KONSTITUSI TENTANG LITURGI SUCI

PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA-BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI
KONSTITUSI TENTANG LITURGI SUCI

PENDAHULUAN

1.

KONSILI SUCI bermaksud makin meningkatkan kehidupan Kristiani di antara umat beriman; menyesuaikan lebih baik lagi lembaga-lembaga yang dapat berubah dengan kebutuhan zaman kita; memajukan apa saja yang dapat membantu persatuan semua orang yang beriman akan Kristus; dan meneguhkan apa saja yang bermanfaat untuk mengundang semua orang dalam pangkuan Gereja. Oleh karena itu Konsili memandang sebagai kewajibannya untuk secara istimewa mengusahakan juga pembaharuan dan pengembangan liturgi.

2.

Sebab melalui liturgi dalam Kurban Ilahi Ekaristi, “terlaksanalah karya penebusan kita”[1]. Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan penghayatan, mengungkapkan Misteri Kristus serta hakikat asli Gereja yang sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain, yakni bahwa Gereja bersifat sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun penuh kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir. Dan semua itu berpadu sedemikian rupa, sehingga dalam Gerja apa yang insani diarahkan dan diabdikan kepada yang ilahi, apa yang kelihatan kepada yang tidak nampak, apa yang termasuk kegiatan kepada kontemplasi, dan apa yang ada sekarang kepada kota yang akan datang, yang sedang kita cari[2] . Maka dari itu liturgi setiap hari membangun mereka yang berada didalam Gereja menjadi kenisah suci dalam Tuhan, menjadi kediaman Allah dalam Roh[3] , sampai mereka mencapai kedewasaan penuh sesuai dengan kepenuhan Kristus[4] . Maka liturgi sekaligus secara mengagumkan menguatkan tenaga mereka untuk mewartakan Kristus, dan dengan demikian menunjukan Gereja kepada mereka yang berada di luarnya sebagai tanda yang menjulang di antara bangsa-bangsa[5]. Di bawah tanda itu putera-puteri Allah yang tercerai berai dihimpun menjadi satu[6] , sampai terwujudlah satu kawanan dan satu gembala[7] .

3.

Oleh karena itu dalam hal pengembangan dan pembaharuan liturgi, Konsili suci berpendapat: perlu meningkatkan lagi azas-azas berikut dan menetapkan kaidah-kaidah praktis. Di antara azas-azas dan kaidah-kaidah itu ada beberapa yang dapat dan harus diterapkan pada ritus romawi maupun pada semua ritus lainnya. Namun kaidah-kaidah praktis berikut harus dipandang hanya berlaku bagi ritus romawi, kecuali bila menyangkut hal-hal yang menurut hakekatnya juga mengenai ritus-ritus lain.

4.

Akhirnya, setia mengikuti tradisi, Konsili suci menyatakan pandangan Bunda Gereja yang kudus, bahwa semua ritus yang diakui secara sah mempunyai hak dan martabat yang sama. Gereja menhendaki agar ritus-ritus itu di masa mendatang dilestarikan dan dikembangkan dengan segala daya upaya. Konsili menghimbau agar bilamana perlu ritus-ritus itu ditinjau kembali dengan seksama dan secara menyeluruh, sesuai dengan jiwa tradisi yang sehat, lagi pula diberi gairah baru, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan zaman sekarang.

BAB SATU – AZAS-AZAS UMUM UNTUK MEMBAHARUI DAN MENGEMBANGKAN LITURGI

I. HAKEKAT DAN MAKNA LITURGI SUCI DALAM KEHIDUPAN

5. (Karya keselamatan dilaksanakan oleh Kristus)

Allah menghendaki supaya semua manusia selamat dan mengenal kebenaran (1 Tim 2:4). Setelah Ia pada zaman dahulu berulang kali dan dengan pelbagai cara bersabda kepada nenek-moyang kita dengan perantaraan para nabi (Ibr 1:1), ketika genaplah waktunya, Ia mengutus Putera-Nya, Sabda yang menjadi daging dan diurapi Roh Kudus, untuk mewartakan Kabar Gembira kepada kaum miskin, untuk menyembuhkan mereka yang remuk redam hatinya[8] , “sebagai tabib jasmani dan rohani”[9] , Pengantara Allah dan manusia[10] . Sebab dalam kesatuan pribadi Sabda kodrat kemanusiaan-Nya menjadi upaya keselamatan kita. Oleh karena itu dalam Kristus “pendamaian kita mencapai puncak kesempurnaannya, dan kita dapat melaksanakan ibadat Ilahi secara penuh”[11] .
Adapun karya penebusan umat manusia dan permuliaan Allah yang sempurna itu telah diawali dengan karya agung Allah di tengah umat Perjanjian Lama. Karya itu diselesaikan oleh Kristus Tuhan, terutama dengan misteri Paska: sengsara-Nya yang suci, kebangkitan-Nya dari alam maut, dan kenaikan-Nya dalam kemuliaan. Dengan misteri itu Kristus “menghancurkan maut kita dengan wafat-Nya, dan membangun kembali hidup kita dengan kebangkitan-Nya”[12] . Sebab dari lambung Kristus yang beradu di salib muncullah Sakramen seluruh Gereja yang mengagumkan[13] .

6. (Karya keselamatan yang dilestarikan oleh Gereja, terlaksana dalam liturgi)

Oleh karena itu, seperti Kristus diutus oleh Bapa, begitu pula Ia mengutus para rasul yang dipenuhi Roh Kudus. Mereka itu diutus bukan hanya untuk mewartakan Injil kepada makhluk[14] , dan memberitakan bahwa Putera Allah dengan wafat dan kebangkitan-Nya telah membebaskan kita dari kuasa setan[15] dan maut, dan telah memindahkan kita ke Kerajaan Bapa; melainkan juga untuk mewujudkan karya keselamatan yang mereka wartakan itu melalui kurban dan Sakramen-sakramen, sebagai pusat seluruh hidup liturgis. Demikianlah melalui baptis orang-orang dimasukkan ke dalam misteri Paska Kristus : mereka mati, dikuburkan dan dibangkitkan bersama Dia[16] ; mereka menerima Roh pengangkatan menjadi putra, dan dalam Roh itu kita berseru : Abba, Bapa (Rom 8:15); demikianlah mereka menjadi penyembah sejati, yang dicari oleh Bapa[17] . Begitu pula setiap kali mereka makan perjamuan Tuhan, mereka mewartakan wafat Tuhan sampai Ia datang[18] . Oleh karena itu pada hari Pentakosta, ketika Gereja tampil di depan dunia, mereka yang menerima amanat Petrus “dibaptis”. Dan mereka “bertekun dalam ajaran para Rasul serta selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa … sambil memuji Allah, dan mereka disukai seluruh rakyat” (Kis 2:41-47). Sejak itu Gereja tidak pernah lalai mengadakan pertemuan untuk merayakan misteri Paska; disitu mereka membaca “apa yang tercantum tentang Dia dalam seluruh Kitab suci (Luk 24:27); mereka merayakan Ekaristi, yang menghadirkan kejayaan-Nya atas maut”[19] , dan sekaligus mengucap syukur kepada “Allah atas karunia-Nya yang tidak terkatakan” (2Kor 9:15) dalam Kristus Yesus, “untuk memuji keagungan-Nya” (Ef 1:12) dengan kekuatan Roh Kudus.

7. (Kehadiran Kristus dalam liturgi)

Untuk melaksanakan karya sebesar itu, Kristus selalu mendampingi Gereja-Nya terutama dalam kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan, “karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan Diri di kayu salib[20] , maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi. Dengan kekuatan-Nya Ia hadir dalam Sakramen-sakramen sedemikian rupa, sehingga bila ada orang yang membaptis, Kristus sendirilah yang membaptis[21] . Ia hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab suci dibacakan dalam Gereja. Akhirnya Ia hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur karena Ia sendiri berjanji : bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka (Mat 18:20).
Memang sungguh, dalam karya seagung itu, saat Allah dimuliakan secara sempurna dan manusia dikuduskan, Kristus selalu menggabungkan Gereja, mempelai-Nya yang amat terkasih, dengan diri-Nya. Gereja yang berseru kepada Tuhannya dan melalui Dia berbakti kepada Bapa yang kekal.
Maka, benarlah bahwa liturgi dipandang sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus. Di dalam liturgi, dengan tanda-tanda lahiriah,  pengudusan manusia dilambangkan dan dihasilkan dengan cara yang sesuai dengan masing-masing tanda ini; di dalam Liturgi, seluruh ibadat publik dilaksanakan oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni Kepala beserta para anggota-Nya.
Oleh karena itu setiap perayaan liturgis sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja, merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama.

8. (Liturgi di dunia ini dan Liturgi di Surga)

Dalam liturgi di dunia ini kita ikut mencicipi liturgi surgawi, yang dirayakan di kota suci Yerusalem, tujuan peziarahan kita. Di sana Kristus duduk di sisi kanan Allah, sebagai pelayan tempat tersuci dan kemah yang sejati[22] . Bersama dengan segenap bala tentara surgawi kita melambungkan kidung kemuliaan kepada Tuhan. Sementara menghormati dan mengenangkan para Kudus kita berharap akan ikut serta dalam persekutuan dengan mereka. Kita mendambakan Tuhan kita Yesus Kristus penyelamat kita, sampai Ia sendiri, hidup kita, akan nampak, dan kita akan nampak bersama dengan-Nya dalam kemuliaan[23] .

9. (Liturgi bukan satu-satunya kegiatan Gereja)

Liturgi suci tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Sebab sebelum manusia dapat mengikuti liturgi, ia perlu dipanggil untuk beriman dan bertobat: “bagaimana ia akan berseru kepada Dia yang tidak mereka imani? Atau bagaimana mereka akan mengimani-Nya bila mereka tidak mendengar tentang Dia? Dan bagaimana mereka akan mendengar bila tidak ada pewarta? Lalu bagaimana mereka akan mewartakan kalau tidak diutus?” (Rom 10:14-15).
Oleh karena itu Gereja mewartakan berita keselamatan kepada kaum tak beriman, supaya semua orang mengenal satu-satunya Allah yang sejati dan Yesus Kristus yang diutus-Nya lalu bertobat dari jalan hidup mereka seraya menjalankan ulah tapa[24] . Tetapi kepada Umat beriman pun Gereja selalu wajib mewartakan iman dan pertobatan; selain itu harus menyiapkan mereka untuk menerima sakramen-sakramen, mengajar mereka mengamalkan segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Kristus[25] , dan mendorong mereka untuk menjalankan semua amal cinta kasih, kesalehan dan kerasulan. Berkat karya-karya itu akan menjadi jelas bahwa kaum beriman Kristiani memang bukan dari dunia ini, melainkan menjadi terang dunia dan memuliakan Bapa di hadapan orang-orang.

10. (Liturgi puncak dan sumber kehidupan Gereja)

Akan tetapi liturgi itu puncak yang dituju kegiatan Gereja, dan serta merta sumber segala daya-kekuatannya. Sebab usah-usaha kerasulan mempunyai tujuan ini: supaya semua orang melalui iman dan baptis menjadi putera-putera Allah, berhimpun menjadi satu, meluhurkan Allah di tengah Gereja, ikut serta dalam Kurban dan menyantap perjamuan Tuhan.
Di lain pihak liturgi sendiri mendorong umat beriman, supaya sesudah dipuaskan “dengan Sakramen-sakramen Paska menjadi sehati-sejiwa dalam kasih”[26] . Liturgi berdoa supaya “mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman”[27] . Adapun pembaharuan perjanjian Tuhan dengan manusia dalam Ekaristi menarik dan mengobarkan Umat beriman dalam cinta kasih Kristus yang membara. Jadi dari liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan pemuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya.

