Mengapa Pastoral Perkawinan
Tanggungjawab Pastor Paroki dalam pastoral perkawinan, itulah topik yang mau kita bahas. Mengapa pastoral perkawinan? Pertama, karena pastoral perkawinan merupakan salah satu dari reksa pastoral dalam Gereja (Paroki). Kedua pastoral perkawinan memiliki masalah yang rumit dan kompleks seiring dengan masalah keluarga dewasa ini, karena rumit dan kompleksnya maka perlu mendapat perhatian serius dari Pastor Paroki. Ketiga, karena keluarga adalah bagian penting yang merupakan dasar terbentuknya Gereja dan Masyarakat. Jika keluarga (Gereja kecil – rumah tangga) kristiani sehat dan baik maka Gereja dan Masyarakat besar akan menjadi baik pula. Demikian juga ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI dalam pesannya pada hari perdamaian dunia, tgl. 1 Januari 2008: “Kehidupan keluarga yang sehat melahirkan pengalaman-pengalaman fundamental bagi perdamaian: keadilan dan cinta kasih di antara sesama saudara, fungsi otoritas yang tergambar dari orang tua, pelayanan yang penuh cinta kepada anggota yang lebih lemah, yaitu orang-orang yang kecil, sakit dan tua, kesediaan untuk menerima yang lain. Untuk itu keluarga adalah tempat pendidikan yang pertama dan tidak tergantikan”. Keluarga alami, di mana ada kesatuan hidup dan cinta, yang didasarkan atas perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, membangun tempat pertama dalam “pemanusiaan” manusia dan masyarakat, tempat lahirnya kehidupan dan cinta kasih. Oleh karena itu, keluarga dikualifikasikan sebagai masyarakat alami yang pertama. Sebuah institusi Ilahi yang merupakan dasar dari hidup manusia, sebagai prototipe dari setiap norma sosial” (bdk. L’Osservatore Romano, N. 51/52 (2024)-19/26 December 2007: “The Human family a community of peace, Message of Pope Benedict XVI for the celebration of the World Day of Peace: 1 January 2008,).
Tugas Pastor Paroki dalam Pastoral Perkawinan
Pastor Paroki dalam konteks Gereja lokal adalah Pemimpin (leader) dari umat beriman kristiani yang reksa pastoralnya (tugas kegembalaan/kepemimpinan) diserahkan oleh Uskup Diosesan kepada seorang imam yang layak dan pantas untuk memimpin, mengajar, menguduskan dengan kuasa kewenangan yang diberikan kepadanya atas umat beriman yang berdomisili di wilayah teritorial tertentu di dalam keuskupan (bdk. Kan 515). Dalam Pastoral perkawinan Pastor Paroki wajib mengusahakan agar keluarga kristiani berkembang dalam kesempurnaan. Pendampingan dan pembinaan keluarga kristiani meliputi: (1) menyiapkan calon penganten dengan kotbah, katekese yang disesuaikan bagi anak-anak dan orang muda dan dewasa, (2) memberi kursus persiapan perkawinan bagi calon yang hendak menikah, (3) meneguhkan perkawinan dengan perayaan liturgi yang membawa hasil yang memancarkan kasih suami-isteri dan mengambil bagian dalam misteri kesatuan cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja-Nya, (4) memberi pendampingan dan pembinaan keluarga kristiani (bina lanjut keluarga kristiani) melalui katekese, khotbah dan rekoleksi-retret keluarga, agar keluarga yang telah diteguhkan setia dan mampu memelihara perjanjian perkawinan itu sampai pada penghayatan hidup keluarga yang semakin suci dan utuh . Inilah tugas pokok pastoral perkawinan dari Pastor Paroki. Tugas ini esensial yang harus dijalankan oleh Pastor Paroki. (bdk. Kan 1063; baca juga FC, GS, 47-52)
Garis besar tindak Pastoral Perkawinan
Kasus-kasus perkawinan biasanya terjadi pada awal atau sebelum perkawinan diteguhkan. Kasus itu akan mencuat ketika pasangan hidup berkeluarga sedang dalam perjalanan hidup berkeluarga. Maka persiapan perkawinan menjadi penting sebelum munculnya kasus di tengah jalan yang bila tidak tertangani secara baik akan menyebabkan kehancuran keluarga itu. Secara garis besar Pastoral Perkawinan yang dilaksanakan oleh Pastor Paroki sebagai berikut:
1. Persiapan Jangka panjang melalui kotbah dan katekese, jangka menengah: kursus persiapan perkawinan dan jangka pendek: yakni persiapan liturgi perkawinan, tobat dan ekaristi (bdk. Kann. 1063, 1065)
2. Pihak Katolik yang belum menerima sakramen krisma hendaknya menerima sakramen tersebut sebelum menikah jika tidak ada halangan yang serius (bdk. kan 1065, §1)
3. Pendampingan pastoral hendaknya terus dilanjutkan setelah perkawinan (bdk. Kan. 1063,§4)
4. Penyelidikan kanonik wajib dilakukan oleh Pastor Paroki tanpa didelegasikan kepada katekis. Karena itu tugas Pastor Paroki Penyelidikan kanonik menggunakan formulir pendaftaran calon perkawinan (bdk. Kann. 1066-1067), hendaknya pastor Paroki melakukan penyelidikan kanonik secara serius dengan menanyakan semua daftar pertanyaan kepada calon.
