Pendahuluan

Mungkin anda sudah pernah mendengar … ini cerita tentang keledai yang ditunggangi oleh Yesus sewaktu Dia di-elu-elukan di Yerusalem. Kita semua mengetahui bahwa pada saat itu orang-orang memuja dan meninggikan Yesus, mereka menghamparkan pakaian mereka di jalan dan menyambut Yesus dengan daun-daun Palma. Tapi si keledai berpikir bahwa pujian itu ditujukan kepadanya. Kepalanya ditegakkan, dan dengan senyum ‘cengar-cengir’-nya dia seolah berkata, “Lihatlah kepadaku, si keledai ayu!” Begitulah kira-kira jika kita tidak rendah hati: kita menganggap diri layak untuk mendapat pujian, padahal pujian itu sesungguhnya adalah milik Allah.

Kerendahan hati adalah dasar Spiritualitas Kristiani

Kerendahan hati adalah salah satu dari nilai-nilai dasar Spiritualitas Kristiani. Santo Agustinus mengatakan bahwa kerendahan hati adalah jalan yang pasti membawa seseorang kepada Tuhan.[1] Santo Agustinus bahkan mengatakan, pertama-tama, kerendahan hati, kemudian, kerendahan hati, dan yang terakhir, kerendahan hati; untuk menekankan pentingnya kerendahan hati untuk mencapai kesempurnaan rohani.[2] Dalam spiritualitas, kesempurnaan berarti kekudusan, sehingga untuk menjadi kudus, kita harus pertama-tama menjadi orang yang rendah hati. Kerendahan hati adalah dasar dari semua kebajikan yang lain,[3] sebab tanpa kerendahan hati, kita tidak dapat sungguh-sungguh memiliki kebajikan-kebajikan yang lain. Kerendahan hati juga disebut sebagai ‘ibu’ dari semua kebajikan, sebab ia melahirkan ketaatan, takut akan Tuhan, dan penghormatan kepada-Nya, kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan dan damai. [4]

Kerendahan hati dan kekudusan adalah yang dikehendaki Allah bagi kita

Tuhan Yesus menghendaki agar kita belajar daripadaNya kelemahlembutan dan kerendahan hati (Mat 11:29). Ia juga mengajarkan pada kita untuk mengejar kesempurnaan, yaitu kekudusan (Im 19:2; Mat 5:48). Panggilan untuk hidup kudus inilah yang diserukan oleh Konsili Vatikan II, yang dijelaskan secara mendalam pada Lumen Gentium (Konstitusi Dogmatik tentang Gereja) Bab V. Kekudusan dimaksudkan untuk semua orang, tidak saja untuk para religius; dan untuk mencapai kesempurnaannya, kita harus memulai dari langkah pertama, yaitu kerendahan hati.

Kerendahan hati adalah lawan dari kesombongan yang menjadi dosa pertama dari manusia pertama. Kesombongan adalah sikap ‘menolak’ karunia Allah, seperti kita lihat pada kisah Adam dan Hawa (Kej 2:8-3:14), sedangkan kerendahan hati adalah sikap yang diperlukan untuk menerima karunia Allah. Alkitab berkata, “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihi orang yang rendah hati” (1 Pet 5:5). Kerendahan hati ini begitu penting bagi Allah, sehingga menempati urutan pertama dari Delapan Sabda Bahagia: Berbahagialah orang-orang yang miskin hatinya, karena merekalah yang memiliki Kerajaan Surga (Mat 5:3; KGK 2546). Mereka yang rendah hati, yang dimurnikan dan diterangi Roh Kudus, adalah orang-orang yang siap untuk menerima karunia-karunia Roh Kudus untuk maksud perutusan (lih. KGK 716).

Apa itu kerendahan hati?

Kerendahan hati atau ‘humility‘ berasal dari kata ‘humus‘ (Latin), artinya tanah/ bumi.[5] Jadi, kerendahan hati maksudnya adalah menempatkan diri ‘membumi’ ke tanah. Secara khusus pada Rabu Abu, Gereja mengingatkan kita akan hal ini: “Ingatlah bahwa kamu adalah debu, dan kamu akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19) Betapa dalamnya makna perkataan ini, dan jika kita renungkan, kita akan semakin mengenal diri kita yang sesungguhnya.

1. Kerendahan hati= nilai yang diperoleh dari penghormatan kepada Tuhan

Dalam kehidupan rohani Kristiani, kerendahan hati diartikan sebagai ‘nilai yang diperoleh dari penghormatan yang dalam kepada Tuhan.’ Hal ini melibatkan pengenalan akan ‘tempat’ kita yang sebenarnya dalam hubungan dengan Allah sebagai Pencipta dan dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain, [6] dan sikap ini menentukan perbuatan kita. Kerendahan hati juga mengantar kita untuk mengakui bahwa kita dan segala ciptaan di dunia ini bukan apa-apa di hadapan Tuhan, dan kerendahan hati mengarahkan kita untuk hidup sesuai dengan pemahaman ini.

Jadi, kerendahan hati membantu kita untuk melihat segalanya dengan kaca mata Tuhan: kita melihat diri kita yang sesungguhnya, tidak melebih-lebihkan hal positif yang ada pada kita, namun juga tidak mengingkari bahwa segalanya itu adalah pemberian Tuhan. Dalam hal ini kerendahan hati berhubungan dengan kebenaran dan keadilan,[7] yang membuat kita mengasihi kebenaran lebih daripada kita mengasihi diri sendiri. Kebenaran ini memberikan kepada kita pengetahuan akan diri sendiri, dengan kesadaran bahwa segala yang baik yang ada pada kita adalah karunia Tuhan, dan sudah selayaknya sesuai dengan keadilan, kita mempergunakan karunia itu untuk kemuliaan Tuhan (1Tim 1:17). Dengan perkataan lain, kebenaran membuat kita mengenali karunia-karunia Tuhan, dan keadilan mengarahkan kita untuk memuliakan Tuhan, Sang Pemberi.

2. Kerendahan hati= hasil dari pengenalan akan diri sendiri dan akan Tuhan.

Dasar dari kerendahan hati adalah pengenalan akan diri sendiri dan Tuhan. St. Thomas Aquinas mengatakan, bahwa pengenalan akan diri sendiri bermula pada kesadaran bahwa segala yang baik pada kita datang dari Allah dan milik Allah, sedangkan segala yang jahat pada kita timbul dari kita sendiri.[8] Pengenalan yang benar tentang Tuhan menghantar pada pengakuan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia menurut gambaran-Nya, dan bahwa manusia diciptakan untuk mengasihi, sebab Allah yang menciptakannya adalah Kasih. Dalam kasih ini, Allah menginginkan persatuan dengan setiap manusia, sehingga Ia mengirimkan Putera-Nya yang Tunggal untuk menghapuskan penghalang persatuan ini, yaitu dosa.

