Anggota Gereja terdiri dari kaum tertahbis dan awam. Oleh Pembaptisan, kita semua (baik awam maupun imam/ kaum tertahbis) sebenarnya mengambil bagian dalam misi Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Tentang misi sebagai imam, kaum awam mengambil bagian dalam ‘imamat bersama’. Katekismus mengajarkan:

KGK 1268    Orang yang sudah dibaptis menjadi “batu hidup” yang dipergunakan untuk membangun “rumah rohani” dan “imamat kudus” (1 Ptr 2:5). Oleh Pembaptisan mereka mengambil bagian dalam imamat Kristus, dalam perutusan-Nya sebagai nabi dan raja. Mereka adalah “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya [mereka] memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil [mereka] keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Ptr 2:9). Pembaptisan memberi bagian dalam imamat bersama umat beriman.

Sedangkan peran imam tertahbis adalah imam jabatan, yaitu sejumlah orang yang menerima tahbisan khusus untuk menggembalakan Gereja. Imamat jabatan ini melayani imamat bersama. Katekismus mengajarkan:

KGK 1536    Tahbisan adalah Sakramen, yang olehnya perutusan yang dipercayakan Kristus kepada Rasul-rasul-Nya, dilanjutkan di dalam Gereja sampai akhir zaman. Dengan demikian ia adalah Sakramen pelayanan apostolik. Ia mencakup tiga tahap: episkopat, presbiterat dan diakonat….

KGK 1547    Imamat jabatan atau hierarkis para Uskup dan imam dan imamat bersama semua orang beriman “atas caranya yang khas mengambil bagian dalam imamat Kristus” dan “diarahkan satu kepada yang lain”, walaupun “berbeda dalam kodratnya” (LG 10). Mengapa ? Sementara imamat bersama umat beriman terlaksana dalam pengembangan rahmat Pembaptisan; dalam penghayatan iman, harapan dan cinta; dalam hidup sesuai dengan Roh Kudus; imamat jabatan itu ada untuk melayani imamat bersama ini. Ia berhubungan dengan pengembangan rahmat Pembaptisan semua orang Kristen. Ia adalah salah satu sarana, yang olehnya Kristus secara berkesinambungan membangun dan membimbing Gereja-Nya. Oleh karena itu, ia diterimakan oleh suatu Sakramen tersendiri, oleh Sakramen Tahbisan.

Maka memang secara khusus melalui partisipasi dalam sakramen Ekaristi, umat beriman menjalankan peran imamat bersama, namun partisipasi itu dimungkinkan oleh pelayanan imamat jabatan. Dari prinsip ini maka, memang yang berwewenang untuk mempersembahkan perayaan Ekaristi adalah para imam dan Uskup, yang merupakan penerus para Rasul. Dan dengan demikian tugas membagikan Komuni, adalah pertama-tama tugas para tertahbis, yaitu Uskup, imam dan diakon tertahbis.

Namun adakalanya, terdapat keadaan khusus (misalnya jumlah umat yang terlalu banyak), maka dibutuhkan pelayan-pelayan Komuni tak lazim untuk membantu para tertahbis tersebut. Instruksi yang dikeluarkan Vatikan sehubungan dengan perayaan Ekaristi, Redemptionis Sacramentum, menyebutkan:

RS 88    …. Tanggungjawab imam yang memimpin perayaan Misa untuk membagi komuni, mungkin dibantu oleh Imam-imam lain, atau oleh Diakon….. Hanya bila sungguh dibutuhkan, pelayan komuni tak lazim boleh membantu Imam sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.

RS 151     Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan pelayan-pelayan tak lazim dalam perayaan liturgi. Permohonan akan bantuan yang demikian bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat, melainkan karena kodratnya, bersifat pelengkap dan darurat….

RS 152    Jabatan- jabatan yang semata- mata pelengkap ini jangan dipergunakan untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh para Imam demikian rupa, sehingga para Imam lalai merayakan Misa untuk umat yang menjadi tanggung jawab mereka, ataupun melalaikan kepedulian terhadap orang sakit, atau pembaptisan anak-anak atau asistensi pada perkawinan atau pelaksanaan penguburan Kristiani: semuanya itu termasuk tugas inti para Imam, didampingi para Diakon. Karena itu tidak boleh terjadi bahwa di paroki-paroki para Imam menukar pelayanan pastoral dengan para Diakon atau orang awam, dan dengan demikian mengaburkan apa yang menjadi tugas masing-masing.

