Aku masih bisa mengingat masa kecilku yang konyol. Ketika Hari Ibu, aku dan adik berpikir keras untuk bisa memberi ibuku sebuah hadiah. Kami tidak tahu apa yang bisa kami beri karena kami masih SD. Boro-boro punya tabungan, uang jajan yang sudah minim itu selalu kami pakai untuk membeli jajan, entah bakso sekolahan yang menggiurkan, mi kremes penuh MSG dan pengawet yang membuat jadi o’on tapi lezat, atau permen Jagoan Neon yang membuat lidah berwarna seperti habis minum cat air. Terinspirasi oleh kisah di sebuah majalah anak-anak, alias Bobo, kami akhirnya membuat kupon-kuponan dari sobekan kertas dengan tulisan “Kupon Pijat Gratis”.

Sambil malu-malu kucing, kami menyerahkan hadiah itu kepada bunda. Kami berkata bahwa ia boleh menggunakan kupon itu agar kami pijat bila lelah bekerja. Ketika kami berikan pada beliau, beliau hanya tertawa geli. Setelah dipikir-pikir lagi, hadiah tersebut terlihat konyol sekali. Apalagi, kalau aku mengingat-ingat kejadian itu di usiaku saat ini. Apalah artinya kertas dan coretan tangan carut-marut itu? Sama sekali tidak berharga. Tapi, ibuku menerimanya dengan senyum dan menyimpannya. Aku kecil dan adikku saat itu tersenyum puas karena merasa telah memberikan sesuatu untuk ibu.

Mungkin, begitulah maksud dari kata-kata St. Josemaria Escriva yang mengatakan bahwa betapa pemberian hidup seseorang terlihat kecil bila diberikan kepada Allah. Allah begitu agung, mulia, dan bahagia. Dalam kehidupan interiornya, Allah Tritunggal tidak membutuhkan apa-apa lagi. Sedikitpun pujian dariku tidak menambah kemuliaan-Nya. Sedikitpun persembahanku tidak menambah keagungan-Nya.

Sungguh, para bangsa bagaikan setitik air pada pinggir timba, bagaikan sebutir debu pada neraca. Sungguh, pulau-pulau tidak lebih berat dari tepung halus.
Semua hutan tidak cukup kayu bakarnya untuk kurban bakaran, dan segala margasatwa tidak cukup untuk persembahan. Di hadapan Tuhan, segala bangsa tidak berarti apa-apa, bagi Tuhan mereka hampa dan ketiadaan belaka
” (Yes 40 : 15-17).

Akan tetapi, seperti orangtuaku, Ia menyambut persembahanku yang konyol itu. Ia melihat cinta yang aku selipkan dalam persembahanku itu, sebagaimana ibuku menghargai pemberianku dan adikku yang sebenarnya tidak berarti. Penderitaan dan pengorbanan diri yang aku persembahkan, yang aku satukan dengan korban Kristus yang sempurna, Allah Bapa terima dengan senyum yang lebar. Sungguh, Allah menampakkan rupa-Nya dalam diri orangtuaku. Hanya saja, aku sebagai anak-anak dan remaja seringkali lamban dalam menangkap Rupa-Nya yang tersamar itu.

Memang, Ia menerima persembahan diriku dengan segala kekuranganku. Permasalahannya adalah apakah aku telah memberikan diriku secara total. Apakah aku telah benar-benar memberi diriku padaNya tanpa menahan diri? Bila persembahan diri manusia secara total saja sebenarnya adalah tidak berarti menambah kemuliaan Tuhan, apalagi pemberian yang tidak penuh. Apabila gulali sebenarnya tidak bernilai bagi seorang dewasa, apalagi Allah Mahakuasa, apalagi gulali yang dipintal dengan setengah hati? Akankah aku terus bersembunyi di balik kelemahanku dan tidak berusaha memberikan persembahan dengan lebih baik lagi?

Betapa pemberian hidup seseorang terlihat kecil bila diberikan pada Allah” – St. Josemaria Escriva