Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat 16:24; 10:38).

Ketika Indonesia sedang dalam masa kampanye pemilihan presiden beberapa waktu yang lalu, slogan yang hanya terdiri dari satu kata, “Lanjutkan..!” yang menjadi moto salah satu calon, menjadi populer.  Walau hanya satu kata, moto ini dengan cukup jelas mengungkapkan himbauan untuk meneruskan apa yang sudah dikerjakan oleh pencetusnya.  Meneruskan. Di dalam tikungan kehidupan, ketika hidup tidak berjalan mulus sesuai dengan harapan kita, kata itu kadang-kadang terasa begitu sulit dan berat untuk dilakukan.

Suatu hari saya sedang menatap ibu saya yang sedang bercerita tak henti kepada saya sejak hampir setengah jam yang lalu. Kisahnya seolah tak berujung. Saya tidak berani memotong cerita yang sedang ia sampaikan. Karena di telinga saya, apa yang ia sampaikan bukan hanya sekedar kisah, melainkan sebuah balada kesedihan hati seorang ibu yang terulang lagi dan lagi. Saya berusaha meredam kesedihan saya karena cinta saya kepada ibu saya, sambil merasakan ketidakberdayaan saya sendiri menyaksikan kekecewaan itu lagi di matanya, dan di hatinya.  Kisah semacam itu bukan hal yang pertama kali saya dengar, hadir dalam kerangka peristiwa yang berbeda-beda, namun semuanya mempunyai muatan yang sama. Kesedihan dan kekecewaan seorang ibu karena sikap tidak peduli seorang anak kepada perasaan dan kebutuhan ibu dan ayahnya. Anak itu adalah kakak kandung saya sendiri, yang juga telah cukup lama meninggalkan gereja. Sikap acuh dari kakak saya yang tinggal satu kota dengan orangtua kami, ditambah sikap yang kurang lebih sama dari istri kakak, terhadap ayah dan ibu kami, sudah menjadi kisah lama keluarga kami, yaitu ayah ibu dan kami bertiga bersaudara. Bertahun-tahun saya, seorang kakak saya yang lain serta ayah dan ibu berdoa untuk kakak saya itu, sambil tetap berusaha mencurahkan cinta yang tulus.

Ternyata semakin lama kami menyadari bahwa proses pertobatan kakak saya juga adalah proses pertobatan dan pemurnian kami semua sebagai keluarga. Dalam perjalanan doa sekeluarga bagi pertobatan kakak saya itu, kami merasakan bimbingan Tuhan di dalam doa dan permenungan kami bahwa mengampuni kakak secara terus menerus dan selalu berusaha memahami pilihan-pilihannya, akan lebih banyak memberi kemungkinan pertobatan kepada kakak dan keluarganya, dan membuahkan kedamaian di hati kami sendiri. Apalagi kami sendiri belumlah sempurna, masih harus selalu memperbaiki diri di sana sini. Harapan kami untuk kakak seyogyanya adalah untuk kebaikan dirinya dan bagi Tuhan, dan bukan untuk memenuhi ego kami dan kebutuhan kami sendiri untuk dikasihi. Bagaimanapun, berusaha selalu mengerti dan mengampuni untuk memberikan contoh keluhuran kasih Bapa, adalah perjuangan yang berat. Sebuah komitmen yang harus diperbarui lagi hari demi hari. Dan saya merasakannya ketika masih kembali harus mendengarkan ibu saya menceritakan keluhannya seputar sikap dan hati kakak yang dingin terhadap cinta Tuhan dan orangtuanya. Kisah yang seolah tak ada akhirnya. Di akhir pembicaraan ibu dan saya, kami selalu berusaha datang kepada Tuhan dan untuk kesekian kalinya memohon kekuatan untuk terus mengampuni, terus mengerti. Walaupun kami tidak tahu sampai kapan kami harus mengerti dan mengampuni kakak, setidaknya kami menyadari bahwa Yesus sudah berkata supaya kami mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali, dan itu kami yakini sebagai:  tanpa batas. Di dalam Dia, kami menaruh harapan bahwa teladan kesabaran, tidak menghakimi, dan kasih sesuai teladan-Nya, kelak dapat membawa pertobatan yang sejati bagi kakak.

