[Berikut ini adalah terjemahan tidak resmi (un-official translation) dari dokumen- dokumen CDF (Kongregasi Ajaran Iman) mengenai topik ajaran tentang Gereja, sebagaimana disebutkan pada judul-judulnya]
Kongregasi Ajaran Iman
Tanggapan-tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang beberapa aspek tertentu perihal ajaran tentang Gereja
Pendahuluan
Konsili Vatikan II, dengan Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, dan Dekrit tentang Ekumenisme (Unitatis Redintegratio) dan Gereja-gereja Timur (Orientalium Ecclesiarum) telah memberikan kontribusi secara definitif kepada pembaharuan ekklesiologi Katolik. Para Imam Tertinggi [Paus] telah juga memberikan kontribusi kepada pembaharuan ini dengan menawarkan ajaran-ajaran mereka yang mendalam dan pengarahan-pengarahan praktis: Paus Paulus VI dalam surat ensikliknya, Ecclesiam suam (1964) dan Paus Yohanes Paulus II dalam surat ensikliknya, Ut unum sint (1995).
Konsekuensi tugas para teolog untuk menjabarkan dengan kejelasan yang lebih gamblang aspek-aspek ekklesiologi yang beraneka ragam telah menghasilkan banyak tulisan tentang bidang ini. Memang telah terbukti bahwa tema ini adalah sebuah tema yang sangat berbuah yang, walaupun begitu, telah sering mensyaratkan klarifikasi dengan cara pemberian definisi dan koreksi yang tepat, sebagai contohnya, dalam deklarasi Mysterium Ecclesiae (1973), Surat yang ditujukan untuk Uskup-uskup Gereja Katolik, Communionis notio (1992), dan deklarasi Dominus Iesus (2000), yang semuanya dipublikasikan oleh Kongregasi Ajaran Iman.
Luasnya topik ini dan senantiasa barunya banyak tema yang terlibat, terus mempengaruhi permenungan teologis. Di antara banyak kontribusi-kontribusi baru di bidang ini, beberapa hal tidak kebal dari kesalahan interpretasi yang pada gilirannya dapat menimbulkan kebingungan dan keraguan. Beberapa interpretasi ini telah diajukan menjadi perhatian Kongregasi Ajaran Iman. Dengan mengambil dasar universalitas ajaran Katolik, Kongregasi berharap untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan ini dengan menjelaskan arti yang otentik dari beberapa ekspresi ekklesiologis yang digunakan oleh Magisterium yang sering disalahartikan dalam debat teologis.
Tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan
Pertanyaan 1: Apakah Konsili Vatikan II mengubah ajaran Katolik tentang Gereja?
Tanggapan:
Konsili Vatikan II tidak mengubah ataupun bermaksud mengubah ajaran ini, melainkan mengembangkan, memperdalam dan menjelaskannya dengan lebih penuh.
Inilah yang jelas dikatakan oleh Paus Yohanes XXIII pada permulaan Konsili. ((Paus Yohanes XXIII, Address of 11 October 1962: “…The Council…wishes to transmit Catholic doctrine, whole and entire, without alteration or deviation…To be sure, at the present time, it is necessary that Christian doctrine in its entirety, and with nothing taken away from it, is accepted with renewed enthusiasm, and serene and tranquil adherence… it is necessary that the very same doctrine be understood more widely and more profoundly as all those who sincerely adhere to the Christian, Catholic and Apostolic faith strongly desire …it is necessary that this certain and unchangeable doctrine, to which is owed the obedience of faith, be explored and expounded in the manner required by our times. For the deposit of faith itself, or the truths which are contained in our venerable doctrine, are one thing; another thing is the way in which they are expressed, with however the same meaning and signification”: AAS 54 [1962] 791-792.)) Paus Paulus VI menegaskannya ((Lih. Paus Paulus VI, Address of 29 September 1963: AAS 55 [1963] 847-852.)) dan menjelaskan di akta promulgasi Konstitusi Lumen Gentium: “Tidak ada komentar yang lebih baik daripada mengatakan bahwa promulgasi ini sungguh tidak mengubah apapun tentang ajaran tradisional. Apa yang dikehendaki Kristus, kami kehendaki juga. Apa yang ada dahulu, tetap ada sekarang. Apa yang telah diajarkan oleh Gereja sepanjang abad, kami juga ajarkan. Dalam pengertian yang sederhana, apa yang dulu diasumsikan, kini menjadi eksplisit; apa yang dulu tak jelas, kini menjadi jelas; apa yang dulu direnungkan, didiskusikan dan kerapkali diperdebatkan, kini disampaikan di dalam satu rumusan yang jelas.” ((Paus Paulus VI, Address of 21 November 1964: AAS 56 [1964] 1009-1010.)) Para uskup secara berulang kali menyatakan dan memenuhi maksud ini. ((The Council wished to express the identity of the Church of Christ with the Catholic Church. This is clear from the discussions on the decree Unitatis redintegratio. The Schema of the Decree was proposed on the floor of the Council on 23.9.1964 with a Relatio (Act Syn III/II 296-344). The Secretariat for the Unity of Christians responded on 10.11.1964 to the suggestions sent by Bishops in the months that followed (Act Syn III/VII 11-49). Herewith are quoted four texts from this Expensio modorum concerning this first response:
A) [In Nr. 1 (Prooemium) Schema Decreti: Act Syn III/II 296, 3-6]
“Pag. 5, lin. 3-6: Videtur etiam Ecclesiam catholicam inter illas Communiones comprehendi, quod falsum esset.
R(espondetur): Hic tantum factum, prout ab omnibus conspicitur, describendum est. Postea clare affirmatur solam Ecclesiam catholicam esse veram Ecclesiam Christi” (Act Syn III/VII 12).