RS 157    Jika di suatu tempat biasanya jumlah pelayan tertahbis mencukupi untuk membagi Komuni, maka tidak boleh ditunjuk pelayan-pelayan tak lazim. Malah dalam situasi demikian, orang yang mungkin sudah ditunjuk untuk pelayanan ini, jangan melaksanakannya. Tidak dapat dibenarkan kebiasaan para Imam yang, walaupun hadir pada perayaan itu, tidak membagi komuni dan menyerahkan tugas ini kepada orang-orang awam.

RS 158    Memang pelayan tak lazim komuni hanya boleh menerimakan Komuni bila tidak ada Imam dan Diakon, atau bila Imam terganggu karena kesehatannya atau usia lanjut atau alasan lain yang wajar, atau bila jumlah orang beriman yang ingin menyambut Komuni begitu besar, sehingga perayaan Misa itu akan terlalu lama. Namun harus dimengerti bahwa upaya mempersingkat perayaan Misa, dengan memperhatikan situasi dan budaya setempat sama sekali bukan alasan yang cukup.

17 COMMENTS

  1. Sejujurnya, saya tak dapat mencerna mengapa sebagian keuskupan lokal di Indonesia atau secara kolektif dalam KWI memberlakukan istilah Prodiakon ataupun Asisten Imam kepada orang-orang yang secara fungsional menjalankan tugas Pelayan Ekaristi Tak Lazim (PETL)?

    Sejauh yang saya pernah baca dalam beberapa dokumen Gereja, tidak pernah ada iurisprudentia ataupun preseden hukum Gereja mengenai prodiakon dan secara mendasar hal itu tak pernah diatur dalam Codex Iuris Canonici.
    Saya berpendapat bahwa penggunaan istilah Asisten Imam atau Prodiakon cenderung membuat kerancuan dan berpotensi mengarahkan sebagian kalangan kepada tendensi Klerikalisme Awam.

    Saya pribadi menjumpai banyaknya kerancuan atau kebingungan di kalangan umat maupun beberapa klerus yang mungkin belum lengkap membaca CIC.
    Bahkan ada pula sebagian prodiakon atau Asisten Imam yang terkesan merasa “lebih” dari umat.

    Pendapat saya ini sejujurnya bukan karena pertimbangan like atau dislike kepada perorangan, namun lebih kepada kerinduan saya agar Gereja lokal di Indonesia lebih menyelaraskan dengan pengaturan prinsip Gereja Universal.

    Memang harus diakui bahwa kebutuhan akan adanya posisi Pelayan Ekaristi Tak Lazim muncul akibat tak berimbangnya jumlah diakon, presbyter (imam), dan uskup dibandingkan dengan pertumbuhan umat.
    Dan secara bijak, Hierarkhi Gereja Universal telah merumuskan hal itu dengan adanya istilah yang sesungguhnya sudah tepat, yaitu Pelayan Ekaristi Tak Lazim.
    Sedangkan “kreativitas peristilahan” yang diterapkan di Gereja lokal di Indonesia menurut saya kurang memperhatikan potensi bahaya kerancuan sebagaimana saya sebut di atas.

    Lebih jauh dan lebih mendalam lagi, jika memang dirasakan perlunya “tenaga tambahan” untuk memaksimalkan pelayanan klerus kepada umat yang selama ini disematkan kepada para ASISTEN imam, saya rasa akan lebih pas jika diberlakukan secara konsisten dengan struktur gerejani yang sudah disahkan oleh pengaturan yang lebih mendasar, dalam hal ini adalah Codex Iuris Canonici (Kitab Hukum Kanonik) sebagai sumber tertib hukum Gerejani.