5. Pemeriksaan status liber calon penganten biasanya dilakukan oleh Pastor dari calon yang beragama Katolik tempat dimana dia berdomisili. Penyelidikan kanonik tetap ada pada pastor Paroki calon penganten yang beragama Katolik, meski peneguhannya bisa dilaksanakan oleh Pastor lain. Bagi calon penganten yang beda agama/gereja hendaknya para Pastor Paroki menaruh perhatian pada pedoman Gereja (formulir penyelidikan kanonik) bila calon yang bukan Katolik menolak untuk diselidiki maka hal itu harus diberitahukan kepada Ordinaris wilayah. Untuk menjamin kebebasan dalam menjawab hendaknya kedua pihak ditanya secara terpisah. Jawaban yang diisi di formulir tersebut dikuatkan dengan sumpah.
6. Pastor melaksanakan pemeriksaan mengenai status liber dari calon hendaknya memperhatikan apakah mereka cukup tahu tentang ajaran Katolik tentang perkawinan (bdk. Kan. 1096). Pastor Paroki wajib memberi instruksi kepada calon untuk mengikuti kursus perkawinan bagi calon beragama Katolik maupun tidak (bdk. Kann. 1063-1064).
7. Bila salah satu atau kedua calon tidak memiliki domisili atau kuasi domisili (bdk Kan. 100), atau datang dari daerah lain setelah mencapai pubertas, dan sementara itu tidak dapat menunjukkan surat baptis sah terbaru, maka untuk mendapat bukti statuts liber Pastor Paroki hendaknya menanyakan dua orang saksi di bawah sumpah untuk masing-masing calon. Bila tidak didapatkan saksi maka Pastor Paroki hendaknya menghubungi Ordinaris wilayah.
8. Surat baptis sah terbaru tidak lebih dari enam bulan terakhir, bila gagal mencari maka dipakai jalan keluar no (7).
9. Pastor Paroki mengumumkan pernikahan calon penganten dalam perayaan Misa Hari Minggu selama tiga kali berutut-turut. Bila tempat tersebut (stasi) tidak ada perayaan Misa Mingguan maka bisa diganti dengan pengumuman tertulis di papan pengumuman depan Gereja. Dalam hal perkawinan campur beda agama atau gereja, pengumuman perkawinan hanya dapat dilakukan di paroki pihak Katolik. Perlu diingat pengumuman itu dilakukan setelah memperoleh dispensasi dari halangan perkawinan beda agama atau beda gereja.
Tugas Pastor Paroki dalam kasus perkawinan
Tugas Pastor Paroki dalam kasus perkawinan permohonan pembatalan perkawinan adalah menjadi pendamping pemohon dalam membuat libellus (surat gugat/surat permohonan). Libellus berarti sebuah buku kecil atau sesuatu yang tertulis berupa surat yang berisikan permohonan resmi oleh seorang kepada pengadilan Gereja (Tribunal perkawinan) agar menyelidiki dan menyatakan bahwa perkawinannya dengan pasangannya tidak sah sejak permulaan. Tentang libellus kanon 1504 menyatakan: “Surat gugat yang membuka pokok sengketa harus:
1. Menyatakan perkara itu diajukan ke hadapan hakim yang mana, apa yang diminta dan kepada siapa permintaan itu diajukan,
2. Menunjukkan atas hukum mana penggugat bersandar dan sekurang-kurangnya secara umum fakta dan pembuktian mana yang membenarkan apa yang dinyatakan,
3. Ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakannya dengan disebutkan hari, bulan serta tahun, dan tempat dimana penggugat atau orang yang dikuasakannya bertempat tinggal atau mengatakan di mana alamat untuk menerima akta,
4. Menunjukkan domisili atau kuasi domisili pihak tergugat”.
Pastor Paroki dapat membantu membuat libellus, membahasakan kisah perkawinan pihak pemohon (penggugat), memberi argumen atas dasar hukum mana permohonan pembatalan perkawinan diajukan ke Tribunal perkawinan.
Prinsip utama Pastoral Perkawinan
Tidak semua kasus perkawinan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan ke Tribunal segera dikabulkan oleh Pastor Paroki. Artinya apa? Pastor Paroki hendaknya hati-hati, bijaksana. Dalam segala perkara, prinsip pertama dan utama yang harus dipegang Pastor Paroki adalah peradilan formal harus dihindari (trials should be avoided). Proses peradilan formal di Tribunal hanya merupakan upaya terakhir (the last resort), setelah segala upaya pastoral ditempuh. Maka segala sengketa, kasus-kasus perkawinan di dalam Paroki, hendaknya Pastor Paroki mengadakan upaya pastoral dengan berusaha untuk berdamai (rujuk, rekonsiliasi) antara kedua pihak yang bersengketa. Jika masih ada kemungkinan untuk berdamai Pastor Paroki tidak perlu mengabulkan permohonan itu ke Tribunal. Usaha pastoral rekonsiliasi antara pihak yang bertikai, dari keluarga kristiani di wilayah Pastor berkarya merupakan bagian penting dan utama dari Pastoral Perkawinan. Upaya itu dituntut oleh hukum sendiri dalam kanon 1446, 1676 dan 1695 (bdk. Kann 1713-1716).