B) [In Caput I in genere: Act Syn III/II 297-301]
“4 – Expressius dicatur unam solam esse veram Ecclesiam Christi; hanc esse Catholicam Apostolicam Romanam; omnes debere inquirere, ut eam cognoscant et ingrediantur ad salutem obtinendam…
R(espondetur): In toto textu sufficienter effertur, quod postulatur. Ex altera parte non est tacendum etiam in aliis communitatibus christianis inveniri veritates revelatas et elementa ecclesialia”(Act Syn III/VII 15). Cf. also ibid pt. 5.
C) [In Caput I in genere: Act Syn III/II 296s]
“5 – Clarius dicendum esset veram Ecclesiam esse solam Ecclesiam catholicam romanam…
R(espondetur): Textus supponit doctrinam in constitutione ‘De Ecclesia’ expositam, ut pag. 5, lin. 24-25 affirmatur” (Act Syn III/VII 15). Thus the commission whose task it was to evaluate the responses to the Decree Unitatis redintegratio clearly expressed the identity of the Church of Christ with the Catholic Church and its unicity, and understood this doctrine to be founded in the Dogmatic Constitution Lumen gentium.
D) [In Nr. 2 Schema Decreti: Act Syn III/II 297s]
“Pag. 6, lin. 1- 24: Clarius exprimatur unicitas Ecclesiae. Non sufficit inculcare, ut in textu fit, unitatem Ecclesiae.
R(espondetur): a) Ex toto textu clare apparet identificatio Ecclesiae Christi cum Ecclesia catholica, quamvis, ut oportet, efferantur elementa ecclesialia aliarum communitatum”.
“Pag. 7, lin. 5: Ecclesia a successoribus Apostolorum cum Petri successore capite gubernata (cf. novum textum ad pag. 6, lin.33-34) explicite dicitur ‘unicus Dei grex’ et lin. 13 ‘una et unica Dei Ecclesia’ ” (Act Syn III/VII).
The two expressions quoted are those of Unitatis redintegratio 2.5 e 3.1.))
Pertanyaan 2: Apakah artinya penegasan bahwa Gereja Kristus berada (subsists) dalam Gereja Katolik?
Tanggapan:
Kristus “mendirikan di dunia ini” hanya satu Gereja dan menginstitusikannya sebagai sebuah “komunitas yang kelihatan dan rohani” ((Cf. Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 8.1.)), bahwa sejak awal mula dan sepanjang segala abad telah selalu ada dan akan selalu ada, dan hanya di dalamnya, ditemukan semua elemen yang diinstitusikan oleh Kristus sendiri. ((Cf. Second Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio, 3.2; 3.4; 3.5; 4.6.)) Gereja Kristus yang satu ini, yang kita akui di dalam Syahadat sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik […]. Gereja ini, yang disusun dan diatur di dunia ini sebagai serikat, berada di dalam Gereja Katolik, yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan para Uskup di dalam persekutuan dengannya.” ((Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen gentium, 8.2.))
Dalam Konstitusi Dogmatik Lumen gentium, 8, ‘wujud keberadaan’/ subsistence berarti ketahanan yang terus menerus ini, keberlangsungan secara historis dan ketetapan secara permanen semua elemen yang diinstitusikan oleh Kristus dalam Gereja Katolik ((Cf. Kongregasi Ajaran Iman, Deklarasi Mysterium Ecclesiae, 1.1: AAS 65 [1973] 397; Deklarasi Dominus Iesus, 16.3: AAS 92 [2000-II] 757-758; Notifikasi tentang buku karangan Leonardo Boff, OFM, “Church: Charism and Power”: AAS 77 [1985] 758-759.)), di mana di dalamnya Gereja Kristus secara nyata didirikan di dunia ini.
Adalah mungkin, menurut doktrin Katolik, untuk menegaskan secara benar bahwa Gereja Kristus hadir dan berkarya dalam gereja-gereja dan komunitas-komunitas gerejawi yang belum sepenuhnya bersatu dalam komunitas dengan Gereja Katolik, karena adanya elemen-elemen pengudusan dan kebenaran yang ada di dalam mereka. ((Cf. Paus Yohanes Paulus II, Ut unum sint, 11.3: AAS 87 [1995-II] 928.)) Namun demikian, kata “berada (subsists)” hanya dapat diatributkan kepada Gereja Katolik saja, justru karena kata itu mengacu kepada tanda kesatuan yang kita akui dalam simbol-simbol iman (Aku percaya …. akan “satu” Gereja); dan “satu” Gereja ini berada dalam Gereja Katolik. ((Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen gentium, 8.2.))
Pertanyaan 3: Mengapa ekspresi “berada dalam/ subsists in” yang diambil, dan bukan kata sederhana “adalah/ is“?
Tanggapan:
Penggunaan ekspresi ini, yang menyatakan hubungan identitas penuh Gereja Kristus dengan Gereja Katolik, tidak mengubah ajaran tentang Gereja. Lebih tepatnya, ekspresi ini timbul dari dan menyatakan dengan lebih jelas fakta bahwa terdapat “banyak elemen pengudusan dan kebenaran” yang ditemukan di luar struktur Gereja, tetapi yang, “sebagai karunia-karunia yang khas bagi Gereja Kristus, dan mendorong ke arah kesatuan Katolik.” ((Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatik tentang Gereja, Lumen gentium, 8.2.))
“Oleh karena itu gereja-gereja dan komunitas-komunitas yang terpisah, walaupun menurut pandangan kita diwarnai oleh kekurangan-kekurangan, sama sekali bukannya tidak berarti atau bernilai dalam misteri keselamatan. Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan, yang kekuatannya bersumber pada kepenuhan rahmat serta kebenaran itu, yang dipercayakan kepada Gereja Katolik. ((Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis redintegratio, 3.4.))