Kesadaran akan hal ini membawa kita pada kebenaran: yaitu bahwa kita ini bukan apa-apa, dan Allah adalah segalanya. Di mata Tuhan kita ini pendosa, tetapi sangat dikasihi oleh-Nya. Keseimbangan antara kesadaran akan dosa kita dan kesadaran akan kasih Allah ini membawa kita pada pemahaman akan diri kita yang sesungguhnya. Kesadaran ini menghasilkan kerendahan hati, yang menurut St. Thomas adalah dasar dari bangunan spiritual[9] atau ‘rumah rohani’ kita.

3. Kerendahan hati= ketergantungan terhadap Tuhan.

Kerendahan hati membuat kita selalu menyadari kelemahan kita dan bergantung kepada rahmat Tuhan. Hal ini juga dapat diterapkan dalam hal iman, sehingga iman berarti kerendahan hati secara rohani yang melibatkan akal budi, sehingga seseorang dapat menerima kesaksian Tuhan tentang Diri-Nya, tentang manusia, dan semua realitas kehidupan, daripada memegang pendapat sendiri. Jadi, kerendahan hati adalah sikap hati untuk tunduk kepada Tuhan. Selanjutnya, menurut St. Agustinus kerendahan hati adalah penyerahan diri kepada Tuhan sehingga kita berusaha untuk menyenangkan hati Tuhan (bukan diri kita sendiri) di dalam segala perbuatan kita.[10]

Tingkatan kerendahan hati

Ada bermacam tingkatan kerendahan hati, tetapi yang akan kita bahas di sini adalah dua macam tingkatan yang dijabarkan oleh St. Benediktus dan St. Ignatius.[11]

1. Menurut St. Benediktus (480-547)

Nilai-nilai yang termasuk kerendahan hati adalah ketaatan, kesabaran dan kesederhanaan. Ketaatan dan kesabaran berkaitan dengan kerendahan hati yang berhubungan dengan sikap hati, sedangkan kesederhanaan berhubungan dengan sikap yang dapat terlihat dari luar. St. Benediktus membagi kerendahan hati menjadi 12 hal: tujuh di antaranya berhubungan dengan sikap hati, dan lima di antaranya berhubungan dengan sikap yang terlihat dari luar.

Ketujuh sikap hati yang berdasarkan atas ketaatan dan kesabaran tersebut adalah: takut akan Tuhan, ketaatan kepada Tuhan, ketaatan kepada pembimbing spiritual, sabar dalam menanggung keadaan yang sukar, mau mengakui kesalahan kita (terutama kepada pembimbing spiritual), bersedia untuk menerima hal-hal yang tidak nyaman, dan melihat diri sendiri sebagai yang tidak utama. Sedangkan kelima sikap tubuh yang berhubungan dengan kesederhanaan adalah: menghindari pemegahan diri sendiri, hening, tertawa tidak berlebihan, tidak banyak bicara, dan kesederhanaan dalam bersikap. Meskipun pengajaran ini pertama-tama ditujukan untuk para religius, namun toh dengan tingkatan yang wajar dapat diterapkan kepada kita kaum awam. Apalagi jika kita mau bertumbuh dalam hal rohani, kita-pun perlu mempunyai pembimbing rohani, yaitu umumnya bapa Pengakuan (pastor pembimbing).

2. Menurut St. Ignatius (1491-1556).

Terdapat tiga tingkatan kerendahan hati, (1) necessary humility: penyerahan diri kepada hukum Tuhan untuk menghindari dosa berat, (2) perfect humility’: ketidak-terikatan pada kekayaan ataupun kemiskinan, kesehatan ataupun sakit… yang terpenting adalah menghindari dosa dan kecenderungan berbuat dosa (3)most perfect humility’‘: sikap meniru Kristus, termasuk menerima dengan rela penderitaan (salib) dan penghinaan, dalam persatuan dengan Kristus, demi kasih kita kepada-Nya.

Kerendahan hati berlawanan dengan kesombongan yang berhubungan dengan kelimpahan materi, dan anggapan bahwa diri sendiri adalah yang paling berkehendak baik, paling pandai, dan paling maju dalam hal spiritual (‘spiritual pride’).[12] Kesombongan dalam hal materi berhubungan dengan hal yang kelihatan seperti kecantikan, kekayaan, nama baik, pangkat dan kehormatan. Kesombongan materi adalah jenis kesombongan yang paling rendah, dan paling mudah diatasi untuk mencapai kerendahan hati.

Kesombongan dalam hal berkehendak baik adalah yang menyusul setelah ini, yaitu seperti keinginan untuk tidak tunduk di bawah siapapun, memiliki kuasa untuk memerintah, yang menghasilkan ambisi untuk menguasai, menolak untuk melayani atau tunduk pada otoritas, bahkan menolak untuk tunduk kepada Tuhan. Bersamaan dengan ini adalah kesombongan akan kepandaian, yang berhubungan dengan kebiasaan untuk menghakimi segala sesuatu berdasarkan pendapat sendiri, dan enggan untuk menerima pernyataan sederhana dari pihak yang punya otoritas. Sedangkan orang yang rendah hati adalah dia yang sadar akan dosa dan kelemahannya, yang tahu bahwa ia-pun dapat menjadi ‘terhukum’, jika hanya keadilan Tuhan yang berlaku di dunia ini. Belas kasihan yang ia terima dari Tuhan harus menjadikannya berbelas kasih pada orang lain.

Tingkatan kesombongan yang paling akhir adalah ‘spiritual pride’. Karena spiritualitas adalah karunia, maka kesombongan akan hal ini menjadi sangat ‘berbahaya’. Karunia-karunia spiritual dapat menjadi ladang bagi kesombongan, sebab jiwa yang sombong dapat menggunakan karunia-karunia tersebut untuk meninggikan diri, menarik perhatian, mencari dominasi/ kekuasaan, atau untuk memenangkan ide sendiri. Injil menampilkan jenis kesombongan ini dalam perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai (Luk 18:9-14). Yesus menolak kesombongan ini, sebab hal itu membuat orang hidup dalam ‘kebohongan’: dari luar terlihat suci, tetapi sebenarnya jahat. Hal ini bertentangan dengan kerendahan hati yang berlandaskan kebenaran.

