan Gereja. Maka sikap amoral imam dapat terkena suspensi, bukan ekskomunikasi.
Salam
Rm Wanta
Tambahan dari Ingrid:
Shalom Jacob,
Pada prinsipnya, Gereja Katolik tidak menolak orang-orang yang berdosa yang bertobat. Orang berdosa ini tak hanya awam, tetapi juga para klerus. Karena pada prinsipnya semua orang adalah orang berdosa. Kalau patokannya semua orang berdosa harus di-ekskomunikasikan, maka ini menjadi tidak realistis. Maka, ekskomunikasi hanya berkaitan dengan jika seseorang yang dengan keras hati menentang ajaran Gereja Katolik dan berkeras menyebarluaskan ajaran yang menentang itu kepada orang banyak (walaupun sudah diperingatkan oleh Gereja agar tidak melakukannya).
Selanjutnya tentang Ekskomunikasi, silakan klik di sini.
Maka untuk kasus imam yang selingkuh, mereka memang telah melakukan dosa (seperti halnya suami yang selingkuh), namun tidak otomatis diekskomunikasi, melainkan menerima sanksi suspensi dari Gereja. Mari kita mendoakan para imam dalam doa- doa pribadi kita, agar para imam dimampukan Tuhan untuk tetap setia di dalam panggilan hidup mereka; dan agar mereka dapat menjadi imam yang kudus dan teladan bagi umat.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati – katolisitas.org
Bu Ingrid, kita sebagai umat Katolik diharapkan untuk mendukung para imam dengan cara salah satunya adalah mendoakan mereka. Bukan hanya bagi mereka yang telah menjadi imam melainkan juga mereka yang masih calon imam atau mereka yang diharapkan terpanggil menjadi imam. Namun pada fakta di lapangan walaupun terkadang ada minggu panggilan dan umat juga berdoa untuk para imamnya, calon imam dll dalam doa lingkungan atau doa kelompok kategorial tertentu, pada kenyataannya jumlah imam tetap sedikit. Dari jumlah sedikit itu sedikit pula yang bertahan, dan dari jumlah yang bertahan itu juga tidak semuanya bagus karena kita tahu ada beberapa imam yang bermasalah. Pertanyaannya saya secara langsung adalah lalu jikalau demikian di manakah kekuatan atau fungsi doa yang diucapkan umat selama ini. Maaf bukannya tidak percaya kuasa doa melainkan sepertinya berdoa atau tidak ‘tidak ada bedanya”. Atau barangkali umat yang kurang banyak atau kurang sering atau kurang tekun dalam mendoakan imam atau frater kita? Terima kasih …………
Shalom Dave,
Dalam menggalakan panggilan, maka kita harus mempunyai pendekatan yang menyeluruh. Pendekatan ini mensyaratkan kerjasama dari semua pihak. Keuskupan dituntut agar mempunyai strategi yang jelas untuk menggalakan panggilan: dari uskup yang turut aktif dalam mendampingi calon imam – seperti seorang bapak kepada anak-anaknya; tingkat paroki yang turut menggalakan panggilan, dll. Para imam juga harus menunjukkan kepada umat bahwa menjadi imam adalah merupakan rahmat dan harus ditanggapi dengan baik dan dijalani dengan penuh sukacita, karena sukacita adalah bukti otentik dari pengikut Kristus. Kekudusan dan sukacita dari para imam akan menular dan menarik minat banyak kaum muda. Seluruh umat juga harus mendukung panggilan dengan turut mendoakan dan memberikan benih panggilan di dalam keluarga, yaitu dengan memberikan alternatif panggilan hidup sebagai seorang imam atau suster. Kita harus yakin, bahwa Tuhan telah, sedang dan akan melindungi Gereja-Nya sampai akhir zaman, sesuai dengan janjinya di Mat 16:18. Dan mari kita menjalankan bagian kita dengan baik. Tidak ada yang sia-sia, dari iman, pengharapan dan kasih, serta doa, niat baik, perbuatan baik yang kita lakukan. Tuhan akan memperhitungkan semuanya. Kalau yang menjadi bagian kita dijalankan dengan baik, maka hasilnya pasti baik, seperti yang terjadi di beberapa keuskupan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, termasuk di Amerika. Mari, kita bersama-sama mengasihi para imam.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – katolisitas.org
Untuk tim Katolisitas,
Saya mau usul agar para romo yang terlibat memberikan kesaksian mereka masing – masing dalam menanggapi panggilan Allah. Karena saya yakin setiap panggilan itu unik dan cara mereka menanggapi panggilan tersebut juga sebuah proses yang unik. Saya rasa hal ini bisa menjadi bumbu penyedap dari artikel di atas.
Usul lain lagi juga untuk para romo yang dari tarekat agar juga memberikan artikel mengenai kekhasan tarekat masing – masing. Mungkin bisa dimasukkan sejarah singkat tarekat, karisma tarekat, anggota tarekat yang menjadi Santo/Beato, formasi dalam tarekat, dan promotor panggilan untuk Indonesia. Agar katolisitas juga bisa menjadi galeri untuk promosi panggilan. Di dalam setiap acara World Youth Day selalu ada Vocation Expo tetapi sayangnya hal itu hanya untuk beberapa hari saja. Saya rasa dampaknya akan lebih luar biasa kalau Katolisitas mempunyai galeri untuk promosi panggilan.
Salam Damai,
Edwin ST
[dari katolisitas: Usulan yang baik. Nanti akan kami sampaikan ke para Romo.]
bapak Edwin ybk! bisa mengunjungi website http://www.ofm.or.id.
Pace e Bene!
terima kasih!
Mino
Yth Ibu Ingrid bersama Tim Katolisitas.org,
Terima kasih banyak atas tanggapan baik Ibu…
Oh ya, sekalian sy ingin memberikan pandangan sy tentang Pelayanan Gereja (mungkin sy salah y, mungkin domba2 -lah yg harus melayani Gereja) …. Mohon ijin utk tempatnya.
Walaupun sy sudah tidak pernah masuk Gereja lagi 2 tahun belakangan ini, tapi kalau diingat2 jarang bahkan tidak pernah sy dengar seorang Pastor menyinggung hal2 yg seperti ini. Memang sih yg dibahas saat Misa hanya yg memiliki kaitan dgn bacaan, tapi kira2 apakah semua umat saat itu membutuhkan homili yg hanya terkait ke bacaan. Mungkin hanya ret-ret saja yg bisa diandalkan. Ret2 itupun 1 tahun 1 kali.
Juga jarang dan tidak pernah sy lihat seorang Pastor mengunjungi keluarga2 yg ter “marginal” dalam masyarakat yg berada dalam lingkup penggembalaannya. Mungkin mereka memegang prinsip bahwa “orang sakitlah yg akan datang mencari penyembuhan”.
Saya tidak mengatakan semua dari Mereka, apa yg sy sampaikan ini hanyalah dari apa yg -sempat- saya lihat di lingkungan saya saja. Mungkin juga mereka sudah berkunjung tp sy yg tidak memperhatikan.
Saya berharap semoga Gembala2 yg saya sy kasihi tsb selalu terus berkarya ditengah domba2 yg sendiri, kesepian bahkan teraniaya, dan tidak hanya menunggu rintihan dari domba2-nya tsb dari tempatnya sendiri. Minimal tidak merendahkan umat tsb didepan banyak orang….
Mohon maaf sblmnya bila yg saya ucapkan ini menyinggung pihak2 tertentu. Sy tidak bermaksud merendahkan, hanya menginginkan perbaikan saja kedepannya dari apa yg sudah sy perhatikan sejak dulu, sebelum lebih banyak lagi domba yg menjadi domba tersesat seperti “martin luther” (yg sok hidup suci tapi ternyata tidak mampu menjalaninya), keluar dan menjelek2-kan… Lebih baik kita memperbaikinya dari dalam.
Ya Bunda Maria – Bunda Gereja, doakanlah permohonan kami ini kpd Putera-Mu terkasih, Tuhan kami Yesus Kristus. Amin //
Ya Yesus Tuhanku yang Maha Rahim, maafkan hamba-Mu ini bila telah berbicara lancang ttg gembala2 utusan-Mu, karena Engkau-lah Bapa yg bertahta atas kami, kini & sepanjang masa. Amin //
Semoga Ibu sekeluarga selalu diberkati Tuhan.
Shaloom,
. . . . . . . . .
Salam Antonius,
Saya setuju dengan Anda bahwa para pastor harus diingatkan selalu agar menjadi lebih mengasihi jiwa-jiwa. Setiap imam ditahbiskan untuk melayani sebagai gembala terhadap domba-dombanya yaitu umat, khususnya yang kecil miskin lemah terpencil dan difabel, menjadi pemersatu umat, mewartakan Injil, pelayan sakramen. Setiap orang Katolik yang dibaptis, menerima Krisma dan Ekaristi dengan tugas yang melekat padanya untuk menjadi pejuang pewartaan iman di tengah keluarga dan dunia kerja serta masyarakat. Seorang imam yang ditahbiskan uskup, ditahbiskan untuk menggembala umat keuskupan. Seorang kardinal dipilih menjadi paus oleh Roh Kudus melalui para kardinal sedunia untuk meneruskan pelayanan St Petrus dari Kristus mempersatukan Gereja. Seorang biarawan-wati berkaul selibat, taat, miskin demi pelayanan yang lebih utuh bagi Tuhan Sang Pemilik Kehidupan. Semuanya memiliki tugas dan wewenang masing-masing namun saling terkait sebagai satu kesatuan Tubuh Kristus di bumi seperti dalam surga. Kita saling mengingatkan dalam kebenaran dan mendoakan dengan penuh kasih. Allah tidak menunggu kita sempurna untuk berbuat kasih dan kebenaran. Ingatkanlah pastor yang sedang lalai, agar ia ingat akan tugasnya yang luhur yaitu membawa orang pada Allah dan karenanya diselamatkan. Ingatkanlah dari hati Anda yang penuh kasih, dengan langsung bicara, dengan surat, email, sms, bbm, telpon, dan doakan.
Di keuskupan saya, Keuskupan Agung Semarang, ada tradisi, tim supervisi dari keuskupan berkeliling memeriksa paroki-paroki. Yang diperiksa ialah perangkat kerja, cara kerja dan hasil kerja para penanggung jawab pastoral paroki-paroki. Tim Supervisi ini terdiri dari unsur kuria keuskupan, ahli manajemen, ahli keuangan, ahli teologi pastoral, ahli administrasi, dan ahli hukum Gereja, dan bisa ditambah ahli lainnya sesuai kebutuhan. Mereka memeriksa kelengkapan administrasi (ad + ministrare, dari bahasa latin artinya “demi pelayanan”), membuat assesment dari umat, pastor maupun pihak lain tentang pelayanan pastor dan Dewan Paroki. Semua yang salah diperbaiki dan diberitahu cara memperbaikinya. Termasuk tugas pastor yang diperiksa ialah kunjungan keluarga-keluarga. Diperiksa bukti kunjungan itu (catatan, rekaman, foto, dll). Tim Supervisi juga menanyai umat dan pastor mengenai kualitas homili menurut sudut pandang mereka. Bahkan rapat dan notulensinya, jadwal pertemuan para pastor, kebiasaan doa dan jadwal pelayanan, semua diperiksa, sampai pada statistik. Tentu saja keuangan sangat teliti diperiksa sampai neraca.
Semangatnya ialah agar pelayanan sungguh kena sasaran dan Gereja berfungsi dengan baik sesuai tujuan pendiriannya oleh Kristus. Semoga semangat “Gembala yang baik” makin meresapi para pengelola Gereja. Saya dengar semangat ini berkembang pula ke keuskupan-keuskupan lain. Berkembang di keuskupan-keuskupan adanya “Arah Dasar Pastoral” lima tahunan. Hal ini sesuatu yang baik sebagai acuan pelayanan selama lima tahun ke depan. Silakan mencari di internet dengan kata kunci “Arah Dasar Keuskupan”, pasti segera didapat rumusan Ardas itu. Ardas ini bisa menjadi acuan Anda dalam mengingatkan pastor dan seluruh unsur umat keuskupan.
Saya mengingatkan Anda pula, bahwa perayaan Sakramen Ekaristi ialah perintah Kristus. Anda dan saya tidak bisa mengabaikannya, apalagi selama dua tahun. “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku”… Jelas merupakan perintah, juga “Terimalah dan makanlah, inilah tubuh-Ku”. Dia ingin secara sakramental – real, nyata hadir dalam hidup Anda dan saya. Bukan soal perasaan suka atau tidak, melainkan kebenaran Sabda Kristus.
Semoga kita makin sempurna dalam kerendahan hati dan cinta kasih seperti permintaan-Nya dalam Injil Matius 5:48.
Salam
Yohanes Dwi Harsanto, Pr.
Yth Romo Santo,
Waduh koq sy jadi merasa bersalah y, hehehe Terima kasih buat tanggapan baik Romo (jujur, baru skrg sy bisa kontak lgsg dgn seorang Pastor utk bicara yg beginian).
Semoga Arah Dasar itu segera dicontoh oleh Keuskupan Manado. Mungkin Arah Dasar seperti ini harus lebih ditekankan ke Keuskupan2 yg adem ayem, yaitu yg berlokasi di daerah2 mayoritas Kristen dan tentunya semoga Arah Dasar tsb dapat berjalan dgn “sungguh2” … Tidak dingin, ala kadarnya, kalo benar trima apresiasi kalo salah diberi sanksi. Karena nyatanya, di daerah ini semua unsur Gereja sperti sudah mau ketiduran saja.
Dan evaluasi bg sy sendiri, semoga sy lebih rendah hati untuk menyikapi sesama manusia sekalipun sy dipandang sebelah mata… Ya Romo, saat ini sy sangat rindu utk merayakan Perayaan Ekaristi lagi.
Terima kasih ats perhatian Romo.
Semoga selalu dilindungi Tuhan dalam setiap perjuangan-nya.
Salam Kasih dalam Tuhan,
The Catholic guns
[Dari Katolisitas: mungkin maksud Anda the Catholic guys bukan guns? Sebab guns artinya senjata?]
Yth Antonius,
Saya setuju dengan perkataan Anda untuk memperbaiki dari dalam. Hal itulah yg dilakukan St. Fransiskus Asisi dan St. Ignatius Loyola. Sama seperti membangun negeri kita yg korup ini dari dalam lebih susah dibandingkan hanya menjelek2an saja.
Alangkah sangat baiknya Anda yang katanya sudah 2 tahun tidak pernah ke Gereja, kembali ke Gereja dan ikut aktif dalam kegiatan paroki Anda dan memberikan masukan kepada pastor paroki sesuai keahlian Anda.
Salam,
Edwin
Syalom
Dulu saya bercita2 jadi pastor tapi gak kesampaian pertanyaan saya apakah bisa orang awam seperti saya masih bisa usia saya 38 tahun kalau bisa syaratnya bagaimana terima kasih
Mikael yth
Untuk dapat menjadi imam harus melalui pendidikan calon imam di Seminari Menengah atau KPA lalu ke TOR atau Novisiat lalu ke Seminari Tinggi. Untuk usia Mikael perlu ada wawancara dan bimbingan khsusus karena termasuk panggilan terlambat. Maka hal itu adalah urusan Uskup diosesan atau provinsialat dimana Mikael melamar, mau menjadi imam diosesan atau biarawan? Kalau Tuhan memanggil tentu bisa terjadi, silakan saja melamar ke Uskup diosesan atau rama Provinsialat di mana Anda mau melamar menjadi imam.
Salam
Rm Wanta
Antonius Yth
Untuk intensi Misa yang terlalu banyak maka harus dibagi dengan para Pastor lainnya, sehingga jumlah yang banyak dalam setahun bahkan bulan, dapat didoakan dalam setiap Misa. Jadi jangan diborong seorang pastor. Prinsipnya satu intensi untuk satu Misa. Saya yakin bahwa para pastor di Ganjuran ada banyak, tidak seorang diri dan harap dicatat sesudah didoakan dalam setiap Misa. Maka harus ada buku Intensi Misa di tempat itu. Demikian penjelasan saya terimakasih
salam
Rm Wanta
halo syalom,….
saya mau tanya, begini pertanyaannya
apakah orang yang sudah menjadi imam dan dia memutuskan untuk keluar itu bisa tidak? Mohon penjelasannya
Floren yth,
Imam yang sudah keluar masih terikat dengan janji selibat dan kewajiban sebagai seorang imam, karena itu jika keluar harus memohon dispensasi dari kewajiban dan janji atau kaul selibatnya, baru bebas menjadi awam.
Salam,
Rm Wanta
Shalom katolisitas!!!!!
Saya mau tanya sejarah hidup selibat sebagai kaul (bagi biarawan/wati) atau sebagai janji (bagi religius). Sejak kapan hidup selibat itu dijadikan kaul/janji yang begitu mengikat??? Hal ini saya tanyakan karena ketika saya membaca sejarah gereja, saya menemukan bahwa ada imam bahkan uskup memiliki istri dan anak. Dari sejarah juga saya mengetahui salah satu kehancuran gereja dulu karena adanya sistem nepotisme dalam gereja: anak, keponakan, dll diangkat menjadi pastor atau uskup. Ini, sekali lagi, menguatkan tidak adanya kaul/janji hidup selibat.
Selain itu, kenapa para imam dari Kristen Ortodoks boleh menikah???
Terima kasih atas jawabannya. Sekali lagi saya berharap kesediaan katolisitas menjawabnya di email saya: adrian.su4@gmail.com
Salam dan terima kasih!!!
[dari katolisitas: silakan melihat artikel ini – silakan klik.]
Syaloom Katolisitas.org.
Saya mau tanya, sejak kapan SELIBAT menjadi aturan bagi para imam, biarawan dan biarawati? Karena dari sejarah gereja yang pernah saya baca, banyak imam, uskup bahkan paus tidak terikat dengan hdup selibat. Mohon penjelasannya.
Terima kasih. Tuhan memberkati!!!!
[dari katolisitas: silakan membaca artikel di atas – silakan klik dan juga dialog ini – silakan klik.]
Syalom buat Katolisitas.org,
Saya mau tanya soal sejarah selibat sebagai salah satu kaul/janji para imam, biarawan dan biarawati. Sejak kapan persisnya aturan selibat diterapkan. Karena dari sejarah yang saya tahu ada banyak imam, uskup bahkan paus punya istri bahkan gundik. Di samping itu, saudara kita dari Timur imamnya boleh menikah. Kenapa gereja kita tidak?
Terima kasih, Tuhan memberkati!!!
(Kalau bisa, jawaban kirim juga ke alamat email saya ya???)
[dari katolisitas: silakan melihat artikel dan diskusi: klik ini, klik ini]
Apakah dasar hidup selibat? Ada yang bilang itu tak ada dasarnya dari Alkitab dan bukan kehendak Tuhan sendiri, karena Tuhan mengendaki manusia bertambah banyak, seorang lelaki akan bersatu dengan isterinya (Mat 19:5). Ada yang bilang ada walaupun implisit dalam Mat 19:10-12, Wahyu 14:4 (dari buku karangan Scott Hahn “Rome Sweet Home”). Kapan dalam sejarah Gereja, selibat diwajibkan bagi imam? Jika ada paus punya anak saya kira wajar jika waktu itu belum diwajibkan selibat karena memang tidak wajib atau belum diwajibkan. Nah, apakah kewajiban itu sejak para rasul atau dengan keputusan konsili apa tahun berapa? Sekarang ada orang ingin agar hukum selibat dicabut saja. Bagaimana tanggapan Gereja? Salam saya: Isa Inigo
[Dari Katolisitas: Silakan anda membaca terlebih dahulu artikel: Kami mengasihimu, Pastor, silakan klik, dan juga tanya jawab di bawahnya yang sudha cukup panjang membahas mengenai selibat ini. Selibat memang tidak hanya mempunyai dasar Kitab Suci, tetapi juga Tradisi Suci, seperti telah disampaikan di artikel di atas]
Terimakasih atas jawaban romo. Doa kami menyertai semua rohaniawan rohaniwati agar tetap hidup dalam kekudusan.
Saya baru mengikuti katolisitas org. Maaf jika pertanyaan ini sudah dibahas sebelumnya. Apakah sebenarnya arti sabatikal itu dan bagaimana penerapannya? Karena saya mendengar ada seorang imam yang telah melakukan perbuatan yang sungguh tercela dan kemudian beliau dipindahkan dengan alasan sabatikal, tepatkah itu? Terimakasih.
Detrianti yth,
1. Sabatical year diberikan kepada imam yang telah menjalani tugas selema 10 tahun 15 tahun atau 20 tahun atau 25 tahun sebagai bagian dari on going formation.
2. Imam yang mengalami kasus sebaiknya tidak diberikan untuk sabatical year melainkan mendapatkan perawatan rohani dan masalahnya secara khusus dengan pendamping rohani yang sudah teruji keahliannya bisa memberikan bimbingan kepada imam tersebut.
3. Imam yang bermasalah diberi waktu untuk bisa memulihkan keadaan dengan mengambil waktu untuk beberapa bulan bahkan tahun ditempat yang khusus seperti Rawaseneng, Gedono, Roncali atau Salatiga, Girisonta dan lainnya.
salam
Rm Wanta
Bisakah saya mendapatkan informasi mengenai kriteria pemilihan seorang asisten Imam? Apa saja yang menjadi syaratnya? bolehkah seorang yang belum menikah menjadi asisten Imam?
Karena saya sempat membaca dalam I Tim 3 :1-7 dan 8 – 13 bahwa salah satu syarat untuk menjadi penilik jemaat dan diaken adalah suami dari satu isteri.
Apakah perbedaan antara penilik jemaat dan diaken dalam iman Katolik? juga apakah kedua jabatan ini berbeda dengan asisten Imam?
Terima kasih, mohon penjelasannya.
Yashinta
Yashinta Yth
Kriteria sebagai seorang asisten imam:
1. Seorang katolik (telah dibaptis), beriman katolik dan dipraktekan dalam hidup,
2. Memiliki nama baik di dalam kehidupan Gereja dan Masyarakat, (hidup keluarga yang baik)
3. Memiliki tanggungjawab, berintegritas dan selalu bersedia melayani,
4. Minimal usia 45 tahun (bisa disesuaikan dengan kondisi keuskupan),
5. Mengikuti pembekalan sebagai asisten imam sampai tuntas (seleksi dan wajib diikuti)
Seseorang yang belum menikah dapat menjadi seorang asisten imam jika memenuhi syarat- sayarat di atas.
salam
Rm Wanta
jika pria itu sekolah ke seminari.. wanitanya sekolah apa ya? dimana saya bisa melihat nama/alamat sekolahnya? Trimakasih
Didi Yth
Sekolah suster tidak ada, yang ada adalah rumah pembinaan bagi suster. Di dalam rumah pembinaan itu ada kursus/sekolah diberi banyak pelajaran ttg ordo/tarekat hidup rohani dan banyak hal lain sehubungan dengan pembinaan.
salam
Rm Wanta
Selamat siang..