Salam Sejahtera Romo,
Saya mau bertanya Romo, saya seorang katholik tp saya sudah menikah secara muslim.saya sampai saat ini tetap mengimani iman katolik saya meskipun sdh menikah scr muslim di kua. Pertanyaan saya apakah saya bs melakukan pembaharuan perkawinan romo? Krn suami saya tidak keberatan bila kami melakukan pembaharuan perkawinan krn kami tetap berjalan dgn iman kami masing2. Sebelumya terimakasih romo
Syallom
[dari katolisitas: Kami menyarankan agar Anda datang ke pastor paroki Anda. Ceritakan semua yang telah terjadi, sehingga perkawinan Anda harus dikonvalidasi, dan Anda juga harus mengaku dosa terlebih dahulu. Semoga semua prosesnya dapat berjalan dengan baik.]
Berkah Dalem….
tanya ya Romo….
Saya dr Paroki Banyuwangi Keuskupan Malang,Saya ingin menikah secara Katholik.Pasangan Saya juga Katholik.Waktu saya berkonsultasi dengan Romo Paroki Banyuwangi mengenai kursus pernikahan.Untuk kursus Pernikahan di Paroki Banyuwangi menurut Romo Paroki tidak bisa dilakukan.Untuk kursus pernikahan,saya dan pasangan harus kursus di paroki Jember.Mengapa demikian Romo?Padahal Jember dan Banyuwangi sama-sama Paroki.Dalam artikel ini jelas sudah disebutkan bahwa “Dalam Pastoral perkawinan Pastor Paroki wajib mengusahakan agar keluarga kristiani berkembang dalam kesempurnaan. Pendampingan dan pembinaan keluarga kristiani meliputi: (1) menyiapkan calon penganten dengan kotbah, katekese yang disesuaikan bagi anak-anak dan orang muda dan dewasa, (2) memberi kursus persiapan perkawinan bagi calon yang hendak menikah, (3) meneguhkan perkawinan dengan perayaan liturgi yang membawa hasil yang memancarkan kasih suami-isteri dan mengambil bagian dalam misteri kesatuan cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja-Nya, (4) memberi pendampingan dan pembinaan keluarga kristiani (bina lanjut keluarga kristiani) melalui katekese, khotbah dan rekoleksi-retret keluarga, agar keluarga yang telah diteguhkan setia dan mampu memelihara perjanjian perkawinan itu sampai pada penghayatan hidup keluarga yang semakin suci dan utuh . Inilah tugas pokok pastoral perkawinan dari Pastor Paroki. Tugas ini esensial yang harus dijalankan oleh Pastor Paroki. (bdk. Kan 1063; baca juga FC, GS, 47-52)”.Saya Harus Bagaimana Romo?
Terima Kasih.
Bagus Yth
Membaca pertanyaan dan kisah Anda mungkin yang mau disampaikan oleh pastor paroki Banyuwangi adalah pada umumnya KPP berdua dengan pasangan Anda di tempat pihak perempuan, walaupun bisa juga di pihak lelaki. Secara yuridis di mana saja boleh, tapi agar lebih layak dan pantas hendaknya salah satu pastor paroki dari kedua mempelai yang mengadakan kursus perkawinan. Coba jelaskan jika ada alasan tidak bisa di Jember lebih baik di Banyuwangi, saya kira pastor menerima. Lalu di mana Anda tinggal, dan sudah berapa lama? Karena kalau sudah lebih 6 bulan berdomisili maka aktivitas umat di paroki di mana anda tinggal, meskipun asal Anda dari Banyuwangi. Nanti di paroki asal akan diumumkan bahwa Anda menikah, soal tempat KPP bisa di domisili kedua mempelai bisanya pihak perempuan, lalu bisa juga pihak lelakinya. Benar bahwa setiap pastor harus menjalankan tugas dan anjuran Gereja dalam KHK maupun FC. Cobalah diberi penjelasan dan alasan mengapa tidak bisa di Paroki asalmu.
salam
rm wanta
Ytk Rm Wanta,
Saya mau bertanya mengenai Penyelidikan Kanonik.
Saat ini saya berada di Bogor dan calon suami saya di Manado.