Menurut St. Ignatius, mengikuti teladan Yesus dan cara hidupNya adalah bentuk kerendahan hati yang paling sempurna; yaitu jika seseorang dengan kehendak bebasnya memilih untuk hidup miskin seperti Kristus, menderita bersama-Nya daripada menjadi kaya dan dihormati dan dianggap bijak oleh dunia.[13] Sikap ini didasari oleh kesadaran bahwa Allah mengasihi kita lebih daripada kita mengasihi diri sendiri, sehingga Ia telah menyerahkan DiriNya untuk membawa kita kepada kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati ini tidak dapat dibandingkan dengan segala pemahaman kita akan kebahagiaan menurut ukuran dunia. Ketetapan hati meninggalkan kebahagiaan duniawi untuk mendapatkan kebahagiaan surgawi adalah sikap kerendahan hati yang paling sempurna.

Kerendahan hati menghantarkan kita kepada kesempurnaan kasih dan kekudusan

Untuk mencapai kekudusan, atau ‘kesempurnaan kasih’, kita harus menggunakan kemampuan kita sebagai karunia dari Kristus. Kita harus meniru teladan-Nya dan mencari kehendak Tuhan dalam segala sesuatu.[14] Semua sikap ini adalah bentuk kerendahan hati! Ingatlah bahwa St. Agustinus pernah mengatakan, “Kamu tidak dapat mengasihi kecuali melalui kerendahan hati.[15] Sebab segala pertentangan/ konflik antar manusia selalu melibatkan kesombongan di kedua belah pihak.

Jadi agar dapat mengasihi, kita harus rendah hati di dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan. Berikut ini adalah pengajaran St. Ignatius yang merupakan perjuangan bagi kita semua: Pertama, kerendahan hati di dalam pikiran adalah kita tidak boleh cemburu atau iri, jika orang lain dipuji, kita harus melihat kebaikan dalam diri orang lain, dan kita harus bergembira atas kebaikan dan kesuksesan orang lain.[16] Kita harus ingat akan pengajaran Rasul Paulus,”… dengan rendah hati, anggaplah orang lain lebih utama dari diri kita” (Fil 2:3). Kita harus selalu menyadari bahwa kita hanya semata-mata alat di tangan Tuhan, dan selayaknya segala pujian ditujukan kepada-Nya.

Kedua, kita tidak boleh bicara yang buruk tentang siapapun dan bicara yang baik-baik tentang diri sendiri, atau lebih tepatnya, sebaiknya kita membatasi pembicaraan tentang diri kita sendiri supaya kita tidak jatuh dalam perangkap kesombongan. Jika ada orang berbuat salah, kita tidak boleh menghakimi, atau memaki, tetapi lebih baik kita berdoa untuk pertobatannya. Ada baiknya kita menyadari, jika kita berada persis di dalam situasi mereka, bisa jadi kita berbuat lebih buruk daripada mereka. Kita harus berjuang supaya tidak marah pada mereka yang menentang kita, tetapi menerima koreksi dengan lapang hati, demi pertumbuhan rohani kita.

Ketiga, di dalam perbuatan kita harus mau mengambil tempat yang rendah/ tidak utama, dan tidak menginginkan untuk diperlakukan istimewa. Dalam segala sesuatu kita tidak mencari pujian, tetapi mencari bagaimana agar dapat melakukan sesuatu yang berguna, untuk kebaikan.[17] Kita juga harus siap meminta maaf, untuk segala kesalahan yang kita lakukan, baik terhadap Tuhan dan orang lain, dan rajin untuk mengucap syukur untuk segala karunia yang Tuhan berikan kepada kita. Sikap seperti ini adalah sikap seorang pelayan, oleh karena itu, kerendahan hati menjadi dasar dari pelayanan Kristiani.[18]

Apa langkah awal kerendahan hati?

Menurut St. Fransiskus dari Sales, langkah pertama kerendahan hati adalah pemeriksaan batin yang baik. Jika kita rajin melakukannya setiap hari, latihan ini akan membimbing kita mencapai pengenalan diri sendiri, dan terutama, mengenal kesombongan diri kita. Meditasi juga merupakan alat untuk mencapai pengenalan diri sendiri. Dengan merenungkan kematian kita, penghakiman terakhir, neraka, surga, dan kehidupan Yesus Penebus kita, kita akan sampai pada kesadaran akan siapa diri kita di hadapan Allah.[19] Tips dari St. Franciskus: “Renungkanlah betapa besar kasih yang Tuhan sudah berikan kepadamu, dan berapa banyak dosa yang sudah engkau perbuat melawan Dia. Dan saat engkau menghitung dosamu, hitunglah juga belas kasihan-Nya!”[20]

Melalui pertobatan yang terus menerus dan latihan-latihan rohani seperti ini, kita mengembangkan di dalam hati kita rasa benci akan kesombongan kita. Bersyukurlah, kita dapat selalu kembali kepada Tuhan melalui Sakramen Pengakuan Dosa. Melalui bimbingan seorang pembimbing rohani[21] dan melalui Pengakuan dosa secara umum dan menyeluruh, yang diikuti oleh Pengakuan dosa yang teratur, meditasi yang diikuti oleh niat yang teguh untuk memperbaiki diri, maka kita, dengan bantuan rahmat Tuhan, dapat mencabut akar kesombongan, cinta diri, dosa-dosa kita dan kesenangan akan berbuat dosa. Tindakan kerendahan hati ini dapat menjadi semacam kesaksian dari keinginan kita untuk berbuat lebih baik.

Waspadalah terhadap kerendahan hati yang ‘palsu’ (‘false humility’)

Selanjutnya, St. Fransiskus mengingatkan kita, agar jangan mempunyai sikap kerendahan hati yang ‘palsu’.[22] Misalnya, dengan mengatakan bahwa kita lemah dan tidak bisa apa-apa, tetapi begitu orang lain memperlakukan kita sesuai dengan apa yang kita katakan itu, lalu kita menjadi kecewa. Atau, kita merendah supaya kemudian dipuji orang. Ini adalah kerendahan hati yang palsu. Kerendahan hati yang sesungguhnya tidak mengatakan tentang diri sendiri bahwa ‘saya ini rendah hati’ (yang berhak mengatakan demikian hanya Tuhan). Kerendahan hati yang sesungguhnya berkaitan dengan menyembunyikan diri dalam artian tidak menonjolkan diri untuk dipuji, dan menyatakan kebajikan hanya untuk maksud mengasihi.

St. Franciskus juga mengingatkan agar kita tidak menggunakan alasan ‘tidak layak’ atau ‘aku masih berdosa’, sehingga kita tidak mau berdoa, atau tidak mau membagikan talenta untuk melayani Gereja, atau tidak mau melayani sesama. Menurutnya, ini tindakan tidak baik (‘evil‘) karena menyembunyikan cinta diri di balik kedok kerendahan hati.