Saya ingin sharing saja dan meminta saran.
Saya sudah lama bercita-cita ingin menjadi seorang Imam. Namun, saya masih bingung apakah ini kehendak Tuhan atau bukan. Bagaimana ya untuk mengetahuinya??
Sampai saat ini, keinginan saya itu masih mendapat penentangan dari orangtua saya. Saya sangat bingung apa yang harus saya lakukan. Saya tidak ingin membuat orang tua saya sedih dan kecewa dengan keputusan saya menjadi seorang imam, tapi saya juga tidak bisa melepaskan keinginan untuk menjadi seorang imam dalam hati saya. Keinginan saya tersebut selalu saja bergaung dalam hati saya…
Mohon bantuannya ya. Gbu.
Shalom Anggha,
Kami bersyukur mendengar sharing anda. Semoga Roh Kudus membimbing anda untuk mengetahui kehendak-Nya dalam hidup anda.
Silakan juga, jika anda berdomisili di Jakarta, untuk menghubungi Romo Wanta agar dapat memperoleh bimbingan/ pengarahan. Beliau dapat dihubungi di Wisma Pastoran Unio: Jalan Kramat VII No.10
Jakarta Pusat 10340
Ph. +62-21-31924761
Fax. +62-21-3144204
Email sekretariat@unio-indonesia.org.
Silakan membuat janji terlebih dahulu, untuk bertemu dengannya pada sore/malam hari.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Syalom Romo, Pak Stef dan Ibu Ingrid
Langsung saja ke pertanyaan dan mohon maaf jika sudah pernah ditanyakan.
1. Diakon adalah tahap terakhir sebelum ditahbiskan menjadi imam. Memang saya tahu ada diakon yang tidak menjadi imam dan boleh menikah. Tetapi kemarin saya membaca di suatu majalah bahwa ada frater – frater yang seumur hidupnya hanya menjadi frater. Apakah ini hanya sebutan saja bagi mereka yang memilih hanya menjadi diakon? atau sebenarnya memang ada frater yang tidak menjadi imam? Lalu apa yang membedakannya dari diakon?
2. Lalu ada juga jabatan bruder. Yang saya tahu bruder adalah seseorang selibat tetapi lebih kepada kegiatan – kegiatan sosial. Misal, sekolah – sekolah, panti asuhan, dll. Tetapi apa bruder ini juga dapat menerimakan sakramen seperti layaknya diakon?
3. Apakah hanya uskup saja yang dipilih menjadi kardinal?
Terima kasih atas penjelasannya
Nico
Nico Yth
Pertanyaan pertama ada dua hal pokok. panggilan menjadi imam, dan panggilan menjadi religius (tidak selalu menjadi imam). Frater dalam pertanyaan anda adalah religius dan tidak menjadi imam. Frater atau Bruder hal yang sama maksudnya. Diakon adalah calon imam yang telah menerima tahbisan diakonat dan akan menjadi imam (sesudah 6 bulan tahbisan diakonat). Bruder bisa menjadi imam asalkan memenuhi syarat tahbisan, dan sesuai ketentuan ordo atau serikat atau tarekatnya. Pertanyaan ketiga peraturan sekarang yang menjadi kardinal selalu setelah menerima tahbisan episkopat.
salam
Rm Wanta
Saya sangat resah membaca di koran-koran dan juga internet tentang skandal sex para imam di Eropa dan Amerika. Saya juga yakin itu ada di Indonesia hanya saja tidak dibuka. Entah apa alasannya. Mungkin demi nama baik, memberi kesempatan pelaku untuk bertobat, atau alasan lainnya. Selama ini yang saya tahu setiap biarawan/biarawati yang terlibat masalah biasanya hanya dipindahtugaskan. Pernah ada suster yang menilep kolekte berkali-kalil hanya dipindah. Juga imam yang terlihat akan ada pelanggaran terhada[ kaul kemurnian juga hanya dipindah. Terhadap skandal yang sekarang ini Bapa Suci intinya hanya meminta maaf dan memahami luka yang ditimbulkan akibat skandal itu. Walaupun saya Katolik, saya tidak sependapat dengan cara yang ditempuh gereja dengan hanya memindah pastor yang bersangkutan dan tidak memperkenankan mereka dituntut di depan pengadilan sipil. Memang sih menurut KHK gereja Katolik punya hukum khusus dan eksklusif terhadap umatnya tetapi kelakuan mereka ini sungguh menimbulkan trauma/tekanan psikologis terhadap korban. Bertahun-tahun mereka mengalami stress, depresi, dan malu. Dalam homili penutupan tahun imam pun Paus tidak mengatakan sesuatu yang baru tentang langkah gereja terhadap hal itu. Banyak umat Katolik Irlandia mulai apatis dan pindah agama. Teman saya pun mengatakan bahwa ia mengaku Katolik abangan karena ia kecewa terhadap institusi yayasan Katolik yang tidak transparan dalam uang terlebig sikap terhadap skandal sex ini. Mengapa gereja tidak membiarkan pelaku dituntut di pengadilan sipil dan mengapa gereja tidak memberi santunan pada korban. Lalu tentang yayasan Katolik. Saya sendiri mengalami perlakuan tidak adil tentang honor sebagai pengajar honorer. Dari 2002-2007 dihonori Rp 400 ribu. Teman-teman yang sudah pegawai tetap pun mengeluh gajinya dibawah negeri. Yayasan selalu mengatakan kalau unit kerja kami selalu defisit tetapi ia tidak pernah mau bicara tentang keuangan yayasan bahkan guru yang mengeluh tentang gaji disemprot habis-habisan. Kata-kata mutiara’ upahmu besar di surga’ atau carilah dulu kerajan Allah maka semuany akan ditambahkan bagimu’, atau ‘Allah adalah kasih’ selalu dipakai utj membungkam kami. Lha, mereka hidup ditanggung ordo sedangkan para guru menanggung suami/istri/anak dengan segala macam kebutuhan. Saya merasa gereja tidak oeduli pada hal seperti itu. Gereja seprtinya tidak mau bergerak karena sudah mapan. Apa benar gereja milik orang miskin dan sungguh miskin? Itu dulu. Sekarang…tidak tahu. Mungkin juga perlu konsili lagi.
Anton Yth
Terimakasih atas ungkapan uneg-uneg keluh kesahmu pada kami katolisitas.org. Secara pribadi saya pun merasakan hal itu, namun kita tidak boleh tenggelam sampai melumpuhkan diri dengan masalah-masalah itu. Kita harus bangkit dan berjalan menatap ke depan, mencoba mengatasi masalah itu. Kalau soal honor pekerja saya tidak memiliki kewenangan dimana anda bekerja. Mungkin bisa disampaikan kepada pimpinan tempat anda bekerja agar bisa dicarikan jalan keluar. Soal pastor yang hidupnya ditanggung tarekat itu memang jalan hidupnya dan tanggungjawab tarekat, saya tidak bisa merubahnya. Memang kehidupan imam demikian karena dia sudah meninggalkan semuanya untuk pelayanan Tuhan dan hidup dari komunitas/tarekatnya, tarekatpun mencari dana untuk menghidupi anggotanya yang banyak (ada susahnya juga karena tidak memiliki pekerjaan tetap). Untuk konsili itu bukan kewenangan kita tetapi Paus dan Dewan para Uskup dengan melihat urgensitasnya dan manfaatnya bagi perkembangan Gereja Katolik. Pilihan untuk berpihak pada orang miskin benar sudah banyak yang melakukan namun toh masih tetap harus diperjuangkan untuk semua umat. Kita Gereja belum sempurna dan terus memperbaharui dirinya.
salam
Rm Wanta
Kalau kita masih percaya, “bukan engkau yang memilih-Ku, namun Aku yang memilihmu” juga “tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mu lah yang terjadi” maka bisa dipahami/ dimengerti bahkan Paus pun tidak memberi sanksi selain mutasi/ pindah, kecuali yang bersangkutan melakukan pengakuan dosa, baru ada sanksi pengakuan dosa, atau ybs menyatakan mengundurkan diri sebagai imam.
“Menghukum” adalah tidakan orang tua kepada anak, kalau tindakan orang tua kepada orang tua sebaiknya adalah “mengingatkan”
Sering kali pengadilan dan penghukuman publik lebih berat dirasakan ( jadi trauma seumur hidup ) dari pada hukuman penjara yang jelas ada penebusannya yaitu masa tahanan, Pemimdahan tugas pastilah dimaksudkan agar ybs bisa introspeksi dan refleksi diri.
Setahu saya para biarawan/ biarawati sangat kuat ditanamkan sikap berserah diri, “kehendak-Mu lah yang terjadi”
Kita juga memandang menjadi Katolik adalah menjadi “luhur dan mulia” ( semoga kita selalu memandang seperti itu ) sehingga kalau terlihat “oknum” Katolik berbuat cela, kita berkata ( setengah heran ) “orang Katolik kok begitu?” atau “romo kok begitu”
Pemahaman/ penilaian kita secara sepihak sering membutakan, membuat kita menutup diri, membuat kita beranggapan “ah, paling-paling akhirnya begitu juga” sehingga kita tidak lagi tergelitik mengarapkan kabar gembira. Saya juga pernah merasakan pengalaman yang sama seperti anda. GBU.
[dari katolsitas: Dalam kasus beberapa imam yang tidak menjalankan imamatnya dengan baik, maka superior, uskup dan Paus dapat mengambil tindakan tegas, dengan terus memberikan kesempatan untuk bertobat. Mari kita bersama-sama berdoa untuk para imam.]
Dear Stef dan Inggrid,
Saya membaca surat Bapa Suci ini dengan pedih (http://www.vatican.va/holy_father/benedict_xvi/letters/2010/documents/hf_ben-xvi_let_20100319_church-ireland_en.html). Ternyata penyimpangan-penyimpangan yang terjadi tersebut tidak hanya melibatkan para Pastor namun juga Uskup di Irlandia. Sebelumnya, Bapa Suci juga sudah direpotkan dengan penyimpangan serupa, misalnya di Amerika, Australia, Jerman, Austria dan lain-lain. Bagaimana pendapat Stef dan Inggrid, sebenarnya apa yang terjadi dengan pembinaan pastor-pastor kita? Adakah yang perlu diubah? Bagaimana seharusnya peran kita kaum awam? Terima kasih.
Thomas Yth
Pembinaan calon imam dan imam (OGF) merupakan suatu proses yang
panjang dan berkesinambungan. Sejak di Seminari menengah sampai
tahbisan hingga menjadi imam adalah panggilan pembinaan yang tanpa
henti, seumur hidup. Itulah beratnya. Godaan dan tuntutan zaman yang
berubah mengharuskan para pembina calon imam dan imam melakukan
pembaruan program pembinaan yang up to date dan inovatif kontekstual.
Tidaklah gampang. Membutuhkan banyak tenaga dan dana sehingga harapan
Gereja terpenuhi menjadikan imam yang baik dan suci. Apa yang
dilakukan di Indonesia? KWI bekerjsama dengan MASI membentuk suatu
lembaga: Badan Kerjasama Bina Lanjut Imam Indonesia (BKBLII) hingga
kini mengadakan pembinaan ke tiap keuskupan, di samping ada pusat
pembinaan spiritualitas dengan program- programnya bisa dimanfaatkan, bahkan
Unio Indonesia mengadakan program OGF bagi para imam. Komisi Seminari
mengadakan animasi tiap tahun ke seminari2 Indonesia, pertemuan
lokakarya rektor dan dosen serta pelatihan-pelatihan. Itupun masih
kurang dan belum terjangkau seluruh imam yang berjumlah 1.740 imam
diosesan dan 1.936 imam tarekat religius. Siapa yang bertanggungjawab?
Para pimpinan Gereja Lokal dan Tarekat, pribadi imam itu sendiri serta
umat beriman seluruhnya. Apa yang anda bisa sumbangkan? Banyak tapi
ambil beberapa atau satu hal saja. Misalnya: gampang dan mudah dana
pembinaan, memberi pelatihan, sumbangkan gagasan apa yang kurang dalam
diri imam, memerhatikan imam, kasihi dan dukung hidup panggilannya,
doakan setiap hari agar tetap menjadi imam yang baik dan suci. Semoga
dipahami. Berkat Tuhan.
salam
Rm Wanta
Dear Thomas,
menurut saya. semua masalah itu akhirnya harus kita kembalikan pada adanya kehendak bebas dari para imam yang tidak pada relnya itu.
artinya, kita tidak bisa menyalahkan Gereja Katolik.
Jika kita pakai logika itu (cukup banyak imam nyeleweng berarti Gereja Katolik gak bener), berarti Yesus gak bener dong karena yudas iskariot menjadi pengkianat). Yesus tetap adalah Kebenaran meskipun muridNya sendiri nyeleweng. Saya sendiri tetap bangga menjadi orang Katolik meskipun cukup banyak imam nyeleweng atau orang lain nonkatolik menyerang katolik karena kasus kasus itu.
[dari Katolisitas: Nampaknya perlu disadari juga bahwa jumlah imam yang tidak setia akan panggilan hidupnya atau hidup tidak sesuai dengan panggilannya itu jumlahnya relatif sangat rendah jika dibandingkan dengan jumlah imam yang tetap setia dan hidup baik seturut panggilannya]
Apakah mungkin orang tuli bisa menjadi pastor?
Charles Yth
Ketika asistensi pastoral di Birmingham, saya pernah melihat seorang rama sebagai kapelan merayakan misa hari Minggu untuk kelompok khusus umat bisa tuli. Dia menggunakan bahasa isyarat meskipun rama itu tidak bisu tuli. Sebulan sekali mereka bertemu dan misa. Karena itu mungkin karena kebutuhan Gereja lokal Uskup dapat menahbiskan seorang yang tuli untuk melayani umat yang khusus pula. Pengakuan dosa dengan bahasa isyarat, tidak ada masalah.
salam
Rm wanta
Tambahan dari Stefanus Tay:
Silakan melihat berita ini (silakan klik), ini (silakan klik). Lihat juga berita ini (silakan klik), dimana Paus Benediktus menjadikan seorang pastor yang tak dapat mendengar menjadi prelate of honor.
Lihat video ini:
homlialia 9-01-10.01
Uploaded by pastoraldelsordo. – Videos of family and friends from around the world.
Lalu, di Indonesia ada yang terima romo yang tuli? Alamatnya di mana? Atau sudah tidak umum lagi di Indonesia? Hanya yang bisa di luar negeri saja?
Charles Yth
Di Indonesia terus terang saya kurang tahu apakah ada keuskupan yang mau menerima calon imam yang tuli atau tarekat yang menerima anggotanya dalam keadaan tuli. Ingat yang saya ceritakan di Keuskupan Birmingham adalah romonya sehat tapi melayani orang tuli.
salam
Rm Wanta
Salam kasih saudara Charles,
Dalam majalah CatholicOutlook edisi September 2012 terdapat artikel yang ditulis oleh Steve Pringle tentang Father Cyril Axelrod CSsR, yaitu seorang pastor yang tidak hanya tuli tapi juga buta. Sudah 42 tahun lamanya beliau mengabdi sebagai pastor dalam ordinarisnya dan sampai saat ini pun masih menjalankan misinya dalam menyebarkan Khabar Gembira Kristus diantara lingkungan masyarakat terpinggir, khususnya dalam kategori keterbatasan buta dan tuli. Untuk lebih lengkapnya saudara dapat juga membaca dari sumber aslinya di link berikut ini: http://www.parra.catholic.org.au/catholicoutlook/news/latest-news.aspx/fr-cyril-on-a-mission-to-change-attitudes.aspx
Dalam kesehariannya Fr. Axelrod tinggal sendirian di sebuah flat lantai 3 di London. Setiap minggu ada seorang pemandu (bukan perawat) datang membantu untuk memberitahukan berapa dan kapan tagihan kebutuhan bulanan yang harus dibayarnya serta menemaninya berbelanja kebutuhan sehari-harinya guna membantu membaca label dsb.
Dalam keadaan lainnya beliau adalah seorang yang independen. Dengan menjaga sikap ketidaktergantungannya itu Fr. Axelrod menggunakan teknologi seperti halnya mesin Braille, sebuah iPhone dan sebuah bel pintu dengan accessory yang dapat bergetar untuk menandakan bahwa seseorang berada dimuka pintu.
Bagi Fr. Axelrod, kecacatannya adalah sebuah kesempatan. Beliau percaya bahwa hal itu adalah tujuan Allah untuk memiliki keragaman dalam kemampuan dan kekurangan/kelemahan kita. Fr. Axelrod telah membuat perbedaan dalam banyak hal, yang salah satunya adalah dengan kemampuannya berkomunikasi dengan orang-orang dalam bahasa asal mereka, seringkali untuk pertama kalinya, agar mereka sungguh-sungguh dapat mengerti pesan dan tujuan Allah. Bahwasanya, Ia memiliki kemampuan berbicara dalam 9 bahasa yang berbeda.
Fr. Axelrod dalam misinya yang adalah untuk mengubah sikap, sehingga orang-orang yang mencoba untuk membantu, benar-benar meminta penyandang cacat apa yang mereka inginkan daripada memutuskan apa untuk mereka…sama seperti Yesus lakukan (lih. Mrk 10:51). Dalam artikel tersebut Fr. Axelrod juga memberikan kita pesan abadi sbb:
•“Kita dipanggil untuk menjadi saksi yang bisa mengubah sikap.”
•“Amal sejati bukanlah kewajiban tetapi tentang perubahan yang membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.”
Demikian sekilas kisah Father Axelrod; untuk informasi lebih lanjut silahkan kunjungi http://cyrilaxelrod.wordpress.com/ Akhir kata, mohon maaf dan mohon koreksinya bila ada salah-salah kata dalam menginterpretasikan artikel tersebut di atas. Tuhan memberkati kita semua.
Peace and Best Wishes
Anastasia Rafaela
Dear Stefanus,
Saya kira ada beberapa bagian dari artikelmu yang menurut saya kurang tepat.
Pertama, anggapan Anda berdasarkan 1 Tim 3:1-4 bahwa setelah tahbisan para pria berkeluarga menjalani pantang hubungan perkawinan adalah sesuatu yang tidak berdasar. Ini adalah teori baru yang dipopulerkan terutama oleh Kardinal Alfons Maria Stickler.
Kedua, Konsili Elvira adalah Konsili lokal Gereja Latin (Spanyol) dan bukan Konsili seluruh Gereja Katolik, juga dalam Konsili Karthago saya kira yang dimaksudkan adalah selibat sementara jika hendak melayani Ekaristi maka para Imam berpantang sementara dari hubungan seksual dengan istri mereka. Juga istilah “tradisi Apostolik” kerap kali dipakai secara amat luas dan seringkali suatu tradisi disebut Apostolik karena umum di wilayahnya.
Ketiga, tidaklah benar bahwa kewajiban selibat Imam adalah Tradisi Apostolik, juga perkembangan doktrin tidak pernah menunjukkan bahwa kewajiban selibat Imam adalah bagian dari Tradisi Apostolik. Gereja-gereja Timur menahbiskan para Imam berkeluarga. Kita semua tahu pada masa lalu misalnya di Amerika Serikat para Uskup Latin yang ceroboh telah mencoba mempengaruhi Paus agar di Amerika para Imam yang berkeluarga dipulangkan ke negara asal dan umat Timur di Amerika hanya dilayani oleh Imam-imam yang selibat dan kebijakan itu hasilnya adalah separuh umat Timur menjadi Ortodoks.
Keempat, kebiasaan menahbiskan pria berkeluarga di Timur jauh lebih tua dan lebih dekat kepada Para Rasul daripada kebiasaan Latin yang mewajibkan selibat bagi para Imam.
Pada dasarnya komentar saya sama seperti Agios hanya saya berusaha lebih detail. Saya sarankan Anda juga membaca
http://east2west.org/mandatory_clerical_celibacy.htm
Dragani menunjukkan bahwa kewajiban selibat bukanlah bagian dari Tradisi Apostolik, tetapi adalah tradisi Latin.
Salam dalam Kristus.
Hanya menambahkan posting saya sebelumnya, Anda mengacu kepada Konsili Elvira (306), Konsili Carthage (390), dekrit Paus Siricius (334-399) dan Innocent, Paul VI, dan akhirnya Gregorian reform dari St. Leo IX (1002-1054) dan St. Gregory VII (1020 – 1085) untuk menunjukkan bahwa proses development of doctrine mengarah bahwa selibat Imam adalah bagian dari Tradisi Apostolik. Saya kira semua dokumen ini adalah dokumen Latin, dan para Paus St. Leo dan St. Gregorius tidak berniat untuk menetapkan kewajiban selibat menjadi suatu yang berlaku universal tetapi hanya untuk Gereja Latin (sebagaimana nampak bahwa Gereja-gereja Katolik Timur tetap pada tradisinya). Jadi kenyataan ini menunjukkan Anda tidak bisa meng-appeal kepada proses development of doctrine dalam hal kewajiban selibat para Imam, apalagi Konsili Vatikan II juga menyatakan menghormati tradisi Timur ini dan memandangnya sah (Prebyterorum Ordinis 16) karena proses itu justru menunjukkan bahwa kewajiban selibat hanyalah tradisi lokal Gereja Latin dan bukan Tradisi Gereja Katolik.
Gereja Timur berdasarkan Tradisi Apostolik dan tradisinya menjunjung tinggi selibat tetapi mewajibkan para Imam untuk berselibat bukanlah Tradisi Apostolik tetapi tradisi Latin. Tradisi itu baik dan bermanfaat tetapi hanya bagi Gereja Latin.
Di post sebelumnya saya mengajukan link yang sama dengan yang diajukan sdr. Agios (saya ceroboh dan tidak melihat bahwa dia sudah memasukkannya. Mohon maaf untuk kecerobohan ini). Dan jika dipandang cocok silahkan post ini dijadikan satu dengan post sebelumnya.
Terima kasih.
Shalom Daniel Pane,
Terima kasih atas tanggapannya tentang artikel priestly celibacy. Mungkin satu hal yang kita harus sadari, dimana mungkin kita dapat menemukan satu titik pandang yang dapat sejalan, yaitu bahwa priestly celibacy mempunyai kelebihan, karena itulah yang dicontohkan oleh Yesus dan juga rasul Paulus. Karena Yesus tidak menikah, maka orang yang mempunyai posisi imam adalah baik untuk mengikuti Yesus dengan sempurna, termasuk dalam hal celibacy. Hal ini dikatakan oleh Yesus sendiri “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” (Mt 19:12). Kasus yang “lahir demikian” dan “dijadikan demikian” mengacu kepada sida-sida Kasus yang ke-dua adalah orang yang “membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri” oleh karena Kerajaan Sorga adalah orang-orang yang hidup selibat, termasuk adalah para pastor. Mereka melakukan selibat karena Kerajaan Sorga. Dan hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh rasul Paulus “Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya.” (1 Kor 7:32).