Kemarin ketika pelaksanaan Kursus Persiapan Perkawinan, kami akhirnya mengikuti kursus secara terpisah karena alasan pekerjaan, jarak dan waktu. Nah yang saya mau tanyakan apakah bisa jika kami meminta Penyelidikan Kanonik dilakukan terpisah juga seperti halnya KPP? Kalau bisa dan dimungkinkan, apa saja syarat tambahan yang harus kami siapkan selain syarat-syarat wajib untuk Penyelidikan Kanonik? Mohon bimbingannya. Terima kasih. Berkah Dalem
Emmanuela Yth,
Penyelidikan kanonik idealnya di satu tempat, biasanya di tempat perempuan, tapi bisa juga laki-laki. Silahkan dirundingkan. Karena alasan pastoral dan tempat yang jauh, dapat juga masing-masing calon di paroki asalnya mendaftarkan diri dan penyelidikan kanonik di tempat asalnya, asalkan berkasnya kemudian dikirim ke paroki di mana perkawinan akan diteguhkan. Sedangkan kursus perkawinan pada umumnya bersamaan karena ada sesi di mana anda berdua dituntut mengadakan dialog komunikasi dan latihan. Sebaiknya diusahakan bisa keduanya hadir karena perkawinan sekali sepanjang hidup, sedangkan alasan pekerjaan dan lain-lain bisa dimintakan izin. Perkawinan bagi saya nilainya dan prioritasnya paling top di atas uang dan pekerjaan yang bisa dimintakan izin beberapa hari.
salam
Rm Wanta
Sakrament pernikahan untuk yang hamil di luar nikah?
=============================================
Dear katolisitas,
saya ingin menanyakan sebenarnya peraturan gereja untuk pertanyaan saya di atas itu bagaimana, ya? Ada 1 kasus terjadi lalu mereka menikah sebelum anaknya lahir. Nah, ada orang tua2(orang katolik generasi dulu) mengatakan, seharusnya itu tidak boleh. Harusnya, anaknya lahir dulu baru orang tuanya menerima sakramen (karena intinya, anaknya itu hasil perbuatan dosa). Mereka juga heran melihat Romo yang berani menikahkan pasangan itu. Kata mereka, itu kalau ada apa-apa, Romo dan saksinya bisa diminta pertanggungjawabannya.
Saya juga heran lalu bagaimana dengan kursus perkawinannya? Karena kelihatannya tidak efektif juga. setahu saya, KP itu mempersiapkan tidak hanya perkawinan tapi pasangan menjadi orang tua. Perasaan pasangan ini, belum juga mapan, masih minta ke orang tua, hee, habis menikah, anak lahir, tahun berikutnya punya anak lagi padahal pekerjaan mapan saja belum punya.
Memang itu hak mereka tapi saya, kok, melihatnya miris, ya? Seperti ‘kurang bertanggung jawab’.
Sebenarnya, gereja katolik punya tidak, ya, pendampingan2 untuk kasus seperti ini? Untuk merangkul anak2 muda yang seperti itu? Intinya, masalah sudah terjadi, tapi bagaimana supaya jangan terjadi lagi dan hidup lebih bertanggung jawab. Tidak bisa juga, kan, pasangan2 yang misalnya masih belum dikasih anak atau orang tua (kakek nenek) yang mapan disuruh bertanggung jawab atas anak orang lain atau cucunya sendiri (kadang masih ada anak lain yang harus disekolahkan dan diurus, lho)?
Miris, lho, melihat seperti ini. Beberapa pasangan susah punya anak meski sudah menikah secara sakramen. Sudah berdoa. Ada yang ‘mati-matian’ tidak mau bayi tabung karena dianggapnya ‘dosa’ tapi yang kasus2 seperti di atas, kok, sepertinya Gereja diam saja, ya? Padahal, itu juga bukan kasus ringan dan ada potensi ‘penelantaran’ anak (meski terlihat terurus tapi sebenarnya bukan orang tuanya yang mengurus tapi minta bantuan orang2 lain terus).
Saya juga jarang melihat ada pembinaan2 pasangan2 muda di gereja katolik (mungkin di jogja saja, di gereja yang sering saya kunjungi saja barangkali?).
Bagusnya, kalau ada programnya, ini bisa disosialisasikan lebih luas lagi dan menjadi program utama Gereja bagi pasangan2 muda (entah apa itu yang pernah hamil di luar nikah atau yang tidak) supaya kami bisa mendidik generasi berikutnya yang lebih baik, tidak cuma ‘letterleg’ terhadap alkitab tapi bijaksana dalam hidup. Karena banyak juga, mudika2 (ternyata tidak hanya di lingkungan saya saja tapi di tempat2 lain juga) yang kelihatannya bergaul ‘secara’ katolik tapi keluar dari pergaulan mudika tetap saja kacau. Jadi, rasanya, menyertakan anak2 dalam pergaulan mudika, sekolah minggu, ke gereja tiap minggu, dsj-nya saja tidaklah cukup.
Terima kasih atas pencerahannya.
Dini,
Sangat disayangkan dan patut disesalkan jika ada anak yang lahir di luar nikah kemudian dikatakan sebagai “anak haram, anak jadah, anak hasil dosa” dan sebagainya. Tentu saja anak tersebut tidak menginginkan itu. Orangtuanya yang berbuat dosa, tetapi anaknya justru yang mendapat cap sangat jelek dan negatif. Semoga kita semakin menyadari agar tidak mudah menghakimi orang lain.