11. (Perlunya persiapan pribadi)

Akan tetapi supaya hasil guna itu diperoleh sepenuhnya, Umat beriman perlu datang menghadiri liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya[28] . Maka dari itu hendaklah para gembala rohani memperhatikan dengan seksama, supaya dalam kegiatan liturgi jangan hanya dipatuhi hukum-hukumnya untuk merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya umat beriman ikut merayakannya dengan sadar, aktif dan penuh makna.

12. (Liturgi dan ulah kesalehan)

Akan tetapi hidup rohani tidak tercakup seluruhnya dengan hanya ikut serta dalam liturgi. Sebab semua manusia Kristiani; yang memang dipanggil untuk berdoa bersama, toh harus memasuki biliknya juga untuk berdoa kepada Bapa di tempat yang tersembunyi[29] . Bahkan menurut amanat Rasul (Paulus) ia harus berkajang dalam doa[30] . Dan Rasul itu juga mengajar, supaya kita selalu membawa kematian Yesus dalam tubuh kita, supaya hidup Yesus pun menjadi nyata dalam daging kita yang fana[31] . Maka dari itu dalam kurban Misa kita memohon kepada Tuhan, supaya dengan menerima persembahan kurban rohani, Ia menyempurnakan kita sendiri menjadi kurban abadi bagi diri-Nya[32] .

13.

Ulah kesalehan Umat kristiani, asal saja sesuai dengan hukum-hukum dan norma-norma Gereja, sangat dianjurkan, terutama bila dijalankan atau penetapan Takhta Apostolik.
Begitu pula ulah kesalehan yang khas bagi Gereja-gereja setempat memiliki makna istimewa, bila dilakukan atas penetapan para Uskup, menurut adat kebiasaan atau buku-buku yang telah disahkan.
Akan tetapi, sambil mengindahkan masa-masa liturgi, ulah kesalehan itu perlu diatur sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan liturgi suci; sedikit banyak harus bersumber pada liturgi, dan menghantar Umat kepadaNya; sebab menurut hakikatnya hal besar liturgi memang jauh unggul dari semua ulah kesalehan itu.

II. PENDIDIKAN LITURGI DAN KEIKUTSERTAAN AKTIF

14.

Bunda Gereja sangat menginginkan, supaya semua orang beriman dibimbing ke arah keikutsertaan yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam perayaan-perayaan liturgi. Keikutsertaan seperti itu dituntut oleh liturgi sendiri, dan berdasarkan Baptis merupakan hak serta kewajiban umat kristiani sebagai “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus, Umat kepunyaan Allah sendiri” (1Ptr 2:9; Lih. 2:4-5).
Dalam pembaharuan dan pengembangan liturgi suci keikutsertaan segenap Umat secara penuh dan aktif itu perlu beroleh perhatian yang terbesar. Sebab bagi kaum beriman merupakan sumber utama yang tidak tergantikan, untuk menimba semangat kristiani yang sejati. Maka dari itu dalam seluruh kegiatan pastoral mereka para gembala jiwa harus mengusahakannya dengan rajin melalui pendidikan yang seperlunya.
Akan tetapi supaya itu tercapai tiada harapan lain kecuali bahwa lebih dahulu para gembala jiwa sendiri secara mendalam diresapi semangat dan daya liturgi, serta menjadi mahir untuk memberi pendidikan liturgi. Oleh karena itu sangat perlulah bahwa pertama-tama pendidikan liturgi klerus dimantapkan. Maka Konsili suci memutuskan ketetapan-ketetapan berikut.

15. (Pembinaan para dosen Liturgi)

Para dosen, yang ditugaskan untuk mengajarkan mata kuliah Liturgi di seminari-seminari, rumah-rumah pendidikan para religius dan fakultas-fakultas teologi, perlu dididik dengan sungguh-sungguh di lembaga-lembaga yang secara istimewa diperuntukkan bagi tujuan itu, untuk menunaikan tugas mereka.

16. (Pendidikan Liturgi kaum rohaniwan)

Di seminari-seminari dan di rumah-rumah pendidikan para religius mata kuliah Liturgi harus dipandang sebagai mata kuliah wajib dan penting, sedangkan di fakultas-fakultas teologi sebagai salah satu mata kuliah utama. Mata kuliah Liturgi hendaknya diajarkan dari segi teologi dan sejarah maupun dari segi hidup rohani, pastoral dan hukum. Selain itu hendaklah para dosen mata kuliah lain-lainnya, terutama teologi dogmatis, Kitab suci, teologi hidup rohani dan pastoral, – dengan bertolak dari persyaratan intrinsik masing-masing pokok bahasan, -menguraikan misteri Kristus dan sejarah keselamatan sedemikian rupa, sehingga jelas-jelas nampak hubungannya dengan liturgi dan keterpaduan pembinaan iman.

17.

Hendaklah para rohaniwan di seminari-seminari maupun di rumah-rumah religius, mendapat pembinaan liturgis demi hidup rohani mereka, baik melalui bimbingan yang memadai untuk memahami upacara-upacara suci sendiri, pun juga melalui ulah kesalehan lainnya yang diresapi oleh semangat liturgi. Begitu pula hendaklah mereka belajar mematuhi hukum-hukum liturgi, sehingga kehidupan di seminari-seminari dan tarekat-tarekat religius dirasuki semangat liturgi secara mendalam.

18.

Hendaklah para imam baik diosesan maupun religius, yang sudah berkarya di kebun anggur Tuhan, dibantu dengan segala upaya yang memadai, supaya mereka semakin mendalam memahami apa yang mereka laksanakan dalam pelayanan-pelayanan suci, menghayati hidup liturgis, dan menyalurkannya kepada Umat beriman yang dipercayakan kepada mereka.

19. (Pembinaan kaum Liturgis beriman)

Hendaklah para gembala jiwa dengan tekun dan sabar mengusahakan pembinaan liturgi kaum beriman serta secara aktif, baik lahir maupun batin, sesuai dengan umur, situasi, corak hidup dan taraf perkembangan religius mereka. Dengan demikian mereka menunaikan salah satu tugas utama pembagi misteri-misteri Allah yang setia. Dalam hal ini hendaklah mereka membimbing kawanan mereka bukan saja dengan kata-kata, melainkan juga dengan teladan.

20. (Sarana-sarana audio-visual dan perayaan liturgi)

Siaran-siaran upacara suci melalui radio dan televisi, terutama bila meliput perayaan Ekaristi, hendaklah berlangsung dengan bijak dan penuh hormat, di bawah bimbingan dan tanggung jawab seorang ahli, yang ditunjuk oleh para Uskup untuk tugas itu.

III. PEMBAHARUAN LITURGI

21.

Supaya lebih terjamin lah bahwa Umat kristiani memperoleh rahmat berlimpah dalam liturgi suci, Bunda Gereja yang penuh kasih ingin mengusahakan dengan seksama pembaharuan umum liturgi sendiri. Sebab dalam liturgi terdapat unsur yang tidak dapat diubah karena ditetapkan oleh Allah, maupun unsur-unsur yang dapat berubah, yang di sepanjang masa dapat atau bahkan mengalami perubahan, sekiranya mungkin telah disusupi hal-hal yang kurang serasi dengan inti hakikat liturgi sendiri, atau sudah menjadi kurang cocok. Adapun dalam pembaharuan itu naskah-naskah dan upacara-upacara harus diatur sedemikian rupa, sehingga lebih jelas mengungkapkan hal-hal kudus yang dilambangkan. Dengan demikian Umat kristiani sedapat mungkin menangkapnya dengan mudah, dan dapat ikut serta dalam perayaan secara penuh, aktif dan dengan cara yang khas bagi jemaat. Maka Konsili suci menetapkan norma-norma berikut yang lebih bersifat umum.

A. Kaidah-kaidah umum

22. (Pengaturan Liturgi)

(1) Wewenang untuk mengatur liturgi semata-mata ada pada pimpinan Gereja, yakni Takhta Apostolik, dan menurut kaidah hukum pada uskup.
(2) Berdasarkan kuasa yang diberikan hukum, wewenang untuk mengatur perkara-perkara liturgi dalam batas-batas tertentu juga ada pada pelbagai macam Konferensi Uskup se-daerah yang didirikan secara sah.
(3) Maka dari itu tidak seorang lainnya pun, meskipun imam, boleh menambahkan, meniadakan atau mengubah sesuatu dalam liturgi atas prakarsa sendiri.

23. (Tradisi dan perkembangan)

Supaya tradisi yang sehat dipertahankan, namun dibuka jalan juga bagi perkembangan yang wajar, hendaknya selalu diadakan lebih dulu penyelidikan teologis, historis, dan pastoral, yang cermat tentang setiap bagian liturgi yang perlu ditinjau kembali. Kecuali itu hendaklah dipertimbangkan baik patokan-patokan umum tentang susunan dan makna liturgi, maupun pengalaman yang diperoleh dari pembaharuan liturgi belakangan ini serta dari izin-izin yang diberikan di sana-sini. Akhirnya janganlah kiranya diadakan hal-hal baru, kecuali bila sungguh-sungguh dan pasti dituntut oleh kepentingan Gereja; dan dalam hal ini hendaknya diusahakan dengan cermat, agar bentuk-bentuk baru itu bertumbuh secara kurang lebih organis dari bentuk-bentuk yang sudah ada. Sedapat mungkin hendaknya dicegah juga, jangan sampai ada perbedaan-perbedaan yang menyolok dalam upacara-upacara di daerah-daerah yang berdekatan.

24. (Kitab suci dan Liturgi)

Dalam perayaan liturgi Kitab suci sangat penting. Sebab dari Kitab sucilah dikutip bacaan-bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah liturgi; daripadanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci, seperti ditunjukkan oleh tradisi luhur ritus Timur maupun ritus Barat.

25. (Peninjauan kembali buku-buku Liturgi)

Hendaknya buku-buku liturgi selekas mungkin ditinjau kembali, dengan meminta bantuan para ahli dan berkonsultasi dengan para Uskup di pelbagai kawasan dunia.

B. Kaidah-kaidah berdasarkan hakikat liturgi sebagai tindakan Hirarki dan jemaat

26.

Upacara-upacara liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni Umat kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para Uskup[33] . Maka upacara-upacara itu menyangkut seluruh Tubuh Gereja dan menampakkan serta mempengaruhinya; sedangkan masing-masing anggota disentuhnya secara berlain-lainan, menurut keanekaan tingkatan, tugas serta keikutsertaan aktual mereka.

27. (Perayaan bersama)

Setiap kali suatu upacara, menurut hakikatnya yang khas, diselenggarakan sebagai perayaan bersama, dengan dihadiri banyak Umat yang ikut-serta secara aktif, hendaknya ditandaskan, agar bentuk itu sedapat mungkin diutamakan terhadap upacara perorangan yang seolah-olah bersifat pribadi. Terutama itu berlaku bagi perayaan Misa, tanpa mengurangi kenyataan, bahwa setiap Misa pada hakikatnya sudah bersifat resmi dan umum, begitu pula bagi pelayanan Sakramen-sakramen.

28. (Martabat perayaan)

Pada perayaan-perayaan liturgi setiap anggota, entah pelayan (pemimpin) entah Umat, hendaknya dalam menunaikan tugas hanya menjalankan, dan melakukan seutuhnya, apa yang menjadi perannya menurut hakikat perayaan serta kaidah-kaidah liturgi.

29.

Juga para pelayan Misa (putera altar), para lektor, para komentator dan para anggota paduan suara benar-benar menjalankan pelayanan liturgis. Maka hendaknya mereka menunaikan tugas dengan saleh, tulus dan saksama, sebagaimana layak untuk pelayanan seluhur itu, dan sudah semestinya dituntut dari mereka oleh Umat Allah. Maka perlulah mereka secara mendalam diresapi semangat liturgi, masing-masing sekadar kemampuannya, dan dibina untuk membawakan peran mereka dengan tepat dan rapih.