Secara teologis, priestly celibacy juga dapat dipertanggungjawabkan, karena imam bertindak sebagai Kristus (in persona Christi). Dan karena Kristus adalah mempelai laki-laki dan Gereja adalah mempelai perempuan, maka menjadi “fitting” kalau seorang imam tidak menikah. Dan saya rasa Gereja Timur juga menjunjung tinggi adanya priestly celibacy. Kita melihat bahwa sampai saat ini, seorang uskup dari Gereja Timur haruslah diangkat dari imam yang hidup selibat. Dan kita juga dapat melihat dari alasan kepraktisan, dimana imam yang tidak menikah tidak memikirkan hal-hal duniawi, namun lebih terfokus pada hal-hal Sorgawi (lih. 1 Kor 7:32). Namun, kita berdua setuju bahwa celibacy bukanlah merupakan matter maupun form dalam Sakramen Imamat, sehingga Sakramen Imamat yang dilakukan di Gereja Timur adalah tetap sah, walaupun diberikan kepada orang yang telah menikah.
Berikut ini adalah jawaban yang dapat saya berikan atas tanggapan Daniel:
1) 1 Tim 3:1-4: Saya telah mencoba menjabarkan hal ini di komentar yang lain, dimana saya menuliskan: Kalau kita melihat “The biblical foundation of priestly celibacy” – Ignace de la Potterie, Biblical scholar, dapat dilihat disini (silakan klik), dikatakan:
a) “…. the bishop ought to be unius uxoris vir (1 Tim 3:2), so ought the priest (Tit 1:6) and so ought the deacon (I Tim 3:12)…”
b) So what does it mean that the minister of the Church should be «the husband of one wife»? In the following pages we shall first try to show that the formula unius uxoris vir, up to the fourth century, was understood, as Stickler so well puts it, «in the sense of a biblical argument in favour of celibacy of apostolic inspiration: for the Pauline norm was interpreted in the sense of a guarantee assuring effective observance of continence by ministers who were already married before they were ordained.»In the second part, we shall take a step forward: we shall propose a deeper theological interpretation of the Pauline stipulation itself, to show that, already in New Testament times it actually does propose the model for the ministerial priesthood of a marital relationship between Christ the bridegroom and the Church his bride, on the basis of the mystical view of marriage which St Paul frequently mentions in his letters (cf 2 Cor 11:2; Eph 5:22-32).10 From this, it will become abundantly clear that, for married ministers, their ordination implied an invitation to live in continence thereafter.
c) Dan kemudian di bagian “Conclusion”, dikatakan:
In order to grasp the way in which we have tried to show the biblical basis of priestly celibacy, it is important to distinguish between celibacy and continence. In the ancient Church, many priests were married. This explains why, in speaking of the ministers of the Church, the formula unius uxoris vir came to be used. It also explains the great interest the Fathers had in monogamous marriage (cf for instance Tertullian: De monogamia). But it becomes clearer still in the Tradition that for a minister of the Church, united once in matrimony with a woman, acceptance of the ministry brought with it the consequence that he had to live in continence thereafter.
d) Dalam 1 Tim 3:2 dikatakan bahwa seorang uskup menjadi suami dari satu istri, dapat juga dimengerti bahwa istri disini adalah mewakili Gereja (the Bride of Christ).
e) Bandingkan juga dengan dokumen: Priestly celibacy in patristics and in the history of the Church, Roman Cholij, Secretary of the Apostolic Exarch for Ukrainian Catholics in Great Britain (klik disini).
“Eusebius of Caesarea, a prominent bishop at the Council of Nicaea, writes in the Demonstratio Evangelica, I, 9 (3 15-325): «It is fitting, according to Scripture, ‘that a bishop be the husband of an only wife’. But this being understood, it behoves consecrated men, and those who are at the service of God’s cult, to abstain thereafter from conjugal intercourse with their wives.» St Jerome, who had a good knowledge of the Eastern Churches, writes to the priest Vigilantius (406): «What would the Eastern Churches do? What would (those of) Egypt and the Apostolic See do, they who never accept clerics unless they are virgins or continent men, or if they had had a wife, (accept them only) if they give up matrimonial life…» (Adversus Vigilantium, 2).“
Dan tulisan dari St. Jerome sebenarnya cukup mendukung gagasan penafsiran dari 1 Tim 3:1-4. St. Jerome, di dalam Adversus Vigilantium, 2 mengatakan “Apa yang dilakukan oleh Gereja Timur? Apa yang dilakukan oleh Gereja di Mesir dan di Roma (Apostolic See), mereka tidak pernah menerima para imam kecuali kaum pria yang jejaka (virgin) atau yang hidup selibat (continent), atau jika mereka telah mempunyai istri, (mereka diterima hanya) jika mereka tidak menggunakan hak kehidupan perkawinan (hidup selibat).“
2) Mari kita melihat beberapa konsili beserta dengan tulisan Bapa Gereja yang membahas tentang priestly celibacy:
a) Tertullian (160-220) menuliskan bahwa para bidat dapat mempunyai tanda-tanda luar dari orang-orang beriman, seperti celibacy. (Tertullian, The Demurrer Against the Heretics, ch. 40. no. 5, in The Faith of the Early Fathers, ed. William A. Jurgens (Collegeville, MN: The Liturgical Press, 1970) vol. 1, 123)
b) Clement of Alexandria (195) menuliskan “Peter and Philip fathered children, and Philip gave his daughters in marriage. Furthermore, Paul did not hesitate to mention his ‘companion’ in one of his epistles…He says in his epistle, ‘Do I not have the right to take along a sister-wife, as do the other apostles?’ [1Cor 9:5] However the other apostles, in harmony with their particular ministry, devoted themselves to preaching without any distraction. Their spouses went with them, not as wives, but as sisters, in order to minister to housewives” (Clement of Alexandria, Ante-Nicene Fathers 2:390-391 E)
c) Konsili Elvira (309), Canon 33 menyebutkan “Bishops, presbyters, and deacons, and all other clerics having a position in the ministry, are ordered to abstain completely from their wives and not have children. Whoever, in fact, does this shall be expelled from the dignity of the clerical state.“
d) St. Epiphanius, uskup dari Salamis di Cyprus (375) menuliskan “a call to the holy priesthood of God . . . is not approved for those who, after a first marriage, and their wife having died, enter upon a second marriage. . . . But even one who is husband of one wife, if she is still living and still bearing children, is not approved.” (St. Epiphanius of Salamis, Panacea Against All Heresies, ch. 59, no. 4, in Jurgens, vol. 2, 73.)
e) Konsili Niceae (325), Canon 3 menyebutkan “The great Synod has stringently forbidden any bishop, presbyter, deacon, or any one of the clergy whatever, to have a subintroducta dwelling with him, except only a mother, or sister, or aunt, or such persons only as are beyond all suspicion.” Memang tidak secara tegas disebutkan tentang priestly celibacy, namun dikatakan bahwa tidak ada perempuan yang tidak mempunyai hubungan darah, yang dapat tinggal dengan uskup, imam, diakon. Ini berarti bagi wanita yang menjadi istri imam tidak dapat hidup bersama dengan mereka. Kalau mereka masih boleh untuk tidak hidup selibat, mengapa para istri dari imam tidak diperkenankan untuk tinggal satu rumah? Konsili Niceae ini adalah konsili yang juga diterima oleh Gereja Timur, karena ini adalah konsili bersama.
f) Konsili Carthage (419), Canon 3 – of continence “Aurelius the bishop said: When at the past council the matter on continency and chastity was considered, those three grades, which by a sort of bond are joined to chastity by their consecration, to wit bishops, presbyters, and deacons, so it seemed that it was becoming that the sacred rulers and priests of God as well as the Levites, or those who served at the divine sacraments, should be continent altogether, by which they would be able with singleness of heart to ask what they sought from the Lord: so that what the apostles taught and antiquity kept, that we might also keep.“
Dari dokumen ini juga terlihat bagaimana uskup Aurelius melihat pentingnya celibacy / continent bagi uskup, iman, dan diakon (three grades). Dan pada akhir kalimatnya dia mengatakan bahwa “sehingga apa yang diajarkan oleh para rasul dan sedari awal dijalankan / dipegang, sehingga kita juga dapat menjalankannya.” Dari kalimat ini, uskup Aurelius telah menganggap bahwa continent bagi para uskup, imam, dan diakon telah menjadi apostolic tradition.
Dan masih begitu banyak konsili-konsili lain, yang mempertegas posisi ini. Suatu saat saya akan menulis tentang perkembangan priestly celibacy secara lebih lengkap. Namun dari beberapa tulisan Bapa Gereja dan juga beberapa keputusan konsili, termasuk konsili Niceae (Ecumenical Council I – 325) – yang juga diakui oleh Gereja Timur, maka tidaklah berlebihan kalau saya dapat mengatakan bahwa priestly celibacy adalah merupakan apostolic tradition. Kita menyetujui bahwa pada masa awal, Gereja dapat menahbiskan pria yang sudah berkeluarga. Namun, saya mencoba memberikan argumentasi bahwa dalam perkembangannya – seperti yang dicontohkan oleh para rasul, maka setelah ditahbiskan, para imam tidak menggunakan hak mereka sebagai suami dan hidup continent (selibat).
3) Daniel Pane menuliskan “Keempat, kebiasaan menahbiskan pria berkeluarga di Timur jauh lebih tua dan lebih dekat kepada Para Rasul daripada kebiasaan Latin yang mewajibkan selibat bagi para Imam.” Ini perbedaan pandangan antara Timur dan Barat, dimana Gereja Timur hanya mengambil konsili-konsili bersama sebelum terjadinya perpecahan, namun Gereja Barat terus mendasarkan doktrin-nya pada konsili-konsili yang terus terjadi dalam perkembangan sejarah. Dan memang kewajiban selibat bagi para imam adalah merupakan disiplin, yang dapat diubah oleh Gereja. Hal ini memungkinkan dalam kondisi-kondisi tertentu, misalkan bagi imam dari gereja lain yang berpindah ke Gereja Katolik. Dengan persetujuan Paus, maka walaupun mereka telah menikah, mereka dapat tetap menjadi imam di Gereja Katolik. Hal ini memungkinkan karena hidup selibat bukanlah matter maupun form dari Sakramen Imamat. Namun, di satu sisi, kita melihat adanya fittingness dari imam yang hidup selibat, dari alasan teologis, seperti yang saya paparkan di atas, yaitu karena imam bertindak sebagai Kristus (in persona Christi). Dan hal ini, juga secara tidak langsung terjadi di Gereja Timur, yang hanya menahbiskan uskup dari para imam yang tidak menikah. Secara praktikal, kehidupan imam yang selibat juga mempunyai keuntungan, dimana diakui oleh Gereja Timur dan Gereja Barat.
Pada akhirnya, saya mempunyai penghormatan yang tinggi terhadap Gereja Timur, karena memiliki apostolic succession yang sah dan mempunyai liturgi yang begitu indah. Gereja juga dibangun dari banyak pemikiran Bapa Gereja yang sebagian berasal dari Timur. Namun, dalam priestly celibation, maka saya telah mencoba untuk memaparkan bahwa hal ini memang menjadi tradisi apostolik (dalam pengertian bahwa para Bapa Gereja awal menjalankan hal ini), seperti yang telah saya paparkan dalam tulisan Bapa Gereja dan konsili-konsili, sebelum konsili Trullo. Dan konsili Nicaea (325) adalah konsili bersama, yang diakui oleh Gereja Timur dan Gereja Barat. Sekali lagi, bukan maksud saya untuk merendahkan praktek yang terjadi di Gereja Timur. Apa yang dilakukan oleh Gereja Timur dalam hal priestly celibacy adalah sesuatu yang sah, karena memenuhi matter dan form dari Sakramen Imamat. Lebih lanjut Katekismus Gereja Katolik, 1580, menyatakan:
“Sejak berabad-abad lamanya berlaku di Gereja-gereja Timur satu peraturan lain: sementara para Uskup semata-mata dipilih dari antara orang yang tidak kawin, pria yang telah kawin dapat ditahbiskan menjadi diaken dan imam. Praktek ini sejak lama sudah dipandang sebagai sesuatu yang sah; imam-imam ini melaksanakan tugas pelayanan yang berdaya guna di dalam pangkuan jemaatnya (Bdk. PO 16.). Tambahan lagi selibat para imam sangat dihormati di Gereja-gereja Timur dan banyak imam telah memilihnya dengan sukarela demi Kerajaan Allah. Baik di Timur maupun di Barat, seorang yang telah menerima Sakramen Tahbisan, tidak boleh kawin lagi.“
Mari kita bersama-sama berdoa agar suatu saat Gereja Barat dan Gereja Timur dapat bersatu kembali menjadi Satu Gereja, yang satu, kudus, katolik dan apostolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Hi Stefanus,
1. Saya sudah membaca sepintas dokumen yang Anda sampaikan, Ignace de La Pottiere sebagaimana dilihat di catatan kakinya sebenarnya banyak mendasarkan diri pada Alfonsus Maria Stickler dan Cocchini dua buku yang tidak pernah diterima luas di kalangan Gereja Timur yang bersatu dengan Roma.
2. Roman Cholij menurut Anthony Dragani sudah mengubah pandangannya pada waktu yang kemudian. Jika Anda dapat menemukan artikel Roman M.T. Cholij, “An Eastern Catholic Married Clergy in North America,” Eastern Churches Journal 4, no. 2 (1997). dan publikasi lainnya yang lebih baru Anda akan menemukan bagaimana Roma Cholij telah berubah pikiran. Saya kira artikel yang Anda link berasal dari periode sebelum itu (artikel itu berasal dari tahun1993)
3. Sejauh yang berkaitan dengan tradisi Latin, saya tidak berkomentar, tetapi sejauh anggapan bahwa seolah-olah Timur telah meningalkan tradisinya saya sangat keberatan. Karena itu jika Anda mengutip para Bapa atau Sinode-sinode Latin saya merasa tidak ada masalah dengannya.
4. Kardinal Stickler sendiri mengakui bahwa di Timur tidak ada aturan apapun yang mewajibkan pantang sesudah tahbisan (The Case for Clerical Celibacy p. 79-80) dan karena karya Stickler ini mengacu terutama kepada karya Cocchini saya menyimpulkan (secara kasar) bahwa mereka berdua memiliki pendapat yang sama. Karena alasan itu juga saya kira kutipan dari St. Clement Alexandria dan Ephiphanius dari Salamis juga tidak bisa dipandang sebagai suatu legislasi bagi kewajiban selibat.
5. Mengenai Konsili Nicaea saya kira Anda lalai untuk membaca “or such persons only as are beyond all suspicion”. Tentu saja suami yang tinggal bersama istri tidak akan menimbulkan suatu gunjingan atau kecurigaan atau skandal. Aturan itu hendaknya dibaca bahwa seorang Imam tidak boleh membawa wanita ke dalam rumahnya kecuali wanita itu tidak dapat menimbulkan skandal bagi umat. Dan tentu sangat bijak kanon itu tidak menyebutkan istri secara spesifik mengingat tidak semua Imam memiliki istri.
6. Sinode Trullo yang secara jelas mengizinkan para imam yang berkeluarga untuk hidup sebagai suami istri pada umumnya, mengacu bahwa ini adalah tradisi juga berasal dari para Rasul (Kan. 13). Hal ini menunjukkan bahwa para Bapa atau Sinode-sinode kuno kerap kali menggunakan frasa “berasal dari para Rasul” dalam arti yang sangat luas (seperti juga dalam Sinode Karthago yang Anda tampilkan)
7. Secara kanonik Sinode Trullo hanya berkaitan dengan Gereja Byzantine, tetapi Gereja-gereja Timur lain yang tidak berkaitan dengan Trullo ternyata juga memberlakukan hal yang sama (ketimbang mengikuti tradisi Latin). Sederhananya lihatlah bagaimana praktek Maronite, Syriac, Chaldean, Coptic (yang bersatu dengan Roma) dan semuanya sama. Kesaksian tradisi Maronite sangat istimewa karena mereka tidak pernah berpisah dengan Roma.
8. Sementara tradisi Latin mengenai kewajiban selibat Imam sangat baik untuk ritus Latin, tetapi mewartakannya dengan mengatakan seolah-olah itu perkembangan di Timur adalah semacam penyimpangan (walaupun ringan karena ini hanya masalah disiplin) seperti dalam poin 4 dari artikel original Anda, adalah sesuatu yang menurut saya kurang bijak.
Shalom Daniel Pane,
Terima kasih atas tanggapannya tentang priestly celibacy. Memang priestly celibacy menjadi suatu pembahasan yang menarik, karena menyangkut begitu banyak sejarah dan juga pertanyaan apakah priestly celibacy adalah tradisi apostolik atau tidak. Namun, kita berdua setuju akan beberapa hal, seperti: 1) priestly celibacy bukanlah merupakan matter dan form dari Sakramen Imamat, 2) priestly celibacy adalah merupakan suatu disiplin, yang mungkin saja berubah, sejauh dipandang untuk “greater good” oleh Gereja, terutama dalam kondisi-kondisi khusus, 3) priestly celibacy adalah baik untuk alasan kepraktisan dan juga dari sisi teologis – karena seorang imam dapat lebih berfokus kepada pelayanan tanpa kuatir akan masalah keluarga, dan imam bertindak sebagai Kristus (in persona Christi). Oleh karena itu, saya melihat bahwa priestly celibacy bukanlah suatu hal tiba-tiba saja terjadi, namun secara historis dan nilai kepraktisan dan teologis dapat dipertanggungjawabkan. Dan hal ini, terutama terlihat jelas dalam tradisi Gereja Latin.
1) Karena tradisi ini tidak diterapkan diterapkan di dalam Gereja Timur sampai saat ini, maka saya menyadari bahwa buku-buku yang mengupas tentang priestly celibacy (seperti Alfonsus Maria Stickler dan Christian Cochini, S.J) dalam konteks apostolic tradition tidak dapat diterima oleh Gereja Timur.
2) Saya belum menemukan artikel yang Daniel sebutkan. Kalau bisa saya ingin membacanya juga. Saya berusaha untuk browsing untuk mencari dokumen tersebut, namun saya belum berhasil mendapatkannnya. Saya tidak tahu kalau Roman Cholij telah merubah posisinya. Dan kalau Roman Cholij merubah posisinya adalah hal yang wajar, karena sebenarnya beliau adalah imam dari Gereja Timur. Dan kalau kita melihat, ada sebagian dari teolog Gereja Barat juga tidak melihat priestly celibacy sebagai apostolic tradition. Namun, yang mendukung apostolic tradition dari priestly celibacy juga bukan hanya Roman Cholij. Apakah Daniel pernah membaca buku “The Apostolic Origins of Priestly Celibacy” dari Christian Cochini, S.J? Saya telah mencoba mendapatkan buku “Celibacy in the Early Church: The Beginnings of Obligatory Continence for Clerics in East and West” karangan Stevan Heid dan juga “The Case for Clerical Celibacy: Its Historical Development and Theological Foundations” dari Alphonso M. Cardinal Stickler. Saya juga sedang mencoba untuk mendapatkan buku “Rome and the Eastern Churches: A Study in Schism” oleh Fr. Aidan Nichols. Mungkin beberapa sumber tersebut dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh.
3) Waktu saya mengutip beberapa Bapa Gereja, maka saya sebenarnya memberikan argumentasi bahwa para Bapa Gereja melihat walaupun priestly celibacy walaupun bukan merupakan matter dan form dari sakramen, namun merupakan apostolic tradition. Bahkan dalam ensiklik “Sacerdotalis Caelibatus“, Paus Paul VI menegaskan “Priestly celibacy has been guarded by the Church for centuries as a brilliant jewel, and retains its value undiminished even in our time when the outlook of men and the state of the world have undergone such profound changes.” Mungkin Daniel dapat membaca dokumen ini di sini (silakan klik). Lebih lanjut Paus Yohanes Paulus II, dalam Post-Synodal Apostolic Exhortation “Pastores Dabo Vobis”, paragraf 22 mengatakan “The synod fathers clearly and forcefully expressed their thought on this matter in an important proposal which deserves to be quoted here in full: “While in no way interfering with the discipline of the Oriental churches, the synod, in the conviction that perfect chastity in priestly celibacy is a charism, reminds priests that celibacy is a priceless gift of God for the Church and has a prophetic value for the world today. This synod strongly reaffirms what the Latin Church and some Oriental rites require that is, that the priesthood be conferred only on those men who have received from God the gift of the vocation to celibate chastity (without prejudice to the tradition of some Oriental churches and particular cases of married clergy who convert to Catholicism, which are admitted as exceptions in Pope Paul VI’s encyclical on priestly celibacy, no. 42). The synod does not wish to leave any doubts in the mind of anyone regarding the Church’s firm will to maintain the law that demands perpetual and freely chosen celibacy for present and future candidates for priestly ordination in the Latin rite. The synod would like to see celibacy presented and explained in the fullness of its biblical, theological and spiritual richness, as a precious gift given by God to his Church and as a sign of the kingdom which is not of this world – a sign of God’s love for this world and of the undivided love of the priest for God and for God’s people, with the result that celibacy is seen as a positive enrichment of the priesthood.“(78)“
Oleh karena itu, posisi yang saya ambil adalah menunjukkan bahwa priestly celibacy merupakan apostolic tradition. Namun di satu sisi, saya juga menghormati tradisi dari Gereja Timur, seperti yang dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II di atas.
4) Kardinal Stickler memang mereferensikan beberapa tulisan Christian Cochini, S.J, namun Christian Cochini menggali priestly celibacy mulai dari para rasul. Dia menjabarkan kondisi para rasul satu persatu, berdasarkan apa yang dikatakan oleh Alkitab dan juga Bapa Gereja di masa awal, seperti: Clement of Alexandria (215), Ambrosiaster (366-384), St. Ambrose (397), John Chrysostom (407), Jerome (419/420), Agustinus (430). Dan ketika saya mengutip St. Clement Alexandria, St. Ephiphanius, dll, saya juga ingin menunjukkan bahwa priestly celibacy mempunyai dasar dari Gereja perdana.