Meneruskan sikap hidup yang baik walaupun hidup terasa berat dan mengecewakan, bahkan kadang terasa tak terpikul, juga saya jumpai dalam kisah kehidupan lainnya. Teman saya yang selalu berusaha mengampuni suaminya yang selingkuh, teman lain yang berjuang tetap bekerja dengan baik di bawah tekanan bos yang sangat menuntut dan tidak perhatian kepada prestasi bawahan, perjuangan teman ayah saya melawan kanker tenggorokan yang telah membuatnya menderita berbulan-bulan lamanya – penderitaan yang bagi yang mendengarkan dan membayangkannya saja rasanya tak tertahankan lagi.  Atau dalam kesetiaan seorang ibu yang harus selalu bangun di pagi hari melayani suami dan anak-anaknya dalam kesederhanaan dan kekurangan selama puluhan tahun, dan seorang tukang ojek korban PHK yang harus selalu bekerja di atas motornya siang dan malam demi sesuap nasi bagi keluarganya tanpa tahu kapan bisa kembali mendapatkan pekerjaan tetap yang lebih layak. Kisah-kisah itu juga ada dalam hal-hal yang lebih sederhana, namun tetap memerlukan kesabaran dan pengorbanan, misalnya bersabar menghadapi teman sekerja yang kurang giat bekerja dan tidak sepaham dengan kita, kemauan yang harus super teguh saat harus berdiet dan berolahraga dengan kedisiplinan yang tidak bisa ditawar lagi untuk menghindari suatu serangan penyakit turunan, meminjami (atau memberi) lagi dan lagi teman atau saudara yang memerlukan bantuan keuangan, terus berbuat baik dan bersikap baik sekalipun sering tidak dihargai atau disalahartikan, atau tetap berpikir positip dan penuh harapan di saat anak-anak kita belum juga menunjukkan kemajuan berarti di suatu bidang yang harus dikuasainya, sambil memurnikan motivasi kita sendiri bahwa apa yang kita usahakan adalah sungguh bagi kepentingan si anak dan bukan demi ego kita sebagai orangtua.

Pada suatu hari saat sedang mempelajari dokumen kursus katekis yang saya jalani, saya merasa terkejut menemukan sebuah teks di hadapan saya. Dengan pandangan mata nanar, saya membaca tulisan yang tertera di sana, “Jesus was hanging on the cross for 6 hours. Six hours in indescribable agony”.  (Yesus tergantung di kayu salib selama enam jam. Enam jam dalam penderitaan yang tak tergambarkan). Hati saya tertegun. Saya panik, merasa sekian lama dalam hidup saya, saya mengira Yesus ‘hanya’ bergantung di kayu salib selama tiga jam sebelum wafat-Nya pada pukul tiga sore (Matius 27 ayat 46 dan 50). Saya segera mengecek Kitab Suci saya, saya buka di Markus 15:25, Hari jam sembilan ketika Ia disalibkan. Memang di Injil lain misalnya di Injil Yohanes tidak dinyatakan demikian (Yohanes 19:14). Dan tentu saja itu masih belum termasuk penderitaan akibat pencambukan dan penghinaan yang berlangsung sejak dini hari. Saya menelan ludah, merasa tenggorokan saya tercekat, menahan airmata yang tiba-tiba mendesak hendak keluar.

Yesusku, aku merasa malu dan sedih karena baru sekarang aku mengetahui bahwa Engkau menderita begitu lama untukku. Dalam kesendirian yang begitu mencekam, dan rasa sakit yang begitu dahsyat di seluruh bagian tubuh-Mu, Engkau tetap bertahan. Penderitaan, kesepian, dan kesakitan, yang tak mampu kupahami dengan nalar, dan tak mampu kuungkapkan dengan kata.  Apa yang membuat-Mu begitu teguh untuk bertahan, Tuhan? Begitu berharganya kami sehingga Engkau begitu rela untuk menahan dan menjalani semua itu Tuhan.  Jam demi jam yang merambat pelan dalam kesakitan dan kepedihan yang tak berhingga. Pasti terasa berabad-abad lamanya bagi Tuhanku. Pasti terasa berabad lamanya bagi ibuku menantikan pertobatan kakakku,  bagi temanku untuk setia menantikan suaminya kembali kepadanya, bagi mereka yang sakit berat dan menantikan kesembuhan. Ya Bapa, mengapa Engkau tidak menghentikan semua penderitaan itu segera, mengapa harus enam jam Tuhan? Mengapa Engkau tidak segera memanggil Putera-Mu kembali ke Surga supaya penderitaan-Nya segera berakhir, cukuplah Ia telah setia melaksanakan amanat penderitaan itu, Bapa.

Secara manusiawi, kadang kita tidak memahami mengapa harus ada penderitaan. Kita juga kadang bertanya mengapa Tuhan seolah-olah membiarkan penderitaan terjadi dalam kehidupan. Dan sebagai manusia, kita ingin semua yang menyakitkan dan menyedihkan segera diakhiri. Sampai-sampai kita lupa pada kenyataan bahwa Tuhan mencintai kita sehabis-habisnya dan akan selalu menyayangi kita dan menjaga kita.