Pertanyaan 4: Mengapa Konsili Vatikan II menggunakan istilah “Gereja” dalam acuan kepada Gereja-gereja Timur yang terpisah dari persekutuan penuh dengan Gereja Katolik?
Tanggapan:
Konsili berkehendak mengadopsi penggunaan tradisional tentang istilah tersebut. “Sungguhpun terpisah, Gereja-Gereja Timur mempunyai Sakramen-Sakramen yang sejati, terutama berdasarkan suksesi apostolik, Imamat dan Ekaristi. Melalui Sakramen-Sakramen itu mereka masih berhubungan erat sekali dengan kita. ((Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis redintegratio, 15.3; cf. Congregation for the Doctrine of the Faith, Letter Communionis notio, 17.2: AAS, 85 [1993-II] 848.)), mereka layak disebut “Gereja-gereja partikular atau lokal” ((Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis redintegratio, 14.1.)) dan disebut saudara Gereja-gereja dari Gereja-gereja Katolik partikular. ((Cf. Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis redintegratio, 14.1; Paus Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik, Ut unum sint, 56 f: AAS 87 [1995-II] 954 ff.))
“Melalui perayaan Ekaristi Tuhan di masing-masing Gereja itu, Gereja Allah dibangun dan berkembang” ((Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis redintegratio, 15.1.)). Namun demikian karena persekutuan dengan Gereja Katolik, yang kepalanya yang kelihatan adalah Uskup Roma dan penerus Rasul Petrus, bukanlah merupakan semacam pelengkap eksternal kepada Gereja partikular namun merupakan prinsip konstitutif secara internal, [maka] komunitas-komunitas Kristiani yang terhormat ini kekurangan sesuatu dalam keadaan mereka sebagai gereja-gereja partikular. ((Cf. Kongrgasi Ajaran Iman, Letter Communionis notio, 17.3: AAS 85 [1993-II] 849.))
Di lain pihak, karena perpecahan di antara kaum Kristiani, maka universalitas yang penuh, yang layak bagi Gereja yang dipimpin oleh pengganti Rasul Petrus dan para Uskup di dalam persekutuan dengannya, tidak secara penuh ter-realisasi dalam sejarah.” ((Ibid.))
Pertanyaan 5: Mengapa teks-teks Konsili dan teks Magisterium sejak Konsili Vatikan II tidak menggunakan istilah “Gereja” sehubungan dengan Komunitas-komunitas Kristiani yang lahir dari Reformasi di abad ke-16?
Tanggapan:
Menurut ajaran Katolik, Komunitas-komunitas ini tidak mempunyai suksesi apostolik dalam sakramen Imamat, dan karena itu, tidak mempunyai elemen konstitutif Gereja. Komunitas-komunitas gerejawi ini yang, terutama karena tidak mempunyai imamat sakramental, tidak melestarikan substansi Misteri Ekaristi secara asli dan menyeluruh ((Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis redintegratio, 22.3.)), tidak dapat, menurut ajaran Katolik, disebut sebagai “Gereja-gereja” dalam arti yang sesungguhnya. ((Lih. Kongregasi Ajaran Iman, Deklarasi Dominus Iesus, 17.2: AAS 92 [2000-II] 758.))
Imam tertinggi Benediktus XVI, pada Audiensi yang diberikan kepada Kardinal Prefek Kongregasi Ajaran Iman yang bertandatangan di bawah ini, telah meratifikasi dan meneguhkan Tanggapan-tanggapan ini, mengadopsikannya dalam Sesi Keseluruhan dari Kongrgasi dan memerintahkan publikasinya.
Roma, dari Kantor Kongregasi Ajaran Iman, 29 Juni, 2007, pada hari Perayaan Rasul Petrus dan Paulus yang kudus.
William Kardinal Levada
Prefek
Angelo Amato, S.D.B
Titular Keuskupan Agung Sila
Sekretaris
Kongregasi Ajaran Iman
PENJELASAN TENTANG DOKUMEN
Tanggapan-tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang beberapa aspek tertentu perihal ajaran tentang Gereja
Dalam dokumen ini Kongregasi Ajaran Iman menanggapi beberapa pertanyaan mengenai visi keseluruhan tentang Gereja, yang timbul dari ajaran-ajaran dogmatik dan ekumenis dari Konsili Vatikan II. Konsili ini ‘dari Gereja tentang Gereja’ menandai, menurut Paus Paulus VI, “era baru bagi Gereja”, di mana “wajah sejati dari Mempelai Kristus telah menjadi lebih diteliti dan disingkapkan sepenuhnya.” ((Paus Paulus VI, Discourse (September 21, 1964): AAS 56 (1964) 1012.)) Kerap kali dibuat referensi, yang mengacu kepada dokumen-dokumen prinsip yang ditulis oleh Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II dan kepada intervensi-intervensi Kongregasi Ajaran Iman, yang semuanya diinspirasikan oleh pemahaman yang semakin mendalam tentang Gereja itu sendiri, dan banyak di antaranya ditujukan untuk menjelaskan teologi penting yang mengalir setelah Konsili- di mana semua tentangnya kebal dari ketidak-tepatan dan kesalahan.
Dokumen ini diinspirasikan juga oleh pemahaman serupa. Tepatnya, karena beberapa penelitian teologis pada masa ini telah menjadi keliru, ataupun ambigu, maka maksud Kongregasi adalah untuk menjelaskan arti yang otentik dari pernyataan-pernyataan ekklesiologis dari Magisterium. Untuk alasan ini, Kongregasi telah memilih penggunaan gaya literer Responsa ad quaestiones (Tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan), yang dari kodratnya tidak berusaha untuk melebihi argumen-argumen untuk membuktikan suatu ajaran yang khusus, melainkan dengan membatasi diri terhadap ajaran-ajaran Gereja yang sebelumnya, menjabarkan hanya untuk memberikan sebuah tanggapan yang jelas dan pasti terhadap pertanyaan-pertanyaan yang spesifik.