5) Mengenai Konsili Niceae, memang kata “subintroducta” dan “such person only as are beyond all suspicion” menjadi perdebatan. Dan Christian Cochini membahas hal ini dalam bukunya “The Apostolic Origins of Priestly Celibacy“, hal. 184-195. Memang “such person only as are beyond all suspicion” menjadi bahan diskusi. Apakah istri termasuk di sini atau tidak. Kalau memang termasuk, apakah sebenarnya mereka tetap menggunakan hak mereka sebagai pasangan suami istri atau apakah mereka sebenarnya tetap hidup continence (tidak menggunakan hak mereka sebagai suami istri) sebagai manifestasi dari tugas mereka sebagai imam? Dan Christian Cochini memaparkan bahwa dari text tersebut akan sulit untuk menarik pengertian yang pasti. Oleh karena itu, dia menggunakan beberapa konsili setelahnya – yang juga diilhami oleh konsili Niceae dalam keputusan-keputusan mereka – untuk mengambil kesimpulan. Hal ini terlihat dari beberapa keputusan beberapa konsili sesudah konsili Niceae, seperti: konsili Hippo, Carthage, Elvira, Gaul, dll. Namun kita tahu bahwa Gereja Timur tidak terikat oleh beberapa konsili tersebut.
5) Sinode Trullo, Kan. 13 (termasuk yang berhubungan mungkin Kan. 3, 6, 12, 48) memang menyebutkan bahwa imam, diakon yang telah menikah tetap dapat menggunakan hak mereka suami-istri, dan disebutkan bahwa ini adalah apostolic tradition. Di sinilah kita memang mempunyai perbedaan. Masing-masing pihak – Gereja Barat dan Gereja Timur – menyatakan bahwa perlunya priesty celibacy atau tidak perlunya priestly celibacy adalah merupakan tradisi apostolik. Mungkin masing-masing pihak perlu mengkaji hal ini. Saya akan mencoba membaca buku “Rome and the Eastern Churches: A Study in Schism” oleh Fr. Aidan Nichols, yang juga direkomendasikan oleh beberapa anggota Gereja Timur. Mungkin Daniel juga perlu membaca buku yang sama dan juga buku dari Christian Cochini.
6) Memang gereja-gereja Timur yang lain juga mengikuti tradisi di atas. Di sisi yang lain, Gereja Barat melalui beberapa konsili lokal setelah konsili Niceae (di point 4) menegaskan pentingnya priestly celibacy.
7) Akhirnya pada waktu saya menuliskan bahwa priestly celibacy adalah merupakan apostolic tradition, maka dapat disimpulkan bahwa Gereja Barat terus mengikuti disiplin ini, yang dipercaya dijalankan oleh para rasul dan penerusnya. Namun di satu sisi, Gereja Timur juga berpendapat bahwa priestly celibacy adalah juga merupakan apostolic tradition (menurut konsili Trullo), maka secara konsisten kesimpulannya, priestly celibation tidaklah diperlukan. Bahkan kalau mengikuti konsili Trullo dikatakan bahwa “If therefore anyone shall have dared, contrary to the Apostolic Canons, to deprive any of those who are in holy orders, presbyter, or deacon, or subdeacon of cohabitation and intercourse with his lawful wife, let him be deposed. In like manner also if any presbyter or deacon on pretence of piety has dismissed his wife, let him be excluded from communion; and if he persevere in this let him be deposed.” Dan saya melihat bahwa ini adalah kesimpulan logis dari satu hal, bahwa priestly celibacy bukan merupakan apostolic tradition, seperti yang dipercaya di Gereja Timur.
Di satu sisi, saya percaya bahwa priestly celibacy merupakan apostolic tradition, walaupun bukan merupakan dogma, bukan menjadi bagian dari matter dan form dari Sakramen Imamat, dan merupakan suatu tradisi. Namun, tradisi ini tidaklah mudah untuk berubah (dalam konteks Gereja Barat), seperti yang ditegaskan oleh beberapa konsili dan juga oleh Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II (point 3 di atas). Namun, saya sendiri tidak pernah untuk mempertanyakan keabsahan apostolic succession dan imamat dari Gereja Timur. Akhirnya, saya minta maaf, kalau tulisan saya di atas menyinggung beberapa anggota dari Gereja Timur. Namun, tidak ada maksud dari saya untuk tidak menghormati apa yang menjadi disiplin dari Gereja Timur. Mungkin kalau saya telah membaca buku “Rome and the Eastern Churches: A Study in Schism” oleh Fr. Aidan Nichols dan juga beberapa buku yang lain, saya akan mencoba mempelajari dan mengkaji ulang apa yang saya telah tuliskan.
Semoga tanggapan ini dapat memperjelas. Dan mari kita bersama-sama berfokus untuk membangun Gereja yang kita kasihi dari dalam.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Syalom.
Saya ingin minta informasi tentang kongregasi-kongregasi yang tergabung dalam lingkup kepausan (apa saja bentuknya)? Tugas-tugas apa saja yang mereka emban? (Khusus untuk kongregasi non-imam)
Apa yang dimaksud dengan kerasulan awam? serta bagaimana cara bisa bergabung dengan kelompok ini? Apa ada persamaan antara kelompok ini dengan opus dei atau kelompok militansi katolik lainnya? Thx
William Yth
Daftar nama dan alamat tarekat/kongregasi/serikal kerasulan ada di dalam buku petunjuk Gereja 2009 yang akan terbit tahun ini di Dokpen KWI tentu harus beli berapa harganya saya belum tahu persis. Tapi anda bisa mencari di KWI (Dokpen)
Kerasulan awam adalah kewajiban dari setiap orang kristiani baca Apostolicam Actuositatem Konsili Vatikan II.
Salam
Rm Wanta
Shalom Romo Wanta,
Saya tertarik untuk menjadi seorang imam, dan saya memutuskan untuk masuk seminari setelah sma, bagaimana supaya saya bisa mengetahui banyak tentang seminari dan ordo relgius itu? Dan bisakah romo berikan saya tips juga untuk menumbuhkan benih ini.. agar keputusanku tetap bulat..
Saya sangat mengharapkan jawaban romo,
Thx
Leon Yth
Dengan hati gembira saya akan membantu anda untuk menjawab panggilan Tuhan menjadi Imam. Pertama dimana anda tinggal dan sekolah dimana? Penting sekali karena anda akan diminta bertemu dengan Pastor Paroki untuk meminta rekomendasi ttg diri anda dan juga dari kepala sekolah anda. Untuk apa? Untuk menjadi dokumen ttg diri anda sebagai pijakan pembinaan calon imam. Setelah SMA biasanya anda akan diminta untuk ke Seminari Menengah tingkat KPA (postulan) selama 2 tahun oleh Uskup atau Provinsial Tarekat lalu masuk tahun rohani atau novisiat (biarawan). Nah anda menginginkan menjai imam apa? Imam diosesan atau religius biarawan? Ada banyak brosur yang bisa anda lihat. Setelah anda memilih dan diterima anda akan dibina selama kurang lebih 8 tahun baru anda ditahbiskan menjadi imam (kalau semua lancar). Jika anda menginginkan penjelasan lagi dan ingin bertanya jangan tunda segera kirim ke saya [dari katolisitas: email pribadi romo Wanta telah saya kirimkan ke e-mail Leon] atau http://www.katolisitas.org saya akan menjawabnya dengan senang hati. Jika anda di Jakarta silahkan datang ke Pastoran Unio Kramat VII/10 Jakarta.
salam
Rm Wanta
“Gereja Timur tidak lagi mempraktekan tradisi apostolik ini karena perubahan yang dilakukan di Konsili Trullo (sekitar abad ke-7), namun disebutkan bahwa hanya imam yang tidak menikah yang dapat ditahbiskan menjadi uskup, dan seorang iman tidak dapat menikah setelah dia ditahbiskan.”
“Yang menjadi motif dari Konsili Trullo adalah begitu banyak penyimpangan, seperti simoni, penyimpangan kehidupan seksual para iman, atau masih menggunakan hubungan suami-istri walaupun sudah ditahbiskan. Menanggapi hal itu, Gereja Latin dibawah kepemimpinan St. Gregory VII mengambil jalan untuk menjalankan peraturan secara ketat, sebaliknya Gereja Timur mengambil cara untuk memperlunak peraturan tersebut. Cara yang sungguh patut dipuji dari St. Gregory VII membuahkan hasil dengan meletakkan pondasi yang kokoh, sehingga membuat Gereja berkembang pesat di abad 12-13.”
Saya rasa kita tidak bisa berkata begitu saja bahwa imam selibat adalah Tradisi Apostolik dan yg bukan selibat bukan Tradisi Apostolik… Dan tentunya kita tidak bisa menganggap bahwa Gereja Katolik Roma itu lebih superior, lebih benar, atau lebih sesuai dengan Kitab Suci/Tradisi daripada Gereja Katolik Timur lainnya. Saya pikir ekspresi teologi dan perkembangan doktrin di kedua belah pihak tidaklah seragam, dan itu semua mempengaruhi perkembangan Gereja di tempat masing-masing dalam bentuk doktrin/penekanan. Mindset seolah-olah Gereja/tradisi Katolik Roma itu lebih benar (dan tradisi Katolik Timur jangan diikuti karena tidak begitu benar) menurut saya harus dicermati dan ditinggalkan. Meninggikan satu pihak dan menurunkan pihak lain (direct/indirectly) tentunya tidaklah baik karena semua berada dalam communion of Catholic Churches. Konteks yang saya bicarakan di sini adalah di dalam Gereja Katolik sendiri (dimana sejarah berkata bahwa Latinization pernah sungguh melukai Gereja2 Katolik Timur), bukan dengan Protestanisme.
Apa yang ingin saya sampaikan ada dalam pembahasan berikut ini oleh seorang Byzantine Catholic yang studi di Franciscan University of Steubenville & Duquesne University (Roman Catholic Universities tentunya). Akan menarik kalau apa yang dia tulis dapat ditanggapi oleh mereka yang percaya bahwa Tradisi Apostolik ttg selibat sudah ditinggalkan di Gereja Timur.
http://www.east2west.org/mandatory_clerical_celibacy.htm
Terima kasihh.. =)
Agios
Shalom Agios,
Terima kasih atas tanggapannya. Tentang pertanyaan apakah kaul kemurnian (celibacy) adalah merupakan tradisi apostolik atau tidak, memang dapat menjadi diskusi tersendiri. Saya merencanakan untuk menuliskannya dalam artikel tersendiri. Saya pernah berdiskusi dengan Gamaliel tentang hal ini di sini (silakan klik). Saya melihat bahwa celibacy bukan hanya sekedar tradisi yang dengan mudah diubah. Namun kita melihat perkembangan doktrin yang berkembang secara konsisten dari jemaat perdana sampai saat ini. Kita juga dapat melihat bahwa sampai saat ini gereja Timur juga mengajarkan bahwa seorang laki-laki yang tidak menikah sebelum tahbisan iman, maka dia tidak dapat menikah setelah menjadi iman. Dan bagi yang pria menikah, maka dia dapat menjadi imam, walaupun kalau istrinya meninggal, dia tidak dapat menikah lagi. Lebih lanjut, hanya imam yang tidak menikah yang dapat menjadi uskup. Dan disiplin ini masih terus berlangsung sampai saat ini. Ini berarti, gereja Timur melihat ada sesuatu yang khusus tentang priestly celibacy.
Dan kita juga dapat melihat di dalam sejarah, bahwa ada "development of doctrine", yang dapat ditelusuri dari "apostolic tradition", baik dari beberapa ayat di Alkitab (1 Ti 3:1-4; Lk 18:19; Mt 19:27), Konsili Elvira (306), Konsili Carthage (390), dekrit Paus Siricius (334-399) dan Innocent, Paul VI, dan akhirnya Gregorian reform dari St. Leo IX (1002-1054) dan St. Gregory VII (1020 – 1085). Ini adalah perjalanan yang panjang dari Priestly Celibacy. Nanti dalam tulisan tersendiri, saya akan mencoba memaparkan perkembangan tentang hal ini secara lebih mendetail beserta dengan bukti-buktinya, yang secara langsung atau tidak langsung akan menjawab link yang diberikan oleh Agios.
Agios mengatakan "Saya pikir ekspresi teologi dan perkembangan doktrin di kedua belah pihak tidaklah seragam, dan itu semua mempengaruhi perkembangan Gereja di tempat masing-masing dalam bentuk doktrin/penekanan." Selama konteks-nya adalah dalam kesatuan dengan Gereja Katolik, saya menyetujuinya. Untuk masalah celibacy, kita dapat melihat di dalam sejarah, perbedaan paham masalah priest celibacy (sekitar abad 7) adalah terjadi sebelum bergabungnya sebagian gereja Timur dengan Gereja Katolik. Latinization adalah sebagai upaya dari para missionaris yang ingin mengembalikan gereja Timur kepada Gereja Katolik, walaupun dilakukan dengan cara yang kurang bijaksana. Dan memang yang terjadi saat ini, yaitu tetap memelihara kekayaan Gereja Katolik Timur namun dengan kesatuan penuh dengan Paus adalah merupakan suatu bentuk persatuan yang baik.
Saya juga ingin menegaskan bahwa Gereja Katolik Roma tidak menganggap dirinya lebih superior dibandingkan dengan Gereja Katolik Timur. Dan ini dibuktikannya dengan adanya status otonomy tersendiri (sui iuris), baik dari sisi liturgi – yang memang begitu kaya dan indah -, dari sisi disiplin – mempunyai Kitab Hukum Gereja tersendiri, CCEO (Code of Canons of the Eastern Churhes). Namun di satu sisi, kita harus mengakui, bahwa seluruh gereja lokal, dan juga Gereja Katolik Timur terikat secara penuh dalam kesatuan dengan Paus.
Semoga keterangan di atas dapat menjawab pertanyaan Agios. Mungkin kita dapat sama-sama belajar dan meneliti kembali apakah sebenarnya priestly celibacy merupakan Apostolic Tradition atau bukan. Saya sendiri percaya bahwa hal ini merupakan apostolic tradition, yang mempunyai perkembangan doktrin yang dapat ditelusuri dari abad awal sampai sekarang. Dan saya akan memaparkannya dalam tulisan tersendiri.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
“Kita juga dapat melihat bahwa sampai saat ini gereja Timur juga mengajarkan bahwa seorang laki-laki yang tidak menikah sebelum tahbisan iman, maka dia tidak dapat menikah setelah menjadi iman. Dan bagi yang pria menikah, maka dia dapat menjadi imam, walaupun kalau istrinya meninggal, dia tidak dapat menikah lagi. Lebih lanjut, hanya imam yang tidak menikah yang dapat menjadi uskup. Dan disiplin ini masih terus berlangsung sampai saat ini. Ini berarti, gereja Timur melihat ada sesuatu yang khusus tentang priestly celibacy.”
Kalau dicermati, memang menarik bahwa di Gereja Timur celibacy pun tetap ada, namun menikah pun adalah kanonik juga tanpa harus hidup dalam continence selamanya, sedangkan di Gereja Barat, celibacy menjadi keharusan dan continence diharuskan jg, dan lalu intersting setelah Konsili Vatikan 2, ada dispensasi untuk imam Anglikan yang menjadi Katolik dan lalu menjadi imam di Gereja Katolik Barat (dan menjadi imam menikah). Informasi2 ini membuat saya semakin mencari2 lebih lagi. Klaim “apostolic tradition” untuk clergy saya kira baik untuk dicermati terus. Atau, celibacy sebagai apostolic tradition applies kepada uskup saja, uskup dan imam, atau termasuk diakon juga, dll. Soalnya akan ada pertanyaan2 seperti: Kalau celibacy adalah apostolic tradition untuk semua clergy, mengapa Petrus menikah? Mengapa Gereja Katolik Timur mengencourage celibate men, bukan married men, to the priesthood? Kalau celibacy bagi clergy adalah apostolic tradition, mengapa hanya berada dalam level “discipline” atau “tradisi (Barat)” saja pada imam Keuskupan, bukan pada level “wajib” atau “doktrine” atau “dogma” karena adalah apotolic tradition?
Saya rasa ada info2 menarik dari mereka yang membahas Gereja Timur dan Barat, seperti Adrian Fortescue, Adrian Nichols, serta Laurent Cleenewerck (His Broken Body: Understanding and Healing the Schism Between the Roman) tentang hal ini; mungkin termasuk mereka ini dididik oleh siapa. Soalnya saya melihat seorang yang dididik oleh pihak Barat/Timur, biasanya akan punya point of view yg lebih mengikuti pihak tersebut.
Shalom Agios,
Terima kasih atas tanggapannya tentang priestly celibacy di gereja Orthodox. Kalau kita melihat dari sisi validitas Sakramen Imamat, kita tahu bahwa celibacy bukanlah menjadi matter atau form dari sakramen ini. Dan memang priestly celibacy bukanlah suatu dogma yang tidak mungkin berubah selamanya, namun lebih menyangkut kepada disiplin dan “fittingness“. Walaupun bukan suatu dogma dan tidak menjadi matter dan form dalam validitas Sakramen Imamat, namun juga bukan suatu disiplin yang dengan mudah diubah. Beberapa dogma, yang tidak mungkin berubah, yang berhubungan dengan sakramen ini adalah:
1. Holy Order is a true and proper Sacrament which was instituted by Jesus Christ.
2. The consecration of priests is a Sacrament.
3. Bishops are superior to priests.
4. The Sacrament of Order confers sanctifying grace on the recipient.
5. The Sacrament of Order imprints a character on the recipient.
6. The Sacrament of Order confers a permanent spiritual power on the recipient.
7. The ordinary dispenser of all grades of Order, both the sacramental and the non-sacramental, is the validly consecrated Bishop alone.
Namun, kita juga melihat bahwa priestly celibacy merupakan suatu apostolic tradition, dalam pengertian bahwa para rasul menerapkan hal ini. Salah satu tulisan dari Bapa Gereja tentang hal ini adalah dari Klemens dari Alexandria, yang menuliskan “Peter and Philip fathered children, and Philip gave his daughters in marriage. Furthermore, Paul did not hesitate to mention his ‘companion’ in one of his epistles…He says in his epistle, ‘Do I not have the right to take along a sister-wife, as do the other apostles?’ [1Cor 9:5] However the other apostles, in harmony with their particular ministry, devoted themselves to preaching without any distraction. Their spouses went with them, not as wives, but as sisters, in order to minister to housewives” (Clement of Alexandria 195 ad, Ante-Nicene Fathers 2:390-391 E) atau dapat diterjemahkan:
“Petrus dan Filipus menjadi ayah dari anak-anak, dan Filipus mendapatkan seorang anak perempuan dari pernikahan. Lebih lanjut, Paulus tanpa ragu-ragu menyebutkan “rekan”-nya di dalam salah satu surat-suratnya … Dia berkata di dalam suratnya “Tidakkah kami mempunyai hak untuk membawa seorang isteri Kristen, dalam perjalanan kami, seperti yang dilakukan rasul-rasul lain…? (1 Kor 9::5). Namun demikian, rasul-rasul yang lain, sejalan dengan pelayanan khusus mereka, mengabdikan diri mereka untuk berkotbah tanpa ada gangguan. Istri-istri mereka pergi bersama dengan mereka, bukan sebagai istri-istri, namun sebagai saudara-saudara perempuan, supaya dengan demikian melayani sebagai ibu rumah tangga [pekerjaan rumah tangga]“
Apostolic tradition lain yang disebutkan oleh Bapa Gereja adalah “liturgical prayer facing east” atau “ad orientum“. Dan apostolic tradition yang tidak dalam kategory dogma dapat diubah oleh Gereja Katolik sejauh dipandang baik. Oleh karena itu, Gereja dapat merubah disiplin ini, seperti permanent deacon sekarang dapat menikah. Namun kalau kita meneliti, posisi dari permanen deacon tidaklah sama dengan para imam, sehingga priestly celibacy, sebenarnya bukan hanya masalah disiplin, namun juga fittingness.
Secara teologis, priestly celibacy juga dapat dipertanggungjawabkan, sehingga kita melihat adanya praktek ini dari satu generasi ke generasi yang lain. Pertama, Imam bertindak sebagai Kristus (in persona Christi), yang menjadi pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan adalah Gereja. Oleh karena itu, adalah fitting kalau para imam tidak menikah dan hidup dalam celibacy. Kedua, para imam menerapkan apa yang akan terjadi di Sorga, yaitu tidak ada yang kawin dan dikawinkan. Dan hal ini juga ditegaskan oleh Yesus sendiri (Mt 19:12) dan juga rasul Paulus (1 Kor 7:33-34). Ketiga, para imam memberikan dirinya secara total dengan mengikuti Yesus sendiri, yang memang tidak menikah.
Semoga keterangan tambahan ini dapat memperjelas.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Yth Katolisitas,
Saya ingin tanya bagaimana prosedurnya Uskup diangkat menjadi Uskup Militer? Kemudian apakah Uskup Militer memiliki pangkat (Kapten,Mayjen)??
(kalau tidak tepat ditaruh disini,bisa dipindahkan ke artikel yang lebih tepat)
Terima kasih
chris
Chris Yth,
Uskup militer di suatu negara diplih oleh Vatikan (Bapa Suci) tentunya setelah mendengar masukkan dan nominasi dari para uskup negara tersebut dan disampaikan ke Nuntius (Duta Besar Takhta Suci untuk negara tersebut). Prosedurnya singkat dari para Uskup siapa yang capable untuk karya di militer, Konferensi para uskup dapat didengarkan dan dimintai pendapat tentang calon-calon uskup militer. Contoh Indonesia, Uskup ABRI-Kepolisisan sekarang adalah Uskup KAS Mgr Haryo, dulunya bapak Kardinal kemudian ditunjuk yang baru oleh Vatikan. Uskup ABRI-Kepolisian adalan Uskup pelayanan umat kategorial bukan teritorial, tidak begitu banyak tugas karena ruang dan gerak pastoralnya juga terbatas oleh peraturan ABRI dan Kepolisian sendiri. Jadi tanpa tahbisan epsikopat, uskup yang telah tertahbis. (beda dengan Uskup diosesan)
semoga dipahami.
salam
Rm Wanta
Yth Rm Wanta,
terima kasih sebelumnya atas penjelasan yg telah diberikan. Saya ada pertanyaan lagi, maksud dari pelayanan umat kategorial bukan teritorial itu bagaimana? Apa hanya sebagai Uskup di lingkungan ABRI/TNI begitu saja? Kemudian yg benar tahbisan episkopat atau epsikopat?
Terima kasih.
Chris
Chris Yth
Pelayanan kategorial berarti pelayanan pastoral kepada umat di dalam kelompok tertentu dengan kekhasan mereka masing-masing misalnya kelompok migran atau ABRI. Pelayanan itu disebut pelayanan kategorial (kategori= jenis kelompok). Lawannya teritorial berarti wilayah seperti Keuskupan, Paroki.