Yesus teladan kerendahan hati yang sempurna

Tuhan telah memberikan pada kita contoh yang sempurna dalam hal kerendahan hati, yaitu Yesus Kristus, PuteraNya. Kerendahan hatiNya tercermin dalam dua hal utama: Pertama, untuk menyelamatkan kita, Yesus yang adalah Tuhan mau menjelma menjadi manusia, tergantung sepenuhnya kepada Allah Bapa. Alkitab mengatakan bahwa Yesus, “walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia… Dan Ia merendahkan diriNya dan taat sampai mati di kayu salib”(Fil 2:5-8).

Kedua, Yesus merendahkan diri dengan ketaatan-Nya untuk melaksanakan tugas misi yang diterima-Nya dari Allah Bapa, yaitu untuk menyelamatkan kita, para pendosa (Rom 5:8), termasuk dengan segala keadaan yang berkaitan dengan tugas penyelamatan itu. Seluruh hidup-Nya adalah cerminan kerendahan hati yang sempurna: lahir di kandang hewan, hidup miskin sepanjang hidupNya di dunia (2 Kor 8:9), dipukuli, dihina, difitnah padahal tidak bersalah, dilucuti pakaian-Nya, dianiaya sampai akhirnya wafat di Salib.

Bagaimana caranya meniru kerendahan hati Kristus?

Meniru Kristus adalah jalan yang mengarahkan kita pada pertumbuhan rohani. Untuk hal ini, kita perlu untuk sering merenungkan teladan kerendahan hati Yesus: di dalam hidup-Nya yang tersembunyi, pelayanan-Nya, sengsara-Nya dan kehidupan Ekaristi-Nya.[23] Untuk memperoleh sifat kerendahan hati yang sungguh, kita perlu berdoa, sebab kerendahan hati adalah suatu pemberian Tuhan dan bukan semata karena usaha kita sendiri.[24] Semakin kita menyadari kesombongan kita, semakin kita perlu berdoa dengan ‘mengemis’ (begging) agar Tuhan tidak membiarkan kita jatuh ke dalam kesombongan. Kita juga perlu untuk selalu mengucap syukur dan menerima segala hal dengan suka cita, termasuk penghinaan.

St. Theresia Kanak- kanak Yesus menyatakan bahwa penghinaan adalah ‘rahasia (untuk mencapai) kekudusan’[25]. Maksudnya ialah, kesediaan untuk menerima kesalahan adalah sangat penting. Untuk menghilangkan kesalahan, pertama-tama kita harus mengetahui dan mengakuinya terlebih dahulu. Dan untuk mengetahui kesalahan itu, kita perlu diberitahu, entah oleh Tuhan sendiri, atau melalui orang lain. Hal ini dapat mempermalukan kita, tetapi, kita perlu menerimanya dengan lapang. Sebab, jika proses ini kita terima dengan semangat Kristiani, kita dapat dengan pasti menjadi rendah hati (‘humiliation is the surest means of acquiring and practicing humility’).[26]

Dalam hal penghinaan (humiliation), contoh yang paling sempurna diberikan oleh Yesus sendiri. Dia menghancurkan kesombongan (dosa pertama manusia) dengan kerendahan hati, menjadi hamba, serupa dengan manusia, taat sampai mati di Salib. Kerendahan hati-Nya menjadi obat kesombongan kita.[27] Ia yang adalah Tuhan, Sang Sabda Kebenaran, dituduh mengajarkan sesuatu yang tidak benar. Ia dituduh menghujat Allah. Yesus menerima semua ini dengan diam, karena hatiNya dipenuhi kasih, dan kehendakNya teguh tertuju untuk menyelamatkan kita. Suatu permenungan bagi kita: bagaimana sikap kita jika kita dihina, dan dituduh melakukan sesuatu yang tidak kita lakukan…? Apakah kita bersikap seperti Kristus?

Kini, dengan kasih yang sama, Kristus hadir dalam Ekaristi. Ia yang Maha Besar mengambil rupa sepotong roti bundar, supaya kita menyadari kasihNya yang tiada batasnya, yang sanggup merendahkan diri sampai di luar batas pemikiran kita. Adakah kita mengenali kerendahan hati Allah dalam Ekaristi, dan menghormatiNya dengan segenap hati?

Teladan Bunda Maria

Selain Kristus, Bunda Maria adalah contoh yang sempurna tentang kerendahan hati dan kesempurnaan kasih. Kerendahan hati Maria-lah yang mendorong Allah untuk memilihnya sebagai ibu Putera-Nya Yesus. Bunda Maria menyadari bahwa ia dikaruniai oleh rahmat yang istimewa dengan menjadi Bunda Allah yang MahaTinggi, namun ia tetap rendah hati, dengan menganggap dirinya sebagai hamba di hadapan Allah.[28] Ia hanya mencari kehendak Tuhan, dengan berkata, “Jadilah padaku menurut perkataanmu (Luk 1:38).” Melalui kidung Magnificat, kita mengetahui bahwa Maria menganggap segala yang baik pada dirinya sebagai karunia belas kasih Tuhan.[29] Dengan rahmat Tuhan, Bunda Maria hidup dengan rendah hati, menyerahkan diri secara total kepada Tuhan dan sesama, dan bekerja sama dengan misi Keselamatan Kristus.

Kesimpulan

Kerendahan hati begitu penting, sehingga sering dikatakan bahwa kerendahan hati adalah segalanya, sebab seperti perkataan St. Agustinus, kerendahan hati menarik perhatian Allah yang Maha Tinggi.[30] Kerendahan hati menjadi jalan keselamatan bagi manusia yang berdosa.[31] Sebagai nilai kebajikan yang pertama, dan dasar semua nilai kebajikan yang lain, menurut St. Thomas, kerendahan hati menjadi sesuatu yang diperlukan untuk mencapai Kerajaan Surga, sebab kerendahan hati menghapuskan semua penghalang untuk menerima rahmat Tuhan.[32]

Namun demikian, kerendahan hati bukanlah segalanya, sebab kerendahan hati bukan kebajikan yang terbesar. Tempatnya tidak setinggi kebajikan ilahi seperti, iman, pengharapan dan kasih (KGK 1812-1829), kebajikan akal dan kebajikan moral seperti kebijaksanaan, agama dan hukum keadilan.[33] Kerendahan hati bukanlah akhir dari kesempurnaan kehidupan rohani, namun hanya merupakan sarana untuk mencapai hal itu. Kerendahan hati adalah langkah pertama dan langkah seterusnya untuk mencapai kesempurnaan kasih kepada Tuhan dan sesama, yang menjadi tujuan akhir panggilan hidup kita. Saat kita berjuang untuk menjadi semakin rendah hati setiap hari, marilah kita mempercayakan diri kita ke dalam tangan Tuhan dan berdoa, “Yesus, yang lemah lembut dan rendah hati, jadikanlah hati kami seperti hati-Mu.”