30. (Keikut-sertaan aktif Umat beriman)

Untuk meningkatkan keikutsertaan aktif, hendaknya aklamasi oleh Umat, jawaban-jawaban, pendarasan mazmur, antifon-antifon dan lagu-lagu, pun pula gerak-gerik, peragaan serta sikap badan dikembangkan. Pada saat yang tepat hendaklah diadakan juga saat hening yang khidmat.

31.

Dalam meninjau kembali buku-buku liturgi hendaklah diperhatikan dengan saksama, supaya rubrik-rubrik juga mengatur peran Umat beriman.

32. (Liturgi dan kelompok-kelompok sosial)

Kecuali perbedaan berdasarkan tugas liturgi dan Tahbisan suci, dan selain penghormatan yang menurut kaidah-kaidah liturgi harus diberikan kepada para pemuka-pemuka masyarakat, janganlah diberikan kedudukan istimewa kepada pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok tertentu, baik dalam upacara maupun dengan penampilan lahiriah.

C. Kaidah-kaidah berdasarkan sifat pembinaan dan pastoral liturgi

33.

Meskipun liturgi suci terutama merupakan ibadat kepada Keagungan Ilahi, namun mencakup banyak pengajaran juga bagi Umat beriman[34] . Sebab dalam liturgi Allah bersabda kepada Umat-Nya; Kristus masih mewartakan Injil. Sedangkan Umat menanggapi Allah dengan nyanyian-nyanyian dan doa.
Bahkan bila imam, yang selaku wakil Kristus memimpin jemaat, memanjatkan doa-doa kepada Allah, doa-doa itu diucapkan atas nama segenap Umat suci dan semua orang yang hadir. Adapun lambang-lambang lahir, yang digunakan dalam liturgi suci untuk menandakan hal-hal ilahi yang tidak nampak, dipilih oleh Kristus atau Gereja. Oleh karena itu bukan hanya bila dibacakan “apa yang telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita” (Rom 15:4), melainkan juga sementara Gereja berdoa atau bernyanyi atau melakukan sesuatu, dipupuklah iman para peserta, dan hati mereka diangkat kepada Allah, untuk mempersembahkan penghormatan yang wajar kepada-Nya, dan menerima rahmat-Nya secara lebih melimpah.
Maka dari iru dalam mengadakan pembaharuan kaidah-kaidah umum berikut harus dipatuhi.

34. (Keserasian upacara-upacara)

Hendaklah upacara-upacara bersifat sederhana namun luhur, singkat, jelas, tanpa pengulangan-pengulangan yang tiada gunanya. Hendaknya disesuaikan dengan daya tangkap Umat beriman, dan pada umumnya jangan sampai memerlukan banyak penjelasan.

35. (Kitab suci, pewartaan dan katekese dalam liturgi)

Supaya nampak dengan jelas bahwa dalam liturgi upacara dan sabda berhubungan erat, maka :
(1) Dalam perayaan-perayaan suci hendaknya dimasukkan bacaan Kitab suci yang lebih banyak, lebih bervariasi dan lebih sesuai.
(2) Dalam rubrik-rubrik hendaknya dicatat juga, sejauh tata upacara mengizinkan, saat yang lebih tepat untuk khotbah, sebagai bagian perayaan liturgi. Dan pelayanan pewartaan hendaknya dilaksanakan dengan amat tekun dan saksama. Bahannya terutama hendaklah bersumber pada Kitab suci dan liturgi, sebab khotbah merupakan pewartaan keajaiban-keajaiban Allah dalam sejarah keselamatan atau misteri Kristus, yang selalu hadir dan berkarya di tengah kita, teristimewa dalam perayaan-perayaan liturgi.
(3) Dengan segala cara hendaknya diusahakan pula katekese yang secara lebih langsung bersifat liturgis; dan dalam upacara-upacara sendiri bila perlu, hendaklah disampaikan ajakan-ajakan singkat oleh imam atau pelayan (petugas) yang berwenang. Tetapi ajakan-ajakan itu hendaknya hanya disampaikan pada saat-saat yang cocok, menurut teks yang sudah ditentukan atau dengan kata-kata yang senada.
(4) Hendaknya dikembangkan perayaan Sabda Allah pada malam menjelang hari-hari raya agung, pada beberapa hari biasa dalam masa Adven dan Prapaska, begitu pula pada hari-hari minggu dan hari-hari raya, terutama di tempat-tempat yang tiada imamnya. Dalam hal itu perayaan hendaknya dipimpin oleh diakon atau orang lain yang diberi wewenang oleh Uskup.

36. (Bahasa Liturgi)

(1) Penggunaan bahasa latin hendaknya dipertahankan dalam ritus-ritus lain, meskipun ketentuan-ketentuan hukum khusus tetap berlaku.
(2) Akan tetapi dalam Misa, dalam pelayanan Sakramen-sakramen maupun bagian-bagian liturgi lainnya, tidak jarang penggunaan bahasa pribumi dapat sangat bermanfaat bagi Umat. Maka seyogyanyalah diberi kelonggaran yang lebih luas, terutama dalam bacaan-bacaan dan ajakan-ajakan, dan berbagai doa dan nyanyian, menurut kaidah-kaidah yang mengenai hal itu ditetapkan secara tersendiri dalam bab-bab berikut.
(3) Sambil mematuhi kaidah-kaidah itu, pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut pada artikel 22: (2), menetapkan apakah dan bagaimanakah bahasa pribumi digunakan, bila perlu hendaknya ada konsultasi dengan para Uskup tetangga dikawasan yang menggunakan bahasa yang sama. Ketetapan itu memerlukan persetujuan atau pengesahan dari Takhta Apostolik.
(4) Terjemahan teks latin kedalam bahasa pribumi, yang hendak digunakan dalam liturgi, harus disetujui oleh pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti tersebut di atas.

D. Kaidah-kaidah untuk menyesuaikan liturgi dengan tabiat perangai dan tradisi bangsa-bangsa

37.

Dalam hal-hal yang tidak menyangkut iman atau kesejahteraan segenap jemaat, Gereja dalam liturgi pun tidak ingin mengharuskan suatu keseragaman yang kaku. Sebaliknya Gereja memelihara dan memajukan kekayaan yang menghiasi jiwa pelbagai suku dan bangsa. Apa saja dalam adat kebiasaan para bangsa, yang tidak secara mutlak terikat pada takhayul atau ajaran sesat, oleh Gereja dipertimbangkan dengan murah hati, dan bila mungkin dipeliharanya dengan hakikat semangat liturgi yang sejati dan asli.

38.

Asal saja kesatuan hakiki ritus Romawi dipertahankan, hendaknya diberi ruang kepada kemajemukan bentuk dan penyesuaian yang wajar dengan pelbagai kelompok, daerah, dan bangsa, terutama di daerah-daerah Misi, juga bila buku-buku liturgi ditinjau kembali. Hal itu hendaklah diperhatikan dengan baik dalam penyusunan upacara-upacara dan penataan rubrik-rubrik.

39.

Dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh terbitan otentik buku-buku liturgi, pimpinan Gereja setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22, (2), berhak untuk memerinci penyesuaian-penyesuaian, terutama mengenai pelayanan Sakramen-sakramen, sakramentali, perarakan, bahasa liturgi, musik Gereja dan kesenian, asal saja sesuai dengan kaidah-kaidah dasar yang terdapat dalam konsultasi ini.

40.

Tetapi di pelbagai tempat dan situasi, mendesaklah penyesuaian liturgi secara lebih mendalam; karena itu juga menjadi lebih sukar. Maka :
(1) Hendaknya pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, seperti dalam art. 22, (2), dengan tekun dan bijaksana mempertimbangkan, unsur-unsur manakah dari tradisi-tradisi dan ciri khas masing-masing bangsa yang dalam hal itu sebaiknya ditampung dalam ibadat ilahi. Penyesuaian-penyesuaian, yang dipandang berfaedah atau memang perlu, hendaklah diajukan kepada Takhta Apostolik, supaya atas persetujuannya dimasukkan dalam liturgi.
(2) Tetapi supaya penyesuaian dijalankan dengan kewaspadaan seperlunya, maka Takhta Apostolik akan memberi wewenang kepada pimpinan gerejawi setempat, untuk – bila perlu – dalam beberapa kelompok yang cocok untuk itu dan selama waktu yang terbatas mengizinkan dan memimpin eksperimen-eksperimen pendahuluan yang diperlukan.
(3) Ketetapan-ketetapan tentang liturgi biasanya menimbulkan kesulitan-kesulitan khas mengenai penyesuaian, terutama di daerah-daerah Misi. Maka dalam menyusun ketetapan-ketetapan ini hendaknya tersedia ahli-ahli untuk bidang yang bersangkutan.

IV. PEMBINAAN KEHIDUPAN LITURGI DALAM KEUSKUPAN DAN PAROKI.

41. (Kehidupan Liturgi dalam keuskupan)

Uskup harus dipandang sebagai imam agung kawanannya. Kehidupan Umatnya yang beriman dalam Kristus bersumber dan tergantung dengan cara tertentu dari padanya.
Maka dari itu semua orang harus menaruh penghargaan amat besar terhadap kehidupan liturgi keuskupan di sekitar Uskup, terutama di gereja katedral. Hendaknya mereka yakin, bahwa penampilan Gereja yang istimewa terdapat dalam keikutsertaan penuh dan aktif seluruh Umat kudus Allah dalam perayaan liturgi yang sama, terutama dalam satu Ekaristi, dalam satu doa, pada satu altar, dipimpin oleh Uskup yang dikelilingi oleh para imam serta para pelayan lainnya[35] .

42. (Kehidupan Liturgi dalam Paroki)

Dalam Gerejanya Uskup tidak dapat selalu atau dimana-mana memimpin sendiri segenap kawanannya. Maka haruslah ia membentuk kelompok-kelompok orang beriman, diantaranya yang terpenting yakni paroki-paroki, yang di setiap tempat dikelola di bawah seorang pastor yang mewakili Uskup. Sebab dalam arti tertentu paroki menghadirkan Gereja semesta yang kelihatan.
Maka dari itu hendaknya kehidupan liturgi paroki serta hubungannya dengan Uskup dipupuk dalam hati dan praktik jemaat beriman serta para rohaniwan. Hendaknya diusahakan, supaya jiwa persekutuan dalam paroki berkembang, terutama dalam perayaan Misa Umat pada hari Minggu.

V. PENGEMBANGAN PASTORAL LITURGI

43. (Pembaharuan Liturgi, rahmat Roh Kudus)

Usaha mengembangkan dan membaharui liturgi suci memang tepat dipandang sebagai tanda penyelenggaraan Allah atas zaman kita, sebagai gerakan Roh Kudus dalam Gerejanya. Dan usaha itu menandai kehidupan Gereja-Nya. Dan usaha itu menandai kehidupan Gereja, bahkan seluruh cara berpandangan dan bertindak religius zaman kita ini dengan ciri yang khas. Maka untuk makin mengembangkan kegiatan pastoral liturgis dalam Gereja, Konsili suci memutuskan:

44. (Komisi Liturgi nasional)

Sebaiknya pemimpin gerejawi setempat yang berwenang, seperti disebut dalam art. 22, (2), mendirikan Komisi Liturgi, yang harus didampingi oleh orang-orang ahli dalam ilmu liturgi, musik serta kesenian liturgi, dan di bidang pastoral. Komisi itu sedapat mungkin hendaknya dibantu oleh suatu Lembaga Liturgi Pastoral, yang terdiri dari anggota-anggota yang mahir di bidang itu, bila perlu juga awam.
Di bawah ini bimbingan pimpinan gerejawi setempat, seperti tersebut di atas, komisi itu bertugas membina kegiatan pastoral liturgis dalam kawasannya, dan memajukan studi serta eksperimen-eksperimen yang perlu, kapan saja ada penyesuaian-penyesuaian yang perlu diajukan kepada Takhta Apostolik.