Pertanyaan pertama menanyakan apakah Konsili Vatikan II telah mengubah ajaran sebelumnya yang dipegang oleh Gereja.
Pertanyaan ini berkenaan dengan pentingnya apa yang dijabarkan Paus Paulus VI, dalam kutipan yang disebut di atas, sebagai “wajah baru” Gereja yang dikemukakan oleh Konsili Vatikan II.
Tanggapan ini, berdasar atas ajaran Paus Yohanes XXIII dan Paulus VI, adalah sangat jelas: Konsili Vatikan II tidak bermaksud mengubah- dan maka tidak pernah mengubah- ajaran yang sebelumnya telah dipegang tentang Gereja. Konsili hanya memperdalam ajaran ini dan mengartikulasikannya dalam cara yang lebih organik. Ini sesungguhnya adalah, apa yang dikatakan oleh Paus Paulus VI dalam pernyataannya saat mempromulgasikan Konstitusi Dogmatik, Lumen Gentium, ketika ia menegaskan bahwa dokumen tersebut tidak mengubah ajaran tradisional tentang Gereja, melainkan, “bahwa apa yang dulu diasumsikan, kini menjadi eksplisit; apa yang dulu tak jelas, kini menjadi jelas; apa yang dulu direnungkan, didiskusikan dan kerapkali diperdebatkan, kini disampaikan di dalam satu rumusan yang jelas.” ((Ibid., 1010))
Terdapat pula sebuah kesinambungan antara ajaran yang diajarkan oleh Konsili dan oleh intervensi-intervensi yang berurutan dari Magisterium, yang telah mengambil dan memperdalam ajaran yang sama ini, yang dengan sendirinya menentukan sebuah perkembangan. Dalam hal ini, contohnya, Deklarasi Kongregasi Ajaran Iman, Dominus Iesus, semata hanya menegaskan kembali ajaran-ajaran Konsili dan setelah Konsili tanpa menambahkan ataupun mengurangi apapun.
Namun demikian, di dalam periode setelah Konsili, dan meskipun telah ada penegasan-penegasan yang jelas ini, ajaran Konsili Vatikan II, telah, dan terus menerus menjadi, obyek interpretasi-interpretasi yang salah, yang berbeda dengan ajaran Katolik yang tradisional tentang hakekat Gereja: entah yang menganggapnya sebagai ‘revolusi Copernican’ atau sebaliknya, yang menekankan beberapa aspek sampai hampir mengabaikan yang lain. Dalam kenyataannya, maksud yang mendalam dari Konsili Vatikan II adalah jelas untuk memasukkan ajaran tentang Gereja di dalam dan di bawah ajaran tentang Tuhan, sehingga dengan demikian menyampaikan ekklesiologi yang sungguh teo-logis. Namun demikian, penerimaan ajaran Konsili telah, kerap kali mengaburkan point ini, menjadikannya relatif sesuai dengan penegasan-penegasan ekklesiologis menurut [pandangan] pribadi, dan kerap menekankan kata-kata atau frasa spesifik tertentu yang menimbulkan pemahaman yang parsial dan tidak seimbang, dari ajaran Konsili yang sama ini.
Tentang ekklesiologi Lumen Gentium, pemahaman-pemahaman kunci tertentu nampak telah masuk ke dalam kesadaran gerejawi: pemahaman tentang Umat Allah, kolegialitas para Uskup sebagai sebuah evaluasi kembali bagi pelayanan para uskup bersama dengan keprimat-an Paus, pembaharuan pemahaman tentang Gereja-gereja secara individual di dalam Gereja universal, penerapan ekumenis tentang konsep Gereja dan keterbukaannya terhadap agama-agama lain, dan akhirnya pertanyaan tentang hakekat spesifik Gereja Katolik yang dinyatakan dalam rumusan yang menurutnya “Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik- yang disebutkan dalam Syahadat- subsistit in Ecclesia catholica (berada dalam Gereja Katolik).
Di pertanyaan-pertanyaan berikut, dokumen ini meneliti beberapa pemahaman ini, secara khusus hakekat yang spesifik tentang Gereja Katolik, bersamaan dengan apakah yang menjadi implikasinya dari pemahaman ini.
Pertanyaan kedua bertanya tentang apakah yang dimaksudkan dengan peneguhan bahwa Gereja Katolik berada dalam (subsists in) Gereja Katolik.
Ketika G. Philip menulis bahwa frasa “subsistit in” telah menyebabkan “sungai-sungai tinta” ((G. Philips, La Chiesa e il suo mistero nel Concilio Vaticano II, (Milano 1975), I, 111. )) yang tumpah, ia mungkin tak pernah membayangkan bahwa diskusi tersebut akan berlanjut sampai sangat panjang atau dengan intensitas sedemikian sehingga telah mendorong Kongregasi Ajaran Iman untuk mempublikasikan dokumen ini.