    Secara kongkrit, saya menyarankan agar untuk membantu tugas-tugas imam, selayaknya jika ditambahkan jumlah diakon (NB: berarti tertahbis) yang diambil dari kalangan–yang saat ini disebut–prodiakon atau asisten imam. Atau dengan kata lain, daripada membuat istilah yang mengada-ada seperti prodiakon atau asisten imam, akan jauh lebih konsisten, konsekuen, efektif, dan efisien untuk menahbiskan para prodiakon YANG LAYAK sebagai Diakon Permanen.
    Lembaga Diakonat Permanen ini sudah diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (khususnya Kanon 1031) sehingga secara kanonik lebih dapat dipertanggungjawabkan “legalitasnya” daripada istilah prodiakon atau asisten imam.
    Bahkan dengan menahbiskan para Diakon Permanen justru akan amat membantu para imam lebih kongkret manakala para Diakon Permanen itu dapat menjalankan tugas Sakramentali (bukan Sakramen) di mana secara hakikat sebenarnya itu tak boleh dijalankan tanpa kuasa rahmat tahbisan (namun sayangnya sebagian tugas-tugas itu saat ini sudah dijalankan oleh para asisten imam/prodiakon yang notabene tak memiliki rahmat tahbisan).

    Saya amat merindukan bahwa Hierarkhi di Indonesia makin hari akan makin konsisten dan selaras dengan regula Gereja Universal.

    Salam hormat
    Pace et Bene
    Hilarius Johanes Kristyohadi

  2. Salam kasih Kristus,
    Mohon pencerahan mengenai busana liturgi yang dikenakan oleh Akolit yang bertugas membagikan komuni di Gereja. Apakah diijinkan menggunakan Jubah atau cukup menggunakan Alba dan Single.
    Pemahaman saya Alba biasa dipakai oleh Misdinar, sedangkan Jubah dipakai oleh Pastur.
    Apakah ada peraturan secara resmi perihal busana untuk Akolit, Prodiakon, dan Misdinar?

    Terimakasih, Berkah Dalem Gusti.
    Hartoyo

    • Shalom Hartoyo,

      Prinsipnya, pakaian liturgis antara pelayan yang bukan imam tidak sama dengan pakaian imam. Maka selalu ada pembedaan antara pakaian imam, diakon [dalam hal ini diakon tertahbis], dan pelayan awam lainnya, termasuk akolit, misdinar, pembagi Komuni tak lazim, lektor, pemazmur dan komentator.

      Silakan membaca terlebih dahulu, ketentuan dari PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi), tentang pakaian liturgis tersebut, silakan klik.

      Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
      Ingrid Listiati- katolisitas.org

  3. Syallom,
    Saya dipercaya dan ditugasi untuk menjadi salah seorang “Pelayan Pembagi Komuni Tak Lazim” di Paroki kami. Ketika melaksanakan tugas untuk membagikan komuni pada orang sakit, ada pihak keluarga si sakit yang karena alasan hrs menunggui si sakit sehingga tidak memungkinkan utk ke greja meminta juga untuk bisa diberi Komuni Suci. Apakah hal ini diperbolehkan?
    Terima kasih…..atas jawaban yang diberikan!

    Wasalan,
    Protasius Margo J.

    • Salam Protasius,

      Bisa dimengerti alasan yang dikemukakan oleh saudara Protasius, kalau si sakit tidak dapat ditinggalkan sendirian, maka orang yang menunggui si sakit dapat menerima komuni bersama si sakit.

      Salam dan doa. Gbu.
      Rm Boli.

  4. Shalom..
    Saya ingin bertanya tentang berkat di dahi (bagi yang tidak menerima komuni/berhalangan) yang diberikan oleh Asisten Imam (yang tidak tertahbis). Apakah berkat yang diterima oleh umat tersebut sama dengan berkat yang diberikan oleh Imam ?

    Terima kasih

    • Salam Bambang,

      Berkatnya berasal dari sumber yang sama yaitu dari Allah, hanya disalurkan lewat tangan orang yang memiliki imamat tahbisan (imam karena rahmat tahbisan) dan tangan orang yang memiliki imamat rajawi (asisten imam karena rahmat pembaptisan). Efektifitas dari berkat itu tergantung juga dari iman orang yang menerimanya.

      Salam dan doa. Gbu.
      Rm Boli.