45. (Komisi Liturgi Keuskupan)

Begitu pula di setiap keuskupan hendaknya ada Komisi Liturgi untuk memajukan kegiatan liturgis di bawah bimbingan Uskup.
Ada kalanya dapat berguna, bila berbagai keuskupan mendirikan satu komisi, untuk mengembangkan liturgi melalui musyawarah bersama.

46. (Komisi-komisi lain)

Selain Komisi Liturgi, hendaknya di setiap keuskupan sedapat mungkin didirikan Komisi Musik Liturgi dan Komisi Kesenian Liturgi.
Penting sekali bahwa ketiga Komisi itu bekerja sama secara terpadu; bahkan tidak jarang akan lebih cocok bahwa ketiganya berpadu menjadi satu komisi.

BAB DUA – MISTERI EKARISTI SUCI

47. (Ekaristi suci dan misteri Paska)

Pada perjamuan terakhir, pada malam ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian Ia mengabdikan Kurban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja Mempelai-Nya yang terkasih kenangan Wafat dan Kebangkitan-nya: sakramen cinta kasih, lambang kesatuan, ikatan cinta kasih[36] , perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang[37] .

48. (Keikutsertaan aktif kaum beriman)

Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai Umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari – berkat perantaraan Kristus[38] – makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua.

49.

Maka dari itu, dengan memperhatikan perayaan Ekaristi yang dihadiri Umat, terutama pada hari Minggu dan hari-hari raya wajib, Konsili suci menetapkan hal-hal berikut, supaya kurban Misa, pun juga bentuk upacara-upacaranya, mencapai hasil guna pastoral yang sepenuhnya.

50. (Peninjauan kembali Tata perayaan Ekaristi)

Tata perayaan Ekaristi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga lebih jelaslah makna masing-masing bagiannya serta hubungannya satu dengan yang lain. Dengan demikian Umat beriman akan lebih mudah ikut-serta dengan khidmat dan aktif.
Maka dari itu hendaknya upacara-upacara disederhanakan, dengan tetap mempertahankan hal-hal yang pokok. Hendaknya dihilangkan saja semua pengulangan dan tambahan yang kurang berguna, yang muncul dalam perjalanan sejarah. Sedangkan beberapa hal, yang telah memudar karena dikikis waktu, hendaknya dihidupkan lagi selaras dengan kaidah-kaidah semasa para Bapa Gereja, bila itu nampaknya memang berguna atau perlu.

51. (Supaya Ekaristi diperkaya dengan sabda Kitab suci)

Agar santapan sabda Allah dihidangkan secara lebih melimpah kepada umat beriman, hendaklah khazanah harta Alkitab dibuka lebih lebar, sehingga dalam kurun waktu beberapa tahun bagian-bagian penting Kitab suci dibacakan kepada Umat.

52. (Homili)

Homili sebagai bagian liturgi sendiri sangat dianjurkan. Di situ hendaknya sepanjang tahun liturgi diuraikan mister-misteri iman dan kaidah-kaidah hidup kristiani berdasarkan teks Kitab suci. Oleh karena itu dalam Misa hari Minggu dan hari raya wajib yang dihadiri Umat homili jangan ditiadakan, kecuali bila ada alasan yang berat.

53. (Doa Umat)

Hendaknya sesudah Injil dan homili, terutama pada hari Minggu dan hari raya wajib, diadakan lagi Doa Umat atau Doa kaum beriman, supaya bersama dengan Umat dipanjatkanlah doa-doa permohonan bagi Gereja kudus, bagi para pejabat pemerintah, bagi mereka yang sedang tertekan oleh pelbagai kebutuhan, dan bagi semua orang serta keselamatan seluruh dunia[39] .

54. (Bahasa Latin dan bahasa pribumi dalam perayaan Ekaristi)

Sesuai dengan artikel 36 konstitusi ini, dalam Misa suci yang dirayakan bersama Umat bahasa pribumi dapat diberi tempat yang sewajarnya, terutama dalam bacaan-bacaan dan doa Umat, dan – sesuai dengan situasi setempat – juga dalam bagian-bagian yang menyangkut Umat.
Tetapi hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama mengucapkan atau menyanyikan dalam bahasa latin juga bagian-bagian Misa yang tetap yang menyangkut mereka.
Namun bila pemakaian bahasa pribumi yang lebih luas dalam Misa nampaknya cocok, hendaknya ditepati peraturan art. 40 Konstitusi ini.

55. (Komuni suci, puncak keikutsertaan dalam Misa suci; Komuni dua rupa)

Dianjurkan dengan sangat partisipasi Umat yang lebih sempurna dalam Misa, dengan menerima Tubuh Tuhan dari Kurban itu juga sesudah imam menyambut Komuni.
Atas kebijaksanaan para Uskup, Komuni dua rupa dapat diizinkan baik bagi kaum rohaniwan dan religius, maupun bagi kaum awam, dalam hal-hal yang perlu ditentukan oleh Takhta suci, misalnya bagi para tahbisan baru dalam Misa pentahbisan mereka, bagi para prasetyawan dalam Misa pengikraran kaul-kaul religius, bagi para baptisan baru dalam Misa sesudah pembaptisan. Dalam hal itu prinsip-prinsip dogmatis Konsili Trente[40] hendaknya tetap dipertahankan.

56. (Kesatuan Misa)

Misa suci dapat dikatakan terdiri dari dua bagian, yakni liturgi sabda dan liturgi Ekaristi. Keduanya begitu erat berhubungan, sehingga merupakan satu tindakan ibadat. Maka Konsili suci dengan sangat mengajak para gembala jiwa, supaya mereka dalam menyelenggarakan katekese dengan tekun mengajarkan agar Umat beriman menghadiri seluruh Misa, terutama pada hari Minggu dan hari raya wajib.

57. (Konselebrasi)

1. Konselebrasi sungguh cocok untuk menampakkan kesatuan imamat. Hingga sekarang konselebrasi tetap masih dijalankan dalam Gereja Timur maupun Barat.
Maka Konsili berkenan memperluas izin untuk berkonselebrasi sehingga meliputi kesempatan-kesempatan berikut:
1) a). pada hari Kamis Putih, baik dalam Misa Krisma maupun dalam Misa sore Perjamuan Tuhan;
b). pada Misa suci selama Konsili, sidang Konferensi Uskup dan sidang Sinode;
c). pada Misa suci pelantikan seorang Abas.
2) Selain itu, seizin Uskup setempat, yang berwenang menilai baik tidaknya mengadakan konselebrasi:
a) pada Misa komunitas biara dan pada Misa utama dalam gereja-gereja, bila demi kepentingan Umat
beriman tidak diinginkan, bahwa semua imam yang hadir mempersembahkan Misa sendiri-sendiri;
b) pada Misa dalam pertemuan manapun juga, yang dihadiri para imam diosesan maupun religius;
2. 1). Adalah wewenang Uskup untuk mengatur tata cara konselebrasi di keuskupannya.
2). Namun hendaknya setiap imam tetap diperbolehkan mengorbankan Misa sendiri, asal jangan pada saat
yang bersamaan dalam gereja yang sama; juga asal jangan pada hari Kamis Putih Perjamuan Tuhan.

58.

Hendaknya disusun upacara konselebrasi yang baru, dan disisipkan dalam buku Pontificale dan dalam buku Missale Romanum.

BAB TIGA – SAKRAMEN-SAKRAMEN LAINNYA DAN SAKRAMENTALI

59. (Hakikat Sakramen)

Sakramen-sakramen dimaksudkan untuk menguduskan manusia, membangun Tubuh Kristus, dan akhirnya mempersembahkan ibadat kepada Allah. Tetapi sebagai tanda sakramen juga dimaksudkan untuk mendidik. Sakramen tidak hanya mengandaikan iman, melainkan juga memupuk, meneguhkan dan mengungkapkannya dengan kata-kata dan benda. Maka juga disebut sakramen iman. Memang sakramen memperolehkan rahmat, tetapi perayaan sakramen itu sendiri juga dengan amat baik menyiapkan kaum beriman untuk menerima rahmat itu yang membuahkan hasil nyata, untuk menyembah Allah secara benar, dan untuk mengamalkan cinta kasih.
Maka dari itu sangat pentinglah bahwa Umat beriman dengan mudah memahami lambang-lambang Sakramen, dan dengan sepenuh hati sering menerima Sakramen-sakramen, yang diadakan untuk memupuk hidup Kristiani.

60. (Sakramentali)

Selain itu Bunda Gereja kudus telah mengadakan sakramentali, yakni tanda-tanda suci, yang memiliki kemiripan dengan Sakramen-sakramen. Sakramentali itu menandakan kurnia-kurnia, terutama yang bersifat rohani, dan yang diperoleh berkat doa permohonan Gereja. Melalui sakramentali itu hati manusia disiapkan untuk menerima buah utama Sakramen-sakramen dan pelbagai situasi hidup disucikan.

61. (Nilai pastoral liturgi; hubungannya dengan misteri Paska)

Dengan demikian berkat liturgi Sakramen-sakramen dan sakramentali bagi kaum beriman yang hatinya sungguh siap hampir setiap peristiwa hidup dikuduskan dengan rahmat ilahi yang mengalir dari misteri Paska Sengsara, Wafat dan Kebangkitan Kristus. Dari misteri itulah semua Sakramen dan sakramentali menerima daya kekuatannya. Dan bila manusia menggunakan benda-benda dengan pantas, boleh dikatakan tidak ada satupun yang tak dapat dimanfaatkan untuk menguduskan manusia dan memuliakan Allah.

62. (Perlunya meninjau kembali upacara Sakramen-sakramen)

Akan tetapi dalam perjalanan sejarah ada beberapa hal yang menyusupi upacara Sakramen-sakramen dan sakramentali, sehingga hakikat serta tujuannya menjadi kurang jelas bagi kita sekarang. Oleh karena itu perlulah beberapa hal dalam upacara itu disesuaikan dengan kebutuhan zaman kita. Maka Konsili suci menetapkan pokok-pokok pembaharuan berikut.

63. (Bahasa; Rituale Romawi dan rituale khusus)

Dalam pelayanan Sakramen-sakramen dan sakramentali tidak jarang pemakaian bahasa pribumi dapat sangat berguna bagi Umat. Maka hendaknya bahasa pribumi digunakan secara lebih luas menurut kaidah-kaidah berikut:
Dalam pelayanan Sakramen-sakramen dan sakramentali dapat digunakan bahasa pribumi menurut kaidah art. 36. menurut terbitan baru Rituale Romawi hendaknya oleh pimpinan Gereja setempat yang berwenang menurut art. 22 (2) Konstitusi ini selekas mungkin disiapkan rituale-rituale khusus yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah juga mengenai bahasanya. Dan hendaknya rituale-rituale itu digunakan di daerah-daerah yang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Takhta Apostolik. Tetapi dalam menyusun rituale atau kumpulan khas upacara-upacara itu janganlah diabaikan petunjuk-petunjuk yang tercantum dalam Rituale Romawi untuk setiap upacara, entah yang bersifat pastoral dan berupa rubrik, entah yang mempunyai makna sosial istimewa.

64. (Katekumenat)

Katekumenat bertahap untuk orang dewasa hendaklah dihidupkan lagi dan dilaksanakan menurut kebijaksanaan Uskup setempat. Dengan demikian masa katekumenat, yang dimaksudkan untuk pembinaan yang memadai, dapat disucikan dengan merayakan upacara-upacara suci secara berturut-turut.

65.

Selain apa yang terdapat dalam tradisi kristiani, di daerah-daerah Misi boleh dimasukkan juga unsur-unsur inisiasi yang terdapat sebagai kebiasaan masing-masing bangsa, sejauh itu dapat disesuaikan dengan upacara kristiani, menurut kaidah art. 37 – 40 Konstitusi ini.