Setahu saya tidak ada pembahasan mengenai larangan peneguhan perkawinan dalam keadaan hamil dalam Hukum Kanonik. Karena keadaan hamil itu bukan halangan sahnya perkawinan. Kadang-kadang pertimbangan sosial yang dominan muncul.
Selama ini Gereja Katolik banyak menawarkan pendampingan-pendampingan, baik untuk mereka yang belum menikah maupun yang sudah menikah. Tetapi tidak banyak umat yang menanggapi tawaran itu. Kursus Persiapan Perkawinan (KPP) pun tidak jarang dirasa sebagai “beban” karena menjadi syarat administratif pernikahan di gereja. Padahal disitu ajaran gereja mengenai perkawinan diberikan.
In amore Sacrae Familiae
Agung P. MSF
Romo yth.
Adik saya perempuan sudah menikah dan dikaruniai 3 orang anak. Dalam perjalanan berkeluarga dg suaminya akhir2 ini dia sering merasa mengalami pelecehan sexual ( karena dia TERPAKSA dan sambil menangis menahan rasa sakit yg luar biasa) karena suaminya sering melakukan hub suami istri melalui anus/ sodomi. Dia setahun yang lalu sudah memberontak minta cerai karena perlakuan tadi. Karena menjaga perasaan anak2 dia bikin surat perjanjian bahwa dia tidak mau melalukan hubungan suami istri lagi dan tidur terpisah.Tetapi karena usaha suaminya yang ulet bisa menaklukkan hati adik saya lagi. tetapi kejadian itu terulang terus akhirnya adik saya nggak tahan, lalu adik saya menggugat cerai lewat pengadilan sipil ( sekarang baru proses). Adik saya tidak mau curhat ke pastor paroki, karena sungkan/malu dan pastor paroki kesannya sibuk banget, apalagi tempat paroki dia tidak ada tempat konseling. Apakah dalam hukum agama katolik, hubungan suami istri yang demikian secara terusmenerus, bisa membatalkan perkawinannya? karena memang adik saya tidak kuat lagi menghadapinya. jawaban romo saya tunggu secepatnya. terima kasih
Widya Yth
Saya mohon anda sampaikan ke adik yang sedang menjalani proses perceraian sipil untuk menceritakan kisah awal perjumpaan dengan suaminya dan sampai kini mengalami peristiwa kekerasan seksual. Cerita atau kisah perkawinan mohon dituliskan apa adanya: pertama awal perjumpaan/pacaran, kedua saat menikah dan dalam perjalanan perkawinan, ketiga kisah kekerasan seksual dan perceraian sipil hingga saat ini. Kisah perkawinan tersebut diawali dengan surat pengantar kepada Uskup setempat, dengan alamatnya dan cantumkan nama anda dengan jelas dan telepon untuk dihubungi. Intinya memohon pembatalan perkawinan atas peristiwa kekerasan dalam perkawinan. Saya usul dibawa langsung tidak lewat pos, karena khawatir tidak sampai atau tidak diperhatikan.
salam
Rm Wanta
” Kisah perkawinan tersebut diawali dengan surat pengantar kepada Uskup setempat ” , maksudnya apa romo? berkas tersebut dibawa langsung ke keuskupan atau Pastor paroki yang membuat surat pengantar ke bapak uskup?
Terima kasih.
Widya Yth
Pastor paroki membuat surat pengantar ditujukan ke Uskup atau pasangan itu sendiri membuat surat langsung ke Uskup bisa juga, tentu yang membuat surat pengantar Pastor paroki karena anda meminta bantuan padanya. Silakan berkomunikasi yang baik dengan pastor paroki agar surat permohonan anda dilampiri pengantar dari Pastor Paroki agar diperhatikan isinya oleh Tribunal.
salam
Rm wanta
shaloom widya,
membaca kisah adik anda,kami turut prihatin,
mungkin sedikit saran saja,misal sebelum di bawa penyelesaian ke jalur yang menuju ‘perpisahan’,
baik bila masalah ini coba di pahami dan di selami dengan jernih,meski saya tahu dalam prakteknya akan amat berat bagi adik anda.
Bila ternyata masalah ini menyangkut hubungan seksual yang menyimpang dari suami adik anda,maka kemungkinan besar ada yang salah dengan orientasi seksual yang tidak wajar,dan ini bisa jadi merupakan indikasi ‘sakit’ dari suami adik anda,
masalah itu bisa diatasi bila keluarga besar bisa menjembatani dengan mendorong agar pasangan tersebut mencari solusi untuk menyembuhkan perilaku menyimpang itu dengan melalui konsultasi ke psikiater misalnya,karna ada kemungkinan bahwa si suami itu justru dalam posisi yang butuh pertolongan untuk di sembuhkan.
keterbukaan dan kasih dari mereka berdua amat di butuhkan pada saat saat seperti ini,dan tidak ada salahnya untuk berusaha ,kalo masih bisa,untuk menyembuhkan ‘sakit’ si suami itu,karna si suami sebenarnya adalah juga pihak yang patut di kasihani,sebab banyak faktor yang menyebabkan seorang laki laki ter obsesi dengan hubungan seks yang tidak wajar.
mungkin saran saya agak klise,namun cobalah untuk mempertahankan perkawinan,karena perceraian dalam banyak kasus,malah justru menimbulkan masalah baru,khususnya bagi perkembangan anak anak yang orang tuanya broken home.