Publikasi ini, berdasarkan atas teks Konsili dan setelah Konsili yang dikutipnya, mencerminkan perhatian Kongregasi untuk menjaga persatuan dan kesatuan Gereja, yang akan menjadi terkompromi oleh proposal bahwa Gereja yang didirikan Kristus dapat mempunyai lebih dari satu wujud (subsistence). Jika ini keadaanya, kita akan dipaksa untuk membayangkan, sebagaimana dikatakan dalam Deklarasi Mysterium Ecclesiae, “Gereja Kristus sebagai total jumlah Gereja-gereja atau Komunitas-komunitas gerejawi- yang pada saat yang sama berbeda namun disatukan”, atau “menganggap bahwa Gereja Kristus tidak lagi ada secara nyata saat ini, dan karena itu hanya dapat menjadi obyek penelitian bagi Gereja-gereja dan komunitas-komunitas tersebut.” ((Kongregasi Ajaran Iman, Mysterium Ecclesiae, 1: AAS 65 (1973) 398.)) Jika ini keadaannya, Gereja Kristus tidak lagi ada dalam sejarah, atau hanya ada dalam suatu bentuk ideal yang timbul melalui suatu peleburan di masa mendatang atau melalui pemersatuan dari saudari Gereja-gereja (sister Churches) yang berbeda-beda, untuk diharapkan dan dicapai melalui dialog.
Notifikasi dari Kongregasi Ajaran Iman mengenai buku karangan Leonardo Boff bahkan lebih eksplisit. Menanggapi pernyataan Boff bahwa Gereja Kristus yang satu “dapat ada di dalam Gereja-gereja Kristen”, Notifikasi tersebut menyatakan, “Konsili memilih kata “subsistit” secara khusus untuk menjelaskan bahwa Gereja yang sejati hanya mempunyai satu “wujud/ subsistence” sementara di luar batas-batasnya yang kelihatan, terdapat hanya “elementa Ecclesiae /elemen gerejawi” yang, karena adalah elemen-elemen Gereja yang sama- cenderung dan mengarahkan kepada Gereja Katolik.” ((Kongregasi Ajaran Iman, Notification on the book of Father Leonardo Boff: “The Church: charism and power”: AAS 77 (1985) 758-759. This passage of the Notification, although not formally quoted in the “Responsum”, is found fully cited in the Declaration Dominus Iesus, in note 56 of n. 16.))
Pertanyaan ketiga menanyakan mengapa istilah “subsistit in” digunakan dan bukan “est“.
Tepatnya perubahan terminologi dalam penjabaran hubungan antara Gereja Kristus dan Gereja Katolik inilah- yang telah memunculkan bermacam interpretasi, secara khusus dalam ranah ekumenisme. Dalam kenyataannya, para Bapa Konsili hanya bermaksud untuk mengakui keberadaan elemen-elemen gerejawi yang khas bagi Gereja Kristus di dalam komunitas-komunitas Kristen non- Katolik. Selanjutnya tidak berarti bahwa indentifikasi Gereja Kristus dengan Gereja Katolik tidak lagi berlaku, atau [sebaliknya] bahwa di luar Gereja Katolik tidak terdapat sedikitpun elemen gerejawi, sebuah “kekosongan tanpa Gereja/ churchless void“. Yang dimaksud di sini adalah jika istilah “subsistit in” diartikan dalam konteksnya yang benar, yaitu mengacu kepada Gereja Kristus “yang didirikan dan diatur di dunia ini sebagai sebuah serikat …. yang dipimpin oleh penerus Rasul Petrus dan oleh Uskup-uskup dalam persekutuan dengannya,” maka perubahan dari est ke subsistit in tidak mengambil konsekuensi teologis khusus apapun tentang diskontinuitas dengan ajaran Katolik sebelumnya.
Sesungguhnya, justru karena Gereja yang dikehendaki Kristus sungguh terus menerus berada (subsistit in) dalam Gereja Katolik, kontinuitas keberadaan ini mengimplikasikan indentitas yang mendasar antara Gereja Kristus dan Gereja Katolik. Konsili Vatikan II bermaksud untuk mengajarkan bahwa kita bertemu dengan Gereja Yesus Kristus sebagai sebuah subyek yang nyata secara historis dalam Gereja Katolik. Maka, ide yang menyatakan bahwa keberadaan (subsistence) dapat sepertinya digandakan (multiplied) tidak mencerminkan apa yang dimaksudkan oleh pemilihan istilah “subsistit“. Dengan pemilihan kata “subsistit“, Konsili bermaksud untuk menyatakan singularitas/ ketunggalan dan “ketidakganda-an” (non-multipliability) Gereja Kristus: Gereja ada sebagai sebuah realitas historis yang hanya satu-satunya.
Maka, bertentangan dari banyak interpretasi yang tidak berdasar, perubahan dari “est” ke “subsistit” tidak menandakan bahwa Gereja Katolik telah berhenti menganggap dirinya sebagai Gereja Kristus yang satu dan sejati. Melainkan, perubahan istilah itu hanya menandai keterbukaan yang lebih besar terhadap kehendak ekumenis untuk mengakui sifat-sifat dan dimensi gerejawi yang sejati di dalam komunitas-komunitas Kristiani yang tidak berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik, karena adanya “plura elementa sanctificationis et veritatis/ berbagai elemen pengudusan dan kebenaran” yang ada di dalam mereka. Sebagai akibatnya, meskipun hanya ada satu Gereja yang berada/”subsists” di dalam satu subyek historis yang satu-satunya, namun terdapat juga realitas-realitas gerejawi yang sejati, yang ada melampaui kawasan yang kelihatan dari Gereja tersebut.
Pertanyaan keempat menanyakan mengapa Konsili Vatikan II menggunakan kata “Gereja-gereja” untuk menjabarkan Gereja-gereja Timur yang tidak dalam kesatuan dengan Gereja Katolik.
Meskipun ada penegasan eksplisit bahwa Gereja Katolik “berada dalam” Gereja Katolik, pengakuan bahwa bahkan di luar kawasan Gereja yang kelihatan “banyak elemen pengudusan dan kebenaran” ((Konsili Vatikan II, Lumen Gentium, 8.2)) ditemukan, menandai sifat gerejawi -meskipun berbeda-beda- dari Gereja-gereja Kristen non-Katolik atau Komunitas-komunitas gerejawi. Semua ini juga tidak sama sekali “tidak berarti atau bernilai” dalam arti bahwa “Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan” ((Konsili Vatikan II, Unitatis Redintegratio, 3.4.))