Saya terpekur di dalam keheningan hati saya. Kertas dokumen di tangan saya itu sudah basah oleh airmata. Dalam kekaburan pandangan, saya berlutut dan memandang salib Yesus yang tergantung di dinding kamar kerja saya.  Kerendahan hati, cinta murni, dan belaskasihan-Nya kepada manusia, membuat Yesus bertahan hingga akhir. Ampuni aku Raja Semesta Alam yang kesakitan, aku begitu asyik dengan rasa sakitku sendiri sehingga aku lupa bahwa Engkau sudah selesai menjalani rasa sakit yang kekal itu dengan paripurna untukku. Kalau cinta-Mu kepadaku mampu membuat-Mu bertahan begitu gagah berani Tuhan, maka aku juga mau bertahan untuk tidak beringsut dari kaki salib-Mu.

Pada saat perhatian kita tidak terpusat kepada penderitaan, melainkan kepada cinta kasih Kristus yang selalu memikirkan kita dan memelihara kita sampai kekal, bahkan sampai melewati maut, itulah saat dimana kita menjalani penderitaan kita dalam harapan akan salib Kristus, dan hanya dengan cara menjalani penderitaan dalam harapan dan kesabaran oleh karena cinta-Nya itu, segala penderitaan dan kesukaran menemukan maknanya.  Saat itu rasanya kita mendengar Tuhan Yesus berkata kepada kita sebelum Ia menanggung sengsara-Nya, “Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu. Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamupun hidup.” (Yohanes 14: 18-19). Itulah juga mengapa para martir dan kudus di Surga yang terus bertahan bersama Yesus di saat hidupnya dulu, sanggup dan berani menghadapi pencobaan maut dan penderitaan yang dahsyat yang secara mata manusiawi tak terbayangkan akan mampu untuk dijalani.

Sebenarnya, jika kita menderita dengan iman dan persatuan dengan Kristus, kita mengambil bagian dalam kesengsaraan Kristus untuk menebus dunia, yang disebut oleh Bapa Suci Yohanes Paulus II sebagai “redemptive suffering” (penderitaan yang membebaskan/menebus). “Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.” (Ibrani 12:2). Penderitaan dalam dunia yang dijalani bersama Kristus yang menderita, memungkinkan kita mengambil bagian dalam kemuliaan-Nya di dalam kebangkitan-Nya. Karena menderita bersama Tuhan memberi kita kesempatan untuk dikuduskan dan dimurnikan. Itulah sebabnya menderita bersama Kristus dan di dalam Kristus menjadi penuh arti, karena kesabaran dan ikhtiar kita tidak akan pernah sia-sia. Dalam cinta dan kerahiman-Nya, Dia mengijinkan penderitaan kita alami, dalam pengertian-Nya yang Maha Menyelami, bahwa penderitaan yang kita jalani dengan sabar dan penuh cinta bersama Dia, akan membawa kita kepada kekudusan dan kesempurnaan yang telah Dia rencanakan indah sejak semula bagi masing-masing kita.

Salib Kristus telah mengubah kutuk menjadi berkat, sehingga belajar selalu bergantung kepada salib-Nya menyadarkan kita bahwa penderitaan bukanlah hukuman Tuhan, melainkan justru sebuah kesempatan untuk bergantung sepenuhnya kepada Dia, untuk membentuk karakter kita dalam kesabaran, kasih yang murni, keteguhan iman, serta keindahan harapan. Seperti tanah liat yang menyerahkan pembentukan dirinya dalam kerja keras pembentuknya, demikianlah kita menyatukan penderitaan kita dalam sengsara-Nya, di dalam doa, di dalam Kurban Ekaristi Kudus, di dalam cinta-Nya, sehingga kita menjelma menjadi bejana-bejana indah yang memuliakan Sang Pencipta. “..Oleh bilur-bilur-Nya, kamu telah sembuh” (1 Petrus 2:24). Sebagai seorang Penyembuh yang Terluka (a Wounded Healer),  derita Yesus justru menjadi kekuatan kita. Luka-luka dalam enam jam penyaliban itu menunjukkan Tuhan yang luar biasa kerendahan hati-Nya, pengurbanan-Nya, dan cinta-Nya kepada kita. Maka bergantung terus kepada-Nya membuat kita bukanlah anak-anak biasa. Kita juga bisa menjadi luar biasa untuk meneruskan berjuang dalam kebaikan, dalam mengampuni, dalam memahami, dalam bekerja demi sesama dan keluarga, dalam berdisiplin diri, dalam memerangi kebiasaan buruk kita, dalam mengharapkan segala sesuatu yang baik terjadi pada waktu-Nya. Walaupun kadang perjuangan kita rasanya seperti tak berujung. Dan jawaban yang kita nantikan serasa belum pernah terlihat untuk sekedar mendekat. “Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN mendapat kekuatan baru: mereka seumpama rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah”.  (Yesaya 40: 31)