Yang benar tahbisan episkopat (uskup).
salam
Rm Wanta, Pr
Romo, saya sekarang lagi bingung kalau tidak ada halangan awal tahun depan saya akan menikah, ttpi saya tidak mencintai pria tsb, saya mencintai seorang imam projo di paroki saya, dan imam tersebut juga mencintai saya. Saya sudah berpikir dengan segala cobaan yang akan timbul. Romo berapa lama seorang imam projo menunggu surat pengunduran dirinya? Terimakasih. zenith
Trimakasih atas sarannya romo, saya akan berusaha sekuat mungkin untuk menghapus perasaan itu. Saya sadar pastor adalah milik gereja bukan milik pribadi. Trimakasih atas pencerahannya romo
Ananda Zenith, sebaiknya anda tunda rencana pernikahan anda karena anda tidak mencintainya, atau hal itu disebabkan oleh hadirnya ‘orang ketiga’ sang romo pr? Anda harus jujur dan introspeksi dengan segala kerendahan hati di hadapan Tuhan. Terus terang saya sangat prihatin apabila hubungan dengan romo tadi terus dilanjutkan karena cinta yang suci toh tidak harus bersatu…tetapi saling mendukung. Saya akan benar-benar sedih kalau romo tadi akhirnya jatuh di tangan umatnya sendiri , yang seharusnya dijaga .Akan tetapi pada umat, utamanya yang wanita ( maaf…) mohon para romo ‘jangan diganggu’ karena keberadaan mereka benar2 sangat langka, apakah tidak ada pria lain? Apakah jika nanti tidak menjadi romo lagi masih akan berwibawa seperti sebelumnya? Renungkanlah itu …cintailah romomu spt engkau mencntai Yesus, pasti lebih abadi. Saya dapat mengatakan itu semua karena anak saya juga seorang romo yang masih muda dan cukup populer di parokinya, hati seorang ibu tidak pernah lepas dari rasa kawatir kalau2 singa yang mengaum mencari mangsa adalah domba di sekitarnya. Pasti Zenith akan memperoleh rahmat jodoh yang sesuai jika doa tidak pernah berhenti. Semoga ,GBU
Zenith Yth
Sebagai seorang imam saya menganjurkan anda untuk memunda dulu perkawinan anda karena anda tidak mencintai calon suami anda. Dasar perkawinan adalah adanya cinta. Kedua, apakah tidak ada laki-laki lain yang bisa menggantikan romo paroki anda, karena romo adalah milik Gereja dan melahirkan seorang romo itu ‘mahal’ dan susah. Sebaiknya jangan, cobalah sadari pilihanmu. Terus terang, saya sedih kalau kehilangan romo rekan saya. Dan saya rasa bukan hanya saya yang sedih, sebab, pihak keluarga, Uskup, rekan imam dan umat juga dapat merasa kehilangan. Kalau anda tanya berapa lama permohonan dapat diluluskan, saya tidak bisa menjawab, karena itu adalah hak pejabat Roma, yang mempertimbangkan juga alasan keluar dll. Semoga Tuhan memberkati anda.
salam, Rm wanta
[quote] kita dapat mengatakan bahwa keberhasilan suatu paroki dalam membina umatnya dapat diukur dari berapa banyak kaum muda yang menjawab panggilan menjadi pastor dari paroki yang bersangkutan. Semakin baik kehidupan spiritual paroki tersebut, maka akan semakin banyak kaum muda yang terpanggil menjadi pastor, karena keinginan untuk menjadi pastor dimulai dari keluarga dan juga dari lingkungan gereja.[unquote]
IMHO statemen ini terasa merendahkan karya awam – dan juga melanggengkan ketergantungan pada kaum klerus. Gereja adalah kumpulan umat beriman pada Kristus, bukan sekelompok umat yang digembalakan. Bahwa da yang dipanggil menjadi klerus ya silakan saja – tetapi yang tidak dipanggil malah ditantang lebih berat lagi – menjadi saksi dan garda depan ditengah masyarakat yang majemuk.
ini saya petik-kan dari blog http://dari-sisi-sini.blogspot.com/2009/03/kultus-klerus.html
Chuck Gallager SJ mengusulkan memandang 3 aspek yang umum luput dilihat umat jelata dari kaum klerus (berjubah)
Mereka
1) di subsidi
2) hidup terfokus
3) tidak punya kuwajiban mengurus keluarga
Alhasil ke3 hidden advantages ini membuat umat jelata makin minder dihadapan klerus. Umat kalah babak belur. Dalam soal pengetahuan agama jelas umat nol koma nol (lha pastor belajar sedikitnya 5 tahun), dalam soal tindak tapa umat juga keok (lha pastor kaul kemurnian – istilahnya saja sudah bikin minder), belum lagi dalam gereja Katulik umat ada di dasar – lha
IMHO langkah yang perlu digalakkan adalah umat yang mandiri – akar rumput yang mampu dan mau maju. CMIIW sebelum gereja jadi mainstream (sejak Konstantin) umat beriman adalah terutama awam – namun sejak gereja melembaga awam menjadi kambing dan domba yang digembalakan
sudah saatnya awam bangkit dan bertanggung jawab lebih banyak atas kemajuan gereja – sekali lagi yang mau jadi klerus silakan saja – tapi kalau panggilan sedikit tidak perlu menangis, tetapi bangkit dan kreatif !
hidup awam !
Shalom Skywalker,
Terima kasih atas komentar dan kritiknya. Memang saya mengatakan "kita dapat mengatakan bahwa keberhasilan suatu paroki dalam membina umatnya dapat diukur dari berapa banyak kaum muda yang menjawab panggilan menjadi pastor dari paroki yang bersangkutan. Semakin baik kehidupan spiritual paroki tersebut, maka akan semakin banyak kaum muda yang terpanggil menjadi pastor, karena keinginan untuk menjadi pastor dimulai dari keluarga dan juga dari lingkungan gereja."
1) Pernyataan di atas adalah untuk menekankan pentingnya panggilan imam, dan bukan berarti merendahkan kaum awam. Tentu saja saya tidak memungkiri bahwa ada aspek-aspek lain untuk mengukur keberhasilan suatu paroki, yang dapat disarikan sebagai "kekudusan". Panggilan imam hanya dapat bertumbuh dan berkembang di paroki-paroki yang mempunyai kehidupan doa yang baik, yang dimulai dari setiap anggota paroki. Dan hidup doa yang baik ini akan memupuk anak-anak, yang pada akhirnya anak-anak secara perlahan-lahan dapat bekerja sama dengan Roh Kudus untuk menjawab panggilan sebagai seorang imam.
2) Pernyataan di atas tidak merendahkan kaum awam. Namun kita bersama-sama menyadari bahwa masing-masing paroki harus memupuk panggilan untuk menjadi imam. Bukan karena awam jelek, namun karena kita membutuhkan imam, yang merupakan bagian dari Tubuh Mistik Kristus. Kalau kita tahu bahwa ada bagian yang kurang dari Gereja (dalam hal ini jumlah dan kualitas imam), maka tidaklah salah kalau semua bagian di dalam Gereja membantu untuk mengatasi kekurangan ini. Inilah sebabnya sering ada kegiatan seperti "tahun panggilan", dll.
3) Saya tidak tahu konteks tulisan dari Romo Churck Gallager, SJ., karena saya tidak tahu sumber tulisan tersebut. Namun saya melihatnya dari sisi yang berbeda. Tidak ada yang namanya "hidden advantages" dalam kehidupan imam. Semua orang tahu bahwa kaum klerus/imam adalah disubsidi/dicukupi kebutuhannya oleh umat. Dan ini adalah hal yang sudah semestinya. Mereka juga hidup terfokus, karena memang itu adalah panggilan mereka – untuk melayani umat. Dan karena mereka telah terikat oleh janji hidup selibat, maka mereka tidak mempunyai keluarga, sehingga mereka dapat lebih baik lagi melayani umat.
Sebagai awam kita tidak perlu minder terhadap para imam, kita malah seharusnya bersyukur. Kalau mereka mempunyai pengetahuan agama yang lebih baik dari kaum awam, memang sudah seharusnya, karena mereka belajar filsafat dan teologi. Kalau mereka juga dapat hidup dengan lebih baik, memang sudah seharusnya, karena mereka seharusnya menjadi panutan umat. Sama seperti bagian dari tubuh yang satu tidak perlu protes terhadap anggota tubuh lain- misal mata, karena mata mempunyai fungsi sendiri dan bagian tubuh lain mempunyai fungsi tersendiri, dan semuanya saling mendukung.
4) Jadi yang perlu digalakkan adalah agar setiap bagian dari Gereja atau Tubuh Mistik Kristus menjalankan bagiannya dengan baik. Sebagai imam, jadilah imam yang kudus yang menjadi panutan bagi yang lain dan menggembalakan umat dengan baik. Sebagai awam, jadilah umat Katolik yang kudus, yang mampu untuk menggarami komunitas di sekitar mereka. Sudah menjadi kodrat dari imam untuk mengembalakan umat. Tidak ada yang salah dengan ini. Kalau semua ingin mengembalakan, maka organisasi manapun akan kacau. Kalau semua ingin digembalakan dan tidak ada yang mau menggembalakan, maka organisasi akan bubar. Jangan lupa bahwa Yesus sendiri yang mendirikan Gereja dan Yesus sendiri yang memilih para rasul, yang diteruskan oleh para uskup. Sama seperti di dalam Alkitab para rasul mengembalakan umat, maka para uskup dibantu oleh para imam juga bertugas untuk menggembalakan umat. (Lih Yoh 21:15-18). Oleh karena itu, tidak ada yang salah dengan institusi. Institusi adalah suatu cara (means) untuk mencapai tujuan (end). Tanpa institusi yang baik, maka umat akan tercerai berai dan tidak dapat mencapai tujuan akhir dengan baik.
5) Jadi, sudah saatnya kita semua, kaum awam dan para imam bekerja sama bahu membahu untuk membangun Gereja tanpa ada prasangka diantara kita, sehingga kita semua dapat sampai ke tempat tujuan akhir – Surga – dengan baik. Itulah sebabnya, kalau kita tahu bahwa kita kekurangan imam, mari kita semua, kaum awam dan imam bekerja sama untuk membantu kaum muda – yang dipanggil oleh Allah dan merasa terpanggil – agar dapat menjawab panggillan Tuhan dengan berani.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
syaloom…. :-)
saya ingin menjadi suster tetapi saya tidak tahu hendak membuka web mana yang ada informasi dan syarat2 tuk menjadi suster…
saya terpanggil tuk menjadi suster karena prihetin akan sedikitnya orang yang terpanggil tuk menjadi suster dan bruder.
sebelumnya saya mengucapkan terimakasih atas infonya..
GBU.. TUHAN Memberkati…
Shalom Elisabeth,
Puji syukur kepada Tuhan yang telah memanggil Elisabeth untuk menjadi seorang suster. Dan terima kasih kepada Elisabeth yang mau mengikuti panggilan ini. Nama suster dan alamat e-mail beliau telah saya sampaikan kepada Elisabeth lewat jalur pribadi. Silakan menghubungi beliau dan semoga Tuhan membukakan jalan bagi Elisabeth.
Mohon doanya untuk katolitas.org, sehingga melalui pelayanan ini, akan semakin banyak orang yang mengasihi Kristus dan Gereja-Nya.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
stef – http://www.katolisitas.org
Romo…
Saya sedang bingung…
Saya punya pacar seorang mantan imam, sudah 2 tahun yang lalu dia memutuskan untuk meninggalkan biara, dan sudah mendapatkan surat dismissal. Lalu sekarang kami berniat baik untuk meminta restu orangtua saya untuk resmi berpacaran. Namun reaksi orangtua saya sangat tegas untuk tidak mungkin bahwa kami bersatu karena status imam yang disandang pacar saya adalah seumur hidup. Saya sangat terpukul dengan kenyataan itu. kami berdua saling mencintai, apa yang harus saya lakukan?
Mungkinkah kami menikah?
Terima kasih.
Via Yth
Memang tidak mudah menerima kenyataan jatuh cinta dan menjalin hubungan dengan mantan imam. Banyak kesulitan dari sisi sosialitas dan kekerabatan keluarga. Secara hukum yang perlu didapatkan bukan saja dismissal tapi laicalisasi (menjadi awam) dengan dispensasi dari kewajiban selibat dan kewajiban sebagai imam. Hal ini yang harus diperoleh, sebelum kalian dapat menikah. Kemudian harus ada usaha keras agar orang tua keluargamu dan keluarganya bisa menerima. Dari pengalaman, imam yang keluar dan menikah lama bisa diterima oleh pihak keluarga. Usahakan melewati rintangan yang saya sampaikan di atas dengan baik, terutama keluargamu. Jadi harus ada keberanian berdua bertemu di dalam keluarga baik pihak anda atau pihak dia.
salam Rm Wanta, Pr
Tambahan: Sebelumnya pernah ada diskusi tentang hal yang sama. Silakan untuk melihat jawaban ini (silakan klik).
Salam kasih,
Sungguh sebuah tulisan yang menyentuh hati dan membuka nalar tentang imamat. Tulisan ini sangat inspiratif bagi para imam maupun kaum awam untuk memahami imamat dan bagaimana bersama-sama mensyukuri dan memelihara rahmat imamat dalam Gereja. Terimakasih Saudara Stefanus Tay!
Ada beberapa catatan yang ingin saya sampaikan:
1. Saudara Stefanus Tay menulis: “Para rasul telah menjalankan kaul kemurnian sebelum penderitaan Yesus, seperti yang dikemukakan oleh St. Petrus “Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?” (Mat 19:27). Dan Yesus menjawab “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, atau istri (istri termasuk dalam terjemahan Douay Rheims, Vulgate and King James Bible) anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal (Mat 19:29). Meninggalkan segalanya dan istri disini, ditafsirkan sebagai tindakan untuk tidak melakukan lagi hubungan badan.”
Menurut saya, sebenarnya teks ini bukan dalam konteks pembicaraan mengenai selibat imam. Juga tafsiran bahwa teks ini memaksudkan ‘tidak lagi melakukan hubungan badan’ kiranya bukanlah tafsiran yang didukung oleh teks.
2. Saudara Stefanus menulis: “Di dalam Gereja perdana, karena terbatasnya kandidat yang belum menikah untuk diakon, imam, dan uskup yang, maka mereka dapat menikah sebelum ditahbiskan (lih. 1 Tim 3:1-4), namun mereka dituntut untuk mempraktekkan kaul kemurnian setelah ordinasi.”
Praktik selibat bagi diakon, imam, dan uskup sebenarnyalah belum sedini itu. Bahwa Paulus menganjurkan selibat seperti dirinya memang betul, tetapi ia sendiri tidak mewajibkannya. Dalam teks 1 Tim 3:1-4, yang ditunjuk bukan orang yang tidak menikah tetapi suami dari satu isteri (bukan orang yang berpoligami, bdk Tit 1:6) dan kepala rumah tangga yang baik. Paulus pun masih mengatakan tentang para rasul yang membawa isteri mereka dalam perjalanan misi (bdk 1Kor 9:5). Praktik kemurnian setelah ordinasi itu pun bukan hal yang sepurba itu. Awalnya, pemimpin umat lazim orang berkeluarga biasa-biasa saja. Perkembangan berikutnya, bukanlah langsung pada ‘kaul kemurnian’ setelah ordinasi, melainkan ‘pantang seksual’ pada malam sebelum dia bertugas memimpin ibadat. Ketika kebutuhan ibadat makin banyak, memang pantang seksual sebelum ibadat ini menjadi semakin mendekati tuntutan hidup murni. Barulah pada tahap berikutnya hukum selibat itu masuk dalam Gereja.
Ya, sedikit catatan korektif: ‘kaul kemurnian’ itu melekatnya pada biarawan-biarawati, bukan pada imam; yang dikenakan pada imam adalah ‘hukum selibat’ (sebelum ditahbiskan, seorang calon diakon/imam mengucapkan bukan ‘kaul kemurnian’ melainkan ‘janji selibat (janji untuk mematuhi hukum selibat)’. Baik dari sisi hukum maupun bentuk (forma)-nya, kaul kemurnian dan janji mematuhi hukum selibat sebenarnya dua hal yang berlainan meskipun dalam penghayatan tidak jauh berbeda.
3. Sudara Stefanus menulis: “Dokumen pertama yang menyatakan secara explisit tentang hal ini adalah Konsili Elvira di Spanyol tahun 306 dan Carthage tahun 390, serta dekrit dari Paus Siricius dan Innocent, sekitar akhir abad ke-4 dan awal abad ke-5.”
Ya, benar memang selibat imamat sudah menjadi problem dan ditanggapi di masa-masa itu. Akan tetapi, sekedar mengingatkan saja, bahwa konsili Elvira dan Konsili Carthage ini bukanlah konsili ekumenis (jangan dibayangkan seperti Konsili Vatikan II, misalnya), melainkan semacam sinode lokal keuskupan-keuskupan saja. Bukan maksud saya merendahkan bobotnya, tetapi harus disadari daya ikat konsili ini belum kokoh, di belahan dunia lain, apa yang diputuskan dalam konsili-konsili ini belumlah mengikat. Juga, ketika Paus mempromosikan hidup selibat, de fakto imam menikah masih ada dan diterima sah.
4. Hal lain yang turut berperan dalam tradisi serta hukum selibat adalah kehidupan sebagai pertapa (rahib) dan biarawan. Mereka ini pertama-tama adalah orang yang memang memilih hidup murni untuk Tuhan (fuga mundi, meninggalkan dunia ramai dan tinggal di padang gurun). Ketika makin banyak imam dari kalangan pertapa dan biara, maka trend imam tidak menikah ini makin kuat. Apalagi, banyak imam dari latarbelakang biara atau pertapa ini lebih ‘menonjol’ di mata umat sehingga menjadi ‘model’ imamat yang semakin diidealkan.
5. Saya tidak ingin menyanggah pentingnya hukum selibat, tetapi ingin mengajak untuk menempatkan dalam proporsinya. Hidup selibat memang kompatibel dengan imamat tetapi tidak dituntut oleh hakikat imamat. Karena inilah, maka dapat dimengerti adanya ‘dispensasi dari selibat’ meski imamat tidak terhapus (bandingkan bahwa hal ini berbeda total dengan tidak adanya dispensasi menikah bagi orang yang terikat perkawinan).
6. Sebuah rumusan yang indah namun juga tegas, jelas dan humanis sekali, pun pula sangat rohani dan inspiratif dapat ditemukan misalnya dalam rumusan dokumen ‘Kamu Adalah Saksiku, Sebuah pedoman imam’ yang diterbitkan oleh Para Waligereja Regio Jawa” begini: “Walaupun tidak dituntut oleh hakikat imamat… dianjurkan … selibat Gerejani (PO no. 16) bagi para imam. Dengan mengikuti suatu tradisi lama, dari mereka dituntut cara hidup yang tidak kawin. ‘Para klerikus terikat kewajiban untuk memelihara tarak sempurna dan seumur hidup demi kerajaan surga dan karena itu terikat selibat’ (KHK kan. 277 § 1). Namun selibat tidak mungkin dilaksanakan sebagai kewajiban semata-mata yang dituntut dalam rangka jabatan imamat. Hidup tidak nikah hanya mungkin mempunyai arti, karena bersumber pada keyakinan akan cinta Allah yang tidak kenal batas, dan selibat mendapat bentuknya dari pelayanan dalam Gereja. Selibat tidak terutama berarti ‘bertarak’ dan ‘berkorban’, melainkan rasa kagum dan percaya akan kasih Allah yang tak terduga. Jika penuh kegembiraan, imam mencurahkan segala daya cinta kepada para anggota jemaatnya, maka usahanya yang serba terbatas ini memberi kesaksian mengenai cinta Allah bagi semua orang, yang jauh melampaui semua usaha kita. Maka sewajarnyalah selibat dipandang sebagai ‘peculiare Dei donum’ (anugerah istimewa Allah—KHK kan. 277 § 1) untuk semakin bersatu dengan Kristus dan sebagai suatu kharisma yang terbina dan diperoleh dalam doa. (‘Kamu Adalah Saksiku, Sebuah pedoman imam’ art. 76)
Salam… semoga para imam sungguh menjadi berkat dengan imamatnya dan para umat juga dapat mendukung kesucian para imamnya. Kita saling mendoakan.
Gayus Gamaliel
Shalom Gamaliel,
Terima kasih atas kunjungannya ke katolisitas.org dan terutama terima kasih atas masukan-masukan yang sangat berharga. Saya sungguh menghargai beberapa catatan yang diberikan oleh Gamaliel. Di dalam tulisan saya, dibagian hidup selibat (celibacy) memang perlu dikembangkan lebih jauh, sehingga dapat dipaparkan dengan lengkap. Suatu saat saya akan mencoba untuk menulis artikel tentang hal ini, sehingga pemaparan akan menjadi lebih komprehensif. Berikut ini adalah beberapa tanggapan dari saya:
1) Memang kita masih dapat mendiskusikan tentang konteks dari Mat 19:29, dimana Yesus mengatakan "Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, atau istri (istri termasuk dalam terjemahan Douay Rheims, Vulgate and King James Bible) anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal" (Mat 19:29; Lk 18:28-30).
a) Kita bisa melihat bagaimana orang-orang yang meninggalkan segalanya untuk Kristus akan menerima hidup yang berkelimpahan. Seperti para rasul, mereka meninggalkan orang tua, sanak saudara dan harta milik mereka.
Namun secara khusus kita juga dapat mengaitkannya dalam konteks bahwa para rasul tidak menggunakan hak mereka dalam perkawinan, atau menerapkan kaul kemurnian (perfect continence) setelah mengikuti Yesus.
Hal ini juga berkembang di dalam tradisi, dimana orang-orang yang telah menikah dapat menjadi imam, namun calon imam dan istri mereka harus berjanji untuk tidak menggunakan hak menikah mereka sebagai suami istri (mereka hidup sebagai kakak dan adik).
b) Saya juga melihat di dokumen Sacerdotalis Caelibatus, Encyclical of Pope Paul VI on the Celibacy of the Priest, paragraf 22, dimana Paus Paul VI mengutip Mat 19:29 untuk menjelaskan "motivasi untuk hidup selibat". (silakan klik).
c) Saya juga mencoba menghubungkan Mt 19:29 dengan perkataan Yesus di Mt 19:12, dimana Yesus berkata "Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."