Dokumen tersebut menganggap secara khusus adalah realitas Gereja-gereja Timur yang tidak berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik dan, dengan membuat acuan kepada teks-teks Konsili yang berbeda-beda, memberikan kepada mereka gelar “Gereja-gereja lokal atau partikular” dan menyebut mereka sebagai saudari Gereja-gereja (sister Churches) dari Gereja-gereja partikular sebab mereka tetap disatukan dengan Gereja Katolik melalui suksesi apostolik dan perayaan Ekaristi yang sah “yang melaluinya Gereja Tuhan dibangun dan bertumbuh” ((Lih. Konsili Vatikan II, Unitatis Redintegratio, 15.1)) Deklarasi Dominus Iesus menyebut mereka secara eksplisit, “Gereja-gereja partikular yang sejati”. ((Kongregasi Ajaran Iman, Dominus Iesus, 17: AAS 92 (2000) 758.))
Namun di samping pengakuan yang jelas terhadap mereka “sebagai Gereja-gereja partikular” dan nilai penyelamatan mereka, dokumen tersebut tidak mengabaikan adanya luka (defectus) yang mereka derita secara khusus dalam keberadaan mereka sebagai Gereja-gereja partikular. Sebab itu disebabkan oleh visi Ekaristi mereka tentang Gereja, yang menekankan pada realitas Gereja partikular yang disatukan di dalam nama Kristus melalui perayaan Ekaristi dan di bawah bimbingan seorang Uskup, bahwa mereka menganggap diri mereka sendiri telah lengkap di dalam ke-partikular-an mereka. ((Cf. COMITATO MISTO CATTOLICO-ORTODOSSO IN FRANCIA, Il primato romano nella comunione delle Chiese, Conclusioni: in “Enchiridion oecumenicum” (1991), vol. IV, n. 956. )) Sebagai akibatnya, atas dasar persamaan fundamental di antara semua Gereja-gereja partikular dan di antara para Uskup yang memimpin atas mereka, setiap dari mereka mengklaim semacam otonomi internal. Ini secara jelas tidak kompatibel dengan ajaran ke-Primat-an (keutamaan Petrus) yang, menurut iman Katolik, adalah “sebuah prinsip konstitutif internal” dari keberadaan sebuah Gereja partikular. ((Lih. Kongregasi Ajaran Iman, Communionis notio, 17: AAS 85 (1993) 849)). Maka, adalah tetap penting untuk menekankan bahwa ke-Primat-an dari penerus Rasul Petrus, Uskup Roma, agar tidak dilihat sebagai sesuatu tambahan atau hanya ada bersamaan dengan kepemimpinan Uskup-uskup dari Gereja-gereja partikular. Melainkan, ke-Primat-an itu harus dilaksanakan untuk melayani kesatuan iman dan persekutuan di dalam batas-batas yang mengalir dari hukum ilahi dan dari pendirian yang ilahi dan tak dapat dilanggar dari Gereja yang termaktub dalam wahyu. ((Lih. Kongregasi Ajaran Iman, Considerations on the Primacy of the Successor of Peter in the Mystery of the Church, n. 7 and n. 10, in: L’Osservatore Romano, English Edition, 18 November 1998, 5-6.))
Pertanyaan kelima menanyakan tentang mengapa Komunitas-komunitas gerejawi yang berasal dari zaman Reformasi tidak diakui sebagai ‘Gereja-gereja’.
Menanggapi pertanyaan ini, dokumen tersebut mengakui bahwa “kekurangan/ luka masihlah mendalam di dalam komunitas-komunitas gerejawi yang tidak melestarikan suksesi apostolik atau perayaan Ekaristi yang sah.” ((Kongregasi Ajaran Iman, Communionis notio, 17: AAS 85 (1993) 849.)) Untuk alasan ini, mereka adalah “bukan Gereja-gereja dalam arti yang sebenarnya” ((Kongregasi Ajaran Iman, Dominus Iesus, 17: AAS 92 (2000) 758.)), melainkan, sebagai dinyatakan dalam ajaran Konsili dan setelah Konsili, mereka adalah “Komunitas-komunitas gerejawi.” ((Lih. Konsili Vatikan II, Unitatis Redintegratio, 4; Yohanes Paulus II, Novo millenio ineuente, 48: AAS 93 (2001) 301-302.))
Meskipun fakta bahwa ajaran ini telah menciptakan ketegangan yang tidak kecil di dalam komunitas-komunitas tersebut dan bahkan di antara sesama umat Katolik, biar bagaimanapun tetaplah sulit untuk melihat bagaimana gelar “Gereja” dapat mungkin diatributkan kepada mereka, sebab mereka tidak menerima arti teologis tentang Gereja dalam pengertian Katolik dan bahwa mereka kekurangan elemen-elemen yang dianggap esensial bagi Gereja Katolik.
Bagaimanapun juga, dengan mengatakan hal ini, harus diingat bahwa Komunitas-komunitas yang dikatakan disini, oleh karena berbagai elemen pengudusan dan kebenaran yang sungguh hadir di dalam mereka, secara tak meragukan mempunyai sifat gerejawi sedemikian dan akibatnya, mempunyai arti penting bagi keselamatan (salvific significance).