  5. Dear Katolisitas,

    saya sering lihat suster turut membantu bagikan komuni.
    Apa mungkin seorang ibu juga bisa ditunjuk menjadi pro-diakon?
    Apa boleh seorang suster atau bruder memimpin ibadah resmi? (bukan persekutuan doa)

    Terimakasih,
    Robert

    • Salam Robert

      saya menuliskan jawaban saya dalam huruf miring di bawah pertanyaan Anda

      Dear Katolisitas,
      saya sering lihat suster turut membantu bagikan komuni.
      Apa mungkin seorang ibu juga bisa ditunjuk menjadi pro-diakon?

      Hendaknya hindarkan penggunaan istilah prodiakon dan pakailah istilah asisten pastoral atau asisten imam atau akolit. Seorang ibu bisa dicalonkan menjadi akolit atau asisten imam/asisten pastoral.

      Apa boleh seorang suster atau bruder memimpin ibadah resmi? (bukan persekutuan doa)

      Kalau ibadah yang dimaksud adalah Ibadah Sabda hari Minggu dan hari raya tanpa imam, maka suster atau bruder dapat memimpinnya setelah mendapat ijin dari pemimpin Gereja setempat.

      Terimakasih,
      Robert

      Tks dan doa. Gbu.
      Rm Boli.

      • Romo Boli yth,
        Saya ingin mengklarifikasi sedikit jawaban romo di atas.
        Romo menulis,”…Seorang ibu bisa dicalonkan menjadi akolit atau asisten imam..”

        Sejujurnya saya masih kurang paham dengan istilah asisten imam. Kalau yang dimaksud adalah pelayan komuni tak lazim (Extra ordinary minister of holy communion) memang wanita diperbolehkan. Tetapi tidak untuk menjadi akolit. Berikut hukum yang mengaturnya.

        Kanon 230 – §1. Orang awam pria, yang sudah mencapai usia dan mempunyai sifat-sifat yang ditentukan oleh dekret Konferensi Waligereja, dapat diangkat secara tetap untuk menjalankan pelayanan sebagai lektor dan akolit dengan upacara liturgis yang ditentukan; tetapi pemberian tugas-tugas itu tidak memberikan hak atas nafkah atau imbalan yang harus disediakan oleh Gereja.

        §3. Di mana kebutuhan Gereja memintanya, dan bila tidak ada pelayan-pelayan rohani, juga kaum awam meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, memberikan baptis dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-ketentuan hukum.

        Tambahan mungkin untuk Robert. Menjadi seorang suster tidak otomatis lantas dia berhak untuk ikut membagikan komuni. Dia tetap mengikuti pelatihan terlebih dahulu, kalau saya di Perth yang memberikan latihan itu Komisi Liturgi Keuskupan. Setelah itu mereka akan kirim surat ke romo paroki bahwa ybs sudah ikut pelatihan. Lalu, ybs dilantik di depan umat dalam Misa.

        Untuk Ibadat Sabda, seperti yang dinyatakan hukum kanon di atas kalau keadaan membutuhkan awam sekalipun juga bisa memimpin. Dulu waktu di sekolah pernah Guru Agama memimpin Ibadat Sabda di kapel karena Romo yang seharusnya merayakan Misa tiba – tiba berhalangan.

        Salam,
        Edwin ST

        • Salam Edwin,

          Acuan yang Anda gunakan benar, wanita tidak diperbolehkan menjadi akolit, jika akolit yang dimaksud adalah akolit calon klerus atau calon imam (biasa dipanggil frater), yang harus dilantik menjadi akolit sebelum ditahbiskan menjadi diakon dan imam. Sampai sekarang Gereja tidak menerima calon imam wanita. Tetapi ada juga akolit dan lektor yang bukan calon imam, yang dapat menjalankan peran pelayan komuni tak lazim. Wanita dapat menjadi akolit seperti ini. Acuannya ada dalam dokumen Redemptionis Sacramentum (RS) no 47.

          [47.] It is altogether laudable to maintain the noble custom by which boys or youths, customarily termed servers, provide service of the altar after the manner of acolytes, and receive catechesis regarding their function in accordance with their power of comprehension. Nor should it be forgotten that a great number of sacred ministers over the course of the centuries have come from among boys such as these. Associations for them, including also the participation and assistance of their parents, should be established or promoted, and in such a way greater pastoral care will be provided for the ministers. Whenever such associations are international in nature, it pertains to the competence of the Congregation for Divine Worship and the Discipline of the Sacraments to establish them or to approve and revise their statutes. Girls or women may also be admitted to this service of the altar, at the discretion of the diocesan Bishop and in observance of the established norms.

