[Minggu Paskah VI: Kis 15:1-29; Mzm 67: 2-8; Why 21:10-23; Yoh 14:23-29]
Judson Cornwall, seorang pendeta Protestan yang mengarang buku Incense and Insurrection, menyampaikan keprihatinannya akan betapa maraknya perpecahan dalam gereja-gereja Protestan di Amerika. Ia mengambil perikop dari Perjanjian Lama, yaitu kitab Bilangan bab 16 untuk menjelaskan argumennya. Di perikop itu dijelaskan tentang pemberontakan Korah terhadap Musa dan Harun. Korah tidak percaya bahwa Musa dan Harun telah menerima kuasa dari Tuhan sendiri, untuk memimpin Israel, bangsa pilihan-Nya. Korah menganggap bahwa bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah itu kudus, sehingga setiap orang dapat melakukan apa yang dilakukan oleh Musa dan Harun. Pendeta Cornwall berkata, “Pemberontakan Korah kelihatannya adalah melawan Musa dan Harun, tetapi sesungguhnya [ia] melawan Allah… Dengan berusaha menumbangkan para pemimpin Gereja di dunia, kita beresiko menentang Allah sendiri dan mengambil bagian dalam kemusnahan Korah…. Apakah ada hal apapun yang cukup besar untuk membenarkan pemecahan diri dari Gereja?” (Judson Cornwall, Incense and Insurrection, Kdimension Publishers, 1986, p. 17)
Sejujurnya, membaca argumen ini, mungkin kita umat Katolik pun berandai-andai: Alangkah baik jika permenungan ini disadari oleh semua umat Kristen di sepanjang zaman, sehingga tak ada orang yang memutuskan untuk memecahkan diri dari kesatuan dengan Gereja para Rasul, yaitu Gereja Katolik. Sebab dorongan sekelompok orang untuk memisahkan diri dari otoritas para rasul—dan para penerus mereka—sebenarnya bukan baru terjadi di abad ke-16. Bahkan sejak abad pertama, seperti tercatat dalam Bacaan Pertama, sudah terjadi semacam “pemberontakan” dari sekelompok orang Kristen Yahudi yang ingin tetap mempertahankan ketentuan sunat bagi orang-orang non-Yahudi yang mau menjadi Kristen. Hal tersebut nampaknya cukup krusial pada saat itu, sehingga para Rasul harus berkumpul dan membicarakannya. Diadakanlah Konsili yang pertama di Yerusalem. Di Konsili itu, Rasul Petrus—selaku pemimpin para rasul—akhirnya memutuskan bahwa ketentuan sunat itu tidak lagi dibebankan kepada orang-orang dari bangsa lain yang ingin menjadi murid Kristus (lih Kis 15:7-11). Allah menyucikan hati mereka oleh iman, maka yang terpenting adalah “sunat hati” dan bukan sunat jasmani.
Demikianlah Kitab Suci sendiri memberi kesaksian akan adanya otoritas para Rasul selaku para pemimpin Gereja untuk memutuskan masalah-masalah sehubungan dengan ajaran iman. Maka Kitab Suci memberi kesaksian bahwa Kitab Suci pun memerlukan otoritas untuk menafsirkannya, yang dalam hal ini dilakukan oleh para rasul, secara khusus Rasul Petrus, sebagai pemimpinnya. Kini otoritas itu ada pada Paus, selaku penerus Rasul Petrus. Paus Fransiskus adalah Paus di urutan ke 266, setelah Rasul Petrus di urutan ke-1. Sejauh mana kita sebagai umat Katolik mendengarkan ajaran Bapa Paus? Dan sejauh mana kita juga mau mendengarkan ajaran Konsili-konsili? Sebab jangan sampai kita pun berpikir bahwa kebenaran itu hanya disampaikan oleh Kitab Suci saja. Sebab pemahaman ini tidak cocok dengan pemahaman Gereja Katolik sejak awalnya, yaitu di zaman para Rasul sampai sekarang. Sebab bahkan kanon Kitab Suci (yaitu 73 kitab termasuk kitab-kitab Deuterokanonika) ditentukan oleh otoritas Gereja Katolik, yaitu oleh Paus Damasus di tahun 382, dan konsili-konsili di tahun-tahun berikutnya yang sifatnya hanya meneguhkan kembali apa yang telah ditentukan di abad ke-4 itu. Maka anggapan bahwa Gereja Katolik “menambah-nambahi Kitab Suci” itu sungguh keliru.