66. (Peninjauan kembali upacara baptis)

Kedua bentuk upacara pembaptisan orang dewasa, maupun – dengan memperhatikan katekumenat yang diperbaharui – yang meriah, hendaknya ditinjau kembali. Selain itu kedalam Misal Romawi hendaknya dimasukkan Misa khusus: Pada upacara pembaptisan.

67.

Upacara pembaptisan kanak-kanak hendaknya ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kenyataan bahwa yang dibaptis itu masih bayi. Dalam upacara itu hendaknya menjadi lebih jelas peran orang tua dan orangtua baptis beserta tugas-tugas mereka.

68.

Hendaknya dalam upacara Baptis diadakan penyesuaian-penyesuaian menurut kebijaksanaan Uskup setempat, bila banyak orang meminta dibaptis. Begitu pula hendaknya disusun Tata upacara yang lebih ringkas, yang terutama di daerah-daerah Misi dapat dipakai oleh para katekis, dan pada umumnya juga dalam bahaya maut oleh kaum beriman, bila tiada imam atau diakon.

69.

Untuk menggantikan apa yang disebut Tata laksana untuk melengkapi apa yang dilewati dalam pembaptisan kanak-kanak hendaknya disusun upacara baru, supaya secara lebih jelas dan memadai dinyatakan bahwa kanak-kanak yang telah dibaptis dengan rumus singkat sudah diterima ke dalam Gereja.
Begitu pula hendaknya disusun upacara baru untuk mereka yang sudah dibaptis secara sah, lalu hendak berpindah masuk Gereja katolik yang kudus, untuk menyatakan, bahwa mereka diterima ke dalam persekutuan Gereja.

70.

Di luar masa Paska air baptis dapat diberkati dalam upacara Baptis sendiri dengan rumus lebih singkat yang sudah disahkan.

71. (Peninjauan kembali upacara sakramen Krisma)

Upacara Krisma hendaknya ditinjau kembali juga supaya lebih nampak jelas hubungan erat Sakramen itu dengan seluruh inisiasi kristiani. Maka dari itu pembaharuan janji-janji Baptis seyogyanya mendahului penerimaan Sakramen Krisma.
Bila ada kesempatan baik, penerimaan Krisma dapat diselenggarakan dalam Misa suci. Sedangkan mengenai upacara di luar Misa, hendaknya disediakan upacara pendahuluan.

72. (Peninjauan kembali upacara Tobat)

Upacara dan rumus untuk Sakramen Tobat hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga hakikat dan buah Sakramen terungkap secara lebih jelas.

73. (Peninjauan kembali upacara Pengurapan Orang Sakit)

“Pengurapan terakhir”, atau lebih tepat lagi disebut “Pengurapan Orang Sakit”, bukanlah Sakramen bagi mereka yang berada diambang kematian saja. Maka saat yang baik untuk menerimanya pasti sudah tiba, bila orang beriman mulai ada dalam bahaya maut karena menderita sakit atau sudah lanjut usia.

74.

Selain upacara Pengurapan Orang Sakit dan upacara Komuni bekal suci secara terpisah, hendaknya disusun Tata upacara berkesinambungan, yang mencantumkan penerimaan Pengurapan Orang Sakit sesudah Sakramen Tobat dan sebelum Komuni bekal suci.

75.

Jumlah pengurapan hendaknya disesuaikan dengan keadaan si penderita, dan doa-doa yang termasuk upacara Pengurapan Orang Sakit hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga cocok dengan pelbagai keadaan para penderita yang menerima Sakramen.

76. (Peninjauan kembali Sakramen Tahbisan)

Upacara Tahbisan hendaknya ditinjau kembali baik tata-laksananya maupun naskahnya. Amanat Uskup, pada awal Tahbisan imam atau Tahbisan Uskup, dapat disampaikan dalam bahasa pribumi. Dalam Tahbisan Uskup penumpangan tangan boleh dilakukan oleh semua Uskup yang hadir.

77. (Peninjauan kembali Sakramen Perkawinan)

Upacara perayaan Perkawinan, yang terdapat dalam Rituale Romawi, hendaknya ditinjau kembali dan diperkaya, sehingga lebih jelas dilambangkan rahmat Sakramen serta tugas-tugas suami – istri.
“Konsil suci sangat mengharapkan, supaya – sekiranya ada wilayah-wilayah yang dalam merayakan Sakramen Perkawinan mempunyai adat-kebiasaan atau upacara-upacara lain yang layak dipuji, – itu dipertahankan sepenuhnya”[41] .
Kecuali itu pimpinan gerejawi setempat, seperti disebut dalam art. 22, (2) Konstitusi ini, berwenang menyusun upacara khusus yang sesuai dengan adat kebiasaan daerah-daerah serta bangsa-bangsa, menurut kaidah art. 63, dengan tetap mempertahankan hukum, bahwa iman yang menjadi saksi menanyakan dan menerima persetujuan mereka yang menikah.

78.

Pada umumnya upacara perkawinan hendaknya dilangsungkan dalam Misa suci, sesudah pembacaan Injil dan Homili, sebelum Doa Umat. Doa atas mempelai wanita hendaknya, dipugar dengan baik, sehingga mencantumkan dengan jelas bahwa kedua mempelai sama-sama mempunyai kewajiban untuk saling setia. Doa itu dapat diucapkan dalam bahasa pribumi.
Tetapi bila Sakramen Perkawinan dirayakan tanpa Misa, hendaknya pada awal upacara dibacakan Epistola dan Injil Misa untuk mempelai, dan berkat mempelai hendaknya selalu diberikan.

79. (Peninjauan kembali sakramentali)

Hendaknya sakramentali ditinjau kembali dengan mengindahkan kaidah-kaidah dasar tentang keikut-sertaan kaum beriman secara sadar dan aktif dan dengan mudah, dan dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan zaman kita. Dalam meninjau kembali buku-buku Kumpulan Upacara (rituale) menurut kaidah art. 63, dapat ditambahkan juga sakramentali baru sejauh diperlukan.
Pemberkatan-pemberkatan dengan kuasa khusus hendaknya sesedikit mungkin, dan hanya diperuntukan bagi para Uskup dan pimpinan gerejawi.
Hendaknya diusahakan agar beberapa sakramentali dapat dilayani oleh para awam yang pantas untuk tugas itu, sekurang-kurangnya dalam keadaan-keadaan istimewa dan sesuai dengan kebijakan Uskup.

80. (Pengikraran kaul religius)

Upacara Prasetya para Perawan, yang terdapat dalam Pontifikale Romawi, hendaknya ditinjau kembali.
Selain itu hendaknya disusun upacara pengikraran kaul religius dan pembaharuan kaul-kaul, meningkatkan keutuhan, kesederhanaan dan keluhuran upacara. Upacara itu hendaknya dilaksanakan oleh mereka, yang mengikrarkan atau membaharui kaul-kaul dalam Misa. Hukum khas tetap dipertahankan.
Sangat dianjurkan supaya pengikraran kaul religius dilaksanakan dalam Misa.

81. (Peninjauan kembali upacara pemakaman)

Upacara pemakaman hendaknya mengungkapkan dengan lebih jelas ciri Paska kematian Kristiani, dan hendaknya lebih disesuaikan dengan situasi dan adat-istiadat masing-masing daerah, termasuk mengenai warna liturginya.

82.

Hendaknya upacara penguburan anak-anak ditinjau kembali, dan disusun rumus Misa yang khusus.

BAB EMPAT – IBADAT HARIAN

83. (Ibadat harian, karya Kristus dan Gereja)

Dengan mengenakan kodrat manusiawi, Kristus Yesus, Imam Agung Perjanjian Baru dan kekal, telah memasukkan ke dalam pengasingan di dunia ini madah, yang di sepanjang segala abad dinyanyikan di bangsal surgawi. Ia menghimpun seluruh umat manusia di sekeliling-Nya, dan mengikutsertakannya melambungkan kidung pujian ilahi-Nya.
Sebab Ia melestarikan tugas imamat-Nya itu melalui Gereja-nya. Gereja tiada putusnya memuji Tuhan dan memohonkan keselamatan seluruh dunia bukan hanya dengan merayakan Ekaristi, melainkan dengan cara-cara lain juga, terutama dengan mendoakan Ibadat Harian.

84.

Berdasarkan Tradisi kristiani yang kuno Ibadat Harian disusun sedemikian rupa, sehingga seluruh kurun hari dan malam disucikan dengan pujian kepada Allah. Adapun bila nyanyian pujian yang mengagumkan itu dilaksanakan dengan baik oleh para imam dan orang-orang lain, yang atas ketetapan Gereja ditugaskan untuk maksud itu, atau oleh Umat beriman, sambil berdoa bersama dengan Imam memakai bentuk yang telah disahkan, pada saat itu sungguh merupakan suara Sang Mempelai sendiri, yang berwawancara dengan Mempelai Pria, bahkan juga doa Kristus beserta Tubuh-Nya kepada Bapa.

85.

Maka dari itu semua orang yang mendoakan Ibadat Harian, menunaikan tugas Gereja, maupun ikut serta dalam kehormatan tertinggi Mempelai Kristus. Sebab seraya melambungkan pujian kepada Allah mereka berdiri di hadapan takhta atas nama Bunda Gereja.

86. (Nilai pastoral Ibadat Harian)

Para imam yang mengemban pelayanan pastoral yang suci, akan mendoakan Ibadat Harian dengan makin bersemangat, semakin mereka sadari secara mendalam bahwa mereka harus mematuhi nasehat Paulus: “Berdoalah tiada hentinya” (1Tes 5:17). Sebab hanya Tuhanlah yang dapat mengurniakan hasil guna dan pertumbuhan kepada karya yang mereka laksanakan, menurut sabda-Nya: “Tanpa Aku kamu tidak berbuat apa-apa” (Yoh 15:5). Maka ketika mengangkat para diakon, para Rasul berkata: “Kamu sendiri akan memusatkan pikiran pada pelayanan sabda” (Kis 6:4).

87.

Tetapi supaya dalam kenyataan sekarang ini Ibadat Harian didoakan dengan lebih baik dan lebih sempurna oleh para imam maupun para anggota Gereja lainnya, konsili suci – seraya melanjutkan pembaharuan yang telah dirintis dengan baik oleh Takhta suci – berkenan menetapkan hal-hal berikut tentang Ibadat Harian menurut Ritus Romawi.

88. (Peninjauan kembali pembagian waktu Ibadat menurut Tradisi)

Tujuan Ibadat Harian yakni pengudusan seluruh hati. Maka pembagian waktu ibadat yang kita waris hendaknya ditata kembali sedemikian rupa, sehingga ibadat-ibadat sedapat mungkin dilaksanakan pada saat yang tepat, sekaligus juga diperhitungkan situasi hidup zaman sekarang, terutama bagi mereka yang bertekun menjalankan karya-karya kerasulan.

89.

Maka penataan kembali Ibadat harian hendaknya dilaksanakan menurut kaidah-kaidah berikut:
a) menurut tradisi mulia Gereja semesta, Laudes atau Ibadat Pagi dan Vesper atau Ibadat Sore harus dipandang dan dirayakan sebagai poros rangkap Ibadat Harian, sebagai dua Ibadat yang utama;
b) Ibadat penutup (Kompletorium) hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga sungguh cocok dengan akhir hari;
c) Yang disebut Matinium, meskipun bila didaras dalam koor tetap memiliki ciri pujian malam, hendaklah disesuaikan sedemikian rupa,sehingga dapat didoakan setiap saat pada siang hari; dan jumlah mazmurnya hendaknya jangan terlalu banyak, sedangkan bacaan-bacaannya hendaknya lebih panjang;
d) Ibadat Prima hendaklah ditiadakan;
e) Dalam koor ibadat-ibadat singkat, yakni Tertia, Sexta dan Nona, hendaklah dipertahankan. Dalam pendarasan di luar koor boleh dipilih salah satu dari ketiganya, yakni yang cocok dengan saat hari yang bersangkutan.