Cobalah dengan doa dan memohon pertolongan Tuhan,dan percaya bahwa selalu ada jalan keluar dengan campur tangan Tuhan.
kami pernah menangani kasus dengan versi yang kurang lebih sama parahnya,yakni si suami yang terobsesi dengan kehidupan seks liar dengan banyak wanita dan sampai salah satunya hamil…namun dengan pendampingan dan pertolongan Tangan Tuhan,akhirnya pasangan itu bisa tetap bersama,bahkan akhir akhir ini,si suami rajin mendalami iman Khatolik di salah satu komunitas pendalaman iman …itu sungguh benar terjadi,dan saat inipun ada satu ibu yang kurang lebih mengalami hal yang sama dengan adik anda,namun dengan keyakinan doa,kami yakin,bahwa Tuhan juga akan membuka jalan.
Saat menerima sakramen perkawinan,Tuhanlah yang hadir dan menyatukan,kini dalam saat saat kritis seperti itu,biarlah pasangan itu juga mengundang Tuhan untuk menyelamatkan keluarga mereka.
Percayalah,bagi Tuhan,tidak ada yang mustahil..
in Christ
Paulus Ign Handoko
(katekis , sie Kerasulan Keluarga Paroki Hati Kudus Palembang)
handokohk@yahoo.co.id
1. Apakah dengan kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangan kita bisa dijadikan dasar untuk melakukan proses pembatalan perkawinan.
2. Berapa lamakah proses tribunal itu selesai?
3ynt Yth
Kasus perselingkungan bisa dilihat dari history perkawinan apakah terus menerus atau sekali lalu tidak melakukan lagi. Jika itu menjadi suatu penyakit yang sudah ada sebelum perkawinan maka bisa menjadi faktor utama pembatalan perkawinan asalkan dalam proses bukti bukti itu bisa ditunjukkan. Soal lama proses pemeriksaan Tribunal relatif bisa 2 tahun minimal.
Catatan: kalau sekali selingkuh dan saling memaafkan bagi saya tidak perlu diajukan ke tribunal. Proses pembatalan dimulai dari bukti sebelum perkawinan terjadi sesuatu yang membuat cacat konsensus bukan post marriage. Sesudah perkawinan hanya menunjukkan indikasi bahwa dulu sebelum perkawinan memang sudah ada benih cacat itu.
Silakan membaca artikel di sini, silakan klik.
salam
Rm Wanta
1. Dalam hal pembatalan Perkawinan, apa peran Pastor Paroki atau Pastor yang meneguhkan perkawinan. 2. Apakah dengan Pembatalan Perkawinan tersebut suami istri itu nantinya bisa menikah lagi (menerima sakramen pernikahan) dan menerima komuni suci.
3ynt Yth
Peran pastor paroki sebagai pengacara yang mendampingi pemohon yakni umatnya sendiri. Tugasnya merumuskan surat permohonan (libellus) kemudian memeriksa permohonan itu agar memenuhi syarat untuk disampaikan ke Tribunal. Jika dikemudian hari setelah proses di tribunal berjalan permohonan pembatalan diputuskan positif maka si pemohon dapat memasuki perkawinan baru dan bisa menerima komuni suci.
salam
Rm Wanta
Rm.Yth.
saya mau berkonsultasi, saya mempunyai seorang teman di daerah pedalaman Kalimantan, dia sudah menikah secara adat tradisi di sana dan pernikahan adat itu di sana diakui. Dan dia sekarang mau melakukan pembaharuan perkawinan secara Gereja Katolik. Nah setelah dia menikah secara adat, dia tidak diperbolehkan menerima sakramen Ekaristi oleh imam di parokinya sebelum dia melakukan pembaharuan perkawinan…. jadi pertanyaan saya mereka itu boleh atau tidak menerima sakramen Ekaristi pada hari Minggu??? Meskipun belum melakukan pembaharuan perkawinan secara Gereja Katolik… kalau tidak boleh kenapa???? dan mereka harus bagaimana????
Terima kasih
Shalom Jacksen,
Mohon dipahami bahwa ada perbedaan antara peresmian perkawinan menurut adat dengan pemberkatan perkawinan menurut Gereja Katolik. Gereja tidak dapat mendasarkan aturannya atas ketentuan adat. Maka imam paroki teman Anda itu benar, bahwa teman Anda itu harus melakukan pemberkatan perkawinan di gereja terlebih dahulu, sebelum dapat menerima Komuni. Pemberkatan adat itu meresmikan pasangan di mata masyarakat adat setempat, namun perkawinan Gereja, meneguhkan ikatan perkawinan di hadapan Tuhan.
Pasangan yang perkawinannya belum diberkati di hadapan Tuhan artinya di hadapan Tuhan mereka belum dikukuhkan sebagai suami istri. Silakan membaca di sini terlebih dahulu tentang makna perkawinan Katolik, silakan klik.