Menderita bersama Kristus ibarat menyeduh daun teh, justru di dalam air panas mendidih, keharuman dan citarasa daun teh itu muncul keluar, dan bisa dinikmati. Bergantung pada Salib Kristus memunculkan keindahan sejati di dalam diri manusia. Dalam Kolose 1:24 Rasul Paulus mengatakan, “Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita karena kamu, dan menggenapkan dalam dagingku apa yang kurang pada penderitaan Kristus, untuk tubuh-Nya, yaitu jemaat.” Dan di dalam Roma 5: 3-5 beliau mengatakan, ”Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita”. Ketahanan kita di dalam memaknai penderitaan kita di dalam salib Kristus, justru memampukan kita untuk berbuah. Tuhan Yesus menegaskan hal ini ketika Ia bersabda, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yohanes 12:24). Teladan kesabaran dan cinta kita, oleh karena salib-Nya, mampu menguduskan orang lain juga dan membawa pertobatan bagi sesama dan pada gilirannya, bagi pengudusan seluruh dunia. Itulah sukacita kebangkitan, sukacita yang disediakan-Nya bagi kita yang rela ambil bagian dalam derita salib-Nya dengan setia. “Sebaliknya, bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaan-Nya.” (1 Petrus 4:13).

Raja Semesta Alam yang sedang kesakitan di atas tahta-Nya yang berbentuk palang itu, enam jam penuh sengsara yang tak tergambarkan. Meski demikian, dalam derita-Nya saya mendengar Ia menyerukan dengan penuh kasih kelembutan, dan dengan tatapan mata penuh cinta, “Lanjutkan…! Aku tetap bertahan demi engkau, anak-Ku, dan Aku akan selalu menyertai-Mu”. O Tuhan yang menderita, Tuhan yang selalu memahami penderitaan manusia, yang selalu solider dengan derita dan kepahitan kami, demi cinta-Mu padaku, Tuhanku, demi penebusan seluruh dunia, aku juga rindu untuk selalu bertahan. Itulah sukacita dan pengharapanku, yaitu boleh ikut menderita bersama-Mu, menderita dalam cinta dan pengharapan. Dan kalau pun kita masih jatuh dan gagal untuk bertahan dan setia, kita tidak perlu sampai berputus asa, bangunlah lagi dan lanjutkan, Tuhan selalu menguatkan kita. Ingatlah selalu akan hal ini, “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4 : 15) dan “Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai.” (Ibrani 2 : 18).

Sambil membereskan dokumen-dokumen kursus, lamat-lamat saya bersenandung menyanyikan lagu “Trading My Sorrow” karya Darrel Evans yang saya kenal dalam sebuah persekutuan doa. Di hatiku, kudengar selalu Tuhan membisikkan dengan penuh kasih, ”Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29 : 11). Hati saya membalas-Nya dalam suka, ” Jesus, I trust in You..!”

I’m trading my sorrow
I’m trading my shame
I’m laying it down for the joy of the Lord

I’m trading my sickness
I’m trading my pain
I’m laying it down for the joy of the Lord

Chorus:
And we say yes Lord, yes Lord, yes yes Lord
Yes Lord, yes Lord, yes yes Lord
Yes Lord, yes Lord, yes yes Lord Amen

I’m pressed but not crushed, persecuted not abandoned
Struck down but not destroyed
I’m blessed beyond the curse, for his promise will endure
And his joy’s gonna be my strength

Though the sorrow may last for the night
His joy comes with the morning

12 COMMENTS

  1. Terima kasih untuk renungan yang menguatkan….Kadang-kadang saat berada dalam kedukaan karena banyak hal kita menjadi lemah…baik secara fisik maupun rohani…Tetapi dengan bersandar hanya padaNYA yakinlah semuanya akan berlalu. Kita hanya perlu bersabar dan bertekun dalam pengharapan.
    Berkaitan dengan hal mengampuni…memang bukan perkara mudah. Akan tetapi penting dan wajib bagi kita untuk selalu berusaha, salah satu tipsnya yaitu berpikirlah bahwa akankah orang lain juga akan mengampuni kita seandainya kita berbuat salah padanya….Yakinlah…dengan begitu hati kita akan semakin longgar untuk bisa mengampuni…..Semoga.