          Dalam RS no 44 dibedakan dua macam akolit dan lektor. Yang pertama adalah akolit dan lektor tetap, sebagai pelayan gerejawi sejak dulu kala, yang acuannya ada dalam KHK 230 #1, sejauh saya mengerti adalah mereka yang dilantik sebelum ditahbiskan menjadi diakon dan imam, berarti haruslah orang awam pria. Tetapi ada juga akolit untuk sementara, berarti seorang awam bukan calon imam. Jadi sekali lagi sejauh saya mengerti, akolit yang sementara ini bisa seorang pria dan bisa seorang wanita, meskipun dalam pasal yang ini tidak ditulis secara eksplisit. Maaf kalau dalam jawaban saya sebelumnya saya kurang jelas membuat pembedaan akolit itu.

          Berikut kutipan RS 44:
          [44.] Apart from the duly instituted ministries of acolyte and lector, the most important of these ministries are those of acolyte and lector by temporary deputation. In addition to these are the other functions that are described in the Roman Missal, as well as the functions of preparing the hosts, washing the liturgical linens, and the like. All, “whether ordained ministers or lay faithful, in exercising their own office or ministry should do exclusively and fully that which pertains to them”. In the liturgical celebration itself as well as in its preparation, they should do what is necessary so that the Church’s Liturgy will be carried out worthily and appropriately.

          Akolit wanita dapat membantu imam (sepengetahuan pastor paroki atau pastor pembantu) untuk melayani komuni dalam Ekaristi, dalam Ibadat Sabda hari Minggu dan Hari Raya tanpa imam dan membawakan kotbah, dalam Ibadat Komuni untuk orang sakit serta orang jompo dan membawakan renungan sekaligus mengunjungi dan menghibur mereka. Tugas ini juga dijalankan oleh akolit calon imam. Dalam arti ini (sebagai akolit) baik calon imam maupun yang bukan calon imam disebut asisten imam atau asisten pastoral (berbeda dengan pastor-imam pembantu atau pastor-imam asisten yang adalah orang-orang tertahbis).

          Semoga istilah asisten imam atau asisten pastoral ini tidak mengundang tafsiran negatif tentang peran awam dalam pelayanan pastoral sebagai hanya sekedar pembantu imam, tetapi dalam arti positif sebagai rekan dalam karya pastoral yang memang harus saling membantu dalam karya pastoral dikoordinir oleh pastor paroki. Harap menjadi agak jelas.

          Salam dan doa. Gbu.
          Rm Boli.

          • Romo Boli yth,
            Saya sekali belum dapat setuju dengan pendapat romo.
            1. RS #47 merujuk pada EMHC dan altar server yang memang pria dan wanita boleh ambil bagian. Pengalaman saya sebagai EMHC di Keuskupan Agung Perth, setelah pelatihan dari KomLit keuskupan, diutus dalam misa di Paroki asal untuk masa tugas 2 tahun dan bisa diperbaharui sesudahnya. Saya melihat di Jakarta sendiri ada paroki yang membolehkan wanita jadi misdinar seperti kelapa gading tetapi di cengkareng cuma pria saja yang jadi misdinar.

            2. Untuk akolit sendiri sekali lagi merujuk Kanon 230, hanya untuk pria saja. Status akolit melekat seumur hidup, itu yang dikatakan oleh Uskup sewaktu melantik saya sebagai akolit. Akolit sementara justru merujuk kepada mereka yang akan ditahbiskan sebagai diakon.