Penerimaan Ekaristi sendiri pada pasangan suami istri berarti juga kesempatan bagi mereka untuk memperbaharui janji perkawinan, dengan mengambil bagian dalam ikatan kasih yang tak terceraikan antara Kristus (sebagai Mempelai pria) dan Gereja (sebagai mempelai wanita), lih. Ef 5:22-33. Maka makna ini tidak dapat ditampakkan, jika pasangan tersebut belum diberkati di hadapan Tuhan. Ikatan apa yang mau diperbaharui, jika ikatan tersebut belum ada di hadapan Tuhan? Lagipula, salah satu syarat penerimaan Ekaristi adalah seseorang tidak boleh dalam keadaan berdosa berat (lih. KGK 1385), karena menerima Ekaristi artinya menerima Tuhan Yesus sendiri yang Maha Kudus. Pasangan yang hidup bersama sebagai suami istri, tanpa pemberkatan/ pengukuhan di hadapan Tuhan dan Gereja, itu termasuk pelanggaran yang berat, sebab artinya pasangan itu tidak memaknai perkawinan sebagaimana yang diajarkan oleh iman Katolik.
Maka silakan membicarakannya dengan Romo, dan silakan mengadakan pemberkatan perkawinan secepatnya, dengan sebelumnya mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa. Silakan juga mengumpulkan beberapa pasangan yang lain di pedalaman itu (jika ada) yang mempunyai kasus serupa, agar bersama-sama perkawinan mereka dapat diteguhkan menurut ketentuan Gereja Katolik. Setelah itu, mereka dapat kembali menerima Ekaristi Kudus.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
Terima kasih masukan dan sarannya,,,,
tapi saya mau bertanya lagi. mereka itu posisinya dalam keadaan berdosa, apakah mereka juga tidak boleh pergi ke gereja pada waktu hari Minggu atau mengikuti ibadat harian dsb…????
Shalom Jacksen,
Sejujurnya, keadaan berdosa justru mengharuskan kita untuk memohon belas kasihan Allah, agar kita sanggup meninggalkan dosa-dosa kita, untuk hidup menurut kehendak Tuhan. Dengan demikian, jika karena suatu dan lain hal pemberkatan perkawinan secara Katolik belum dapat dilakukan, maka pasangan tersebut justru perlu menimba kekuatan dari Kristus sendiri, dalam perayaan Ekaristi. Walaupun tidak dapat menerima Komuni Kudus, ia tetap dapat melakukan Komuni spiritual dengan Kristus, untuk contoh doanya, silakan klik di sini.
Komuni rohani/ Komuni secara spiritual ini, jika dihayati sungguh dan disertai pertobatan sejati, juga dapat mendatangkan indulgensi sebagian, demikian juga doa-doa khusus ataupun devosi lainnya, sebagaimana disebutkan dalam artikel ini, silakan klik. Pada dasarnya semua praktek doa ataupun devosi itu, berguna untuk mendorong kita untuk bertumbuh secara rohani, agar kita selalu mengusahakan untuk hidup lebih baik dari hari kemarin, dengan berjuang mengarahkan pikiran dan perhatian kita kepada Allah di tengah-tengah aktivitas kita sehari-hari. Maka silakan saja mengajak orang-orang tersebut, jika mereka adalah teman Anda, untuk hadir dalam Misa Kudus, Adorasi, ibadat harian, atau kegiatan gerejawi lainnya; dan semoga secepat mungkin harapan mereka dapat terkabul, yaitu untuk meneguhkan perkawinan mereka secara Katolik.
Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
Ingrid Listiati- katolisitas.org
terima kasih semuanya,,,
semoga ini cepat terkabulkan, dan mereka akan menikah secara Gereja secepatnya…
salom ibu ingrid,
saya mau bertanya lagi, sekarang teman saya itu rencananya mau melangsungkan pernikahan secara Gereja. kemarin dia kontak saya lagi, dan dia bertanya kepada saya. apa saja yang mereka persiapkan dalam pernikahn gereja???? apakah sama dengan pernikahan dengan yang lainya meskipun berbeda kasusnya????
kalau berbeda bagaimana, dan seperti apa???
minta penjelasannya…tks…
[Dari Katolisitas: Silakan menanyakannya kepada imam/ diakon paroki untuk segala persyaratannya, dan ikutilah semua proses persiapannya].
Romo Yth,
Saya ingin berkonsultasi dgn Romo, begini Mo, beberapa minggu lagi saya menikah, kr2 satu bulan lalu saya menjalani proses kanonik, saya tahu kanonik harus dengan seorang pastor, tetapi di gereja saya, sang pastor menyerahkan urusan kanonik ini kepada seorang staffnya (setahu saya jg bkn seorang katekis), pertama2 saya merasa aneh bin bingung kenapa begini, lalu saya protes dan meminta kanonik ulang kepada pastor lain di paroki yang sama. Saya harus menarik berkas2 yang sudah beres sblmnya dari gereja dimana saya akan menikah nanti (karena saya menikah di gereja yang bukan paroki saya). Tetapi itu bukan masalah, dan beberapa hari lagi saya akan menjalani kanonik yang sebenarnya (semoga berjalan lancar…)
Pertanyaan saya, mengapa hal ini bisa terjadi? bukankah sudah jelas kanonik harus dengan pastor? atau sebenarnya pastor boleh mendelegasikan hal ini kepada awam? apakah seharusnya pastor mendelegasikan kanonik kepada pastor lain bila beliau sendiri mengalami kesulitan (mis: terlalu sibuk) untuk memberikan kanonik secara langsung?