  2. Romo…

    suatu hari saya melakukan berdoa atau novena, ini pertama kali saya novena dan terjawab samua doa atau novena saya. selang berapa lama saya mengalami perkara. saya mau tanya kenapa sudah beberapa lama ini saya melakukan doa kok rasanya hati dan akal budi saya tdk fokus serasa saya kosong. saya harus bagaimana dan melakukan apa biar saya bisa fokus dan hati serta akal budi saya teisi kembali.
    Terima kasih

    • Shalom Fani,

      Rasa kosong atau kurang dapat berfokus di dalam doa dapat dialami oleh siapa saja. Dapat saja hal itu disebabkan karena kekecewaan yang berat atas beban masalah dalam hidup yang seolah tanpa akhir; tetapi juga bisa terjadi begitu saja, tanpa sebab yang jelas (mungkin karena rutinitas?). Maka cara mengatasinya juga berbeda, tergantung dari apa penyebabnya.

      1. Jika penyebabnya adalah beratnya beban hidup.

      Jika kita sedang mengalami ujian hidup, justru kita harus mengingat bahwa tanpa Tuhan kita tidak akan kuat menghadapinya. Jika kita menghadapinya sendiri, kita bagaikan orang yang sudah jatuh namun kemudian tertiban tangga, jauh lebih sulit dan ‘sakit’. Dalam keadaan kita tidak berdaya, justru kita harus mengandalkan Tuhan yang pasti dapat menolong kita. Yesus adalah andalan kita, itu harus kita ingat terus. Jika sampai Tuhan mengizinkan terjadi ujian di dalam hidup ini, harus kita lihat sebagai kesempatan yang Tuhan berikan untuk meningkatkan iman dan kepercayaan kita kepada-Nya, dan bukan sebaliknya.

      Ingatlah akan ayat ini, Rom 5:3-5:

      “Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita.”

      Atau, silakan anda memilih ayat- ayat lain di dalam Kitab Sucidan resapkanlah di dalam hati untuk membangkitkan semangat di dalam diri anda untuk terus mempunyai pengharapan di dalam Tuhan, dan bahwa pengharapan di dalam Tuhan tidak akan mengecewakan. Misalnya, tentang Yesus adalah Gembala kita (Mzm 23), Allah adalah penolong dalam kesesakan (Mzm 46), Penyerahan hidup kepada Tuhan (Mzm 37), 1 Kor 10:13, dst.

      Ingatlah akan pengajaran St. Fransiskus dari Sales, yang mengatakan, “Percayalah bahwa Tuhan yang telah menjaga dan melindungi anda di masa yang lampau, adalah Allah yang sama yang menjaga anda di saat ini, dan yang akan terus menjaga dan melindungi anda di masa mendatang.” Maka jika dahulu anda pengalami pertolongan Tuhan, yakinlah bahwa Tuhan tetap dapat menolong anda di masa sekarang dan di masa mendatang.

      Namun demikian, ada kalanya anda dapat melihat juga apakah yang dapat anda lakukan/ usahakan untuk memperbaiki keadaan anda. Jika problema anda berkaitan dengan masalah keluarga, atau masalah yang demikian berat, silakan anda menemui pastor paroki atau seksi kerasulan keluarga untuk konseling. Atau, silakan mengikuti retret pasangan suami istri seperti Week End Marriage Encounter, untuk informasinya, klik di sini. Prinsipnya, jangan menyerah, percayalah bahwa Kristus dapat menolong anda dan menyelamatkan keluarga anda, asalkan anda juga mengambil bagian untuk turut mengusahakannya.