[1] Terjemahan dari Scaramelli, Directorium Asceticum, vol.3, p. 419, seperti dikutip oleh William A. Kaschmitter, MM, The Spirituality of the Catholic Church, (Lumen Christi Press, Texas) p. 513

[2] Terjemahan dari St. Augustinus, Spiritual Diary, p. 35, Scaramelli, Directorium Asceticum, Ibid.

[3] Lihat St. Alphosus Liguori, The Glories of Mary, vol.2, p.150, “Humility, says St Bernard, ‘is the foundation and guardian of the virtues’ …for without it, no other virtue can exist in the soul.

[4] Terjemahan dari St Thomas of Villanova, Spiritual Diary, pp. 35-36, seperti dikutip oleh William A. Kaschmitter, MM, Ibid.

[5] Cassel’s, Latin and English Dictionary, p. 106

[6] Disarikan dari tulisan Edward Leen, In the Likeness of Christ, pp. 177-178.

[7] Diterjemahkan dari Antonio Royo and Jordan Aumann, O.P., The Theology of Christian Perfection, (The Priory Press, Dubuque, Iowa) p.491

[8] Lihat Reverend Adolphe Tanquerey, S.S., D.D., The Spiritual Life- A Treatise on Ascetical and Mystical Theology, (Society of St. John the Evangelist, Desclee & Co Publishers, Belgium) 1128, p. 531

[9] St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae II-II, Q. 161, a.5 ad 2.

[10] Diterjemahkan dari tulisan St. Augustine, in The Fathers of the Church, vol. 11, p. 212, seperti dikutip oleh William A. Kaschmitter, MM, Ibid., p. 516.

[11] Disarikan dari buku karangan Reverend Adolphe Tanquerey, S.S., D.D., The Spiritual Life- A Treatise on Ascetical and Mystical Theology, p.532- 536

[12] Disarikan dari tulisan P. Marie- Eugene, O.C.D., I Want to See God, vol. 1(Fides Publishers Association, Chicago, IL), p. 393-402.

[13] Lihat Antonio Royo and Jordan Aumann, O.P, The Theology of Christian Perfection , p.493.

[14] Lihat Lumen Gentium 40, “Untuk memperoleh kesempurnaan itu hendaklah kaum beriman mengerahkan tenaga yang mereka terima menurut ukuran yang dikurniakan oleh Kristus, supaya dengan mengikuti jejak-Nya dan merupai citra-Nya, dengan melaksanakan kehendak Bapa dalam segalanya, mereka dengan segenap jiwa membaktikan diri kepada kemuliaan Allah dan pengabdian terhadap sesama.”

[15] Diterjemahkan dari Fr. Cajetan Mary da Bergamo, Humility of Heart, (TAN books and Publishers, INC, Illinois, reprint 1978 from 1944 ed.) 42 p.51

[16] Lihat Reverend Adolphe Tanquerey, S.S., D.D., The Spiritual Life- A Treatise on Ascetical and Mystical Theology, 1148, p. 542

[17] Ibid., p. 543

[18] Lihat Lumen Gentium 42, “Yesus, Putera Allah, telah menyatakan cinta kasih-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya bagi kita. Maka tidak seorang pun mempunyai cinta kasih yang lebih besar dari pada dia yang merelakan nyawanya untuk Dia dan saudara-saudaranya (lih. 1Yoh 3:16; Yoh 15:13).” Menyerahkan nyawa ini adalah sikap seorang pelayan.

[19] Disarikan dari tulisan St. Francis de Sales, Introduction to a Devout Life (TAN books and Publishers INC, Illinois, reprint 1994 from 1923 ed.), 1,ix-xviii

[20] Ibid., p.123

[21] Ibid., 1, iv.

[22] Ibid., p.124-127

[23] Lihat Reverend Adolphe Tanquerey, S.S., D.D., The Spiritual Life- A Treatise on Ascetical and Mystical Theology, 1141, p. 538

[24] Lihat P. Marie- Eugene, O.C.D., I Want to See God, p. 389

[25] Vernon Johnson, Spiritual Childhood, A Study of St. Teresa’s Teaching, (Shed & Ward, London) p. 66

[26] Fr. Cajetan Mary da Bergamo, Humility of Heart, 63 p.80

[27] St. Augustine, Toal, vol.1. p. 273

[28] Lihat St. Alphonsus Liguori, The Glories of Mary, vol.2, pp.150-151

[29] Lihat Boylan, This Tremendous Lover, pp.73-74

[30] Lihat Rodriguez, Practice of Perfection and Christian Virtues, vol. 2. p.340

[31] St. Basil, The Fathers of the Church, vol.9, p. 475

[32] Lihat Boylan, This Tremendous Lover, pp.73

[33] Lihat Antonio Royo and Jordan Aumann, O.P., The Theology of Christian Perfection, p.491, juga Reverend Adolphe Tanquerey, S.S., D.D., The Spiritual Life- A Treatise on Ascetical and Mystical Theology,, 1136, p. 536

13 COMMENTS

  1. terimakasih untuk Ingrid Listiati…
    kesimpulannya kerendahan hati = A.M.D.G. (Ad Maiorem Dei Gloriam BUKAN Ad Maiorem Diri Gue)…
    saya mendapat sebuah spirit baru, terimakasih sekali lagi!!!

  2. Yth. Bp. Stef
    Perikop tentang orang farisi dan pemungut cukai yang berdoa dengan cara yang berbeda sering diidentikkan dengan kerendahan hati dalam berdoa. Sebenarnya kerendahan yang dimaksud di sini, adalah yang seperti apa? Mohon keterangan dari Katolisitas.
    Terima kasih,
    salam Adi

    [Dari Katolisitas: Silakan membaca artikel tentang Kerendahan Hati, klik di sini]

  3. Kalau boleh tahu apa bedanya rendah hati dengan rendah diri, karena saya bingung kelihatannya keduanya sama, padahal banyak orang bilang kita gak boleh rendah diri. Saya sendiri termasuk orang yang rendah diri sehingga saya bingung, satu hal ingin mengejar kerendahan hati namun di lain sisi menolak rasa rendah diri, batin saya terus-menerus konflik tentang hal ini.

    Mohon penjelasannya dari tim, terima kasih.