            3. Dokumen yang lebih spesifik adalah Motu Proprio: Ministeria Quaedam yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI di tahun 1972. Saya sadur beberapa poin.
            $1. First tonsure is no longer conferred; entrance into the clerical state is joined to the diaconate.
            $2. What up to now were called minor orders are henceforth to be called ministries.
            $3. Ministries may be assigned to lay Christians; hence they are no longer to be considered as reserved to candidates for the sacrament of orders.
            $4. Two ministries, adapted to present-day needs, are to be preserved in the whole Latin Church, namely, those of reader and acolyte. The functions heretofore assigned to the subdeacon are entrusted to the reader and the acolyte; consequently, the major order of subdiaconate no longer exists in the Latin Church. There is, however, no reason why the acolyte cannot be called a subdeacon in some places, at the discretion of the conference of bishops.
            $7. In accordance with the ancient tradition of the Church, institution to the ministries of reader and acolyte is reserved to men.
            $9. The ministries are conferred by the Ordinary (the bishop and, in clerical institutes, the major superior) through the liturgical rite De institutione lectoris and De institutione acolythi as revised by the Apostolic See.

            Untuk lengkapnya bisa dilihat di http://www.ewtn.com/library/papaldoc/p6minors.htm atau di http://www.vatican.va/holy_father/paul_vi/motu_proprio/documents/hf_p-vi_motu-proprio_19720815_ministeria-quaedam_lt.html

            Semoga menjadi jelas bagi semua setelah membaca poin 7 dari Motu Prorio di atas bahwa hanya pria yang bisa dilantik menjadi akolit dan lektor dan konferensi Uskup tidak berwenang mengubah hal ini.

            Jadi secara pribadi saya melihat harus dibedakan antara akolit dan pelayan komuni tak lazim (EMHC). Singkatnya akolit seperti EMHC plus. Dari pelatihan yang saya dapat sebagai EMHC dan akolit, EMHC berlaku cuma untuk lingkup paroki ditandai dengan surat pengutusan dari pastor paroki, akolit lingkupnya keuskupan karena yang mengeluarkan surat pengutusan itu keuskupan walaupun dalam praktik sehari – hari bertugas di satu paroki saja.

            Salam,
            Edwin ST

          • Shalom Edwin,

            Berikut ini adalah tanggapan yang dapat saya sampaikan sambil menunggu tanggapan Romo Boli. Jika tanggapan Romo Boli sampai, dan berbeda dengan tanggapan saya, silakan memakai jawaban Romo Boli, sebab beliaulah yang ahli dalam hal ini.

            Pada prinsipnya, nampaknya kita perlu membedakan, istilah lektor dan akolit yang dilantik, dan lektor dan akolit yang tidak dilantik, yaitu mereka kaum awam yang melakukan tugas pelayanan lektor dan akolit ini tapi tidak dilantik. Menurut tradisi Gereja, sebagaimana tertulis juga dalam KHK, lektor dan akolit yang dilantik ini terbatas pada kaum laki-laki. Namun demikian, lektor dan akolit yang tidak dilantik, (yaitu mereka yang dipercaya untuk menjalankan tugas lektor dan akolit ini, ataupun karena kurangnya jumlah lektor dan akolit yang dilantik) dapat terdiri dari kaum laki-laki maupun perempuan.

            Katekismus sendiri secara implisit menyebutkan adanya pembedaan ini, yaitu antara lektor dan akolit yang dilantik, ataupun mereka yang tidak dilantik; demikian:

            KGK 903    Kalau memenuhi semua persyaratan, para awam dapat dilantik untuk pelayanan tetap sebagai lektor atau akolit (Bdk. KHK, kan. 230,1), “Di mana kebutuhan Gereja memintanya, dan bila tidak ada pelayan-pelayan rohani, juga kaum awam meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, memberikan permandian, dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-ketentuan hukum” (KHK, kan. 230,3).

            Hal pembedaan antara lektor dan akolit yang dilantik (tetap) dan yang tidak dilantik (sementara), juga disebut dalam KHK:

            KHK 230 § 1    Orang awam pria, yang sudah mencapai usia dan mempunyai sifat-sifat yang ditentukan oleh dekret Konferensi para Uskup, dapat diangkat secara tetap untuk menjalankan pelayanan sebagai lektor dan akolit dengan ritus liturgis yang ditentukan; tetapi pemberian tugas-tugas itu tidak memberikan hak atas sustentasi atau imbalan yang harus disediakan oleh Gereja.

            KHK 230 § 2    Dengan penugasan sementara orang-orang awam dapat menunaikan tugas lektor dalam kegiatan-kegiatan liturgis; demikian pula semua orang beriman dapat menunaikan tugas komentator, penyanyi atau tugas-tugas lain menurut norma hukum.