      2. Jika penyebabnya adalah rutinitas dan kekeringan rohani

      Kekeringan rohani adalah sesuatu yang dapat dialami bahkan oleh orang yang sudah rajin berdoa dan bertumbuh secara spiritual. Kita mengetahui hal ini justru dari para Santa- Santo, seperti St. Yohanes Salib, dan Bunda Teresa dari Kalkuta. Maka jika kita menuruti nasihat mereka, kita mengatasinya justru dengan ketaatan kita. Walaupun dirasakan ‘kering’ rohani kita, jangan kita mundur, melainkan terus berdoa, terus mengikuti Misa Kudus dan menerima Ekaristi, tidak saja dalam Misa Minggu, tetapi juga dalam Misa harian. Rajinlah membaca Kitab Suci dan buku- buku renungan rohani. Setialah dalam memeriksa batin anda setiap hari, dan jika anda menemukan adanya dosa yang anda lakukan, silakan anda mengaku dosa dalam sakramen Tobat. Atau, silakan anda mengikuti retret, entah retret bersama kelompok ataupun retret pribadi. Kunjungilah kapel Adorasi, dan sembahlah Tuhan Yesus yang hadir di sana. Pilihlah suatu devosi yang dapat meningkatkan semangat kasih anda kepada Tuhan Yesus, misalnya, devosi Kerahiman Ilahi, devosi Hati Kudus Yesus, ataupun doa rosario. Lakukanlah dengan setia setiap hari. Ikutilah kegiatan dalam komunitas di paroki yang dapat membangun iman anda, entah itu Legio Mariae, Persekutuan Doa, atau kelompok lainnya. Percayalah, akan datang saatnya di mana Tuhan akan menambahkan semangat kasih itu di dalam hati anda, dan rohani anda tidak akan ‘kering’ lagi. Malah anda dapat kemudian melihat bahwa anda akan bertumbuh secara rohani, dan menghasilkan buah- buah Roh Kudus.

      Demikian Fani, di dalam hidup ini kita memang mengalami aneka pergumulan dan masalah, namun jika kita hadapi bersama Tuhan Yesus, maka segalanya akan mendatangkan kebaikan bagi kita, jika kita mengasihi Dia (lih Rom 8:28). Jadi jangan putus asa, percayalah Tuhan tidak pernah meninggalkan anda. Tuhan menopang dan menggendong kita semua menghadapi pergumulan hidup ini, asalkan kita dengan setia mengikuti kehendak-Nya.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. Terima kasih atas renungan nya yang memberkati, saya tidak pernah menyadari berapa panjang waktu yang di lalui Yesus di kayu salib nya. Tidak pernah juga terbayangkan rasa sakit yang di rasakan Nya. Saat ini dalam melalui saat-saat sulit dan penantian, saya merasa terhibur, karena Yesus yang terlebih dahulu melalui penderitaan.
    Pada saat mengalami kesusahan, sulit juga menerima rancangan NYA yang tidak sama dengan rancanganku, tapi saya sungguh mengimani, apa yang Yesus berikan tidak pernah mendangkan kecelakan, malahan kebaikan, damai sejahtera, dan sukacita.
    Saya semakin mencintaiNYA, dalam suka dan duka. Amin

  4. saya tau bahwa kita harus mengampuni tujuh puluhtujuh kali yang berarti tanpa batas
    tapi saya tidak bisa trima kelakuan kakak ipar saya yang menggoda suami orang dan
    akhirnya menjadi istri.ke2.lalu punya anak dan sekarang menjadi kristen
    sampai saat ini saya tidak dapat mengampuninya.
    melihat anaknyapun kesal karena anaknya tidak diurus dan sekarang disekolahkan
    oleh saudara yang lain.
    membaca.renungan,diatas, saya.merasa.hampa

    • Shalom Kristina,

      Memang hal mengampuni bukan merupakan hal yang mudah. Bahkan jika seseorang telah disakiti sedemikian, akan sangat sulitlah (atau bahkan mustahil) bagi dirinya untuk mengampuni orang yang bersalah kepadanya, jika ia hanya mengandalkan kekuatannya sendiri sebagai manusia. Itulah sebabnya, memang tentang hal mengampuni ini, kita manusia harus memohon kepada Tuhan agar Ia memampukan kita untuk melakukannya.

      Hal pengampunan 70 kali tujuh kali ini sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.

      Betapapun sulitnya, Kristina, kita harus berusaha mengampuni orang- orang yang bersalah kepada kita, sebab hanya dengan kita mengampuni mereka-lah, kita dapat beroleh pengampunan dari Allah. Jika anda membenci kakak ipar anda, atau bahkan kemudian turut membenci anaknya, yang mungkin tidak bersalah kepada anda, bagaimana anda dapat memohon agar Allah mengampuni anda, sebab bagian anda untuk mengampuni mereka belum anda laksanakan?

      Di dalam hidup ini kita berjuang untuk mengasihi Tuhan dan sesama, dan hal ini paling nyata dengan kesediaan kita untuk mengampuni orang yang bersalah kepada kita, demi kasih kita kepada Tuhan yang memerintahkan kepada kita untuk mengampuni dia. Ini adalah perjuangan buat semua orang, termasuk anda dan saya. Oleh karena itu kita harus memohon rahmat Tuhan, agar hati kita diubah dan dipenuhi oleh kasih, sehingga kita mampu menunjukkan belas kasih kepada sesama, dengan kasih yang kita terima dari Tuhan.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

      • Dear Sdri Kristina, terimakasih sudah berkenan sharing di sini. Perkenankan saya juga ikut sharing ya, sambil melanjutkan saran dari Ibu Ingrid.