Apakah kanonik yang sudah terlanjur berlangsung seperti itu bisa dianggap tidak sah? apa implikasinya terhadap kehidupan perkawinan setelahnya? mengingat banyaknya perkawinan dengan kanonik yang benar pun banyak mengalami kegagalan, apalagi perkawinan yang tidak dimulai dgn kanonik yg sebenar2nya.
bagaimana sudut pandang hukum gereja thd hal tsb?
Diana Yth
Dengan berat hati saya sampaikan tindakan pastor itu salah karena penyelidikan kanonik menurut ajaran Gereja KHK, maupun Gaudium et Spes, Familiaris Consortio adalah saat penting dalam pelayanan pastoral perkawinan bagi seorang pastor. Penyelidikan kanonik hendaknya dilakukan oleh pastor mengingat saat penting pastor mengenal calon pengantin dan menyelidiki calon pengantin sebelum melangkah lebih lanjut. Sekaligus saat katekese, pengajaran perkawinan. Mengapa pastor paroki karena saat itu dia mengenal umat yang akan menerima sakramen perkawinan. Beberapa pertanyaan dalam penyelidikan kanonik sangat rahasia dan perlu menyimpan data tsb sebagai dokumen resmi Gereja untuk pelayanan pastoral. Maka jika didelegasikan kepada umat atau kaum awam katekis tidak dibenarkan. Jika dikemudian hari terjadi sesuatu tentang perkawinannya, pastor tidak mengetahui asal usulnya karena dia tidak melakukan sendiri penyelidikan kanonik.
Perkawinan tetap sah hanya lain kali, seharusnya pastor parokinya yang melakukan penyelidikan kanonik.
salam
Rm Wanta
Romo Wanta,
Sebelumnya maaf kalau pertanyaan ini sedikit menyimpang dari topik diatas.
Ada ipar saya yang menikah secara katholik. Punya anak satu, namun di tengah perkawinannya dia selingkuh dengan perempuan nonkatholik. Entah bagaimana ceritanya karena perempuan selingkuhannya mengancam dsb, akhirnya istrinya memilih berpisah. Mereka tidak bercerai. Kejadian ini sudah cukup lama, dan sudah puluhan tahun.
Sekarang ipar tersebut hidup dengan perempuan selingkuhannya (sebut istri ke-2) tanpa ikatan hukum pernikahan apapun. Dan anaknya sudah lebih dari 3. Dengan kasus ini, otomatis ipar tersebut tidak bisa menikah secara katholik. Meskipun dulu dia bersikukuh untuk tidak menikah di tempat lain, tapi pada akhirnya yang saya lihat dia semakin jauh dari Tuhan dan tidak pernah ke gereja. Semakin percaya pada hal-hal mistis.
Pertanyaan saya : bijakkah jika seandainya dia berpindah ke agama lain kita biarkan? mengingat istri ke-2nya juga saklek dalam hal agama dan menjadikan perbedaan itu semakin tajam di keluarga? karena tidak mungkin juga kembali kepada istri pertama dengan meninggalkan anak-anak dari istri ke2nya? Tidak mungkin juga mereka menikah secara katholik karena pernikahan sebelumnya tidak bisa dibatalkan.
Terimakasih
Monika Yth
Sangat disayangkan kalau dia berpindah agama, namun kebebasan setiap orang untuk memilih agama dan keyakinannya dan kita tidak bisa menghalanginya jika itu pilihan yang terbaik dari yang terburuk. Semoga dapat dipahami.
salam
Rm Wanta
Terimakasih romo atas jawabannya.
Tanya:
1. Dalam kasus-kasus seperti apa saja sebuah perkawinan katolik dapat dibatalkan?
2. Apakah untuk pengajuan permohonan pembatalan perkawinan hanya boleh dilakukan oleh Pastor Paroki atau Pastor yang meneguhkan perkawinan? Apakah seorang pemohon tidak boleh langsung mengajukan permohonan kepada Tribunal?
terima kasih.
Onggo Yth
Kasus yang dapat membatalkan perkawinan bisa anda baca dalam web katolisitas di rubrik Hukum Gereja. Sedangkan pengajuan pembatalan awal dimulai oleh pihak pemohon bukan pastor tetapi suami atau istri yang menggugat perkawinan. Jadi boleh langsung atau lewat perantaraan pastor paroki juga baik. Karena pastor paroki bisa menjadi advokat/pengacaranya si pemohon.
salam
Rm Wanta
[dari Katolisitas: Silakan anda membaca di jawaban ini, silakan klik].
Comments are closed.