90. (Ibadat Harian sumber kesalehan)

Kecuali itu sebagai doa resmi Gereja Ibadat Harian menjadi sumber kesalehan dan membekali doa pribadi. Oleh karena itu para imam dan semua orang lain yang ikut mendaras Ibadat Harian diminta dalam Tuhan supaya dalam melaksanakannya hati mereka berpadu dengan apa uang mereka ucapkan. Supaya itu tercapai dengan lebih baik , hendaknya mereka mengusahakan pembinaan yang lebih mendalam tentang liturgi dan Kitab suci, terutama mazmur-mazmur.
Adapun dalam melaksanakan pembaharuan hendaknya perbendaharaan Ibadat Romawi yang terpuji dan abadi itu disesuaikan sedemikian rupa, sehingga siapa saja yang mewarisinya dapat menikmatinya secara lebih leluasa dan lebih mudah.

91. (Pembagian mazmur-mazmur)

Supaya pembagian waktu Ibadat Harian, seperti telah diutarakan dalam art. 89, sungguh dapat ditepati, hendaknya mazmur-mazmur jangan lagi dibagi-bagikan dalam lingkaran satu pekan, melainkan dalam kurun waktu yang lebih lama.
Karya peninjauan kembali lingkaran mazmur, yang sudah dirintis dengan begitu baik, hendaknya disesuaikan selekas mungkin. Hendaklah diperhatikan gaya bahasa Latin Kristiani, pemakiannya dalam liturgi, juga dalam nyayian, dan seluruh tradisi Gereja Latin.

92. (Penyusunan bacaan-bacaan)

Mengenai bacaan-bacaan hendaklah dijalankan hal-hal berikut:
a) Bacaan-bacaan Kitab suci hendaknya disusun sedemikian rupa, sehingga harta kekayaan sabda ilahi dengan mudah tersedia dalam kelimpahannya yang lebih penuh;
b) Bacaan-bacaan dari karya para Bapa dan para Pujangga Gereja serta dari Pengarang gerejawi hendaknya dipilih dengan lebih baik;
c) Kisah para Martir atau riwayat para Kudus hendaknya disesuaikan dengan kebenaran sejarah.

93. (Peninjauan kembali madah-madah)

Bila dirasa berguna, hendaknya madah-madah dikembalikan kepada bentuknya yang asli, dengan meniadakan atau mengubah apa yang berbau mitologi atau kurang selaras dengan kesalehan kristiani. Bila dipandang sesuai, hendaknya ditampung juga madah-madah yang terdapat dalam perbendaharaan madah.

94. (Saat mendoakan Ibadat Harian)

Supaya seluruh hari sungguh disucikan, dan Ibadat Harian didaras dengan penuh buah rohani, lebih baiklah bahwa untuk menunaikan iba dat-ibadat diambil saat, yang paling dekat dengan yang sesungguhnya bagi setiap ibadat kanonik.

95. (Kewajiban mendoakan Ibadat Harian)

Komunitas-komunitas yang terikat kewajiban doa koor, disamping mengadakan Misa komunitas, setiap hari wajib merayakan Ibadat Harian dalam koor. Khususnya:
a) Dewan Pembantu Uskup, para rahib dan rubiah, serta para imam biarawan lainya, yang terikat pada Ibadat Harian bersama menurut hukum atau konstitusi tarekat, wajib mendoakan seluruh Ibadat Harian;
b) Dewan para imam katedral atau para penasehat Uskup wajib mendoakan bagian-bagian Ibadat Harian, yang diwajibkan berdasarkan hukum umum atau hukum khusus;
c) Semua anggota komunitas-komunitas itu, yang telah menerima Tahbisan tinggi, atau sudah mengikrarkan kaul-kaul meriah, kecuali para bruder, wajib mendaras sendiri bagian-bagian Ibadat Harian yang tidak mereka doakan dalam koor.

96.

Para rohaniwan (klerus), yang tidak terikat kewajiban doa koor, bila sudah menerima Tahbisan tinggi, setiap hari wajib mendoakan seluruh Ibadat Harian, entah secara bersama, entah sendiri-sendiri, menurut kaidah art. 89.

97.

Hendaknya ada rubrik yang menetapkan, kapan ibadat harian seyogyanya diganti dengan kegiatan liturgis lain. Bila ada hal-hal khusus dan ada alasan yang memadai, Uskup dapat membebaskan bawahannya dari kewajiban mendoakan Ibadat Harian seluruhnya atau sebagian, atau menggantinya dengan kewajiban lain.

98. (Pujian kepada Allah dalam tarekat-tarekat relegius)

Para anggota setiap Tarekat status kesempurnaan, yang berdasarkan Konstitusi mendoakan beberapa bagian Ibadat Harian, melaksanakan doa resmi Gereja.
Begitu pula mereka melakukan doa resmi Gereja, bila berdasarkan Konstitusi mendaras suatu Ofisi singkat, asal Ofisi itu disusun menurut pola Ibadat Harian dan disahkan menurut hukum.

99. (Ibadat Harian bersama)

Ibadat harian merupakan suara Gereja atau segenap Tubuh mistik yang memuji Allah secara resmi. Maka dianjurkan supaya para rohaniwan yang tidak terikat kewajiban doa koor, pun terutama para imam yang hidup bersama atau sedang bersidang, sekurang-kurangnya mendoakan bersama suatu bagian Ibadat Harian.
Semua saja yang mendoakan Ibadat Harian dalam koor atau hanya bersama, hendaklah menunaikan tugas yang dipercayakan kepada mereka itu sesempurna mungkin, baik dengan sikap batin yang saleh, maupun dengan penampilan yang khidmat.
Selain itu lebih baiklah, bahwa – bila keadaan mengizinkan – Ibadat Harian dinyayikan dalam koor maupun secara bersama.

100. (Keikut-sertaan Umat beriman)

Para gembala jiwa hendaknya berusaha, supaya ibadat-ibadat pokok, terutama Ibadat Sore, pada hari Minggu dan hari-hari raya yang lebih meriah dirayakan bersam di gereja. Dianjurkan agar para awam pun mendaras Ibadat Harian, entah bersama para imam, entah antar mereka sendiri, atau bahkan secara perorangan.

101. (Bahasa)

(1) Sesuai dengan tradisi Ritus Latin yang sudah berabad-abad, hendaknya dalam Ibadat Harian dipertahankan bahasa Latin bagi kaum rohaniwan. Namun dalam hal-hal tertentu Uskup berwenang mengizinkan penggunaan terjemahan dalam bahasa pribumi menurut kaidah art. 36, bagi para rohaniwan, yang dengan memakai bahasa Latin mengalami hambatan berat untuk mendoakan Ibadat Harian sebagaimana mestinya.
(2) Para rubiah, begitu pula para anggota Tarekat-tarekat hidup membiara, baik pr ia bukan rohaniwan maupun wanita, dapat diizinkan oleh Pembesar yang berwenang untuk mendoakan Ibadat Harian, juga dalam koor, dalam bahasa pribumi, asal terjemahan itu sudah disahkan.
(3) Setiap rohaniwan yang wajib mendoakan Ibadat Harian, bila bersama dengan jemaat beriman, atau bersama dengan mereka yang disebutkan pada (2), merayakan Ibadat itu dalam bahasa pribumi, sudah memenuhi kewajibannya, asal naskah terjemahannya sudah disahkan.

BAB LIMA – TAHUN LITURGI

102. (Makna tahun liturgi)

Bunda Gereja yang penuh kasih memandang sebagai tugasnya: pada hari-hari tertentu di sepanjang tahun merayakan karya penyelamatan Mempelai ilahinya dengan kenangan suci. Sekali seminggu, pada hari yang disebut Hari Tuhan, Gereja mengenangkan Kebangkitan Tuhan, yang sekali setahun, pada hari raya agung Paska, juga dirayakannya bersama dengan Sengsara-Nya yang suci.
Namun selama kurun waktu setahun Gereja memaparkan seluruh misteri Kristus, dari Penjelmaan serta Kelahiran-Nya hingga Kenaikan-Nya, sampai hari Pentakosta dan sampai penantian kedatangan Tuhan yang bahagia dan penuh harapan.
Dengan mengenangkan misteri-misteri Penebusan itu Gereja membuka bagi kaum beriman kekayaan keutamaan serta pahala Tuhan-nya sedemikian rupa, sehingga rahasia-rahasia itu senantiasa hadir dengan cara tertentu. Umat mencapai misteri-misteri itu dan dipenuhi dengan rahmat keselamatan.

103.

Dalam merayakan lingkaran tahunan misteri-misteri Kristus itu Gereja suci menghormati Santa Maria Bunda Allah dengan cinta kasih yang istimewa, karena secara tak terceraikan terlibat dalam karya penyelamatan Puteranya. Dalam diri Maria Gereja mengagumi dan memuliakan buah Penebusan yang serba unggul, dan dengan gembira merenungkan apa yang sepenuhnya dicita-citakan dan didambakan sendiri bagaikan dalam citra yang paling jernih.

104.

Selain itu Gereja menyisipkan kenangan para Martir dan para Kudus lainnya ke dalam lingkaran tahun liturgi. Berkat rahmat Allah yang bermacam-macam mereka telah mencapai kesempurnaan dan memperoleh keselamatan kekal, dan sekarang melambungkan pujian sempurna kepada Allah di surga, serta menjadi pengantara kita. Sebab dengan mengenangkan hari kelahiran para Kudus (di surga) Gereja mewartakan misteri Paska dalam diri para Kudus yang telah menderita dan dimuliakan bersama Kristus. Gereja menyajikan kepada kaum beriman teladan mereka, yang menarik semua orang kepada Bapa melalui Kristus, dan karena pahala-pahala mereka, yang menarik semua orang kepada Bapa melalui Kristus, dan karena pahala-pahala mereka Gereja memohonkan karunia-karunia Allah.

105.

Akhirnya dalam berbagai masa sepanjang tahun, menganut adat-istiadat yang diwariskan, Gereja menyempurnakan pembinaan Umat beriman, melalui kegiatan-kegiatan kesalehan yang bersifat rohani maupun jasmani, pengajaran, doa permohonan, ulah tobat dan amal belas kasihan.
Oleh karena itu Konsili suci berkenan menetapkan pokok-pokok berikut.

106. (Makna hari Minggu ditekankan lagi)

Berdasarkan Tradisi para Rasul yang berasal mula pada hari Kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau hari Minggu. Pada hari itu Umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan sabda Allah dan ikut-serta dalam perayaan Ekaristi, dan dengan demikian mengenangkan Sengsara, Kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat Kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati (1Ptr 1:3). Demikianlah hari Minggu itu pangkal segala hari pesta. Hari itu hendaknya dianjurkan dan ditandaskan bagi kesalehan kaum beriman, sehingga juga menjadi hari kegembiraan dan bebas dari kerja. Kecuali bila memang sungguh sangat penting, perayaan-perayaan lain jangan diutamakan terhadap Minggu, sebab perayaan Minggu memang merupakan dasar dan inti segenap tahun liturgi.

107. (Peninjauan kembali tahun liturgi)

Tahun liturgi hendaknya ditinjau kembali sedemikian rupa, sehingga kebiasaan-kebiasaan dan tata-tertib masa-masa suci yang sudah turun-temurun tetap dipelihara, atau dikembalikan sesuai dengan keadaan zaman sekarang, namun cirinya yang asli tetap dipertahankan, untuk sungguh-sungguh memupuk kesalehan kaum beriman dalam merayakan misteri-misteri Penebusan kristiani, terutama misteri Paska. Sekiranya diperlukan penyesuaian-penyesuaian menurut situasi setempat hendaknya itu dijalankan menurut kaidah art. 39 dan 40.

108.