    • Shalom Christ,

      Rendah hati dan rendah diri tidaklah sama. Secara umum, keduanya memang sama-sama memandang dan menempatkan orang lain pada posisi yang lebih baik / lebih penting daripada diri kita sendiri, namun alasan yang mendasarinya berbeda. Pada rendah hati, pengakuan atas kebaikan dan kepentingan orang lain di atas kepentingan dan kebaikan diri, tidak disertai dengan unsur menganggap diri sendiri kurang berharga dibandingkan dengan orang lain. Sikap rendah hati mengakui dan mengapresiasi kelebihan dan pencapaian diri sendiri, serta mengakui kapasitas diri sendiri secara wajar, namun karena atas dasar kasih dan kerelaan, ia ingin menempatkan orang lain / buah eksistensi orang lain sebagai sesuatu yang sama penting dan berharganya, bahkan lebih penting, daripada buah eksistensi diri sendiri. Bahkan sekalipun secara obyektif, sebenarnya dirinya (pencapaian dirinya) lebih dari orang lain (yang dicapai orang lain). Sikap rendah hati ini mengapresiasi kelebihan dan pencapaian diri, namun tidak memegahkan diri. Kerendahan hati merupakan keutamaan dasar dari spritualitas Kristiani dan merupakan jalan menuju kekudusan. Ini adalah sikap yang ditunjukkan Yesus dalam seluruh penjelmaan-Nya sebagai manusia dan seluruh perjalanan hidup-Nya di dunia hingga wafat-Nya di kayu salib. Kita menjumpainya dalam Kitab Suci misalnya dalam Flp 2:3 “dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri”

      Sedangkan pada rendah diri, ada sikap yang berlebihan dalam memandang kekurangan/kelemahan diri, sehingga seringkali secara tidak perlu memandang rendah kepada diri sendiri, bahkan sampai melupakan kekuatan dan kelebihan yang ada pada diri. Sikap ini sebenarnya adalah sikap tidak adil kepada diri sendiri, karena terus menerus mengekspos kelemahan diri dan tidak mengapresiasi kelebihan dan martabat diri sendiri secara wajar. Sikap merendahkan diri sendiri tentu bukan sikap yang berkenan kepada Tuhan, sama halnya dengan sikap merendahkan orang lain adalah tidak baik di mata-Nya, karena Tuhan menciptakan semua manusia dengan martabat yang sejajar dan dengan kasih yang sama. Dalam Kitab Sirakh kita dapat membaca ajaran sedemikian, “Anakku, hendaklah engkau berbangga tapi dengan rendah hati, hargailah dirimu sesuai dengan nilaimu sendiri.” (Sir 10:28). Di sini jelas bahwa menjadi rendah hati tidak perlu disertai dengan sikap rendah diri. Hargailah diri Anda sewajarnya, sebagaimana Tuhan menciptakan Anda dengan martabat yang indah dan baik sejak semula, lengkap dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang juga dimiliki oleh setiap mahluk ciptaan. Mohonlah kepada Tuhan yang mencintai kita apa adanya, agar kita dapat menghargai diri sendiri sebagaimana Tuhan menghargai kita, sambil juga terus berjuang untuk menjadi rendah hati seperti teladan Kristus selama hidup dan derita-Nya sebagai manusia di dunia. Semoga sharing saya di atas bermanfaat bagi Anda.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Triastuti – katolisitas.org

  4. “Yesus, yang lemah lembut dan rendah hati, jadikanlah hati kami seperti hati-Mu.”

    Sungguh Allah luar biasa! Bapa telah menjawab doa ku akan kegusaran hati kecilku melalui tulisan ini, yang telah membukakan kembali mata hatiku dan memberikan kesadaran penuh bagiku akan kerendahan hati Yesus sebagai obat penyembuh luka sakit batinku.

    Terima kasih sekali untuk bu Ingrid dan pak stefanus beserta tim katolisitas atas karya-karya penyelamatan iman di situs ini.

    Salam kasih

  5. Menarik sekali ulasan Bu Ingrid mengenai kerendahan hati. Terima kasih dan selamat. Menarik pula bahwa kata kerendahan hati dalam bahasa Inggris adalah “humility” dan dalam bahasa Latin “humilis”. Bukankah asal katanya dari “humus”? Dan humus adalah istilah untuk lapisan tanah yang subur. Kerendahan hati memang membuat subur hidup pribadi dan komunitas. Tuhan Yesus Kristus sendirilah yang menyelamatkan kita dengan kerendahan hati-Nya.
    Salam
    Yohanes Rasul

  6. Jumat kemarin artikel Kerendahan Hati: Dasar dan Jalan Menuju Kekudusan saya sampaikan di PD di kantor. Disampaikan secara sangat singkat, karena PD kami laksanakan saat istirahat, sktr 45 menit sudah termasuk dengan doa dan pujian. Para peserta senang dengan topic tsb (selain printing comment di atas, kejadian di kantor/pekerjaan sehari2 saya pakai sebagai contoh penerapan kerendahan hati); sampai ada yg bilang spy minggu depan saya lagi yg pimpin PD. Sungguh, bukan mau memuji diri, tapi saya mau ucapkan terimakasih bahwa artikel dan web ini inspiring dan bisa menjadi berkat serta sarana untuk makin memuji Dia.
    Terimakasih banyak ya Ingrid dan Stef….

  7. Hi,

    Saya bingung, apakah kalo kita melupakan jasa budi orang itu termasuk dosa? Walau si pemberi bantuan itu tidak mengharapkan balasan, tapi dia hanya mengharapkan agar tidak dilupaiin saja. Apakah si pemberi bantuan itu termasuk tidak ikhlas?

    boleh saya tahu tentang pembahasan Alkitab yang mengenai hal ini? Sebab saya sendiri masih bergumul di dalam hal ini, karena, Yesus sendiri tidak mengharapkan balasan dari kita, tapi kita dituntut jangan melupakan jasa dia dgn cara bertobat dan melakukan tindakan yang sesuai firmanNya.

    Terima kasih.

    • Shalom Felix,
      Walaupun di dalam ke-sepuluh perintah Tuhan tidak disebutkan secara khusus bahwa melupakan jasa budi orang lain termasuk dosa, tetapi dari firman Tuhan yang lain kita ketahui hal itu dapat dikatakan sebagai dosa, sebab, kita tahu bahwa mengingat jasa budi orang lain adalah sesuatu yang baik, lalu kita tidak melakukannya. Rasul Yakobus mengatakan, “Jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa” (Yak 4:17). Apalagi jika jasa budi ‘orang lain’ itu adalah orang tua kita sendiri, sebab jika demikian halnya kita melanggar perintah Tuhan “Hormatilah ayahmu dan ibumu” (Kel 20:12). Sebab jika kita menghormati seseorang pastilah kita mengingat segala sesuatu yang diperbuatnya bagi kita, apalagi jika itu orang tua kita sendiri.
      Untuk lebih mengetahui uraian tentang dosa, Felix dapat membaca artikel, Masih Perlukah Sakramen Pengakuan Dosa bagian-1.