Dokumen yang baru ini dari Kongregasi Ajaran Iman, yang secara mendasar merangkum ajaran Konsili dan ajaran Magisterium setelah Konsili, mengandung penegasan kembali tenteng ajaran Katolik tentang Gereja. Selain membahas gagasan-gagasan yang tidak dapat diterima yang sayangnya telah menyebar ke seluruh dunia Katolik, dokumen ini menjabarkan indikasi-indikasi yang berharga untuk dialog ekumenis di masa mendatang. Dialog ini tetap adalah salah satu prioritas dari Gereja Katolik, sebagaimana ditegaskan oleh Paus Benediktus XVI dalam Pesan pertama kepada Gereja pada tanggal 20 April 2005, dan di banyak kesempatan lainnya, secara khusus sepanjang kunjungan apostoliknya ke Turki (28.11.06-1.12.06). Namun demikian, agar dialog semacam ini dapat menjadi sungguh membangun, haruslah melibatkan tidak hanya saling keterbukaan dari para partisipan, tetapi juga kesetiaan kepada identitas iman Katolik. Hanya dengan cara ini, dialog dapat memimpin kepada kesatuan semua umat Kristen dalam “satu kawanan dengan satu gembala” (Yoh 10:16) dan karenanya menyembuhkan luka itu yang mencegah Gereja Katolik untuk mewujudkan sepenuhnya ke-universalitas-nya di dalam sejarah.
Ekumenisme Katolik mungkin terlihat, pada pandangan pertama, sepertinya bertentangan (paradoxial). Konsili Vatikan II menggunakan frasa “susbsistit in” untuk mencoba mengharmoniskan dua penegasan ajaran: di satu sisi, bahwa sekalipun ada perpecahan di antara umat Kristen, Gereja Kristus tetap ada seutuhnya hanya di dalam Gereja Katolik, dan di lain sisi, bahwa berbagai elemen pengudusan dan kebenaran sungguh ada di luar kawasan Gereja Katolik yang kelihatan, baik di Gereja-gereja partikular atau di dalam Komunitas-komunitas gerejawi yang tidak berada dalam persekutuan yang penuh dengan Gereja Katolik. Untuk alasan ini, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Ekumenisme, Unitatis Redintegratio, memperkenalkan istilah kepenuhan (unitatis/ catholicitatis) secara khusus untuk membantu memahami dengan lebih baik keadaan yang sepertinya bertentangan ini. Meskipun Gereja Katolik mempunyai kepenuhan upaya-upaya keselamatan, “namun demikian, perpecahan umat kristen merupakan halangan untuk mewujudkan secara nyata kepenuhan ciri katoliknya dalam diri putera-puterinya, yang berkat Baptis memang ditambahkan kepadanya, tetapi masih tercerai dari kepenuhan persekutuan dengannya.” ((Konsili Vatikan II, Dekrit Unitatis Redintegratio, 4)). Dengan demikian, kepenuhan Gereja Katolik telah ada, tetapi masih harus terus bertumbuh di dalam saudara-saudara yang belum berada dalam persekutuan dengannya, dan juga di dalam anggota-anggotanya sendiri yang adalah para pendosa, “sampai ia mencapai kepenuhan kemuliaan kekal di Yerusalem surgawi” ((Ibid, 3. )). Kemajuan di dalam kepenuhan ini berakar di dalam proses yang terus berlanjut akan kesatuan yang dinamis dengan Kristus: “Kesatuan dengan Kristus adalah juga kesatuan dengan semua orang, yang kepada mereka Kristus menyerahkan diri-Nya. Aku tak dapat memiliki Kristus hanya untuk diriku sendiri; aku dapat menjadi milik-Nya hanya di dalam kesatuan dengan semua orang yang telah menjadi, atau akan menjadi, milik-Nya. Persatuan mendorongku keluar dari diriku sendiri menuju kepada-Nya, dan karena itu, juga menuju kesatuan dengan semua umat Kristen.” ((Paus Benediktus XVI, Deus caritas est, 14: AAS 98 (2006) 228-229.))
Diterjemahkan oleh Katolisitas.org, dari link Vatikan, yang teks bahasa Inggrisnya dapat dibaca di sini:
Dear Katolisitas.
EENS itu DOKTRIN (ajaran) atau DOGMA (kebenaran).
Itu saja, karena maaf, tidak tampak anda mencatat itu merupakan sebuah DOGMA, sementara di luar sana, banyak issue mengenai hal ini merupakan sebuah DOGMA.
Salam Kasih.
[dari katolisitas: EENS adalah satu dogma. Namun dogma juga merupakan doktrin. Kita dapat melihat perbedaan antara dogma dan doktrin di sini – silakan klik. Daftar dogma dapat dilihat di sini – klik ini. Silakan juga melihat tanya jawab ini – silakan klik]
Dear Katolisitas yang baik.
TERIMA KASIH.
Artinya di sini adalah dogma bukan lagi doktrin yang memiliki celah tidak kebal salah, sementara dogma itu kebal salah DALAM IMAN DAN MORAL.
Salam Kasih.
[dari katolisitas: Benar, dogma EENS harus kita hayati dengan iman dan masuk dalam kategori credenda]
Dear Katolisitas,
Membaca uraian sedemikian itu, rasanya bukannya membuat umat menjadi semakin mampu membunyikan hukum utama itu dalam perilaku.. malah membuat puyeeeng.. Bagaimana agar api kasih kepada Tuhan dan sesama itu menyala di hati umat dan berbunyi dalam perbuatan untuk dirasakan menjadi terang, menjadi garam, bernas di tengah dunia itulah yang perlu diikhtiarkan dengan segala daya, segala pikir.. Keselamatan bukan karena pemahaman-pemahaman demikian itu. Pemahaman-pemahaman demikian sy rasakan lebih sebagai pembenaran bahkan, maaf, politik identitas ketimbang untuk mengobarkan api cinta kepada Tuhan dan sesama untuk dirasakan bahwa Kristus MEMANG HADIR di hati, di jiwa .. Mohon maaf, sy agak lantang, tiada lain dalam rangka hukum tertinggi itu pula: demi kasih/kemuliaan Tuhan dan kasih/keselamatan sesama… GBU
Salam, Irwan Saragih
Syukur pada Tuhan, anda tertarik untuk membuka dokumen Gereja. Semoga ketertarikan anda semakin menuntun anda pada pemahaman yang benar mengenai Ajaran Kristus melalui GerejaNya, dan pada akhirnya berbuah menjadi kasih pada Allah dan sesama seperti yang kita semua idamkan.