Perhatian kaum beriman hendaknya pertama-tama diarahkan kepada hari-hari raya Tuhan, sebab pada hari-hari itulah dirayakan mister-misteri keselamatan sepanjang tahun. Maka dari itu Masa liturgi sepanjang tahun hendaklah diberi tempat yang serasi, dan didahulukan terhadap pesta-pesta para Kudus, supaya seluruh lingkaran misteri-misteri keselamatan dikenangkan sebagaimana mestinya.

109. (Masa Prapaska)

Hendaklah baik dalam liturgi maupun dalam katekese liturgis ditampilkan lebih jelas dua ciri khas mas “empat puluh hari”[42] , yakni terutama mengenangkan atau menyiapkan Baptis dan membina pertobatan. Masa itu secara lebih intensif mengajak Umat beriman untuk mendengarkan sabda Allah dan berdoa, dan dengan demikian menyiapkan mereka untuk merayakan misteri Paska. Maka dari itu: a) Unsur-unsur liturgi empat puluh hari yang berkenaan dengan Baptis hendaknya dimanfaatkan secara lebih luas; bila dipandang bermanfaat, hendaknya beberapa unsur dari Tradisi zaman dahulu dikembalikan; b) Hal itu berlaku juga bagi unsur-unsur yang menyangkut pertobatan Mengenai katekese hendaknya ditanamkan dalam hati kaum beriman baik dampak sosial dosa, maupun hakikat khas pertobatan, yakni menolak dosa sebagai penghinaan terhadap Allah; jangan pula diabaikan peran Gereja dalam tindak pertobatan, dan hendaknya doa-doa untuk para pendosa sangat dianjurkan.

110.

Pertobatan selama masa empat puluh hari hendaknya jangan hanya bersifat batin dan perorangan, melainkan hendaknya bersifat lahir dan sosial kemasyarakatan. Adapun praktek pertobatan, sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan zaman kita sekarang dan pelbagai daerah pun juga dengan situasi Umat beriman, hendaknya makin digairahkan, dan dianjurkan oleh pimpinan gerejawi seperti disebut dalam artikel 22.
Namun puasa Paska hendaknya dipandang keramat, dan dilaksanakan di mana-mana pada hari Jumat kengan Sengsara dan Wafat Tuhan, dan bila dipandang berfaedah, diteruskan sampai Sabtu suci, supaya dengan demikian hati kita terangkat dan terbuka, untuk menyambut kegembiraan hari Kebangkitan Tuhan.

111. (Pesta para Kudus)

Menurut Tradisi para Kudus dihormati dalam Gereja, dan relikwi asli serta gambar dan arca mereka mendapat penghormatan. Pesta para Kudus mewartakan karya-karya agung Kristus dalam diri para hamba-Nya dan menyajikan kepada Umat beriman teladan-teladan yang patut ditiru. Agas pesta para Kudus jangan diutamakan terhadap hari-hari raya uang merupakan kenangan misteri-misteri keselamatan sendiri, hendaknya banyak di antaranya diserahkan perayaannya kepada masing-masing Gereja khusus atau bangsa atau Tarekat religius. Hendaknya yang dirayakan oleh seluruh Gereja hanyalah pesta-pesta, yang mengenangkan para Kudus yang sungguh-sungguh penting bagi Gereja semesta.

BAB ENAM – MUSIK LITURGI

112. (Martabat musik Liturgi)

Tradisi musik Gereja semesta merupakan kekayaan yang tak terperikan nilainya, lebih gemilang dari ungkapan-ungkapan seni lainnya, terutama karena nyanyian suci yang terikat pada kata-kata merupakan bagian liturgi meriah yang penting atau integral.
Ternyata lagu-lagu ibadat sangat dipuji baik oleh Kitab suci[43] , maupun oleh para Bapa Gereja; begitu pula oleh para Paus, yang – dipelopori oleh Santo Pius X, -akhir-akhir ini semakin cermat menguraikan peran serta musik liturgi mendukung ibadat Tuhan.
Maka musik liturgi semakin suci, bila semakin erat hubungannya dengan upacara ibadat, entah dengan mengungkapkan doa-doa secara lebih mengena, entah dengan memupuk kesatuan hati, entah dengan memperkaya upacara suci dengan kemeriahan yang lebih semarak. Gereja menyetujui segala bentuk kesenian yang sejati, yang memiliki sifat-sifat menurut persyaratan liturgi, dan mengizinkan penggunaannya dalam ibadat kepada Allah.
Maka dengan mengindahkan kaidah-kaidah serta peraturan-peraturan menurut Tradisi dan tertib gerejawi, pun dengan memperhatikan tujuan musik liturgi, yakni kemuliaan Allah dan pengudusan Umat beriman, Konsili suci menetapkan hal-hal berikut.

113. (Liturgi meriah)

Upacara liturgi menjadi lebih agung, bila ibadat kepada Allah dirayakan dengan nyanyian meriah, bila dilayani oleh petugas-petugas liturgi, dan bila Umat ikut serta secara aktif,
Mengenai bahasa yang harus dipakai hendaknya dipatuhi ketentuan-ketentuan menurut art. 36; mengenai Misa suci lihat art. 54; mengenai Sakramen-sakramen lihat art. 63; mengenai Ibadat Harian lihat art. 101.

114.

Khazanah musik liturgi hendaknya dilestarikan dan dikembangkan secermat mungkin. Paduan suara hendaknya dibina dengan sungguh-sungguh, terutama di gereja-gereja katedral. Para Uskup dan para gembala jiwa lainnya hendaknya berusaha dengan tekun, supaya pada setiap upacara liturgi yang dinyanyikan segenap jemaat beriman dapat ikut serta secara aktif dengan membawakan bagian yang diperuntukkan bagi mereka, menurut kaidah art. 28 dan 30.

115. (Pendidikan musik)

Pendidikan dan pelaksanaan musik hendaknya mendapat perhatian besar di Seminari-seminari, di novisiat-novisiat serta rumah-rumah pendidikan para religius wanita maupun pria, pun juga di lembaga-lembaga lainnya dan di sekolah-sekolah katolik. Untuk melaksanakan pendidikan seperti itu hendaknya para pengajar musik liturgi disiapkan dengan saksama.
Kecuali itu dianjurkan, supaya – bila keadaan mengizinkan – didirikan Lembaga-lembaga musik liturgi tingkat lebih lanjut.
Para pengarang lagu dan para penyanyi, khususnya anak-anak, hendaknya mendapat kesempatan kesempatan untuk pembinaan liturgi yang memadai.

116. (Nyanyian Gregorian dan Polifoni)

Gereja memandang nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas bagi liturgi Romawi. Maka dari itu – bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting – nyanyian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara liturgi.
Jenis-jenis lain musik liturgi, terutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara liturgi, menurut ketentuan pada art. 30.

117. (Penerbitan buku-buku nyanyian Gregorian)

Hendaknya terbitan, otentik buku-buku nyanyian Gregorian diselesaikan. Di samping itu hendaknya disiapkan terbitan lebih kritis buku-buku yang telah diterbitkan sesudah pembaharuan oleh Santo Pius X.
Berfaedah pula bila disiapkan terbitan yang mencantumkan lagu-lagu yang lebih sederhana, untuk dipakai dalam gereja-gereja kecil.

118. (Nyanyian rohani umat)

Nyanyian rohani Umat hendaknya dikembangkan secara ahli, sehingga kaum beriman dapat bernyanyi dalam kegiatan-kegiatan devosional dan perayaan-perayaan ibadat, menurut kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan rubrik.

119. (Musik Liturgi di daerah-daerah Misi)

Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah Misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka, maupun dalam menyelesaikan ibadat dengan sifat-perangai mereka, menurut maksud art. 39 dan 40.
Maka dari itu dalam pendidikan musik bagi para misionaris hendaknya sungguh diusahakan, supaya mereka sedapat mungkin mampu mengembangkan musik tradisional bangsa-bangsa itu di sekolah-sekolah maupun dalam ibadat.

120. (Orgel dan alat-alat musik lainnya)

Dalam Gereja Latin orgel pipa hendaknya dijunjung tinggi sebagai alat musik tradisional, yang suaranya mampu memeriahkan upacara-upacara Gereja secara mengagumkan, dan mengangkat hati Umat kepada Allah dan ke surga.
Akan tetapi, menurut kebijaksanaan dan dengan persetujuan pimpinan gerejawi setempat yang berwenang, sesuai dengan kaidah art. 22 (2), 37 dan 40, alat-alat musik lain dapat juga dipakai dalam ibadat suci, sejauh memang cocok atau dapat disesuaikan dengan penggunaan dalam liturgi, sesuai pula dengan keanggunan gedung gereja, dan sungguh membantu memantapkan penghayatan Umat beriman.

121. (Panggilan para pengarang musik)

Dipenuhi semangat kristiani, hendaknya para seniman musik menyadari, bahwa mereka dipanggil untuk mengembangkan musik liturgi dan memperkaya khazanahnya.
Hendaklah mereka mengarang lagu-lagu, yang mempunyai sifat-sifat musik liturgi yang sesungguhnya, dan tidak hanya dapat dinyanyikan oleh paduan-paduan suara yang besar, melainkan cocok juga bagi paduan-paduan suara yang kecil, dan mengembangkan keikutsertaan aktif segenap jemaat beriman.
Syair-syair bagi nyanyian liturgi hendaknya selaras dengan ajaran Katolik, bahkan terutama hendaklah ditimba dari Kitab suci dan sumber-sumber liturgi.

BAB TUJUH – KESENIAN RELIGIUS DAN PERLENGKAPAN IBADAT

122. (Martabat kesenian religius)

Pada budidaya rohani manusia yang paling luhur sangat wajarlah digolongkan seni indah, terutama kesenian religius beserta puncaknya, yakni kesenian liturgi. Pada hakikatnya kesenian liturgi itu dimaksudkan untuk dengan cara yang tak terperikan dalam karya manusia. Lagi pula semakin dikhususkan bagi Allah dan untuk memajukan puji-syukur serta kemuliaan-Nya, karena tiada tujuannya yang lain kecuali untuk dengan buah-hasilnya membantu manusia sedapat mungkin mengangkat hatinya kepada Allah.
Maka dari itu Bunda Gereja yang mulia senantiasa bersikap terbuka terhadap seni indah. Gereja selalu berusaha menemukan pelayanannya yang luhur, terutama supaya perlengkapan ibadat suci sungguh menjadi layak, indah dan permai, merupakan tanda dan lambang kenyataan surgawi; dan untuk itu Gereja selalu membina para seniman. Bahkan tepatlah Gereja selalu memandang diri berhak menilai seni indah, dan menetapkan manakah di antara karya para seniman yang selaras dengan iman, ketaqwaan dan hukum-hukum keagamaan yang tradisional, serta yang cocok untuk digunakan dalam ibadat.
Secara istimewa Gereja mengusahakan, supaya perlengkapan ibadat secara layak dan indah menyemarakkan ibadat, dengan mengizinkan dalam bahan, bentuk atau motif hiasan perubahan-perubahan, yang berkat kemajuan tehnik muncul di sepanjang sejarah.
Maka mengenai hal-hal itu para Bapa Konsili berkenan menetapkan pokok-pokok berikut.

123. (Corak-corak artistik)

Gereja tidak menganggap satu corak kesenian pun sebagai khas bagi dirinya. Melainkan seraya memperhatikan sifat-perangai dan situasi para bangsa dan kebutuhan-kebutuhan pelbagai Ritus Gereja menyambut baik bentuk-bentuk kesenian setiap zaman, serta mengusahakan agar di sepanjang zaman khazanah kesenian dikelola dengan cermat. Juga kesenian zaman kita sekarang, pun kesenian semua bangsa dan daerah, hendaknya diberi keleluasaan dalam Gereja, asal dengan khidmat dan hormat sebagaimana harusnya mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan hormat sebagaimana harusnya mengabdi kepada kesucian gereja-gereja dan ritus-ritus. Dengan demikian kesenian diharapkan dapat menggabungkan suaranya pada kidung pujian yang mengagumkan, yang di masa lampau oleh para seniman yang ulang telah dianjungkan kepada imam katolik.