      Kita tidak dapat secara persis mengetahui apakah orang secara ikhlas atau tidak dalam membantu kita, karena kita tidak dapat membaca isi hati setiap orang. Hanya Tuhan yang mampu melakukan hal itu. Tetapi jika seseorang membantu dan tidak mengharapkan balasan, ia malah melakukan perintah Tuhan, sebab memang itulah yang diperintahkan oleh Tuhan, agar kita membantu dan memberi tanpa mengharapkan untuk memperoleh imbalan. Tuhan Yesus mengajarkan agar kita memberi kepada orang miskin, cacat, lumpuh dan buta, mereka yang tidak punya apa-apa untuk membalas kepada kita, dan Tuhan sendiri akan membalasnya pada kita (lih. Luk 14:13-14). Yesus juga mengatakan, “jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu” (Mat 6:3), sehingga jika kita sungguh mau memberi dengan tulus, kita tidak boleh dan tidak perlu ‘mengumumkannya’, seolah-olah meminta balasan.

      Tuhan Yesus memberi teladan dengan memberikan kasih yang begitu besar dengan memberikan nyawa-Nya di kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasihNya ini (Yoh 15:13). Di dalam kasihNya, Yesus memberikan kebebasan kepada kita untuk percaya atau menolak Dia. Jika kita percaya kita tidak akan dihukum, tetapi jika kita tidak percaya, kita membawa diri kita sendiri ke bawah hukuman atau, mendatangkan hukuman pada diri kita sendiri (lih. Yoh 3:18). Nah, buktinya bahwa kita percaya pada Yesus, adalah jika kita melakukan segala perintahNya dan berbuat yang berkenan kepadaNya (lih. 1Yoh 3:21-24). Perintah Yesus yang utama adalah perintah kasih kepada Tuhan dan sesama (Mat 22: 37-39, Mrk 12:30-31, Luk 10:27).
      Perintah kasih inilah yang harus kita jalani setiap hari. Jika kita gagal menjalankannya, dan jatuh dalam dosa, dengan rendah hati kita mohon ampun pada Tuhan melalui sakramen Pengakuan dosa. Selanjutnya, kita memperbaiki hidup kita, dan berusaha hidup lebih baik, lebih bertumbuh dalam kasih.
      Semoga uraian di atas menjawab pertanyaan Felix.

      Salam kasih dari https://katolisitas.org
      Ingrid Listiati

      • Terima kasih atas penjelasan yang begitu detail.

        Akan kuingat selalu, yah, saya memang ada kesalahan di sini. Akan saya perbaikin sekarang juga sikap aku yang terlalu keras dan selalu menuntut ini dan itu.
        Walau aku tahu dengan jelas kalo ikhlas itu tidak menuntut balasan, tapi aku masih menuntut orang-orang untuk tidak melupakan jasa si pemberi. Di mana saya merupakan salah satu pemberi, dan sekarang aku dianggap seperti musuh sama si penerima. Oleh sebab itu, aku bergumul mencari jawaban. Padahal si penerima itu seorang yang taat berdoa. Saya tidak akan marah, tapi saya selalu meminta jangan melupakan jasa.

        Yah, saya tahu sekarang kalo saya juga bersalah dan saya akan merubah sikap yang extreme itu mulai sekarang dan selalu doa minta kekuatan dari Tuhan supaya bisa lebih sabar.

        Saya sungguh berterima kasih atas penjelasan ini. Terima kasih.

        Regards,
        Felix

  8. tante,
    semalem kan aku ditanyain sama papi, udah makan masakannya apa belom, aku jawab aja udah, abis aku udah ngantuk sih. Terus nggak enak juga kalo aku jawab belom, ntar tersinggung gitu.
    eh terus katanya mami, kan harus menjaga kekudusan, jadi nggak boleh bohong, terus aku bales aja, kan harus menjaga kekudusan, menjaga perasaan orang lain juga, hehe
    nah,jadi gimana sih yang bener, tante?
    abis kita kan sering gitu, kalo jujur, orang lain bisa sakit hati, tapi kalo boong, katanya dosa. jadinya kita sering ngelakuin kebohongan” kecil yang orang bilang white lie itu deh.
    yang bner gimana dong, tante?
    hehe, thx ya tan.

    • Shalom Petra,

      Untuk bertumbuh di dalam kekudusan kita semua harus berjuang, dan memang sering kali tidak gampang. Kebetulan Petra mendapat ujian tentang hal ini, yaitu untuk hidup jujur tetapi juga menjaga perasaan orang lain, dalam hal ini perasaan papi. Untuk itu sebaiknya Petra mengingat perintah Yesus yang utama, yaitu “Kasihilah Tuhan dengan segenap hatimu dan kekuatanmu, dan kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” (lih Mrk 12:30-31). Nah, kalau Petra renungkan ayat ini, maka Petra akan tahu bahwa kalau kita sungguh mengasihi Tuhan, maka kita tidak akan berbohong, walaupun itu katanya ‘white lie’ sekalipun. (Di mata Tuhan kebohongan itu nggak ada yang ‘putih’). Sedangkan perintah kedua, mengasihi sesama seperti diri sendiri, maksudnya adalah untuk memperlakukan orang lain atas dasar, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat 7:12) Dengan kata lain, apa yang tidak aku inginkan orang lain perbuat kepadaku, aku juga tidak akan perbuat kepada mereka. Artinya kalau kita tidak ingin dibohongi, jangan kita membohongi orang lain. Kalau kita tidak ingin disakiti hati, jangan kita menyakiti hati orang lain.

      Dalam kasus Petra, yang ditanya soal makan masakan papi, mungkin Petra dapat mengatakan dengan jujur, bahwa Petra belum makan/ lupa/ sudah makan di luar/ tidak tahu bahwa papi sudah menyediakan makanan (pokoknya katakan sejujurnya), soalnya Petra sungguh sudah sangat lelah dan ngantuk. Tapi tentu saja Petra dapat terlebih dulu mengucapkan terima kasih pada papi yang telah menyediakan makanan buat Petra, dan mohon maaf kalau Petra belum sempat makan malam itu. (Di sini dibutuhkan kerendahan hati Petra untuk memohon maaf pada papi). Penyelesaiannya, dapat saja makanannya disimpan di kulkas, dan besok pagi Petra bisa makan untuk sarapan, misalnya. Jika Petra mengatakannya dengan nada yang tulus, dan tidak ‘ogah-ogahan’ maka rasanya papi tidak akan marah. Dengan demikian Petra tidak berbohong, dan tidak juga menyinggung perasaan papi.