Saya setuju dengan pendapat anda, bahwa api kasih kepada Tuhan dan sesama harus diupayakan dengan segenap diri, termasuk seperti yang anda sendiri katakan : “dengan segala daya, segala pikir..”. Ini mengingatkan kita kepada perkataan Yesus mengenai hukum kasih yang tertuang dalam Lukas 10:27. Jadi, keselamatan memang “bukan karena pemahaman-pemahaman demikian itu” seperti yang anda katakan, melainkan karena kasih kita pada Allah dan sesama. Pertanyaannya, bagaimana cara kita mengasihi Allah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi cara kita mengasihi sesama?
Bagi umat Katolik, mengasihi Allah adalah dengan melakukan segala perintahNya, termasuk di dalamnya, adalah mengenangkan cinta dan pengorbanan Allah melalui Ekaristi (Luk 22:14-23; Mat 26-26-29; Mrk 14:22-25), mengakukan dosa ringan dan berat (Yak 5:16), memahami dan melakukan semua yang Yesus ajarkan, termasuk yang diajarkan melalui para Rasul dan diteruskan oleh Gereja (Mat 28:19; Luk 10:16), serta mau diutus untuk mewartakan mengenai Yesus Kristus (Yoh 20:21).
Seperti yang anda katakan, jika kita mencintai Allah sepenuh hati, pikiran dan akal budi kita pun akan kita arahkan padaNya. Bila Allah meminta kita untuk memahami ajaranNya yang diberikan melalui para Rasul, tidak ada salahnya sedikit “berpuyeng-puyeng” mendalami ajaran Gereja. Gereja mengajarkan banyak hal supaya kasih kita pada Allah dan sesama dapat terwujud dan dapat menjadi semakin tulus dan menyeluruh. Mulai dari ajaran iman untuk jiwa kita, sampai kepada ajaran sosial Gereja yang mengundang kita untuk turut berpartisipasi dalam meringankan masalah-masalah dunia, Tuhan mengajar kita bagaimana kita dapat mengasihi, sebagaimana Ia mengasihi kita. Bila umat kurang dapat memahami ajaran Gereja, bisa jadi itu merupakan panggilan Allah bagi anda dan kami untuk memahaminya supaya bisa menjelaskannya pada sesama. Selain itu, dengan memahami ajaran Gereja, kita akan tahu apa yang baik dan benar untuk kita wartakan bagi sesama kita dan mana yang buruk dan tidak benar. Bila kita memang tahu bahwa keselamatan dan hidup ada dalam Kristus (Yoh 14:6), tidak ada yang salah dengan mewartakannya. Apalagi, memang itu yang Yesus perintahkan kepada kita (lih. Mat 28:19-20).
Jika kita ingin mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh maka kita perlu memperhatikan cara bagaimana orang itu ingin dicintai. Kita telah melihat bahwa salah satu cara Kristus ingin dicintai adalah dengan melakukan segala sesuatu yang diajarkan-Nya melalui para Rasul dan mewartakannya. Bila kita menolak untuk diajar oleh para Rasul dan penerus mereka (padahal Kristus memerintahkan para Rasul untuk mengajar kita di Mat 28:19) dan bersikeras pada pemahaman kita sendiri, bagaimana mungkin kita bisa berkata kita mencintai Allah dengan segenap diri kita (1 Yoh 3:24)? Bukankah dengan bersikeras, kita malah mencintai Allah menurut cara dan keinginan kita?
Untuk mempraktekkan ajaran Kristus, tentu saja kita harus memahaminya dengan benar ajaran itu. Memahami ajaran Gereja adalah bentuk cinta kasih kita pada Allah. Mempraktekkan apa yang kita pahami dari ajaran Gereja adalah bentuk membagikan kasih Allah yang kita peroleh kepada sesama kita. Tentu saja, Gereja mengajarkan prinsip dan cara yang benar dan baik untuk mengimani ajaran Gereja dan mewartakannya dengan penuh cinta kasih, kelemahlembutan, dan sopan (1 Pet 3:15). Namun, mengkompromikan ajaran Kristus dengan pemahaman dan penafsiran pribadi tidak sejalan dengan ungkapan kasih yang total kepada Allah dan sesama.
Dengan demikian, mencintai Allah dan sesama tidak dapat dipisahkan dari iman. Kita sebagai umat Katolik sudah selayaknya mencintai Allah dan sesama kita dengan memahami ajaran Gereja dan mewartakannya. Keselamatan memang datang pertama-tama karena rahmat Tuhan, dan dapat diperoleh dari melaksanakan kasih –atas dasar iman- kepada Allah dan sesama. Dengan demikian, perwujudan kasih pada Allah dan sesama tidak terpisahkan dari pmahaman akan apa yang Allah ajarkan dan pewartaannya kepada sesama melalui contoh hidup kita. Hanya dengan demikianlah kita benar-benar bisa menjadi terang dan garam dunia menurut versi Kristus, bukan menurut versi kita sendiri. Semoga dengan memahami ajaran Kristus melalui para Rasul, cinta kasih kita pada Allah dan sesama kita semakin subur dan berbuah.
Pacem,
Ioannes
Comments are closed.