            KHK 230 § 3    Bila kebutuhan Gereja memintanya karena kekurangan pelayan, juga kaum awam, meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, menerimakan baptis dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-ketentuan hukum.

            Salam kasih dalam Kristus Tuhan,
            Ingrid Listiati- katolisitas.org

  6. Terima kasih Pastor Boli dalam kasih Kristus atas penjelasannya. Saya menulis di atas karena pola yang sama ketika saya mengikuti perayaan Ekaristi di Perth (St Columba, St Joseph, St Joachim) di gereja2 Kuala Lumpur (St John dan St Antony, kemudian di Georgetown Assumption Church Cathedral dan di Melaka St Peter dan Francis Xavier dan belasan gereja di Spore totally lebih dari 20 gereja merayakan Ekaristi dengan pola yang sama. Yaitu pastor tidak meninggalkan altar dan mimbar kecuali waktu komuni, sebaliknya awam pembagi komuni tidak ada yang berjubah dan menerima sibori di altar, semuanya menunggu di kaki altar. Yang juga beda dilakukan adalah dalam Ibadat Sabda yaitu homilinya atau khotbahnya tidak ada yang melucu, membuat guyonan, menyanyi, sharing pribadi yang diulang2 dengan mengacu kepada diri selebran, atau yang mengajak dialog sambil jalan2 di koridor tengah gereja. Tidak pernah ada ucapan terima kasih kepada semua yang disebutkan dari prodiakon, koor, misdinar, etc dan tidak pernah terjadi tepuk tangan atau permintaan tepuk tangan/applaus dariumat. Apa di Indonesia kadang terjadi begitu permisif seijin Bapa Uskup,sehingga boleh berkreativitas dan improvisasi. Demikian juga isi khotbah dan atau homili lebih menjelaskan Sabda. Mohon Pastor berkenan memberi penerangan sebenarnya menurut Liturgi yang benar bagaimana. Terima kasih sebelumnya, maaf lancang namun barangkali secara pribadi meskipun dalam Ekaristi kita bersyukur dan mempersembahkan diri bersama dan berpusatkan kepada Kristus. Hal hal yang spesifik saya alami di sini rasanya menjadi ganjelan, meski mungkin bagi orang lain hal yang biasa.

    • Salam Tanumihardja Hendra,

      Saya tuliskan ulang poin-poin pertanyaan Anda dalam huruf miring dan jawaban saya tuliskan sesudah pertanyaan Anda.

      Pastor tidak meninggalkan altar dan mimbar kecuali waktu komuni,
      memang sebaiknya demikian, terutama dalam Misa umat. Hanya dalam Misa kelompok anak-anak ada kemungkinan untuk berhomili dengan berdialog sambil mendekati anak-anak agar perhatian mereka mudah diarahkan. Kalau anak-anak mudah diatur dan tertib pada waktu homili, sebaiknya pastor tetap di mimbar.

      Sebaliknya awam pembagi komuni tidak ada yang berjubah dan menerima sibori di altar, semuanya menunggu di kaki altar.
      Tentang busana pelayan komuni tak lazim (akolit) menurut Pedoman Umum Misale Romawi no. 339, ditulis bahwa akolit dan lektor serta pelayan lain boleh mengenakan alba atau busana lain yang disahkan oleh Konferensi Uskup untuk wilayah gerejawi yang bersangkutan. Sampai sekarang saya belum menemukan satu larangan tertulis agar pelayan komuni tak lazim tidak menerima sibori di altar

      Yang juga beda dilakukan adalah dalam Ibadat Sabda yaitu homilinya atau khotbahnya tidak ada yang melucu, membuat guyonan, menyanyi, sharing pribadi yang diulang2 dengan mengacu kepada diri selebran.
      Homili dalam Ekaristi atau kotbah dalam Ibadat Sabda sebenarnya adalah bagian utuh dari perayaan yang berlangsung dalam suasana doa. Suasana ini hendaknya dipelihara dengan menghindarkan bentuk homili/kotbah yang penuh dengan lelucon dan guyonan. Kalau menyanyi solo dari pembawa homili dan sharing pribadi lebih mengacu kepada diri selebran, alangkah baiknya dihindarkan.