        Saya juga pernah dan sedang mengalami apa yang Sdri Kristina alami, saya masih berjuang juga dan entah berapa kali lagi dalam hidup ini saya masih harus berjuang untuk mengampuni. Di tengah perjuangan saya, saya berpikir bahwa sebenarnya orang yang berbuat jahat kepada sesama/melukai sesamanya itu, pertama-tama adalah berdosa kepada Tuhan dan menyakiti hati Tuhan, yang menciptakan dia dan memberinya kehidupan yang baik. Tuhan adalah orang pertama yang terluka. Tuhan pasti juga terluka melihat Saudari Kristina dan kakak Saudari terluka akibat perbuatan kakak ipar. Tetapi saya melihat reaksi Tuhan yang tetap memberikan cinta dan pintu pengampunan, bahkan rela menderita di kayu salib bagi orang-orang berdosa (Kristus mati untuk manusia dalam keadaan manusia masih berdosa). Kerinduan Tuhan untuk memeluk anak-anak-Nya lagi yang telah menjauhi Dia, adalah jauh lebih besar daripada kesedihan atau kekecewaan-Nya karena pengkhianatan anak-anak-Nya, karena belaskasihan-Nya kepada kita manusia begitu besar, nyaris tak terpahami.

        Ketika saya marah dan dendam kepada orang yang menyakiti hati saya atau menyakiti orang yang saya cintai, saya melihat Tuhan tetap mengampuni bahkan Dia mati supaya kita bertobat. Saya jadi merasa semakin jauh dari rasa damai, saya merasa sendirian dalam rasa dendam dan kebencian saya, saya tidak bersama-sama dengan Dia, tidak satu jalan, tidak satu kata sepakat dengan Dia. Karena Dia tidak membenci orang-orang berdosa, justru mencari mereka dan mengasihi mereka yang terhilang. Di saat kesendirian yang mencekam itu saya sadar siapa yang akan segera menjadi teman saya saat itu, yaitu si Jahat. Dan keadaan keterpisahan dari Allah seperti ini (tidak bersama-sama dengan Dia) adalah siksaan bagi saya, suatu keadaan yang paling ngeri yang mampu saya bayangkan. Dan itu membuat saya memutuskan untuk membanting setir dan memilih utk tetap bersama Dia, walaupun sakit. Tapi berjalan bersama Dia membuat rasa sakit saya berkurang dan bahkan saya jadi mampu untuk perlahan-lahan jatuh kasihan kepada orang yang telah menyakiti itu dan mendoakan pertobatannya. Toh saya sendiri juga masih terus berbuat kesalahan dan dosa serta masih terus membutuhkan rahmat pengampunan-Nya. Kasih-Nya memang sangat menyejukkan, dan mempunyai daya mengubahkan hati kita yang keras.

        Walau tak berhubungan langsung dengan kisah hidup kita, ijinkan saya berbagi kisah ini ya. Saya pernah membaca peristiwa penembakan gadis-gadis kecil di sebuah sekolah milik Amish community (suatu kelompok budaya dan religius Kristiani) di Amerika pada bulan Oktober 2006. Dari sepuluh gadis kecil yang ditembak penembak brutal itu, lima gadis kecil wafat, dan lima lainnya berjuang untuk bertahan hidup dengan luka-luka mereka. Si pelaku penembakan akhirnya membunuh dirinya sendiri setelah melakukan aksinya itu. Yang sangat mengagumkan, kelompok masyarakat Amish khususnya orangtua para anak gadis yang ditembak itu, mengampuni si pelaku penembakan keji itu. Keluarga para korban hadir di pemakaman si penembak, mendoakan dia, dan menghibur istri si penembak yang kini menjadi janda, beserta anak-anaknya. Kekuatan penghiburan dan pengampunan mereka sangat menggugah hati janda penembak itu dan keluarganya, serta hati seluruh umat manusia di dunia. Pengampunan yang diberikan keluarga korban itu membuat luka hati mereka sendiri karena kehilangan anak-anak mereka, menemukan kesembuhan. Dan janda pelaku penembakan itu pun menemukan kekuatan dan harapan baru dalam melanjutkan hidupnya.