Kita sebagai umat Katolik perlu mengenali bahwa Roh Kudus yang telah memberi inspirasi kepada para pengarang kudus untuk menulis Kitab Suci adalah Roh Kudus yang sama yang telah diutus oleh Allah untuk mengartikannya. Dan kuasa ini diberikan Allah kepada Gereja, dalam hal ini kepada para rasul dan para penerus mereka. Yesus bersabda, “Roh Kudus… akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu….” (Yoh 14:26). Di sinilah pentingnya ajaran lisan, yaitu yang disampaikan oleh Yesus melalui perkataan-Nya [dan ini disebut Tradisi Suci], mengingat Yesus tidak pernah menulis Kitab Suci. Maka kita harus percaya kepada para rasul yang telah menyertai Yesus di sepanjang karya publik-Nya, yang telah lebih penuh memahami prinsip-prinsip pengajaran Kristus. Termasuk di sini adalah hal-hal yang tidak secara eksplisit tertulis di Injil. Contohnya adalah soal perlu tidaknya ketentuan sunat bagi umat Kristen, seperti yang dicatat pada Bacaan Pertama.
Di sepanjang sejarah Gereja, terdapat banyak hal sehubungan dengan ajaran iman yang juga membutuhkan penjelasan yang lebih rinci, agar dapat semakin dipahami oleh umat. Penjelasan ini diberikan oleh para penerus rasul kepada kita, dengan kuasa yang telah diberikan oleh kristus kepada mereka. Para penerus rasul itu terus disertai oleh Roh Kudus yang diutus oleh Allah Bapa dan Putra. Roh Kudus itu adalah Roh Kebenaran, yang memimpin Gereja ke dalam seluruh kebenaran (Yoh 16:13). Bimbingan Roh Kudus ini terjadi di sepanjang sejarah Gereja, sehingga pemahamannya tentang suatu ajaran iman menjadi semakin penuh.
Maka walaupun kita sebagai umat Tuhan adalah “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus…” (1Ptr 2:9), namun kita tetap harus mengakui kepemimpinan para rasul itu, yang namanya akan tercatat pada dua belas batu dasar di kota Yerusalem surgawi (lih. Why 21:14). Kristus tetap memandang para rasul-Nya dan tidak menganggap semua orang juga memperoleh otoritas yang sama dengan yang sudah diberikan kepada para rasul itu. Sama seperti bahwa tidak semua orang Israel diberi kuasa yang sama dengan kuasa yang diberikan kepada Musa dan Harun.
Semoga karunia Roh Kudus yang telah diberikan kepada kita melalui Baptisan dan Penguatan, yaitu karunia kesalehan, mendorong kita untuk mencintai hal-hal yang ilahi. Merenungkan bacaan Kitab Suci hari ini, mari kita memohon karunia kerendahan hati dari Tuhan, agar kita terdorong untuk mempelajari ajaran para Paus dan Konsili-konsili. Sebab jangan sampai kita lebih tertarik untuk membaca berita-berita politik dan ekonomi, atau kisah-kisah fiksi semacam Harry Potter daripada membaca ajaran-ajaran Gereja. Padahal dengan mempelajari ajaran Gereja kita akan dibawa kepada pengenalan yang lebih mendalam akan Allah dan menumbuhkan kasih kita kepada-Nya. Juga, semoga kita pun terdorong untuk mendoakan para Paus, Uskup dan imam agar diberi hikmat kebijaksanaan oleh Tuhan untuk memimpin kita sebagai umat Tuhan. Dan semoga semakin banyak orang menyadari pentingnya untuk tetap tinggal dalam kesatuan dengan Gereja para rasul, yaitu Gereja Katolik.
“Maka berhati-hatilah untuk tetap teguh berpegang pada ajaran-ajaran Tuhan dan para rasul-Nya… bersama dengan uskupmu yang terhormat dan para mahkota rohaninya, yaitu para imam, dan dengan para diakon…. Taatilah uskup … seperti Kristus ketika dalam rupa manusia taat kepada Bapa-Nya, dan para rasul [taat kepada] Kristus dan Bapa dan Roh Kudus….” (St. Ignatius dari Antiokhia, Surat kepada Gereja di Magnesia, 13)