      Ingatlah motivasi di atas semua ini adalah kasih kepada Tuhan, dan kasih kepada papi. Ingatlah bahwa papi juga mengasihi Petra, dengan menyediakan makanan, dan juga perhatian-perhatian yang lain, dan sebagai tanda kasihmu kepada Tuhan, kasihilah papi-mu yang Tuhan sudah berikan kepadamu. Selamat berjuang untuk hidup lebih kudus, Petra. Tuhan Yesus pasti senang melihat keseriusanmu untuk mengikuti teladan kekudusan-Nya. Salam kasih dari https://katolisitas.org

      • Syalom!

        Memang, dalam soal bohong tapi menyenangkan orang atau jujur tapi mungkin menyakiti orang lain, dalam praktiknya sering menimbulkan kesulitan. Bahkan, banyak orang (apalagi kita yang biasa dengan kultur ‘ewuh-pekewuh’, menjaga perasaan orang) ‘white lie’ menjadi pilihan yang paling mudah dan paling sering dipilih.

        Saya setuju dengan Sdri. Ingrid, jujur sajalah, karena memang bohong itu tidak baik dan tidak benar. Apalagi, yang namanya bohong itu biasanya tidak cukup hanya sekali. Satu kebohongan harus ditutup dengan kebohongan lain, lalu kebohongan lain itu mesti ditutup dengan kebohongan baru lagi. Misalnya, dalam kasus di atas bilang sudah makan. Kalau kemudian ditanya, “Enak gak masakan papi?” Khan harus bikin kebohongan baru lagi, “Enak kok…” padahal belum makan khan? Ditanya lagi, “Emang gak kepedesan, kayanya tadi agak kebanyakan deh papi ngasih cabenya!” Jawab lagi, “Emang sih pi, pedesan dari masakan papi biasanya, tapi tetap enak kok, gak pedes-pedes amat!” dan seterusnya dan seterusnya. Orang tak cukup bohong sekali, maka meski bohong itu pada dirinya kalau hanya menyangkut hal kecil juga hanya dosa kecil, dapat berubah menjadi banyak dosa yang bertebaran di mana-mana di sepanjang hidup kita.

        Coba bayangkan, kecelakaan motor itu khan lebih sering karena tergelincir di jalan berkerikil daripada karena nabrak sebongkah batu besar. Begitu pula kita, lebih mudah tergelincir jatuh oleh dosa-dosa kecil yang kita biarkan banyak bertebaran di dalam hidup daripada oleh satu dosa besar yang untuk melakukannya saja kita takut dan menjadi waspada untuk tidak melakukannya.

        Di sisi lain, kita perlu sadar bahwa yang namanya tidak berbohong itu tidak berarti mengatakan segala sesuatu sejelas-jelasnya dan sedetail-detailnya. Jujur tidak harus berarti mengatakan segala-galanya. Secara moral, dibedakan antara berbohong dengan merahasiakan sesuatu. Berbohong, itu mengatakan sesuatu yang salah: A dibilang bukan A atau B! Itu bohong dan itu dosa. Sementara itu, menyimpan rahasia tidaklah dosa. Menyimpan rahasia itu dapat berarti tidak mengatakan sesuatu atau mengatakan tanpa kejelasan detail, tetapi tanpa mengatakan sesuatu pun yang tidak benar.

        Contohnya, kalau dalam kasus makan malam di atas. Malamnya ketika ditanya, “Sudah makan masakan papi belom?” Petra bisa menjawab, “Papi udah susah-susah masakin masa sih Petra gak akan makan, lagian biasanya papi klo masak khan rasanya maknyus!” lalu paginya Petra dapat makan makanan itu, sedikit juga gak apa-apa. Tidak ada kebohongan khan karena Petra bilang ‘masa sih gak akan makan?’ dan nyatanya kemudian Petra memang sungguh makan.

        Ada seorang pastor, yang pada suatu waktu, untuk kepentingan khusus dia perlu menyembunyikan identitasnya sebagai pastor. Suatu ketika dia ditanya orang, “Anda pastor ya?”
        Pastor itu menjawab, “Hehehehehe… tidak sekali ini saja saya ditanya seperti itu. Berapa tahun lalu, bahkan ada rombongan peziarah ketemu saya dan langsung aja minta berkat air, yakin aja kalau saya ini pastor. Ya saya jawab saja, maaf yang pastor itu yang duduk pakai baju batik itu, silakan minta berkat pada beliau!”
        Orang itu kemudian menjawab, “Saya kira pastor je, gerak-gerik dan tutur katanya itu bener-bener seperti seorang pastor!”
        Pastor itu hanya tertawa ramah saja tanpa mengiyakan atau menidakkan.

        Saya langsung tanya, “Lho pastor kok bohong?”
        Dia jawab, “Lho bohongnya di mana?”
        “Khan gak ngaku klo Anda seorang pastor?”
        “Gak juga, aku gak ngomong gitu kok! Bener, aku seringkali ketemu orang belum kenal dan dia langsung tanya, Anda pastor ya, sejak frater sampai sekarang sering begitu. Jadi kalimat pertama itu memang tidak bohong. Lalu yang soal cerita ketemu peziarah, itu juga sungguh-sungguh terjadi kok, saat itu aku masih frater, jadi ketika dimintai berkat ya tidak kuberkati tapi kutunjukkan pastor yang bersama aku. Jadi gak bohong khan?”
        “Lha tapi orang ini tadi khan jadi berkesimpulan kalau Anda bukan pastor? Sama aja bohong dong!”
        “Lain, bohong itu kalau aku mengatakan yang tidak benar, kalau aku bilang aku ini bukan pastor, itu baru bohong. Di sini aku mengatakan apa yang benar, tapi mungkin akan disimpulkan lain. Ya silakan saja. Saat ini khan aku menyembunyikan identitas bukan karena maksud jahat, tapi memang sedang dalam penyamaran dan aku harus merahasiakan sesuatu. Merahasiakan sesuatu itu tidak selalu dosa, tapi yang namanya bohong memang jelas dosa, meski tak selalu berarti dosa besar.”

        Pembicaraan itu sangat mengesan bagi saya. Bohong dan merahasiakan sesuatu itu beda. Bohong jelas salah dan dosa. Merahasiakan sesuatu adalah hal lain. Dan orang bisa merahasiakan sesuatu tanpa mengucap kebohongan. Bisa kok kita menjaga perasaan orang lain tanpa harus berbohong! Bohong bukan solusi, meski dikatakan white lie sekalipun.

        Salam kasih.
        Gayus Gamaliel

Comments are closed.