124.

Dalam memajukan dan mendukung kesenian ibadat para pemimpin Gereja hendaknya berusaha memperhatikan pertama-tama keindahan yang luhur dan bukan kemewahan. Itu hendaknya berlaku juga bagi busana dan hiasan-hiasan untuk ibadat.
Hendaknya para Uskup sungguh berusaha untuk mencegah, jangan sampai rumah-rumah Allah dan tempat-tempat ibadat lainnya kemasukan karya-karya para seniman, yang bertentangan dengan iman serta kesusilaan dan dengan kesalehan kristiani, ataupun menyinggung cita-rasa keagamaan yang sejati entah karena bentuknya serba jelek, entah karena kurangnya mutu seni, entah karena hanya setengah-setengah atau tiruan belaka. Dalam mendirikan gereja-gereja hendaknya diusahakan dengan saksama, supaya gedung-gedung itu memadai untuk menyelenggarakan upacara-upacara liturgi dan memungkinkan Umat beriman ikut-serta secara aktif.

125. (Gambar-gambar dan patung-patung)

Kebiasaan menempatkan gambar-gambar atau patung-patung kudus dalam gereja untuk dihormati oleh kaum beriman hendaknya dilestarikan. Tetapi jumlahnya jangan berlebih-lebihan, dan hendaknya disusun dengan laras, supaya jangan terasa janggal oleh Umat kristiani, dan jangan memungkinkan timbulnya devosi yang kurang kuat.

126.

Untuk menilai karya-karya seni hendaknya para Uskup mendengarkan Panitia keuskupan untuk Kesenian liturgi, dan – bila perlu – juga pakar-pakar lain, serta Panitia-panitia yang disebut dalam art. 44, 45, 46.
Hendaknya para Pimpinan Gereja menjaga dengan saksama, jangan sampai perlengkapan ibadat atau karya-karya seni, yang merupakan hiasan rumah Allah, dipindah-tangankan atau rusak.

127. (Pembinaan para seniman)

Hendaknya para Uskup – entah mereka sendiri, atau melalui imam yang cocok untuk tugas itu, mahir dan mempunyai minat besar terhadap kesenian, – memberi perhatian kepada para seniman, supaya mereka diresapi semangat kesenian ibadat dan liturgi suci.
Selain itu dianjurkan, supaya di daerah-daerah yang kiranya memerlukannya didirikan sekolah-sekolah atau akademi-akademi kesenian ibadat untuk membina para seniman.
Semua seniman, yang terdorong oleh bakat mereka bermaksud mengabdikan diri kepada kemuliaan Allah dalam Gereja suci hendaknya selalu ingat, bahwa mereka dipanggil untuk dengan cara tertentu meneladan Allah Pencipta, dan menghadapi karya-karya yang dikhususkan bagi ibadat katolik, bagi pembinaan serta ketaqwaan Umat beriman, dan bagi pendidikan keagamaan mereka.

128. (Peninjauan kembali peraturan tentang kesenian ibadat)

Bersama dengan peninjauan kembali buku-buku liturgi menurut kaidah art. 25, hendaknya Hukum serta ketetapan-ketetapan Gereja mengenai benda-benda perlengkapan ibadat pun selekas mungkin ditinjau kembali. Adapun peraturan-peraturan itu terutama menyangkut pembangunan rumah-rumah ibadat yang pantas dan cocok, mengenai bentuk dan pembuatan altar, mengenai keanggunan, penempatan serta keamanan tabernakel untuk Ekaristi suci, mengenai letak panti Baptis yang baik dan kelayakannya, begitu pula mengenai cara memperlakukan dengan tepat gambar-gambar atau patung-patung kudus, hiasan maupun pajangan. Apa saja yang kiranya kurang cocok dengan liturgi baru hendaknya diperbaiki atau ditiadakan. Sedangkan apapun yang memajukannya dilestarikan atau ditambahkan.
Dalam hal itu, terutama berkenaan dengan bahan dan bentuk perlengkapan serta pakaian ibadat, diberikan wewenang kepada Konferensi Uskup se-wilayah, untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan serta adat-istiadat setempat, menurut kaidar art. 22 Konferensi ini.

129. (Pembinaan kesenian bagi kaum rohaniwan)

Selama menekuni studi filsafat dan teologi, para rohaniwan hendaknya mendapat pelajaran tentang sejarah kesenian gerejawi serta perkembangannya, pun juga tentang azaz-azaz yang sehat, yang harus mendasari karya-karya kesenian itu. Dengan demikian mereka akan menghargai dan menjaga lestarinya peninggalan-peninggalan Gereja yang terhormat, dan akan mampu memberi nasehat-nasehat yang cocok kepada para seniman untuk mengerjakan karya mereka.

130. (Penggunaan lambang-lambang jabatan Uskup)

Sudah sepantasnyalah lambang-lambang jabatan Uskup hanya boleh dikenakan oleh para rohaniwan yang ditandai oleh materai episkopal, atau mempunyai suatu yurisdiksi istimewa.

LAMPIRAN – PERNYATAAN KONSILI EKUMENIS VATIKAN II TENTANG PENINJAUAN KEMBALI PENANGGALAN LITURGI

Banyaklah jumlah mereka yang berhasrat, agar hari raya Paska ditetapkan pada hari Minggu tertentu, dan disusun penanggalan liturgi yang tetap. Konsili Ekumenis Vatikan II menilai hasrat itu sangat penting, dan telah mempertimbangkan dengan cermat semua akibat yang mungkin timbul bila penanggalan baru itu mulai digunakan. Maka Konsili menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
1. Konsili suci tidak berkeberatan, bahwa hari raya Paska ditetapkan pada hari Minggu tertentu dalam Penanggalan Gregorian, asal mereka yang berkepentingan menyetujuinya, terutama para saudara yang berada di luar persekutuan dengan Takhta Apostolik.
2. Begitu pula Konsili suci menyatakan dirinya tidak berkeberatan terhadap usaha-usaha yang telah dirintis, untuk mengadakan penanggalan tetap dalam masyarakat sipil.
Akan tetapi di antara pelbagai sistem, yang dipikirkan untuk menciptakan penanggalan yang tetap dan memberlakukannya bagi masyarakat sipil, yang tidak ditentang oleh Gereja hanyalah sistem-sistem, yang melestarikan serta mempertahankan pekan dengan tujuh hari termasuk hari Minggu, tanpa menyisipkan hari-hari lain di luar pekan itu, sehingga rangkaian pekan-pekan tetap terpelihara seutuhnya kecuali bila ada alasan-alasan yang sungguh berat. Mengenai hal itu Takhta Apostolik lah yang akan mengambil keputusan.
Semua itu dan setiap hal yang dinyatakan dalam Konstitusi ini telah berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Adapun Kami, dengan kuasa kerasulan yang diserahkan Kristus kepada Kami, bersama dengan para Bapa yang terhormat, mengesahkan, menetapkan serta mengundangkannya dalam Roh Khusus. Dan Kami memerintahkan, agar apa yang telah ditetapkan bersama dalam Konsili ini diumumkan demi kemuliaan Allah.
Roma, di Gereja Santo Petrus, tanggal 4 Desember tahun 1963
Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)
——————————

[1] Doa persembahan pada hari Minggu IX sesudah Pentakosta.

[2] Lih. Ibr 13:14.

[3] Lih. Ef 2:21-22.

[4] Lih. Ef 4:13.

[5] Lih. Yes 11:12.

[6] Lih. Lih. Yoh 11:52.

[7] Lih. Yoh 10:16.

[8] Lih. Yes 61:1; Luk 4:18.

[9] S. IGNASIUS Martir, Surat kepada Jemaat di Efesus, 7,2:FUNK I, 218.

[10] Lih. 1 Tim 2:5.

[11] Tata-upacara sakramen dari Verona (Sacramentarium Veronense/Leonianum): MOHLBERG, Roma 1956, n. 1265, hlm.162.

[12] Prefasi pada hari Raya Paska dalam Misal Romawi.

[13] Lih. Doa sesudah bacaan kedua pada malam Paska menurut Misal Romawi, sebelum pembaharuan Pekan Suci.

[14] Lih. Mrk 16:15.

[15] Lih. Kis 26:18.

[16] Lih. Rom 6:4; Ef 2:6; Kol 3:1; 2Tim 2:11.

[17] Lih. Yoh 4:23.

[18] Lih. 1Kor 11:26.

[19] KONSILI TRENTE, Sidang 13, 11 Oktober 1551, Dekrit tentang Ekaristi Suci, bab 5: CONCILIUM TRIDENTINUM, Diariorum, Actorum, Epistolarum, Tractatuum nova collectio, terb. Soc. Gorresiana, jilid VIII, Actorum, bagian IV Freiburg im Breisgau, 1961,hlm.202.

[20] KONSILI TRENTE, Sidang XXII, 17 September 1562: Ajaran tentang kurban Misa suci, Bab 2: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutib, jilid VIII, Actorum, bagian V, Freiburg im Breisgau 1919, hlm. 960.

[21] Lih. S. AGUSTINUS, Tentang Injil Yohanes, Tractat VI, I, 7: PL 35,1428.

[22] Lih. Why 21:2; Kol 3:1; Ibr 8:2.

[23] Lih. Flp 3:20; Kol 3:4.

[24] Lih. Yoh 17:3; Luk 24:27; Kis 2:38.

[25] Lih. Mat 28:20.

[26] Doa Penutup pada malam pasaka dan hari Minggu Paska.

[27] Doa Pembukaan pada hari Selasa dalam Pekan Paska.

[28] Lih. 2Kor 6:1.

[29] Lih. Mat 6:6.

[30] Lih. 1Tes 5:17.

[31] Lih. 2Kor 4:10-11.

[32] Doa Persembahan pada hari Senin dalam Pekan Pentekosta.

[33] S. SIPRIANUS, Tentang Kesatuan Gereja Katolik, 7: CSEL (HARTEL) III, 1, hlm.215-216. Lih. Surat 66, n. 8,3: CSEL III, 2, hlm. 732-733.

[34] Lih. KONSILI TRENTE, Sidang 22, 17 September 1562, Ajaran tentang Kurban Misa, bab 8: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutib, VIII, 961.

[35] Lih. S. IGNATIUS Martir, Surat kepada jemaat di Magnesia 7; kepada jemaat di Filipi 4; kepada jemaat di Smirna 8: FUNK 1, 236, 266, 281.

[36] Lih. S. AGUSTINUS, Tentang Injil Yohanes, Traktat XXVI, VI, 13: PL 35, 1613.

[37] Brevir Romawi, pada hari raya Tubuh Kristus yang mahakudus, Ibadat sore II antifon pada Magnificat.

[38] Lih. S. SIRILUS dari Iskandaria, Komentar pada Injil Yohanes, Jilid XI, bab XI-XII: PG 74, 557-564.

[39] Lih. Tim 2:1-2.

[40] Lih. KONSILI TRENTE, Sidang XXI, 16 Juli 1562, Ajaran tentang Komuni dua rupa dan Komuni kanak-kanak, bab I-3: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutip, VIII, 698-699.

[41] KONSILI TRENTE, Sidang XXIV, 11 November 1563, Tentang Pembaharuan, bab I: CONCILIUM TRIDENTINUM, terbitan yang telah dikutip IX, Acta bagian VI, Freibureg im Breisgau 1924, hlm. 969. Lih Rituale Romanum, judul VIII, bab II n. 6.

[42] Istilah latin: tempus quadragesimale secara harafiah berarti “masa empat puluh hari”; dulu diartikan sebagai “masa Puasa”; sekarang diistilahkan “masa Prapaska”.

[43] Lih. Ef 5:19; Kol 3:16.