Di dalam Mt 19:3-9, Yesus menegaskan bahwa hubungan suami-istri adalah tidak terceraikan. Kemudian Yesus menegaskan bahwa ada orang yang membuatnya demikian karena kerajaan surga (lih Mt 19:10-12). Dan di Mt 19:16-22, Yesus menganjurkan orang yang kaya untuk meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti Yesus. Dan percakapan ini diteruskan dengan topik yang sama dengan membandingkan bahwa orang kaya tersebut menolak untuk meninggalkan kekayaannya, sedangkan para rasul telah meninggalkan segalanya dan mengikuti Kristus. Dan Yesus menegaskan bahwa mereka akan menerima upahnya di surga, karena mereka telah membuat diri mereka eunuchs (tidak dapat kawin) atas kemauan mereka sendiri demi mengikuti Yesus.
d) Bandingkan juga dengan "John Paul II, The Church Holiness Comes from Christ, General Audience July 23, 1988". (silakan klik).
Dan lihat juga dokumen: "Letter of the Holy Father John Paul II to Priests for Holy Thursday, 1988", di paragraf 5, dimana dikatakan:
"….The analogy between the Church and the Virgin Mother has a special eloquence for us, who link our priestly vocation to celibacy, that is, to "making ourselves eunuchs for the sake of the kingdom of heaven." We recall the conversation with the apostles, in which Christ explained to them the meaning of this choice (cf. Mt 19:12)".
2) Untuk 1 Tim 3:1-4: kalau kita melihat "The biblical foundation of priestly celibacy" – Ignace de la Potterie, Biblical scholar, dapat dilihat disini (silakan klik), dikatakan:
a) "…. the bishop ought to be unius uxoris vir (1 Tim 3:2), so ought the priest (Tit 1:6) and so ought the deacon (I Tim 3:12)…"
b) So what does it mean that the minister of the Church should be «the husband of one wife»? In the following pages we shall first try to show that the formula unius uxoris vir, up to the fourth century, was understood, as Stickler so well puts it, «in the sense of a biblical argument in favour of celibacy of apostolic inspiration: for the Pauline norm was interpreted in the sense of a guarantee assuring effective observance of continence by ministers who were already married before they were ordained.»In the second part, we shall take a step forward: we shall propose a deeper theological interpretation of the Pauline stipulation itself, to show that, already in New Testament times it actually does propose the model for the ministerial priesthood of a marital relationship between Christ the bridegroom and the Church his bride, on the basis of the mystical view of marriage which St Paul frequently mentions in his letters (cf 2 Cor 11:2; Eph 5:22-32).10 From this, it will become abundantly clear that, for married ministers, their ordination implied an invitation to live in continence thereafter.
c) Dan kemudian di bagian "Conclusion", dikatakan:
In order to grasp the way in which we have tried to show the biblical basis of priestly celibacy, it is important to distinguish between celibacy and continence. In the ancient Church, many priests were married. This explains why, in speaking of the ministers of the Church, the formula unius uxoris vir came to be used. It also explains the great interest the Fathers had in monogamous marriage (cf for instance Tertullian: De monogamia). But it becomes clearer still in the Tradition that for a minister of the Church, united once in matrimony with a woman, acceptance of the ministry brought with it the consequence that he had to live in continence thereafter.
d) Dalam 1 Tim 3:2 dikatakan bahwa seorang uskup menjadi suami dari satu istri, dapat juga dimengerti bahwa istri disini adalah mewakili Gereja (the Bride of Christ).
e) Bandingkan juga dengan dokumen: Priestly celibacy in patristics and in the history of the Church, Roman Cholij, Secretary of the Apostolic Exarch for Ukrainian Catholics in Great Britain (klik disini).
"Eusebius of Caesarea, a prominent bishop at the Council of Nicaea, writes in the Demonstratio Evangelica, I, 9 (3 15-325): «It is fitting, according to Scripture, ‘that a bishop be the husband of an only wife’. But this being understood, it behoves consecrated men, and those who are at the service of God’s cult, to abstain thereafter from conjugal intercourse with their wives.» St Jerome, who had a good knowledge of the Eastern Churches, writes to the priest Vigilantius (406): «What would the Eastern Churches do? What would (those of) Egypt and the Apostolic See do, they who never accept clerics unless they are virgins or continent men, or if they had had a wife, (accept them only) if they give up matrimonial life…» (Adversus Vigilantium, 2)."
f) Saya tertarik dengan interpretasi "Awalnya, pemimpin umat lazim orang berkeluarga biasa-biasa saja. Perkembangan berikutnya, bukanlah langsung pada ‘kaul kemurnian’ setelah ordinasi, melainkan ‘pantang seksual’ pada malam sebelum dia bertugas memimpin ibadat." Apakah Gamaliel mempunyai sumber yang mendukung interpretasi ini? Saya membutuhkan sumber-sumber yang baik untuk tulisan mendatang tentang celibacy.
g) Terimakasih atas koreksi antara kaul kemurnian dan janji selibat.
3) Tentu saja kita mengetahui bahwa konsili-konsili di masa-masa awal banyak yang dilakukan secara lokal, yang memang tidak mungkin untuk mengadakan suatu konsili seperti Vatikan II pada saat itu. Namun konsili-konsili tersebut mempunyai bobot tersendiri, sama seperti dokumen-dokumen dari bapa Gereja mempunyai bobot tersendiri. Kita dapat melihat bahwa konsili Carthage, yang walaupun konsili yang bersifat lokal, namun mendefinisikan buku-buku kanonikal untuk Perjanjian Baru.
Yang saya ingin coba lakukan adalah untuk memaparkan perkembangan suatu ajaran "hidup selibat", dimana pengajaran tersebut tidak muncul tiba-tiba di abad pertengahan, namun merupakan suatu "organic development", seperti yang diterangkan oleh Cardinal Newman dalam "An Essay on the Development of Christian Doctrine".
4) Kehidupan selibat yang ditunjukkan oleh para pertapa adalah suatu masukan yang sangat bagus. Terima kasih.
5) Hidup selibat memang tidak menjadi "matter" atau "form" dari Sakramen Imamat, namun menjadi suatu tradisi yang turun-temurun, dan terus menerus ditegaskan dari konsili ke konsili yang lain, dan juga dari satu ensiklik yang satu ke ensiklik yang lain. Mungkin dapat dikatakan bahwa hidup selibat adalah "fitting" untuk seorang imam, sehingga dalam kebijaksanaannya, Gereja tetap mempertahankannya sampai saat ini.
6) Terima kasih atas kutipannya. Memang kalau seseorang menganggap kehidupan selibat hanya sebagai suatu beban atau peraturan yang membebani, maka akan sangat sulit baginya untuk menjalaninya. Hal ini hanya dapat dilakukan atas dasar kasih kepada Yesus, dan juga keinginan untuk mengikuti jejak Yesus. Kehidupan selibat yang berdasarkan kasih kepada Kristus inilah yang merupakan gambaran akan kasih sempurna di surga atau "beatific vision", di mana orang-orang menjadi seperti malaikat, tidak ada yang kawin atau dikawinkan (lih. Mat 22:30)
Akhirnya, saya sungguh bersyukur dan berterima kasih atas semua masukan yang berharga dari Gamaliel. Nanti dalam tulisan tentang dasar hidup selibat para imam, saya akan mencoba membahas dan mengulasnya dengan lebih detail. Mungkin ada beberapa hal di mana kita melihatnya dari sisi yang berbeda, namun kita berdua setuju bahwa kehidupan selibat bukanlah suatu inovasi Gereja semata di abad pertengahan, namun ajaran ini adalah merupakan suatu "perkembangan organik", yang dapat ditelusuri dari Alkitab, para Bapa Gereja, dan juga konsili-konsili.
Saya mempunyai buku "Christian Cochini, Apostolic Origins of Priestly Celibacy (Ignatius Pr, 1990)", yang saya lihat dapat menjadi masukan yang berharga, karena menerangkan perkembangan ajaran ini secara rinci dari sisi historis dan teologis. Nanti kalau waktu memungkinkan akan coba saya ulas.
Mari kita saling mendoakan, agar para imam dan umat bersama-sama dapat hidup kudus mengikuti jejak Sang Imam Agung, Yesus Kristus.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
stef
Diatas ada pertanyaan tentang imam yg menikah. Kan sebagai imam dan sudah ditahbis secara sah, mereka tetap tidak boleh menikah sampai paus mengabulkan laikalisasi mereka. Bagaimana kalau dari imam itu sendiri sudah bertekad bulat ingin menikah, apakah boleh menikah di gereja? Apakah kalau tidak boleh, dan hanya menurut catatan sipil, apakah si imam dan pasangannya ini boleh menerima komuni? Apakah uskup tidak boleh memberikan dispensasi?
Apakah proses laikalisasi ini pasti akan dikabulkan oleh paus? Dan adakah cara tercepat untuk mewujudkan proses laikalisasi ini?
Bagaimana jika mereka mempunyai anak, apakah anak mereka dianggap sah secara katolik dan boleh masuk katolik walaupun kedua orangtua mereka tidak menikah di gereja? Apakah salah seorang wanita menikah dengan imam yg telah mengundurkan diri ke kepala pastor dan kepala pastor tersebut mengijinkan? Apakah si wanita tetap salah? Padahal wanita itu mulai dekat setelah imam itu keluar 8 bulan yg lalu?
Terima kasih untuk jawabannya.
Shalom Siska,
Imam yang sudah ditahbiskan secara sah memang tidak akan kehilangan sakramen Tahbisan Suci-nya. Hal ini pernah juga dijawab di sini (silakan klik). Sering kita dengar, bahwa sekali imam ditahbiskan, maka ia tetap imam di hadapan Tuhan. Masalahnya, bagaimana kemudian, jika imam itu menikah. Untuk hal ini, kita melihat beberapa ketentuan dalam Kitab Hukum Kanonik Gereja Katolik, yang didasari oleh pengajaran tentang keagungan makna sakramen Tahbisan suci dan sakramen Pernikahan, sebagai berikut:
1) Kan. 290 – Tahbisan suci, sekali diterima dengan sah, tak pernah menjadi tidak-sah. Tetapi seorang klerikus kehilangan status klerikal:
1* dengan putusan pengadilan atau dekret administratif yang me-nyatakan tidak-sahnya tahbisan suci;
2* oleh hukuman pemecatan yang dijatuhkan secara legitim;
3* oleh reskrip Takhta Apostolik; tetapi reskrip itu diberikan oleh Takhta Apostolik bagi para diakon hanya karena alasan-alasan yang berat dan bagi para imam hanya karena alasan-alasan yang sangat berat.
2) Kan. 291 – Selain yang disebut dalam kan. 290, 1*, hilangnya status klerikal tidak membawa-serta dispensasi dari kewajiban selibat, yang diberikan hanya oleh Paus.
3) Kan. 1087 – Tidak sahlah perkawinan yang dicoba dilangsungkan oleh mereka yang telah menerima tahbisan suci.
4) Kan. 87 – § 1. Setiap kali menurut penilaiannya berguna untuk kepentingan spiritual orang-orang beriman, Uskup diosesan dapat memberi dispensasi dari undang-undang disipliner, baik universal maupun partikular, yang diberikan oleh kuasa tertinggi Gereja untuk wilayahnya atau bawahannya, tetapi tidak dari hukum acara atau pidana, juga tidak dari undang-undang yang dispensasinya secara khusus direservasi bagi Takhta Apostolik atau suatu otoritas lain.
Maka dari ketiga hal tersebut, kita ketahui bahwa Sakramen Tahbisan Suci yang sah diterima sifatnya sah selamanya. Jadi prinsipnya hampir sama dengan sakramen Perkawinan, jika sudah sah diterima, tidak bisa dibatalkan. Pembatalan hanya berlaku jika tahbisan itu sendiri dikatakan tidak sah (declaration of nullity) yang menurut pengetahuan kami, sangat jarang diberikan, sebab umumnya, para calon imam sudah melalui proses pembinaan yang sedemikian, sehingga pada waktu mereka memutuskan menjadi imam, keputusan tersebut diambil dalam kesadaran dan kehendak bebas yang penuh.
Namun, jika ada imam menikah, maka ia dapat kehilangan status klerikalnya sebagai imam (yang hilang di sini adalah statusnya, bukan rahmat sakramen Imamatnya), dan dengan demikian tidak dapat lagi menjalankan tugas-tugas sebagai imam, seperti memberikan sakramen- sakramen, kecuali memberikan absolusi pada orang yang dalam sakrat maut. Tanpa dispensasi dari Bapa Paus yang membebaskan dia dari hidup selibat, maka ia sesungguhnya tidak dapat menikah. Jika ia tetap berkeras menikah, maka perkawinan tersebut tidak sah dan ia tak dapat menikah di Gereja dan menerima komuni. Sepanjang pengetahuan kami, dewasa ini dispensasi untuk dilepaskan dari hidup selibat ini juga tak terlalu mudah diberikan. Saya kurang tahu berapa lamanya pengurusan ini, apalagi bagaimana mempercepat proses ini.
Jika imam yang menikah ini mempunyai anak, anaknya tetap dapat dibaptis, asalkan orang tuanya berjanji untuk mendidik anak ini secara Katolik (sesuai dengan kan. 868). Sebab pada dasarnya, Gereja memandang anak ini tidak bersalah, yang bersalah adalah orang tuanya yang menikah tidak sah di hadapan Tuhan.
Mengenai apakah wanita itu bersalah atau tidak sebenarnya dapat kita lihat kemiripannya pada kasus ini: Seorang suami sudah menikah (menerima sakramen perkawinan), namun bulat niatannya untuk bercerai, dan pada saat itu ia jatuh cinta pada wanita lain. Jika sampai suami ini meninggalkan janji pekawinannya terdahulu dan akhirnya menikah dengan wanita ini, apakah wanita ini bersalah? Saya pikir, hubungan cinta yang menghantar ke perkawinan selalu merupakan hubungan timbal balik, jika wanita itu tidak menanggapi, tentunya tidak terjadi perkawinan. Masalahnya di sini adalah, secara objektif sang imam itu masih terikat dengan kaul selibatnya sebagai kesatuan dengan sakramen Tahbisan sucinya. Maka jika tanpa dispensasi ia menikah, maka sesungguhnya ia seperti seorang suami yang belum mendapat Anulasi (pembatalan pernikahan) namun menikah lagi. Bedanya, tidak seperti suami mengikat janji dengan istri, sang imam mengikat janjinya bukan dengan manusia, tetapi dengan Tuhan sendiri. Saya mengajak Siska untuk merenungkan sejenak, bagaimana sebaiknya jika kita ada di posisi wanita ini. Memang, mungkin seolah wajar saja, seorang wanita tertarik pada seorang pria, namun, jika pria itu sudah menjadi ‘milik’ orang lain, maka, selayaknya wanita itu tidak mengharapkan hubungan yang lebih dari sekedar teman. Apalagi jika pria itu sudah menjadi ‘milik’ Tuhan, dalam hal ini imam. Suatu permenungan adalah, apakah sebagai wanita, (jika kita di menjadi wanita itu) mau mengambil apa yang sudah menjadi milik Tuhan? Kenyataan bahwa sang imam telah dibebaskan tugas dari tugas imam oleh Pastor kepala, bukan berarti bahwa ia sudah bebas dari kehidupan selibatnya, dan jika sakramen Tahbisannya sah, ia sesungguhnya tetap imam. Seberapapun wanita itu mengasihi sang imam, sesungguhnya ia akan lebih mengasihinya dengan mendukung dan mendorong sang imam itu untuk kembali dan tetap setia menjadi seorang imam. Imam itu milik Tuhan, mari kita mengasihi mereka dengan mendukung mereka menjalankan tugas mereka sebagai imam. Atau, jika memang imam itu sudah bulat tekadnya untuk tidak kembali, biarkanlah ia tetap setia dengan kehidupan selibatnya, sebab itu sudah menjadi kesatuan dengan sakramen Tahbisan suci yang sudah diterimanya. Atau, minimal, jangan membina hubungan lebih lanjut atau menjanjikan apapun lebih dari sekedar teman, sebelum sang imam mendapatkan dispensasi dari Vatikan.
Saya rasa, jika wanita itu mau dengan rendah hati menempatkan Tuhan lebih utama dari perasaannya sendiri, maka ia dapat dengan lapang mendukung sang imam untuk hidup seturut panggilannya. Mungkin di sinilah kesempatan bagi wanita itu untuk menunjukkan kasihnya kepada Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan (Mrk 12:28), kasih kepada Tuhan yang mengatasi perasaannya sendiri, untuk merelakan sang imam untuk kembali kepada Tuhan, dan tidak ‘mengambilnya’ dari Tuhan yang telah terlebih dahulu memilihnya menjadi imam-Nya.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
Ingrid Listiati
Terima kasih untuk balasan komentarnya.
Yang saya bingungkan, apakah tidak ada cara lain untuk seorang imam menikah? Karena saya pernah dengar ada imam yg keluar dan menikah dengan seorang wanita, dan dinikahkan oleh seorang pastor. Apakah ini boleh terjadi?
Apakah Tuhan tidak bisa memberikan ampunan kepada hambanya yg ingin keluar dari status imamnya? Karena saya yakin Tuhan itu maha pengampun dan tahu hal ini yg terbaik. Kenapa harus sangat dipersulit untuk Paus memberikan status awam buat imam yg ingin keluar?
Imam juga manusia. Mungkin hanya sampai sebatas itu takdirnya untuk menjadi imam. Apakah hal ini tidak bisa menjadi dasar bagi Paus untuk memberikan dispensasi? Saya tau para imam belajar hingga bertahun2 dan melalui tahapan yg panjang dan pemikiran yg panjang. Tapi apakah salah jika mereka ingin menikah dengan seorang wanita? Karena sesuatu datang terlambat.
Kalau sebagai teman kita sudah membantu untuk membuka pikiran untuk kembali ke jalan Tuhan tapi tidak berhasil, apa tetap bisa dipaksa?
Apakah menikah di catatan sipil harus menggunakan ijin dari agama yg dianut oleh pasangan itu?
Bagaimana jika imam itu pindah agama? Bagaimana status imam tersebut?
Terima kasih Ibu inggrid untuk tanggapannya.
Shalom Siska,
Terimakasih atas tanggapannya. Mungkin sebelum menjawab pertanyaan Siska, mari kita melihat beberapa hal berikut ini.
Seorang imam pada saat ditahbiskan menerima tiga hal, yaitu:
1) Tahbisan Suci melalui Sakramen Imamat. Sakramen Imamat, seperti Sakramen Baptis, dan Sakramen Penguatan memberikan tanda di dalam jiwa seseorang, sehingga tidak dapat dibatalkan. Sekali orang menerima Sakramen Imamat, selamanya dia adalah seorang imam, termasuk walaupun orang tersebut tidak mau lagi menjadi seorang imam. Bandingkan jika seseorang menerima Sakrament Baptis: kalau seseorang telah dibaptis dan karena suatu hal tidak mau lagi menjadi Katolik dan kemudian masuk agama non-Kristen, dan kalau orang tersebut sebelum meninggal ingin kembali lagi menjadi Katolik, orang tersebut tidak dibaptis lagi, karena baptisan bersifat tetap. Jadi dalam hal ini, kalaupun Gereja mau untuk membatalkan Sakramen Imamat atau Sakramen Baptis, Gereja tidak mempunyai kuasa untuk melakukannya. Tanda yang dilakukan secara sah, bahwa kita sebagai anak Allah melalui baptisan, dan sebagai imam melalui Sakramen Imamat tidak akan terhapuskan dengan apapun. Ini berarti bahwa walaupun seorang imam menikah, dia adalah tetap seorang imam.
2) Status Klerikal. Ada dua status hukum di dalam Gereja Katolik, yaitu awam dan klerikus (clergy). Pada saat seseorang menerima tahbisan sebagai diakon, maka orang tersebut menjadi seorang klerikus. Status ini dapat hilang, jika Tahbisan Imamat tidak sah, terkena sanksi, maupun mendapatkan dispensasi dari Vatikan. Jadi status klerikal seorang imam dapat hilang dan dengan kehilangan status klerikal, maka orang tersebut mempunyai status sebagai seorang awam.
Kehilangan status klerikal tidak menghapuskan kaul untuk hidup selibat, namun Vatikan dapat memberikan dispensasi.
3) Faculty. Kewenangan yang diberikan oleh otoritas yang berwenang untuk melaksanakan beberapa hal, seperti: merayakan sakramen-sakramen, memberikan pengampunan dosa dalam Sakramen Tobat, berkotbah dalam homili, dll. Kewenangan ini dapat hilang, jika otoritas yang berwenang mengambilnya atau kalau Sakramen Imamat yang diterimanya tidak sah. Faculty ini akan hilang pada waktu seseorang kehilangan statusnya sebagai seorang klerikus. Namun, ada kekecualian, bahwa pada bahaya kematian seseorang, seorang imam (bukan mantan imam) yang tidak mempunyai status klerikal tetap dapat memberikan pengampunan dosa. Hal ini dikarenakan bahwa orang tersebut adalah tetap seorang imam.
Berdasarkan pengertian di atas, maka kita dapat menarik beberapa kesimpulan sehubungan dengan pertanyaan Siska.
1) Apakah ada cara lain agar seorang imam dapat menikah? Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hal tersebut hanya mungkin terjadi kalau imam tersebut mendapatkan dispensasi dari Vatikan untuk melepaskan kaul selibatnya. Kalau seorang imam tetap nekad untuk menikah tanpa adanya dispensasi dari Paus, maka imam tersebut akan terkena hukuman, yang pada akhirnya kalau diteruskan akan sampai pada kehilangan status klerikalnya (Kan. 1394 – § 1). Tanpa dispensasi, perkawinan dari imam tersebut tidak sah (kan. 1087). Dan kalau sampai imam tersebut nekad untuk menikah tidak secara sah di dalam Gereja, maka imam tersebut sebenarnya hidup dalam dosa.
2) Mungkin kita harus melihat hal ini sebagai suatu kenyataan bahwa Gereja menganggap bahwa Sakramen adalah suatu hal yang suci. Sakramen Imamat dan Sakramen Perkawinan adalah merupakan dua cara untuk menjalankan misi kita di dunia ini. Sakramen Perkawinan dan Sakramen Imamat – kalau dilakukan secara sah – hanya dapat digagalkan oleh kematian. Masalahnya bukan mempersulit seorang imam untuk menjadi seorang awam, namun secara kodrat, Tahbisan Suci, sekali diterima secara sah, tidak akan mungkin menjadi tidak sah (Kan. 290).
3) Tentu saja Paus dapat memberikan dispensasi bagi para imam yang memang ingin keluar dari statusnya sebagai klerikal. Namun semuanya harus melalui prosedur yang jelas.
Jadi apa yang harus di lakukan dalam kasus ini?