      Atau ada yang mengajak dialog sambil jalan2 di koridor tengah gereja.
      Lihat di atas tanggapan tentang hal ini.

      Tidak pernah ada ucapan terima kasih kepada semua yang disebutkan dari prodiakon, koor, misdinar, etc dan tidak pernah terjadi tepuk tangan atau permintaan tepuk tangan/applaus dari umat.
      Sebaiknya dihindarkan kebiasaan-kebiasaan ini.

      Terima kasih banyak.
      Rm Boli.

  7. Salam Tanumihardja,

    Jawaban saya tulis dengan huruf miring di bawah setiap pertanyaan Anda.

    Namun realitanya sekarang penguburan hanya dilakukan prodiakon kecuali orang orang tertentu.

    Sebaiknya kita gunakan istilah asisten pastoral atau asisten imam atau akolit dan bukan prodiakon. Kalau diakon atau imam punya waktu hendaknya melaksanakan pelayanan penguburan jenasah. Patut disayangkan kalau diakon atau imam punya waktu tetapi menyerahkan tugas pelayanan penguburan jenasah itu kepada asisten pastoral.

    Penggunaan jubah oleh prodiakon (khas Indonesia) bahkan singels, dan apa perlu awam naik altar hanya sekedar pamer diri sebelum komuni.

    Kalau ada gejala atau tanda bahwa asisten pastoral menggunakan pakaian pelayanan dalam ibadat hanya untuk pamer diri maka harus dibuat pembinaan dengan latihan konkrit untuk mengatasi dan mengurangkan gejala-gejala itu. Pamer diri itu meliputi rasa batin atau rasa perasaan (keinginan hati atau niat) untuk memamerkan / menonjolkan diri dan sikap lahiriah yang nampak secara kasat mata. Bisa saja orang sungguh punya niat baik tidak suka pamer tetapi dalam sikap lahiriah dia tidak cukup trampil menunjukkan niat hati itu, sebaliknya orang dapat saja trampil menunjukkan dalam sikap lahiriah bahwa ia tidak suka pamer tetapi dalam lubuk hatinya yang terdalam ada niat untuk menonjolkan dan memamerkan diri. Orang-orang seperti ini adalah orang yang tidak utuh, tidak integer, tak punya integritas (kasarnya: munafik). Yang kita butuhkan adalah pelayan yang punya kepribadian utuh, integer, hati-niatnya dan sikap lahiriahnya serasi-utuh, jujur tulus. Untuk mencapai ini perlu pembinaan, latihan dan doa untuk membuka diri bagi pemurnian-pembaruan oleh Roh Kudus yang membimbing kita untuk beribadah dan melayani.

    Kalau hanya bertugas bagi komuni kan tidak perlu pakai jubah apalagi singels dan kemudian apa perlunya naik altar, sedangkan pastornya kadang suka turun altar untuk sekedar salam damai dan homili sambil jalan jalan.

    Dalam pedoman ditulis bahwa pakaian bagi pelayan atau petugas khusus yang awam adalah jubah dengan singel dan bahwa pelayan komuni tak lazim mendektai altar untuk menerima Tubuh/Darah Kristus dari pemimpin tertahbis sebelum membawanya kepada para komunikan. Untuk salam damai imam pemimpin diminta untuk menyatakan salam damai kepada petugas lain yang ada di panti imam dan tidak turun dari altar ke tengah umat, tetapi bisa turun dari altar untuk membagi Komuni kepada umat atau untuk homili kalau amat perlu untuk berkomunikasi dengan lebih baik, apalagi dalam Misa untuk kelompok anak-anak

    Tks dan doa. Gbu.
    Rm Boli.

  8. Namun realitanya sekarang penguburan hanya dilakukan prodiakon kecuali orang orang tertentu. Penggunaan jubah oleh prodiakon (khas Indonesia) bahkan singels, dan apa perlu awam naik altar hanya sekedar pamer diri sebelum komuni. Kalau hanya bertugas bagi komuni kan tidak perlu pakai jubah apalagi singels dan kemudian apa perlunya naik altar, sedangkan pastornya kadang suka turun altar untuk sekedar salam damai dan homili sambil jalan jalan.

Comments are closed.