        Rasa benci / dendam membuat kita lelah dan kehabisan energi, melumpuhkan potensi-potensi indah untuk berkembang di dalam hidup kita. Sebaliknya, kasih pengorbanan, kerendahan hati, dan pengampunan, membuat hidup jadi penuh kehangatan, penuh harapan, dan menambah energi untuk berbuat hal-hal indah jauh melampaui yang dapat kita pikirkan, bahkan menyembuhkan luka hati dan membawa pertobatan kepada orang yang sedang berteguh dalam dosanya, sebab semangat kasih pengampunan dan cinta pengorbanan adalah semangat dari Yang Menciptakan Hidup itu sendiri, sehingga semangat seperti itu tidak akan gagal dalam kehidupan ini dan malahan akan terus menghasilkan buah-buah kasih yang menyelamatkan yang menyejukkan hati dunia.

        Dengan rahmat kasih Allah, Sdri Kristina dapat mengubah energi kesedihan dan kekesalan itu menjadi sebuah semangat dan tindakan untuk mendampingi kakak dalam kesendirian/kesedihannya, mendampingi anak-anaknya untuk tetap bersemangat, sambil membimbing dengan sabar kakak ipar dan istri keduanya agar berbalik dari perbuatan mereka yang melukai hati kakak. Mungkin dengan teladan kasih dan kesabaran kita, justru hati kakak ipar tertegur dan tidak membuatnya semakin menjauh dalam kegetiran. Orang-orang yang sedang jauh dari Tuhan karena dosa-dosanya, sebenarnya jiwanya getir dan tidak merasakan damai, mereka patut mendapat belaskasihan kita dan sangat patut kita doakan. Saya percaya bahwa demikian jugalah Allah menatap dengan mata yang penuh belaskasihan dan dengan rindu kepada anak-anak-Nya yang berdosa. Dan tentu juga kepada kita, yang tak pernah lepas pula dari dosa, dan oleh karenanya selalu memerlukan pengampunan Tuhan, sehingga kita juga diminta untuk selalu mengampuni sesama, seperti yang diungkapkan Ibu Ingrid di atas. Hanya jalan pengampunan yang memberikan kedamaian dan kelepasan yang sempurna, karena itu adalah jalan Tuhan sendiri.

        Dan di atas semuanya, serahkanlah semua usaha baik kita kepada Tuhan Yesus yang pasti akan menyempurnakan usaha baik kita dan mengubahkan hati anak-anak-Nya yang sedang jauh dari-Nya dg indah pada waktu dan cara-Nya, asal kita tidak kehilangan harapan. Seperti kisah St Agustinus yang selalu didoakan oleh ibunya, St Monica. Dan pertama-tama serahkanlah semua luka hati kita karena perlakuan sesama yang semena-mena, karena Dia sangat tahu bagaimana rasanya diperlakukan semena-mena, disakiti, dan dihina habis-habisan. Dia adalah seorang sahabat yang akan selalu mengerti kesakitan kita karena Ia sudah mengalaminya sendiri.

        Semoga bersama Kristus yang hidup, Sdri Kristina dapat bertahan dalam kasih dan pengampunan Allah dan merasakan damai sejati bersama Tuhan dan sesama. Saya yang juga masih berjuang, turut mendoakan saudari, kita saling mendoakan ya. Tuhan memberkati selalu.

      • terimakasih bu ingrid
        saya akan mencoba melakukan saran ibu, yaitu berdoa mohon rahmat agar Tuhan memampukan saya
        mengampuni kakak ipar saya.

    • Shalom Kristina…

      Ingatlah & laksanakanlah rangkap dlm doa Bapa Kami yg kta doa’n-

      “…& ampunilah kesalahan kami, spt KAMI PUN M’AMPUNI YG B’SALAH KPD KAMI…”

      Shalom…

  5. Terima kasih atas renungan yang sungguh indah dan menyentuh seluruh kisi kehidupan saya dan keluarga saya. Semoga mengasihi setiap persoalan dengan berdoa dan tetap berpaut pada tiang salib Tuhan akan menjadi bekal perjalanan selanjutnya hingga Bapa memanggilku. Terima kasih mbak Uti. Lanjutkan…

  6. Sangat besar kasih Tuhan.. Saya harus menyadarinya… Trims Katolisitas!! Jee [Dari Katolisitas: mungkin maksud anda Jesus?] Loves Us!!

  7. Sangat menguatkan saya, saya harus bisa mengampuni dan melupakan semua kesalahan orang lain terutama orang yang sangat saya kasihi, karena kadang masih muncul rasa pedih “kenapa kamu berbuat seperti itu padaku? apa salahku padamu?”. Forgive and forget. Terima kasih sudah diingatkan dan dikuatkan. GBU.

Comments are closed.