1) Saya ingin mengusulkan hal berikut ini: Bagi imam yang bersangkutan silakan datang ke rekan imam atau baik juga ke superiornya dulu. Mungkin dari imam yang lain atau superiornya yang dulu dapat membantunya secara spiritual. Ini berarti bahwa imam tersebut dapat benar-benar melakukan proses discernment : apakah dia benar-benar ingin meninggalkan statusnya sebagai seorang klerikus dan menjadi seorang awam? Apakah alasannya, dll? Kalau memang ingin menjadi seorang awam, apakah dia ingin menikah? Kalau memang benar-benar ingin menikah, silakan mengajukan dispensasi ke Vatikan, yang tentu saja harus di dahului dengan persetujuan dari superiornya. Setelah diajukan, mohon agar imam (bukan mantan imam) tersebut menunggu dan tidak melakukan pernikahan sampai mendapatkan dispensasi. Pemikiran dan doa sebelum benar-benar meninggalkan statusnya sebagai klerikus benar-benar penting, sehingga jangan sampai kesalahan yang pertama diulang kembali.
2) Bagi wanita yang terlibat, saya ingin mengusulkan untuk juga datang ke seorang pastor. Ceritakan semuanya, dan cobalah untuk merenungkan apa yang dikatakan oleh pastor tersebut. Alangkah baiknya, kalau sang wanita ini juga benar-benar berfikir, berdoa dan melakukan retret, untuk melakukan proses discernment, sehingga dia benar-benar dapat mengambil keputusan sesuai dengan jalan Tuhan.
3) Setelah hal tersebut di atas dijalankan dan tetap dengan keputusan mereka, maka kita telah melakukan bagian kita. Namun tanpa ke dua langkah tersebut di atas dan hanya langsung keluar dan memutuskan menikah, menurut saya keputusannya terlalu terburu-buru. Namun pada akhirnya imam dan wanita itu yang harus memutuskan dan kita tidak dapat memaksanya.
Kalaupun pada akhirnya imam tersebut memutuskan untuk menikah, dan wanita tersebut juga ingin melakukannya, maka lakukanlah dengan prosedur yang ada. Tunggulah untuk menerima dispensasi dari Vatikan, sehingga perkawinan yang dilakukan dapat direstui oleh Gereja.
4) Setahu saya, di Indonesia pernikahan di catatan sipil harus didahului dengan pernikahan agama.
5) Kalau sampai imam tersebut pindah agama, maka sebenarnya imam tersebut malah mengambil suatu langkah yang sungguh sangat besar resikonya, yaitu mengambil resiko kehilangan keselamatan kekal. Dikatakan di dalam Lumen Gentium 14 "“… andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.”
Ingrid dan saya turut berdoa agar imam dan wanita tersebut benar-benar dapat membawa hal ini di dalam doa dan sungguh-sungguh membuat suatu keputusan yang diberkati oleh Tuhan. Mari kita bersama-sama berfokus pada kehidupan kekal di surga, sehingga apapun yang kita lakukan benar-benar mengalir dari kasih kita kepada Yesus. Tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus…Dan sebaliknya, janganlah kita memisahkan diri dari Kristus dan Gereja-Nya.
Kalau masih ada yang perlu ditanyakan lagi, silakan meninggalkan pesan lagi.
Salam kasih dari https://katolisitas.org
stef
Saudari Siska,
Sebagai tambahan, ketika Romo itu melakukan perbuatan melanggar hidup selibat dan terbukti, maka dia akan terkena suspensi (sangsi) oleh Ordinaris Wilayahnya (Uskup), artinya dia tidak diperkenankan melaksanakan tugas sakramen dan pelayanan publik sesuai dengan kan.1333.
Langkah kedua, romo tersebut akan dipanggil untuk bertanggungjawab atas tindakannya dan kalau memang hendak keluar maka diurus oleh tarekat dan keuskupannya. Mereka akan memintakan dispensasi bagi imam tersebut agar dapat keluar dari status klerikalnya kepada kongregasi Imam atau hidup bakti di Vatikan.
Setelah dapat dispensasi menjadi awam, imam tersebut baru bisa menikah secara sah di Gereja Katolik. Namun kadang terjadi mereka bisa menikah secara sipil dulu kalau bisa, sambil menunggu proses dispensasi yang biasanya agak lama(bdk. kann 1708-1712). [Tentu saja, karena belum mendapatkan dispensasi, mereka tidak dapat menggunakan hak mereka sebagai suami istri]. Dan setelah imam tersebut mendapatkan dispensasi, maka mereka dapat menerima Sakramen Perkawinan secara sah di Gereja Katolik.
Damai Kristus,
Romo Wanta, Pr.
Terima kasih komentar Romo Wanta.
Romo, masih ada sedikit yang sangat membingungkan buat saya.
Sekarang dari tekad pribadi si imam yg mengundurkan diri itu, dia keluar, dan seijin kepala pastor pun telah mendapatkan ijin. Apakah masih harus mendapatkan ijin dispensasi kongregasi imam untuk menikah? Apakah atas ijin kepala pastor saja tidak cukup? Karena pada saat dia hendak mengundurkan diri pun, dia sudah disuruh berpikir baik-baik dan ditanya ini itu.
Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mendapatkan dispensasi kongregasi Imam ini? Apakah dengan dispensasi kongregasi Imam ini, tidak perlu dispensasi dari vatikan lagi? dan apakah dengan dispensasi dari kongregasi imam ini, si imam tersebut boleh menikah secara katolik?
Dan bolehkah si imam tersebut sambil menunggu surat dispensasi baik dari kongregasi imam ataupun dari vatikan menjalin hubungan dengan seorang wanita? Apakah si imam tetap boleh mengadakan misa?
Romo, bukankah kalau menikah di catatan sipil harus didahulukan dengan menikah secara agama? Sekarang secara agama saja tidak diperbolehkan, bagaimana mau menikah secara sipil?
Terima kasih atas kesediaan romo menjawab pertanyaan saya.
Salam Damai,
Siska
Siska yang baik,
Saya tidak mengetahui dengan baik apakan romo ini imam diosesan atau tarekat religius? Kalau imam tarekat pimpinannya adalah Provinsial sedangkan imam diosesan pimpinannya Uskup setempat dimana dia diinkardinasikan. Segala urusan pengunduran diri dari jabatan imam harus dimulai dengan menulis surat permohonan keluar dari jabatan imamat kepada pimpinan tersebut. Sekarang saya jawab pertanyaanmu:
1) Pastor Kepala Paroki tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan dispensasi dari jabatan imamat. Hak itu ada di tangan Takhta Suci dalam hal ini Bapa Suci melalui kongregasinya (imam atau hidup bakti).
2) Lama waktu mengurus proses laicalisasi: keluar dari jabatan imamat menjadi awam (laical) tidak bisa ditentukan, karena hal ini tergantung pada siapa yang mengurus proses ini di Roma. Biasanya kalau imam tarekat memiliki seorang imam prokurator (yang diberi kuasa) untuk mengurus proses laicalisasi sehingga bisa lebih cepat. Imam diosesan biasanya tidak mempunyai imam prokurator yang mengurus proses ini, sehingga surat-surat itu kadang menumpuk di kantor kongregasi dan dapat memakan waktu tahunan.
3) Sesudah mendapat surat keluar dari jabatan imamat dan dispensasi dari kewajiban imamat (selibat, misa ibadat gereja dll), maka imam yang tidak mempunyai status klerikal itu, bisa menikah di Gereja Katolik dengan menunjukkan surat dari Takhta Suci kepada Romo Paroki dimana diteguhkan perkawinannya.
4) Imam tersebut tidak boleh merayakan misa dan pelayanan sakramen sejak surat permohonan keluar dari jabatan imamat dikirim kepada pimpinan dan Tahta Suci.
5) Seorang yang mau menikah harus memiliki status liber (bebas halangan) tidak ada ikatan dengan siapapun. Dalam hal ini, imam yang belum menerima dispensasi dari Tahta Suci untuk melepaskan hidup selibatnya jangan menikah terlebih dahulu, baik pernikahan sipil maupun pernikahan Gereja, karena imam tersebut mempunyai "halangan publik". Dia harus menunggu sampai surat dispensasi kemurahan dari Takhta Suci tiba.
[Dalam kenyataan, ada beberapa imam yang belum mendapatkan dispensasi dari Takhta Suci bertekad untuk menikah sipil terlebih dahulu, walaupun belum menikah Gereja. Oleh karena itu, mereka tidak bisa menerima komuni kudus, karena itu sebaiknya jangan menikah sipil apalagi gereja karena ada halangan publik sebelum menerima surat dari tahkta suci.]
6) Selama menunggu mantan imam boleh menjalin hubungan dengan perempuan tetapi tidak seperti layaknya suami isteri, dan hendaknya berhati-hati agar tidak menjadi batu sandungan umat. Maka surat suspensi dari pimpinan berdasarkan surat pengunduran diri dari imamat hendaknya dibacakan kepada umat sehingga mereka tahu kalau si romo A sudah keluar (extra domus).
Demikian jawaban saya semoga semakin paham.
Selamat Natal dan Bahagia Tahun Baru 2009.
Tuhan memberkatimu
Rm Wanta, Pr
Terima kasih Pak Stef atas jawaban ttg imam laki-laki selibat. Pertanyaan saya berlanjut, maaf, boleh ya, karena jawaban Pak Stef saya percaya selalu berdasar Alkitab dan Tradisi. Uskup Ludo dari Paraguay menjadi presiden. Bagaimana sih aturannya kok imam bahkan uskup boleh bergiat dalam politik? Setahu saya imam hirarki tak boleh berpolitik. Manakah dasar Alkitab dan Tradisi? Terima kasih. Shalom:
Isa Inigo
Shalom Isa,
Terimakasih atas pertanyaannya. Mari kita melihat apakah klerikus, yang terdiri dari diakon, imam maupun uskup, dapat mengikuti kegiatan politik.
1) Dari hakikat Gereja sendiri, kita melihat bahwa Gereja bukan saja komunitas yang ada di dunia ini, namun Gereja adalah komunitas yang terdiri dari: Gereja yang mengembara di dunia ini, Gereja yang sedang dimurnikan di Purgatory (Api Penyucian), dan Gereja yang telah dimuliakan di surga. Dengan demikian, tujuan dari Gereja adalah mengantar seluruh umat beriman kepada persatuan dengan Allah Bapa di Surga.
2) Untuk mengantar seluruh umat beriman kepada tujuan akhir inilah, Kristus sendiri telah mendirikan Sakrament Imamat (klik disini), dimana yang menerima sakramen ini menjadi kaum klerik atau mempunyai status imam jabatan, yang terdiri dari episkopat, presbterat, dan diakonat (KGK 1536). Dan dalam Lumen Gentium, 21 dikatakan "para Uskup secara mulia dan kelihatan mengemban peran Kristus sebagai Guru, Gembala, dan Imam Agung, dan bertindak atas nama-Nya[58].
3) Kalau kita melihat Yesus dalam Alkitab, Yesus tidak mencampuri urusan politik. Hal ini dibuktikan bahwa Yesus tidak membebaskan bangsa Yahudi dari belenggu bangsa Romawi. Namun tujuan dari Yesus datang ke dunia adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu dosa, sehingga manusia dapat bersatu kembali dengan Tuhan. Dan tugas yang sama inilah yang harus diteruskan oleh Gereja.
4) Jadi, Gereja sebagai masyarakat supernatural harus berada di atas masyarakat natural. Gereja harus dapat menembus dinding bahasa, bangsa, budaya, dan juga politik. Oleh karena itulah, maka Gereja melarang kaum klerik untuk masuk secara aktif dalam politik, yang diatur dalam Kitab Hukum Kanonik.
Kan. 287 – § 1. Para klerikus hendaknya selalu memupuk damai dan kerukunan sekuat tenaga berdasarkan keadilan yang harus dipelihara di antara sesama manusia.
§ 2. Janganlah mereka turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat buruh,
kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum.
5) Bayangkan kalau di Indonesia, sebagian imam aktif di partai A, dan ada uskup aktif di partai B, dan uskup dari daerah lain aktif di partai C, dll. Maka kehidupan beriman akan menjadi kacau. Misi utama Gereja untuk membantu kehidupan spiritual umat beriman akan campur aduk dengan kepentingan politik, yang pada akhirnya akan memecah belah Gereja.
Dari dasar-dasar tersebut di atas, maka mari kita melihat kasus uskup Ludo dari Paraguay:
Jadi dalam kasus Uskup Ludo dari Paraguay, Vatican melarangnya untuk menjadi presiden. Pada tanggal 25 Desember 2007, uskup Ludo meminta ijin untuk merubah statusnya menjadi seorang awam. Namun Vatican menolak, karena jabatan uskup melalui episkopal ordinasi adalah bersifat selamanya. Namun karena uskup Ludo tetap aktif dalam politik dan menjadi presiden, dia menerima sangsi, dimana dia tidak boleh untuk melaksanakan pelayananya sebagai uskup dan imam. Namun pihak Vatikan tidak mencabut status kleriknya, dan oleh karena itu dia tetap terikat oleh kewajibannya, termasuk hidup selibat. Dalam hal ini, pihak otoritas Gereja melihat bahwa keaktifan Uskup Ludo sudah melampaui batas-batas yang diperlukan untuk melindungi hak-hak Gereja/ memajukan kesejahteraan umum seperti yang disebutkan dalam kan. 287. 2 tersebut, sehingga ia dikenakan sangsi. Silakan membaca berita lengkapnya di sini (klik disini).
Demikian uraian yang dapat saya sampaikan, semoga dapat menjawab pertanyaan Isa. Mari kita bersama-sama berdoa bagai para diakon, imam, uskup, dan juga Paus, agar mereka dapat memancarkan terang Kristus.
Salam kasih dari https://katolisitas.org
Stef
Pak Stef, terima kasih atas jawabannya. Tetapi saya baru tahu bahwa hukum Gereja dalam kanon 287 ayat 2 menyebutkan bahwa toh ada peluang bagi pastor / uskup untuk berkegiatan politik namun hanya jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum. Apakah hal ini pernah terjadi? Adakah contoh-contohnya?
Shalom
Isa Inigo
Shalom Isa,
Klerikus dapat ikut dalam politik jika diperlukan untuk "greater good" atau kebaikan yang lebih tinggi, namun mereka tidak dapat menduduki posisi tertentu dalam partai politik. Sebagai contoh banyak klerikus di Amerika yang ikut berdemo untuk menentang aborsi. Gereja senantiasa memperjuangkan martabat manusia, yang merupakan gambaran dari Allah sendiri. Dan yang terpenting, Gereja ingin mengantar seluruh umat manusia bertemu dengan Kristus, sehingga dapat mencapai tujuan akhir, yaitu Surga.
Mari kita, yang menjadi anggota Gereja, juga turut berjuang untuk membantu orang-orang di sekitar kita untuk bertemu dengan Kristus.
Salam kasih dari htttp://katolisitas.org
stef
Bagaimana dengan seorang Paus yang juga adalah seorang kepala negara Vatikan?
Bukan kan sebagai kepala Gereja, dia juga menjadi kepala pemerintahan Vatikan yang berarti punya posisi politis tertentu?
Lalu mengapa ada perbedaan kebijakan dengan Lugo yang “mencoba” menjadi seorang kepala negara dan seorang imam?
Shalom Ferry,
Terima kasih atas pertanyaannya.
Untuk menjawab pertanyaan Ferry, kita harus melihat bahwa ada perbedaaan antara Vatikan dengan negara sekuler.
Struktur Vatikan dapat dilihat disini (silakan klik). Dan kalau kita perhatikan struktur Vatikan berbeda dengan struktur suatu negara. Hal ini disebabkan karena Vatikan, yang memang mempunyai persetujuan diplomatik dengan 176 negara, mempunyai tujuan untuk menyebarkan kabar Gembira Kristus dan mengantar umat kepada kebahagiaan sejati di Surga. Jadi fokusnya adalah "eternal happiness", sedangkan struktur suatu negara lebih berfokus pada "temporal happiness".
Dari sini kita melihat bahwa tujuan atau "end" dari Vatikan dan suatu negara sekuler adalah berbeda. Oleh karena itu, sungguh sangat berbeda antara Paus yang mengepalai Gereja yang berkedudukan di Vatikan dengan Lugo, seorang kepala negara sekuler. Seorang imam tugas utamanya bukanlah mengepalai suatu negara atau berpolitik, namun mengantar umat untuk masuk dalam kerajaan Surga, melalui tugasnya sebagai "imam, nabi, dan raja".
Semoga keterangan ini dapat menjawab pertanyaan Ferry.
salam kasih dari http://www.katolisitas.org
stef
Pak Stef/Bu Ingrid, menurut http://www.zenit.org Vatikan punya hubungan diplomatik dengan 177 negara sebagaimana saya kutipkan dari web berita Vatikan ini.
VATICAN CITY, JAN. 8, 2009 (Zenit.org).- Violence — whatever its source
and form — must be condemned, Benedict XVI is affirming.
The Pope said this today in the context of mentioning the war in the Gaza
Strip, during a traditional annual address to the members of the diplomatic
corps accredited to the Holy See. The Holy See has diplomatic relations
with 177 nations.
di balik kenyataan ini, saya yakin, Tuhan Yesus Kristus sungguh memenuhi janjiNya, bahwa Ia mengatakan “alam maut tak akan merobohkan Gereja yang Ia dirikan”. Gereja Katolik sungguh istimewa karena Tuhan Yesus sendiri-lah sebenarnya yang ia layani untuk merajai bangsa-bangsa. Saya makin bahagia menjadi warga negara Indonesia yang sekaligus warga Gereja Katoli Keuskupan dan Paroki saya, karena sudah punya tanah air surgawi pula. Saya berdoa agar makin banyak negara berhubungan diplomatik dengan Vatikan.
Shalom
Isa Inigo
Shalom Isa,
Terimakasih atas koreksinya. Saya yang salah karena mengutip dari website vatikan yang mungkin belum diupdate. Yang benar adalah memang 177 negara yang mempunyai hubungan diplomatik dengan Vatikan, dimana “Botswana” – salah satu negara di Afrika Selatan – adalah negara ke-177.
Ya, kita memang wajib bersyukur atas segala rahmat yang Tuhan berikan kepada kita, terutama adalah rahmat iman, yang mengenal Yesus secara penuh dalam Gereja Katolik.
Salam kasih dari http://www.katolisitas.org
stef
salam sejahtera,artikel saudara berkenaan dengan kepaderian ini sangat baik dan menyentuh perasaan. saya punya Paroki(daerah terpencil di Sarawak Malaysia) sejak dari tahun 2004 telah tidak mempunyai paderi/pastor kerana kami punya paderi telah ‘resign’.Bolehkah seorang paderi resign? saya masih ingat apabila paderi ini mengumumkan hasratnya hendak ‘holiday’selama setahun saya sudah sangat yakin bahawa itu hanyalah alasannya untuk berhenti dan saya sempat merayu dan menasihati beliau supaya dia sekurang-kurangnya mesti ada perasaan ‘kasih sayang’ dan kasihan kepada umat yang bakal ditinggalkan dan umat-umat yang lain sehingga menangis merayu agar dia jangan ‘holiday’ tetapi akhirnya dia tetap dengan pendiriannya dan sekarang jadilah kami seperti ‘baby’ yang kehilangan/kematian ibu bapa dalam masa yang sama.adalah sekali sekala paderi dari paroki lain datang melawat dan kali terakhir Bishop keuskupan saya datang melawat kami adalah pada tahun 2006.Uskup Agung Samarinda pernah melawat kami di akhir tahun 2007 dan masa itu saya sangat sedih dengan sambutan yang diberikan oleh para umat-mungkin ini disebabkan oleh spiritual kami semua sudah lemah mahu pun mati? untuk pengetahuan saudara/saudari bahawa paroki kami ini tertubuh pada tahun 1969 maka hanya pada tahun 2000 barulah kami ada paderi/pastor sendiri tetapi itu hanyalah sementara kerana pada tahun 2004 kami kembali tidak ada paderi(seperti yang saya nyatakan di atas)
sangat mencabarlah kehidupan katolik kami sekarang sehinggakan sudah ada saudara saudari kami yang mengambil keputusan untuk masuk ke gereja lain(Sidang Injil Borneo@SIB)biar pun jumlah mereka belumlah ramai tetapi adakah itu signal awal yang spiritual kami semakin mati?
ya kehidupan sekarang ibu bapa kalau boleh mahu melihat anak-anak mereka berjaya sampai ke Universiti sehinggakan di paroki saya belum pernah pun saya mendengar ibu bapa yang hendak menghantar atau pun berdoa agar anak mereka menjadi paderi.Bapa Uskup pula sepertinya sengaja membiarkan kami berjalan bersendirian?
kalau boleh tolonglah berdoa untuk paroki saya-St.Francis Xavier Belaga Sarawak Malaysia
salam sayang untuk saudara/saudari.sampai berjumpa lagi
Shalom Semang,
Kami sungguh ikut merasakan kesusahan umat di sana, karena tidak ada pastor (paderi) yang bertugas di daerah tersebut. Kalau boleh kami ingin menyarankan beberapa hal berikut ini:
1) Cobalah menulis surat kepada uskup setempat, mohon agar dapat dikirim seorang pastor yang dapat bertugas di daerah tempat Semang tinggal. Kami tidak tahu ada berapa banyak umat Katolik yang tinggal di sana. Kalau kekurangan pastor, mungkin bisa minta dikirim diakon. Diakon ini dapat memberkati perkawinan, dapat memberikan ibadah sabda dan setelah ibadah sabda dapat membagikan Ekaristi (Tubuh Kristus) yang telah dikonsekrasikan sebelumnya.
2) Cobalah untuk membuat suatu pertemuan rutin setiap hari Minggu, dan kemudian isilah dengan rosario bersama, disusul dengan ibadah sabda, dengan membaca bacaan dari Kitab Suci menurut kalender liturgi (dapat dilihat disini – silakan klik). Setelah itu dapat sharing bagaimana menerapkan Sabda Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau bisa minta pihak keuskupan untuk memberikan pedoman/guideline. Dalam pertemuan tersebut harus ada waktu diam, dimana masing-masing umat berdoa dalam kerinduan untuk menerima Sakramen Ekaristi. Dengan cara ini, maka seluruh umat dapat menerima Sakramen Ekaristi secara spiritual. Kalau dilakukan dengan sepenuh hati dan dengan kerinduan yang mendalam, maka berkat Tuhan juga dapat mengalir kepada seluruh umat.
Ini adalah doa untuk menerima Ekaristi secara spiritual yang saya dapat di http://www.ewtn.com
My Jesus, I believe that You are present in the Most Holy Sacrament.
I love You above all things, and I desire to receive You into my soul.
Since I cannot at this moment receive You sacramentally, come at least spiritually into my heart.
I embrace You as if You were already there and unite myself wholly to You.
Never permit me to be separated from You. Amen.
3) Kalau sering bertemu secara rutin, maka mulailah sharing bagaimana mengatasi masalah ini. Mungkin ada yang terpanggil untuk menjadi diakon atau pastor. Kalau ada yang terpanggil untuk menjadi diakon (seorang yang sudah beristri juga dapat menjadi diakon), mungkin bisa bertanya kepada uskup setempat, apakah diakon diperbolehkan. Kalau diperbolehkan, mungkin minta keuskupan untuk memberikan pelatihan kepada calon diakon tersebut, yang nantinya kalau telah selesai dapat melayani di daerah tersebut.
Demikian apa yang dapat kami sampaikan. Sangat kontras sekali dengan kondisi umat yang mempunyai pastor tetap. Kadang kami mendengar umat Katolik tidak datang mengikuti Ekaristi Kudus pada hari Minggu, sedangkan yang ingin mengikuti, tidak mempunyai pastor, seperti yang terjadi di daerah tempat Semang tinggal. Kami juga mengundang semua pengunjung katolisitas.org, untuk berdoa bagi saudara/i kita di Serawak, agar Tuhan mengirimkan seorang pastor untuk melayani di sana.
Salam dari kami untuk saudara/i satu iman di Serawak. Semoga Tuhan senantiasa memberikan kekuatan dalam kesulitan ini.
Salam kasih dari https://katolisitas.org
stef & ingrid
terima kasih saudara Stef,saya sangat menghargai idea-idea anda.
.
Pak Stef, apakah dasar selibat para imam Katolik? Mengapa para imam Katolik harus laki-laki? Apakah dari Kitab Wahyu bab 14 ayat 4 bisa dipertanggungjawabkan? Dasar itu dipakai dalam ulasan Scott Hahn dalam bukunya “Perjamuan Surgawi di Dunia”. Secara pribadi, saya setuju bahwa imam Gereja Kristus tidak menikah dan laki-laki, namun mohon diberikan dasar-dasar yang kuat dari Alkitab dan Tradisi. Thanks in advance.
Shalom
Isa
Shalom Isa,
Terimakasih atas pertanyaannya. Mari kita membahasnya.
I. Dasar selibat para imam Katolik:
Dalam artikel yang saya tulis "Kami mengasihimu, pastor", sebenarnya telah dibahas tentang hal ini secara singkat. Silakan melihat bagian : kenapa imam tidak menikah, yang sebenarnya dasarnya adalah dari Alkitab, Tradisi Gereja, dan Magisterium – melalui konsili-konsili.
II. Dasar para imam harus laki-laki:
1) Banyak kaum feminis mengatakan bahwa harus ada persamaan hak dan kewajiban dalam Gereja Katolik, termasuk adalah untuk menjadi seorang imam. Mungkin kita harus menerima bahwa persamaan hak dan kewajiban tidak berarti menghilangkan perbedaan kodrat seorang pria dan wanita. Sebagai contoh, menjadi kodrat wanita untuk melahirkan. Kalaupun seorang pria ingin dan mau mempunyai persamaan hak untuk melahirkan seperti wanita, dia tetap tidak bisa, karena melahirkan bukan menjadi bagian dari kodratnya. Demikian juga dengan imam jabatan, seorang wanita tidak dapat menjadi imam, bukan karena Gereja Katolik memandang wanita lebih rendah dari pria, namun karena sudah menjadi kodrat seorang imam adalah pria.
2) Semua orang yang dibaptis sebetulnya, baik pria maupun wanita dipanggil untuk menjadi imam, nabi, dan raja (lihat artikel: sudahkah kita diselamatkan). Imam yang dimaksud disini adalah imam bersama bukan imam jabatan. Imam jabatan hanyalah untuk pria yang menerima tahbisan suci (lihat artikel: Kami mengasihimu, pastor).
3) Kalau kita melihat dari Perjanjian Lama, tidak ada imam wanita. Dan di Perjanjian Baru, menyempurnakan perjanjian lama juga tidak ada imam wanita. Dikatakan bahwa:
Yesus memanggil 12 rasul, yang semuanya pria dan memberikan mereka misi untuk mengajar dan membaptis semua bangsa (Mat 10:1; 7-7; Mat 28:16-20; Mk 3:13-16; 16:14-15). Dan para rasul juga memilih pria sebagai teman sekerja mereka (1 Tim 3:1-13; 2 Tim 1:6; Ti 1:5-9). Karya para rasul ini diteruskan oleh para uskup dan dibantu oleh para imam, dan diakon membantu para uskup dan imam dalam pelayanan.
Kemudian Rasul Paulus dalam suratnya kepada Timotius mengatakan "Seharusnyalah perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh.Aku tidak mengizinkan perempuan mengajar dan juga tidak mengizinkannya memerintah laki-laki; hendaklah ia berdiam diri" (1 Tim 2:11-12). Tidak mengijinkan mengajar dapat diinterpretasikan untuk menduduki "teaching office", seperti para imam yang ditahbiskan.
Itulah sebabnya Tertullian dalam bukunya "On Veiling Virgins" 9.1, (206 AD) mengatakan "Tidaklah diijinkan bagi seorang wanita untuk berbicara di Gereja atau untuk mengajar, membaptis, mempersembahkan, atau menyatakan untuk dirinya sendiri segala fungsi yang diperuntukkan untuk pria, dan yang terkecil dari semuanya adalah the office of priest/imam tertahbis ".
Dan begitu banyak komentar yang lain, seperti dari Origen, St. Epiphanius, St. John Chrysostom, St. Augustine, dll., dan lebih lanjut dinyatakan dalam konsili Nicea (325 AD), Council of Laodicea (372 AD), Konsili Tours II (795 AD), Konsili ke-6 Paris (829 AD), dan juga beberapa konsili berikutnya, yang melarang wanita sebagai imam.
Dan akhirnya pada tahun 1994, Paus Yohanes Paulus II menyatakan dalam Apostolic Letter "Ordinatio Sacerdotalis" atau "mengkhususkan ordinasi imam hanya bagi pria", tanggal 22 Mei 1994, yang mengatakan bahwa Gereja tidak mempunyai otoritas untuk memberikan ordinasi kepada wanita dan keputusan ini harus dipatuhi oleh seluruh umat beriman.
4) Mari kita sekarang melihat alasan teologisnya. Gereja dinyatakan sebagai seorang mempelai wanita, sedangkan Kristus adalah mempelai pria (lih Ef 5:22-32). Di dalam perayaan sakramen, terutama dalam sakramen Ekaristi dan Tobat, maka seorang imam bertindak sebagai Kristus (in persona Christi). Dan Kristus telah dinubuatkan sebagai pria (lih Yes 9:6), lahir sebagai seorang pria, menderita, wafat, dan bangkit sebagai seorang pria.
Dan sebagai konsekuensi dari hal tersebut, seorang wanita tidak dapat menjadi seorang imam yang bertindak sebagai Kristus.
5) Dan kalau kita lihat, bukan berarti tidak menjadi seorang imam, maka seorang perempuan menjadi kurang kudus atau kurang berperan dalam kehidupan Gereja. Bunda Maria adalah satu-satunya manusia, setelah Kristus, yang tidak bernoda. Dan Bunda Maria, walaupun menjadi bunda Kristus, dia tidak menjadi salah satu dari rasul. Kita juga melihat yang terberkati bunda Teresa dari Kalkuta, wanita yang membangun Gereja secara luar biasa. Dan begitu banyak contoh dari para wanita yang menjadi orang-orang kudus, dimana mereka secara istimewa dipakai Tuhan untuk membangun Gereja dari dalam.
Itulah yang dapat saya sampaikan, semoga dapat menjawab pertanyaan Isa. Dan mari kita bersama-sama, pria, wanita, membangun Gereja Katolik yang kita kasihi dengan kapasitas dan kodrat kita masing-masing. Terpujilah Kristus.
Salam kasih dari https://katolisitas.org
stef
Shalom Pak Stef,
Sebagai orang awam, saya ingin bertanya apakah seorang rama yang menikah dan menjadi orang awam masih memiliki sakramen imamat? Jika jawabannya ya, apakah dia masih dapat melakukan tugas seperti rama misalnya memberikan berkat kepada orang lain? Jika seorang rama menikah, apakah dia dapat memperoleh dispensasi dari Paus seperti halnya pasangan suami-isteri yang bercerai? Jika tidak dan pernikahannya tidak mendapatkan sakramen perkawinan, bagaimana nasib anak-anaknya? Apakah anak-anaknya dapat dibaptis saat bayi? Atas jawaban Pak Stef, saya ucapkan terima kasih.
Shalom Andryhart,
Terimakasih atas pertanyaannya. Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita melihat beberapa kanon di dalam Kitab Hukum Gereja:
1) Gereja Katolik mengenal dua status, yang terdiri dari kaum awam dan klerikal. Klerikal ini terdiri dari uskup, pastor, dan diakon. Kaum awam termasuk para suster dan para religius, orang yang menikah maupun tidak menikah, tidak termasuk dalam klerikal. Sama seperti kaum awam yang menikah dan dianggap pernikahan tersebut adalah tetap sampai maut memisahkan mereka, maka dalam status klerikal, tahbisan mereka adalah bersifat selamanya sampai mereka meninggal.
2) Berikut ini adalah kanon 290-292 yang mengatur tentang hal ini:
Kan. 290 – Tahbisan suci, sekali diterima dengan sah, tak pernah menjadi tidak-sah. Tetapi seorang klerikus kehilangan status klerikal:
1 dengan putusan pengadilan atau dekret administratif yang me-nyatakan tidak-sahnya tahbisan suci;
2 oleh hukuman pemecatan yang dijatuhkan secara legitim;
3 oleh reskrip Takhta Apostolik; tetapi reskrip itu diberikan oleh Takhta Apostolik bagi para diakon hanya karena alasan-alasan yang berat dan bagi para imam hanya karena alasan-alasan yang sangat berat.
Kan. 291 – Selain yang disebut dalam kan. 290, 1, hilangnya status klerikal tidak membawa-serta dispensasi dari kewajiban selibat, yang diberikan hanya oleh Paus.
Kan. 292 – Seorang klerikus, yang kehilangan status klerikal menurut norma hukum, kehilangan hak-hak khas status klerikal dan tidak lagi terikat oleh kewajiban-kewajiban status klerikal, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 291; ia dilarang melaksanakan kuasa tahbisan, dengan tetap berlaku ketentuan kan. 976; dengan sendirinya ia kehilangan semua jabatan, tugas dan kuasa apapun yang didelegasikan.
Kan. 976 – Imam manapun, meski tidak memiliki kewenangan menerima pengakuan, dapat memberi absolusi secara sah dan licit peniten manapun yang berada dalam bahaya maut dari segala censura dan dosa, meskipun hadir juga seorang imam lain yang memiliki kewenangan.
3) Maka jika seorang imam karena alasan tertentu keluar dari statusnya sebagai klerikal, dia sebenarnya tetap menjadi menjadi seorang imam, karena tahbisan suci yang dia terima bersifat tetap, namun dia kehilangan status klerikal, yang berarti dia juga kehilangan hak (faculty) dan kewajibannya sebagai seorang klerik. Artinya, dia tidak dapat memberkati perkawinan, atau menerimakan sakramen-sakramen yang lain, berkotbah dalam homili, dll. Namun karena secara prinsip dia tetap seorang imam, maka dalam kondisi darurat, misalkan dalam kecelakaan pesawat terbang, atau dalam kondisi hidup dan mati, dia dapat memberikan absolusi, sesuai dengan kan. 976.
4) Dia juga harus tetap menjalankan kaul untuk hidup selibat. Kalau dia ingin menikah atau tidak ingin hidup selibat lagi, dia harus mendapatkan dispensasi dari Paus, sesuai dengan kan. 291.
5) Setelah dia mendapatkan dispensasi, maka dia dapat menikah secara katolik, dan dianggap seperti pasangan yang lain, namun dia tetap seorang imam walaupun tidak mempunyai status klerikal. Tentu saja, anak mereka dapat dibaptis pada waktu bayi.
Demikian uraian yang dapat saya sampaikan, semoga dapat menjawab pertanyaan Andryhart. Mari kita bersama-sama berdoa bagi para imam, agar mereka tetap setia dalam panggilannya sebagai imam. Mari kita juga mendukung mereka, misalkan dalam beberapa kesempatan kalau bertemu dengan mereka, katakan "Terimakasih Romo telah menjawab panggilan Tuhan sebagai seorang imam". Dan kita juga berdoa bagi kaum muda, agar mereka juga dengan besar hati berani menjawab panggilan Tuhan sebagai imam. Para imam telah memilih bagian yang terbaik…. Terpujilah Tuhan.
Salam kasih dari https://katolisitas.org
stef
Salam kasih,
tidak ada pesan dan juga komentar yang akan saya ucapkan setelah membaca tulisan anda.
Tulisan anda sangat membantu skripsi yang sedang saya kerjakan.
Saya membuat skripsi mengenai Peran Paus Yohanes Paulus II terhadap keruntuhan komunisme di Polandia.
Apabila ada masukan dan saran, mohon bantuannya.
Terima kasih.
Salam,
Yessie.
Shalom Yessie,
Terimakasih telah berkunjung ke katolisitas.org. Kami sangat senang kalau ada yang terbantu dengan tulisan-tulisan kami di situs ini. Tentang skripsi, saya rasa topiknya menarik sekali, hanya memang saya tidak tahu sumber-sumber yang tersedia di Indonesia. Dalam bahasa Inggris ada buku, seperti "Witness to Hope: the Biography of Pope John Paul II" by George Weigel. Mungkin Yessie bisa mengambil beberapa referensi dari buku tersebut. Namun saya tidak tahu apakah buku ini sudah diterjemahkan atau belum. Dalam edisi bahasa Inggris, buku ini terdiri dari 1056 halaman. Yessie mungkin juga dapat melihat pandangan Gereja tentang ateism, di Gaudium Et Spes (salah satu dokumen Vatican II), mulai paragraf 19 (Bentuk-bentuk dan akar-akar ateisme). Lihat juga Spe Salvi, Ensiklik oleh Paus Benediktus XVI, yang menyinggung sedikit tentang komunisme. Setelah tahu ajaran Gereja tentang komunisme, Yessie dapat melihat alasan di balik peran Paus Yohanes Paulus II dalam keruntuhan komunisme di Polandia. Tentu saja pengalaman pribadinya dalam penindasan komunisme dan mengalami sendiri kejahatan dari komunisme membuat dia benar-benar tahu apa yang harus diperjuangkan.
Itulah yang dapat saya sampaikan. Maaf, saya tidak dapat membantu banyak dalam hal ini. Saya doakan agar Yessie dapat mengerjakan skripsi dengan baik.
Salam kasih dari https://katolisitas.org
stef
salam Yessie,
saya pernah menonton film Karol: A Man Who Became Pope, di dalam film tersebut diperlihatkan bagaimana Yohanes Paulus II menentang keras sistem pemerintahan berhaluan komunis. Segala pandangan dan pendapatnya mengenai penolakan terhadap sistem komunis sebenarnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupannya ketika komunis menjadi anutan pemerintahan di Polandia. Mungkin film ini dapat memberikan gambaran kasar bagi Yessie terhadap tema skripsi yang anda pilih. Kalau mau lebih jelas lagi, Yessie dapat mencari referensi yang berkaitan dengan latar belakang diterbitkannya Ajaran Sosial Gereja Centesimus Annus. Centesimus Annus terbit ketika pemerintahan berhaluan komunis mulai runtuh tanpa ada kekerasan. Dan bagi Paus, hal tersebut adalah karena komunisme tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah sosial dengan baik, dalam hal ini, pada dasarnya adalah karena ideologi tersebut tidak memahami dan menghargai martabat manusia secara benar.
berkat Tuhan,
Marcelinus Tanto, Pr
Sdr Stefanus Tay
Berkat Tuhan, terima kasih atas artikel ini, inspiratif dan memberikan kesegaran bagi saya sekurang-kurangnya, terutama dalam menghayati anugerah imamat yang telah saya terima. Syukur dan terima kasih pula atas doa-doa seluruh umat bagi para imam dan calon imam, yang senantiasa memberikan kekuatan dalam menjalani kehidupan sebagai imam dan calon imam. Semoga berkat Tuhan menyertai sdr. stefanus dan keluarga serta segenap umat beriman..
Marcellinus Tanto, Pr
Shalom Romo Marcellinus,
Terimakasih telah meluangkan waktu untuk berkunjung ke katolisitas.org. Kita semua memang harus berdoa bagi para imam agar senantiasa hidup kudus, mengikuti jejak Sang Imam sejati, Yesus Kristus. Dan kita semua juga harus berdoa agar kaum muda mau menjawab panggilan Tuhan untuk menjadi imam. Kembali saya mengajak semua pembaca katolisitas.org untuk setiap hari berdoa bagi para imam dan juga doa untuk panggilan.
Berkat Tuhan juga melimpah kepada Romo dan kiranya Tuhan juga memberkati semua pelayanan Romo. Doa kami senantiasa menyertai Romo dan mohon juga doa dari Romo untuk kami, sehingga melalui website ini, kami dapat semakin memuliakan nama Tuhan.
Salam kasih dari: https://katolisitas.org
stef & ingrid
PS: Romo, kalau ada waktu luang untuk menuliskan kisah perjalanan Romo menjadi seorang imam, kami dengan senang hati ingin memuatnya di sini, sehingga akan semakin banyak anak muda yang terinspirasi untuk menjadi imam.
Selamat dan terimakasih untuk artikel2 web yang luar biasa
Saya ingin bertanya bagaimana seseorang itu tahu panggilannya di tarekat / konggregasi mana, karena saya semakin banyak mengunjungi semakin binggung
Terimakasih
Benadette yth.
Cobalah anda melihat kongregasi, tarekat ordo biarawati yang ada di paroki anda atau browsing ke internet, bisa diakses. Saya tidak tahu anda berada di mana supaya saya bisa sampaikan tarekat yang dekat dengan anda tinggal. Biasanya anda diminta magang tinggal beberapa bulan di biara kalau cocok silakan masuk postulan dulu lalu novisiat selama 2 tahun. Di Indonesia ada banyak tarekat kurang lebih 100 tarekat biarawati yang diosesan dan pontifikal. Yang cocok sesuai dengan dengan semangat hidup, ketrampilan, bakat dan kharisma anda sesuai dengan tarekat tsb. Tidak usah terburu-buru tapi dengan doa dan discerment carilah pastor yang bisa membimbing anda sehingga nanti anda memilih tarekat yang tepat dan membahagiakan dirimu.
Salam
Rm Wanta
saya memp dua anak laki masih kecil-kecil , istri saya ingin mereka jadi pastur krn zaman sekarang cari org yg mau jadi pastur kaya cari jarum di tumpukan jerami, susah buanget.
istri saya bilang mulai sekarang sudah harus didoakan spy punya hati yng mau menj pastor , istri saya sgt terbeban. Tapi saya tidak terbeban krn menurut saya menj pastor adl panggilan bukan kehendak org lain.
Menurut romo bgmn , tolong ceritain pengalaman romo shg bis memutuskan u/ jadi pastor. thanks. Tuhan memberkati.
Shalom Budi,
Terima kasih atas pertanyaannya. Memang jaman sekarang, tidak mudah untuk mendapatkan orang-orang yang ingin menjadi pastor, yang kadang dipengaruhi juga oleh pendidikan keluarga. Adalah hal yang wajar kalau orang tua menginginkan sesuatu yang baik bagi anak-anak. Orang tua sering mendoakan anaknya menjadi anak yang baik, yang dapat menolong orang lain, yang dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk Gereja, bangsa, dll. Namun ada banyak orang tua, sayangnya menutup kemungkinan anaknya menjadi pastor, sehingga alternatif untuk menjadi pastor tidak pernah diceritakan kepada anak-anak. Didoakan menjadi pastor tidaklah salah, karena pada akhirnya Tuhan yang akan melihat apakah anak tersebut benar-benar dapat menjadi pastor untuk membawa greater good. Namun, menurut saya, yang perlu dilakukan lagi adalah menceritakan tentang kemungkinan untuk menjadi pastor dan jangan menutupnya. Kita sering memberikan ide kepada anak-anak, misalkan menjadi dokter, arsitek, manager, direktur, dll. Namun, pernahkan kita menceritakan kepada anak-anak kemungkinan untuk menjadi pastor? Pernahkan kita menceritakan kehidupan santa/santo kepada anak-anak, sehingga mereka dapat mempunyai inspirasi untuk hidup kudus? Oleh karena itu, semua alternatif yang baik (termasuk menjadi pastor) harus dipaparkan kepada anak-anak, sehingga akhirnya anak-anak dapat memilih secara bebas. Lebih penting juga, tunjukkan akan pentingnya Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat, sehingga anak-anak dapat melihat akan pentingnya peran pastor. Oleh karena itu, mengikuti Misa Kudus mingguan dan kalau bisa harian, serta pengakuan dosa sebulan sekali atau 2 minggu sekali adalah bukti dari pentingnya sakramen-sakramen tersebut dalam kehidupan Budi dan keluarga.
Dan dalam doa, Budi dan istri dapat mendoakan anak-anak untuk menjadi pastor, dengan ditambah kalimat “kalau memang itu yang berkenan di hadapan Tuhan“. Walaupun benar, bahwa menjadi pastor adalah panggilan dan bukan kehendak orang lain, namun panggilan tersebut memang perlu dipupuk, sehingga dapat berkembang dengan baik. Adalah tugas dari setiap umat Katolik untuk mendoakan panggilan untuk para imam, dan lebih baik juga untuk terbuka bagi anak-anak kita sendiri untuk menjadi imam.
Semoga uraian di atas dapat membantu. Maaf saya bukan pastor, jadi saya tidak dapat memberikan pengalaman saya menjadi pastor. Namun, dari pengalaman, ada banyak pastor datang dari keluarga yang tekun dalam kehidupan doa dan sakramen.
Salam kasih dalam Kristus,
stef – http://www.katolisitas.org
Yoga Yth
Menjadi imam/pastor itu anugerah dari Allah bukan usaha pribadi. Oleh karena itu kalau membaca surat anda kelihatan bukan karena keinginan dari anak tetapi dari orang tua berharap anaknya menjadi pastor. Bisa saja berdoa dan semoga anak anda bisa menjadi pastor namun sekali lagi semuanya itu anugerah Allah dan jawaban pribadi dari anak yang terpanggil. Karena tidak perlu terbebani dari sekarang, berdoa untuk anak anda, didik secara iman katolik, berikan teladan dan ajari kebiasaan berdoa dan ikutkan dalam kegiatan putra altar kalau sudah waktunya.
salam
Rm Wanta
Comments are closed.